Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIK II

KESETIMBANGAN UAP – CAIR PADA SISTEM BINER

Nama : Fajrin Nurul Hikmah


NIM : 121810301022
Kelompok :1
Kelas :A
Asisten : Siti Rofiqoh

LABORATORIUM KIMIA FISIKA


JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Larutan adalah fase yang homogen yang mengandung lebih dari satu komponen. larutan
biner yaitu larutan yg mengandung dua atau lebih zat yg dapat melarut dengan baik. Suatu zat
cair ketika dipanaskan dalam wadah yang tertutup akan lebih cepat mendidih dibanding
dengan zat cair yang dipanaskan dalam wadah terbuka. Hal itu terjadi karena pengaruh
tekanan uap cairan, ketika tekanan uap cairan sama dengan tekanan uap luar saat itulah
dikatakan mendidih. Karena wadah tertutup, maka dapat diketahui batas antara fase uap dan
fase cair yang tidak setimbang. Tahap dimana rapatan uap sama dengan rapatan sisa cairan,
dan batas antar fase hilang disebut kesetimbangan antara uap dan cair. Temperature pada
keadaan tersebut adalah temperature kritis. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui indeks
bias larutan biner maka dilakukan percobaan “Kesetimbangan Uap-Cair Pada Sistem Biner”
ini.
1.2 Tujuan
Tujuan dari percobaan ini yaitu mempelajari sifat larutan biner dengan membuat digram
temperatur versus komposisi.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Material Safety Data Sheet


