Anda di halaman 1dari 39

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cerebrovascular accident (CVA) infark suatu penyakit yang terjadi ketika terhentinya
pasokan darah ke otak terganggu, atau bahkan berkurang yang dapat menyebabkan jaringan
pada otak kekurangan oksigen dan nutrisi. Penyakit pada kondisi ini dapat mengancam
kehidupan seseorang hingga kecacatan permanen dalam otak. (Sholeh, 2019). Hambatan.
mobilitas, fisik juga dapat terjadi pada pasien CVA infark.
WHO atau World Health Organization (2015), menyatakan bahwa ada sebesar 7,9%
kematian disebabkan oleh stroke yang sedang terjadi di Indonesia. Ada 10% kemungkinan
dalam Negara maju yang menyebabkan kematian dunia akibat CVA infark setelah penyakit
kanker (12%) dan jantung koroner (13%). Sedangkan ada 10,9% penduduk yang terdefinisi
penyakit CVA infark dengan rata-rata jenis kelamin perempuan sebanyak (10,9%) dan laki-
laki (11,0%). Sedangkan dalam provinsi jawa timur telah ada sekitar 36,32%% penduduknya
yang telah menderita penyakit CVA infark dengan angka kematian 1 per 20 dari pada tingkat
rehabilitasi maupun kesembuhannya, sedangkan ditinjau dari gejalanya ada sekitar 10,5%
dari 302.987 penduduk di Indonesia, serta ada 39,4% yang mengalami kecacatan permanen
(imobilisasi) dan 38,7% yang dapat disembuhkan. Secara berkala (Riskesdas, 2018).
Penatalaksanaan CVA infark pada klien hambatan mobilitas fisik secara mandiri
diberikan ketika kondisi hemodinamik dan neurologis pasien stabil. Mobilisasi dilakukan
secara rutin dan berkelanjutan untuk menghindari adanya komplikasi. Latihan range of
motion (ROM) adalah salah satu terapi untuk berlatih dalam proses rehabilitasi agar
terhindar dari kerusakan permanen yang bisa terjadi pada pasien CVA infark . Latihan ini
juga merupakan bentuk penatalaksanan mendasar yang dapat dilakukan oleh perawat
(Setyawati, 2019). Selain itu, untuk mengurangi tingkat insidensi yang terjadi maka
masyarakat harus membiasakan pola hidup sehat dengan cara mengkonsumsi makanan
bergizi dan seimbang seperti sayuran, buahbuahan. Diimbangi dengan aktivitas fisik yang
cukup seperti olahraga. Menerapkan minum air 2 liter perhari, menghindari obat-obatan
terlarang, istirahat yang cukup adekuat.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan CVA infark di poli Saraf RSUD dr R.
Koesma Tuban yang meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi .
1.3 Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum:
Melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan CVA infark di poli saraf RSUD
dr. R. Koesma Tuban
2. Tujuan khusus :
a. Melaksanakan pengkajian pada klien dengan CVA infark
b. Merumuskan diagnosis keperawatan pada klien dengan CVA infark
c. Merencanakan tindakan keperawatan pada klien dengan CVA infark
d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan CVA infark
e. Melaksanakan evaluasi pada klien dengan CVA infark

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep CVA (Cerebro Vascular Accident)
2.1.1 Definisi
Cerebro Vascular Accident (CVA) disebut juga dengan stroke. CVA adalah suatu
keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di otak yang
menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang
menderita kelumpuhan atau kematian (Batticaca, 2008).
Stroke adalah gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit neurologis
mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi saraf otak. Istilah stroke
biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum (Nurarif &
Hardhi, 2015)

2.1.2 Etiologi
Menurut Muttaqin (2008), penyebab dari stroke iskemik ada lima, yaitu :
1. Thrombosis Cerebral.
Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapa menimbulkan oedema dan kongesti
di sekitarnya. Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau
bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan
penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral. Tanda dan
gejala neurologis seringkali memburuk pada 48 jam setelah thrombosis.
Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan thrombosis otak :
1) Atherosklerosis Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta
berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah. Kerusakan
dapat terjadi melalui mekanisme berikut :
a. Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah
b. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi thrombosis
c. Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian melepaskan
kepingan thrombus (embolus)
d. Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek dan
terjadi perdarahan.
2) Hypercoagulasi pada polysitemia
Darah bertambah kental , peningkatan viskositas /hematokrit meningkat
dapat melambatkan aliran darah serebral.
3) Arteritis( radang pada arteri )
2. Emboli
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan
darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung
yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung
cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik.
3. Hemoragik
Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang
subarachnoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi
karena atherosklerosis dan hypertensi. Akibat pecahnya pembuluh darah otak
menyebabkan perembesan darah kedalam parenkim otak yang dapat
mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang
berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan, sehingga
terjadi infark otak, oedema, dan mungkin herniasi otak.

2
Penyebab perdarahan otak yang paling lazim terjadi :
1) Aneurisma Berry,biasanya defek kongenital.
2) Aneurisma fusiformis dari atherosklerosis.
3) Aneurisma myocotik dari vaskulitis nekrose dan emboli septis.
4) Malformasi arteriovenous, terjadi hubungan persambungan pembuluh darah
arteri, sehingga darah arteri langsung masuk vena.
5) Ruptur arteriol serebral, akibat hipertensi yang menimbulkan penebalan dan
degenerasi pembuluh darah.
4. Hypoksia Umum
1) Hipertensi yang parah.
2) Cardiac Pulmonary Arrest
3) Cardiac output turun akibat aritmia
5. Hipoksia setempat
1) Spasme arteri serebral , yang disertai perdarahan subarachnoid.
2) Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migrain

2.1.3 Manifestasi klinik


Manifestasi klinis stroke bergantung pada arteri serebral yang terkena, fungsi
otak dikendalikan atau diperantarai oleh bagian otak yang terkena, keparahan
kerusakan serta ukuran daerah otak yang terkena selain bergantung pula pada derajat
sirkulasi kolateral (Hartono, 2009). Menurut Oktavianus (2014) manifestasi klinis
stroke sebagai berikut :
1. Stroke iskemik
Tanda dan gejala yang sering muncul yaitu:
a. Transient ischemic attack (TIA)
Timbul hanya sebentar selama beberapa menit sampai beberapa jam dan
hilang sendiri dengan atau tanpa pengobatan. Serangan bisa muncul lagi
dalam wujud sama, memperberat atau malah menetap.
b. Reversible Ischemic Neurogic Difisit (RIND)
Gejala timbul lebih dari 24 jam
c. Progressing stroke atau stroke inevolution
Gejala makin lama makin berat (progresif) disebabkan gangguan aliran darah
makin lama makin berat
d. Sudah menetap atau permanen
2. Stroke hemoragik
Tanda dan gejala yang muncul sangat tergantung dengan daerah otak yang
terkena.
a. Lobus parietal, fungsinya yaitu untuk sensasi somatik, kesadaran
menempatkan posisi.
b. Lobus temporal, fungsinya yaitu untuk mempengaruhi indra dan memori
c. Lobus oksipital, fungsinya yaitu untuk penglihatan
d. Lobus frontal, fungsinya untuk mempengaruhi mental, emosi, fungsi fisik,
intelektual
Stroke dapat mempengaruhi fungsi tubuh. Adapun beberapa gangguanyang
dialami pasien yaitu:
a. Pengaruh teradap status mental: tidak sadar, confuse
b. Pengaruh secara fisik: paralise, disfagia, gangguansentuhan dan sensasi,
gangguan penglihatan, hemiplegi (lumpuh tubuh sebelah).
c. Pengaruh terhadap komunikasi: afasia (kehilangan bahasa), disartria (bicara
tidak jelas).

3
2.1.4 Klasifikasi
1. Berdasarkan penyebabnya, stroke dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu :
a. Stroke Iskemik
Hampir 85% stroke di sebabkan oleh, sumbatan bekuan darah,
penyempitan sebuah arteri atau beberapa arteri yang mengarah ke otak, atau
embolus (kotoran) yang terlepas dari jantung atau arteri ekstrakranial (arteri
yang berada di luar tengkorak). Ini di sebut sebagai infark otak atau stroke
iskemik.Pada orang berusia lanjut lebih dari 65 tahun, penyumbatan atau
penyempitan dapat disebabkan oleh aterosklerosis (mengerasnya arteri). Hal
inilah yang terjadi pada hampir dua pertiga insan stroke iskemik.
Emboli cenderung terjadi pada orang yang mengidap penyakit jantung
(misalnya denyut jantung yang cepat tidak teratur, penyakit katub jantung
dan sebagainya) secara rata-rata seperempat dari stroke iskemik di sebabkan
oleh emboli, biasanya dari jantung (stroke kardioembolik) bekuan darah dari
jantung umumnya terbentuk akibat denyut jantung yang tidak teratur
(misalnya fibrilasi atrium), kelainan katup jantung (termasuk katub buatan
dan kerusakan katub akibat penyakit rematik jantung), infeksi di dalam
jantung (di kenal sebagai endocarditis) dan pembedahan jantung.
Penyebab lain seperti gangguan darah, peradangan dan infeksi merupakan
penyebab sekitar 5-10% kasus stroke iskemik, dan menjadi penyebab
tersering pada orang berusia muda.namun, penyebab pasti dari sebagian
stroke iskemik tetap tidak di ketahui meskipun telah dilakukan pemeriksaan
yang mendalam. Sebagian stroke iskemik terjadi di hemisfer otak, meskipun
sebagian terjadi di serebelum (otak kecil) atau batang otak.
Beberapa stroke iskemik di hemisfer tampaknya bersifat ringan (Sekitar
20% dari semua stroke iskemik) stroke ini asimptomatik (tidak bergejala, hal
ini terjadi ada sekitar sepertiga pasien usia lanjut) atau hanya menimbulkan
kecanggungan, kelemahan ringan atau masalah daya ingat. Namun stroke
ringan ganda dan berulang dapat menimbulkan cacat berat, penurunan
kognitif dan dimensia(Irfan, 2012). Biasanya terjadi saat setelah lama
beristirahat, baru bangun tidur atau dipagi hari ( Wijaya & Putri, 2013).
b. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik di sebabkan oleh perdarahan ke dalam jaringan otak
(disebut hemoragia intraserebrum atau hematom intraserebrum) atau ke
dalam ruang subaraknoid yaitu ruang sempit antara permukaan otak dan
lapisan jaringan yang menutupi otak (disebut hemoragia subaraknoid). Ini
adalah jenis stroke yang paling mematikan, tetapi relative hanya menyusun
sebgian kecil dari stroke total, 10-15% untuk perdarahan intraserebrum dan
5% untuk perdarahan subaraknoid(Irfan, 2012). Biasanya kejadianya saat
melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat
( Wijaya & Putri, 2013).

