Anda di halaman 1dari 10

BAB IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Pertumbuhan Bobot Tubuh Kepiting Bakau (Scylla olivacea)
Hasil pengamatan bobot tubuh yang dilakukan selama 35 hari terhadap
kepiting bakau yang diberi perlakuan pemuasaan secara periodik yaitu perlakuan
A (tanpa pemuasaan atau kontrol), perlakuan B (interval pemuasaan 1 hari),
pelakuan C (interval pemuasaan 2 hari) dan perlakuan D (interval pemuasaan 3
hari) memperlihatkan respon pertumbuhan bobot tubuh yang berbeda-beda di
setiap perlakuan (Lampiran 1). Berdasarkan nilai rata-rata masing-masing
perlakuan, pertambahan bobot tubuh tertinggi diperlihatkan oleh perlakuan B dari
bobot awal sebesar 100,20 g meningkat menjadi 105,20 g. Urutan berikutnya
diperlihatkan oleh perlakuan C dari bobot awal 92,80 g meningkat menjadi 100,25
g, selanjutnya perlakuan A dengan bobot awal 83 g meningkat menjadi 88,20 g,
dan terakhir perlakuan D dengan bobot awal 80,60 g meningkat menjadi 85,80 g.
(Gambar 1).

A B C D
120
100
Bobot Tubuh (g)

80
60
40
20
0
0 1 2 3 4
Lama Pemeliharaan (Minggu)

Gambar 1. Pola pertambahan bobot tubuh kepiting bakau Scylla olivacea selama
35 hari pada interval pemuasaan yang berbeda-beda. Keterangan : A
= tanpa pemuasaan (kontrol); B = interval pemuasaan 1 hari; C =
interval pemuasaan 2 hari; dan D = interval pemuasaan 3 hari.
4.1.2 Analisis Pertumbuhan
1) Laju Pertumbuhan Spesifik
Hasil analisis laju pertumbuhan spesifik (Lampiran 2) menunjukkan
bahwa nilai laju pertumbuhan spesifik harian (LPS harian) kepiting bakau (Scylla
olivacea) tertinggi terdapat pada perlakuan C dengan nilai rata-rata ± S.D sebesar
0,1882 + 0,08 % per hari. Dalam penelitian ini nilai LPS harian terendah
ditunjukkan oleh perlakuan B dengan nilai rata-rata + S.D sebesar 0,1441+ 0,10 %
per hari (Gambar 2).
Laju Pertumbuhan Spesifik (%/hari)

0.20 0.1882
0.1793 0.1778
0.18
0.16 0.1441
0.14
0.12
0.10
0.08
0.06
0.04
0.02
0.00
A B C D
Perlakuan

Gambar 2. Rata-rata laju pertumbuhan spesifik harian kepiting bakau S. olivacea


selama 35 hari masa pemeliharaan yang diberi perlakuan pemuasaan
dengan interval berbeda-beda. Keterangan : A = tanpa pemuasaan
(kontrol); B = interval pemuasaan 1 hari; C = interval pemuasaan 2
hari; dan D = interval pemuasaan 3 hari. Garis vertikal menunjukkan
standar deviasi.

Hasil analisis keragaman LPS harian (Lampiran 1) menunjukkan bahwa


nilai F hitung < F-tabel 5%. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan interval
pemuasaan yang diuji dalam penelitian ini tidak memberi pengaruh yang berbeda
nyata pada laju pertumbuhan spesifik harian.

2) Pertumbuhan Mutlak
Hasil analisis laju pertumbuhan mutlak (Lampiran 2) menunjukkan bahwa
nilai laju pertumbuhan mutlak (absolut) kepiting bakau (Scylla olivacea) tertinggi
terdapat pada perlakuan C dengan nilai rata-rata ± S.D sebesar 6,2 g + 1,00 selama
35 hari. Dalam penelitian ini nilai laju pertumbuhan mutlak terendah ditunjukkan
oleh perlakuan B dengan nilai rata-rata + S.D sebesar 5,0 g + 1,00 (Gambar 3).