2.1.1 Aquades
Bahan yang digunakan adalah air atau akuades. Aquades berbentuk cairan dan tidak
berwarna. Aquades tidak berbau dan tidak mempunyai rasa yang khusus. Berat molekul
aquades adalah 18,2 g/mol. pH aquades adalah 7 yang berarti aquades ber-pH normal. Titik
didih aquades yaitu sebesar 100°C (212°F). Tekanan uap pada aquades adalah 2,3 kPa dengan
densitas uap sebesar 0,62. Massa jenis dari aquades adalah 1 g/L. Potensi Efek Kesehatan
Akut yang bisa ditimbulkan bila terkena aquades yaitu tidak korosif bagi kulit. tidak iritasi
bagi kulit. tidak sensitizer untuk kulit. tidak mengiritasi mata. tidak berbahaya apabila
tertelan, tidak berbahaya apabila terhirup. Tidak menimbulkan iritasi bagi paru-paru dan tidak
sensitizer untuk paru-paru. Potensi Efek Kesehatan kronis yang mungkin bisa ditimbulkan
oleh bahan ini yaitu tidak korosif bagi kulit. tidak mengiritasi kulit. tidak mengiritasi mata.
Bahan ini tidak memiliki efek karsinogenik, efek mutagenik dan efek teratogenik bagi
manusia. Aquades adalah bahan yang tidak mudah terbakar sehingga penanganan pada
kebakaran tidak diperlukan. Apabila bahan ini tumpah dalam volume yang kecil maka cukup
ditangani dengan mengepel tempat yang terkena bahan atau menyerap dengan bahan kering
inert dan menempatkan dalam wadah pembuangan limbah yang baik. Apabila bahan yang
tumpah dalam volume banyak maka bisa ditangani dengan diserap memakai bahan inert dan
menempatkan bahan yang tertumpah dalam pembuangan limbah yang baik. Penyimpanan
bahan ini tidak dmemerlukan tempat yang khusus. Bahan bisa disimpan di tempat yang bersih
dan bersuhu normal. Alat pelindung diri yang bisa di pakai saat memakai bahan ini adalah
memakai jas lab. Kaca mata pelindung. masker dan sarung tangan (Anonim, 2014).
2.1.2 Etanol
Bahan selanjutnya yaitu ethanol. Etanol juga disebut grain alcohol. Hal ini karena
etanol juga digunakan sebagai bahan dasar pada minuman, bukan methanol atau grup alkohol
lainnya. Senyawa ini berbentuk cairan yang tidak berwarna dan memiliki sifat yang mudah
menguap pada suhu rendah serta mudah terbakar pada suhu tinggi. Etanol memiliki rumus
molekul CH3CH2OH. Etanol memiliki kerapatan 0,79 g/cm³ dan titik didih 78°C (351oK),
sedangkan titik bekunya sebesar -113,84°C (-172,90F). Alkohol dapat bercampur dengan air
dan mudah bercampur dengan pelarut organic lainnya. Bagian tubuh yang terkena ethanol
akan terasa dingin(Anonim, 2014).
2.2 Kesetimbangan uap – cair pada sistem biner
Larutan dapat didefinisikan sebagai suatu sistem homogen yang terdiri dari dua
komponen atau lebih. Istilah pelarut dan zat terlarut sebenarnya biasa dipertukarkan, tetapi
istilah pelarut biasanya digunakan untuk cairan, bila larutan terdiri dari padatan atau gas
dalam cairan. Istilah ini untuk jenis larutan lain biasa digunakan untuk menyatakan zat yang
terdapat dalam jumlah yang lebih banyak. Komponen–komponen yang terdapat dalam jumlah
yang lebih sedikit biasanya dinamakan zat terlarut (Bird,1993).
Jika kita menghendaki komposisi uap yang dalam kesetimbangan dengan campuran
air, tidak cukup bila kita hanya mengetahui sifat-sifat campuran cair pada komposisi seperti
itu saja; sekarang kita juga harus mengetahui sampai sejauh mana sifat-sifat itu (khususnya
energi Gibbs) bergantung pada komposisi. Pengaruh temperatur yang pokok pada
kesetimbangan uap-cair terdapat dalam tekanan uap komponen murni atau lebih tepatnya
dalam fugasitas zat cair komponen murni. Sementara koefisien aktivitas bergantung pada
temperatur sebagaimana halnya komposisi, ketergantungan itu biasanya kecil bila
dibandingkan dengan ketergantungan tekanan uap zat cair murni pada temperatur. Dalam
suatu campuran, kenaikan temperature 10oC meningkatkan tekanan uap zat cair sebesar 1,5 -