4
Tabel 1. Perbedaan Stroke Non Haemoragic dan Stroke Hemoragik

Kriteria Stroke hemoragik Stroke Iskemik


Perbedaan Parenchymatou Subarachnoi d Trombosis of Embolism of
s Hemorrhage Hemorrhage cerebral cerebral
vessels vessels
Usia 40-60 th 20-40 th 50 th Tidak penting
pada sumber
emboli
Tanda awal Sakit kepala Sakit kepala Serangan Tidak sakit
menetap sementara TIA(iskemik kepala
sementara)
Saat Mendadak, Mendadak, Pucat Pucat
timbulnya kadang pada merasa ada
penyakit saat melakukan tiupan di kepal
aktivitas dan
adanya tekanan
mental
Gangguan Penurunan Gangguan Kecepatan Sering pada
kesadraan kesadaran kesadaran menurunnya awal kejadian
mendadak reversible sesuai dengan atau
memberatnya perubahan
defisit yang terjadi
neurologis sesuai dengan
beratnya
defisit
neurologis
Sakit kepala Kadang-kadang Kadang-kadang Jarang Jarang
Motor Kadang-kadang Kadang-kadang Jarang Jarang
Exitation
Muntah 70-80% >50% Jarang 2-5% Kadang-
kadang (25-
30%)
Pernapasan Irreguler, Kadang Jarang terjadi Jarang terjadi
(Breathing) mengorok CheyneStokes gangguan pada gangguan
Kemungkinan kasus proses pada kasus
bronchorrea hemisfer proses
hemisfer
Nadi (pulse) Tegang, Kecepatan nadi Mungkin cepat Bergantung
bradikardia 80- 100x/menit dan halus pada etiologi
lebih sering penyakit
daripada jantung
takikardia
Jantung Batas jantung Patologi Lebih sering Alat jantung
(heart) mengalami jantung jarang kardiosklerosis endokarditis,
dilatasi, tekanan , tanda aritmia
aorta terdengar hipertonik kardiak
pada bunyi jantung
jantung II

5
Tekanan Hipertensi arteri Jarang Bervariasi Bervariasi
darah (blood meningkat
preassure) (mungkin
menetap tak
berubah)
Paresis atau Hemiplegia Bisa tidak ada. Hemiparesis Hemiparesis,
plegia dengan aktivitas Jarang pada lebih kelemahan di
ekstremitas berlebih, lutut prominen pada salah satu
ekstensi salah satu ekstremitas
abnormal ekstremitas lebih tampak
bisa mengarah daripada yang
ke hemiplegia lainnya.
Kadangkadang
mengarah ke
hemplegia
Tanda Kadang-kadang Kadangkadang Unilateral l Unilateral
Patologi bilateral, mengarah ke
tampak lesi bilateral
pada salah satu
sisi serebra
Rata-rata Cepat Cepat Berlahan Cepat
perkembang
an penyakit
Serangan Jarang 30% Jarang Jarang
Tanda awal Kadang-kadang Hampir selalu Jarang Jarang pada
iritasi gejala awal
meningeal penyakit
Pergerakan Kadang-kadang Kadang-kadang Kadang- Jarang
mata kadang
Cairan Berdarah atau Kadangkadang Tidak Tidak
cerebrospinal xanthocromic perdarahan berawarna dan berwarna dan
dengan jernih jernih
peningkatan
tekanan
Fundus mata Kadang-kadang Jarang Perubahan Perbedaan
perdarahan dan perdarahan sklerotik perubahan
perubahan pembuluhan pembuluh
pembuluh darah darah darah
(arterosklero
sis dan
vaskulitis)
Echo-EG Terdapat tanda tidak terdapat Tidak terdapat
pergantian pergantian tanda
Mecho dan tanda Mecho di pergantian
hematoma edema otak dan Mecho atau
hipertensi kemungkinan
intrakranial pergantia
hingga 2mm
keutuhan
hemisfer pada

6
hari pertama
serangan
stroke
Sumber : Baticca, 2008

2. Bedasarkan defisit neurologis dibagi menjadi empat jenis yaitu :


a. Transient Ischemic Attack (TIA)
Merupakan gangguan pembuluh darah otak yang menyebabkan timbulnya
defisit neurologis akut yang berlangsung kurang kurang dari 24 jam. Stroke
ini tidak akan meninggalkan gejala sisa sehingga pasien tidak terlihat pernah
mengalami serangan stroke. Akan tetapi adanya TIA merupakan suatu
peringatan akan serangan stroke selanjutnya sehingga tidak boleh di abaikan
begitu saja. (Irfan, 2012)
b. Reversible Ischemic Neurological Deficid (RIND)
Kondisi RIND hampir sama dengan TIA, hanya saja berlangsung lebih lama,
maksimal 1 minggu (7 hari). RIND juga tidak meninggalkan gejala sisa.
(Irfan, 2012)
c. Complete Stroke
Merupakan gangguan pembuluh darah otak yang menyebabkan deficit
neurologis akut yang berlangsung lebih dari 24 jam. Stroke ini akan
meninggalkan gejala sisa. (Irfan, 2012)
d. Stroke in Evolution (Progressive Stroke)
Stroke ini merupakan jenis yang terberat dan sulit di tentukan
prognosanya.Hal ini disebabkan kondisi pasien yang cenderung labil,
berubah-ubah, dan dapat mengarah ke kondisi yang lebih buruk. (Irfan, 2012)
3. Berdasarkan klinisnya, stroke dibagi menjadi 2, yaitu
a. Lacunar Syndromes (LACS)
Terjadi penyumbatan tunggal pada lubang arteri sehingga menyebabkan
area terbatas akibat infark yang disebut dengan lacune. Istilah lacune adalah
salah satu yang patologis dan akan tetapi terdapat beberapa kasus di literature
yang memiliki kolerasi patologi dengan klinikoradiologikal. Mayoritas
lacune terjadi di area seperti nucleus lentiform dan gejala klinisnya tidak di
ketahui.Terkadang terjadi kemunduran kognitif pada pasien
Lacunar yang lain juga dapat mengenai kapsula interna dan pons di mana
akan mempengaruhi traktus asendens dan desendens yang menyebabkan
defisit klinis yang luas. Bila di ketahui lebih awal tentang dasar pola
neuovaskuler, lesi tersebut dapat di kurangi sehingga mempunyai tingkat
kognitif dan fungsi visual yang lebih tinggi. Jadi LACS memiliki defisit
maksimal dari gangguan pembuluh darah tunggal, tanpa gsnggusn visual,
tidak ada gangguan pada level fungsi kortikal yang lebih tinggi serta tidak
ada tanda gangguan pada batang otak(Irfan M. , 2012).
b. Posterior Circulation Syndromes (POCS)
Menyebabkan kelumpuhan bagian saraf cranial ipsilateral (tunggal
maupun majemuk) dengan kontralateral defisit snsorik meupun
motoric.Terjadi pula defisit motorik-motorik bilateral.Gangguan gerak bola
mata (horizontal maupun vertical), gangguan cerebellar tanpa defisit traktus
bagian ipsilateral, terjadi hemianopia atau kebutaan kortikal.POCS

7
merupakan gangguan fungsi pada tingkatan kortikal yang lebih tinggi atau
sepanjang yang dapat di kategorikan sebagai POCS(Irfan M. , 2012)

