Buku Akuntabilitas Partai Politik
Buku Akuntabilitas Partai Politik
i
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Ketentuan Pidana
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf I untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan / atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf f, dan / atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ii
AKUNTABILITAS PARTAI POLITIK
(Buku Ajar Hasil Penelitian Pemagangan di Bali)
Tim Peneliti:
Nazrina Zuryani
IGPB Suka Arjawa
Muhammad Ali Azhar
Kontributor:
Kadek Dwita Apriani
Tedi Erviantono
A.A.N.B Dwirandra
iii
AKUNTABILITAS PARTAI POLITIK
(Buku Ajar Hasil Penelitian Pemagangan di Bali)
Tim Peneliti:
Nazrina Zuryani
IGPB Suka Arjawa
Muhammad Ali Azhar
Kontributor:
Kadek Dwita Apriani
Tedi Erviantono
A.A.N.B Dwiranda
Cover &
Ilustrasi:
Repro
Diterbitkan oleh:
Udayana University Press
Kampus Universitas Udayana denpasar
Jl. P.B. Sudirman, denpasar - Bali telp. (0361) 255128
unudpress@gmail.com http://penerbit.unud.ac.id
Cetakan Kedua:
2016, x + 162 hlm, 15 x 23 cm
ISBN: 978-602-294-081-4
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
v
termasuk para reviewer yang memberi kepercayaan kepada tim peneliti hibah
kompetensi dari FISIP Unud untuk menuliskan buku ajar ini. Dekan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis pada tahun 2015 yaitu Prof. Dr. I Gusti Bagus
Wiksuana, SE, MS yang telah menunjuk Dr. Anak Agung Ngurah Bagus
Dwirandra, M.Si, Ak sebagai konsultan yang berjasa sangat besar dalam
terciptanya kedua buku ajar kami ini.
Mantan ketua LPPM Unud, Prof. Dr. Ir. Ketut Satriawan, MT yang
ikut menanda-tangani usulan penelitian ini di tahun 2014, terima kasih
bimbingannya juga selamat untuk ketua LPPM periode 2016 Prof. Dr. Ir. I
Nyoman Gde Antara, M.Eng, beliau ikut dalam site visit ke FISIP Unud
menjelang finalisasi penerimaan hibah kompetensi ini. Juga terima kasih
untuk bapak wakil Dekan bidang akademik, Tedi Erviantono, SIP, M.Si yang
hadir dalam site visit dengan bapak Dekan FISIP Unud yaitu Dr. Drs. IGPB
Suka Arjawa, M.Si. Beliau adalah anggota tim inti penelitian ini yang
menulis sebagian dari bab kedua bersama ketua peneliti.
Kepada anggota inti tim peneliti Prodi Ilmu Politik, Muhammad Ali
Azhar, S.IP, MA terima kasih atas revisi bab empat, para kontributor yang
merevisi kembali bab tiga yaitu Kadek Dwita Apriani, S.Sos, M.IP, juga Tedi
Erviantono, SIP, M.Si penulis bab empat beserta Bandiyah, S.Fil, MA dan
penulis bidang akuntansi pada bab lima, Dr. Anak Agung Ngurah Bagus
Dwirandra, SE, M.Si, teriring ucapan terima kasih atas kerjasamanya.
Alumnus Prodi Sosiologi Muchamad Zaenal Arifin, S.Sos yang sejak 2 bulan
(September-Oktober) secara serabutan bekerja di sela-sela kesibukannya
dengan administrator muda sejak Juni 2016, Jordy Alexi Yohans juga
mahasiswa dari Prodi Sosiologi bekerja. Tak ada gading yang tak retak,
ketidak-sempurnaan adalah hakikat manusia, namun semoga buku ajar ini
bermanfaat.
Nazrina Zuryani
vi
DAFTAR ISI
vii
BAB III SUMBER DAN STRATEGI KEUANGAN
PARTAI POLITIK............................................................................ 70
3.1. Kebutuhan dan Sumber Dana Partai Politik ................... 71
3.2. Keuangan Partai Politik di Indonesia .............................. 72
3.2.1. Keuangan Kampanye ................................................ 73
3.3. Realitas Keuangan Partai Politik di Indonesia:
Antara Harapan dan Realita .................................................. 81
viii
PROLOG
(Putu Wirata Dwikora)
ix
tersebut sangat mungkin bertentangan secara moral dan etis yang harus
dihindari. Transparansi dan kejujuran tetaplah suatu keniscayaan dalam
upaya membangun demokrasi yang lebih berkualitas melalui tangan-tangan
partai politik yang ada.
Karenanya, betapapun kecil daya dobrak transparansi dan
akuntabilitas terhadap kebersihan partai politik maupun relawan-relawan
Pilkada dalam memperoleh dana-dana kampanye, regulasi untuk memantau
akuntabilitas dan transparansi ini tetap penting. Lembaga-lembaga penegak
hukum yang berwenang, harus diberi kemampuan untuk menjangkau lalu
lintas dana-dana politik tersebut, termasuk kewenangan PPATK (Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), rezim hukum pengusutan
pidana pencucian uang dengan melibatkan KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi), dan lembaga lainnya.
x
BAB I
PENGANTAR
1
untuk mendesain sistem politik supaya tercipta iklim politik yang lebih
demokratis.
Hal lain yang membedakan Parpol di Indonesia dengan Parpol di
Barat, pembentukan partai politik di Indonesia dianggap lahir prematur
karena partai politik muncul ketika tatanan sistem politik Indonesia sebagai
negara-bangsa belum benar-benar stabil karena masih diganggu dengan
ancaman kembalinya penjajahan Belanda ke Indonesia setelah berakhirnya
perang dunia ke II.
Dalam sejarah, gejala munculnya partai politik di Indonesia (baca
Hindia – Belanda) lahir sejak masa pergerakan kemerdekaan awal abad ke-20
(Gonggong, 2000). Akan tetapi waktu itu masih sebatas organisasi-
organisasi pergerakan yang memperjuangkan Indonesia sebagai negara yang
bebas dari kolonialisme Belanda. Belum sempat organisasi-organisasi
pergerakan tersebut berubah wujud menjadi sebuah partai politik, sudah
terlebih dahulu dibubarkan oleh pemerintah Kolonial Belanda.
Sejarah lain menyatakan bahwa terbentuknya partai politik kita
karena adanya maklumat wakil Presiden Nomor IX tahun 1945 mengajak
kepada kepada semua komponen masyarakat yang terlibat dalam
kemerdekaan mendirikan partai politik. Keluarnya maklumat itu baru
kemudian negara kita benar-benar memiliki partai politik.
Namun, keberadaan partai politik kita tidak cukup kuat menopang
sistem politik kita saat itu, hal itu terjadi karena kebanyakan partai politik
lahirnya prematur sehingga tidak cukup kuat untuk mendesain sistem politik
supaya tercipta iklim politik yang lebih demokratis.
Pengalaman ini terus berlanjut dari episode pembangunan kehidupan
demokrasi bangsa kita dari era terpimpin sampai demokrasi pancasila. Dan
puncaknya, ternyata sampai masa reformasi yang telah bergulir selama lima
belas tahun, tidak satu pun partai politik berhasil merawat sistem politik yang
sehat dan demokratis. Problem utama partai-partai politik di negeri ini ada
pada kegagalan merawat demokrasi. Partai politik hanya melayani
kepentingan elite, sehingga sulit mengharapkan partai politik yang berpihak
kepada rakyat, atau bahkan yang diidealkan rakyat. Sehingga masuk akal jika
rakyat pada hari ini bukannya membela partai malah mengecamnya sebagai
lembaga yang tidak kredibel untuk mewakili kepentingannya dalam jagad
politik.
2
Terjadinya perubahan format politik dari otoritarianisme ke
demokrasi yang sudah berlangsung begitu lama, partai politik tetap saja tidak
segera menemukan “jati dirinya oleh rezim hingga masuk ke dalam format
politik yang diimajinasikan oleh rezim itu sendiri (Imawan, 2005). Artinya,
saat ini partai politik malah terperangkap dalam patronase, oligarki, politik
kekerabatan, feodalisme dan lain sebagainya.
Di sinilah masalah reformasi sistem politik kita. Esensi masalah
yang sudah sangat kompleks, bertambah semakin kompleks karena sikap dan
perilaku elit (terutama elit partai) yang bergerak tanpa pijakan pandangan
(stand point) atau dasar ideologi yang jelas. Masyarakat sering bertanya
mengenai partai politik, apakah partai itu merupakan sumber masalah atau
solusi? Tampaknya kedua-duanya benar. Sebab tidak mungkin mengobati
demokrasi yang sedang sakit ini tanpa mengobati partai politik yang sedang
sakit pula. Jalan terbaik mengobati partai politik supaya lebih sehat dan
demokratis yakni, menuntut partai-partai politik kita supaya tampil lebih
mengendepankan prinsip akuntabilitas dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
Hal ini tentu sangat menarik apabila dikontekskan dengan
pernyataan salah satu pengamat politik CSIS, J. Kristiadi (2008) yang
menyatakan “hajar partai politik dengan hujan kritik dan sindiran, supaya
mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan selama ini salah”.
Pernyataan ini tentu sangat menarik dan sangat kontekstual dengan
suasana politik kebatinan saat ini. Dalam jagad perpolitikan nasional
kita yang sampai saat ini masih keruh dengan perebutan kepentingan politik,
hukum dan perundang-undangan masih merupakan produk politik
kepentingan sempit dan sesaat, dan partai politik masih sekadar broker
politik yang memberlakukan politik sebagai dagangan yang dapat
diperjualbelikan untuk kepentingan yang sangat subyektif. Umar (2015, Mei)
Akuntabilitas Partai Politik, paparan yang disajikan dalam program
pemagangan mahasiswa Fisip Unud di Ombudsman RI perwakilan Bali.
1. Konsep Akuntabilitas
3
dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola
sumber-sumber daya publik dan menjawab hal-hal yang menyangkut
pertanggungjawabannya. Akuntabilitas erat kaitannya dengan instrumen
kegiatan pengontrolan terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan
publik dan menyampaikannya secara transparan kepada masyarakat
(Arifiyadi, 2008).
Dalam Deklarasi“ Tokyo”, petunjuk mengenai akuntabilitas publik,
menetapkan pengertian akuntabilitas yakni kewajiban-kewajiban dari
individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola
sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan supaya dapat menjawab
hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial dan
program. Hal ini menunjukkan bahwa akuntabilitas berkaitan erat dengan
pelaksanaan evaluasi (penilaian) standard pelaksanaan kegiatan, apakah
standar yang dibuat sudah tepat dengan situasi dan kondisi, jika dirasa sudah
tepat, manajemen memiliki tanggung jawab untuk mengimplementasikan
standard-standard tersebut.
4
suatu pola pertukaran atau hubungan tertentu antara dua aktor otonom, satu
diantaranya memiliki “otoritas lebi tinggi”.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Mulgan (1970) akuntabilitas
bersifat eksternal, dalam arti terkait dengan pengendalian yang dilakukan
oleh seseorang yang bukan dari lembaga yang harus bertanggungjawab.
Akuntabilitas mengacu kepada suatu pola interaksi tertentu; suatu pertukaran
sosial dua arah (upaya untuk mendapatkan jawaban, respon, koreksi dan lain
sebagainya). Akuntabilitas mengandaikan bahwa hak-hak dari otoritas yang
lebih tinggi, dalam arti bahwa mereka yang menuntut akuntabilitas memiliki
otoritas untuk meminta pertanggungjawaban dan mengenakan sanksi kepada
mereka yang diserahi tanggungjawab apabila tidak melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya.
5
Pada dasarnya, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan
pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja kepada pihak-pihak
yang berkepentingan (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Lembaga-
lembaga publik harus dapat menjadi subyek informasi dalam rangka
pemenuhan hak-hak publik yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi informasi,
dan hak untuk didengarkan aspirasinya.
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Harol Lasswel (1978),
yang menyatakan akuntabilitas berkaitan erat dengan stewardship
yaitu apa, mengapa, siapa, kemana, yang mana, dan bagaimana suatu
pertanggungjawaban dilaksanakan (Ucahjana, 2003). Konteks lain dari
perspektif good governance, biasanya akuntabilitas disamakan dengan
responsibilitas (responsibility) yang artinya pertanggungjawaban. Jadi
akuntabilitas dan resposibilitas saling berhubungan sebagai bagian dari
sistem yang menyeluruh. Dalam beberapa kajian disebutkan bahwa,
akuntabilitas juga mempunyai kaitan erat dengan responsibilitas.
Akuntabilitas didasarkan pada catatan/laporan tertulis sedangkan
responsibilitas didasarkan atas kebijaksanaan.
Akuntabilitas merupakan sifat umum dari hubungan otoritasi
asimetrik misalnya yang diawasi dengan pengawasnya, agen dengan
prinsipal, yang mewakili dengan yang diwakili, dan sebagainya. Selain itu,
kedua konsep tersebut sebetulnya juga mempunyai perbedaan fokus
dan cakupannya. Responsibilitas lebih bersifat internal sebagai
pertanggungjawaban bawahan kepada atasan yang telah memberikan
tugas dan wewenang, yang biasanya terbatas pada bidang keuangan saja,
sedangkan akuntabilitas lebih bersifat eksternal sebagai tuntutan
pertanggungjawaban dari masyarakat terhadap apa saja yang telah dilakukan
oleh para pejabat atau aparat.
Menurut (Pitkin, 1978), konsep akuntabilitas secara intrinsik
terkait dengan konsep representasi. Ini mengacu pada sejenis ikatan
tertentu yang dibangun oleh para politisi dengan warga negara dalam apa
yang dinamakan demokrasi representatif. Demokrasi representatif
menggabungkan suatu kerangka kelembagaan otorisasi kekuatan politik
dengan kerangka lain yang orientasinya memastikan adanya sikap tanggap
dari orang-orang yang diberi kekuasaan.
Selanjutnya Pitkin menjelaskan konsep akuntabilitas ini
mengacu kepada kemampuan untuk menjamin bahwa pejabat publik
6
bertanggungjawab terhadap perbuatannya, dalam arti bahwa mereka dipaksa
harus memberitahukan dan menjelaskan keputusan-keputusannya dan
akhirnya dikenai sanksi apabila tidak melaksanakan keputusan-
keputusannya itu.
Richard Mulgan (2000) menjelaskan, akuntabilitas itu bersifat
eksternal, dalam arti terkait dengan pengendalian yang dilakukan oleh
seseorang yang bukan bagian dari lembaga yang harus bertanggungjawab.
Akuntabilitas mengacu kepada suatu pola interaksi tertentu, suatu pertukaran
sosial dua arah (upaya untuk mendapatkan jawaban, respon, koreksi, dan
sebagainya). Maka ketika konsep ini terkontekstualisasi ke dalam
pemahaman konsep akuntabilitas partai politik jelas bahwa akuntabilitas erat
kaitannya dengan makna representasi. Representasi mengacu kepada suatu
pola hubungan tertentu yang menerapkan pendelegasian otoritas kepada
suatu badan perwakilan, dimana pihak yang diwakili memiliki otoritas tinggi
diatas mereka yang untuk sementara menerima titipan kekuasaannya (yang
mewakili).
7
sekarang, terungkapnya berita ini menunjukkan bahwa transparansi telah
masuk ke dunia politik di Indonesia.
Tanggung jawab masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap
lembaga-lembaga publik merupakan wujud dari terbentuknya partisipasi
masyarakat. Hal ini amat penting, karena akuntabilitas itu sendiri tidak hanya
diperlukan bagi lembaga saja akan tetapi juga bagi masyarakat. Akuntabilitas
bagi masyarakat seharusnya dibarengi dengan adanya sarana akses yang
sama bagi seluruh masyarakat. Selama ini peran partisipasi masyarakat
dalam akuntabilitas belum begitu mendapat perhatian dan dikaji secara
mendalam di Indonesia. Pentingnya partisipasi masyarakat akan memberikan
dampak terhadap kualitas masyarakat itu sendiri untuk kritis terhadap
lembaga-lembaga publik.
Untuk bisa melakukan kontrol terhadap lembaga-lembaga publik
terkait dengan akses dan saluran ini, masyarakat diberikan akses oleh
pihak lembaga. Jika saluran tersebut diberikan maka sarana tersebut bisa
dimanfaatkan untuk berperan serta dan melakukan kontrol. Akses dan
saluran ini perlu diadakan oleh pemerintah agar semua kelompok masyarakat
mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam memanfaatkan saluran
tersebut.
Kelembagaan, utamanya yang bersifat publik memerlukan
akuntabilitas dengan tujuan untuk melakukan perubahan-perubahan besar
terhadap kelembagaan pemerintah. Termasuk di dalamnya adalah melakukan
restrukturisasi dan reposisi kelembagaan birokrasi publik. Upaya seperti itu
ibaratnya sebagai upaya melakukan perjalanan yang amat melelahkan. Untuk
itu, agar supaya tidak melelahkan maka setiap upaya ke arah perubahan
birokrasi publik harus senantiasa dimulai dengan menjelaskan tujuan dari
perjalanan itu (the journey‟s destination).
Persoalannya kemudian adalah cita-cita mewujudkan pemerintahan
yang akuntabel di republik ini, rupanya tetap menjadi cerita yang tidak
berkesudahan. Banyak faktor yang menyebabkannya, beberapa diantaranya
adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme, tidak dipatuhinya hukum sehingga
law enforcement-nya sangat lemah, penggunaan kekuasaan yang melampaui
batas kewajaran, lemahnya kontrol mental para pemimpin, pejabat dan
pelaksana birokrasi pemerintahan.
8
Pemikiran Reflektif Mahasiswa;
Sejarah mencatat bahwa korupsi itu setua umur manusia, dan di dunia ini
tanpa korupsi tidak seramai sekarang ini. Di mana-mana ada korupsi baik
korupsi besar maupun korupsi kecil-kecilan, baik yang terungkap maupun
tersembunyi, dan baik yang dilakukan pejabat tinggi maupun pejabat
rendah di garis depan. Korupsi pada pemerintahan terjadi karena
kekuasaan yang besar tanpa diimbangi dengan pengawasan yang tegas. Dan
jika kekuasaan yang absolut telah terjadi, maka berlakulah adagium politik
“power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” (Lord
Acton 1834-1902).
9
selalu akuntabel akan menumbuhkan rasa percaya diri dan masyarakat pun
menaruh kepercayaan tinggi terhadap lembaga yang bersangkutan.
Pemaknaan penting dari sejumlah persoalan ini bila ditinjau dari perspektif
good governance adalah terkait dengan politik akuntabilitas dalam
kelembagaan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Namun maksud akhir
dari persoalan ini sebenarnya tertuju kepada partai politik sebagai bagian
yang menentukan kualitas kebijakan publik di negeri ini. Sebagaimana kita
ketahui kualitas demokrasi dan kebijakan publik di Indonesia masih
rendah. Hal itu tercermin dari negatifnya pandangan masyarakat terhadap
partai politik dan dewan perwakilan rakyat (Kompas, 6 Januari 2014).
10
Menurut survey yang dilakukan oleh Cirus Surveyor Group
(CSG) dan Indonesia Indikator, hampir semua partai politik di Indonesia
tidak menjalankan fungsinya. Padahal semestinya fungsi parpol seperti
penyampaian program, kaderisasi, keterbukaan sumber dana dan
pengeluarannya, hubungan politisi dengan konstituennya dan penyuluhan
demokrasi semestinya dilakukan. Akibatnya, demokrasi dan kebijakan publik
yang dihasilkan di Indonesia menjadi tidak berkualitas.
Partai politik seharusnya melakukan hal-hal tersebut, akan tetapi
betapa banyak parpol tidak melakukan hal itu, dan secara khusus
mengenai pendanaan sama sekali tidak terbuka, kalaupun dilakukan hanya
setengah hati, sekadar untuk memenuhi kewajiban, atau bahkan setelah
disengketakan baru dibuka. Hal itu terjadi karena partai politik
tidak mewajibkan akuntabilitas sebagai kewajiban dirinya sendiri untuk
membuka segala aktivitasnya terhadap konstituennya (Jawa Pos, 2014).
Sebenarnya, tuntutan untuk partai politik supaya terbuka
dihadapan publiknya telah diatur dalam beberapa undang-undang yang
mengatur badan atau lembaga yang sifatnya publik. Salah satu produk
undang-undang tersebut adalah UU no. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan
informasi publik. Undang-undang ini mendesakkan kepada lembaga yang
sifatnya publik untuk menyediakan akses informasi yang memadai. Undang-
undang memandang bahwa informasi sangat penting maka oleh karena itu,
kewajiban pertama yang harus dilakukan oleh partai politik sebagai lembaga
publik adalah membuka akses informasi kepada publik.
UU KIP No. 14 Tahun 2008 pasal 15 tentang informasi publik yang
wajib disediakan oleh partai politik dalam Undang-Undang ini adalah:
(a) asas dan tujuan; (b) program umum dan kegiatan partai politik; (c) nama
alamat dan susunan kepengurusan dan perubahannya; (d) pengelolaan dan
penggunaan dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; (e) mekanisme
pengambilan keputusan partai; (f) keputusan partai; (g) informasi lain yang
ditetapkan oleh undang-undang yang berkaitan dengan partai politik. (lihat
UU Parpol 2/2008 jo 2/2011) tentang Kewajiban Partai Politik Sebagai
Badan Publik.
Semua ketentuan di atas, seharusnya menjadi keutamaan yang
harus disampaikan oleh partai politik, terutama setelah pesta pemilihan
umum. Jika tidak, maka akan berlaku penghukuman bagi partai politik,
karena pemilihan umum merupakan mekanisme utama akuntabilitas politik
11
yang digunakan secara bebas oleh warga negara untuk menghukum atau
mendukung para politisi. Oleh karena itu, dengan selesainya pemilihan
umum merupakan waktu yang tepat bagi partai politik secara reguler
menyampaikan laporan akuntabilitasnya kepada warga negara untuk
mempertanggungjawabkan apa yang sudah dilakukan.
12
Kompas, Hendri F Isnaini, 11 Maret 2014). Dalam partai politik tuntutan
akuntabilitas telah diatur dalam undang-undang yang mengatur bahwa
setiap lembaga publik harus melaporkan segala perbuatannya yang
digunakannya. Dalam undang-undang ada beberapa komponen dalam hal
pendanaan yang harus diperhatikan dalam partai politik. Komponen-
komponen tersebut;
13
INSTRUMEN/ PENGATURAN KETERANGAN
KOMPONEN
Audit Laporan keuangan diaudit akuntan publik Pasal 39
14
Akses atas dokumen laporan keuangan setiap tahun hanya bisa
dilakukan di KPU Pusat dan itu pun tidak dalam bentuk publikasi resmi KPU
Pusat. Pihak yang berkepentingan harus datang dan meminta kepada KPU.
Dengan praktek seperti di atas, patut dikatakan bahwa Partai Politik
sebenarnya tidak transparan karena publik tidak dapat menggunakan
dokumen laporan yang diserahkan ke KPU sebagai alat untuk menguji
akuntabilitas dan integritas keuangan Partai Politik. Di dalam pengaturan
Undang-undang Partai Politik yang baru (UU No. 2 tahun 2008), Partai
Politik wajib melaporkan keuangannya kepada konstituen setiap tahun dan
dilakukan di setiap tingkatan hingga Kabupaten/Kota.
Kooptasi terhadap parpol akan menguatkan oligarki elite parpol
dan merusak sistem representasi dan demokratisasi internal. Di sisi lain,
rendahnya akuntabilitas akan memicu mengalirnya dana tidak jelas ke
parpol. Pasal 36 UU No. 2 tahun 2008 ayat (3) menyebutkan bahwa:
“Pengurus Partai Politik di setiap tingkat melakukan pencatatan atas semua
penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik”. Pengaturan ini terkait
dengan kewajiban pencatatan atas keuangan partai politik di setiap tingkat.
Pasal 37 dan Pasal 38 UU No. 2 tahun 2008 mewajibkan Partai Politik untuk
menyusun laporan setiap berakhirnya tahun anggaran dan membukanya
untuk diketahui publik. Penulisan pasalnya sebagai berikut: Pasal 37;
Pengurus Partai Politik di setiap tingkat organisasi menyusun laporan
pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan setelah tahun
anggaran berkenaan berakhir. Pasal 38; Hasil pemeriksaan laporan
pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 terbuka untuk diketahui masyarakat.
Dengan adanya pengaturan pada Pasal 36, Pasal 37 dan Pasal 38 di atas,
Partai Politik dapat dikatakan memiliki 3 kewajiban p enting, yaitu
mencakup; (1) Pencatatan, (2) Pelaporan, dan (3) Membuka laporan kepada
publik.
Alexander dalam bukunya Financing Politics (2003), mengemukakan
terdapat tiga bentuk dasar pengaturan keuangan dalam partai politik,
yaitu pertama, keterbukaan publik (public disclosure) untuk memberikan
berbagai informasi kepada publik. Memberikan keterbukaan publik adalah
memberikan penjelasan tentang pengaruh uang terhadap pejabat-pejabat
terpilih dan untuk membantu mengurangi ekses-ekses dan tindakan-
tindakan penyalahgunaan, dengan cara meningkatkan risiko-risiko politik
15
yang harus ditanggung oleh mereka yang melakukan praktek-praktek
penyelahgunaan anggaran.
Kedua, pembatasan-pembatasan pengeluaran (expenditure limits),
untuk mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pembengkakan
biaya, dan oleh adanya beberapa kandidat yang mempunyai lebih banyak
uang dari yang lainnya. Ketiga, pembatasan pemberian sumbangan
(contributions restriction), untuk mengatasi masalah-masalah yang
ditimbulkan oleh adanya kandidat-kandidat yang mengikatkan diri pada
kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam pemilu, hal yang secara substantif
penting adalah derajat legitimasi politik sebagai “free and fair democratic
yang election” berpengaruh pada tingkat kepercayaan publik atas hasil-hasil
pemilu, yang dengan sendirinya akan sangat rendah jika proses pemilihan
umum penuh dengan pelanggaran aturan-aturan dana kampanye.
Dahlan (2014), Koordinator Divisi Korupsi Politik dari Indonesian
Corruption Watch (ICW), menilai langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU)
mengatur pelaporan dana kampanye partai politik peserta pemilu lewat
peraturan KPU (KPU) No. 17/2013 tentang pedoman Pelaporan dana
Kampanye Peserta Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, merupakan langkah
maju.