2 kali. Oleh karena itu, kecuali pada perubahan temperatur yang besar sering lebih mudah bila
pengaruh temperatur terhadap gE diabaikan saja ketika menghitung kesetimbangan uap-cair
(Reid, 1990).
Bila seluruh larutan biner diuapkan secara parsial, komponen yang mempunyai
tekanan uap lebih tinggi akan terkonsentrasi pada fase uapnya, hingga terjadi perbedaan
komposisi antara cairan dengan uap yang setimbang. Uap tersebut dapat diembunkan sebagai
kondensat. Uap yang diperoleh dengan menguapkan secara parsial kondensat itu akan
mempunyai komposisi yang lebih kaya lagi akan komponen yang mudah menguap (Alberty,
1987 ).
Larutan dikatakan ideal jika larutan tersebut mengikuti hukum Roult pada seluruh
kisaran komposisi sistem. Hukum Roult dalam bentuknya yang lebih umum didefinisikan
sebagai fugasitas dari tiap komponen dalam larutan yang sama dengan keadaan serta fraksi
molnya dalam larutan tersebut, yakni:
f1 = X1 . f1*
Sedangkan hubungan antara tekanan parsial dan komposisinya dalam larutan
merupakan pendekatan dalam hal larutan yang mempunyai komponen tekanan parsial kecil.
P1 = X1 . P1o.
Dimana : p1 = tekanan uap larutan po = tekanan uap larutan murni X1 = mol fraksi
larutan Potensial kimia dari tiap komponen dalam larutan didefinisikan sebagai : µ1 = µ1o + R
T ln X1 (Dogra, 1990).
Komponen (pelarut dan zat terlarut) larutan ideal mengikuti Hukum Roult pada
seluruh selang konsentrasi. Larutan encer yang tak mempunyai interaksi kimia di antara
komponen-komponennya, Hukum Roult berlaku bagi pelarut, baik ideal maupun tak ideal.
Tetapi Hukum Roult tak berlaku pada zat terlarut pada larutan tak ideal encer. Perbedaan ini
bersumber pada kenyataan : molekul-molekul pelarut yang luar biasa banyaknya. Hal ini
menyebabkan lingkungan molekul terlarut sangat berbeda dalam lingkungan pelarut murni.
Zat terlarut dalam larutan tak ideal encer mengikuti Hukum Henry, bukan Hukum Roult
(Petrucci, 1992).
Larutan juga dapat dikatakan sebagai larutan ideal apabila :
1. Homogen pada seluruh system mulai dari mol fraksi 0-1
2. Tidak ada entalpi pencampuran pada waktu komponen-komponen dicampur
membentuk larutan ( ∆H pencampuran = 0 )
3. Tidak ada beda volume pencampuran, artinya volume larutan sama dengan jumlah
komponen yang dicampurkan ( ∆V pencampuran = 0 )
(Tim Penyusun, 2014).
komponen larutan ideal adalah komponen yang satu akan mempengaruhi sifat
komponen yang lain, sehingga sifat larutan yang dihasilkan terletak diantara sifat kedua
komponennya. Contoh, sistem benzene-toluena. Larutan non ideal adalah larutan yang tidak
memiliki sifat di atas. Larutan ini dibagi dua golongan yaitu : Larutan non ideal deviasi positif
yang mempunyai volume ekspansi, dimana akan menghasilkan titik didih maksimum pada
sistem campuran itu. Contoh : sistem aseton-karbondisulfida. Larutan non ideal deviasi
negative yang mempunyai volume kontraksi, dimana akan menghasilkan titik didih minimum
pada sistem campuran itu. Contoh : sistem benzene-etanol dan aseton-kloroform (Tim
Penyusun, 2014).
BAB 3 METODELOGI PERCOBAAN
3.1 Alat
- Piknometer
- Termometer Alkohol
- Pengaduk
- pipet
- Erlenmeyer
- Destilator
- Labu ukur
- Gelas ukur
- Beaker glass
3.2 Bahan
- Aquades
- Etanol
3.3 Skema Kerja
3.3.1 Menentukan kesetimbangan uap – cair larutan biner
Alkohol 70 %
-diencerkan dengan aquades sampai tanda batas
-dibuat dengan konsentrasi masing – masing 10,20,30,40,50,60% sebanyak 25 mL
-diambil 15 mL dari masing – masing konsentrasi lalu dimasukkan dalam destilator
-diambil sisanya lalu diukur massa jenisnya dengan digunakan piknometer
-diambil residunya dengan pipet
-ditentukan komposisi alkohol dalam destilatnya demikian juga residunya
-dilakukan pada setiap konsentrasi