7.00
6.20
6.00
5.20 5.20
Pertumbuhan Mutlak (g)

5.00
5.00
4.00
4.00
3.00
3.00
2.00
2.00
1.00
1.00

0.00
A B C D
Perlakuan

Gambar 3. Rata-rata Pertumbuhan Mutlak kepiting bakau S. olivacea selama 35


hari masa pemeliharaan yang diberi perlakuan pemuasaan dengan
interval berbeda-beda. Keterangan : A = tanpa pemuasaan (kontrol);
B = interval pemuasaan 1 hari; C = interval pemuasaan 2 hari; dan D
= interval pemuasaan 3 hari. Garis vertikal menunjukkan standar
deviasi.

Hasil analisis keragaman laju pertumbuhan mutlak (Lampiran 1)


menunjukkan bahwa nilai F hitung < F-tabel 5%. Hal ini menunjukkan bahwa
penerapan interval pemuasaan yang diuji dalam penelitian ini tidak memberi
pengaruh yang berbeda nyata pada laju pertumbuhan mutlak.

4.1.3 Pertumbuhan Relatif


Hasil analisis laju pertumbuhan relatif (Lampiran 2) menunjukkan bahwa
nilai laju pertumbuhan relatif (SGR) kepiting bakau (Scylla olivacea) tertinggi
terdapat pada perlakuan C dengan nilai rata-rata ± S.D sebesar 6,80 + 2,95 %.
Dalam penelitian ini nilai SGR terendah ditunjukkan oleh perlakuan B dengan
nilai rata-rata + S.D sebesar 5,20 + 3,78 % (Gambar 4).
8.00

7.00 6.80
6.50 6.40

Pertumbuhan Relatif (%)


6.00
5.20
5.00

4.00

3.00

2.00

1.00

0.00
A B C D
Perlakuan

Gambar 4. Rata-rata Pertumbuhan Relatif kepiting bakau S. olivacea selama 35


hari masa pemeliharaan yang diberi perlakuan pemuasaan dengan
interval berbeda-beda. Keterangan : A = tanpa pemuasaan (kontrol);
B = interval pemuasaan 1 hari; C = interval pemuasaan 2 hari; dan D
= interval pemuasaan 3 hari. Garis vertikal menunjukkan standar
deviasi.

Hasil analisis keragaman SGR (Lampiran 1) menunjukkan bahwa nilai F


hitung < F-tabel 5%. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan interval
pemuasaan yang diuji dalam penelitian ini tidak memberi pengaruh yang berbeda
nyata pada laju pertumbuhan relatif (SGR).

4.1.4 Efisiensi Pakan


Hasil analisis efisiensi pakan (Lampiran 2) menunjukkan bahwa nilai
efisiensi pakan (EP) kepiting bakau (Scylla olivacea) tertinggi selama 35 hari
percobaan terdapat pada perlakuan B dengan nilai rata-rata ± S.D sebesar 1,846 %
+ 1,31. Dalam penelitian ini nilai EP terendah ditunjukkan oleh perlakuan A
dengan nilai rata-rata + S.D sebesar 1,174 g + 0,41. (Gambar 5).
2 1.85 1.79
1.8 1.64
1.6

Efisiensi Pakan (%)


1.4
1.17
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
A B C D
Perlakuan

Gambar 5. Rata-rata nilai Efisiensi Pakan kepiting bakau S. olivacea selama 35


hari masa pemeliharaan yang diberi perlakuan pemuasaan dengan
interval berbeda-beda. Keterangan : A = tanpa pemuasaan (kontrol);
B = interval pemuasaan 1 hari; C = interval pemuasaan 2 hari; dan D
= interval pemuasaan 3 hari. Garis vertikal menunjukkan standar
deviasi.