Untuk lebih jelasnya pengaturan dana kampanye yang dikeluarkan
oleh KPU dapat dilihat dalam gambar berikut :
16
Sejauh ini Parpol merupakan lembaga yang paling tidak transparan
sistem keuangannya. Sistem Akuntabilitasnya tidak jelas, sehingga sangat
dimungkinkan adanya penyimpangan dalam pendanaannya. Dalam
Corruption Perception Index 2014, parpol bersama-sama dengan kepolisian,
pengadilan, kejaksaan dan parlemen disebut sebagai lembaga terkorup.
Dalam pendanaan kampanye misalnya, tidak ada parpol yang jujur
menyampaikan laporan keuangannya. Oleh karena itu, parpol harus didorong
untuk dipimpin oleh orang-orang yang berintegritas. Jika dibiarkan korupsi
politik akan terus menghancurkan bangsa ini.
17
masa depan bangsa dan negara dengan kontribusinya melahirkan pejabat
publik. Peran utama yang dimainkan adalah menyeleksi kandidat pejabat
publik. Tidak hanya itu, parpol juga berperan dan bertanggung jawab besar
dalam pendidikan politik warga negara supaya mereka bisa lebih “melek”
secara politik.
Meski begitu, diyakini atau tidak, semua peran ideal tersebut
belum mampu dijalankan secara konsekuen dan konsisten oleh
kebanyakan parpol. Selain karena tidak mudah, sejumlah kalangan juga
meyakini, untuk bisa mengarah ke kondisi ideal itu, partai-partai politik harus
terlebih dahulu merombak sistem dan manajemen mereka menjadi lebih
berparadigma modern.
Salah satu fungsi partai politik sebagai institusi politik formal adalah
menghasilkan calon-calon politisi dan pemimpin bangsa yang berkualitas.
Dengan menghasilkan kader-kader handal akan mendukung terciptanya
fungsi partai politik yang ideal.
Akan tetapi, hal tersebut baru sebatas fungsi yang sampai saat ini
masih sulit untuk dipenuhi. Menghasilkan calon-calon politisi yang
berkualitas tentunya merupakan tanggungjawab yang diemban dan harus
dilakukan agar tidak ditinggalkan oleh masyarakat (konstituen).
Salah satu cara yang harus dilakukan oleh partai politik adalah
dengan melakukan pengawasan dan pembinaan kepada anggota anggotanya
baik yang duduk di lembaga legislatif, eksekutif maupun yang masih duduk
sebagai kepengurusan di tingkat partai.
Kecenderungan umum yang terjadi partai politik hanya menciptakan
kader oligarkis karena partai politik terjebak pada kekuatan kapital. Partai
sangat tergantung pada kelompok atau individu yang menggunakan
kekuasaan material dalam penentuan kebijakan-kebijakan politik dan
pemilihan pejabat publik.
Peneliti senior Lembaga Survey Indonesia, Burhanuddin Muhtadi,
mengatakan kuatnya pengaruh oligarki kapital mampu mengendalikan sistem
demokrasi di Indonesia. Hal itu, terlihat dari makin kuatnya keputusan
internal partai, baik dalam pengambilan keputusan maupun pencalonan
kepala daerah yang ditentukan oleh segelintir elit politik saja.
Banyak elit politik yang “membarterkan” kewenangan yang mereka
18
miliki dengan suntikan dana dari kekuasaan kapital tertentu yang
mempunyai kepentingan ekonomi. Semakin mahal dan tidak transparannya
suatu sistem politik, semakin besar aktor politik itu bergantung kepada
oligarki kapital.
Akbar Tanjung, Ketua Dewan Pembina Partai Golkar mengaku
sulit untuk menyingkirkan kekuatan oligarki dari partai sebab banyaknya
kepentingan di partai politik. Kader-kader yang sudah berkiprah sekian lama
belum tentu memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin baru.
Selama lima belas tahun masa reformasi berjalan kita melihat
belum ada pola regenerasi kader yang sukses dilakukan oleh partai politik.
Menurut Bahtiar Effendi (2012), yang muncul pasti orang-orang itu saja,
seperti tahun 1998. Bahkan kalau ada pun tidak sedikit generasi muda yang
menjadi kader partai politik malah lebih dulu terjebak kasus korupsi.
Penilaian buruk tersebut tidak lepas dari berbagai kisah carut-
marutnya yang disuguhkan oleh sejumlah elit parpol, khususnya dalam
perebutan pucuk pimpinan. Secara umum saat ini hampir semua partai politik
tidak memberikan teladan yang baik dalam hal regenerasi kepemimpinan.
Salah satu fungsi partai politik dalam rangka menghasilkan kader yang
mumpuni, yakni dengan memperbaiki rekrutmen politik dan kaderisasi
kepemimpinan. Penjabaran ideal melakukan hal itu, partai perlu melakukan
hal-hal sebagai berikut; pertama, pembekalan ideologis dan praktis secara
rutin kepada kader, pelatihan rutin, mengajak kader turun ke bawah untuk
melihat persoalan dan berinteraksi dengan masyarakat. Kedua, menyiapkan
jenjang karier politik bagi kader. Ketiga alih generasi kepemimpinan.
19
praktis secara rutin kepada kader, pelatihan rutin, mengajak kader turun ke
bawah untuk melihat persoalan dan berinteraksi dengan masyarakat.
Kedua, menyiapkan jenjang karier politik bagi kader. Ketiga, alih generasi
kepemimpinan.
Satu hal yang harus dicapai oleh setiap partai politik dalam rangka
perbaikan perekrutan kader ini adalah menghasilkan politisi yang bersih.
Politisi bersih tentu menjadi dambaan bagi setiap partai politik. Politisi bersih
adalah politisi yang berkarakter dan berwatak terampil mengelola aspirasi
rakyat dan transparan baik dari segi kebijakan maupun penganggaran. Untuk
lebih jelasnya politisi bersih dapat diperkuat dengan membaca dana dan
rumah aspirasi anggota DPR. Usaha untuk menjadi politisi bersih telah
banyak diulas, Anda dapat mengunduh sumbernya melalui internet, misalnya
artikel 21 Feb. 2015. Penjelasan lebih lanjut pembahasan dari akuntabilitas
akan dibahas pada pertemuan di bab IV yaitu sinergitas keterbukaan dalam
pemilu dan pemilukada, yang memiliki korelasi erat terhadap upaya-upaya
Parpol menciptakan kader yang berkualitas.
20
2.2.2. Akuntabilitas Institusional
21
elemen, yaitu systemness, decisional autonomy, value infusion, dan
reification. Sementara itu, Netherlands Institute for Mutipartai Democracy
(IMD) merumuskan lima aspek pelembagaan partai yang saling terkait, yaitu
pengembangan demokrasi internal, keutuhan internal, identitas politik
(ideologi), ketangguhan organisasi, dan kapasitas berkampanye.
Perdebatan institusionalisasi yang seharusnya dilakuakan oleh
semua partai politik, lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Adaptability
Complexity
Autonomy
Huntington (1968) Coherence
Demokrasi internal
Keutuhan partai
Identitas politik (ideologi)
IMD (2006) Ketangguhan organisasi
Kapasitas kampanye
22
mempunyai kejelasan ideologis, partai sekarang bertarung hanya
mengutamakan kepentingan uang dan kekuasaan, sehingga berakibat pada
kegagalan menciptakan kaderisasi yang baik, padahal kaderisasi itu dibentuk
dalam kesatuan kelompok ideologis yang berlomba berpartisipasi lewat
kepartaian.
Individualisme dan pragmatisme telah menjadi ideologi sejumlah
parpol. Ideologi ini memunculkan partai elektoral, yaitu partai yang
sekadar menjadi mesin pemenang pemilu dengan berbasis kekuatan individu,
tugas, dan fungsi partai kerap diabaikan.
Masih jelas dalam ingatan ketika PPP dan Partai Bulan Bintang
kalah dalam perjuangan memasukkan Piagam Jakarta pada perubahan
UUD 1945 tahun 2002, isu agama menjadi tidak penting. Demikian pula saat
isu otonomi daerah diselesaikan secara hukum dengan keluarnya perundang-
undangan, isu itu tak muncul lagi. Isu ekonomi kerakyatan sempat
menjadi isu hangat dalam Pemilu 2009 dan menjadi pembeda di antara PDI-P
dan Partai Gerindra dengan Partai Demokrat. Kuskridho Ambardi dalam
bukunya; Mengungkap Politik Kartel, studi tentang sistem kepartaian di
Indonesia era reformasi (2009), menuliskan dari pemilu ke pemilu,
perbedaan ideologi antar-partai di Indonesia semakin kabur. Partai cenderung
melihat ideologi semakin tidak penting.
23
mengidentifikasikan sekaligus membedakan suatu partai dengan partai
lain. Dari sisi partai, hal ini juga memudahkan untuk positioning dan
mengemas bahasa komunikasi yang ingin disampaikan kepada target pemilih
mereka (lihat Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi
Politik di Era Demokrasi, Yayasan Obor Indonesia, 2008).
24
Keengganan membuka laporan keuangan itu disebabkan antara
lain, pertama, mereka tidak memahami bahwa mereka wajib transparan,
termasuk soal laporan keuangan. Kedua, tidak semua partai politik memiliki
sistem pengelolaan keuangan yang modern, jika dibuka laporan keuangannya
ke publik otomatis manajemen keuangan mereka masih seadanya, sehingga
mereka kurang berkenaan. Selain itu keengganan parpol untuk membuka
laporan keuangannya karena mereka merasa bahwa laporan keuangan adalah
“dapur” mereka yang tidak boleh diketahui oleh orang lain. Mereka
menganggap, kalau dapurnya dibuka, informasi tersebut akan menjadi
amunisi bagi kompetitor sesama partai politik untuk mengalahkan mereka
dalam pemilu maupun pilkada. Akan tetapi, mereka lupa bahwa partai politik
adalah badan publik yang menggunakan sumberdaya publik. Karena itu,
tentu publik berhak tahu tentang “dapur” parpol.
Masuknya isu akuntabilitas dalam program partai politik bukan
tanpa dasar. Sebab korupsi merupakan isu yang paling sensitif bagi citra
partai politik itu sendiri. Citra negatif parpol yang dikaitkan dengan faktor
korupsi menjadi penyebab paling efektif untuk menurunkan elektabilitas
partai politik. (lihat jajak pendapat kompas, Senin 11 Februari 2013; kasus
korupsi batu sandungan parpol).
25
Sementara itu dalam literatur bidang politik dan pemerintahan
disebutkan dua pendekatan utama dalam kajian akuntabilitas terkait
dengan kemampuan institusi politik dan pemerintahan. Pertama,
akuntabilitas terkait dengan kemampuan institusi politik dan pemerintahan
dalam merespon kebutuhan publik. Kedua, akuntabilitas berhubungan
dengan keteladanan prinsip-prinsip moral dan demokrasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, akuntabilitas bagi sebuah
lembaga publik seperti Partai Politik sangat penting. Menurut Kartika
(2013), akuntabilitas sangat penting. Pertama, menjelaskan alasan
didirikannya sebuah lembaga. Kedua, kejelasan visi dan misi. Ketiga, ada
atau tidaknya seperangkat aturan dasar dan aturan kerja sebagai pedoman
organisasi. Pedoman ini sekaligus dapat digunakan/ melihat/ mengukur
bagaimana prinsip, nilai, mekanisme, dan tata kelola organisasi diatur dan
dilaksanakan, serta bagaimana ketaatan pemimpin dan pelaksana
organisasi tersebut. Keempat, kejelasan tata kelola organisasi, seperti struktur
organisasi, kepemimpinan, kepemilikan dan penanggung jawab organisasi.
Kelima, kejelasan konstituen yang diwakili atau anggota yang diwakilinya.
Keenam, kemampuan organisasi membaca situasi dan masalah,
ketetapan dalam menentukan pilihan-pilihan strategi, program dan
kegiatan. Ketujuh, proses yang demokratis yang transparan dan
partisipatoris dalam menjalankan mekanisme organisasi, penyusunan
perencanaan dan implementasi program. Kedelapan, hasil nyata dan terukur
yang merupakan sumbangan organisasi dalam mewujudkan demokrasi,
keadilan, pemenuhan HAM, perbaikan situasi dan perbaikan kesejahteraan.
Kesembilan, adanya mekanisme keluhan atau gugatan, komunikasi dan
informasi. Kesepuluh, ketersediaan informasi publik terkait AD/ART,
kegiatan program dan capaian organisasi, serta sumber dan pengelolaan
organisasi.
26
KKNI merupakan sistem yang berdiri sendiri dan merupakan
jembatan antara sektor pendidikan dan pelatihan untuk membentuk SDM
nasional berkualitas dan bersertifikat melalui skema pendidikan formal, non
formal, in formal, pelatihan kerja atau pengalaman kerja. Jenjang kualifikasi
adalah tingkat capaian pembelajaran yang disepakati secara nasional,
disusun berdasarkan ukuran hasil pendidikan dan/atau pelatihan yang
diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman
kerja seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. KKNI terdiri dari 9
(sembilan) jenjang kualifikasi, dimulai dari kualifiaksi 1 sebagai
kualifiaksi terendah hingga kualifikasi 9 sebagai kualifikasi tertinggi.
27
“generalis”. Analoginya, salah seorang diantara kita atau kader sejak
mahasiswa ini suatu saat ada yang akan menjadi pemimpin. Jika
Seorang menjadi pemimpin maka kerap kali dia akan dihadapkan
kepada persoalan mengambil keputusan. Jadi dituntut harus mempelajari
semua aspek pengetahuan tidak hanya bidang atau latar belakang yang
ditekuninya akan tetapi penting pula untuk mempelari segala aspek
pengetahuan lain sehingga pada suatu saat menjadi pemimpin dia
akan memiliki banyak pilihan karena kemampuan yang dimilikinya.
Sehingga kalau kita memiliki banyak pilihan maka tidak seorang pun yang
dapat mempengaruhi pikiran kita.
Pentingnya kemampuan seseorang mahasiswa menjadi generalis
dapat dimanfaatkan pula dalam dunia politik. Dalam politik tidak selamanya
antara teori dan praktek dapat seiring sejalan. Sejalan dengan konteks buku
ajar ini tentang partai politik, banyak yang berpendapat bahwa dalam
dunia parpol tidak semua teori tentang kepartaian bisa dipakai dalam
partai politik. Praktisi partai politik lebih banyak memanfaatkan praktek yang
berjalan ketika ada kepentingan dan menguntungkan dirinya sendiri. Jika
soal kepentingan yang ada disana adalah perebutan jabatan dan
finansial/uang. Jadi simpulannya dalam dunia parpol, teori-teori yang didapat
dalam masa bangku kuliah senantiasa tidak sejalan dengan keadaan yang
real di lapangan. Lihat saja misalnya, partai politik banyak yang tidak
menjalankan fungsi-fungsi kepartaian. Hal itu tentu mengundang perhatian
khusus bagi mahasiswa untuk menimba pengalaman yang diperoleh
melalui aktivitas di luar jam formal perkualiahan. Tujuannya adalah untuk
mensinkronkan antara dunia realitas dengan dunia idealis tentang politik
dalam kepartaian kita.
Memiliki kompetensi sebaiknya dapat diadaptasikan dengan
lingkungannya. Dalam hal ini seseorang yang memiliki ilmu dan
pengetahuan tidak hanya menguasai secara teori, tetapi pengetahuan yang
dimiliki juga diperkaya dengan pengalaman praktek yang didapat di
lapangan. Analogi lain misalnya, memiliki ilmu seharusnya disalurkan
tetapi jika tidak maka ilmu tersebut ibarat air yang seharusnya mengalir akan
tetapi tersumbat sehingga mengakibatkan air tersebut membusuk di
tempatnya. Demikian pula dengan ilmu, ilmu perlu diadaptasikan dan
dikembangkan dengan metode penguasaan antara teori dan dunia praktek
28
(pengalaman empiris) agar memperoleh kompetensi yang handal dan dapat
bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
29
Tahun 2008 di atas menjadi kewajiban yang harus dibudayakan oleh
setiap partai politik. Ketentuan itu merupakan kewajiban bagi semua partai
politik untuk membuka akses informasi program dan laporan keuangannya
untuk diketahui oleh masyarakat luas (publik). Sebelumnya dalam pasal 39
UU Nomor 2 tahun 2011 dan pasal 38 UU nomor 2 tahun 2008 tentang partai
politik menyatakan, Pengelolaan keuangan partai politik dilakukan secara
transparan dan akuntabel. Selain itu, “hasil pemeri pertanggungjawaban
penerimaan dan pengeluaran keuangan partai politik terbuka untuk diketahui
masyarakat.
Dorongan transpransi terhadap partai politik ini bermaksud
menghindari “dana-dana siluman” yang digunakan oleh partai politik
dalam pemilu. Kita ketahui bahwa selama ini dalam partai politik uang lebih
berbicara ketimbang berbicara ideologi dan kualitas, sehingga sudah saatnya
partai politik membangun budaya demokrasi yang lebih akuntabel di depan
publiknya.
Cara terbaik untuk menghindarkan partai politik dari munculnya
“dana siluman” yakni, dengan mewajibkan partai politik membuka rekening
khusus untuk pendanaannya. Pembukaan rekening khusus utamanya dana
kampanye mendorong upaya transparansi kedalam partai politik untuk lebih
terbuka soal pendanaannya. Keharusan membuka dan menggunakan rekening
khusus serta membuat pembukuan penggunaan dana merupakan salah satu
upaya mendorong partai politik ke arah praktek good governance. Dengan
kewajiban membuka rekening khusus diharapkan akan ada akuntabilitas baik
dari partai politik sendiri maupun calon anggota DPR dan DPRD. Ini
merupakan upaya pengaturan dana partai politik supaya lebih transparan dan
akuntabel. Upaya ini dapat menciptakan persaingan yang adil dan sehat
diantara sesama partai politik.
Konsep tentang akuntabilitas secara intrinsik terkait dengan
konsep representasi. Ini mengacu kepada sejenis ikatan tertentu yang
dibangun oleh para politisi dengan warga negara dalam apa yang dinamakan
“demokrasi representatif” sebagai hasil dari pendelegasian kekuasaan yang
dilakukan secara periodik di suatu daerah pemilihan kepada para wakil
yang terpilih. Berbeda dengen rezim-rezim otoritarian dan bentuk-bentuk
demokrasi yang tidak representatif, demokrasi representatif menggabungkan
suatu kerangka kelembagaan otoritas kekuasaan politik dengan
kerangka lain yang berorientasi untuk memastikan adanya sikap
30
tanggap dan akuntabel dari orang-orang yang diberi kekuasaan (O‟Donel dan
De la Torre, 2000).
Warga negara sebagai pihak yang berkuasa dalam demokrasi secara
temporer mendelegasikan kekuasaan mereka kepada sekelompok wakil yang
ditunjuk melalui pemilihan umum. Sang wakil adalah seseorang yang
telah diberi wewenang untuk bertindak dengan independensi relatif dari
daerah pemilihannya. Karena demokrasi representatif menimbulkan adanya
kesenjangan fundamental antara wakil rakyat dan rakyatnya sendiri, maka
diperlukan adanya mekanisme kelembagaan untuk memastikan bahwa
keterpisahan semacam itu tidak menimbulkan pemerintahan yang tidak
tanggap atau ilegal. Persoalan pokok yang dibahas dalam konsep
akuntabilitas adalah bagaimana mengatur dan mengurusi kesenjangan antara
wakil rakyat dan rakyatnya sekaligus menjaga jarak antara otoritas politik
dan warga negara yang menjadi ciri dalam hubungan representasi (Pitkin,
1978).
Contoh Soal
31
Soal Latihan
1. Bagaimana anda dapat memahami sebuah partai politik itu dapat
memenuhi tuntutan akuntabilitas?
2. Bagaimana anda dapat menunjukkan ciri-ciri parpol yang dapat
memenuhi tuntutan akuntabilitas parpol?.
Pedoman penilaian di kelas (0,5 1, 1,5 dan 2) dan di tempat magang
dengan penilaian dari tim pendamping kemitraan (0-2) setiap harinya
sesuai dengan indikator dalam lembar Penilaian Magang Mahasiswa.
Di kelas pada pertemuan pertama: memahami apa itu akuntabilitas
dan peran akuntabilitas dalam kerangka menuju good governance
partai politik. dan ditambah dengan beberapa artikel dan jurnal yang
sudah dijelaskan.
Di kelas pada pertemuan kedua: mencoba membuktikan teori di
lapangan dengan melakukan cross check di kantor pemagangan,
kemudian memahami lebih dalam pentingnya akuntabilitas dalam
organisasi partai politik.
Tim Pendamping :
1. Kepala Perwakilan Ombudsman Bali beserta asistennya
2. Direktur BCW
3. Ketua Bawaslu Provinsi Bali
Tim Pendamping;
1. Muhammad Ali Azhar, S.IP., M.A
2. Bandiyah, S.Fil,. M.A
Daftar Pustaka ;
Alexander, E Herbert., (2003). Financing politics, Jogjakarta: Narasi.
32
32
Bastian, I., (2007). Akuntansi untuk LSM dan Partai Politik, Yogyakarta:
penerbit Erlangga.
-------------., (2007). Akuntansi Yayasan dan lembaga Publik,
Yogyakarta: Penerbit Erlangga.
Dieter H, dkk., (2000). Partai, Kebijakan & Demokrasi. Yogyakarta,
Pustaka Pelajar.
Gaffar, Afan, dkk., (1997). Diktat Kuliah negara dan Civil Society.
Yogyakarta 1997.
Gonggong. A (2000). Nasionalisme : Perburuan Tanpa Tepi, Bunga rampai
tulisan para pakar tentang nasionalisme. Badan Informasi dan
Komunikasi Nasionak Jakarta, 2000.
Haris., S., (2007). Partai & Parlemen Lokal Era Transisi Demokrasi
di Indonesia. Jakarta, LIPI.
Imawan, R., Warna Koalisi Pemerintahan Hasil pemilu 1999, Makalah
dalam seminar. Sehari pada Program Studi MA., Universitas 17
Agustus 1945 Surabaya, 18 April 1999.
Rosidi,. A, Dkk., (2013). Reinventing Government, Demokrasi dan
Reformasi pelayanan Publik. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Santoso. J. (2006). Jalan Tikus Menuju kekuasaan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Ucahjana, Onong E., (2003). Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi,Bandung;
Citra Aditya Bakti.
Raba. M., (2006), Akuntabilitas, Konsep dan Inplementasi. Malang; UMM
Press.
Stunbury, W.T., (2003). Accountability to Citizen in The Westminster
Model of Government: More Myth than Reality, Frazer institute
Digital Publication, Canada.
Schiavo-Campo, S., and Tomasi, D,., (1999). Managing Government
expenditure, Asia Development Bank, Manila.
Turner, M and Hulme, David., (1997). Governance, Administrasi, and
Development: Making The State Work. London : MacMillan
Press Ltd.
33
Referensi lain;
34
BAB II
PENGANTAR
Pada tahun 1966, Duverger pertama kali menulis maha karya yang
membicarakan asal muasal kelembagaan partai politik. Ditegaskannya
bahwa awal adanya benih kelembagaan politik ditemukan di dalam faksi–
faksi yang memperebutkan kekuasaan di kota-kota merdeka Italia masa
Renaisans, hal mana ditandai lahirnya ide membentuk komite yang
mempersiapkan pemilihan pemimpin kota. Lahirnya partai kader dan partai
massa sebagai organisasi sosial yang membentuk opini publik dalam negara
demokrasi modern. Barulah kemudian nama partai politik mengemuka.
Pada tahun 1850 tidak ada satu negara pun di dunia (kecuali
Amerika), yang sudah mengenal partai politik modern, serta adanya aliran –
aliran opini, club-club rakyat, masyarakat – masyarakat filsafat dan
35
kelompok parlementer. Pada era tersebut partai dalam arti sesungguhnya
belum ada, dan pada tahun 1950 partai – partai sudah berfungsi di negara
yang beradab (Duverger dalam Gaffar, 1981).
Dalam konteks kekinian, jika menelaah tentang peranan partai
politik di Indonesia, maka partai politik di Indonesia belum mampu
menjadikan negara ini lebih baik secara substantif. Partai politik di Indonesia
hanya beorientasi pada akumulasi ekonomi dan kekuasaan ketimbang
kemaslahatan dan kebajikan. Partai politik justru memproduksi para bandit
koruptor, komprador dan predator masyarakat yang seharusnya Parpol
berjuang meningkatkan kesejahteraan penduduk dan tidak segan-segan
menjadi agen perubahan bagi masyarakat. Bukan menjadi “poli-tikus” yaitu
banyak tikus dalam ajang perebutan kekuasaan, dan melupakan amanat
rakyat. Parpol harus menjadi institusi yang kuat untuk memajukan negara.
Apa yang kita saksikan hingga saat ini Parpol masih menjadi alat tokoh
tertentu untuk sekadar meraih dan mempertahankan kekuasaan semata.
“Kepemimpinan personal” lebih melembaga ketimbang format relasi yang
melembaga dengan konstituen.
Berikut ini gambaran ketergantungan kepemimpinan formal
parpol-parpol di Indonesia.
No. Partai politik Nama Ketua Usia Keterangan
Umum
36
No. Partai politik Nama Ketua Usia Keterangan
Umum
M Romahurmuziy 41 Ketua Umum PPP 2014 -1019
8. PPP (Versi Mukhtamar Surabaya
37
ide Rapimnas partai Golkar agar pemerintah tidak campur tangan atau partai
lain tidak sinis (misalnya salah satu partai mengatakan Golkar sebagai janda
kaya). Benarkah duduk bersama kembali antara pimpinan yang saling kisruh
merupakan pengobatan virus oligarki kepemimpinan? Berkaca pada
pembentukan partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang berasal dari kekuatan
ekonomi Surya Paloh, layakkah lembaga partai beradu kekuatan ekonomi
untuk membagi kue kekuasaan di pemerintahan? Secara konsep, kelebihan
dari prinsip pemisahan kekuasaan legislatif (dipilih dulu) dilanjutkan
dengan kekuasaan eksekutif dalam institusional presidensialisme adalah
menegakkan system checks and balances yaitu sistem kekuasaan yang
saling menilai dan menyeimbangkan antara kedua cabang kekuasaan
pemerintahan tersebut. Mengutip Linz, justru sistem ini menurut Haris
(2014:52-53) menimbulkan masalah “legitimasi demokratis ganda (dual
democratic legitimacy)” antara Presiden dan Parlemen akibat satu dan
lainnya saling mengklaim yang berakibat “deadlock” dalam relasi yang
konfliktual. Problematika Pemilu langsung presiden oleh rakyat setelah
amandemen ke-4 Undang Undang Dasar pada tahun 2002 itu menghasilkan
presiden minoritas (minority president) yang berujung pada keputusan
Presiden terdahulu (Wahid, Megawati dan Yudhoyono) membentuk kabinet
yang bersifat koalisi Parpol. Koalisi ini menjadi perangkap sekaligus
“penjara” bagi Presiden terdahulu yaitu SBY.
