Anda di halaman 1dari 24

HOW DOES HIV STIGMA MENIFEST IN DENTAL SETTING

MAKALAH

Regi Taufik Firdaus


160112180520

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB II
LAPORAN KASUS.................................................................................................3
2.1 Status Klinik Ilmu Penyakit Mulut............................................................3
2.1.1 Data Pasien (data disamarkan)...........................................................3
2.1.2 Anamnesis..........................................................................................3
2.1.3 Riwayat Penyakit Sistemik................................................................3
2.1.4 Riwayat Penyakit Terdahulu..............................................................4
2.1.5 Kondisi Umum...................................................................................4
2.1.6 Pemeriksaan Ekstra Oral....................................................................4
2.1.7 Pemeriksaan Intraoral.......................................................................5
2.1.8 Gambar Kasus....................................................................................6
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................6
2.1.10 Diagnosis dan Diagnosis Banding.....................................................6
2.1.11 Rencana Perawatan dan Perawatan....................................................7
2.2 Status Kontrol Ilmu Penyakit Mulut (1)....................................................7
2.2.1 Anamnesis..........................................................................................7
2.2.2 Pemeriksaan Ekstraoral......................................................................7
2.2.3 Pemeriksaan Intraoral........................................................................8
2.2.4 Gambar Kasus....................................................................................9
2.2.5 Hasil Pemeriksaan Penunjang............................................................9
2.2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding.....................................................9
2.2.7 Rencana Perawatan dan Perawatan....................................................9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................11
3.1 Bibir.........................................................................................................11

ii
3.2 Traumatic Ulcer......................................................................................12
3.2.1 Definisi.............................................................................................12
3.2.2 Etiologi.............................................................................................12
3.2.3 Gambaran Klinis..............................................................................12
3.2.4 Diagnosis Banding...........................................................................13
3.2.5 Perawatan.........................................................................................16
BAB IV
PEMBAHASAN....................................................................................................17
BAB V
KESIMPULAN......................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Sejak tahun 1987 di dunia, respon terhadap penyakit HIV/AIDS seperti

ketakutan, penolakan, stigma, dan diskriminasi telah muncul bersamaan dengan

terjadinya epidemik. Stigma dan diskriminasi telah tersebar secara cepat,

menyebabkan terjadinya kecemasan dan prasangka terhadap orang dengan

HIV/AIDS (ODHA).1

Stigma sering tidak didefinisikan secara eksplisit, melainkan sepintas

disebut “tanda aib”.2 Erving Goffman mendefinisikan stigma sebagai atribut yang

mendiskreditkan secara signifikan. Penyimpangan label sosial memaksa individu

untuk melihat stigma pada dirinya dan orang lain sebagai tidak diinginkan atau

didiskreditkan.3

Stigma merupakan hambatan utama dalam pencegahan, perawatan,

pengobatan, dan dukungan HIV. Ketakutan akan stigma membuat orang

cenderung kurang ingin melakukan pemeriksaan HIV dan kurang ingin atau

menunda mengungkapkan status HIV kepada pasangan. Stigma juga berhubungan

dengan penundaan atau penolakan perawatan dan ketidakpatuhan dalam

pengobatan HIV.

Sejumlah survei rumah tangga melaporkan meluasnya sikap menstigma

diantara masyarakat umum di semua sampel yang diteliti pada keadaan yang

berbeda seperti China, US, Hong Kong, Afrika Selatan, Jamaica, Brazil, Nigeria,

Thailand, Tanzania, Zimbabwe, Burkina Faso, Zambia, dan Ghana.4 Salah satu

1
2

penelitian di Iran menemukan prevalensi stigma dan persepsi negatif terhadap

ODHA berkisar 46-69%.5

Di Indonesia terdapat sekitar 62,8% laki-laki dan perempuan berusia 15-

49 tahun yang mendiskriminasi terhadap ODHA.6 Analisis Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2007 mengukur sikap

stigma dengan empat pertanyaan yaitu 1) setuju atau tidak tentang merahasiakan,

membicarakan dengan anggota keluarga lain, 2) konseling dan pengobatan, 3)

mencari pengobatan alternatif, dan 4) mengucilkan bila ada anggota keluarga yang

menderita HIV/AIDS.