Hasil analisis keragaman EP (Lampiran 1) menunjukkan bahwa nilai F


hitung < F-tabel 5%. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan interval pemuasaan
yang diuji dalam penelitian ini tidak memberi pengaruh yang berbeda nyata pada
efisiensi pemanfaatan pakan (EP).

4.1.5 FCR (Feed Convertion Ratio)


Hasil analisis rasio konversi pakan (Lampiran 2) menunjukkan bahwa nilai
rasio konversi pakan (FCR) kepiting bakau (Scylla olivacea) tertinggi selama 35
hari terdapat pada perlakuan A dengan nilai rata-rata ± S.D sebesar 99,98 % +
53,79. Dalam penelitian ini nilai konversi pakan terendah ditunjukkan oleh
perlakuan C dengan nilai rata-rata + S.D sebesar 62,64 % + 2,00 (Gambar 6).
120
99.98
100
78.92
80 71.9
62.64
FCR
60

40

20

0
A B C D
Perlakuan

Gambar 6. Rata-rata Rasio Konversi Pakan kepiting bakau S. olivacea selama 35


hari masa pemeliharaan yang diberi perlakuan pemuasaan dengan
interval berbeda-beda. Keterangan : A = tanpa pemuasaan (kontrol);
B = interval pemuasaan 1 hari; C = interval pemuasaan 2 hari; dan D
= interval pemuasaan 3 hari. Garis vertikal menunjukkan standar
deviasi.

Hasil analisis keragaman FCR (Lampiran 1) menunjukkan bahwa nilai F


hitung < F-tabel 5%. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan interval pemuasaan
yang diuji dalam penelitian ini tidak memberi pengaruh yang berbeda nyata pada
rasio konversi pakan (FCR).