Pemilu legislatif dan pemilihan umum presiden (eksekutif) era
reformasi memakan biaya sangat tinggi dengan pertanggung-jawaban rendah.
Keduanya hanyalah sebatas memainkan prosedur karena demokrasi
substansial telah melemah. Lahirnya partai-partai politik menjelang
Pemilu secara kelembagaan perlu dikaji, utamanya partai yang akuntabel
diharapkan bisa berfungsi memperbaiki situasi politik (internal atau
eksternal). Seperti yang dilansir oleh Imansyah (2012) sesuai anjuran Romli
(2008), agar dikembalikannya fungsi lembaga Parpol diantaranya yaitu 1)
memediasi kepentingan rakyat kepada pemerintah dan mediasi sebaliknya,
2) mencalonkan kandidat politisi, membantu pengorganisasian pemerintahan,
3) mendorong akuntabilitas publik, 4) melaksanakan pendidikan politik
dan 5) mengatur konflik. Fungsi ini tertera dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2008 yang menyebutkan lima fungsi Partai Politik.
38
Kelima fungsi Partai Politik ini menjadi sarana pendidikan politik
rakyat, penciptaan iklim harmoni sosial dan kesejahteraan rakyat, perumus
kebijakan Negara, partisipasi politik dan sarana rekrutmen suatu jabatan
politik dalam mekanisme demokrasi berkesetaraan dan berkeadilan gender.
Parpol sebagai institusi sosial yang berada di bawah Kementerian dalam
negeri RI dibentuk dalam suasana kebatinan yang revolutif, bukan evolutif
seperti di dunia Barat. Sebagai contoh, tahun 2004 di Indonesia lahir
partai-partai dari segala penjuru negeri. Kebanyakan partai politik ini lahir
prematur dan terlalu dini untuk berkiprah ketika tatanan sistem politik
Indonesia sebagai negara-bangsa belum benar-benar stabil. Firmanzah
menyatakan politik kontemporer di Indonesia sedang mengalami fase transisi
kalau bukan dapat dikatakan masa keterbukaan yang kebablasan akibat
demokrasi coba-coba (2008: 5) yang memperjelas persaingan politik dan
lemahnya transparansi dan pertanggung-jawaban partai kepada
konstituennya.
Hal ini sangat berbeda apabila kita bandingkan dengan partai
politik yang ada di negara lain khususnya di negara-negara Barat. Salah satu
perbedaan mendasar adalah pembentukan partai politik. Di dunia Barat
partai politik dibentuk atas kesadaran identitas nasional dan legitimasi
institusi pemerintahan yang telah mengakar kuat sejak ratusan tahun lalu.
Artinya, partai politik di dunia Barat (negara Amerika, Australia dan
banyak Negara Eropa) dibentuk sebagai salah satu alternatif instrumen untuk
regenerasi pemerintahan dalam iklim demokratis. Juga memberi bentuk
kepemimpinan Negara sesuai ideologi, idealisme dan arah kepentingan
politik jangka panjang. Berbeda dengan Indonesia, Undang undang No 2
tahun 1999 tentang partai politik dan UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu,
landasan kelembagaan Parpol disetir oleh strukturalisme perpolitikan yang
dikondisikan oleh struktur dan pranata partai politik dengan nuansa
kebebasan berpolitik yang melahirkan aktor politik yang bisa lompat pagar
ke partai lainnya.
Reformasi 1998 muncul sebagai akibat dari kontradiksi intern pada
tatanan pemerintahan Orde Baru. Zuryani (2014) menggugat saat itu elite
negara Indonesia yang mengandalkan manipulasi kekuasaan, korupsi, kolusi
dan nepotisme daripada kekuatan kreativitas dan keterampilan manajerial
sebagai dasar kuasa ekonominya. Hal ini, seusai puluhan tahun
sukses meraih pembangunan ekonomi yang relatif baik pada akhirnya
39
mengganggu efisiensi ekonomi makro dan menjadikan penguasa Orde
Baru sebagai rekan yang kurang handal dari kapitalisme internasional.
Contoh kontradiksi intern adalah gagalnya Golongan Karya membentuk
idealisme partai walaupun mottonya adalah “suara Golkar adalah suara
rakyat”. Rakyat menilai gagalnya ketum Partai Golkar menarik simpati
korban lumpur Lapindo karena meminta pemerintah (baca: anggota DPR RI)
ikut campur dalam penyelesaian kasus lumpur Lapindo.
Haris menyatakan sistem pemilu perwakilan berimbang
memunculkan para legislator dan terutama pimpinan partai yang memiliki
“loyalitas ganda, yakni loyalitas kepada Parpol yang mengusulkannya di satu
pihak, dan loyalitas kepada konstituen yang memilihnya di lain pihak”
(2014: 14). Sebagai contoh, entah bagaimana kasus lumpur Lapindo telah
diterima sebagai bencana nasional yang penyelesaiannya tidak tuntas. Itu
pertanda selama lima belas tahun masa reformasi di Indonesia bergulir, tidak
satu pun partai politik berhasil merawat sistem politik yang sehat dan
demokratis. Hal itu ditandai dengan seluruh partai politik yang tumbuh di era
reformasi ini setelah mengikuti beberapa kali pemilu, nampak struktur
organisasinya selalu berantakan, (kompas, 3/12/12). Kegagalan utama
partai-partai politik di negeri ini dalam merawat demokrasi tampak dari
minatnya yang hanya melayani kepentingan elite, sehingga rakyat malah
tidak mengenal lembaga yang mewakilinya. Apalagi program kerja yang
diusung Parpol, visi-misi, perubahan struktur kelembagaan dan kebijakan
haluan serta langkah kerjanya, menunjukkan transparansi serta
pertanggungjawaban kepada publik yang sangat buram dan pragmatis.
Problem lain, partai politik hanya memainkan peran elektoral
semata, sementara mekanisme organisasi terabaikan, (Kompas, 4/3/13).
Dengan demikian mentalitas pemimpin partai telah membajak demokrasi
yang sudah berjalan selama lima belas tahun ini. Mereka mengatasnamakan
kepemimpinan publik padahal mereka bekerja hanya untuk kepentingannya
pribadi. Partai politik adalah lembaga yang suka atau tidak suka
merupakan instrumen utama dalam politik untuk melakukan
pemeliharaan, pengelolaan, dan pembaharuan lanskap politik. Belum
satupun parpol yang maju tahun 2014 mengindikasikan
kelembagaan yang membantu Pemilu sebagai sistem pemilihan wakil
rakyat yang memuaskan rakyat.
40
Oleh karena itu, barangkali yang pertama kali dibenahi adalah
aturan main atas munculnya partai politik. Bagaimana manajemen konflik
intern dalam Parpol dapat membentuk iklim demokrasi di Indonesia. Tentu
kita masih ingat ketika pemilu tahun 1999 dan pemilu 2004 hingga muncul
sekitar 200an partai politik yang bersaing, 153 partai dibatalkan sesuai UU
Pemilu, 58 tidak memenuhi syarat dan 26 lainnya tidak lolos verifikasi
sehingga hanya 24 partai yang dinyatakan memenuhi syarat (Haris, 2014:
25). Begitu kompleksnya akibat dari reformasi dan pelaksanaan UU No 2
tahun 1999 itu sampai-sampai menyisakan pekerjaan rumah bagaimana
menyederhanakan partai politik yang sudah terlanjur banyak. Bukan hanya
proses pencatatan Parpol pada Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU)
pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kementerian
Dalam Negeri serta melibatkan KPU (Komisi Pemilihan Umum) maupun
Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) namun bagaimana
memungkinkan lahirnya kelembagaan partai politik yang akuntabel (melalui
proses akuntabilitas publik) dan transparansi kelembagaan partai politik.
Sebagian besar parpol juga dinilai tidak memiliki basis sosial
ekonomi yang jelas dan spesifik. Pertama, dari sisi komitmen, parpol
dipandang hanya bekerja menjelang pemilu dan tidur panjang diantara dua
pemilu, sehingga tidak terbangun format relasi yang melembaga dengan
konstituen. Kedua, karena lemahnya komitmen ideologi maka problem relasi
dengan konstituen pun tidak dapat dihindarkan terjadi. Kepentingan (interest)
dalam bentuk program kerja terpadu belum menjadi dasar relasi antara parpol
dan konstituen. Cara-cara transaksional menjamur sehingga elit parpol
cenderung mengingkari konstituen dengan cara transaksional, yakni
membeli dukungan dan memanipulasi sentimen kultural, terutama agama,
untuk memobilisasi dukungan.
Pasca pemerintahan Orde Baru, problem moralitas pun masih
melilit parpol. Kalau pada masa lalu parpol merupakan wadah untuk
mengabdi kepada bangsa dan negara, tetapi saat ini parpol dipandang
menjadi sarana untuk mengambil kepentingan tertentu (bisnis kekuasaan).
Itulah tantangan parpol di era reformasi sekarang. Parpol semestinya tidak
menjadi alat tokoh tertentu yang selama ini sangat mencolok. Gelaran akbar
parpol-parpol sebelum dan sesudah pemilu seolah sekadar menggaris
bawahi fenomena personalisasi kelembagaan (Kompas, Senin 18 Mei
2015). Berdasarkan kenyataan di atas, penilaian bahwa parpol belum
melakukan kaderisasi dalam rangka melahirkan pemimpin di negara ini
menjadi kenyataan. Tidak dapat disangkal, cukup banyak kader-kader
41
muda yang menonjol untuk calon pemimpin bangsa semestinya diberi
kesempatan untuk berkarya, tetapi tidak mendapatkan tempat yang tepat
oleh sebagian pemimpin yang tua. Artinya partai tidak melakukan kaderisasi
yang maksimal.
Dalam batas tertentu, hal yang demikian mengkonfirmasi
lemahnya kelembagaan parpol dan sebaliknya meneguhkan dan menguatnya
ketergantungan pada sosok sebagai sentralnya. Selanjutnya parpol pun
membentuk wajah yang tidak lagi sekadar oligarkis, tetapi personal
terpusat pada sosok elit puncaknya. Fenomena ini diperkuat dengan pola
hubungan neopatrimonialistik, kalau bukan feodalistik dalam bentuk lain.
Sindiran ekstremnya, “parpol-parpol bak kerajaan-kerajaan feodal masa
lalu dalam modifikasinya masa kini”.
Demokrasi memang masih diberi tempat di parpol, tetapi kerap
sempit dan marjinal belaka. Yang lazim dalam proses internal parpol
adalah pola mobilisasi, bukan membiarkan partisipasi berkembang secara
demokratis. Para kader non elit sebagai kelompok yang bukan penentu
keputusan, sekadar dimobilisasi oleh elit-elit penentu, bukan dilibatkan
dalam proses pengambilan keputusan secara otonom. Demokrasi terbatas,
itulah yang dominan menyembul dalam tubuh parpol.
Hazan dan Rahat dalam democracy within Parties (2010) mencatat
bahwa demokrasi internal sesungguhnya merupakan isu yang lazim saja
menyertai pergulatan internal parpol. Pergulatan itu merupakan bagian dari
dinamika dalam tata aturan yang demokratis. Elit-elit parpol yang bergulat
itu pada akhirnya akan ada pemenang yang lantas memiliki legitimasi dalam
penentuan seleksi kandidat disegala pemilu.
Memang demokrasi internal parpol berbeda konteksnya dengan
demokrasi antar partai, namun terdapat tuntutan partisipasi inklusif dalam
parpol. Partisipasi inklusif dalam pengambilan keputusan itu mencerminkan
kemandirian parpol dalam proses pengambilan keputusan (decision
autonomy). Menurut Randal dan Svasan (2002), hal itu merupakan salah
satu dimensi penting dalam pelembagaan parpol, selain penamaan nilai-nilai
(value infusion), kesisteman (systemness), dan otentitas
42
citra Parpol (reification). Diatas itu semua, faktor kepemimpinan sangat
menentukan, kemana parpol hendak dibangun, kearah kelembagaan yang
meminjam tesis Acemoglu dan Robinson (2012), yaitu kelembagaan yang
inklusif atau ekstraktif.
Lembaga inklusif adalah konsep ideologi demokratis bagi semua
pihak, tidak membatasi partisipasi, memberi kesempatan yang sama bagi
setiap kader Parpol untuk meraih karier organisasi. Sementara ekstraktif
berarti semua sumber daya digunakan untuk menopang sosok sentral elit
berkuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Dalam lingkungan
kelembagaan Parpol yang ekstraktif secara jangka pendek eksistensi Parpol
mungkin masih bisa terjaga, tetapi sangat berisiko jangka panjangnya. Parpol
yang terlalu tergantung sekadar pada sosok, bukan sistem, rawan perpecahan
dikemudian hari.
43
kita bandingkan dengan partai politik yang ada di negara lain
khususnya di negara-negara Barat. Salah satu perbedaan mendasar adalah
pembentukan partai politik yang kemudian menjadi sah. Di dunia Barat
partai politik dibentuk atas kesadaran identitas nasional dan legitimasi
institusi pemerintahan yang telah mengakar kuat sejak ratusan tahun lalu.
Artinya, partai politik di dunia Barat dibentuk sebagai salah satu
alternatif instrumen untuk regenerasi pemerintahan.
Parahnya lagi selama tujuh belas tahun masa reformasi ini bergulir,
tidak satu pun partai politik berhasil merawat sistem politik yang sehat dan
demokratis bak remaja menuju dewasa muda, perawatan fisik tak setara
dengan perawatan jiwa. Hal itu ditandai dengan seluruh partai politik yang
tumbuh di era reformasi ini setelah mengikuti beberapa kali pemilu nampak
struktur organisasinya masih suka berantakan, (Kompas, 3/12/12). Partai
politik hanya melayani kepentingan elite, sehingga rakyat malah tidak
mengenal lembaga yang mewakilinya. Masalah lain, partai politik hanya
memainkan peran elektoral semata, sementara mekanisme organisasi
terabaikan, (Kompas, 4/3/13). Tongkat regenerasi kepemimpinan yang
dipersiapkan pimpinan Parpol tak jauh dari nepotisme misalnya ibu kepada
putrinya atau pimpinan partai kepada putranya.
Oleh karena itu, barangkali yang pertama kali dibenahi adalah
pembenaran atas munculnya partai politik baru. Tentu kita masih ingat
ketika pemilu tahun 1999 ratusan partai politik muncul. Begitu banyaknya
partai politik sampai-sampai menyisakan pekerjaan rumah bagaimana
menyederhanakan partai politik yang sudah terlanjur banyak.
Dengan kembali melakukan peninjauan kepada regulasi UU
nomor 2 tahun 2011, itu merupakan salah satu langkah kebijakan yang tepat.
Pasal 8 ayat 2 a,b, c, dan d menyatakan Partai politik yang tidak memenuhi
ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya boleh mundur atau
partai politik baru dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi
persyaratan berikut:
(1) Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang
Partai Politik;
1. Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
2. Memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah
kabupaten/kota di provinsi yangbersangkutan;
44
3. Memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah
kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; Ketentuan
tersebut, diperkuat dalam UU nomor 2 tahun 2012 perubahan UU
nomor 8 tahun 2008 tentang partai politik. Ketentuan-ketentuan
tersebut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 3 ayat (1) menyatakan;
Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen Hukum dan
HAM untuk menjadi badan hukum. (2) Untuk menjadi badan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus
mempunyai:
a. Akta notaris pendirian Partai Politik;
b. Nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah
dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
c. Kantor tetap;
d. Kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh persen) dari
jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah
kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan,
dan 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada
setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan; dan
e. Memiliki rekening atas nama Partai Politik.
45
Kemudian pasal 19 ayat 3 dan 4 masing-masing menyatakan;
Kepengurusan Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di
ibu kota kabupaten/kota. Dalam hal kepengurusan Partai Politik
dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain, kedudukan
kepengurusannya disesuaikan dengan wilayah yang bersangkutan.
46
Di antara partai nasionalis, Partai Gerindra mungkin partai yang
lebih jelas memposisikan diri sebagai pejuang ekonomi kerakyatan, terutama
kesejahteraan petani, sebagaimana terjemahan dari ideologi Pancasila.
Menurut mantan ketua umumnya Suhardi, ideologi Gerindra selama ini
terlihat dalam kampanye-kampanye-nya dengan memperkenalkan ideologi
lewat iklan dan tayangan televisi. Ini bagian dari strategi implementasi
ideologi partai ini di permukaan.
PKS adalah wakil partai berideologi Islam yang lebih jelas
pembedanya. Partai ”PKS dakwah” adalah pengejawantahan ideologi
partai yang diwujudkan dalam bentuk desain besar, platform, dan rencana
aksi yang menyeluruh di berbagai bidang kehidupan. “Kami berdakwah di
parlemen dan sektor publik,” kata Presiden PKS Anis Matta.
47
partai politik tumbuh dari dan bersama rakyat, dan Ketiga, menunjukkan
bahwa partai politik adalah agen transformasi dalam masyarakat.
Di titik ini, manifestasi menyatunya partai politik dengan masyarakat
berlangsung dalam proses politik sehari-hari (every day life politics). Ini
dimaksudkan agar realitas politik tidak dipahami terbatas dalam pengertian
formal dan prosedural, seperti aktivitas politik di parlemen maupun kegiatan-
kegiatan simbolikyang dilakukan semasa kampanye sepanjang momentum
pemilu/pilkada (lokal maupun nasional)
Pada dasarnya semua fungsi dari partai politik akan dapat berjalan
dengan baik dan memiliki pijakan yang kuat sebagai representasi masyarakat
jika partai eksis pada wajah ini. Dalam ketiga tugas kader yang telah
disebutkan di atas, partai pada wajah lokal atau akar rumput ini dituntut
mengembangkan fungsi agregasi kepentingan, pendidikan politik, sosialisasi
politik, rekrutmen anggota, kaderisasi anggota, penggalangan dana
masyarakat, panggilan suara untuk perubahan kebijakan internal organisasi,
penggalangan dukungan suara dalam pemilu, pengggalangan dukungan
terhadap kebijakan yang diajukan partai dalam pemerintahan, dan lain
sebagainya. Intinya berbagai fungsi ini adalah ujung tombak bagi
keberhasilan partai untuk mengoptimalkan eksistensinya di berbagai wilayah
kerakyatan dan kenegaraan.
Citra baik ataupun citra buruk partai politik di mata masyarakat
sangat ditentukan oleh perilaku kader dan aktivitas partai di tingkat ini.
Keberhasilan partai politik merupakan sebuah modal penting bagi
perkembangan karier kadernya. Sebaliknya, citra buruk yang ditampilkan
kader-kader partai di tingkat akar rumput akan merusak kepercayaan
masyarakat kepada partainya.
48
namun juga sekaligus pendukung dan koordinat bagi aktivitas partai di
tingkat pusat maupun pada tingkat lokal. Hanya saja, tekanan pada
seberapa peran yang akan dibebankan pada partai di pusat akan juga terkait
dengan kecenderungan tipe partai yang bersangkutan, sungguhpun ini bukan
berarti bahwa dinamisnya aktivitas pada wajah tertentu serta merta
menegasikan dinamika pada wajah yang lain.
Berbagai fungsi yang dijalankan oleh partai pada tingkat lokal bisa
didukung dan dikoordinir dalam satu garis kebijakan bersama melalui
partai di tingkat pusat. Dalam hal fungsi penggalangan dana, misalnya bukan
hanya menjadi tugas dari partai di tingkat lokal, namun juga seringkali
(terlebih untuk partai yang cenderung bertipe kader dengan afiliasi “cath
all”) lebih efektif jika menjadi bagian dari kerja-kerja partai di pusat, contoh
lainnya adalah dalam hal penetapan standarisasi rekrutmen atau kaderisasi
yang juga bisa dijalankan oleh partai di pusat sebagai panduan bagi partai-
partai di tingkat lokal.
49
di semua arena menjadi sangat penting. Upaya membangun citra dan
memperoleh kepercayaan masyarakat ini harus ditempatkan sebagai
bentuk investasi jangka panjang bagi partai politik. Kepercayaan tidak bisa
muncul dalam satu kali kegiatan membagikan sembako, nasi bungkus atau
kaos pada masa kampanye. Tetapi kepercayaan akan tumbuh seiring
dengan semakin besarnya perhatian dan sensitivitas partai politik dan
kader-kadernya dalam memahami dan berempati terhadap persoalan-
persoalan keseharian di masyarakat dan mengupayakan perubahan yang
lebih berkeadilan melalui berbagai agenda kebijakan. Ini bukan perkara
mudah, terlebih karena relasi dari ketiga wajah ini justru juga sering
menjadi penyebab konflik.
50
- Bab Pembukaan atau Mukadimah
- Bab I Nama, Waktu, Kedudukan dan Wilayah
- Bab II Kedaulatan Parpol (dapat juga Jatidiri dan Watak)
- Bab III Azas dan Sifat Parpol (dapat juga Visi dan Misi)
- Bab IV Tujuan, Tugas Pokok dan Fungsi
- Bab V Doktrin, Ikrar dan Paradigma (atau Lambang, Bendera,
Mars dst)
- Bab VI Keanggotaan dan Kader
- Bab VII Kewajiban dan Hak Anggota
- Bab VIII Struktur Organisasi, Wewenang dan Kewajiban
(Pimpinan/Organisasi)
- Bab IX Badan dan Lembaga (bisa juga Dewan Penasehat dan
Dewan Pakar)
- Bab X Organisasi Sayap
- Bab XI Dewan Pertimbangan
- Bab XII Fraksi
- Bab XIII Hubungan dan Kerjasama
- Bab XIV Musyawarah dan Rapat-rapat (bisa juga Kongres,
Musyawarah dst)
- Bab XV Kuorum dan Pengambilan Keputusan
- Bab XVI Keuangan
- Bab XVII Penyelesaian Perselisihan Hukum (Mahkamah Partai)
- Bab XVIII Pembubaran Partai
- Bab XIX Peraturan Peralihan (dan/atau Ketentuan Perubahan)
- Bab XX Penutup
Anggaran Dasar tercantum dalam Akta Notaris Partai Politik dan
isinya dapat ditambahkan atau dikurangi atas hasil Musyawarah
Nasional/Munas atau Kongres Partai Politik. Sementara ART/Aturan Rumah
Tangga sifatnya lebih menjabarkan dan mengatur gagasan dan formulasi AD
sehingga dapat dilaksanakan dalam koridor lembaga/Parpol. Tuangan
AD/ART setelah mendapat persetujuan yang kuorum dari semua peserta
Kongres dan Munas akan dibawa kepada Notaris publik untuk disahkan.
Hanya AD/ART yang sah dari Parpol yang berlaku dan menjadi acuan
lembaga suatu partai politik.
Kasus Parpol yang menarik di tahun 2015 ini adalah dikotomi
Partai Golkar kubu ARB dan kubu AL seperti yang telah dibahas di atas.
51
Kedua kubu ini tidak bisa menggunakan nama Parpol Golkar secara
bersamaan. Hanya dengan stempel pengesahan Kementrian Hukum dan
HAM salah satu Parpol Golkar kubu tertentu dianggap sah. Masyarakat
awam dan generasi muda hendaknya cerdas mencermati gerak langkah partai
politik. Sejarah perpolitikan di Indonesia telah melahirkan PDIP
akibat perpecahan partai PDI pada era Orde Baru. PDIP yang
merupakan kelanjutan ideologi Marhaenisme (rakyat dalam konotasi
petani wong cilik dari mantan Presiden Sukarno) secara jelas
memperlihatkan keberlanjutan dinasti Sukarno, yaitu mantan presiden
Megawati Soekarnoputri.
PDIP dalam Pemilu 2014 melalui figur Megawati telah memfasilitasi
kampanye presiden terpilih Joko Widodo. Fasilitas nonfisik dari Parpol jelas
merupakan sisa ideologi yang mendasari sejarah kekuasaan pemerintahan
Indonesia. Pada saat kandidat eksekutif telah mendapat dukungan rakyat,
maka partai besar bergerilya memfasilitasi calon pemimpin Negara tersebut.
Prabowo Subianto adalah mantan menantu presiden Suharto dan karir serta
penentangannya terhadap ideologi orde baru menjadi semacam daya jualnya
sebagai calon presiden dalam pemilu 2014 lalu. Artinya fasilitas nonfisik
menjadi arus besar sistem kepartaian di Indonesia selain fasilitas fisik yang
telah ditentukan oleh Undang-undang Parpol. Misalnya sarana gedung
kantor (pusat, cabang dan ranting), prasarana kepegawaian dan pembiayaan
rutin (kas dari iuran anggota) serta fasilitas pendukung lainnya untuk
mempertegas wajah partai politik dengan visi, misi dan ideologinya
serta nafas koalisinya
Pada masa Orde Baru, hanya ada tiga partai politik (Parpol)
Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi
Indonesia yang dikenal sebagai sistem tripartai yang melanggengkan
kekuasaan partai Golongan Karya (tepatnya Soeharto) selama 32 tahun.
Tahun 1999, partai politik PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan)
menang dengan Megawati Sukarnopoetri naik sebagai presiden Indonesia
menggantikan Gus Dur yang lengser/dilengserkan, dan saat itu merupakan
permulaan sistem Pemilu multipartai. Terdapat 48 Parpol termasuk 4
Parpol dari provinsi Aceh Nagroe Darussalam bersaing dalam Pemilu
1999.
52
Pemilu Tahun 2004, melalui pemilu langsung, Partai Demokrat
telah membawa Susilo Bambang Yudoyono/SBY sebagai presiden ke lima
walaupun Parpol pengumpul suara terbanyak waktu itu adalah Partai Golkar
yang melambungkan nama Muhammad Jusuf Kalla sebagai wakil presiden.