Hasil penelitian menunjukkan 62,7% responden memperlihatkan sikap

yang tidak setuju sehubungan dengan penyakit AIDS.7 Penelitian Shaluhiyah, et

al menunjukkan hampir separuh dari responden (49,7%) memiliki sikap negatif

terhadap ODHA.8

Stigma masyarakat merupakan fokus dalam makalh ini karena stigma

masyarakat terhadap ODHA memiliki dampak yang besar bagi program

pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS termasuk kualitas hidup ODHA.

ODHA akan merasa takut melakukan tes HIV karena bila hasilnya terungkap

maka mereka akan dikucilkan. Hal ini menyebabkan mereka menunda untuk

berobat apabila menderita sakit, yang akan berdampak pada semakin menurunnya

kesehatan mereka.8

Penelitian stigma terhadap ODHA sudah banyak dilakukan pada

masyarakat umum7,9, wanita usia subur10, tenaga kesehatan11, dan remaja1,12.

Stigma terhadap ODHA umum terjadi di kalangan remaja. Hal ini disebabkan
3

remaja kurang menyadari dan memahami akan bentuk dan efek stigma terhadap

populasi beresiko maupun terhadap ODHA.13 Penelitian Mutahar dkk

menemukan bahwa remaja beresiko 1,5 kali mempunyai stigma terhadap ODHA

dibandingkan dengan orang dewasa (9). Usia akan berhubungan dengan

perkembangan kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual dan

sosial.14

Stigma remaja menjadi fokus dalam hal ini. Banyak faktor yang

mempengaruhi terjadinya stigma terhadap ODHA di kalangan remaja salah

satunya pengetahuan. Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat mempengaruhi

sikap seseorang terhadap ODHA. Stigma muncul berkaitan dengan ketidaktahuan

seseorang tentang mekanisme penularan HIV yang dipengaruhi oleh adanya

epidemi HIV/AIDS. Kesalahpahaman atau ketidaktahuan tentang HIV sering kali

berdampak pada ketakutan terhadap ODHA sehingga menyebabkan penolakan

terhadap ODHA.8

Beberapa penelitian menemukan hubungan pengetahuan tentang

HIV/AIDS dengan sikap stigma terhadap ODHA di kalangan remaja. Penelitian

pada siswa SMK di Surabaya menemukan siswa dengan pengetahuan yang rendah

mmempunyai stigma yang tinggi terhadap ODHA.12 Penelitian pada pelajar SMA

menemukan pelajar dengan pengetahuan yang rendah lebih berisiko untuk

menstigma ODHA daripada pelajar yang memiliki pengetahuan yang tinggi.1

Pengetahuan tentang HIV mempunyai pengaruh dengan sikap menstigma

terhadap ODHA.15 Pengetahuan medium dan tinggi mempunyai hubungan

dengan sikap yang positif terhadap ODHA.16 Penelitian pada siswa di Iran
4

menemukan bahwa ada korelasi antara pengetahuan dengan sikap terhadap

HIV/AIDS.17

Melihat hasil peneltian diatas maka lewat makalah ini penulis ingin

mengetahui hubungan pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan stigma terhadap

ODHA di kalangan masyarakat di Indonesia.


BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Stigma

Tanggal pemeriksaan : 22 November 2018

2.1.1 Data Pasien (data disamarkan)

Nomor Rekam Medik : 2018-00xxx

Nama Pasien : Nn. YS

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 22 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Mahasiswa

Status Marital : Belum Menikah

Alamat : Bandung

2.1.2 Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan ada luka pada bibir dalam bagian bawah

sebelah kanan, yang membuat pasien merasa tidak nyaman, keluhan terasa sejak

±1 minggu yang lalu. Keluhan terasa sakit ketika pasien makan. Luka pada bibir

pasien tersebut belum pernah diobati sebelumnya. Dalam rentang ±1 minggu

terakhir pasien jarang makan makanan berserat seperti sayur dan buah-buahan.