Hasil
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Titik % alkohol fraksi
Konsentrasi Massa jenis
didih destilat residu mol
10% 0,934 g/mL 98 °C 49,892 4,103 0,0592
20% 0,931 g/mL 91 °C 46,095 7,788 0,13
30% 0,899 g/mL 84 °C 58,35 29,923 0,213
40% 0,886 g/mL 79 °C 58,35 38,235 0,32
50% 0,851 g/mL 73 °C 51,219 42,562 0,46
60% 0,821 g/mL 75 °C 59,881 56,856 0,66
70% 0,785 g/mL 70 °C 58,35 36,225 1

4.2 Pembahasan
Larutan biner adalah larutan yang mengandung dua komponen. Komponen dalam jumlah
yang sedikit disebut zat terlarut. Komponen dalam jumlah yang terbanyak disebut pelarut.
Larutan biner dapat bersifat ideal dan dapat bersifat tidak ideal.
Larutan ideal adalah larutan yang gaya intermolekul baik gaya intermolekul pada
molekul–molekul sejenis (pelarut–pelarut) atau pada molekul yang tidak sejenis (pelarut–zat
terlarut) adalah sama. Syarat dari larutan ideal adalah sebagai berikut :
1. Homogen pada seluruh sistem mulai dari mol fraksi 1-0
2. Tidak ada entalpi pencampuran pada waktu komponen – komponen
dicampur membentuk larutan (∆H pencampuran = 0)
3. Tidak ada beda volume pencampuran artinya volume larutan sama
dengan jumlah komponen yang dicampurkan (∆V pencampuran = 0)
4. Memenuhi hukum Raoult
Larutan non ideal idak memiliki sifat diatas, yaitu antara sifat komponen satu tidak
mempengaruhi sifat komponen lainnya. Larutan non ideal dibagi menjaadi dua golongan :
1. Larutan non ideal deviasi positif yang memiliki volume ekspansi, dimana akan
menghasilkan titik didih maksimum pada sistem campuran itu. Deviasi positif
menunjukkan adanya kerusakan ikatan intermolekul dalam system. ∆H (l) > 0, maka
proses pelarutan adalah endoterm. karena pada pembentukan larutan diserap oleh kalor,
maka komponen – komponen berada pada tingkat energi yang lebih tinggi setelah terjadi
interaksi dibanding sebelumnya. Contoh : sistem aseton-karbondisulfida.
2. Larutan non ideal deviasi negative yang mempunyai volume kontraksi, dimana akan
menghasilkan titik didih minimum pada sistem campuran itu. Penyimpangan negatif /
deviasi negatif biasanya disebabkan terbentuknya ikatan intermolekul antara komponen –
komponen yang terdapat dalam system, proses pelarutan eksoterm dan ∆H(l) < 0.
Contoh : sistem benzene-etanol dan aseton-kloroform.
Campuran alkohol dengan akuades akan membentuk azeotrop. Azeotrop adalah
campuran dari dua atau lebih cairan dalam sedemikian rupa sehingga komponen tidak dapat
diubah dengan distilasi sederhana. Hal ini terjadi karena ketika azeotrop direbus uap memiliki
proporsi yang sama dari konstituen sebagai campuran direbus. Adapun prinsip kerja dari
percobaan ini adalah perbedaan tekanan uap dan titik didih serta berat jenis suatu pelarut/zat
yang dimana saat titik didih terjadi, akan dapat kembali menjadi cair setelah menguap serta
ketetapan saat larutan itu menguap sama dengan kecepatan pada saat zat/larutan itu kembali
ke fase cairan. Proses distilasi dihentikan bila campuran tersebut sudah mencapai suhu
kesetimbangan saat cairan yang berada di dalam labu leher tiga mendidih untuk pertama kali.
Cairan yang jatuh dalam labu distilat pada saat proses distilasi disebut distilat yang berupa
larutan alkohol karena memiliki titik didih yang lebih rendah dibandingkan akuades.
Sedangkan cairan yang masih tertinggal di dalam labu leher tiga dinamakan residu yang
berupa akuades. Besarnya nilai densitas juga dipengaruhi oleh titik didih campuran. Namun
densitas juga sangat dipengaruhi oleh komposisi komponen tertentu.
Percobaan ini tentang kesetimbangan uap cair pada sistem biner. Kesetimbangan uap cair
dipengaruhi oleh suhu dan komposisi dari larutan tersebut. Dalam percobaan ini larutan yang
digunakan adalah akuades dan alkohol 70%, dimana titik didih alkohol lebih rendah
dibandingkan dengan akuades. Sehingga apabila komposisi alkohol dalam suatu larutan
semakin besar, maka titik didih larutan akan menjadi semakin rendah. Alkohol dengan
konsentrasi 70 % diencerkan menjadi konsentrasi 10, 20, 30, 40, 60 % dengan volume masing
larutan sebesar 25 mL. 10 mL dari masing – masing larutan diukur massa jenisnya dengan
menggunakan piknometer. Sisa dari masing – masing larutan diambil untuk dimasukkan
dalam destilator. Tujuan dari langkah ini yaitu untuk mendestilasi larutan agar mendapatkan
destilat dan residunya. Residu dan destilat yang sudah didapat kemudian diukur komposisi
alkoholnya dengan menggunakan alat sensor alkohol.
Pengukuran massa jenis larutan alkohol ini digunakan untuk menghitung fraksi molnya.
Langkah selanjutnya yaitu dibuat grafik hubungan fraksi mol dengan destilat. Fraksi mol
dengan residu dan fraksi mol dengan temperatur.
Hubungan fraksi mol dengan % alkohol
80
70 f(x) = 62.44 x + 14.65
R² = 0.92
60
50
% Alkohol