2.1.5 Faktor resiko


Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan seseorang beresiko terhadap
stroke.Faktor risiko ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang tidak dapat
dikendalikan dan yang dapat dikendalikan.Faktor yang dapat dikendalikan yaitu
faktor yang tidak dimodifikasi.Sedangkan, faktor yang dapat diubah sesuai dengan
perilaku masing-masing individu.(Farida & Amalia , 2009)
1. Faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan
a. Usia
Lebih tua umur lebih mungkin terjadinya stroke (Irfan, 2012). Resiko
semakin meningkat setelah usia 55 tahun. Usia terbanyak terkena serangan
stroke adalah usia 65 tahun ke atas (Indrawati, Sari, & Dewi, 2008). Namun
stroke tidak hanya diderita oleh orang lanjut usia saja, melainkan golongan
remaja akhir dan dewasa juga beresiko terkena stroke. Stroke juga dapat
terjadi pada usia muda, bahkan anak anak. Anak-anak biasanya sangat senang
bermain dan dapat beresiko jatuh serta mengalami benturan dikepala.Apabila
terjadi benturan di kepala, maka ini dapat mengakibatkan stroke.Hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya stroke hemoragik yaitu stroke yang diakibatkan
oleh pecahnya pembuluh darah otak(Farida & Amalia, 2009).
b. Jenis kelamin
Stroke menyerang laki-laki 19% lebih banyak dibandingkan perempuan
(Indarwati , Sari, & Dewi, 2008). Hal ini dikarenakan perempuan memiliki
hormon esterogen yang berperan dalam mempertahankan kekebalan tubuh
sampai menopause dan sebagai proteksi atau pelindung pada proses
ateroskerosis. Namunsetelah perempuan tersebut mengalami menopouse ,
besar risiko terkena stroke antara laki-laki dan perempuan menjadi
sama(Farida & Amalia, 2009).
c. Ras dan etnis
Stroke lebih banyak menyerang dan menyebabkan kematian pada ras kulit
hitam, Asia dan Kepulauan Pasifik, serta Hispanik dibandingkan kulit putih
(Indarwati , Sari, & Dewi, 2008).Menurut Price dan Wilson (2006) bahwa
orang Amerika keturunan Afrika memiliki angka resiko yang lebih tinggi
daripada orang Kaukasia. Dengan kata lain, orang berkulit hitam lebih
beresiko terkena stroke. Orang kulit hitam lebih banyak terkena hipertensi
daripada orang berkulit putih karena berkaitan dengan konsumsi
garam(Farida & Amalia, 2009)
d. Riwayat stroke dalam keluarga
Dari sekian banyak kasus stroke yang terjadi, sebagian besar penderita
stroke memiliki faktor riwayat stroke dalam keluarganya. Keturunan dari
penderita stroke diketahui menyebabkan perubahan penanda aterosklerosis
awal, yaitu proses terjadinya timbunan zat lemak dibawah lapisan dinding
pembuluh darah yang dapat memicu terjadinya stroke. Beberapa penelitian
lain yang telah dilakukan mengesankan bahwa riwayat stroke dalam keluarga
mencerminkan suatu hubungan antara faktor genetis dengan tidak
berfungsinya lapisan dinding pembuluh darah dalam arteri koronaria(Farida
& Amalia, 2009).
2. Faktor Risiko yang dapat dikendalikan
a. Tekanan Darah Tinggi

8
Hipertensi merupakan faktor risiko baik untuk orangtua maupun dewasa
muda (Irfan, 2012). Hipertensi mempercepat terjadinya aterosklerosis, yaitu
dengan cara menyebabkan perlukaan secara mekanis pada sel endotel
(dinding pembuluh darah) di tempat yang mengalami tekanan tinggi (Farida
& Amalia, 2009). Jika proses tekanan berlangsung lama, dapat menyebabkan
kelemahan pada dinding pembuluh darah sehingga menjadi rapuh dan mudah
pecah (Indarwati , Sari, & Dewi, 2008)
b. Kadar Kolestrol
Hiperkolestrolemia dapat menyebabkan aterosklerosis. Aterosklerosis
berperan dalam menyebabkan penyakit jantung koroner dan stroke itu sendiri
(Indarwati , Sari, & Dewi, 2008). Karena kolestrol tidak dapat langsung larut
dalam darah dan cenderung menempel di pembuluh darah, akibatnya kolestrol
membentuk bekuan dan plak yang menyumbat arteri dan akhirnya
memutuskan aliran darah ke jantung (menyebabkan serangan jantung) dan ke
otak (menyebabkan stroke)(Farida & Amalia, 2009).
c. Obesitas
Makan berlebihan dapat menyebabkan kegemukan (obesitas).Obesitas lebih
cepat terjadi dengan pola hidup pasif (kurang gerak dan olahraga).Jika
makanan yang dimakan banyak mengandung lemak jahat (seperti kolestrol),
maka ini dapat menyebabkan penimbunan lemak disepanjang pembuluh
darah.Penyempitan pembuluh darah ini menyebabkan aliran darah kurang
lancar dan memicu terjadinya aterosklerosis atau penyumbatan dalam
pembuluh darah yang pada akhirnya beresiko terserang stroke. Penyumbatan
tersebut biasanya diakibatkan oleh plak-plak yang menempel pada dinding
pembuluh darah(Farida & Amalia, 2009)
d. Life style
Life style atau gaya hidup seringkali dikaitkan sebagai pemicu berbagai
penyakit yang menyerang, baik pada usia produktif maupun usia lanjut. Salah
satu contoh life style yaitu berkaitan dengan pola makan.Generasi muda
biasanya sering menerapkan pola makan yang tidak sehat dengan seringnya
mengkonsumsi makanan siap saji yang serat lemak dan kolesterol namun
rendah sehat. Kemudian, seringnya mengonsumsi makanan yang digoreng
atau makanan dengan kadar gula tinggi dan berbagai jenis makanan yang
ditambah zat pewarna/penyedap/pemanis dan lain-lain. Faktor gaya hidup lain
yang dapat beresiko terkena stroke yaitu sedentary life style atau kebiasaan
hidup santai dan malas berolah raga. Hal ini dapat mengakibatkan kurangnya
kemampuan metabolisme tubuh dalam pembakaran zat-zat makanan yang
dikonsumsi. Sehingga, beresiko membentuk terjadinya tumpukan kadar
lemak dan kolestrol dalam darah yang beresiko membentuk ateroskelorosis
(plak) yang dapat menyumbat pembuluh darah yang dapat berakibat pada
munculnya serangan jantung dan stroke(Farida & Amalia, 2009)
e. Stres
Pada umumnya, stroke diawali oleh stres. Karena, orang yang stres umumnya
mudah marah,mudah tersinggung, susah tidur dan tekanan darahnya tidak
stabil. Marah menyebabkan pencarian listrik yang sangat tinggi dalam urat
syaraf. Marah yang berlebihan akan melemahkan bahkan mematikan fungsi
sensoris dan motorik serta dapat mematikan sel otak. Stres juga dapat
meningkatkan kekentalan darah yang akan berakibatkan pada tidak stabilnya
tekanan darah. Jika darah tersebut menuju pembuluh darah halus diotak untuk
memasok oksigen ke otak , dan pembuluh darah tidak lentur dan tersumbat,

9
maka hal ini dapat mengakibatkan resiko terkena serangan stroke. (Farida &
Amalia , 2009)
f. Penyakit Kardiovaskuler
Beberapa penyakit jantung, antara lain fibrilasi atrial (salah satu jenis
gangguan irama jantung), penyakit jantung koroner, penyakit jantung rematik,
dan orang yang melakukan pemasangan katub jantung buatan akan
meningkatkan risiko stroke (Indarwati , Sari, & Dewi, 2008). Pada fibrilasi
atrium menyebabkan penurunan CO², sehingga perfusi darah keotakmenurun,
maka otak akan kekurangan oksigen yang akhirnya dapat terjadi stroke
(Wijaya & Putri, 2013)
g. Diabetes mellitus
Seseorang yang mengidap diabetes mempunyai risiko serangan stroke
iskemik 2 kali lipat dibandingkan mereka yang tidak diabetes (Indarwati ,
Sari, & Dewi, 2008). Pada penyakit DM akan mengalami vaskuler, sehingga
terjadi mikrovaskularisasi dan terjadi aterosklerosis, terjadinya aterosklerosis
dapat menyebabkan emboli yang kemudian menyumbat dan terjadi iskemia,
iskemia menyababkan perfusi otak menurun dan pada akhirnya terjadi stroke
(Wijaya & Putri, 2013)
h. Merokok
Perokok lebih rentan mengalami stroke dibandingkan bukan perokok. Nikotin
dalam rokok membuat jantung bekerja keras karena frekuensi denyut jantung
dan tekanan darah meningkat (Indarwati , Sari, & Dewi, 2008). Pada perokok
akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga
memungkinkan penumpukan arterosklerosis dan kemudian berakibat pada
stroke (Wijaya & Putri, 2013).
i. Alkoholik
Pada alkoholik dapat menyebabkan hipertensi, penurunan aliran darah ke otak
dan kardiak aritmia serta kelainan motilitas pembuluh darah sehingga terjadi
emboli serebral (Wijaya & Putri, 2013)
2.1.6 Patofisiologi
Otak sangat tergantung pada oksigen dan tidak mempunyai cadangan oksigen.
Jika aliran darah kesetiap bagian otak terhambat karena trombus dan embolus, maka
mulai terjadi kekurangan oksigen ke jaringan otak. Kekurangan selama 1 menit dapat
mengarah pada gejalan yang dapat menyebabkan nekrosisi mikroskopik neuron-
neuron. Area nekrotik kemudian disebur infark. Kekurangan oksigen pada awalnya
mungkin akibat iskemia mum (karena henti jantung atau hipotensi) atau hipoksia
karena akibat proses anemia dan kesukaran untuk bernafas. Stroke karena embolus
dapat mengakibatkan akibat dari bekuan darah, udara, palque, ateroma fragmen
lemak. Jika etiologi stroke adalah hemorrhagi maka faktor pencetus adalah
hipertensi. Abnormalitas vaskuler, aneurisma serabut dapat terjadi ruptur dan dapat
menyebabkan hemorrhagi (Wijaya & Putri, 2013)
Pada stroke trombosis atau metabolik maka otak mengalami iskemia dan infark
sulit ditentukan. Ada peluang dominan stroke akan meluas setelah serangan pertama
sehingga dapat terjadi edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
dan kematian pada area yang luas.Prognosisnya tergantung pada daerah otak yang
terkena dan luasnya saat terkena (Wijaya & Putri, 2013)
Bila terjadi kerusakan pada otak kiri, maka akan terjadi gangguan dalam hal
fungsi berbicara, berbahasa, dan matematika (Farida & Amalia, 2009).
Akibat penurunan CBF regional suatu daerah otak terisolasi dari jangkauan aliran
darah, yang mengangkut O2 dan glukose yang sangat diperlukan untuk metabolisme