Pasien ingin lukanya sembuh.

2.1.3 Riwayat Penyakit Sistemik

Disangkal

5
6

2.1.4 Riwayat Penyakit Terdahulu

Disangkal

2.1.5 Kondisi Umum

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Suhu : Afebris

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Pernafasan : 24 kali/menit

Nadi : 72 kali/menit

2.1.6 Pemeriksaan Ekstra Oral

Kelenjar Limfe

Submandibula Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Submental Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Servikal Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Mata Pupil isokhor, konjungtiva non-anemis, sklera non-ikterik

TMJ Deviasi kanan

Bibir Terdapat ulser, jumlahnya 1 unilateral, dalam dan cekung,

tepinya irregular, besarnya sekitar 5 mm.

Wajah Simetri/Asimetri

Sirkum Oral TAK


7

Lain-lain -

2.1.7 Pemeriksaan Intraoral

Kebersihan mulut : Baik/Sedang/Buruk Plak +/-

Kalkulus +/- Stain +/-

Gingiva : Oedema regio anterior RA, RB

Mukosa bukal : Terdapat teraan gigitan pada regio 36-37 dan 46-47

Mukosa labial : Terdapat lesi

Palatum durum : Tidak ada kelainan

Palatum mole : Tidak ada kelainan

Frenulum : Tidak ada kelainan

Lidah : Terdapat teraan gigitan dibagian lateral kanan dan kiri

Dasar mulut : Tidak ada kelainan

Status Gigi :

X X

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

UE UE

2.1.8 Gambar Kasus


8

Gambar 2.1 Gambar bibir pasien, terdapat lesi

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan

2.1.10 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis : Traumatic ulcer

Diagnosis Banding : Stomatitis aftosa rekuren

Diagnosa : Crenated tongue

Diagnosis : Linea alba

Diagnosis Banding : Cheek biting

Diagnosis : Cheilitis exfoliative

2.1.11 Rencana Perawatan dan Perawatan

1) Farmakologi
9

Pasien diberikan resep obat Triamcinolone Acetonid 0,1% untuk dioleskan

pada luka 3-4 kali sehari

2) OHI

Pasien diinstruksikan untuk menyikat gigi 2x sehari disertai sikat lidah

dengan tongue scraper 2x sehari

3) KIE

Pasien diinstruksikan untuk minum minimal 2L/hari, makan makanan

berserat seperti sayuran dan buah-buahan

2.2 Status Kontrol Ilmu Penyakit Mulut (1)

Tanggal Pemeriksaan : 6 Desember 2018

2.2.1 Anamnesis

Pasien datang untuk kontrol, pasien sudah tidak merasa sakit lagi pada

bibir dalam bawah sebelah kanan. Pasien juga selalu makan sayur-sayuran dalam

menu makanan hariannya. Pasien telah mengkonsumsi obat triamcinolone

acetonid 0,1% untuk mengatasi keluhannya. Keluhan pasien sudah hilang dan

sembuh.

2.2.2 Pemeriksaan Ekstraoral

Kelenjar Limfe

Submandibula Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Submental Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-


10

Servikal Kiri Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan Teraba +/- Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Bibir Tidak Ada Kelainan

Wajah Simetris/Asimetris

Sirkum Oral Tidak ada kelainan

2.2.3 Pemeriksaan Intraoral

Kebersihan mulut : Baik (OHI-S/Indeks plak = 0)

Gingiva : Tidak ada kelainan

Stain : +/-

Mukosa bukal : Terdapat teraan gigitan pada regio 36-37 dan 46-47

Mukosa labial : tidak ada kelainan

Palatum durum : tidak ada kelainan

Palatum mole : tidak ada kelainan

Frenulum : tidak ada kelainan

Lidah : Terdapat teraan gigitan pada bagian lateral lidah kanan kiri

Dasar mulut : tidak ada kelainan

2.2.4 Gambar Kasus


11

Gambar 2.2 Gambar bibir pasien membaik setelah kontrol

2.2.5 Hasil Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan

2.2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis : Post traumatic ulcer

Diagnosis Banding : Stomatitis aftosa rekuren

Diagnosis : Linea alba

Diagnosis : Cheilitis exfoliative ringan

2.2.7 Rencana Perawatan dan Perawatan

1) KIE dilanjutkan

2) OHI dilanjutkan

3) Diet serat, konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan 2x sehari, air putih

2L/hari
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Bibir

Bibir adalah lipatan selaput otot yang mengelilingi bagian anterior mulut.