4.1.6 Kualitas Air


Kondisi kualitas air di Perairan Tambak Lembar dicirikan oleh suhu berkisar
28,5-32⁰C, salinitas antara 28-36 ppt, pH antara 8-9 dan DO berkisar antara 4,5-
8,4 mg/L (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil Pengamatan Kualitas Air
Kisaran Kualitas Habitat
Parameter Pengamatan Referensi
Baik Sedang Buruk
Suhu (⁰C) 28,5-32 25-35 18-<25 <18 & >35
Salinitas (ppt) 28-36 15-25 >25-30 <15 & >30 Tahmid et
pH 8-9 7,5-9 6-7,5 <6,5 & >9 al. (2015)
DO (mg/L) 4,5-8,4 >4 3-4 <3
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pertumbuhan
Penelitian ini dilakukan selama 35 hari yaitu penerapan metode pemuasaan
secara periodik untuk melihat pengaruhnya pada laju pertumbuhan spesifik harian,
pertumbuhan mutlak, dan pertumbuhan relatif. Melihat pada data pertumbuhan
bobot tubuh yang ada pada Gambar 1, semua perlakuan menunjukkan pola
pertumbuhan linier yang terus mengalami peningkatan hingga pada akhir
percobaan meskipun relatif kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa semua
perlakuan yang diuji tidak menghambat penyerapan nutrisi pakan oleh hewan uji
selama percobaan. Pakan yang diberikan memenuhi kebutuhan nutrisi bagi hewan
uji sehingga pertumbuhan terus berlanjut hingga akhir percobaan. Qomariah et al.
(2014) menjelaskan bahwa pakan merupakan pemasok energi untuk pertumbuhan
suatu individu.
Hasil penelitian yang dilakukan selama 35 hari menunjukkan bahwa
pertambahan bobot tubuh hewan uji secara umum berkisar antara 5,0 – 6,2 g per
ekor, dengan peningkatan sebesar 5,20 % – 6,80 % dari bobot tubuh awal saat
penebaran. Pertumbuhan hewan uji berlangsung dengan Laju Pertumbuhan
Spesifik pada kisaran 0,1441 – 0,1882 % per hari. Nilai ini menunjukkan
pertumbuhan kepiting bakau (Scylla olivacea) dengan metode pemuasaan secara
periodik lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Kamarudin et al. (2017) dengan metode penambahan tepung daun murbei (Morus
alba L) dalam pakan yang memperoleh nilai laju pertumbuhan spesifik yaitu 0,58
% per hari.
Secara keseluruhan, pemberian perlakuan pemuasaan 24 jam setiap 2 hari
menunjukkan nilai rata-rata pertumbuhan yang cenderung lebih lebih tinggi
dibandingkan dengan tiga perlakuan lainnya baik dilihat dari laju pertumbuhan
spesifik, pertumbuhan mutlak maupun pertumbuhan relatif. Tingginya nilai
pertumbuhan pada perlakuan ini mengindikasikan bahwa metode yang diberikan
mampu mendorong pemanfaatan pakan yang maksimal oleh hewan uji
dibandingkan dengan tiga metode lainnya. Menurut Stanges et al. (2000) dan
Blyth (1989) dalam Widyantoro et al. (2014), organisme yang dipuasakan pada
periode tertentu akan beradaptasi dalam kondisi lapar yang dimanifestasikan
dengan menurunnya aktifitas dan rendahnya tingkat metabolisme basal, sehingga
terdapat ekstra energi yang dimanfaatkan untuk mengejar pertumbuhan pada saat
satiation. Penerapan metode pemuasaan dalam kaitannya dengan pertumbuhan
dan efisiensi pakan juga telah dilaporkan oleh Mulyani et al. (2014) yang mana
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemuasaan secara periodik berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan efisiensi pakan. Pertumbuhan paling tinggi
ditunjukkan oleh pemuasaan 24 jam dengan interval 4 hari.
Meskipun pertumbuhan secara umum menunjukkan peningkatan, namun
jika dilihat dari nilai pertumbuhan per minggu (Lampiran 1) maka peningkatan
pertumbuhan rata-rata terjadi hanya dalam dua minggu pertama dan terjadi
penurunan pertumbuhan pada minggu berikutnya. Namun, pada perlakuan tanpa
dilakukan pemuasaan (kontrol) tidak mengalami pertumbuhan. Penurunan
pertumbuhan diduga terkait dengan kondisi hewan uji pada akhir percobaan
dimana ditemukan banyak lumut yang tumbuh pada cangkang kepiting. Adanya
lumut ini diduga memberi pengaruh pada pertumbuhan hewan uji. Sagala et al
(2013) menyatakan bahwa kondisi dimana lumut tumbuh dalam wadah bahkan
tumbuh di atas karapas dapat membuat kepiting menjadi stress dan yang pada
akhirnya mengalami kurangnya energi untuk aktivitas pertumbuhan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian pakan sejumlah 15 % dari
bobot tubuh yang diberikan setiap hari maupun dengan metode pemuasaan selama
24 jam setiap 1 hari, 2 hari dan 3 hari menunjukkan respon pertumbuhan yang
tidak berbeda nyata meskipun pemuasaan dengan interval 2 hari menunjukkan
kecenderungan nilai pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Menurut Djunaidi (2016), ada dua faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan kepiting bakau yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa faktor internal meliputi keturunan, umur, jenis kelamin,
reproduksi, ketahan terhadap penyakit dan kemampuan untuk memanfaatkan
pakan. Sedangkan faktor eksternal meliputi kualitas air, kepadatan dan pakan.
Hasil pengukuran kualitas air (Tabel 2) yang dilakukan di lima titik sekitar wadah
pemeliharaan menunjukkan nilai yang tidak berbeda dan masih dalam batas
kelayakan untuk kehidupan kepiting bakau. Begitu juga dengan kepadatan yang
mana masing-masing hewan uji dalam kondisi yang sama. Faktor keturunan dan
umur merupakan dua faktor faktor yang sulit disamakan terutama karena hewan
uji diperoleh dari hasil penangkapan di alam yang sumber induknya sangat
beragam. Meskipun demikian homogenitas ukuran hewan uji telah dilakukan
sebelum dimulai percobaan. Meskipun hasil analisis keragaman pertumbuhan
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dari respon perlakuan yang
diberikan namun hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa metoda pemuasaan
24 jam yang dilakukan dengan interval waktu 1 hari, 2 hari, maupun 3 hari dapat
diterapkan dalam kondisi keterbatasan tenaga kerja dan keterbatasan pakan tanpa
mempengaruhi pertumbuhan secara signifikan.