40
Linear ()
30
20
10
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
fraksi mol alkohol

Grafik diatas menunjukkan hubungan antara fraksi mol dengan alkohol. Menurut
literatur semakin besar nilai fraksi molnya maka komposisi % alkohol dalam larutannya
semakin besar. Hal ini sudah sesuai dengan hasil grafik diatas yang didapat dari percobaan
ini.

Hubungan fraksi mol alkohol dengan % alkohol


residu
60
50 f(x) = 38.73 x + 15.09
R² = 0.46
alkohol residu

40
30 Linear ()

20
10
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
fraksi mol

Grafik diatas menunjukkan hubungan antara fraksi mol dengan % residunya. Menurut
bliteratur semakin tinggi nilai fraksi molnya maka semakin kecil nilai % residunya. Namun
pada grafik diatas tidak menunjukkan demikian. Grafik yang didapat justru tidak
menunjukkan bahwa hasilnya sama dengan literatur. Hal ini mungkin diakibatkan karena
proses destilat yang dilakukan belum selesai, sehingga residu yang didapat masih banyak
mengandung alkohol. Kesalahan lain yang juga bisa menyebabkan perbedaan hasil dari
praktikum dengan literatur adalah kurang bersihnya alat yang digunakan.
Hubungan fraksi mol dengan temperatur
100
90
80 f(x) = − 23.92 x + 90.43
R² = 0.79
temperatur (oC)

70
60
50
Linear ()
40
30
20
10
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
fraksi mol

Menurut literatur, grafik yang didapat harus linear. Nilai temperatur saharusnya semakin
rendah apabila fraksi molnya semakin besar. Namun hasil dari praktikumnya tidak demikian.
Hasil dari grafik menjadi tidak sesuai literatur karena adanya kadar aquades yang masih
tercampur dalam labu leher tiga. Sehingga dapat mempengaruhi hasilnya.
BAB 5. PENUTUP
5.1 kesimpulan
Kesimpulan yang dapat tujuan praktikum kali ini yaitu nilai temperatur saharusnya
semakin rendah apabila fraksi molnya semakin besar. Namun hasil dari praktikumnya tidak
demikian. Hasil dari grafik menjadi tidak sesuai literatur karena adanya kadar aquades yang
masih tercampur dalam labu leher tiga. Sehingga dapat mempengaruhi hasilnya.
5.2 Saran
Praktikan harus menguasi materi praktikum sebelum percobaan dilakukan. Selain itu
alat yang digunakan harus benar – benar bersih agar tidak mempengaruhi hasil akhirnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alberty, A. R.. 1987. Kimia Fisika, edisi kelima, jilid I. Jakarta: Erlangga.
Anonim. 2014. MSDS Akuades. http://www.scienelab.com/msds/php?msdsld= 9927321. [12
Maret 2014].
Anonim. 2014. MSDS NaCl. http://www.sciencelab.com/msds.php?msdsId= 9924972. [12
Maret 2014].
Dogra, SK dan S. Dogra. 1990. Kimia Fisik dan Soal-soal. Jakarta : Universitas Indonesia.
Petrucci, R.H. 1992. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Edisi Keempat Jilid 1.
Jakarta: Erlangga.
Reid, Robert . C . 1990. Sifat Gas dan Zat Cair . Jakarta: PT Gramedia.
Tim kimia fisik. 2014. Buku Petunjuk Praktikum Kimia Fisik II. Jember : FMIPA.
Lampiran-perhitungan