Area kontak antara kedua bibir disebut stomium dan membentuk lubang labial.

Permukaan luar bibir ditutupi oleh kulit, dengan folikel rambut, kelenjar

sebaceous, dan kelenjar keringat, permukaan bagian dalam ditutupi oleh mukosa

labial, epitel non keratin yang mengandung kelenjar liur. Zona transisi antara

kedua epitel ini adalah batas merah vermilion bibir. Tidak memiliki folikel rambut

atau kelenjar ludah, tetapi kelenjar sebaceous ada pada sekitar 50% orang dewasa,

daerah merah juga keratin, dengan rete ridges lebih ditandai daripada di zona kulit

sekitarnya (Wiley, 2016).

Beberapa penelitian telah mengidentifikasi area antara zona vermilion dan

mukosa yang tidak mengandung lampiran kulit, itu ditutupi oleh epitel bertingkat

yang tidak memliki stratum granulosum tetapi memiliki lapisan permukaan

parakeratin yang tebal. Zona menengah ini meningkat dengan usia 2-4 tahun

(Wiley, 2016).

Daerah yang lebih dalam dari jaringan lunak ini yang membentuk bibir

terdiri dari lapisan otot lurik, otot orbicularis orbis, dan jaringan ikat longgar. Otot

membuat kurva bengkok kea rah luar di tepi area berwarna merah terang yang

memberikan bentuk bibir pada bibir (Wiley, 2016).

12
13

3.2 Traumatic Ulcer

3.2.1 Definisi

Traumatik ulser adalah lesi yang paling sering terjadi pada jaringan lunak

rongga mulut. Traumatik ulser dapat terjadi karena trauma fisik, termal ataupun

kimia, dan sumber trauma biasanya terlihat jelas di dekat lesi. Traumatik ulser

dapat disebabkan oleh gigi yang tajam atau rusak, tambalan yang kasar, instrumen

dental, tergigit, iritasi gigi tiruan, benda asing yang tajam, maupun piranti

ortodonti cekat (Gambar 2). Rata–rata traumatik ulser terjadi karena hasil dari

trauma yang tidak terduga dan umumnya muncul di daerah yang berhadapan

dengan gigi seperti pada bibir, lidah, dan mukosa bukal (Ariyanda, 2017).

3.2.2 Etiologi

Ulkus traumatis biasanya disebabkan oleh gigi palsu dan sering terlihat

pada sulkus bukal atau lingual. Etiologi ulkus traumatis adalah cedera yang tidak

disengaja. Manifestasi klinis uler traumatic adalah nyeri yang menyakitkan,

memiliki lantai kekuningan, pusat fibrinous, margin merah dan inflamasi, dan

tidak ada indurasi. Jika disebabkan oleh tepi tajam dari gigi yang rusak, mereka

biasanya di lidah atau mukosa bukal. Kadang-kadang, bisul besar disebabkan oleh

menggigit pipi setelah anestesi lokal. Selama fase penyembuhan, mereka sering

mengembangkan 'halo keratotik' (Laillyza, 2012).

3.2.3 Gambaran Klinis

Secara klinis traumatik ulser memiliki ciri yang beragam, tetapi biasanya

traumatik ulser memiliki ciri: tunggal, sakit, permukaannya berwarna merah muda

atau putih kekuning–kuningan dan dikelilingi oleh lapisan tipis eritematosa.


14

Traumatik ulser umumnya lembut saat dipalpasi, dan sembuh tanpa bekas luka

dalam 6-10 hari, secara spontan atau setelah menghilangkan faktor penyebabnya.