Pada Pemilu 2009 SBY terpilih kembali menjadi presiden ke enam yang
didampingi oleh Boediono menjadi wakil presiden RI hingga tahun 2014.
Pemilu presiden ke tujuh tahun 2014 telah memilih Joko Widodo (PDIP)
yang didampingi kembali oleh Muhammad Jusuf Kalla (Golkar) sebagai
wakil presiden. Kelembagaan partai telah menjadi kue besar kekuasaan
dalam pemerintahan era reformasi karena rakyat telah dipersilahkan memilih
partai dan kadernya yang handal melakukan marketing politik tanpa batas
atau kampanye berkualitas.
53
terhadap hasil pengadilan Negara (banding) yang menghidupkan SK
Munas Riau. Yaitu kembali kepada keputusan Munas sebelum sengketa
berlangsung. Kubu Ancol dapat mendaftarkan partai Golkar mengikuti
Pilkada serentak sehingga terbitnya surat legalitas Kementerian dalam
Negeri. Pemerintah tidak boleh mencampuri sahnya kelembagaan Partai
Golkar dengan keputusan pengadilan/ PTUN yang dilaporkan kubu Munas
Bali. Parpol yang sah itu secara administratif berpangkal pada Undang-
undang yang memutuskan secara hukum yang berkekuatan hukum tetap.
Sehingga partai Golkar yang sah mendaftar untuk Pilkada serentak tanggal
26 Juli 2015 harus berkekuatan hukum tetap.
54
dengan negara, maka keanggotaan partai yang berasal dari rakyat merupakan
sebuah kebutuhan primer. Secara umum, Bahtiar Efendi dkk, yang mengutip
Bendix, menyatakan bahwa pada hakekatnya kebutuhan manusia, yaitu
keamanan dan kemakmuran (2012:1). Apa yang dikatakan Bendix tersebut
adalah benar adanya. Kebutuhan akan keamanan dan kemakmuran itu secara
individual berbeda pencapaiannya apabila dibandingkan dengan kebutuhan
keamanan dan kemakmuran dalam kelompok, terlebih-lebih lagi dengan
kelompok yang lebih besar, yaitu negara. Jika keamanan dan kemakmuran
individual tersebut dapat dicapai oleh kreativitas dan aktivitas individu, dan
sesuai dengan penafsiran individu tersebut terhadap persepsi keamanan dan
kemakmurannya, tidak demikian halnya dengan apa yang dibutuhkan oleh
kelompok dan negara.
Partai politik merupakan elemen kunci yang menjadi jembatan
bagi rakyat dan berbagai kelompok untuk memperjuangkan keamanan dan
kemakmuran dalam konteks kenegaraan. Membentuk apa yangdicita- citakan
tersebut memerlukan formulasi tertentu yang tepat, keputusan dan kebijakan
sesuai dengan apa yang dipersepsikan oleh masyarakat. Persepsi ini penting
diungkap karena tidak semua kebutuhan keamanan dan kesejahteraan itu
sama di setiap elemen masyarakat karena struktur sosial yang berbeda-beda.
Mereka yang berasal dari wilayah yang kering dan tandus, rasa kesejahteraan
itu akan cukup terpenuhi apabila mereka mendapatkan air yang layak. Tetapi
bagi mereka yang sudah hidup di perkotaan dengan biasa hidup di gedung-
gedung mewah, standar kesejahteraan itu akan berbeda lagi. Mereka mungkin
memerlukan cara kredit bank yang lebih murah, birokrasi imigrasi yang lebih
mudah serta kualitas pesawat yang lebih bagus. Intinya kebutuhan itu
berbeda.
Partai politik sebagai sebuah lembaga politik akan menjadi jalan
tengah dengan cara memformulasikan berbagai standar kebutuhan
tersebut sesuai dengan wilayahnya. Itulah yang menjadi alasan, mengapa
partai politik harus mempunyai anggota yang sebanyak-banyaknya dari
berbagai wilayah di suatu negara. Bagi partai politik di Indonesia,
tantangan untuk mendapatkan anggota itu cukup besar. Yang pertama
adalah keragaman suku dan budaya bangsa. Keragaman bangsa Indonesia,
sesungguhnya bersifat kompleks, melingkar seperti spiral.
Tidak saja keragaman itu terlihat dari agama, tetapi juga dari suku,
budaya, bahasa dan juga lingkungan. Dari berbagai keragaman tersebut,
55
masing-masing akan mempunyai irisan antara satu dengan yang lain.
Seorang yang bersuku Melayu misalnya, akan bisa beragama Islam, tetapi
lebih banyaktinggal dalam budaya Riau dengan lingkungaan yang miskin.
Tetapi pada pihak lain, suku Melayu pun ada di Kalimantan yang
beragama Kristen dengan kondisi lingkungan yang kaya. Demikian juga
orang Jawa Tengger, mempunyai agama Hindu tetapi telah tinggal lama di
Surabaya. Tantangan untuk merekrut anggota dari beragam suku
seperti ini menuntut partai politik harus lentur mensosialisasikan nilai- nilai
partai yang ada. Nilai partai tersebut tidak lain adalah ideologi yang
diusung seperti yang ada pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga. Inilah yang dimaksud dengan tantangan pertama, yakni
tantangan ideologis.
Kedua, tantangan itu terletak pada geografis. Seringkali diabaikan
bahwa geografis bukan sebagai tantangan bagi keanggotaan partai politik.
Padahal, justru geografis ini menjadi faktor menentukan bagi partai
politik, baik sebagai perekrutan anggota maupun keberhasilan partai politik
tersebut. Di Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan masyarakat yang
sedang berkembang, faktor utama kemajuan terletak pada
geografis/kewilayahan, wawasan regionalnya/Wareg (Zuryani, 2015).
Merekrut anggota dari wilayah yang mudah dicapai, misalnya di
perkotaan atau desa-desa (apalagi di Jawa dan Bali), jelas merupakan
perkara mudah. Tidak terlalu banyak tantangan yang dihadapi partai
politik. Menggambarkan kondisi wilayah di daerah perkotaan seperti itu,
cukup gampang. Akan tetapi manakala harus mencari anggota di wilayah
pegunungan atau di pelosok (apalagi di luar Jawa dan Bali), ini akan
menjadi tantangan tersendiri. Menarik minat masyarakat gunung atau
pelosok untuk menjadi anggota sulitnya bukan main. Kesulitan ini
bisa dilihat dari beberapa hal. Dari sisi pendidikan, kebanyakan
masyarakat di daerah pelosok dan pegunungan di Indonesia, pendidikannya
masih rendah. Akibatnya mereka tidak mengerti dan minder apabila
berhadapan dengan partai politik. Keminderan inilah yang membuat sulit
bagi mereka untuk masuk partai, apalagi secara sadar untuk datang menjadi
anggota.
Selanjutnya, apabila dilihat dari sarana dan prasarana. Jalan
raya yang masih belum bagus, kondisi geografis yang curam atau
kesulitan mencapai posisi, bukan saja membuat penduduk wilayah itu
56
sulit keluar, akan tetapi juga membuat para aparat partai malas menjajagi
wilayah sulit seperti ini. Dilihat dari sisi pekerjaan, masyarakat yang ada
di pegunungan (misalnya dalam kasus Bali), kebanyakan kosentrasi
bekerja di sektor perladangan. Pekerjaan ini memerlukan tenaga fisik yang
kuat dan stabil serta terkosentrasi. Untuk mengakumulasi hal itu,
diperlukan energi yang banyak sehingga membuat mereka letih di sore hari.
Sangat sayang kalau misalnya tenaga yang begitu dibutuhkan tersebut
kemudian terbuang percuma hanya karena mengurusi partai politik. Belum
lagi berbagai aktivitas yang harus dilakukan sebagai anggota partai politik.
Sebagian besar masyarakat pegunungan memaksimalkan energinya
untuk bekerja seperti itu, baik untuk kebutuhan fisiknya maupun kemudian
untuk tabungan mereka. Sampai saat ini, partai politik di Indonesia masih
belum siap untuk menggaji aparatnya, apalagi anggota-anggotanya, untuk
dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Kehidupan partai politik
sebagai penopang kehidupan, akan lebih mudah dilakukan oleh elit-
elitnya yang ada di perkotaan, bahkan yang mempunyai pendidikan yang
lebih tinggi, melalui lobi-lobi yang dapat dikembangkan menjadi hubungan
bisnis.
Padahal, kalau dilihat dari sukses tidaknya partai politik sebagai
jembatan antara rakyat dengan negara, justru keberhasilan merekrut orang-
orang gunung dan pelosok itulah yang akan memberikan prestasi tersendiri
bagi partai politik. Prestasi ini akan sangat berhubungan dengan informasi
dan kemudian mengembangkan pembangunan yang didapatkan berdasarkan
informasi tersebut. Di Indonesia, yang negaranya masih berkembang,
kemiskinan dan ketidaksentuhan oleh pembangunan justru banyak terjadi di
wilayah pegunungan dan pelosok tersebut. Hanya melalui orang-orang
setempatlah dapat ditarik bebagai informasi tentang kondisi wilayahnya.
Melalui orang-orang yang mempunyai kemampuan ujaran
yang bagus, informasi tersebut dapat diolah dengan baik sebagai produk
politik. Pada pihak partai, hanya dengan kunjungan ke wilayah itulah
kemudian dapat dibuat susunan fakta otentik yang dapat
dipertanggungjawabkan di parlemen untuk membuat usulan pembangunan.
Partai politik sebagai jembatan penghubung antara rakyat dengan
pemerintah justru memerlukan informasi seperti itu untuk
membuktikan keadaan di lapangan. Bagi partai, memberikan informasi
57
kepada pemerintah saja tentang keterhambatan pembangunan sudah bagus,
apalagi mampu memberikan arahan dan konsep kebijakan untuk membenahi
pembangunan tersebut. Jadi, tantangan kedua yang harus dihadapi partai
politik untuk merekrut anggota adalah faktor geografis.
Ketiga, adalah masalah dana. Sampai saat ini masih belum jelas dari
mana dana yang didapatkan oleh partai politik untuk menghidupinya.
Pemerintah memang memberikan dana, akan tetapi terbatas dan dipandang
sangat tidak mencukupi untuk menghidupi partai tersebut. Padahal, pada sisi
lain partai politik masih belum dibolehkan untuk mendirikan
perusahan sendiri. Menjadi anggota partai politik tentu memerlukan biaya
untuk menjalankan kegiatannya. Disamping untuk membina kader yang
memang menjadi keharusan partai politik, juga untuk administrasi
kegiatan. Kecenderungan yang terlihat sekarang adalah bahwa banyak
aktivis-aktivis partai tersebut yang berasal dari orang yang belum
mempunyai penghasilan yang bagus, terutama bagi mereka yang bergerak
pada lapisan paling bawah, mereka masuk partai politik sebagian karena
status mempunyai keterikatan dengan lembaga (yaitu partai politik), tetapi
pekerjaan masih belum mapan, bahkan menganggur. Orang-orang seperti ini
memerlukan dana, paling tidak untuk bergerak pada tataran paling bawah.
Tidak adanya dana tersebut akan membuat pendukung pada basis paling
bawah ini mudah lepas. Artinya menjadi anggota tidak tetap Parpol bagi
penganggur menjadi satu pilihan tersendiri.
Tantangan keempat dalam perekrutan anggota, adalah tentang
keseriusan anggota tersebut. Artinya mereka benar-benar bergabung
karena memang cocok dengan ideologi partai serta cita-cita dari
partai tersebut. Dalam beberapa kasus, banyak anggota yang muncul
dengan motivasi-motivasi tertentu. Misalnya dengan kedudukan yang
memungkinkan mereka menjadi anggota parlemen. Akan tetapi, apabila
mereka tidak mendapatkan hal itu, secara mudah akan keluar dari partai
bersangkutan.
Tidak dapat juga dikesampingkan bahwa tantangan merekrut
anggota partai itu tergantung pada sistem yang berlaku di suatu negara.
Secara sederhana, klasifikasi partai politik dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu sistem partai tunggal, dwi partai dan multi partai. Miriam Budiardjo
(1985: 167) menyebutkan bahwa partai tunggal dapat saja dikatakan
sebagai menyangkal diri sendiri karena pada umumnya sistem itu terdiri
58
dari lebih dari satu unsur. Akan tetapi pada beberapa negara, terutama di
negara komunis, sistem partai ini hidup. Selanjutnya juga dikatakan bahwa
sistem dua partai yang dimaksudkan sesungguhnya ada lebih dari satu partai,
akan tetapi karena dua partai paling dominan dibanding lainnya, disebut
dengan sistem dua partai. Misalnya di Amerika Serikat.
Sistem multipartai adalah mekanisme keberadaan partai yang
lebih dari satu entitas di dalam satu negara. Artinya negara bersangkutan
mengijinkan adanya lebih dari satu partai untuk hidup dan berkompetisi di
dalam negeri. Budiarjo menyebukan bahwa berbagai suku dan budaya serta
keragaman yang ada di satu negara, akan terserap melalui berbagai partai
yang ada (Budiardjo, 1985, 169). Setelah sempat menjadi negara dengan tiga
partai di masa Orde Baru, setelah reformasi Indonesia kembali menganut
sistem multi partai. Ada belasan partai yang diperbolehkan ikut pada
pemilihan umum di Indonesia saat ini. Sistem inilah yang secara sosial paling
pantas diwujudkan oleh pemerintah Indonesia karena, seperti yang dikatakan
oleh Budiardjo, berfungsi untuk menyerap berbagai nilai yang ada di dalam
keragaman budaya Indonesia.
Terhadap keanggotaan partai politik, sistem multipartai ini
merupakan tantangan tersendiri bagi partai politik, terutama partai-partai
yang baru berdiri dan mempunyai nilai nasionalis murni tanpa adanya
segmen keagamaan di dalam nilai partai itu. Partai yang mempunyai ideologi
nasionalis seperti ini akan berebut mencari suara untuk kebutuhan politiknya.
Diibaratkan seperti kegiatan berdagang, mereka harus membuat seni
tersendiri di tengah pedagang lainnya untuk memperebutkan pembeli.
Banyaknya partai politik, dengan berbagai nilai yang ada, membuat
masyarakat secara mudah mengidentifikasikan dirinya dengan partai
bersangkutan sesuai dengan nilai-nilai yang ada. Di Indonesia, partai
yang menganut asas nasionalis, mencoba meraih anggota melalui tokoh
kharismatis yang sudah dikenal oleh masyarakat. Atau partai tersebut
memang telah mengakar sejak masa lalu secara birokratis sehingga mudah
mendapatkan pendukung melalui birokrasi partainya.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan misalnya, mengandalkan dua
hal untuk mencari anggota, yaitu kharisma Soekarno dan sejarah partai
tersebut. Inilah yang kemudian bergabung menjadi satu sehingga partai ini
menjadi besar. Dalam konteks ini, seperti yang dikatakan oleh Carl
Frederich, partai politik itu dapat dikatakan sebagai sekelompok manusia
59
yang terorganisasi dengan tujuan merebut kekuasaan bagi pemimpinnya yang
akanmemberikan kegunaan materi dan ide kepada anggota-anggotanya
(Setiadi, 2013: 40).
Soekarno merupakan proklamator Indonesia yang mempunyai
kemampuan mempengaruhi massa melalui pidatonya. Rekaman-rekaman
pidatonya itu masih diperdengarkan dan kemudian tulisan mengenai
Soekarno beserta segala mitologi yang mengikutinya masih tersebar di
masyarakat. Hal inilah yang kemudian diturunkan kepada generasi Soekarno,
yaitu Megawati Soekarnoputri. Sesungguhnya presiden pertama ini
mempunyai keturunan banyak. Akan tetapi hanya Megawati yang kemudian
menurunkan kharisma tersebut karena ada beberapa hal menyangkut
kesejarahan partai ini.
Di samping juga merupakan turunan dari Partai Nasional Indonesia
yang didirikan Soekarno di jaman penjajahan Belanda, fenomena
keteraniayaan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, tidak hanya terhadap
partai politik ini tetapi juga kepada Megawati Soekarnoputri dan trah
Soekarno yang lain. Megawati kemudian yang secara berani mengambil alih
partai ini pada saat sedang tertekan, yang seolah-olah menantang rezim Orde
Baru. Jadi, antara sejarah dan kharisma itu luluh ke dalam diri Megawati
Sukarnoputri yang membuat rakyat serentak merapatkan diri kepada PDI
Perjuangan. Rakyat Indonesia terkenal melankolis dan penyayang, menaruh
simpati kepada pihak-pihak yang menderita. Megawati Sukarnoputri dan PDI
Perjungan mengalami penderitaan ini sekaligus perlu disayangi karena
keturunan langsung sang „founding father‟ Negara Republik Indonesia. Itulah
yang membuat partai ini secara mudah mendapatkan massa pasca reformasi.
Pada Partai Golkar lain lagi penjelasannya. Partai ini mempunyai
nilai-nilai perjuangan nasionalis, tanpa harus melekatkan agama ke dalam
ideologi partai. Di dalam perjuangannya, partai ini sebenarnya tumbuh dari
kepentingan politik pengikut Soeharto yang kemudian berhasil memegang
kekuasaan selama Orde Baru (32 tahun). Dari awalnya bernama Sekretariat
Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang menghimpun berbagai
golongan di masyarakat, selama lebih dari tiga dekade partai ini mampu
menguasai politik Indonesia, dengan Jenderal Soeharto sebagai inti
sektornya. Selama tiga dekade itulah kemudian partai ini tumbuh,
diperkuat dan kemudian kuat sebagai akibat cabang-cabang organisasinya
60
tumbuh sampai ke wilayah paling kecil di negara, yaitu desa. Sebutan cabang
paling rendah yang menyusup ke desa itu adalah anak ranting. Di samping
itu, pada saat kekuasaan Presiden Soeharto, pejabat- pejabat pemerintahan
yang memegang posisi penting dalam birokrasi juga menjadi pengurus
Golkar. Inilah yang terjadi selama tiga dekade yang membuat internalisasi
dari nilai-nilai Golkar tersebut yang melekat pada para pendukungnya.
Analisis Kasus
61
Sosialisasi itu adalah bagaimana partai mampu melindungi keberadaan
berbagai budaya di Indonesia itu menjadi satu kesatuan kepentingan
nasional. Akan tetapi keruntuhan dari partai ini baru mulai kelihatan
setelah dua windu reformasi. Tanda-tanda perpecahan Golkar baru
kelihatan di tahun 2014 karena ada persaingan dari anggota-anggota
elitnya. Dilihat dari sisi keanggotaan, partai ini justru goyang oleh
kepentingan-kepentingan anggota yang demikian berbeda tajam.
Lebih banyak bahayanya lagi kalau perbedaan kepentingan tersebut
justru terjadi pada kelompok-kelompok elitnya. Tahun 2015 ini yang
paling kelihatan perbedaan itu adalah pada Agung Laksono dan
Aburizal Bakrie, yang masing-masing memimpin kelompok yang
berkongres di Jakarta dan kelompok yang berkongres di Bali.
Perbedaan mendasar dari kedua kelompok itu adalah tentang kekuasaan.
Lebih jelasnya, cara pandang kedua kelompok terhadap keterlibatan
partai dalam kekuasaan politik di Indonesia. Agung Laksono menyetujui
bergabung dengan pemerintahan Joko Widodo dan Aburizal Bakrie
menolaknya.
62
pendorong utama tumbuhnya Partai Demokrat, tetapi kharisma yang dimiliki
presiden inilah yang mengikat partai ini dan kemudian membuatnya menjadi
besar. Kekuasaan menjadi faktor antara yang juga mempunyai pengaruh
terhadap pertumbuhan partai.
Pada pemilu tahun 2014, tiga partai politik yang mempunyai
nilai-nilai nasionalis membuat kejutan tersendiri. Ketiga partai itu adalah
Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), Partai Nasdem (Nasional Demokrat),
dan Hanura (Hati Nurani Rakyat) dengan mampu menduduki posisi sepuluh
besar dalam pemilu. Padahal, ketiga partai tersebut boleh dikatakan baru,
dengan nilai nasionalis yang tidak mempunyai basis keagamaan. Akan
tetapi, keberhasilan dari partai tersebut untuk menarik pengikut (anggota)
ditentukan oleh campuran antara karisma, kerja keras, media dan citra
kesungguhan. Partai Gerindra misalnya, tidak dapat dilepaskan dari citra
karisma Prabowo Subianto sebagai pemimpinnya. Tidak dapat dipungkiri,
partai ini juga mendapat dukungan dari kelompok-kelompok tentara yang
menjadi rekan dari Prabowo Subianto, mantan Komandan Jendral Kopassus
itu. Dari sini kemudian terlihat bahwa etos profesional dan berani melekat
pada partai ini.
Penampilan energik Prabowo mampu menarik tokoh-tokoh muda
untuk duduk di jajaran partai, baik dari pusat maupun daerah. Ada
kemungkinan juga bahwa keberhasilan dari partai yang dikomandani oleh
mantan tentara ini, merupakan refleksi rakyat atas kekecewaan
kepemimpinan sipil. Setelah Orde Baru, pemerintahan Indonesia seluruhnya
dipimpin oleh sipil. Munculnya SBY jadi Presiden diantaranya juga faktor
militer ini, meski dalam perjalanan kepemimpinannya masyarakat sering
dipertontonkan sikap keraguannya. Dalam konteks demikian, keberhasilan
Partai Gerindra merebut sebagian hati masyarakat Indonesia, dipengrauhi
oleh faktor kemiliteran tersebut. Artinya masyarakat menginginkan
kedisiplinan dalam menjalankan pemerintahan, kekuatan dalam menghadapi
gangguan luar serta tangguh dalam menghadapi tantangan di dalam. Pada
Partai Gerindra, hal itu berpadu dengan sosok Prabowo yang bersema-ngat
dan masih memiliki jiwa muda sehingga akhirnya mampu duduk dalam
sepuluh besar pada pemilihan umum legislatif tahun 2014.
Partai Hanura sesungguhnya mempunyai nilai ideologi yang mirip
dengan apa yang diperjuangkan Gerindra. Partai ini didirikan dan dibangun
63
oleh Jendral TNI Wiranto, yang sama-sama berasal dari Angkatan Darat.
Akan tetapi, perbedaannya adalah bahwa pada diri Hanura ada nuansa
Orde Baru dan Soeharto yang melekat. Jendral Wiranto adalah ajudan
Presiden Soeharto sebelum menjadi Panglima Angkatan Bersenjata
pada jaman Soeharto. Ia adalah orang kepercayaannya. Ketika jalannya
reformasi ternyata tidak memberikan keberhasilan signifikan kepada
masyarakat, ada semacam kerinduan kepada era Soeharto yang
pemerintahannya stabil, yang dengan stabilitas tersebut, pembangunan
ekonomi dapat dilakukan dengan baik.
Ungkapan-ungkapan di belakang bak truk yang menyuarakan lebih
enak jaman Soeharto merupakan bukti dari adanya kerinduan kepada
jaman tersebut. Karena itu, keberhasilan dari partai ini masuk dalam
jajaran sepuluh besar, tidak dapat dilepaskan oleh kerinduan masyarakat akan
situasi jaman Soeharto. Gabungan antara disiplin, profesional dan kerinduan
dengan jaman Soeharto, menjadi kekuatan Partai Hanura dalam menghadapi
pemilu 2014 sehingga mampu duduk pada posisi sepuluh besar. Dengan
nilai-nilai itulah mereka mampu menarik keanggotaannya di seluruh
Indonesia.Tentu saja faktor Angkatan Bersenjata juga ikut di dalamnya.
Partai Nasdem mempunyai perbedaan dibandingkan dengan dua
partai sebelumnya. Di bawah kepemimpinan Surya Paloh partai ini mampu
menembus sepuluh besar. Dengan demikian anggotanya juga banyak di
seluruh Indonesia. Dengan basis nilai yang juga sama nasionalisme, kekuatan
partai ini bertumpu kepada sosok pemimpin dengan usaha yang digeluti.
Surya paloh dikenal sebagai orang berani dan lincah. Pada jaman Orde Baru
misalnya, ia dengan berani mendirikan koran “Prioritas”, yang mempunyai
perbedaan pendapat dengan Soeharto. Koran itu juga menjadi pelopor
sebagai koran berwarna di Indonesia. Ini menandakan keseriusan dari
Surya Paloh yang dicitrakan demikian juga kepada perjuangannya
di partai politik. Ia juga merupakan orang yang aktif di Partai
Golkar sebelumnya sehingga kemungkinan besar membawa serta anak
buahnya dan pengikutnya di Partai Golkar ke partai yang baru dia
dirikan. Tetapi yang paling membuat partai ini mudah mencari
pengikut dan anggota adalah bisnis media yang digerakkan Surya Paloh.
Dengan bendera Media Indonesia dan Metro TV segala pemberitaan
tentang dinamika aktivitas Partai Nasdem dapat dimunculkan ke publik.
64
Internalisasi kegiatan yang dilakukan oleh Partai Nasdem secara lebih
mudah terjadi dengan penyebaran berita dari kegiatan partai Nasdem.
Metro TV termasuk media yang mempunyai target untuk golongan kelas
menengah sehingga Partai nasdem juga dapat masuk ke segmen masyarakat
kelas ini. Kelas menengah mempunyai pengaruh cukup intens kepada
masyarakat, baik melalui gaya, status, maupun penampilannya. Seorang artis,
meski ia datang dari kelas menengah, keberpihakannya kepada salah satu
partai politik, akan mempengaruhi sikap baik golongan kelas atas, menengah
maupun bawah di masyarakat.