4.2.2 Konversi Pakan dan Efisiensi Pakan


Rasio konversi pakan adalah peubah yang digunakan untuk menilai tingkat
pemanfaatan pakan suatu organisme. Nilai efisiensi pakan merupakan persentase
pemanfaatan pakan dari jumlah pakan yang diberikan untuk pertumbuhan
(Winestri et al., 2014). Dari penelitian yang telah dilakukan, pemuasaan 24 jam
dengan interval waktu setiap 1 hari menunjukkan nilai efisiensi pakan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Namun demikian, hasil analisis
sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa metode pemuasaan secara periodik
tidak memberikan perbedaan yang nyata pada nilai konversi dan efisiensi pakan
kepiting bakau.
Hal ini diduga karena kebiasaan makan kepiting bakau yang lambat dalam
memangsa pakan yang diberikan. Hasil pengamatan ditemukan bahwa pada
wadah hewan uji yang dipuasakan dengan interval satu hari masih ditemukan sisa-
sisa pakan yang diberikan pada hari sebelumnya meskipun jumlah yang tersisa
adalah 10-30% dari total jumlah pakan yang diberikan pada hari sebelumnya.
Begitu juga dengan hasil pengamatan pada perlakuan lainnya. Faktor kebiasaan
makan ini menjadikan metode pemuasaan 24 jam secara periodik tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kebutuhan pakan bagi hewan uji.
Selain itu,
Penelitian ini memberikan gambaran bahwa permasalahan keterlambatan
pemberian pakan yang disebabkan oleh suplai pakan yang terhambat atau
ketersediaan pakan yang sering tidak kontinyu dan terbatas jumlahnya yang
berakibat pada terhentinya pemberian pakan selama 24 jam tidak berpengaruh
signifikan pada penurunan pertumbuhan kepiting bakau. Dengan demikian maka
metode pemuasaan ini dapat diterapkan pada kondisi-kondisi tertentu tanpa
mempengaruhi penurunan produksi biomassa kepiting secara signifikan.

4.2.3 Kualitas Air


Kualitas air merupakan salah satu faktor penting dalam pemeliharaan
kepiting bakau, dimana kualitas air yang baik akan menunjang pertumbuhan dan
kelangsungan hidup secara optimum. Parameter kualitas air meliputi suhu,
salinitas, pH dan DO (oksigen terlarut). Hasil dari pengukuran yang dilakukan
selama penelitian yaitu didapatkan suhu berkisar antara 28-32⁰C, salinitas berkisar
antara 28-36 ppt, pH berkisar antara 8-9, dan DO berkisar antara 4,5-8,5 mg/L.
Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air (Tabel 2), secara umum kondisi
perairan cukup baik, kecuali pada salinitas yaitu memperlihatkan tingkat salinitas
di atas yang disarankan oleh Tahmid et al. (2005). Salinitas merupakan salah satu
faktor pembatas pada metabolisme kepiting bakau, karena dapat memberikan
pengaruh terhadap molalitas cairan di dalam tubuh kepiting bakau. Salinitas yang
lebih tinggi dari tingkat salinitas optimum akan menurunkan nafsu makan kepiting
bakau, sehingga pertumbuhan menjadi lambat, kisaran salinitas untuk pembesaran
kepiting bakau secara optimum berkisar antara 15-25 ppt, dan pertumbuhan akan
terhambat pada salinitas di atas 35 ppt (Kamarudin et al., 2017).

Anda mungkin juga menyukai