10
oksidatif serebral. Daerah yang terisolasi itu tidak berfungsi lagi dan karena itu
timbullah manifestasi defisit neurologik yang biasanya berupa hemiparalisis,
hemihipestesia, hemiparestesia yang bisa juga disertai defisit fungsi luhur seperti
afasia (Mardjono & Sidharta, 2014). Apabila arteri serebri media tersumbat didekat
percabangan kortikal utamanya (pada cabang arteri) dapat menimbulkan afasia berat
bila yang terkena hemisfer serebri dominan bahasa (Mutaqin, 2011).
Lesi (infark, perdarahan, dan tumor) pada bagian posterior dari girus temporalis
superior (area wernicke) menyebabkan afasia reseptif, yaitu klien tidak dapat
memahami bahasa lisan dan tertulis, kelainan ini dicurigai bila klien tidak bisa
memahami setiap perintah dan pertanyaan yang diajukan. Lesi pada area fasikulus
arkuatus yang menghubungkan area wernicke dengan area broca mengakibatkan
afasia konduktif, yaitu klien tidak dapat mengulangi kalimat-kalimat dan sulit
menyebutkan nama-nama benda tetapi dapat mengikuti perintah. Lesi pada bagian
posterior girus frontalis inferoior (broca) disebut dengan afasia eksprektif, yaitu klien
mampu mengerti terhadap apa yang dia dengar tetapi tidak dapat menjawab dengan
tepat, bicaranya tidak lancar (Mutaqin, 2011)

2.1.7 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memastikan jenis serangan stroke, letak
sumbatan atau penyempitan pembuluh darah, letak perdarahan, serta luas jaringan
otak yang mengalami kerusakan (Indarwati , Sari, & Dewi, 2008)
1. CT-Scan
Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya infark (Wijaya
& Putri, 2013)
2. Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI menunjukkan daerah yang mengalami infark atau hemoragik
(Oktavianus, 2014)
3. Pemeriksaan magnetic resonance angiography (MRA)
Merupakan metode non-infasif yang memperlihatkan arteri karotis dan sirkulasi
serebral serta dapat menunjukan adanya oklusi(Hartono, 2010)
4. Pemeriksaan ultrasonografi karotis dan dopler transkranial
Mengukur aliran darah serebral dan mendeteksi penurunan aliran darah stenosis
di dalam arteri karotis dan arteri vetebrobasilaris selain menunjukan luasnya
sirkulasi kolateral.Kedua pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengkaji
perburukkan penyakit vaskular dan mengevaluasi efek terapi yang ditimbulkan
pada vasospasme, seperti yang terjadi pada perdarahan subaraknoid.Angiografi
serebral merupakan prosedur invasif yang menggunakan media kontras untuk
menunjukan pembuluh darah serebral, kepatenan, dan lokasi stenosis, oklusi
atau aneurisma.Pemeriksaan aliran darah serebral membantu menentukan
derajat vasopasme(Hartono, 2010).
5. Pemeriksaan lumbal pungsi
Pemeriksaan fungsi lumbal menunjukkan adanya tekanan (Oktavianus, 2014).
Tekanan normal biasanya ada trombosis, emboli dan TIA, sedangkan tekanan
yang meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya
perdarahan subarachnoid atau intrakranial (Wijaya & Putri, 2013)
6. Pemeriksaan EKG
Dapat membantu mengidentifikasi penyebab kardiak jika stroke emboli
dicurigai terjadi (Hartono, 2010)
7. Pemeriksaan darah

11
Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan elektrolit, fungsi ginjal, kadar glukosa,
lipid, kolestrol, dan trigliserida dilakukan untuk membantu menegakan
diagnose(Hartono, 2010)
8. EEG (Electro Enchepalografi)
Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak atau mungkin
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik (Wijaya & Putri, 2014)
9. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan,
obtruksi arteri, oklusi/ruptur (Wijaya & Putri, 2013)
10. Sinar X tengkorak
Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan
dari masa yang luas, klasifikasi karotis interna terdapat pada trobus serebral.
Klasifikasi parsial dinding, aneurisma pada perdarahan sub arachnoid (Wijaya &
Putri, 2013).
11. Pemeriksaan foto thorax
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran ventrikel
kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke,
menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah berlawanan dari
masa yang meluas (Wijaya & Putri, 2013).

2.1.8 Penatalaksanaan
Penanganan stroke ditentukan oleh penyebab stroke dan dapat berupa terapi farmasi,
radiologi intervensional, atau pun pembedahan. Untuk stroke iskemik, terapi
bertujuan untuk meningkatkan perfusi darah keotak, membantu lisis bekuan darah
dan mencegah trombosis lanjutan, melindungi jaringan otak yang masih aktif, dan
mencegah cedera sekunder lain. Pada stroke hemoragik, tujuan terapi adalah
mencegah kerusakan sekunder dengan mengendalikan tekanan intrakranial dan
vasospasme, serta mencegah perdarahan lebih lanjut (Hartono, 2010).
1. Farmakologi
a. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebri (ADS) secara percobaan,
tetapi maknanya pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
b. Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intraarterial.
c. Medikasi antitrombosit dapat diresepkan karena trombositmemainkan peran
sangat penting dalam pembentukan trombus dan ambolisasi. Antiagresi
trombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi pelepasan
agregasi trombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
d. Antikoagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya atau memberatnya
trombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardiovaskuler
(Mutaqin, 2011)
2. Non Farmakologis
Berikut ini beberapa jenis terapi yang dapat dijalankan terkait proses pemulihan
kondisi pasca stroke :
a. Terapi Wicara
b. Fisioterapi
c. Akupuntur
d. Terapi Ozon
e. Terapi Sonolisis (Sonolysis Theraphy)
f. Hidroterapi
g. Senam Ergonomik
h. Yoga (Terapi Meditasi)

12
i. Terapi Musik
j. Terapi Bekam
k. Terapi Nutrisi
l. Aromaterapi
m. Hipnoterapi (Hypnotherapy)
n. Psikoterapi
o. Terapi herbal
3. Pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebri dengan :
a. Endoseterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan
membuka arteri karotis dileher
b. Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya
paling dirasakan oleh klien TIA
c. Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
d. Ligasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma

13
2.1.9 Pathway
- Faktor pencetus: hipertensi, DM, penyakit jantung
- Merokok, stress, gaya hidup yg tidak baik
- Faktor obesitas & kelosterol yg meningkat dalam darah

Penimbunan lemak/kolesterol yg meningkat dalam darah


Lemak yg sudah nekrotik & berdegenerasi

Infiltrasi limfosit (trombus)

Arteriosclerosis Pembuluh darah menjadi kaku Penyempitan pembuluh darah


(okulasi vaskuler)
Pembuluh darah menjadi pecah
Aliran darah lambat
Thrombus Mengikuti aliran
cerebral darah Stroke hemoragik Kompresi Turbulensi
jaringan otak
Stroke non Emboli Aritrosit bergumpal
Hemoragic
Endotil rusak
perfusi jaringan
Proses metabolisme dalam otak serebral tidak efektif Cairan plasma hilang
terganggu
Peningkatan TIK Edema serebri
Penurunan suplai darah & O2 ke
otak

Arteri Arteri carotis Arteri cerebri


vertebra interna media
basilasris
Disfungsi Disfungi
Disfungsi Kerusakan Kerusakan Penurunan fungsi N.II N.XI
N.XI neurocerebrospin neurologis, N.X,IX
(assesoris) al deficit Penurunan Kegagalan
N.VII,IX,XII N.I,II,IV,XII Proses menelan aliran darah menggerakka
Kelemahan tidak efektif ke retina n anggota
anggota Kehilangan fungsi Perubahan tubuh
gerak tonus otot ketajaman Intake nutrisi Kebutaan
sensori, berkurang Hambatan
Gangguan Gangguan penghiduan, Resiko mobilitas
mobilitas komunikasi pengelihatan & Defisit nutrisi cedera fisik
fisik verbal pengecapan
Kemampuan
Gangguan melakukan
persepsi sensori ADL &
perawatan
diri
berkurang