Partai politik yang berbasiskan agama, terutama Islam, boleh
dikatakan tidak terlalu kesulitan dalam mengumpulkan anggota. Sebanyak 80
persen dari masyarakat Indonesia beragama Islam, yang secara geografis
mudah ditangani oleh partai politik. Sebagian besar masyarakat Indonesia
yang beragama Islam tersebut berada di Pulau Jawa. Lokasi yang berada di
pulau Jawa, relatif memudahkan karena infrastruktur untuk bergerak bagi
partai politik telah komplit dibanding wilayah lainnya. Jalan raya sudah ada
dan berfungsi relatif baik. Penduduk banyak terkosentrasi di kota. Meski
demikian, tetap ada jalan menuju desa sehingga memudahkan untuk
mendapatkan dukungan. Para penggiat partai akan lebih mudah
mengenalkan nilai-nilai yang dianut oleh partai bersangkutan. Dengan
kondisi inilah kemudian, di Indonesia sejak jaman penjajahan kolonial ada
kelompok (organisasi agama), dan itu terus berlanjut sampai jaman
reformasi sekarang. Meskipun ada lebih dari tiga partai yang berbasiskan
agama Islam, secara mudah mereka mendapatkan anggota signifikan dan
mempunyai wakil di parlemen pusat. Kelemahan dari partai yang berbasiskan
agama Islam ini adalah, mereka terpecah dalam aliran- aliran (bagian dari
nilai) yang kemudian membuat satu komunitas agama Islam, saling terbagi.
Misalnya antara PKB dengan PPP yang masing- masing berhasil
memperebutkan komunitas Nahdlatul Ulama.
65
provinsi Bali dalam pemagangan mahasiswa/i memperlihatkan prosedur
pemilihan umum dengan membawa mahasiswa ke maket RUMAH PEMILU.
Akuntabilitas prosedural PEMILU yang ditampilkan pada maket telah
memperlihatkan kekuatan partai politik di Bali membutuhkan pertanggung-
jawaban semua pihak dan partisipasi seluruh lapis masyarakat. Agar tercapai
elektabilitas Parpol yaitu semua persyaratan sebuah partai harus terpenuhi
yang dibuktikan secara legalitas hukum oleh Menhukam.
(ex: ideologi, keanggotaan, aturan jumlah memiliki cabang di daerah dsb).
Dalam perjalanannya, partai mengelola dan mengembangkan
organisasi, struktur, dan melakukan survive dengan mengajukan
kader-kader wakilnya yang menjadi legislative dan kepala daerah. Untuk
mensukseskan pengajuan keterwakilan tersebut penggunaan dana
operasional partai dan kampanye harus betul-betul dikelola dengan baik,
karena pertanggungjawaban pengelola dana tersebut menjadi keharusan
partai. Besaran sumbangan harus jelas baik donasi per orangan mau-pun
donasi lembaga. Setiap Parpol yang menerima sumbangan dana memasukkan
cash flow (arus kas) dalam bentuk pembukuan (lihat bab V buku ini) sebagai
cara sederhana pengawasan internal Parpol. Agar bentuk pertanggung-
jawaban tidak saling tumpang tindih, maka dibutuhkan program akuntansi
yang baku. Program komputer ini memperlihatkan kepatuhan Parpol pada
arus keuangan internal dan eksternal terutama dana kampanye. Publik
menginginkan transparansi keuangan Parpol. Pelaporan dana kampanye
dilakukan melalui auditor publik dan diserahkan ke KPU propinsi. Walaupun
KPU tidak berhak memberi sanksi apapun karena kewenangannya hanya
mengawasi opersionalisasi penggunaan dana kampanye, diharapkan dengan
menggandeng KAP atau auditor publik yang berintegritas baik dan
terpercaya, akuntabilitas prosedural dapat dicapai.
Sedangkan untuk dana operasional keseharian partai yang dananya
dari Kesbangpol, akan diaudit oleh BPK, namun demikian BPK juga tidak
memberikan sanksi khusus. Sehingga pengawasan yang dilakukan hanya
bersifat menjaring opini publik dari hasil audit BPK terhadap dana partai
yang publikasi di media massa. Tetapi ini pun ditindak lanjuti. Misalnya
bagaimana dengan partai yang bandel atau melanggar aturan (UU Parpol no 2
tahun 2011 menjelaskan sanksi pada pasal 47 namun tidak ada mekanisme
untuk melacak pelanggaran dana kampanye yang berasal dari dana siluman).
Peraturan KPU No 8 tahun 2015 tentang dana Kampanye PilGub dan
Pilkada telah memungkinkan audit kepatuhan dilaksanakan. Di Bali telah
66
berlangsung untuk tiga calo pasangan pimpinan daerah pada Pilkada serentak
Desember 2015 lalu.
67
Latihan Soal
68
Daftar Pustaka:
69
BAB III
Tidak ada demokrasi tanpa politik, dan tidak ada politik tanpa partai. Dari
kalimat tersebut dapat dibayangkan posisi vital partai politik di sebuah
negara demokrasi. Betapa tidak, sebuah negara baru dapat dikatakan
demokratis (secara prosedural) jika negara tersebut memiliki setidaknya
institusi utama yakni lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik
dan pers yang bebas (Budiardjo, 2008: 120).
PENGANTAR
Di banyak negara demokratis, kajian mengenai partai politik
berkembang sangat pesat. Salah satu unsur yang sangat diperhatikan dalam
studi tentang partai politik adalah akuntabilitas, utamanya akuntabilitas
keuangan partai politik.
Sayangnya di Indonesia, kajian mengenai keuangan partai politik
menemukan hambatan tersendiri yang hingga kini masih sangat sulit
ditemukan solusinya. Hambatan tersebut berakar pada belum
terinstitusionalisasinya partai-partai yang ada di Indonesia dan peraturan
tentang partai politik yang relatif longgar. Akibat dari hal tersebut adalah
minimnya kajian mendalam mengenai tema yang bersangkutan. Dalam
kondisi demikian, dalam bagian ini akan dibahas mengenai model-model
akuntabilitas partai politik di beberapa negara demokrasi serta praktik
akuntabilitas partai politik di Indonesia yang bersandar pada realita terkini.
70
3.1 Kebutuhan dan Sumber Dana Partai Politik
71
terjaga kemandiriannya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat
(Kemitraan, 2008 : 28).
72
Guna membangun kredibilitas partai politik maka pengelolaan
keuangan partai politik harus dilakukan dengan dua prinsip utama yaitu
prinsip transparansi dan prinsip akuntabilitas (Kemitraan, 2011: 29-30).
73
dengan pendapatan dan belanja partai politik sepanjang tahun, maka
pengaturan keuangan kampanye mengatur pendapatan dan belanja kampanye
yang berlangsung pada masa pemilu. Hal ini berkaitan dengan semua
transaksi keuangan yang dilakukan partai politik dan bertujuan untuk
mempengaruhi pemilih selama pemilu. (Kemitraan, 2011: 28)
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai pengaturan keuangan
kampanye, harus dipahami terlebih dahulu mengenai kampanye dan
pencarian dana kampanye (fundraising). Kampanye selama ini dilihat sebagai
suatu proses interaksi intensif dari partai politik kepada publik dalam kurun
waktu tertentu menjelang pemilihan umum (Firmanzah, 2007: 268). Dalam
definisi ini, kampanye politik adalah periode yang diberikan oleh panitia
pemilu kepada semua kontestan, baik partai politik maupun perorangan untuk
memaparkan program kerja dan mempengaruhi opini publik, sekaligus
memobilisasi masyarakat agar memberikan suara pada mereka pada waktu
pencoblosan. Kampanye dalam kaitan ini dapat dilihat sebagai aktivitas
pengumpulan massa, parade, orasi politik, pemasangan atribut dan
pengiklanan partai. Kampanye pemilu model ini berakibat pada tingginya
biaya yang hars dikeluarkan oleh masing-masing kontestan.
Sebab tingginya biaya kampanye pemilu/pemilukada seperti yang
dipaparkan di atas, kontestan sering kali melakukan pencarian dana atau yang
lebih dikenal dengan istilah fundraising. Istilah fundraising lahir di Amerika
Serikat, artinya menghasilkan atau mengadakan dana. Tetapi konsep
fundraising Amerika itu pada dasarnya lebih luas dari apa yang kita kenal di
negara kita sebagai pencarian dana (Schroder, 2005: 270). Konsep itu
menyangkut pembuatan strategi pemasaran untuk mendapatkan dana,
khususnya dana yang tidak mengalir secara rutin dan dana yang
perolehannya tidak diatur secara baku.
74
sebuah perencanaan yang jelas menyangkut aktivitas-aktivitas fundraising
dan siapa-siapa saja yang harus dihubungi, karena pada dasarnya tidak satu
penyumbang pun yang akan memberikan dananya tanpa diminta, oleh sebab
itu, kegiatan fundraising merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara
intensif dan kurang menyenangkan (Schroder, 2005: 272). Oleh sebab itu,
fundraising harus direncanakan secara strategis, dimana donatur potensial
digolongkan berdasarkan kemungkinan mereka menyumbang. Untuk
menerapkan rencana fundraising ke dalam aksi yang sukses, maka setidaknya
dibutuhkan dua hal utama, yakni orang yang kompeten dan sistem
manejemen yang baik.
Selain fundraising ada hal lain yang menjadi perhatian utama peserta
pemilu dan pemilukada terkait dengan dana kampanye, yakni audit dana
kampanye. Di Indonesia, Audit dana kampanye diatur dalam Undang-
Undang No 8 Tahun 2012 tentang pemilu anggota DPD, DPR, dan DPRD;
dan PKPU No 17 tahun 2013 Tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye
Peserta Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Setidaknya ada tiga sumber
dana kampanye partai politik:
75
• Barang meliputi benda hidup dan mati yg dapat dinilai dengan uang
berdasarkan harga pas yang wajar.
• Jasa meliputi pelayanan atau pekerjaan yang dapat dinilai dengan
uang berdasarkan harga pasar yang wajar.
76
Dari skema di atas dapat dilihat bahwa kegiatan kampanye dilakukan
oleh partai politik dan calon anggota legislatif dengan tujuan untuk
meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program
peserta pemilu melalui beberapa kegiatan seperti:
1. pertemuan terbatas;
2. pertemuan tatap muka;
3. penyebaran bahan Kampanye Pemilu kepada umum;
4. pemasangan alat peraga di tempat umum;
5. iklan media massa cetak dan media massa elektronik;
6. rapat umum; dan
7. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye Pemilu dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
77
auditor untuk melakukan verifikasi kebenaran sumbangan dan identitas
penyumbang; meminta konfirmasi kepada pihak ketiga bila dianggap perlu;
dan memperoleh surat representasi dari pihak yang diaudit.
Tak berbeda dengan pemilu legislatif, dalam Pemilukada pun
terdapat proses audit dana kampanye yang diatur dalam pasal 42 ayat (1),
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2015 tentang Dana
Kampanye Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati dan/ atau Walikota dan Wakil Walikota. Disebutkan bahwa
KPU Provinsi/ KIP Aceh dan KPU/ KIP Kabupaten/ Kota menetapkan KAP
berdasarkan hasil seleksi untuk melakukan audit LPPDK dari 1 (satu)
Pasangan Calon di daerah yang bersangkutan. Dari hasil pemagangan
mahasiswa di kantor akuntan publik dan KPUD di Bali pada tahun 2015,
diketahui bahwa ketentuan ini sudah dilaksanakan pada Pemilukada serentak
tahun 2015 di Denpasar. Audit dana kampanye dilakukan oleh satu KAP
terhadap satu pasangan calon. Saat Pemilukada Denpasar 2015 dilaksanakan
terdapat tiga pasangan calon yang masing-masing diaudit oleh satu KAP.
KAP Basri mengaudit dana kampanye pasangan Resmiyasa - Batu Agung
Antara; KAP Ramantha mengaudit dana kampanye pasangan Rai Mantra –
Jaya Negara; dan KAP K. Gunarsa mengaudit dana kampanye dari pasangan
Arjaya – Rai Sunasri. Ketiga KAP yang ditunjuk melalui pengadaan
langsung tersebut harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1. Surat Izin Usaha KAP dari Menteri Keuangan RI.
2. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) KAP.
3. Telah melunasi kewajiban pajak tahun terakhir
(SPT/PPh).
4. Tidak berafiliasi secara langsung ataupun tidak langsung
dengan pasangan calon dan partai politik atau gabungan
78
partai politik atau pasangan calon perseorangan atau tim
kampanye.
5. Bukan merupakan anggota dari partai politik dan/ atau
gabungan partai politik dan/ atau tim kampanye
pasangan calon.
6. Memahami mengenai Dana Kampanye
79
KAP atau AP tidak memiliki ruang yang cukup untuk melakukan
penelusuran penerimaan dan penggunaan dana kampanye karena KAP dan
AP baru dilibatkan pada laporan dana akhir kampanye. Dengan kata lain
proses audit sebagian besar hanya memeriksa asersi (pernyataan yang dibuat
oleh pasangan calon yang digunakan untuk keperluan audit) yang
disesuaikan dengan peraturan dana kampanye yang ditetapkan.
Adapun contoh cuplikan dari audit kepatuhan atas laporan
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pasangan calon walikota dan
wakil walikota Denpasar dalam Pemilukada 2015 adalah sebagai berikut:
80
3.3 Realitas Keuangan Partai Politik di Indonesia: Antara Harapan dan
Realita
81
Bantuan negara pada partai politik
yang bersumber dari APBD dan APBN
Refleksi 2
memang ada namun besaran bantuan tersebut
Hasil jajak pendapat Litbang
Kompas yang dimuat di harian selalu dianggap minim oleh partai politik
Kompas pada tanggal 16 Maret
2015 memotret rendahnya yang bersangkutan. Untuk mempermudah
kepercayaan publik terhadap pemahaman, disini akan digunakan contoh
partai politik yang terwujud
dalam jawaban kontra 72,5% kasus Partai Persatuan Pembangunan di
masyarakat terhadap rencana
peningkatan jumlah sumbangan provinsi Jawa Tengah. Dalam AD/ART PPP
negara melalui APBN kepada disebutkan mengenai sumber-sumber
partai politik. Hanya sekitar
23,4% publik yang menyatakan keuangan partai politik yang sedikit berbeda
setuju terhadap rencana yang
mula-mula dilontarkan oleh dengan apa yang tertuang dalam undang-
Menteri Dalam Negeri, Tjahjo
undang. Dalam AD/ART PPP disebutkan
Kumolo itu. Sisanya sekitar 3,8%
tidak menjawab. setidaknya empat sumber keuangan (1) uang
Temuan menarik lainnya dalam pangkal dan iuran anggota; (2) iuran wajib
hasil jajak pendapat tersebut
adalah pendapat masyarakat anggota yang duduk sebagai anggota
mengenai siapa yang seharusnya
legislatif, pejabat eksekutif, pejabat lembaga
membiayai partai politik? Sekitar
55,6% masyarakat Indonesia pemerintah lainnya; (3) penerimaan halal
menyatakan bahwa partai
seharusnya dibiayai oleh partai yang tidak mengikat; (4) bantuan negara.
itu sendiri. Hanya 6,6% dari
(Syamsuddin Haris, 2014: 82-83). DPW PPP
responden jajak pendapat yang
menggunakan 594 responden Jawa Tengah menerima Rp. 210.000.000,-
tersebut menyatakan bahwa
pembiayaan partai politik harus tiap tahun dari bantuan negara yang
ditanggung negara.
disalurkan melalui APBD. Angka tersebut
Berikutnya, jajak pendapat
diperoleh dari perhitungan perolehan bantuan
tersebut mengungkap bawa
hanya 17,8% masyarakat yang di Jawa Tengah adalah RP. 21.000.000,- per
yakin bahwa peningkatan jumlah
bantuan negara ke partai akan kursi anggota DPRD per tahun. Karena PPP
mengurangi tindak pidana
menduduki sepuluh kursi, maka partai
korupsi yang dilakukan kader
partai yang menduduki jabatan tersebut memperoleh Rp. 210.000.000,- per
publik.
tahun dari APBD Jawa Tengah. (Syamsuddin
Haris, 2014: 83).
82
Sumbangan yang sah menurut hukum sumbangan ke partai
politik dapat diberikan oleh orang atau perusahaan. Salah satu bentuk
sumbangan yang sering kali menjadi pembahasan adalah sumbangan anggota
legislatif dari satu partai kepada partainya dengan nominal atau persentase
tertentu. Di Provinsi Jawa Tengah misalnya, menurut Syamsuddin Haris
(2014: 84) semua anggota DPRD provinsi dan DPR RI dari PPP dipatok
menyumbang Rp. 1,5 juta per bulan untuk operasional partai, sedangkan di
Jepara (untuk skup kabupaten) DPC PPP mematok angka 1,2 juta per bulan
untuk tiap anggota DPRD Jepara asal PPP. Berbeda halnya dengan PDIP di
Jawa Barat. Anggota fraksi PDIP Jawa Barat, Yunandar Prawira menyatakan
bahwa sekitar 30% pendapatannya sebagai anggota DPRD diperuntukan bagi
partai melalui fraksi.
Dari ketiga sumber keungan partai di atas, jika perolehan DPW PPP
Jawa Tengah ditotal, maka terkumpul sekitar lebih dari Rp. 500.000.000,- per
tahun. Namun besaran tersebut masih dianggap sangat kurang dengan alasan
untuk menyelenggarakan musyawarah kerja wilayah PPP Jawa Tengah saja
dibutuhkan dana sekitar Rp. 200.000.000,- yang hampir setara dengan
bantuan negara via APBD Jateng yang diterima PPP. Angka tersebut belum
termasuk operasional kantor DPW yang kira-kira menghabiskan Rp.
20.000.000 per bulan. (Syamsuddin Haris, 2014: 84).
Alasan tersebut di atas mungkin menjadi latar belakang polemik
sedang hangat dibahas beberapa waktu terakhir, perihal rencana bantuan
negara melalui APBN sebesar 1 triliun rupiah per partai per tahun yang
dicetuskan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Peningkatan bantuan
APBN itu disebut-sebut bertujuan untuk mengurangi pencarian dana ilegal
oleh partai politik. (Kompas, 16 Maret 2015). Banyak yang pro, namun tidak
sedikit pula yang kontra terhadap rencana tersebut. Citra partai politik di
mata rakyat yang terlanjur buruk diduga sebagai penyebab mengkristalnya
83
penolakan rencana tersebut. Jajak pendapat kompas itu mengungkap
beberapa hal antara lain hanya 23,4% masyarakat yang setuju dengan adanya
rencana kenaikan bantuan negara pada partai politik. Kemudian 55,6%
responden berpandangan bahwa seharusnya partai politik dapat membiayai
operasional partainya sendiri.
Gambar 3.1 Keyakinan Publik akan Tercapainya Tujuan Peningkatan
Subsidi Partai
84
penguasaan oleh para pemodal. 69,2% dari responden masih tidak yakin
bahwa pemberian bantuan itu akan mengurangi keterikatan partai dengan
pemodal.
Di lain pihak, Burhanuddin Muhtadi dalam kolomnya di majalah
Gatra tanggal 20 Maret 2015 menyatakan “ketergantungan partai secara
finansial kepada oligarki telah mereduksi partai menjadi boneka korporasi
yang berselingkuh dengan politisi”. Dengan kata lain, bergantungnya partai
secara finansial pada oligarki akan membuat partai tersebut tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Sementara kita ketahui bahwa partai
merupakan instrumen penting dalam sistem demokrasi yang harus berfungsi
dengan baik. Bila partai hanya menjadi boneka korporasi maka partai
tersebut tidak akan mampu menjalankan fungsinya untuk mengagregasi
kepentingan publik.
Secara prinsipil menurut Burhanuddin Muhtadi, pemberian bantuan
pada partai politik oleh negara bukanlah hal baru. Argentina, Kosta Rika dan
Jerman adalah tiga negara yang telah memberikan subsidi partai politik sejak
tahun 1950an. Kini, semua negara yang tergabung dalam Uni Eropa telah
memberikan bantuan pada partai politiknya di luar aktivitas
keparlemenannya. Alasan utamanya adalah bantuan negara untuk partai
politik dapat memperjelas iklim transparansi dan demokratisasi partai.
Dengan memberikan subsidi kepada partai, publik punya hak untuk meminta
transparansi keuangan partai karena ada dana publik yang berjasa
menghidupi partai. Partai tak bisa berkelit dari tuntutan untuk mereformasi
sistem pendanaan partai. Tak ada reformasi politik tanpa reformasi partai.
Dan tak ada reformasi partai tanpa reformasi sistem keuangan partai.
Ironisnya, dapur keuangan partai itu pula yang menjadi ruang paling
gelap partai itu sendiri. Ketidakjelasan audit keuangan, rekening partai yang
bercampur dengan rekening pengurus, sistem pembukuan yang amburadul
adalah segelintir contoh yang menunjukkan betapa rawannya sistem
85
keuangan partai kita. Jika subsidi Rp 1 triliun per tahun diberikan kepada
partai jadi dilakukan, di tengah akuntabilitas pendanaan partai yang masih
gelap gulita seperti itu, bukankah itu malah membuka lahan korupsi baru?
Di Indonesia rezim subsidi partai sebenarnya sudah lama diterapkan.
Awalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 51/2001 tentang Bantuan Keuangan
Parpol, setiap tahun peserta Pemilu mendapat Rp 1.000 per suara hasil
Pemilu 1999. Studi Mietzner menunjukkan subsidi itu bisa menutupi 50%-an
dari biaya kampanye yang dikeluarkan parpol tahun 1999. Sayangnya,
peraturan itu tidak bertahan lama. Berdasarkan PP 29/2005, setiap tahun
parpol hanya dapat Rp 21 juta per kursi sesuai hasil Pemilu 2004. Akibatnya,
bantuan kepada parpol berkurang hingga 90%. Akhirnya, PP 5/2009 dan
surat keputusan Menteri Dalam Negeri memberikan bantuan tahunan ke
partai politik sebesar Rp 108 per suara yang didapatkan pada Pemilu 2009.
Tentu saja dana ini terbatas sehingga memberi legitimasi bagi partai atau
sebagian elitenya untuk menjarah anggaran publik yang berada di bawah
kewenangannya.
Namun di atas segalanya, wacana yang pertama kali digulirkan
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, masih jauh dari kejelasan. Berapa
persisnya subsidi yang layak untuk partai politik? Apakah subsidi Rp 1
triliun per tahun tidak terlalu besar di tengah kenyataan bahwa iklim
persaingan politik juga berubah total sejak sistem open list proportional kita
terapkan pada 2009? Sistem proporsional terbuka jelas mengubah wajah
kompetisi elektoral dari partai kemudian digeser ke individu. Dalam sistem
ini, terutama dalam konteks campaign finance, persaingan politik mengarah
pada candidate-centered ketimbang party-centered, yang ujungnya
berimplikasi pada besarnya dana yang dikeluarkan oleh calon yang maju,
bukan partai yang bersangkutan. Karena itu, harus dihitung secara matang
berapa sebenarnya pembiayaan rasional yang dikeluarkan partai. Jangan
86
ujug-ujug muncul statemen anggaran 1 triliun rupiah setiap tahun tanpa studi
matang terkait dengan pembiayaan partai.
Kemungkinan munculnya moral hazard juga harus diantisipasi.
Reformasi keuangan partai mutlak dilakukan terlebih dahulu dengan
membuat dapur rumah tangga partai lebih transparan dan akuntabel sebelum
menerima subsidi negara. Rezim subsidi partai juga harus
mempertimbangkan dampak representasi politik. Alokasi subsidi kepada
partai terbukti memberikan insentif untuk membuat partai dan partai-partai
kecil akan tetap bertahan hidup sehingga menyulitkan kehendak untuk
menyederhanakan sistem kepartaian kita. Partai-partai kecil yang paling
mendapat keuntungan besar dari subsidi negara untuk partai.
Akibatnya, governability atau efektivitas pemerintahan makin sulit
terjadi apalagi di saat fragmentasi politik kita makin menjadi-jadi.
Pemerintahan yang terbelah (divided government) makin menjadi
keniscayaan jika aktor yang berlaga dalam pemilu makin bertambah
pemainnya. Karena itu, banyak negara yang telah menerapkan rezim subsidi
partai memberlakukan payout threshold atau ambang batas minimum partai
layak menerima subsidi. Di Belgia, partai berhak menerima subsidi jika
melampaui electoral treshold sebesar 9,2%. Demikian pula Polandia, yang
menerapkan payout threshold sebesar 5% sesuai dengan electoral threshold
yang diberlakukan di sana.
Daftar Pustaka:
87
Firmanzah. 2007. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Haris, Syamsuddin. 2014.Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Kemitraan. 2011. Anomali Keuangan Partai Politik: Pengaturan dan
Praktek. Jakarta: Kemitraan
Schroder, Peter. 2005. Strategi Politik. Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung
Kompas, 16 Maret 2015
Gatra, 20 Maret 2015
88
BAB IV
PENGANTAR
89
4.1 Pelembagaan Sistem Kepartaiaan
B. Disiplin Partai
- Tingkat keterpecahan partai oleh
faksi;
- Loyalitas wakil terpilih terhadap
partai;
90
- Proses kontrol partai atas seleksi
kandidat.
C. Rutinisasi
- Rutinisasi proses;
- Kesisteman dan integrasi internal;
- Komprehensivitas teritorial.
Sumber : Pamungkas (2011: 68)
91
Imawan (1996) menekankan setidaknya ada dua faktor yang
menentukan kinerja sistem kepartaian. Yaitu, jumlah partai yang ada. Faktor
ini menentukan kompleksitas interaksi atau kompleksitas konflik yang
berlangsung di masyarakat. Jumlah partai politik yang sangat banyak
cenderung menghasilkan situasi yang sama buruk dengan jumlah partai yang
sangat sedikit. Bila jumlah partai terlalu banyak, kapasitas isu bisa cenderung
menjadi kurang penting atau kurang relevan dibicarakan di tingkat negara
untuk masuk dalam mekanisme politik yang sedang berlangsung. Sebaliknya,
apabila jumlah partai terlalu sedikit bila dibandingkan pluralitas masyarakat,
maka cenderung akan terjadi simplifikasi terhadap aspirasi masyarakat yang
berkembang.
Selanjutnya, independensi partai yang ada. Independensi merujuk
pada keleluasaan partai politik dalam menentukan platform politik mereka
sendiri termasuk bebas campur tangan pihak luar, sanggup membiayai
kegiatan rutin organisasi dan kesanggupan memunculkan kandidat tanpa
adanya campur tangan pihak luar. Ketergantungan pada satu pihak luar saja
cenderung mengubah fungsi partai politik dari artikulator dan agregator
kepentingan masyarakat menjadi alat mobilisasi massa semata.
92
antara lain berasal dari sumbangan partai politik dan/atau gabungan partai
politik yang mengusulkan pasangan calon; dana pihak lain dipertegas
menjadi sumbangan yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan
perseorangan dan/atau badan hukum swasta paling banyak Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan dari badan hukum swasta paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta).