Traumatik ulser kronis secara klinis mirip seperti karsinoma. Traumatik ulser

yang masih terjadi lebih dari 10-12 hari, harus dilakukan biopsi untuk mencegah

terjadinya kanker (Laskaris, 2006).

3.2.4 Diagnosis Banding

Diagnosis banding ulkus traumatis adalah stomatitis aftosa rekuren.

Diagnosis ulkus traumatis biasanya didasarkan pada riwayat dan pemeriksaan

klinis. Jika ulkus masih persisten setelah 2 minggu atau manifestasi klinis ulkus

mencurigai keganasan maka harus dilakukan biopsi yang diperlukan untuk

menyingkirkan keganasan (Laillyza, 2012).

a. Stomatitis aftosa rekuren

Stomatitis aphthous rekuren (RAS) adalah entitas klinis umum jinak yang

telah dijelaskan oleh Hippocrates pada 460-370 SM. Hal ini ditandai dengan

munculnya ulkus nyeri yang berulang dan tiba-tiba, terletak di mukosa mulut

yang, biasanya, sembuh secara spontan. Etiologinya yang tepat tidak diketahui

dengan berbagai faktor pendukung yang tampaknya memfasilitasi kejadiannya.

Tiga bentuk berbeda secara klinis: minor (MiRAS), mayor (MaRAS) dan

herpetiform (HU). Yang pertama mencakup sekitar 80% kasus. Ini bisa unik atau

multipel, dan ditandai dengan penampilan borok berbentuk bulat atau oval dengan

diameter kurang dari 0,5 cm. Mereka paling sering muncul pada mukosa mulut

non-keratin seperti bibir, bagian bawah ruang depan, lantai mulut dan bibir lidah

tidak, namun, mengecualikan situs yang tersisa seperti gingiva, dorsum lidah dan
15

langit-langit yang keras. Biasanya, mereka sembuh secara spontan dalam 10-14

hari, namun kemungkinan kambuh dalam 3-4 bulan. Aphthae mayor, juga disebut

penyakit Sutton atau periadenitis mukosa nekrotik berulang, mencakup sekitar

10% kasus. Mereka bisa beberapa, hingga maksimal 10, dengan diameter melebihi

1cm. Bagian dalam lebih dalam daripada yang diamati pada aphthae minor,

ditandai dengan nyeri hebat dan tempat predileksi adalah mukosa labial, langit-

langit lunak dan isthmus dari fauces. Mereka kadang-kadang dikaitkan dengan

disfonia dan / atau disfagia. Durasi bervariasi antara 4 dan 6 minggu dan dapat

meninggalkan bekas luka. Aphtha herpetiform mencakup sisa 10% dari RAS.

Banyak borok, antara 10 dan 100, terjadi dengan diameter antara 1 dan 3 mm,

mereka sangat menyakitkan tanpa lokasi lokasi preferensial dan mereka

cenderung menyatu. Sementara dua bentuk klinis pertama mendominasi selama

masa kanak-kanak dan remaja, yang terakhir cenderung muncul dalam kehidupan

dewasa dengan periode jaringan parut antara 7 dan 10 hari, lebih sering terjadi

pada wanita (Diaz, 2015).

Penyebab RAS belum diketahui secara pasti tetapi kemungkinan

multifaktorial. Beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab RAS meliputi:

faktor bawaan, trauma, infeksi yang berhubungan dengan gangguan pencernaan,

pengaruh hormon, faktor emosional, kekebalan otomatis, faktor hematologi dan

lain-lain (Nurhasanah, dkk., 2016).


16

1. SAR Tipe Minor

Ulserasi aphthous rekuren minor - ini adalah bentuk paling umum,

terhitung sekitar 80-90% kasus. Ulkus biasanya bulat atau oval dan terjadi pada

mukosa mulut yang tidak keratin. Dengan demikian, mereka cenderung terjadi

pada mukosa bibir dan pipi dan margin lateral lidah, menyisakan dorsum lidah,

langit-langit dan gingiva. Dalam sulkus bukal atau labial ulkus mungkin linier

(Gambar 2). Satu hingga lima bisul biasanya terjadi pada suatu waktu dan

berdiameter sekitar 5 mm. Ulkus sembuh tanpa jaringan parut setelah 1 hingga 2

minggu dan kemudian kambuh, biasanya pada interval beberapa minggu atau

bulan, meskipun beberapa pasien jarang tanpa borok (Talacko, et al., 2010).