Defisit
perawatan
diri

14
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktik
keperawatan. Hal ini dapat disebut sebagai suatu pendekatan untuk memecahkan masalah
(problem solving) yang memerlukan ilmu, tehnik, dan keterampilan interpersonal yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan klien, keluarga, dan masyarakat. Proses keperawatanj
terdiri atas lima tahap yang berurutan dan saling 36 berhubungan, yaitu pengkajian,
diagnosis, perencanaan, implementasi dan evaluasi (Nursalam, 2008). Proses keperawatan
terdiri atas lima tahap yang berurutan dan saling berhubungan, yaitu pengkajian, diagnosis,
perencanaan, implementasi dan evaluasi(Nursalam, 2008).
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakansuatu proses
pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumberuntuk mengevaluasi
danmengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2008).
Menurut Muttaqin, (2008) anamnesa pada stroke meliputi identitas klien, keluhan
utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit
keluarga, dan pengkajian psikososial.
1. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register, dan diagnosis medis
2. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi,
dan penurunan tingkat kesadaran
3. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke non hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada
saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual,
muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh
badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan
di dalam intrakranial. Keluhari perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan konia.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus, penyakit
jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan
obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian
obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat
merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian
riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya
5. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
6. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap

15
penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
7. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhankeluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-B6)
dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien
a. B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan
peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang
sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran
koma. Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mends, pengkajian
inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil
premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas
tambahan
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya
terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200
mmHg)
c. B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang
rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan
pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem
lainnya
d. B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara
karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan
kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang
atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan
teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
e. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual
muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan
produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi.
Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis
luas
f. B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter
terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat

16
menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan
dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada
salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau
kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien
kekurangan 02 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka
turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga dikaji tandatanda dekubitus
terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke mengalami masalah
mobilitas fisik.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori
atau paralise/ hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat
8. Pengkajian Tingkat Kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan
parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat
keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling
sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk
membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan. Pada
keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat
letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka
penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan
evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
9. Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan bahasa,
lobus frontal, dan hemisfer
10. Status Mental
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan
aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut biasanya status mental
klien mengalami perubahan.
11. Fungsi Intelektual
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek maupun
jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada beberapa
kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk mengenal persamaan
dan perbedaan yang tidak begitu nyata
12. Kemampuan Bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang memengaruhi fungsi
dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada bagian posterior dari
girus temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien
tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada
bagian posterior dari girus frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia
ekspresif, yaitu klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat
dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan
bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang
bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk
melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika klien
mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
13. Pengkajian Saraf Kranial
a. Saraf 1 (olfaktorius)
Teknik pemeriksaan dimulai dengan mata klien ditutup dan pada saat yang
sama satu lubang hidung ditutup, klien diminta membedakan zat aromatis
lemah seperti vanili, cologne dan cengkeh (Mutaqin, 2011).

17
b. Saraf II (optikus)
Pemeriksaan saraf optikus meliputi tes ketajaman penglihatan, tes lapang
pandang dan tes fundus (Mutaqin, 2011).
c. Saraf III (okulomotor), IV (troklearis), VI (abdusen)
Pemeriksaan saraf okulomotor, troklearis dan abdusen meliputi pemeriksaan
fungsi dan reaksi pupil, observasi bentuk dan ukuran pupil, perbandingan
pupil kanan dan kiri, pemeriksaan refleks pupil, pemeriksaan gerakan
bolamata volunter dan involunter (Mutaqin, 2011).
d. Saraf V (trigeminus)
Pemeriksaan fungsi saraf trigeminus meliputi pemeriksaan fungsi motorik
saraf trigeminus, pemeriksaan fungsi saraf sensorik trigeminus dan
pemeriksaan refleks trigeminal (Mutaqin, 2011).
e. Saraf VII
Teknik pemeriksaan saraf fasialis adalah dengan menginspeksi adanya
asimetri wajah, kemudian lakukan tes kekuatan otot dengan meminta klien
memandang keatas dan mengerutkan dahi, selanjutnya klien disuruh menutup
kedua matanya dengan kuat dan bandingkan seberapa dalam bulu mata
terbenam dan kemudian mencoba memaksa kedua mata klien untuk terbuka
(Mutaqin, 2011).
f. Saraf VIII (vestibulokoklearis/saraf akustikus)
Perawat dapat memeriksa fungsi vestibular dimulai dengan mengkaji adanya
keluhan pusing, gangguan pendengaran. Pemeriksaan vestibular dapat
dengan pemeriksaan pendengaran dengan garputala (Mutaqin, 2011)
g. Saraf IX dan X (glosofaringeus dan vagus)
Langkah pertama evaluasi saraf glosofaringeus dan vagus adalah
pemeriksaan palatum mole. Palatum mole harus simetris dan tidak boleh
miring kesatu sisi. Kalau klien mengucapkan “ah”, palatum mole harus
terangkat secara simetris. Reflek menelan diperiksa dengan memperhatikan
reaksi wajah klien waktu minum segelas air (Mutaqin, 2011).
h. Saraf XI (asesorius)
Fungsi saraf asesorius dapat dinilai dengan memperhatikan adanya atrofi
sternokleidomastoideus dan trapezius dan dengan menilai kekuatan otot
tersebut. Untuk menguji kekuatan otot sternokleidomastoideus, klien diminta
untuk memutar kepala ke arah satu bahu dan berusaha melawan usaha
pemeriksa untuk menggerakkan kepala ke arah bahu yang berlawanan.
Kekuatan otot sternokleidomastoideus pada sisi yang berlawanan dapat
dievaluasi dengan mengulang tes ini pada sisi yang berlawanan (Mutaqin,
2011).
i. Saraf XII (hipoglosus)
Pada pemeriksaan klien disuruh menjulurkan lidahnya yang mana yang akan
berdeviasi kearah sisi yang lemah (terkena) jika terdapat lesi upper atau
lower motor neuron unilateral. Lessi upper motor neuron dari saraf
hipoglosus biasanya bilateral dan menyebabkan imobil dan kecil. Kombinasi
lesi upper motor neuron bilateral dari saraf IX,X, XII disebut kelumpuhan
pseudobulber. Lesi lower motor neuron dari saraf XII menyebabkan
fasikulasi atrofi dan kelumpuhan serta disartria jika lesinya bilateral
(Mutaqin, 2011)
14. Pengkajian Sistem Motorik
Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan mengakibatkan kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN bersilangan,

18
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan
kerusakan pada UMN di sisi berlawanan dari otak.
a. Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi)
karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan
salah satu sisi tubuh adalah tanda yang lain.
b. Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
c. Tonus Otot. Didapatkan meningkat.
d. Kategori tingakat kemampuan otot
1) Derajat 0 : Paralis total /tidak ditemukan adanya kontraksi pada otot
2) Derajat 1 : Kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari
tonus otot yang dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat
menggerakkan sendi
3) Derajat 2 : Otot hanya mampu menggerakkan persendian tetapi
kekuatannya tidak dapat melawan pengaruh gravitasi
4) Derajat 3 : Disamping dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat
melawan pengaruh gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang
diberikan oleh pengkaji
5) Derajat 4 : Kekuatan otot seperti pada derajat 3 disertai dengan
kemampuan otot terhadap tahanan yang ringan
6) Derajat 5 : Kekuatan otot normal
Sumber: Noor Z, (2016)
2.2.2 Diagnosis Keperawatan
Menurut PPNI (2016), diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis
mengenai respon klien terhadap masalah atau proses kehidupan yang dialaminya baik
yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respon klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang
berkaitan dengan kesehatan.
Diagnosis keperawatan yang muncul pada klien CVA antara lain :
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan infark otak
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neuromuskuler
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan perfusi serebral
4. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan hipoksia serebral
5. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskuler

2.2.3 Intervensi keperawatan ( SLKI dan SIKI PPNI 2018)


1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan infark otak
a. Tujuan dan kriteria hasil :
- Tujuan : Keadekuatan aliran darah serebral untuk menunjang fungsi
otak
- Kriteria hasil :
a) Tingkat kesadaran meningkat
b) Kognitif meningkat
c) Sakit kepala menurun
d) Gelisah menurun
e) Kecemasan menurun
f) Agitasi menurun
g) Demam menurun
h) Tekanan intrakkranial menurun

19
i) Tekanan darah sistolik membaik
j) Tekanan darah diastolik membaik
k) Refreks saraf membaik
b. Intervensi
Manajemen peningkatan tekanan Intrakranial
- Definisi : Mengidentifikasi dan mengelola peningkatan tekanan dalam
rongga kranial
- Tindakan :
a) Observasi :
- Identifikasi penyebab peningkatan TIK (misal : lesi,
gangguan metabolisme, edema serebral)
- Monitor tanda atau gejala peningkatan TIK (misal : tekanan
darah meningkat, tekanan nadi melebar, bradikardia, pola
nafas ireguler, kesadaran menurun)
- Monitor status pernafasan
- Monitor intake dan output cairan
b) Terapeutik :
- Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang
tenang - Berikan posisi semi fowler
- Cegah terjadinya kejang
- Hindari penggunaan PEEP
- Hindari pemberian cairan IV hipotonik
- Pertahankan suhu tubuh normal
c) Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian sedasi dan ati konvulsan, jika perlu
- Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu
- Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neuromuskuler
a. Tujuan dan kriteria hasil :
- Tujuan : kemampuan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri
- Kriteria hasil :
a) Pergerakan ekstremitas meningkat
b) Kekuatan otot meningkat
c) Rentang gerak (ROM) meningakat
d) Kaku sendi menurun
e) Kelemahan fisik menurun
b. Intervensi :
1) Dukungan ambulasi
Definisi : memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas berpindah
a) Observasi
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
- Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
- Monitor frekuensi jantung dan atekanan darah sebelum memulai
ambulasi
- Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
b) Terapeutik