Sisi akuntabilitas juga tercermin pada adanya kewajiban memiliki
rekening khusus dana kampanye atas nama pasangan calon dan di daftarkan
kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota bagi Partai Politik atau
gabungan Partai Politik yang mengusulkan. Pasangan calon perseorangan
dapat bertindak sebagai penerima sumbangan dana kampanye. Partai Politik
dan/atau gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon dan
pasangan calon perseorangan dapat menerima dan/atau menyetujui
pembiayaan bukan dalam bentuk uang secara langsung untuk kegiatan
kampanye yang jika dikonversi berdasar harga pasar yang nilainya tidak
melebihi sumbangan dana kampanye tersebut. Hutang atau pinjaman
pasangan calon yang timbul dari penggunaan uang atau barang dan jasa dari
pihak lain, diperlakukan ketentuan sumbangan yang batasan dan
pengaturannya tunduk pada Peraturan KPU No. 8 Tahun 2015.
Pasal 12 dalam peraturan tersebut, juga menetapkan pembatasan
pengeluaran dana kampanye dengan memperhitungkan metode kampanye,
jumlah kegiatan kampanye, perkiraan jumlah peserta kampanye, standar
biaya daerah, bahan kampanye yang diperlukan, cakupan wilayah dan
kondisi geografis, logistik, dan manajemen kampanye/konsultan. Sisi
akuntabilitas juga tercermin dari adanya ketentuan bahwa partai politik atau
gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon dan pasangan
calon perseorangan wajib membuka Rekening Khusus Dana Kampanye
(RKDK) pada bank umum.
Analisis Kasus 1
Terdapat kondisi yang terjadi di kota Denpasar maupun beberapa Kabupaten lain yang ada
di Bali bahwa seringkali politik uang terjadi di saat warga diundang simakrama (semacam
musyawarah) di Bale Banjar (balai pertemuan desa adat). Warga diundang oleh salah satu
calon dan secara terbuka diajak untuk mengajukan proposal. Terkadang, calon meminta
warga membuat proposal terkait dengan perbaikan (renovasi) sarana tempat peribadatan.
Apabila proposal sudah dibuat warga biasanya calon memberikan bantuan dana
pembangunan sarana peribadatan tersebut. Sumbangan dana ini dianggap sebagai
pemberian netral karena menurut peserta pemilukada maupun masyarakat pemilih bukan
dikategorikan sebagai politik uang, karena siapapun bisa menyumbang dana ini yang
dianggap sebagai bentuk keikhlasan penyumbang. Hal ini karena pada konteks sosio
relijius, pemberian dana ini sebagai hal yang baik dan dilakukan secara tulus ikhlas.
93
RKDK yang dibuka oleh partai politik atau gabungan partai politik
yang mengusulkan pasangan calon, dibuka atas nama pasangan calon, dan
spesimen tanda tangan harus dilakukan bersama oleh partai politik atau
gabungan partai politik dan pasangan calon.
Namun, merujuk dari hasil pemagangan yang telah dilakukan
mahasiswa dengan Buku Ajar Akuntabilitas Partai Politik diperoleh beberapa
tipologi potensi permasalahan dari peraturan ini. Pada dasarnya, keberadaan
peraturan KPU ini merupakan langkah maju bagi penegakan demokrasi yang
bersih dan berkomitmen dalam meniadakan politik uang. Hanya saja
penegakan sepenuhnya masih perlu waktu karena di masyarakat maupun
pemangku kepentingan partai politik beserta kandidat yang diajukannya
masih memiliki pemahaman yangvariatif. Politik uang misalnya, termasuk
sumbangan dari pihak ketiga dan sebagainya bisa masuk dari segala celah,
tetapi pembuktian atas pelanggarannya relatif susah dilaksanakan.
Menurut temuan dalam kegiatan pemagangan terkait buku ajar ini
menyatakan bahwa pemberian atas bantuan uang oleh kandidat intensitasnya
Analisis Kasus 2
Serangan berupa politik uang ditengarai dilakukan terang-terangan
jelang beberapa jam pelaksanaan pemilukada, seperti politik uang yang
terwujud melalui pembagian amplop berisikan uang pada para pedagang.
Amplop yang dibagikan disertai gambar partai politik tertentu. Melalui simbol
partai politik tersebut pedagang sudah dianggap mengerti akan
mengasosiasikan dengan calon kandidat dari partai politik bersangkutan.
Ironisnya di kalangan warga, menganggap pemberian uang adalah sebagai
kompensasi kedatangan mereka ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Kompensasi berupa imbal jasa berupa uang yang diterima sebagai pengganti
waktu bekerja mereka yang tersita karena aktivitas memberikan pilihan dalam
pemilu ataupun pemilukada. Hal ini sejalan dengan Studi Choi 2009, Hidayat,
2009 dan Taylor 1996 (dalam Djani, 2014:188) yang menunjukkan diskursus
jual beli suara terletak pada kalangan pemilih, khususnya kelas miskin yang
dianggap mudah menggadaikan suaranya dengan imbalan uang, sembako
maupun keuntungan material lain yang diberikan kandidat atas kompensasi
mereka dalam memilih.
94
ini kebanyakan dari para calon dari petahana (incumbent). Selain sumbangan
dana, musyawarah warga setempat, pelaksanaan festival serta gelaran budaya
yang melibatkan banyak warga, merupakan media yang paling sering
digunakan oleh para kandidat merangkul simpati warga untuk meraih
elektabilitas keterpilihannya.
Kalangan fungionaris parpol dan anggota dewan dalam pemagangan
ini menyatakan bahwa politik uang sulit dibuktikan karena hampir semua
transaksi tidak dilakukan secara terbuka. Masing-masing kandidat memiliki
cara melakukan politik uang. Hanya saja setelah pemilu legislatif atau
pemilukada berakhir, muncul pengakuan sendiri dari anggota dewan ataupun
kepala daerah bahwa ongkos politiknya memang memakan biaya besar yaitu
dengan rentangan biaya 1 hingga 2 milyar rupiah. Nampak,
keberlangsungnya politik uang oleh sebagian besar narasumber masih
dianggap sebatas rumor, jelas hal tersebut sebagai kenyataan.
Persoalan budaya politik uang selama pemilu legislatif maupun
pemilukada tidak terlepas dari belum optimalnya fungsi kontrol
penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU baik di level pusat maupun daerah.
Sejalan pula lemahnya pencegahan, pengawasan dan penindakan dari Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu). Di sisi yang sama, hadirnya budaya politik
uang adalah akibat minimnya kesadaran dari masing-masing partai politik
pengusung untuk mendisiplinkan para calonnya agar tidak melakukan
pelanggaran menjadi catatan dominan dari penyelenggaraan pemilihan umum
legislatif maupun pemilihan kepala daerah tahun lalu.
Permasalahannya, bagaimana dengan upaya parpol dalam
menguatkan perannya dalam menominasikan kader-kader terbaik, sehingga
ke depannya tidak perlu harus memperoleh kapasitas elektabilitasnya melalui
uang dengan membeli suara pada masyarakat pemilih. Melainkan sebaliknya,
kader terbaik menjadi vote getter bagi kenaikan jumlah suara yang signifikan
bagi penguatan parpol bersangkutan. Hal yang senantiasa harus diingat
adalah salah satu fungsi parpol sebagai pembentukan dan rekrutmen
elite. Pada fungsi ini, partai politik berperan menyediakan kandidat
bagi pemimpin-pemimpin negaranya. Pada peran pula ini parpol membentuk
calon kandidat dari kader terbaik yang paham dalam menerjemahkan
ideologi partainya. Partai politik secara ideal harus menjadi kawah
candradimuka bagi politisi dengan membekali mereka keterampilan,
pengetahuan dan pengalaman, termasuk melibatkan mereka dalam struktur
karir partai politik bersangkutan.
95
Pada konteks ini, Heywood (2013) mengecualikannya pada kondisi
terbalik, dimana partai politik hanya dijadikan sebagai kendaraan politik para
politisi kuat untuk memobilisasi dukungan pada suatu proses pemilihan.
Fungsi inilah yang kerap dilalui partai politik dimana para pejabat
pemerintah direkrut dari sekelompok kecil orang berbakat atau figur senior
yang sebelumnya bernaung dalam partai besar, namun seringkali terjadi
potensi politik uang secara masif yang tidak terkontrol. World Bank mencatat
tidak semua partai politik terbuka dan mengambil peran mengakomodasi
kepentingan masyarakat, karena sebagian partai politik masih menganggap
dirinya ekslusif dan hanya orang tertentu saja yang bisa menjadi kader,
pengurus partai dari kalangan keluarga sendiri ataupun anggota dewan dari
partai politiknya.
Kasus rivalitas yang dirilis Media Indonesia untuk Pilkada DKI
tahun 2017 antara tiga pasangan calon gubernur, sungguh menjadi proses
belajar dalam konteks dukung mendukung kader dengan komitmen
menghindari isu SARA. Keterbukaan Parpol besar (Nasdem, Golkar, Hanura
dan PDIP) mendukung pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful
Hidayat. Sementara partai Demokrat, PAN, PKB, PPP mendukung calon
gubernur Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni. Partai Gerindra
dan PKS mencalonkan Anies Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno.
96
sekaligus pengkaderan pada partai politik, akhirnya menempatkan
ketidakoptimalan peran partai politik dalam menjalankan fungsinya.
Terjadilah apa yang disebut politik dinasti yang menimpa dua partai besar
yaitu PDIP dan Partai Demokrat. Hal inilah yang membutuhkan peran
strategis pemerintah maupun partai politik. Optimalisasi atas peran partai
politik ini menjadi sangat penting mengingat posisinya yang sentral bagi
pembentukan pemerintahan yang kondusif dan dapat berkinerja baik. Relasi
Pemerintah, pada semua lini―baik Presiden dan DPR, Gubernur dengan
DPRD Provinsi, maupun Walikota/Bupati dengan DPRD
Kota/Kabupaten―akan mempengaruhi kualitas maupun kuantitas
pengambilan kebijakan tentunya yang berimplikasi pada arah kesejahteraan
masyarakat. Kondisi ini tentu akan dapat dicapai apabila Pemerintah maupun
Partai Politik mampu memahami kondisi atas kelembagaannya maupun
penciptaan atas sistem kepartaian yang sedang berjalan.
97
yang baru (RUU Pemilu 2019) agar setiap parpol diwajibkan menyusun
laporan audit keuangan setiap satu tahun, dan wajib dilaporkan, jika tidak
bisa dipenuhi maka partai tersebut tidak dapat mengikuti penyelenggaraan
Pemilu (Beritagar, edisi kamis 26 Mei 2016).
Keterbukaan pengelolaan keuangan partai ini mendorong
profesionalisme dan integritas partai politik selain, memperkuat kelembagaan
partai juga bisa menumbuhkan kembali rasa kepercayaan publik kepada
partai. Sementara, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaran Pemilu
(DKPP) Jimly Asshiddiqie mengatakan pengelolaan dana partai politik ini
tidak sekadar terbuka, tapi juga harus disertai dengan sanksi yang mengikat.
Sanksi seperti pembekuan sampai pembubaran partai politik juga harus
diberikan kepada partai politik yang tidak transparan pengelolaan dananya.
98
Batasan Perseorangan Perseorangan Perseorangan Perseorangan
Sumbangan maksimal Rp maksimal Rp bukan bukan
15 juta; 200 juta; anggota anggota
Perusahaan Perusahaan maksimal Rp maksimal Rp
maksimal Rp maksimal Rp 1 miliar; 1 miliar;
150 juta. 800 juta. Perusa-haan Perusahaan
maksimal Rp maksimal Rp
4 miliar. 7,5 miliar.
Penerima Partai politik Partai politik Partai politik Partai politik
Bantuan yang yang yang mempu- yang
Negara memperoleh mempunyai nyai kursi di mempunyai
suara dalam kursi di DPR/DPRD. kursi di
pemilu. DPR/DPRD. DPR/DPRD.
99
"Biasanya penyumbang nonkader itu menyumbang di banyak partai.
Semakin besar partai itu, semakin besar juga kecenderungan penyumbang
memberikan uang (Kompas, edisi 28 September 2015).
Kedua, partai politik melindungi penyumbang dana besar dengan
dalih si penyumbang takut apabila dana bantunnya dibandingkan dengan
nilai sumbangannya kepada parpol dengan nilai pajak yang telah mereka
bayarkan kepada negara. "Partai tidak ingin apabila suatu saat penyumbang
bermasalah dengan pajak mereka. Dalam temuan penelitian biasanya
pembayar pajak cuma ratusan juta akan tetapi sumbangannya ke partai
miliaran rupiah. Setidaknya alasan itulah yang membuat parpol dan
penyumbang nonpartai yang berkomitmen untuk tidak memublikasikan,"
lapoaran keuangannya.
Dalam hal dana kampanye, maka setiap parpol harus memiliki
rekening khusus dana kampenye pemilihan umum dan menyerahkan laporan
neraca keuangan hasil audit akuntan publik kepada Komisi Pemilihan Umum
paling lambat enam bulan setelah pemungutan suara. Sebagai bentuk
kepedulian terhadap parpol pemerintah telah berupaya mendorong partai
untuk transparan dalam pendanaan. Terkait pelaporan saat kampanye usaha-
usaha ini dilakukan dengan mendorong partai melakukan dengan mengikuti
format laporan keuangan yang telah dibuatkan format laporan sebagaimana
termuat dalam PP pemerintah nomor 5 tahun 2009 tentang bantuan keuangan
kepada parpol.
Dalam PKPU nomor 17 tahun 2013 juga telah diatur agar parpol
melaporkan laporan keuangannya secara periodik. Laporan periodik inilah
kemudian selalu dipakai oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk selalu
mengingatkan kepada seluruh peserta pemilu (caleg, paslon) tentang
kewajiban mereka melaporkan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK).
Dengan adanya pelaporan periodik ini, selain membantu peserta Pemilu
menyiapkan laporan penyumbang kampanye jauh-jauh hari sebelum batas
waktu yang ditetapkan oleh Undang-undang (Pasal 134 ayat (1) dan (2), UU
No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif) yaitu 14 hari sebelum
dimulainya masa kampanye Pemilu. Masa Kampanye pemilu dilaksanakan
21 hari dan berhenti 3 hari sebelum hari pencoblosan (Pasal 84). Semua
kandidat wajib menyerahkan dana awal kampanye mereka kepada KPU
di daerah masing-masing sebagai bagian dari Laporan Penerimaan dan
Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Selain melaporkan LADK, para
calon juga wajib membuat laporan sumbangan dana kampanye yang mereka
100
dapat dari donatur atau partai politik (parpol) atau Laporan Penerimaan
Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). Bahkan, setelah masa kampanye
berakhir, ada juga laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye
(LPPDK)
Segala peraturan itu bukan untuk mempersulit peserta pemilu dan
pemilukada, melainkan itu dilakukan untuk mengurangi potensi praktik
politik uang dalam pemilu dan pemilukada. Terlebih dalam pemilu legislatif
2014 dan pemilukada serentak 2015, seluruh alat peraga kampanye, bahan
kampanye, iklan, dan debat kandidat, telah difasilitas oleh KPU.
101
pemilihan Gubernur Bupati, wakil Bupati/atau Walikota dan wakil walikota
diatur dalam peratutan PKU nomor 8 tahun 2015.
Ketentuan terkait pelaporan dana kampanye pemilu 2014 terutama
laporan awal sumbangan diatur di dalam Undang-undang Pemilu (UU No. 8
tahun 2012) dan PKPU No. 17 tahun 2013. Di dalam Pasal 129 Undang-
undang Pileg dengan jelas diatur mengenai asal sumbangan (sumber), bentuk
sumbangan dan pencatatan sumbangan yang harus melalui rekening khusus
dana kampanye partai politik. Selain itu, harus dicatat di dalam pembukuan
dana kampanye yang terpisah dari pembukuan dana partai politik. Berikut
lengkap bunyi Pasal 129 (1) Kegiatan Kampanye Pemilu anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota didanai dan menjadi tanggung
jawab Partai Politik Peserta Pemilu masing-masing. (2) Dana Kampanye
Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari: 1. partai politik;
calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari partai
politik yang bersangkutan; dan 2. sumbangan yang sah menurut hukum dari
pihak lain. (3) Dana Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat berupa uang, barang dan/atau jasa. (4) Dana Kampanye Pemilu berupa
uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditempatkan pada rekening khusus
dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu pada bank. (5) Dana
Kampanye Pemilu berupa sumbangan dalam bentuk barang dan/atau jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat berdasarkan harga pasar yang
wajar pada saat sumbangan itu diterima. (6) Dana Kampanye Pemilu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam pembukuan penerimaan
dan pengeluaran khusus dana Kampanye Pemilu yang terpisah dari
pembukuan keuangan partai politik. (7) Pembukuan dana Kampanye Pemilu
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah partai
politik ditetapkan sebagai Peserta Pemilu dan ditutup 1 (satu) minggu
sebelum penyampaian laporan penerimaan dan pengeluaran dana Kampanye
Pemilu kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU.
Terkait pelaporan penerimaan dana kampanye partai politik sesuai
dengan Pasal 134 diatur untuk dilaporkan sesuai dengan tingkatannya yang
terdiri dari:
1) laporan awal dana Kampanye Pemilu dan
2) rekening khusus dana Kampanye Pemilu
Laporan ini diserahkan kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum hari pertama
102
jadwal pelaksanaan Kampanye Pemilu dalam bentuk rapat umum, atau 21
hari masa kampanye yang berarti 24 hari sebelum pemungutan suara.
Di dalam ketentuan PKPU No. 17 tahun 2013, pengaturan tentang
pelaporan penyumbang dana kampanye ini dibuat lebih rinci dalam bentuk
ketentuan pelaporan periodik 3 bulanan yang dihitung sejak ditetapkannya
PKPU, atau pelaporan periodik dilakukan paling lambat pada tanggal 27
Desember 2013 dan pada tanggal 2 Maret 2014 untuk tahap kedua. Berikut
adalah bunyi Pasal 22 dan 23 PKPU 17 tahun 2013 tentang pelaporan dana
kampanye.
Pasal 22
(1) Pengurus Partai Politik Peserta Pemilu pada setiap tingkatan wajib
melaporkan sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 kepada
KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
(2) Calon Anggota DPD wajib melaporkan sumbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 kepada KPU melalui KPU Provinsi.
(3) Laporan penerimaan sumbangan mencakup informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).
(4) Laporan penerimaan sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan secara periodik 3 (tiga) bulan sejak ditetapkan Peraturan
ini.
Pasal 23
(1) KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan laporan
penerimaan sumbangan kepada Partai Politik Peserta Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) Kepada masyarakat
umum.
(2) KPU Provinsi atas nama KPU mengumumkan laporan penerimaan
sumbangan kepada Calon Anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (2) kepada masyarakat umum.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan melalui papan pengumuman dan/atau website KPU, KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota paling lambat 3 (tiga) hari setelah
menerima laporan dari Pengurus Partai Politik Peserta Pemilu dan Calon
Anggota DPD.
103
Terkait dengan pencatatan identitas penyumbang, Partai Politik juga
harus mengikuti ketentuan dari Pasal 19 PKPU sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Peserta Pemilu wajib mencatat dan melaporkan besaran sumbangan
yang diterima dari pihak lain.
(2) Informasi yang wajib disampaikan untuk sumbangan yang bersumber
dari perseorangan, mencakup:
1. nama;
2. tempat/tanggal lahir dan umur;
3. alamat penyumbang;
4. jumlah sumbangan;
5. asal perolehan dana;
6. Nomor Pokok Wajib Pajak;
7. pekerjaan;
8. alamat pekerjaan; dan
9. Pernyataan penyumbang bahwa :
1) penyumbang tidak menunggak pajak;
2) penyumbang tidak dalam keadaan pailit
berdasarkan putusan
pengadilan;
3) dana tidak berasal dari tindak pidana;
4) sumbangan bersifat tidak mengikat.
Informasi yang wajib disampaikan untuk sumbangan yang
bersumber dari kelompok, mencakup:
1. nama kelompok;
2. alamat kelompok;
3. jumlah sumbangan;
4. asal perolehan dana;
5. Nomor Pokok Wajib Pajak kelompok atau pimpinan kelompok,
apabila ada;
6. nama dan alamat pimpinan kelompok;
7. keterangan tentang status badan hukum; dan
8. pernyataan penyumbang bahwa :
1) penyumbang tidak menunggak pajak;
104
2) penyumbang tidak dalam keadaan pailit berdasarkan putusan
pengadilan;
3) dana tidak berasal dari tindak pidana;
4) sumbangan bersifat tidak mengikat.
Informasi yang wajib disampaikan untuk sumbangan yang
bersumber dari perusahaan dan/atau badan usaha nonpemerintah, mencakup:
a. nama perusahaan;
b. alamat perusahaan;
c. jumlah sumbangan;
d. asal perolehan dana;
e. Nomor Pokok Wajib Pajak perusahaan;
f. nama dan alamat direksi;
g. nama pemegang saham mayoritas;
h. keterangan tentang status badan hukum; dan
i. pernyataan penyumbang bahwa:
1) penyumbang tidak menunggak pajak;
2) penyumbang tidak dalam keadaan pailit berdasarkan putusan
pengadilan;
3) dana tidak berasal dari tindak pidana;
4) sumbangan bersifat tidak mengikat.
Sementara itu dalam PKPU nomor 8 tahun 2015, yang mengatur
tentang dana kampanye peserta pemilihan gubernur Bupati dan wakil
bupati/atau walikota dan wakil walikota mengatur tentang LADK, LPSDK,
dan LPPDK.
Pasal 21
(1) LADK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a adalah pembukuan
yang memuat informasi:
a. Rekening Khusus Dana Kampanye;
b. sumber perolehan saldo awal atau saldo pembukaan;
c. rincian perhitungan penerimaan dan pengeluaran yang diperoleh
sebelum pembukaan Rekening Khusus Dana Kampanye; dan
d. penerimaan sumbangan yang bersumber dari Pasangan Calon atau
Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dan pihak lain.
105
Pembukuan LADK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditutup
pada saat penetapan Pasangan Calon.
Pasal 22
(1) Pasangan Calon menyampaikan LADK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1) kepada KPU Provinsi/KIP Aceh untuk Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur dan KPU/KIP Kabupaten/Kota untuk
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota
1 (satu) hari sebelum masa Kampanye.
(2) LADK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada KPU
Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota paling lambat pukul
18.00 waktu setempat.
(3) Format LADK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran I Peraturan ini yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan ini.
Pasal 23
(1) Penyampaian LADK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
dapat disampaikan oleh Pasangan Calon atau petugas yang ditunjuk.
(2) Petugas yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyerahkan surat tugas.
Pasal 24
(1) KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota menerima
LADK dari Pasangan Calon atau petugas yang ditunjuk.
(2) KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota melakukan
pencermatan terhadap:
a. cakupan informasi; dan
b. format LADK.
(3) KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota membuat tanda
terima LADK yang ditandatangani bersama dengan Pasangan Calon
atau petugas yang ditunjuk.
(4) KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota menuangkan
hasil penerimaan LADK dalam berita acara. Dalam hal cakupan
informasi dan/atau format LADK sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
106
tidak lengkap, KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota
membuat catatan khusus dalam berita acara.
Pasal 25
Tanda terima dan berita acara LADK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (3) dan ayat (4) dibuat dengan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV Peraturan ini yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan ini.
Pasal 26
KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota
mengumumkan LADK paling lambat 1 (satu) hari setelah menerima LADK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) pada papan pengumuman
dan/atau laman KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota.
107
Politik dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Dalam kedua UU tersebut dijelaskan bahwa partai politik adalah badan
publik dan salah satu kewajibannya adalah mempublikasikan laporan
keuangan.
Pasal 39 ayat (1) disebutkan bahwa “Pengelolaan keuangan Partai
Politik dilakukan secara transparan dan akuntabel“. Selanjutnya dalam Pasal
39 ayat (2) dikatakan bahwa “Pengelolaan keuangan Partai Politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh akuntan publik setiap 1
(satu) tahun dan diumumkan secara periodik“. Menurut penjelasan Pasal 39
ayat (2) Undang-Undang tersebut, yang dimaksud dengan “diumumkan
secara periodik” adalah dipublikasikan setiap setahun sekali melalui media
massa.
Sejalan dengan aturan diatas, ketentuan lain yang menegaskan
kepada partai politik sebagaimanan Undang-undang Nomor 2 tahun 2011
tentang Partai Politik telah mengatur soal sumber dana, pengelolalan dan
pertanggungjawaban keuangan parpol. Di antaranya pasal 34 yang
menyebutkan bahwa sumber dana dan pengeluaran yang berasal dari APBN/
APBD wajib diaudit oleh Badan Perencana Keuangan (BPK). Selain itu,
dalam pasal 39 disebutkan soal pengeolalan keuangan parpol harus
diselenggarakan secara transparan dan akuntabel, yaitu dengan dilakukannya
audit dari akuntan publik dan diumumkan secara periodik. Dengan demikian,
semestinya masyarakat luas memiliki akses yang mudah untuk mengetahui
pengelolaan keuangan dalam suatu parpol, mengingat sebagian dari sumber
dana tersebut berasal dari APBN/ APBD.
Prinsip transparansi mengharuskan partai politik bersikap terbuka
terhadap semua proses pengelolaan keuangan partai politik. Sejumlah
kewajiban harus dilakukan partai politik, seperti membuka daftar
penyumbang dan membuat laporan keuangan secara rutin, yang mencatat
semua pendapatan dan belanja partai politik sepanjang tahun. Tujuan
membuka daftar penyumbang dan laporan keuangan kepada publik adalah
untuk menguji prinsip akuntabilitas, yaitu memastikan tanggungjawab partai
politik dalam proses menerima dan membelanjakan dana partai politik itu
rasional, sesuai etika dan tidak melanggar peraturan.