1. Pengenceran
M1.V1= M2.V2
M1 = molaritas alkohol 70%
M2 = Molaritas alkohol yang akan dibuat
V2 = volume labu saat pengenceran (25 mL)
a. Pembuatan etanol 10% dari etanol 70%
M1.V1= M2.V2
70% V1 = 10% . 25 mL
V1 = 3,57 mL
b. Pembuatan etanol 20% dari etanol 70%
M1.V1= M2.V2
70% V1 = 20% . 25 mL
V1 = 7,14 mL
c. Pembuatan etanol 30% dari etanol 70%
M1.V1= M2.V2
70% V1 = 30% . 25 mL
V1 = 10,71 mL

d. Pembuatan etanol 40% dari etanol 70%


M1.V1= M2.V2
70% V1 = 40% . 25 mL
V1 = 14,28 mL
e. Pembuatan etanol 50% dari etanol 70%
M1.V1= M2.V2
70% V1 = 50% . 25 mL
V1 = 17,86 mL
f. Pembuatan etanol 60% dari etanol 70%
M1.V1= M2.V2
70% V1 = 60% . 25 mL
V1 = 21,43 mL
g. Pembuatan etanol 70% dari etanol 70%
M1.V1= M2.V2
70% V1 = 70% . 25 mL
V1 = 25 mL

Konsentrasi Volume alkohol yang Volume akuades


(10%) ditambahkan (mL)

10 3,57 21,43
20 7,14 17,86
30 10,71 14,29
40 14,29 10,71
50 17,86 7,41
60 21,43 3,57
70 25 0