20
- Fasilitasi alat aktivitas ambulasi dengan alat bantu (misalnya:
tongkat, kruk)
- Fasilitasi melakukan mobilitas fisik, jika perlu
- Libatkan kelurga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
ambulasi
c) Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
- Anjurkan melakukan mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (misalnya:
berjalan dari tempat tidue ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur
kekamar mandi, berjalan sesuai toleransi)
2) Dukungan mobilisasi
Definisi : memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas pergerakan
fisik
a) Observasi
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
- Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
- Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi
- Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
b) Terapeutik
- Fasilitasa aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (misalnya: pagar
tempat tidur)
- Fasilitas melakukan pergerakan jika perlu
- Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan
c) Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
- Anjurkan mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (misalnya:
duduk di tempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari
tempat tidur kursi)
c. Intervensi pendukung :
- Dukungan kepatuhan program pengobatan
- Dukungan perawatan diri
- Dukungan perawatan diri: BAB/BAK, berpakaian, makan dan minum,
mandi.
- Edukasi latihan fisik
- Edukasi teknik ambulasi
- Latihan otogenik
- Manajemen energi, lingkungan, mood, nutrisi, nyeri, dan medikasi.
- Pemantauan neurologis
- Pemberian obat, obat intravena.
- Pengaturan posisi
- Pergerakan fisik
- Perawat tirah baring
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan perfusi serebral
a. Tujuan dan kriteria hasil :

21
- Tujuan : Komunikasi verbal adalah kemampuan menerima, memproses,
mengirim, dan/atau menggunakan sistem simbol.
- Kriteria hasil :
a) Kemampuan berbicara meningkat
b) Kontak mata meningkat
c) Afasia menurun
d) Disfasia menurun
e) Apraksia menurun
f) Disartria menurun
g) Pelo menurun
h) Pemahaman komunikasi membaik
b. Intervensi :
Promosi komunikasi: defisit bicara
Definisi : menggunakan teknik komunikasi tambahan pada individu dengan
gangguan bicara.
Tindakan dalam promosi komunikasi defisit bicara diantaranya:
a) Observasi
- Monitor frustasi, marah, depresi atau hal lain yang mengganggu
bicara
- Identifikasi perilaku emosional dan fisik sebagai bentuk komunikasi
b) Terapeutik
- Gunakan metode komunikasi alternatif (misalnya, menulis, mata
berkedip, papan komunikasi dengan gambar dan huruf, isyarat tangan,
dan komputer
- Berikan dukungan psikologis
- Sesuaikan gaya komunikasi dengan kebutuhan (misalnya, berdiri di
depan pasien, dengarkan dengan seksama, bicaralah dengan perlahan
sambil menghindari teriakan, gunakan komunikasi tertulis, atau
meminta bantuan keluarga untuk memahami ucapan pasien)
c) Edukasi
- Ajarkan bicara perlahan
d) Kolaborasi
- Rujuk ke ahli patologi bicara atau terapis
c. Intervensi pendukung:
- Dukungan kepatuhan program pengobatan
- Dukungan pengambilan keputusan
- Dukungan perawatan diri
- Latihan memori
- Manajemen demensia
- Manajemen energi
- Manajemen lingkungan
- Terapi sentuh
4. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan hipoksia serebral
a. Tujuan dan kriteria hasil
- Tujuan : Persepsi realitas terhadap stimulus baik internal maupun
eksternal
- Kriteria hasil :
a) Verbalisai mendengar bisikan meningkat

22
b) Verbalisasi melihat bayangan meningkat
c) Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indra peraba meningkat
d) Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indra pencium meningkat
e) Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indra peraba meningkat
f) Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indra pengecapan meningkat
g) Distorsi sensori menurun
h) Perilaku halusinasi menurun
i) Tidak menarik diri
j) Tidak melamun
k) Tidak curiga
l) Tidak mondar-mandir
b. Intervensi :
Manajemen halusinasi
Definisi : Mengidentifikasi dan mengelola peningkatam keamanan,
kenyamanan dan orientasi realita
Tindakan :
a) Observasi :
- Monitor perilaku yang mengindikasi halusinasi
- Monitor dan sesuaikan tingkat aktivitas dan stimulasi
lingkungan
- Monitor isi halusinasi
b) Terapeutik :
- Pertahan lingkungan yang aman
- Lakukan latihan keselamatan ketika tidak dapat mengontrol
perilaku, pembatasan wilayah, pengekangan fisik dan seklusi
- Diskusikan perasaan dan respon terhadap halusinasi
- Hindari perdebatan tentang validitas halusinasi
c) Edukasi :
- Anjurkan memonitor sendiri situasi terjadinya halusinasi
- Anjurkan bicara pada orang yang dipercaya untuk memberi
dukungan dan umpan balik korektif terhadap halusinasi
- Anjurkan melakukan distraksi
- Ajarkan pasien dan keluarga cara mengontrol halusinasi
d) Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian obat antipsikotik dan antiansietas, jika
perlu
5. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan
a. Tujuan dan kriteria hasil
- Tujuan : Ketidakadekuatan asupan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme
- Kriteria hasil :
a) Porsi makan yang dihabiskan
b) Kekuatan oto pengunyah meningkat
c) Kekuatan oto menelan meningkat
d) Pengetahuan tentang pilihan makanan yang sehat
e) Pengetahuan tentang pilihan minuman yang sehat
f) Pengetahuan tentang standar asupan nutrisi yang tepat
g) Penyiapan dan penyimpanan makanan yang aman
h) Nyeri abdomen menurun

23
i) Frekuensi makan membaik
j) Nafsu makan membaik
k) Bising usus membaik
l) Membrane mukosa membaik
b. Intervensi
Manajemen nutrisi
Definisi : Mengidentifikasi dan mengelola asupan nutrisi yang seimbang
Tindakan :
a) Observasi :
- Identifikasi status nutrisi
- Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
- Identifikasi makanan yang disukai
- Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
- Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
- Monitor asupan makanan
- Monitor berat badan
- Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
b) Terapeutik :
- Lakukan oral hygine sebelum makan, jika perlu
- Fasilitasi menentukan pedoman diet
- Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
- Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
- Berikan makanan tinggi kalori dan protein
- Berikan suplemen makanan, jika perlu
- Hentikan pemberian makanan melalui selang naso gastrik
jika asupan oral dapat ditoleransi
c) Edukasi :
- Anjurkan posisi duduk, jika mampu
- Ajarkan diet yang diprogramkan
d) Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskuler
a. Tujuan dan kriteria hasil
- Tujuan : kemampuan atau menyelesaikan aktivitas perawatan diri
- Kriteria hasil :
a) Kemampuan mandi meningkat
b) Kemampuan mengenakan pakaian meningkat
c) Kemampuan makan meningkat
d) Kemampuan ke toilet (BAB/Bak) meningkat
e) Verbalisasi keinginan melakukan perawatan diri meningkat
f) Minat melakukan perawatan meningkat
b. Intervensi:
1) Dukungan perawatan diri :
a) Observasi :
- Identifikasi kebiasaan aktifitas perawatan diri sesuai
- Monitor tingkat kemandirian
- Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri, berpakaian,
berhias, dan makan

24
b) Terapeutik :
- Sediakan lingkungan yang teraupetik ( misalnya: suasana
hangat, rileks, privasi)
- Siapkan keperluan pribadi (misalnya: parfum, sikat gigi, dan
sabun mandi)
- Dampingi dalam melakukan perawatan diri sampai mandiri
- Fasilitas untuk menerima keadaan ketergantungan
- Fasilitas kemandirian, bantu jika tidak mampu melakukan
perawatan diri
- Jadwalkan rutinitas perawatan diri
c) Edukasi :
- Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai
kemampuan
2) Dukungan perawatan diri makan/minum
a) Observasi
- Identifikasi diet yang dianjurkan
- Monitor kemampuan menelan
- Monitor status hidrasi pasien, jika perlu
b) Terapeutik
- Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama makan
- Atur posisi yang nyaman untuk makan/
- Berikan bantuan saat makan/minum sesuai tingkat
kemandirian, jika perlu
c) Edukasi
- Jelaskan posisi makanan pada pasien yang mengalami
gangguan penglihatan dengan menggunakan arah jarum jam
(misalnya: sayur di jam 12, rendang di jam 3)
d) Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat (misalnya: analgesik, antimen),
sesuai indikasi
3) Dukungan perawatan diri BAB/BAK
a) Observasi
- Identifikasi kebiasaan BAK/BAB sesuai usia
- Monitor integritas kulit pasien
b) Terapeutik
- Buka pakaian yang diperlukan untuk memudahkan eliminasi
- Dukung penggunaan toilet/commode/pispot/urinal/ secara
konsisten
- Jaga privasi selama eliminasi
- Ganti pakaian pasien setelah elimasi, jika perlu
- Latih BAB/BAB sesuai jadwal
c) Edukasi
- Anjurkan BAB/BAK secara rutin
- Anjurkan kekamar mandi/toilet, jika perlu
c. Intervensi pendukung
- Dukungan emosional
- Dukungan pengambilan keputusan
- Manajemen dimensia

25
- Manajemen energi
- Manajemen lingkungan
- Pengaturan posisi
- Perawatan kaki,kuku, mata, mulut, rambut, dan telinga.
2.2.4 Implementasi keperawatan
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai tujuan
yang spesifik.Tahap implementasi dimulai setelah rencana intervensi disusun dan
ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang
diharapkan.Oleh karena itu rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi msalah kesehatan klien (Nursalam,
2008).
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan, rencana intervensi dan
implementasinya. Tahap evaluasi memungkinkanperawat untuk memonitor keadaan
pasien selama pengkajian, analisis, perencanaan dan implementasi intervensi
(Nursalam, 2008).