4.4.1 Pelaporan Dana Kampanye Parpol
108
yang berjudul Kajian Tentang Pelaporan Awal Dana Kampanye Partai Politik
Pemilu 2014. Hasil survei itu menghasilkan rekomendasi kepada KPU
supaya Tegas Atas Buruk Laporan Dana Kampanye Partai Politik. Laporan
hasil survei tersebut sebagaimana berikut ini;
a) Hingga batas akhir penyerahan laporan awal dana kampanye pada 27
Desember 2013, baru 4 Partai politik yang menyerahkan, yaitu;
1. Partai Nasdem, menyerahkan paling awal, pada 24 Desember 2013
2. Partai Kebangkitan Bangsa
3. Partai Golkar
4. Partai Amanat Nasional
b) Semua partai politik tidak menyertakan keterangan terkait rekening khusus
dana kampanye masing-masing di dalam laporan.
c) Semua laporan yang sudah diserahkan ke KPU tidak sesuai dengan format
PKPU No. 17 tahun 2013.
d) Terkait pencatatan sumbangan, semua Partai Politik tidak mengikuti
ketentuan tentang identitas penyumbang sesuai dengan Pasal 19 PKPU
No. 17 tahun 2013.
e) Semua kandidat DPR RI yang dilaporkan partai politik tidak ikut
menyertakan ketentuan pencatatan keuangan kampanye sesuai dengan
Pasal 17 ayat (3) dan ayat (4) PKPU No. 17 tahun 2013.
a. Partai Nasdem
Rekap Laporan
No. Sumber Uang (rp) Barang (rp) Jasa Jumlah (rp) Ket.
sumbangan
1. Partai Politik 550.000.000 25.779.504.000 26.329.504.000 -
2. Kandidat - - - -
3. Perseorangan - - -
4. Kelompok - - - -
5. Badan usaha - 14.857.431.500 - -
Total 550.000.000 40.636.935.500 41.186.935.500
109
Sumber; Transparansi Internasional Indonesia, edisi Rabu 1 Januari
2014
Catatan:
b. PKB
Rekap laporan
Catatan:
110
c. Partai Golkar
Rekap Laporan
No Sumber Uang (rp) Barang Jasa Jumlah (rp) Ket.
sumbangan (rp)
1. Partai Politik 2.002.000.000, 2.002.000.000,-
2. Kandidat - 73.035.763.861, 73.035.763.861,
3. Perseorangan - -
4. Kelompok - -
5. Badan usaha - -
Total 2.002.000.000,- 73.035.763.861, 73.035.763.861,
- -
Sumber; Transparansi Internasional Indonesia, edisi Rabu 1 Januari
2014
Catatan:
a) Tidak mencantumkan nomor rekening khusus dana kampanye
b) Tidak mencantumkan NPWP, keterangan perusahaan dan lain-lain sesuai
pasal 19 PKPU.
c) Kategori kuantifikasi jasa untuk kandidat yang sangatbesar. Perlu
dipertanyakan apakah semua jasa kandidat telah dihitung sesuai dengan
pasar wajar, atau sekadar ingin tidak diikutkan di dalam rekening khusus
dana kampanye partai politik.
111
Catatan:
a) Tidak mencantumkan nomor rekening khusus dana kampanye
b) Tidak mencantumkan NPWP, keterangan perusahaan dan lain-lain sesuai
pasal 19PKPU.
c) Terdapat 2 nama penyumbang perseorangan yang tidak memiliki alamat
jelas.
d) Kategori kuantifikasi jasa untuk kandidat yang sangat besar. Perlu
dipertanyakan apakah semua jasa kandidat telah dihitung sesuai dengan
pasar wajar, atau sekadar ingin tidak diikutkan di dalam rekening khusus
dana kampanye partai politik.
112
tentang Pedoman Audit laporan dana kampanye pasangan calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah dalam pemilihan umum kepala daerah dan
wakil kepala daerah.
Pasal 1 “Pedoman Audit Dana Kampanye Pasangan Calon Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah, selanjutnya disebut Pedoman Audit Laporan Dana
Kampanye, adalah untuk lebih memudahkan kantor akuntan publik dalam
melaksanakan audit laporan dana kampanye pasangan calon serta Tim
Kampanye.”
Pasal 2 “Audit oleh kantor akuntan publik atas laporan dana
kampanye pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah
audit sesuai prosedur yang disepakati (agreed upon procedures).” Pasal 2 “(1)
Kantor akuntan publik wajib menyelesaikan audit paling lambat 15 (lima
belas) hari sejak diterimanya laporan dana kampanye dari KPU Provinsi atau
KPU Kabupaten/Kota.” “(2) Dalam melakukan audit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kantor akuntan publik berpedoman pada, panduan audit laporan
dana kampanye pasangan calon, yang ditetapkan oleh KPU bekerjasama
dengan Institut Akuntan Publik Indonesia yang merupakan anggota Ikatan
Akuntan Indonesia. KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dapat
menambah prosedur sepanjang disetujui oleh KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota dan KAP.
Pada pemilu legislatif 2014 KPUD Provinsi Bali berhasil
mengumpulkan sebelas parpol yang menyerahkan laporan Penerimaan dan
pengeluaran dana kampanye, hanya Partai Bulan Bintang yang tidak
menyerahkan. Demikian juga dari 40 calon DPD, hanya 22 calon yang
melaporkan (Harian Bisnis, Edisi 30 Mei 2014). Hasilnya secara umum
parpol yang sudah menyerahkan laporan itu tidak ada yang melanggar
ketentuan UU Pemilu. Penerimaan sumbangan dari unsur perseorangan atau
kelompok kepada parpol tidak ada yang melebihi ketentuan persyaratan.
Sedangkan bagi parpol yang tidak melaporkan juga tidak dikenai sanksi
diskualifikasi sebagai anggota terpilih karena ternyata tidak satu pun caleg
dari Partai Bulan Bintang yang lolos ke DPRD Bali. Demikian juga dengan
18 calon anggota DPD yang tidak melaporkan dana kampanye, karena
mereka delapan belas orang tersebut tidak lolos ke DPD RI.
Dengan adanya audit dana kampanye diharapkan partai politik
peserta pemilu tidak “macam-macam” dalam menggunakan dana kampanye.
Selain itu juga dituntut sebuah kedisiplinan dan profesionalitas dari partai
113
politik untuk mengelola dana kampanyenya sendiri. Mereka dapat
mempertanggungjawabkan apa yang mereka terima baik dari Negara maupun
dari donatur yang lain. Sementara itu audit yang dilakukan oleh kantor
Akuntan Publik atas laporan dana kampanye adalah audit sesuai prosedur
yang disepakati (agreed upon procedures). KAP yang bisa melaksanakan
audit dana kampanye adalah KAP yang memenuhi minimal dua syarat yang
telah ditetapkan KPU. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup bahwa
rekan yang bertanggungjawab atas pemeriksaan laporan dana
kampanye tidak berafiliasi secara langsung ataupun tidak langsung
dengan partai politik dan calon Anggota DPD;
2. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup bahwa
rekan yang bertanggungjawab atas pemeriksaan laporan dana
kampanye bukan merupakan anggota atau pengurus partai politik.
114
merupakan salah satu alternatif solusi memecahkan keterbatasan jumlah
kantor akuntan publik, karena BPK juga termasuk auditor eksternal. Jika
melibatkan BPKP, meskipun perwakilan BPKP tersebar hampir di semua
provinsi tidaklah tepat karena BPKP merupakan auditor internal dan ada
kemungkinan conflict of interest bagi BPKP. Namun, hal ini masih menjadi
perdebatan karena UU memerintahkan, yang berhak melakukan audit dana
kampanye parpol hanya kantor akuntan publik. Satu KAP tidak boleh
mengaudit lebih dari satu partai politik dalam satu provinsi yang sama. Jika
ingin mengaudit partai lain harus berbeda provinsi.
Walaupun peraturan sudah dibuat sedemikian rupa sehingga dapat
mengurangi pelanggaran dalam pemilu, bukan berati pemilu aman dari
politik uang. Oknum pengurus partai politk dan calon anggota legislative dan
calon Dewan Perwakilan Daerah masih saja bisa melakukan kecurangan.
Misalnya dia menggunakan rekening lain atas nama orang lain yang
digunakan untuk membiayai kampanyenya. Sehingga sumbangan-sumbangan
yang illegal akan masuk ke dalam rekening tersebut dan dana hasil
sumbangan yang “tidak benar” tersebut bisa digunakan untuk melakukan hal-
hal yang bisa mengarah pada kecurangan dalam pemilu, misalnya politik
uang. Dengan cara demikian, jika rekening khusus dana kampanyenya
diaudit maka opini yang keluar bisa opini wajar tanpa pengecualian karena
auditor tidak menemukan masalah. Selain itu peraturan untuk mengaudit
dana kampanye tidak di tujukan pada calon anggota legislatif melainkan pada
partai politik dan DPD sehingga calon anggota legislatif mungkin masih bisa
melakukan kecurangan-kecurangan.
4.6 Penutup
115
partai lain. Apabila saling mengetahui, maka akan muncul persaingan antar
parpol untuk saling menjelekkan antara satu dengan yang lain.
Persaingan dapur ini dapat ditemukan pada sebagian besar pengurus
parpol menolak menunjukkannya laporan keuangannya dengan alasan
beragam, terutama berbelit persoalan secara prosedur. Seandainya ada
pelaporan yang diperlihatkan pun itu hanya sebatas pembukuan sangat
sederhana seperti bukti kwitansi keluar-masuk, tanpa pencatatan yang rapi
terintegrasi, apalagi terkomputerisasi. Jika ditanya apakah partai politik
sudah melakukan pelaporan, jawaban sederhana para pengurus parpol itu
hanya mengatakan bahwa seluruh persoalan keuangan tersebut pasti
dipertanggungjawabkan secara formal di rapat-rapat kerja dan musyawarah
besar partai, sehingga menurut mereka pelaporan keuangan tidak perlu
disebarluaskan kepada publik.
Faktor lain yang memperkuat alasan internal partai politik terkait
dengan tingkat kekuasaan yang bersifat struktural hierarkis. Artinya, dalam
organisasi partai politik tidak mengenal adanya kebijakan desentralisasi
politik yang memberikan wewenang penuh kepada pengurus partai politik di
tingkat bawah untuk mengelola sendiri urusan aktivitas partainya.
Persoalan ini semakin kompleks ketika urusan personalisasi partai
juga semakin mengurat akar. Pelibatan atau lebih dikenal dengan persoalan
diskresi personal dalam tubuh partai politik menjadi semakin susah untuk
dimintai pertanggungjawabannya, karena kekuasaan personal yang bersifat
struktural dan hierarkis. Seorang ketua umum adalah tokoh yang melampui
batas formal organisatorisnya (Artikel J. Kristiadi, Kompas, Edisi 23 Agustus
2016).
Relasi personalisasi ketua umum dan wewenang organisatorisnya
bagaikan pisau bermata dua, dapat menjalin hubungan erat antara kader dan
pimpinan tertinggi partai sehingga mereka sangat loyal kepada sang
pemimpin bahkan sampai menjurus kepada kultus individu. Gejala ini
menjadi patalogi umum yang terjadi dalam kultur parpol modern. Relasional
keduanya sebenarnya semakin disadari sehingga sekarang semakin
diperlukan upaya melakukan transformasi kepemimpinan yang kharismatik
menjadi demokratis. Patologi ini bukan hanya terjadi di Indonesia, akan
tetapi di negara-negara lainpun kerap muncul dan menjadi hal yang biasa
dalam partai politik.
Sejalan dengan persoalan menguatnya personalisasi, ada kesulitan
lain yang dihadapi oleh parpol dalam merekrut calon pemimpin. Perekrutan
116
calon pemimpin tidak melalui prosedur demokrasi yang bersih. Hal tersebut
tergambar dalam cara parpol merekrut calon pemimpin yang tidak bisa
dipercaya atau melahirkan pemimpin yang berasal dari rekam jejak yang
bersih. Realitasnya banyak parpol yang mencantumkan calon kader atau
pemimpin yang yang berasal dari mereka memiliki modal keuangan
(finansial) yang cukup besar (Kompas,edisi Sabtu 13 Agustus 2016).
Kedua, faktor eksternal. Faktor ini lebih kepada adanya regulasi
tidak memberikan aturan ketat untuk memaksa partai politik menjalankan
prinsip akuntabel dan transparan (Wawancara dengan John Dharmawan,
Ketua KPU Kota Denpasar, 19 Agustus 2016). Anggapan bahwa selama ini
partai politik tidak bisa menampilkan prinsip-prinsip good governance
(akuntabel) ternyata dapat ditelisik dari regulasi yang tidak memaksa partai
politik untuk melaksanakan prinsip-prinsip akuntabel. Ketiadaan regulasi
disini dimaksudkan adalah ketidak tegasan sanksi administrasi terhadap
partai politik apabila tidak membuat laporan keuangan. Ketiadaan atau
ketidaktegasan sanksi adminstrasi ini membuat ketentuan kewajiban
membuat laporan keuangan tidak beralan dengan baik.
Laporan keuangan semakin sumir ketika partai mulai mencampurkan
kewenangan laporan berada ditangan setiap calon dalam pemilu. Laporan
keuangan kemudian diserahkan langsung sepenuhnya kepada calon. Tugas
partai hanya sebatas mengawal calon tanpa memaksakan kewajiban membuat
laporan keuangan kepada calon-calon yang diusung dalam pemilu.
Penyerahan sepenuhnya kepada calon ini berlaku setiap rezim pemilu baik
pileg, pilpres ataupun pilkada. Kondisi kemudian membuat partai politik
tidak merasa diwajibkan membuat laporan keuangannya.
Selain itu lemahnya otoritas lembaga yang bertugas menerima
laporan keuangan partai politik turut pula menjadi sumber lain mengapa
partai politik acuh tidak acuh terhadap kewajiban membuat laporan
keuangan.
Dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2011, menyatakan partai
politik diwajibkan membuat laporan keuangan yang kemudian diaudit oleh
lembaga audit (akuntan Publik), setelah itu diserahkan kepada KPU agar bisa
diakses oleh Publik. Lembaga yang dimaksudkan dalam Undang-undang ini
adalah KPU, namun persoalan sanksi atas kewajiban membuat laporan
keuangan sulit dijalankan karena kewenangan untuk bisa menghentikan
subsidi atau bantuan negara ada ditangan pemerintah (Depdagri), bukan
117
kepada KPU atau KPUD (Junaidi dkk: 2011). Sehingga menyulitkan KPU
atau KPUD untuk bantuan keuangan apabila ada partai politik yang terkena
sanksi.
Penulis: M. Ali Azhar dan Tedi Erviantono bisa dihubungi melalui surel
erviantono2@yahoo.com
DAFTAR PUSTAKA
Huntington, S.P. Cetakan Kedua. 2004. Tertib Politik pada Masyarakat yang
Sedang Berubah. Jakarta : Rajawali Press.
118
Pamungkas, S. 2011. Partai Politik : Teori dan Praktik di Indonesia.
Yogyakarta : IDW.
119
Artikel J. Kristiadi. Kisah Politik cinta Segi Tiga, Kompas, Edisi 23 Agustus
2016.
https://www.change.org/p/ketua-umum-partai-politik-nasdem-pkb-pks-pdip-
golkar-gerindra-demokrat-pan-ppp-hanura-publikasi-laporan-
keuangan-partai-politik-melalui-website-partai. Publikasi Laporan
Keuangan Partai Melalui Website Partai.
Kutipan Koordinator Bidang Korupsi Politik ICW Donal Fariz, Kompas edisi
28 September 2015.
The Carter Center, Edisi Mei 2009. Laporan Paska Pemilu Nomor 1 –
Prosedur Dana Kampanye. www.cartercenter.org
120
BAB V
PENGANTAR
Partai Politik yang sehat, kredibel dan mampu menjalankan proses
pemilihan umum yang diselenggarakan secara demokratis, jujur dan
adil merupakan modal dasar membangun demokrasi berkredibilitas.
Demokrasi berkredibilitas ini merupakan modal dasar terciptanya
pemerintah yang solid dan berwibawa dengan pengawasan efektif dari
lembaga legistalif. Demokrasi yang kredibel tidak mungkin terwujud
tanpa adanya transparansi dan mekanisme pertanggung jawaban yang jelas
atas kegiatan pembiayaan politik, baik keuangan partai politik maupun
pembiayaan kegiatan Pemilihan Umum.
Dalam rangka mewujudkan adanya transparansi dan mekanisme
pertanggung jawaban keuangan, maka parpol harus harus menjalankan
pengendalian intern dan melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan
keuangan, seperti yang ditentukan dalam:
(1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 676 tentang Tata
Administrasi Keuangan dan Sistem Akuntansi Keuangan Partai
Politik, serta Pelaporan Dana Kampanye Peserta Pemilihan
Umum;
121
(2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 01 Tahun 2009
tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Partai Politik Peserta
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, serta calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah Tahun 2009.
122
mengelola transparansi keuangan negara adalah kepala pemerintahan.
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan bahwa pemegang
kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar berada di
tangan presiden. Karena itu selaku kepala pemerintahan, presiden wajib
melaksanakan SPIP di seluruh organisasi pemerintahan. Analog dengan
penjelasan di atas maka penangung jawab utama efektivitas pelaksanaan SPI
Parpol adalah Ketua Umum Parpol di tingkat DPP yang dibantu oleh ketua
Parpol pada jenjang di bawahnya.
1) Lingkungan Pengendalian
Pimpinan Parpol wajib menciptakan dan memelihara lingkungan
pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk
penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya. Baik
atau tidak baiknya lingkungan pengendalian dari SPI Parpol dapat diukur
dengan menggunakan tujuh (7) komponen, yaitu: penegakkan integritas dan
nilai etika, komitmen terhadap kompetensi, kepemimpinan yang kondusif,
pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat, penyusunan dan
penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia,
pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan, perwujudan
peran aparat pengawasan intern Parpol yang efektif.
Sejauh mana sebuah Parpol mampu menciptakan lingkungan
pengendalian dapat diukur dengan menggunakan pengukuran sebagai
berikut:
123
Penegakan Integritas dan Nilai Etika
124
Kepemimpinan yang Kondusif
125
Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat
(1) Wewenang diberikan kepada pengurus yang tepat sesuai dengan tingkat
tanggung jawabnya dalam rangka pencapaian tujuan Instansi
Pemerintah;
(2) Pengurus yang diberi wewenang memahami bahwa wewenang dan
tanggung jawab yang diterimanya terkait dengan pihak lain dalam
Parpol yang bersangkutan;
(3) Pengurus yang diberi wewenang memahami bahwa pelaksanaan
wewenang dan tanggung jawab terkait dengan penerapan SPIP
126
2) Penilaian Risiko
127
Penetapan tujuan secara keseluruhan
128
Identifikasi Risiko
Analisis Risiko
3) Kegiatan Pengendalian
Kegiatan pengendalian wajib diselenggarakan oleh pimpinan Parpol
sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Parpol
yang bersangkutan, sekurang-kurangnya memiliki karakteristik sebagai
berikut:
129
1) kegiatan pengendalian diutamakan pada kegiatan pokok Parpol;
2) kegiatan pengendalian harus dikaitkan dengan proses penilaian
risiko;
3) kegiatan pengendalian yang dipilih disesuaikan dengan sifat khusus
Parpol;
4) kebijakan dan prosedur harus ditetapkan secara tertulis;
5) prosedur yang telah ditetapkan harus dilaksanakan sesuai yang
ditetapkan secara tertulis; dan kegiatan pengendalian dievaluasi secara
teratur untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut masih sesuai dan
berfungsi seperti yang diharapkan.
Penerapan Umum
130
Pembinaan Sumber Daya Manusia
(1) Pemahaman bersama atas visi, misi, tujuan, nilai, dan strategi Parpol
telah tercermin dalam rencana strategis, rencana kerja tahunan, dan
pedoman panduan kerja lainnya dan telah dikomunikasikan secara
jelas dan konsisten kepada seluruh pegawai.
(2) Parpol memiliki strategi pembinaan sumber daya manusia yang utuh
dan spesifik dalam bentuk rencana strategis, rencana kerja tahunan,
dan dokumen perencanaan sumber daya manusia lainnya yang
meliputi kebijakan, program, dan praktek pengelolaan pegawai yang
akan menjadi panduan bagi Parpol tersebut.
(3) Parpol telah memiliki persyaratan jabatan dan menetapkan kinerja
yang diharapkan untuk setiap posisi pimpinan.
(4) Pimpinan Parpol membangun kerja sama tim, mendorong
penerapan visi Parpol, dan mendorong adanya umpan balik dari
pegawai.
(5) Sistem manajemen kinerja Parpol mendapat prioritas tertinggi dari
pimpinan Parpol yang dirancang sebagai panduan bagi pegawai dalam
mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan.
(6) Parpol telah memiliki prosedur untuk memastikan bahwa pegawai
dengan kompetensi yang tepat yang direkrut dan dipertahankan.
(7) Pegawai telah diberikan orientasi, pelatihan dan kelengkapan kerja
untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab, meningkatkan kinerja,
meningkatkan kemampuan, serta memenuhi tuntutan kebutuhan
organisasi yang berubah-ubah.
(8) Sistem kompensasi cukup memadai untuk mendapatkan,
memotivasi, dan mempertahankan pegawai serta insentif dan
penghargaan disediakan untuk mendorong pegawai melakukan tugas
dengan kemampuan maksimal.
(9) Parpol memiliki program kesejahteraan dan fasilitas untuk
meningkatkan kepuasan dan komitmen pegawai.
(10) Pengawasan atasan dilakukan secara berkesinambungan untuk
memastikan bahwa tujuan pengendalian intern bisa dicapai.
(11) Pegawai diberikan evaluasi kinerja dan umpan balik yang bermakna,
jujur, dan konstruktif untuk membantu pegawai memahami hubungan
antara kinerjanya dan pencapaian tujuan Parpol.
(12) Pimpinan Parpol melakukan kaderisasi untuk memastikan
tersedianya pegawai dengan kompetensi yang diperlukan.
131
Pengendalian atas Pengelolaan Sistem Informasi
132
5) Pemantauan
Pimpinan Parpol wajib melakukan pemantauan Sistem Pengendalian
Intern, yang dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi
terpisah, dan tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya.
Pemantauan berkelanjutan sebagaimana dimaksud diselenggarakan melalui
kegiatan pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan, rekonsiliasi, dan
tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas.
Evaluasi terpisah diselenggarakan melalui penilaian sendiri, reviu,
dan pengujian efektivitas Sistem Pengendalian Intern dapat dilakukan
oleh aparat pengawasan intern Parpol atau pihak eksternal Parpol. Tindak
lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya segera diselesaikan dan
dilaksanakan sesuai dengan mekanisme penyelesaian rekomendasi hasil audit
dan reviu lainnya yang ditetapkan.
133
bukan substance over form. Berdasarkan ketentuan Form over substance,
maka Parpol harus mencatat transaksi keuangannya berdasarkan ketentuan
yang dibuat oleh KPU, tetapi jika ada hal-hal yang belum tercantum dalam
ketentuan KPU maka akuntansi Parpol dapat dilandaskan pada standar
akuntansi yang berlaku umum.
Dasar penyusunan Pedoman Sistem Akuntansi Keuangan Parpol
adalah PSAK 45 tentang Standar akuntansi untuk entitas nirlaba. PSAK 45
sementara ini adalah merupakan standar/acuan bagi akuntansi partai politik
sebelum ditetapkannya standar akuntansi khusus yang berlaku untuk partai
politik.
Susunan lengkap dari laporan keuangan partai politik terdiri dari:
a) Laporan posisi keuangan (neraca)
b) Laporan aktivitas keuangan
c) Laporan arus kas
d) Catatan atas laporan keuangan
Catatan: Bentuk laporan aktivitas keuangan terdiri dari 3 bentuk, A, B dan C.
Dipilihkan bentuk B (lihat tabel). Arus kas terdiri dari dua metode
yaitu metode tidak langsung dan metode langsung.
134
135
Sumber: Disadur dari buku Bastian, I (2007)
136
tercantum dalam ketentuan KPU maka akuntansi Parpol dapat
dilandaskan pada standar akuntansi yang berlaku umum.
2) Unit pelaporan adalah tunggal (bukan sebagai multiple entities).
Tidak ada bagian dalam Parpol yang menyelenggarakan akuntansi/
pembukuan selain Parpol itu sendiri. Dengan demikian:
(1) Struktur organisasi Parpol di tingkat bawah yang
menyelenggarakan pembukuan dan pelaporan keuangan
(DPD/DPW) tidak dianggap sebagai entitas akuntansi yang
lain.
(2) Laporan keuangan Parpol adalah laporan keuangan gabungan
dari seluruh struktur kepengurusan Parpol.
(3) Laporan keuangan eksternal diterbitkan oleh atau ditingkat DPP
(Pusat) berupa laporan keuangan DPP, di DPD berupa laporan
DPD yang akan digabungkan dengan tingkat pusatnya.
3) Asumsi keberlanjutan kegiatan (going concern), artinya bahwa partai
politik didirikan untuk waktu yang tidak terbatas untuk menlanjutkan
kegiatannya di masa mendatang dan tidak ada maksud atau
keinginan untuk melikuidasi atau membubarkan organisasi.
4) Akuntansi Parpol tidak bertujuan untuk mengukur laba/Profit,
dengan demikian aspek kinerja keuangan Parpol yang dinilai adalah
dari segi bagaimana Parpol tersebut dapat menghasilkan uang untuk
mendanai kegiatannya dan bagaimana transparansi dan akuntabilitas
keuangan Parpol terhadap para resource/penyumbang sumber daya
keuangan dan publik.
5) Asumsi dasar: basis akrual, bukan basis kas atau bukan basis kas
modifikasi. Artinya, bahwa pengaruh transaksi dan peristiwa lain:
(1) diakui pada saat kejadian (bukan pada saat kas atau setara kas
diterima atau dibayar), (2) Dicatat dalam laporan keuangan
pada periode yang bersangkutan, dan (3)dengan basis akrual
laporan keuangannya tidak saja merekam data historis tapi
juga memberikan informasi kewajiban masa yang akan
datang.
6) Sistem pencatatan double entry system, bukan single entry atau triple
entry.
137
7) Sudah mulai diperkenalkan segregation of function di mana unit -
unit pencatatan, pembukuan dan custody sudah dipisahkan dalam
fungsi-fungsi di Parpol.
8) Tahun pelaporan (tahun takwim 1 Januari sampai 31 Desember)
tetapi khusus untuk tahun 2003 tahun pelaporan adalah dari sejak
ditetapkan sebagai badan hukum sampai 31 Desember 2003. (Pasal 6
ayat 2, SK KPU NO 676 Tahun 2003).