2. Pengukuran masa jenis


( ( m . piknometer+ cairan )−( m . piknometer kosong ) )
ρ=
volume alkoh ol
a. Etanol 10%
(9,34 ) gr
ρ= = 0,934 gr/mL
10 mL
b. Etanol 20%
(9,31)gr
ρ= = 0,931 gr/mL
10 mL
c. Etanol 30%
(8,99)gr
ρ= = 0,899gr/mL
10 mL
d. Etanol 40%
(8,86) gr
ρ= = 0,886 gr/mL
10 mL
e. Etanol 50%
(8,51)gr
ρ= = 0,851 gr/mL
10 mL
f. Etanol 60%
(8,21)gr
ρ= = 0,821 gr/mL
10 mL
g. Etanol 70%
(7,85)gr
ρ= = 0,785 gr/mL
10 mL
3. Pengukuran fraksi mol
mol alkoh ol
X alkohol =
mol alko h ol+ mol air
a. Etanol 10%
m.alkohol = volume alkohol dalam larutan x masa jenis alkohol
m.alkohol =3,57mL x 0,934gr/mL
m.alkohol = 3,334 gr
malko h ol 3,334
mol alkohol = = = 0,0724
Mr etanol 46
m.air = volume air dalam larutan x masa jenis air
m.air = 21,43 mL x 0,97gr/mL
m.air = 20,78gr
m. air 20,78
mol air = = = 1,15
Mr air 18
mol alkoh ol 0,0724
X alkohol = = = 0,0592
mol alko h ol+ mol air 0,0724+1,15
b. Etanol 20%
m.alkohol = volume alkohol dalam larutan x masa jenis alkohol
m.alkohol =7,14mL x 0,931gr/mL
m.alkohol = 6,647 gr
malko h ol 6,647
mol alkohol = = = 0,144
Mr etanol 46
m.air = volume air dalam larutan x masa jenis air
m.air = 17,86 mL x 0,97gr/mL
m.air = 17,32 gr
m. air 17,32
mol air = = = 0,96
Mr air 18
mol alkoh ol 0,144
X alkohol = = = 0,130
mol alko h ol+ mol air 0,144+0,96
c. Etanol 30%
m.alkohol = volume alkohol dalam larutan x masa jenis alkohol
m.alkohol = 10,71mL x 0,899gr/mL
m.alkohol = 9,62 gr
malko h ol 9,62
mol alkohol = = = 0,209
Mr etanol 46
m.air = volume air dalam larutan x masa jenis air
m.air = 14,29 mL x 0,97gr/mL
m.air = 13,86 gr
m. air 13,86
mol air = = = 0,77
Mr air 18
mol alkoh ol 0,209
X alkohol = = = 0,213
mol alko h ol+ mol air 0,209+0,77
d. Etanol 40%
m.alkohol = volume alkohol dalam larutan x masa jenis alkohol
m.alkohol = 14,29 mL x 0,886gr/mL
m.alkohol = 12,661 gr
malko h ol 12,661
mol alkohol = = = 0,27
Mr etanol 46
m.air = volume air dalam larutan x masa jenis air
m.air = 10,71 mL x 0,97gr/mL
m.air = 10,38 gr
m. air 10,38
mol air = = = 0,576
Mr air 18
mol alkoh ol 0,27
X alkohol = = = 0,32
mol alko h ol+ mol air 0,27+0,576
e. Etanol 50%
m.alkohol = volume alkohol dalam larutan x masa jenis alkohol
m.alkohol = 17,86 mL x 0,851gr/mL
m.alkohol = 15,20gr
malko h ol 15,20
mol alkohol = = = 0,330
Mr etanol 46
m.air = volume air dalam larutan x masa jenis air
m.air = 7,14 mL x 0,97gr/mL
m.air = 6,92 gr
m. air 6,92
mol air = = = 0,384
Mr air 18
mol alkoh ol 0,330
X alkohol = = = 0,46
mol alko h ol+ mol air 0,330+0,384

f. Etanol 60%
m.alkohol = volume alkohol dalam larutan x masa jenis alkohol
m.alkohol = 21,43 mL x 0,821gr/mL
m.alkohol = 17,6 gr
malko h ol 17,6
mol alkohol = = = 0,38
Mr etanol 46
m.air = volume air dalam larutan x masa jenis air
m.air = 3,57 mL x 0,97gr/mL
m.air = 3,46 gr
m. air 3,46
mol air = = = 0,192
Mr air 18
mol alkoh ol 0 , 38
X alkohol = = = 0,66
mol alko h ol+ mol air 0,3 8+0,19 2
g. Etanol 70%
m.alkohol = volume alkohol dalam larutan x masa jenis alkohol
m.alkohol = 25 mL x 0,785gr/mL
m.alkohol = 19,62gr
malko h ol 19,62
mol alkohol = = = 0,43
Mr etanol 46
m.air = volume air dalam larutan x masa jenis air
m.air = 0 mL x 0,97gr/mL
m.air = 0 gr
m. air 0
mol air = = =0
Mr air 18
mol alkoh ol 0,4 3
X alkohol = = =1
mol alko h ol+ mol air 0,4 3+0
4. Pengukuran indeks bias
a. Residu setelah didistilasi

Komposisi Komposisi
etanol alkohol
(%)
10 4,103

20 7,788

30 29,923

40 38,235
50 42,562

60 56,856

70 36,225

b. Destilat

Komposisi etanol
Komposisi alkohol
(%)
10 49,892
20 46,095
30 58,350
40 58,350
50 51,219
60 59,881
70 58,350

Anda mungkin juga menyukai