26
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Pengkajian
1. Identitas pasien
1. Nama : Ny”S”
2. Tempat, tanggal lahir : Tuban , 17 Juli 1948
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Alamat : Ronggomulyo Tuban
5. Agama : Islam
6. Suku/bangsa : Jawa
7. No Regidter : 093605
8. Tanggal periksa : 14 April 2021
9. Diagnisa Medis : CVA Infark , himiparese dekstra, hipertensi dan DM
2. Keluhan utama:
Anggota gerak( tangan dan kaki) sebelah kanan lemah
3. Riwayat kesehatan sekarang:
Klien mengatakan dalam 20 hari terakhir kaki dan tangan kanan lemah, berat , sulit
untuk jalan jauh dan mudah lelah.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Keluarga klien mengatakan bahwa klien memiliki riwayat sakit Hipertensi dan DM
5. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga klien mengatakan mempunyai riwayat peryakit hipertensi tidak
mempunyai riwayat peryakit DM, Asma, dan peryakit menular seperti HIV, TBC,
Hepatitis dll.
6. Pola fungsi kesehatan
1. Pola nutrisi :
Keluarga klien mengatakan klien sehari makan bisa makan 3x menggunakan
lauk pauk dan sayur,minum air putih 8-11 gelas per hari,minum teh pada waktu
pagi hari. Tetapi saat sakit ini makanan hanya di makan sedikit karena kesulitan
menelan dan minum cuma sedikit.
2. Pola kebutuhan istirahat tidur:
Klien dapat beristirahat dengan nyenyak, tidur kurang lebih 5-6 jam
3. Pola eliminasi:
Keluarga klien mengatakan klien sering BAK dan keluarga memakaikan
pempers, klien susah BAB, sebelum sakit frekuensi BAB 1x sehari dengan
tekstur lembek.
4. Pola aktivitas:
Keluarga klien mengatakan bahwa klien susah untuk berjalan dan untuk
aktivitas sehari-hari memakai kursi roda dan dibantu keluarga dalam pemenuhan
ADL
5. Pola personal hygiene:
Klien mandi 2x sehari dan menggosok gigi 2x sehari dibantu oleh keluarga
6. Pola komunikasi:
Pasien berbicara sedikit pelan .
7. Pola toleransi dan koping stres:
Pengambilan keputusan adalah pada anak klien, saat ini klien dan keluarga
cemas dan sedih akan sakit yang diderita, klien tampak tegang
8. Pola spiritual :
keluarga klien mengatakan klien dapat beribadah sholat 5 waktu.
7. Pemeriksaan fisik

27
Keadaan Umum : cukup
kesadaran : composmentis, GCS : 456
TD : 140/102mmHg
N :88 x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36 ◦C
BB : 60 kg
TB : 155 cm
Skala nyeri : 0
1. Kepala : bentuk simetris, rambut beruban
2. Leher : tidak terdapat pembesaran kelenjar thyroid
3. Mata : simetris, konjungtiva ananemis, sclera aniterik
4. Telinga : simetris, terdapat serumen sedikit
5. Mulut : mukosa bibir kering, mulut tampak simetris , tidak ada stomatitis, gigi
tampak kotor, gigi tampak mulai ompong
6. Hidung : bentuk simetris, tidak ada massa / benjolan, tidak ada pernafasan
cuping hidung
7. Dada : simetris, tidak ada retraksi dada, pada paru tidak terdpat bunyi
ronchi/whizing, jantung tidak ada suara tambahan
8. Abdomen : teraba supel, tidak ada pembesaran hepar
9. Genetalia : tidak ada kelainan
10. Ekstremitas : pada tangan dan kaki sebelah kanan lemah dan berat untuk
digerakkan
Reflek motorik : 5 4
5 4
8. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Satuan


Urid Acid 6,9 mg/dL
Cholesterol total 308 mg/dL
Triglycerides 143 mg/dL
LDL 238 mg/dL
Gula darah Puasa 122 mg/dL

2. CT Scan kepala tanpa kontras


Sub acute ischemik cerebral infarction di setrum semiovale kiri dan pericornu
anterior ventrikel lateralis kiri lacunar infarction di pericornu anterior ventrikel
lateralis kanan
9. Terapi
- Asa 1 x 80 mg
- Citicolin 2 x 500 mg
- Simvastatin 0 – 0 – 20
- Protas 2 x 15 mg
- Candesartan 1 x 8 mg
- Glimepirid 2 – 0 – 0
- Allupurinol 1 x 100 mg
10. Konsultasi
- Rehabilitasi medik (fisioterapi)
- TMS

28
11. Analisa data

No Data Etiologi Masalah


1 Subyektif : Kelemahan Mobilitas fisik
- klien mengatakan kaki dan neuromuskuler
tangan kanan lemah, berat ,
sulit untuk jalan jauh dan
mudah lelah.
- Keluarga klien mengatakan
bahwa klien susah untuk
berjalan dan untuk aktivitas
sehari-hari memakai kursi roda
dan dibantu keluarga dalam
pemenuhan ADL

Obyektif :
- Reflek motorik
5 4
5 4

- TTV
TD : 140/90 mmHg
Nadi : 88x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36◦ C
- Klien tampak mengalami
hemiparesis pada anggota
gerak bagian kanan.
- Klien tampak memakai kursi
roda
- Hasil CT Scan kepala tanpa
kontras : Sub acute ischemik
cerebral infarction di setrum
semiovale kiri dan pericornu
anterior ventrikel lateralis kiri
lacunar infarction di pericornu
anterior ventrikel lateralis
kanan

2 Subyektif : Krisis situasional Ansietas


- Keluarga mengatakan bahwa
klien cemas dan sedih dengan
keadaan sakitnya
Obyektif :
- Klien tampak mengalami
hemiparesis pada anggota
gerak bagian kanan.
- Reflek motorik

29
5 4
5 4
- Tampak tegang

3.2 Diagnosis Keperawatan


3.2.1 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neuromuskuler
3.2.2 Ansietas berhubungan dengan krisis situasional

30
3.3 Intervensi keperawatan

No Diagnosis Keperawatan Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)
1 Gangguan mobilitas fisik - Tujuan : 1. Dukungan ambulasi
berhubungan dengan Kemampuan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih - Definisi : memfasilitasi pasien untuk
kelemahan neuromuskuler ekstremitas secara mandiri meningkatkan aktivitas berpindah
- Tindakan :
- Kriteria hasil : a. Observasi
a. Pergerakan ekstremitas meningkat - Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
b. Kekuatan otot meningkat fisik lainnya
c. Rentang gerak (ROM) meningakat - Identifikasi toleransi fisik melakukan
d. Kaku sendi menurun ambulasi
e. Kelemahan fisik menurun - Monitor frekuensi jantung dan tekanan
darah sebelum memulai ambulasi
- Monitor kondisi umum selama
melakukan ambulasi
b. Terapeutik
- Fasilitasi alat aktivitas ambulasi dengan
alat bantu (misalnya: tongkat, kruk)
- Fasilitasi melakukan mobilitas fisik,
jika perlu
- Libatkan kelurga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan ambulasi
c. Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
- Anjurkan melakukan mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan (misalnya: berjalan

31
dari tempat tidue ke kursi roda,
berjalan dari tempat tidur kekamar
mandi, berjalan sesuai toleransi)
2. Dukungan mobilisasi
- Definisi : memfasilitasi pasien untuk meningkatkan
aktivitas pergerakan fisik
- Tindakan :
a. Observasi
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
fisik lainnya
- Identifikasi toleransi fisik melakukan
pergerakan
- Monitor frekuensi jantung dan tekanan
darah sebelum memulai mobilisasi
- Monitor kondisi umum selama melakukan
mobilisasi
b. Terapeutik
- Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat
bantu (misalnya: pagar tempat tidur)
- Fasilitas melakukan pergerakan jika perlu
- Libatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan pergerakan
c. Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
- Anjurkan mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
dilakukan (misalnya: duduk di tempat
tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah

32
dari tempat tidur kursi)