9) Penanggung jawab utama laporan keuangan Parpol adalah ketua
umum Parpol yang bersangkutan, tanggung jawab ini dinyatakan
dalam suatu management representation letter. Laporan keuangan
harus ditandatangani minimal oleh Bendahara Umum dan Ketua
Umum Parpol.
10) Segala kekayaan Parpol harus terpisah dari kekayaan pengurusnya.
11) Diharapkan bahwa semua transaksi keuangan Parpol baik transaksi
keuangan maupun transaksi dana kampanye dilakukan melalui
mekanisme perbankan.
12) Tanggung jawab atas laporan dana kampanye berada pada pihak
yang wajib menyampaikan laporan dana kampanye, dengan rincian
sebagai berikut:
(1) Laporan dana kampanye calon anggota DPD adalah tanggung
jawab calon anggota DPD yang bersangkutan.
(2) Laporan dana kampanye partai politik adalah tanggung jawab
Ketua Umum dan Bendahara Umum Partai Politik.
(3) Laporan penerimaan dan pengeluaran Dana Kampanye DPP
adalah tanggung jawab Ketua Umum dan Bendahara Umum
partai Politik.
(4) Laporan penerimaan dan pengeluaran Dana Kampanye DPD
Propinsi adalah tanggung jawab Ketua dan Bendahara DPD
Propinsi.
(5) Laporan penerimaan dan pengeluaran Dana Kampanye DPD
Kabupaten/Kota adalah tanggung jawab Ketua dan Bendahara
DPD Kabupaten/Kota.
5.3. Pelaporan Dana Kampanye
Laporan Dana Kampanye dimaksudkan sebagai bentuk
pertanggungjawaban peserta Pemilu dalam hal pengelolaan Dana Kampanye
yang meliputi sumber-sumber perolehan dan penggunaannya. Laporan Dana
138
Kampanye berisi informasi tentang semua penerimaan kas dan nonkas serta
pengeluaran kas dan nonkas peserta Pemilu. Laporan dana kampanye
menyajikan sisi sumber dan penggunaan dana kampanye Parpol. Laporan ini
disajikan oleh Parpol yang mengikuti Pemilihan Umum sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari laporan keuangan tahunan, dan hanya disajikan pada
periode tahun yang ada pemilihan umum di dalamnya.
139
menjadi peserta Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dan ditutup satu hari setelah masa kampanye berakhir. Masa
kampanye berlangsung selama tiga minggu dan berakhir tiga
hari sebelum pemungutan suara. Dengan adanya RKDK ini maka
semua lalu lintas keuangan dana kampanye harus dilakukan
melalui rekening ini. Sebagai bentuk transparansi maka rekening
tersebut harus terbuka dan dapat diakses oleh publik yang
membutuhkan informasi mengenai keuangan Parpol.
Sumbangan-sumbangan yang ditujukan untuk keperluan
kampanye sebelum dibukanya rekening khusus;
Dana Kampanye dikelompokkan oleh partai politik sebagai
sumbangan terikat temporer dan dialihkan menjadi saldo awal
pada saat rekening khusus Dana Kampanye dibentuk. Demikian
pula pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan kampanye yang
terjadi sebelum dibukanya rekening khusus, dicatat dalam
pembukuan Partai politik.
140
5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Parpol di mana dalam pasal
16 disebutkan: Partai politik yang melanggar ketentuan sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 13 mengenai sanksi administratif berupa penghentian
bantuan keuangan dari APBN maupun APBD, sampai laporan diterima
pemerintah dalam tahun anggaran berkenaan.” Sedangkan pasal 13 berbunyi:
Partai Politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan
dan pengeluaran keuangan yang bersumber dari dana bantuan APBN/ APBD
secara berkala 1 (satu) tahun sekali kepada Pemerintah setelah diperiksa oleh
Badan Pemeriksa Keuangan. “Kita melihat laporan yang tidak transparan ini
sudah terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya.
Indonesia Corruption Watch menyatakan sebagian besar partai
politik cenderung tertutup terhadap laporan keuangan partai maupun sumber
keuangan partai. Hal ini menimbulkan dugaan, adanya dana-dana tak wajar
yang mengalir ke Parpol selain bantuan dari APBN. Selain laporan yang
tertutup, mekanisme pelaporan penggunaan uang partai politik ada yang
masih buruk. Padahal sebagai badan publik, partai wajib membuat laporan
keuangan untuk disampaikan secara terbuka kepada publik. Banyak format
laporan tidak sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 24 Tahun 2009 dan Undang-Undang Keterbukaan Informasi
Publik (KIP) Nomor 14 tahun 2008 pasal 15 dan Undang-Undang Partai
Politik Nomor 2 tahun 2008. Jika, aturan ini dilanggar, bukan tidak mungkin
ada yang tidak ingin menutupi sumber dana tidak halal.
Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan
laporan keuangan partai politik (Parpol) masih buruk. Laporan
keuangan Parpol sesuai Undang-undang (UU) Parpol No. 2/2008, bahwa
Parpol wajib membuat laporan keuangan untuk diserahkan ke negara.
ICW melakukan penelitian dimulai dengan mengirim surat permintaan
informasi ke Parpol sejak Juni 2011, namun tidak ditanggapi. ICW akhirnya
mendapatkan informasi laporan keuangan Parpol setelah mengajukan
sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP) pada Januari 2012.
Laporan keuangan yang diteliti berasal dari 9 Parpol yang mendapat subsidi
dari APBN karena memiliki kursi di DPR, yaitu Partai Demokrat, Golkar,
PDIP, PKS, PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura. Dari 9 Parpol tersebut,
hanya Partai Hanura yang tidak memberikan informasi laporan keuangan ke
ICW.
Menurut ICW, Partai Gerindra memiliki laporan keuangan paling
baik. Sedangkan Partai Demokrat, PDIP, PPP, dan Hanura paling buruk.
141
Sementara Golkar, PKS, PKB, dan PAN masuk dalam kategori cukup.
Namun, secara umum laporan keuangan Parpol masih buruk. Salah satu
faktor buruknya laporan keuangan Parpol karena pemerintah tidak
memberikan tekanan kepada Parpol. Jika diberikan sanksi, Ia yakin Parpol
akan berbenah membuat laporan yang sesuai standar yang ditetapkan
Kemendagri.
Untuk memperbaiki hal ini, ICW meminta Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan Mendagri aktif memeriksa laporan keuangan Parpol.
Selain itu, ICW juga meminta Parpol untuk lebih transparan dan akuntabel.
Melihat berbagai kekurangan ini, Parpol harus memperbaiki dengan
memberikan laporan keuangan yang transparan dan akuntabel pada publik
maupun BPK. Selain itu harus ada laporan yang terkonsolidasi daerah dan
pusat. Jika tidak, kita tidak tahu apabila dalam partai politik ada dualisme.
Yang dari APBN dilaporkan, sementara bukan APBN tidak disampaikan
kepada publik.
Selama ini yang selalu menjadi perhatian adalah apa yang para calon
legislatif sampaikan, janji-janji akan perubahan kondisi perekonomian,
kesejahteraan rakyat, dan untaian kata yang terdengar indah lainnya.
Pernahkah terlintas pemikiran mengenai dana kampanye yang digunakan
Parpol (partai politik) untuk mengusung kadernya, dari manakah asalnya,
bagaimanakah pelaporan atas penggunaan dana tersebut?
Persoalan transparansi atas pendanaan partai politik masih menjadi
tantangan hingga saat ini. Harapan publik untuk dapat mengakses dokumen
laporan keuangan masih sulit dijamin. Transparansi dan akuntabilitas
dalam pengelolaan keuangan partai politik adalah keniscayaan karena
sebagai institusi publik partai politik mempunyai peran besar dalam menjaga
demokrasi dan mengelola pemerintahan. Namun komitmen partai politik
untuk terbuka dan me mpertanggungjawabkan dana partai sangat lemah.
Secara khusus, fenomena pelaporan keuangan yang kurang baik itu sekaligus
memperlihatkan bahwa partai politik tidak disiplin dalam mencatat
penerimaan, pengelolaan, dan pengeluaran dana partainya.
142
Regulasi Bersifat Mandatori
Peraturan mengenai partai politik telah diatur dengan Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2011, sebagai pengganti dari Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Keuangan partai politik
bersumber dari iuran anggota, sumbangan, maupun bantuan keuangan dari
APBN/APBD. Dalam pasal 34A ayat 1 menyebutkan bahwa partai politik
wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan
pengeluaran yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara berkala 1 (satu)
tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun
anggaran berakhir. Tujuan audit oleh BPK tersebut adalah untuk menilai
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan bantuan
pemerintah dan efektivitas dan operasi penggunaan dana bantuan
pemerintah. Audit dilaksanakan berdasarkan Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara (SPKN).
Dalam pasal 38 UU No 2 th 2011 dijelaskan bahwa hasil
pemeriksaan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran
keuangan partai politik terbuka untuk diketahui masyarakat. Hal ini
mengindikasikan bahwa seharusnya masyarakat dapat mengetahui dan
mengakses atas pelaporan keuangan partai.
Keharusan Parpol mengimplementasikan Sistem Informasi
akuntansi. Setiap parppol peserta pemilu bertanggungjawab untuk
mengembangkan suatu sistem akuntansi yang:
1 Mempunyai sistem pengkodean unit organisasi dan klasifikasi buku
besar yang seragam
2) Mempunyai seperangkat buku besar dan buku pembantu yang bisa
menyediakan ikhtisar akuntansi dan identifikasi ke dokumen
sumber
3) Mencatat transaksi/kejadian sesuai dengan standar akuntansi yang
berterima umum
4) Memiliki pengendalian internal berupa organisasi, prosedur dan
catatan yang mempertimbangkan pengamanan aset dan keandalan
catatan-catatan keuangan
5) Menyediakan informasi yang berarti dan tepat waktu, agar pengurus
dapat menggunakannya untuk pengambilan keputusan dan pelaporan
yang tepat waktu
143
Audit Kantor Akuntan Publik/KAP
Audit KAP adalah audit atas Laporan Keuangan Tahunan Audit atas
laporan keuangan tahunan partai politik dilakukan oleh auditor independen
yaitu Kantor Akuntan Publik (KAP). Dalam hal ini partai politik melakukan
seleksi dan penetapan KAP sesuai dengan prosedur internal Partai. Dalam
menentukan KAP, partai politik harus memperhatikan validitas KAP
mengingat banyak terjadi praktik pemalsuan terhadap KAP. Karena itu
sebelum menunjuk KAP, partai dapat melakukan konsultasi kepada asosiasi
profesi akuntan publik yaitu Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI)
mengenai tata cara dan validitas KAP.
Audit atas Laporan Dana Kampanye Laporan dana kampanye partai
politik pada saat kampanye pemilu legislatif dilakukan audit oleh KAP yang
ditunjuk oleh KPU. Audit oleh KAP terhadap laporan dana kampanye
dilakukan dengan menggunakan metode audit prosedur disepakati (Audit
Upon Procedure/AUP). Dalam hal ini, KAP tidak memberikan suatu opini
atas penyajian laporan dana kampanye, melainkan KAP menjalankan
prosedur yang sudah ditentukan oleh KPU kemudian melaporkan hasil
pelaksanaan prosedur kepada KPU. Kesimpulan dan tindak lanjut hasil audit
ini merupakan wewenang KPU. Prosedur audit didasarkan kepada Peraturan
KPU terkait. Hingga sekarang ini laporan keuangan partai politik masih
belum dapat dijangkau untuk di audit oleh Kantor Akuntan Publik.
144
hal ini uanglah yang berbicara. Ini sudah terbukti di Pemilu 2009. regulasi
mengenai pembatasan maupun laporan keuangan konsolidasi dana kampanye
belum diatur dalam UU. Akibatnya pengurus Parpol dan caleg bisa
seenaknya menggelontorkan dana besar tak terbatas untuk kepentingan
kampanye, baik dirinya maupun Parpolnya.
Terkait dengan sanksi bagi pelaku politik uang dalam kampanye
pemilu ini, sebenarnya UU Pemilu sudah menyatakan dengan tegas apabila
yang dikenai hukuman bukan hanya pemberi dana kampanye, melainkan juga
penerimanya. “Namun yang dibatasi di sini dana perseorangan nonanggota
dan noncaleg serta badan usaha.Laporan keuangan Parpol sesuai Undang-
undang (UU) Parpol No. 2/2008, bahwa Parpol wajib membuat laporan
keuangan untuk diserahkan ke Negara.
Sebagaimana dijelaskan, setiap partai politik wajib membuat
pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan yang
diterima, serta terbuka untuk diketahui oleh masyarakat dan pemerintah.
Disamping itu partai politik harus membuat laporan keuangan secara berkala
satu tahun sekali kepada KPU setelah diaudit oleh akuntan publik. Dalam hal
dana kampanye, maka setiap partai politik harus memiliki rekening khusus
dana kampanye pemilihan umum dan menyerahkan laporan neraca keuangan
hasil audit akuntan publik kepada Komisi Pemilihan Umum paling lambat 6
(enam) bulan setelah hari pemungutan suara.
Penulis: Anak Agung Ngurah Bagus Dwirandra bisa dihubungi melalui surel
dwirandra2012@gmail. com
DAFTAR PUSTAKA
145
Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, serta calon anggota
Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2009.
Komisi Pemilihan Umum.2009. Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang
Dana Kampanye Peserta Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur,
Bupati, dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
146
BAB VI
KESIMPULAN dan SARAN
Kualitas demokrasi dan kebijakan publik di Indonesia masih sangat rendah. Hal
itu tercermin dari negatifnya penilaian masyarakat terhadap partai politik dan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
(Cirus Surveyor Group, Minggu 5 Januari 2014)
6.1 KESIMPULAN
147
Mahasiswa sebagai pembelajar setelah membaca buku ini, mengikuti
pemagangan dan mendapat nilai perkuliahan menjadi cakap dalam menilai
kondisi riil Parpol. Karena pemagangan yang dilakukan memiliki kontribusi
pada peningkatan „soft skill‟ mereka dalam masalah akuntabilitas Parpol dari
bab per bab buku ajar ini.
148
ditambah melemahnya ideologi yang berakibat pada mengendurnya ikatan
partai dan anggotanya. Kondisi tersebut diperparah dengan aturan mengenai
keuangan partai politik di Indonesia masih sangat sumir. Sebagai contoh,
aturan mengenai keuangan partai politik di Indonesia kerap kita temui berisi
larangan namun tak memuat sanksinya. Audit yang dilakukan seperti audit
dana kampanye hanya sebatas audit kepatuhan. Di lain pihak, partai selalu
menjadi salah satu institusi yang menempati daftar lima besar lembaga yang
paling tidak dipercaya publik di Indonesia.
Di tengah kondisi yang demikian, muncul wacana perihal rencana
bantuan negara melalui APBN sebesar 1 trilyun rupiah per partai per tahun
yang dicetuskan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Peningkatan
bantuan APBN itu disebut-sebut bertujuan untuk mengurangi pencarian dana
ilegal oleh partai politik. Tetapi, reaksi publik terhadap rencana tersebut
justru menyiratkan ketidakyakinan akan tercapainya tujuan mulia dari
peningkatan bantuan negara tersebut.
Pemberian bantuan pada partai politik oleh negara bukanlah hal
baru. Argentina, Kostarika dan Jerman adalah tiga negara yang telah
memberikan subsidi partai politik sejak tahun 1950an. Kini, semua negara
yang tergabung dalam Uni Eropa telah memberikan bantuan pada partai
politiknya di luar aktivitas keparlemenannya. Alasan utamanya adalah
bantuan negara untuk partai politik dapat memperjelas iklim transparansi dan
demokratisasi partai. Dengan memberikan subsidi kepada partai, publik
punya hak untuk meminta transparansi keuangan partai karena ada dana
publik yang berjasa menghidupi partai. Partai tak bisa berkelit dari tuntutan
untuk mereformasi sistem pendanaan partai sesuai amanat peraturan KPU
No. 8 tahun 205. Tak ada reformasi politik tanpa reformasi partai. Dan tak
ada reformasi partai tanpa reformasi sistem keuangan partai.
Audit kepatuhan partai atas laporan penerimaan dan pengeluaran
dana kampanye pada Pilkada 205 menunjukkan KAP/kantor akuntan publik
yang ditunjuk hanya mengaudit kepatuhan. Hasil audit tidak mencari esensi
penggunaan dana kampanye. Auditor hanya menyesuaikan kesesuaian
asersi atau pernyataan pasangan dan calon tidak sampai pada penelusuran
asal, dana, penggunaan dan laporan dana yang terserap. Meski begitu, rezim
subsidi partai juga harus mempertimbangkan dampak representasi politik.
Alokasi subsidi kepada partai terbukti memberikan insentif untuk membuat
partai besar dan partai-partai kecil akan tetap
149
bertahan hidup sehingga menyulitkan kehendak untuk menyederhanakan
sistem kepartaian kita.
150
popularitas dan kemampuan finansial dalam meraih kekuasaan (Gubernur
Lemhanas, Kompas, 22/10/2014).
Hal itu disebabkan oleh adanya tiga faktor pertama, sistem
perekrutan yang masih lemah, lembaga Parpol yang lemah dan pendidikan
politik yang lemah. Hal itu sejalan dengan perekrutan yang diamanatkan
dalam Undang- Undang nomor 2 tahun 2011 tentang partai politik dan
Undang-udang nomor 2 tahun 2012 tentang pemilihan umum tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Parpol cenderung hanya membawa kepentingannya
sendiri dalam perekrutan calon pemimpin.
Dalam situasi seperti ini sangat diperlukan sinergisitas dan
keterbukaan Parpol membangun kesadaran diri terutama melalui kader-
kadernya yang akan menjadi politisi dan calon pemimpin (legislatif dan
eksekutif) di tingkat pusat dan daerah. Parpol dituntut lebih banyak
melahirkan sikap politik yang bersikap konsensual konsisten membela
ideologinya, tetapi sekaligus membangun masyarakat. Seharusnya Parpol
yang kurang cerdas menelurkan politisi pemberani yang transparan dan
akuntabel mendapat pembinaan berkala di arena kemajemukan politik
nasional.
151
efektif jika terjadi kolusi karena akan berakibat rapuhnya semua sendi-sendi
SPI Parpol itu sendiri.
152
6. 2 SARAN
153
8. Melakukan audit melekat terhadap dana partai politik. Realitas yang
terjadi selama ini, masyarakat tidak pernah bisa tahu secara akurat
berapa putaran dana politik yang terjadi dalam rentang waktu tertentu.
pemasukan dan pengeluaran partai yang berasal dari APBN/ APBD
tidak pernah dapat diketahui secara pasti karena tidak ada instrumen
formal bagi negara atau masyarakat untuk bisa mengetahui dana politik
Parpol. Demikian pula dana elektoralnya. Tidak pernah diketahui berapa
sesungguhnya pengeluaran para kandidat dalam pemilu karena laporan
dana kampanye ke KPU/KPUD dapat dipastikan manipulatif.
9. Pembentukan komisi/badan pemeriksa dana politik menjadi sangat
penting. Oleh karena itu, diperlukan produk Undang-undang baru atau
merevisi Undang-undang lama untuk mendukung terbentuknya lembaga
tersebut.
154
TENTANG PENULIS DAN TIM PENELITI
155
I GUSTI PUTU BAGUS SUKA ARJAWA
menjabat Dekan FISIP Universitas Udayana
Periode 2013-2017 yang juga kolumnis tetap untuk
harian Bali Post. Alumni Doktor dan Master bidang
Sosiologi dan Sarjana Hubungan Internasional pada
Universitas Airlangga ini memaparkan cerita partai
politik dengan tinjauan sejarah yang dinarasikan pada
bagian tengah bab kedua. Tentunya penarasian
akuntabilitas kelembagaan menjadi menarik dengan
ulasan kekinian yang diramu secara ideologis pada setiap partai politik.
Analisis kasus memungkinkan refleksi diri mahasiswa dalam
memahami fungsi kelembagaan yang akuntabel terkait nilai-nilai budaya
yang ada di masyarakat menjadi koheren.
156
Kesbangpol Provinsi Bali memberi penegasan carut-marut akuntabilitas
kelembagaan Parpol. Pemagangan tahun 2016 menambah pengetahuan
mahasiswa tentang sistem audit keuangan oleh KPU (Peraturan KPU No. 8
tahun 2015). Hanya asersi kepatuhan saja yang dinilai dalam dana kampanye
dan tidak ada sanksi untuk kesalahan pelaporan. Untuk itu perlu mahasiswa
pengambil matakuliah ini merefleksikan kelemahan aturan hingga program
legislasi nasional/ prolegnas oleh parlemen pusat dapat dikejar sebagai
bagian dari kebijakan negara untuk partai politik yang akuntabel tanpa
politik uang atau politik dinasti.
157
pemantau dan pemeringkatan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah di
The Jawa Pos Intitute of Pro Otonomi (JPIP) Jawa Pos. Terlibat dalam
beberapa riset terkait studi kebijakan dan otonomi daerah, antara lain
SENADA-USAID tentang pemetaan regulasi yang berdampak beban
ekonomi biaya tinggi bagi industri daerah, peneliti pemetaan peran
komunitas sipil dalam pengentasan kemiskinan pada proyek Civil Society
Initiative Against Poverty (CSIAP) di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara
Barat dan Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, sebagai peneliti Indonesia
Governance Index (IGI) Provinsi Bali tahun 2012 serta peneliti Indonesia
Governance Index (IGI) untuk Kabupaten Karangasem pada tahun 2014.
Tahun 2006-2008 pernah beraktifitas sebagai karyawan di Universitas
Katolik Darma Cendika Surabaya dan dosen pada Program Studi Ilmu Politik
Universitas Brawijaya di tahun 2009. Tahun 2010 hingga sekarang
beraktifitas sebagai dosen tetap pada Program Studi Ilmu Politik, dan
menjadi Wakil Dekan bidang Akademik/PD I FISIP Universitas Udayana.
158
INDEKS
159
31, 35, 38, 39, 40, 41, 42, 49, G
50, 52, 59, 70, 71, 73, 85, 89,
Gaffar, 36
90, 94, 117, 122, 143, 148,
Gonggong, A, 2
151, 152, 154
Good governance, 1, 5, 6,
Desentralisasi, 9, 116, 151
10, 30, 117, 123, 127
Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilihan
Umum (DKPP), 97, 98 H
Dewan Pengurus Daerah Hak Asasi Manusia
(DPD), 138, 139 (HAM), 26, 65
Dewan Pengurus Pusat (DPP), Hazan, 42
124, 138 Heywood, 96
Dewan Pengurus Wilayah,
(DPW), 82, 83, 138 I
Dewan Perwakilan Cabang
Imansyah, 35, 37, 38
(DPC), 83
Imawan, 3, 91
Dewan Perwakilan Daerah
Indonesian Corruption
(DPD), 10, 16, 75, 76, 77,
Watch (ICW), 16, 141,
103, 113, 114, 115, 139
142, 143, 149, 153
Dewan Perwakilan Rakyat
Indonesian Governance
(DPR), 16, 20, 30, 40, 75, 83,
Index (IGI), 31
97, 99, 102, 109, 142, 148
Institute for Mutipartai
Dewan Perwakilan Rakyat
Democracy (IMD), 22
Daerah (DPRD), 16, 30, 75,
Isnaini, H.F, 13
82, 83, 97, 99, 102, 114
Dharmawan, J, 117
Duverger, M, 35, 36 J
Junaidi, V, 14
E
K
Effendi, B, 19, 55
Kantor Akuntan Publik
Eksekutif, 18, 38, 49, 52, 70,
(KAP), 70, 77, 78, 79, 80,
82, 152
97, 114, 115, 122, 145,
150, 153
F
Kartika, 26
Feodalisme, 3 Kartz dan Crotty, 81
Frederich, C, 59 Kementerian Hukum dan Hak
Firmanzah, 23, 39, 74 Asasi Manusia (Kemenkumham),
53
160
Kemitraan, 71, 72, 74 Megawati, 52, 60
Kerangka Kualifikasi Mubarok, A, 12
Nasional Indonesia Muhtadi, B, 18, 85
(KKNI), 26, 27, Mulgan, R, 5, 7
Komisi Informasi Publik (KIP), Musyawarah Luar Biasa
29 (Mubeslub), 50
Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), 17 N
Konstituen, 15, 18, 21, 26, 35, 36,
Napitupulu, 122
40, 41, 81
Kristiadi, J, 3, 116
Kurnia, E, 22 O
O‟Donel, 31
L Oligarki, 3, 37
Ombudsman, 3
Lasswel, 6
Lembaga Administrasi Negara
Republik Indoensia (LANRI), 5 P
Lembaga Survey Indonesia (LSI), Laporan penerimaan
18 sumbangan dana kampanye
Linz, 38 (PSDK), 151
Laksono, A, 37, 62 Pamungkas, 91
Laporan Penerimaan dan Patronase, 3
Pengeluaran Dana Kampanye Pedoman Sistem Akuntansi
(LPPDK), 78, 100, 101, 105, 151 Keuangan (PSAK), 135, 153
Laporan Awal Dana Kampanye Pelaksana Informasi Daerah
(LADK), 100, 105, 106, 107, 151 (PID), 149
Laporan Penerimaan Sumbangan Permadi, 89
Dana Kampanye (LPSDK), 101 Pitkin, 6, 31
Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Studi Akuntansi Sektor
(LSM), 10, 31, 145 Publik (PSASP), 145
Legislatif, 18, 38, 46, 49, 63, 70,
77, 78, 82, 83, 94, 95, 100, 113,
115, 143, 145, 152
R
Rahat, 42
Randall, 22, 42
M Rekening Khusus Dana
Kampanye (RKDK), 93, 94,
Ma‟mun, R, 29
140, 141
Mainwaring, 90
Renaisans, 35
161
Robinson, 43 Thiebault, 43
Romli, 38 Tomasi, 6
Torre, 31
S
Schroder, 75
Sentralisasi, 9
Setiadi, K, 60
Sistem Pengendalian Intern
(SPI), 152
Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara (SPKN),
144
Standbury, 5
Supriyanto, 89
Svasand, 22, 42
Syamsudin, H, 38, 40, 41, 81,
82, 83
T
Tanjung, A, 19
Tarkosunaryo, 141
U
Ucahjana, 6
Umar, 3
W
Widoyoko, 7
Wulandari, 89
Z
Zuryani, 39, 56
162