2 Ansietas berhubungan - Tujuan : 1. Reduksi ansietas


dengan krisis situasional Kondisi emosional dan pengalaman subyektif terhadap a. Observasi :
objek yang tidak jelas dan spesifik akibat abtisipasi - Identifikasi saat tingkat ansietas berubah ( mis.
bahaya yang memungkinkan indivisu melakukan Kondisi, waktu, stresor)
tindakan untuk menghadapi ancaman - Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
- Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan non
- Kriteria hasil : verbal)
a. Verbalisasi kebingungan menurun b. Terapeutik:
b. Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi - Ciptakan suasana terapeutik untuk
menurun menumbuhkan kepercayaan
c. Perilaku gelisah menurun - Temani pasien untuk mengurangi kecemasan,
d. Perilaku tegang menurun jika memungkinkan
e. Konsentrasi membaik - Pahami situasi yang membuat ansietas
f. Pola tidur membaik - Dengarkan dengan penuh perhatian
- Gunkaan pendekatan yang tenang dan
meyakinkan
- Motivasi mengidentifikasi situasi yang
memicu kecemasan
- Diskusikan perencanaan realitis tentang
peristiwa yang akan datang
c. Edukasi :
- Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang
mungkin dialami
- Informasikan secara faktual mengenai
diagnosis pengobatan dan prognosis
- Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien,

33
jika perlu
- Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak
kompetitif, sesuai kebutuhan
- Anjurkan mengungkapkan perasaan dan
persepsi
- Latih kegiatan pengalihan , untuk mengurangi
ketegangan
- Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri
yang tepat
- Latih teknik relaksasi
d. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat anti anxietas, jika perlu
2. Terapi relaksasi
a. Observasi :
- Identifikasi penurunan tingkat energy,
ketidakmampuan konsentrasi, atau gejala lain
yang mengganggu kemampuan koqnitif
- Identifikasi teknik relaksasi yang pernah
efektif dugunakan
- Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan
penggunaan teknik sebelumnya
- Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi,
tekanan darah, dan suhu sebelum dan sesudah
latihan
- Monitor respons terhadap terapi relaksasi
b. Terapeutik:
- Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa
gangguan pencahayaan dan suhu ruang

34
nyaman, jika memungkinkan
- Berikan informasi tertulis tentang persiapan
teknik relaksasi
- Gunakan pakaian longgar
- Gunakan nada suara lembut dengan irama
lambat dan berirama
- Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang
dengan analgetik atau tindakan medis lain, jika
sesuai.
c. Edukasi:
- Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis
relaksasi yang tersedia ( mis musik, meditasi,
napas dalam, relaksasi otot progresif)
- Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang
dipilih
- Anjurkan mengambil posisi nyaman
- Anjurkan rileks dan merasakan sensasi
relaksasi
- Anjurkan sering mengulang dan melatih teknik
yang dipilih
- Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi
( mis, napas dalam, peregangan dan imajinasi
terbimbing)

3.4 Implementasi dan evaluasi

No Diagnosis Tanggal / Implementasi Jam Evaluasi Paraf

35
keperawatan jam
1 Gangguan 14 April Observasi Jam 09.45 S:
mobilitas fisik 2021 1. Mengidentifikasi adanya nyeri atau keluhan - klien mengatakan kaki dan tangan
berhubungan Jam 09.30 fisik lainnya kanan lemah, berat , sulit untuk jalan
dengan kelemahan WIB 2. Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan jauh dan mudah lelah.
neuromuskuler ambulasi - Keluarga klien mengatakan akan
3. Memonitor frekuensi jantung dan tekanan selalu membantu dalam mobilisasi
darah sebelum memulai ambulasi
4. Memonitor kondisi umum selama melakukan O:
ambulasi - Reflek motorik
Terapeutik 5 4
1. Memfasilitasi alat aktivitas ambulasi dengan 5 4
alat bantu (misalnya: tongkat, kruk)
2. Memfasilitasi melakukan mobilitas fisik, jika - TTV
perlu TD : 140/90 mmHg
3. Melibatkan kelurga untuk membantu pasien Nadi : 88x/menit
dalam meningkatkan ambulasi dan mobilisasi Respirasi : 20 x/menit
Edukasi Suhu : 36◦ C
1. Menjelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi - Klien tampak mengalami
2. Menganjurkan melakukan mobilisasi dini hemiparesis pada anggota gerak
3. Mengajarkan mobilisasi sederhana yang bagian kanan.
harus dilakukan (misalnya: berjalan dari - Klien tampak berjalan dengan
tempat tidur ke kursi roda, berjalan dari berpegangan tangan anaknya
tempat tidur kekamar mandi, berjalan sesuai A : Gangguan mobilitas fisik
toleransi) P:
1. Identifikasi adanya nyeri atau
keluhan fisik lainnya
2. Libatkan kelurga untuk
membantu pasien dalam

36
meningkatkan ambulasi dan
mobilisasi
3. Anjurkan melakukan mobilisasi
dini
4. Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan

2 Ansietas 14 April Observasi : S:


berhubungan 2021 1. Mengidentifikasi saat tingkat ansietas - Keluarga mengatakan bahwa klien
dengan krisis Jam 09.30 berubah ( mis. Kondisi, waktu, stresor) cemas dan sedih dengan keadaan
situasional WIB 2. Mengidentifikasi kemampuan mengambil sakitnya
keputusan O:
3. Memonitor tanda-tanda ansietas (verbal dan - Klien tampak mengalami
non verbal) hemiparesis pada anggota gerak
Terapeutik: bagian kanan.
1. Menciptakan suasana terapeutik untuk - Reflek motorik
menumbuhkan kepercayaan 5 4
2. Menemani pasien untuk mengurangi 5 4
kecemasan, jika memungkinkan - Tampak tegang
3. Memahami situasi yang membuat ansietas
4. Mendengarkan dengan penuh perhatian A : Ansietas
5. Menggunakan pendekatan yang tenang dan P:
meyakinkan 1. Monitor tanda-tanda ansietas
6. Memotivasi mengidentifikasi situasi yang (verbal dan non verbal)
memicu kecemasan 2. Pahami situasi yang membuat
7. Diskusikan perencanaan realitis tentang ansietas
peristiwa yang akan datang 3. Dengarkan dengan penuh perhatian
Edukasi : Menganjurkan keluarga untuk tetap
1. Menjelaskan prosedur, termasuk sensasi yang bersama pasien, jika perlu

37
mungkin dialami 4. Anjurkan melakukan kegiatan yang
2. Menginformasikan secara faktual mengenai tidak kompetitif, sesuai kebutuhan
diagnosis pengobatan dan prognosis 5. Anjurkan mengungkapkan perasaan
3. Menganjurkan keluarga untuk tetap bersama dan persepsi
pasien, jika perlu 6. Latih kegiatan pengalihan , untuk
4. Menganjurkan melakukan kegiatan yang mengurangi ketegangan.
tidak kompetitif, sesuai kebutuhan 7. Anjurkan keluarga untuk tetap
5. Menganjurkan mengungkapkan perasaan dan bersama pasien, jika perlu
persepsi
6. Melatih kegiatan pengalihan , untuk
mengurangi ketegangan
7. Melatih penggunaan mekanisme pertahanan
diri yang tepat
8. Melatih teknik relaksasi
Kolaborasi
- Melakuka kolaborasi pemberian obat anti
anxietas, jika perlu

38
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari laporan kasus pada pasien CVA infark yang telah dilakukan asuhan
keperawatan dapat disimpulkan sebagai berikut :
4.1.1 Pengkajian
Pada pengkajian yang paling utama adalah tentang identitas klien, riwayat penyakit
dahulu, pemeriksaan fisik terutama pada tanda-tanda vital, pemeriksaan saraf
kranial, tingkat kemampuan otot.
4.1.2 Diagnosis keperawatan
Diagnosis keperawatan di rumuskan setelah dilakukan analisa data yaitu diperoleh
dari data subyektif dan obyektif . Pada klien CVA infark muncul diagnosis
keperawatan sebagai berikut : ketidakefektifan perfusi jaringan, gangguan mobilitas
fisik, gangguan komunikasi verbal, gangguan persepsi sensori, defisit nutrisi, defisit
perawatan diri. Untuk laporan kasus saat diagnosis keperawatan yang utama adalah
gangguan mobilitas fisik.
4.1.3 Intervensi
Pada laporan kasus dengan diagnosis keperawatan gangguan mobilitas fisik meliputi
dukungan ambulasi dan dukungan mobilisasi, dimana dalam membuat intervensi
keperawatan tetap harus memperhatikan adanya unsur observasi, terapeutik, edukasi,
kolaborasi.
4.1.4 Implementasi
Untuk implementasi berfokus pada identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik dan
identifikasi toleransi fisik. Serta pentingnya peran serta keluarga dalam
mendampingi klien dalam sehari-hari.
4.1.5 Evaluasi
Pada evaluasi diharapkan klien dapat melaksananan mobilitas fisik secara mandiri
dalam memenuhi kegiatan sehari-hari.

4.2 Saran
Pada laporan kasus asuhan keperawatan pada klien CVA infark dengan gangguan mobilitas
fisik ada beberapa saran yaitu :
4.2.1 Perawat lebih meningkatkan dalam memberikan edukasi dan dukungan pada klien
untuk tetap semangat dalam menjalan terapi fisik.
4.2.2 Keluarga dapat mendampingi klien dalam terapi baik terapi di Rumah Sakit maupun
di rumah, serta lebih memperhatikan kebutuhan dari klien.

39

Anda mungkin juga menyukai