2. SAR Tipe Mayor

Ulserasi aphthous rekuren mayor - bentuk ini jauh lebih jarang dan

menyumbang sekitar 5-10% kasus. Ulkus mirip dengan ulkus aphthous rekuren

minor, tetapi terjadi pada bagian mukosa mulut termasuk daerah keratin seperti

palatum keras dan dorsum lidah serta orofaring dan dapat lebih besar dari

diameter 10 mm. Satu atau dua bisul umumnya terjadi pada satu waktu. Mereka

cenderung gigih, bertahan selama setidaknya satu bulan, sembuh dengan jaringan

parut, dan kemudian kambuh (Talacko, et al., 2010).

3. SAR Tipe Herpetiformis

Ulserasi herpetiform - ini memiliki prevalensi yang mirip dengan RAU

mayor. Bentuk ulserasi ini dimulai sebagai ulkus bundar kecil, berdiameter sekitar

1 mm, yang terdapat dalam jumlah besar (hingga 100). Ini bersatu untuk

menghasilkan borok yang lebih besar dengan margin yang tidak teratur. Mereka
17

biasanya terjadi pada mukosa non-keratin tetapi bagian mana pun dari mukosa

oral mungkin terpengaruh. Ulkus dapat memakan waktu hingga dua minggu untuk

sembuh (tanpa jaringan parut) dan kemudian muncul kembali (Talacko, et al.,

2010).

3.2.5 Perawatan

Pasien harus diperiksa apakah memiliki penyakit sistemik atau tidak.

Adanya lesi pada bibir dalam bagian bawah sebelah kanan dapat menimbulkan

ketidaknyamanan dan rasa sakit pada pasien. Obat kumur chlorhexidin dan obat

Triamcinolone acetonid dapat membantu. Pasien diinstrusikan mengobati keadaan

yang menyebabkan traumatic ulcer tersebut dan meningkatkan kebersihan mulut.


BAB IV

PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan intraoral ditemukan lesi pada bibir dalam bawah

sebelah kanan pasien didiagnosa sebagai traumatic ulcer. Hal ini sesuai dengan

yang disebutkan pada literatur, bahwa gambaran klinis dari traumatic ulser adalah

lesi yang dalam dan cekung serta bertepi irreguler.

Faktor-faktor yang menjadi etiologi dari traumatic ulser yaitu dapat

berupa trauma fisik atau trauma kimiawi. Kerusakan fisik pada mukosa mulut

dapat disebabkan oleh permukaan tajam, seperti cengkeram atau tepi-tepi protesa,

peralatan ortodonti, kebiasaan menggigit bibir, atau gigi yang fraktur.Ulser dapat

diakibatkan oleh kontak dengan gigi patah, cengkeram gigi tiruan sebagian atau

mukosa tergigit secara tak sengaja. Luka bakar dari makanan dan minuman yang

terlalu panas umumnya terjadi pada palatum. Ulkus traumatik lain disebabkan

oleh cedera akibat kuku jari yang mencukil-cukil mukosa mulut. Dalam kasus ini,

pasien mengalami traumatic ulcer yang disebabkan karena bibir pasien tergigit

dan pasien jarang makan makanan berserat seperti sayur dan buah-buahan,.

Terapi yang diberikan pada pasien saat kunjungan adalah pemberian resep

triamcinolone acetonid 0,1%, OHI (Oral hygiene Instruction) dan KIE yang

mencakup instruksi untuk menjaga kebersihan mulutnya dengan menyikat gigi

dua kali sehari setelah makan pagi dan sebelum tidur malam. Pasien juga

dianjurkan untuk hidup sehat dengan minum minimal 2L/hari, makan makanan

dengan gizi seimbang dan perbanyak makanan berserat seperti sayuran dan buah-

buahan.

18
19

Pasien diinstruksikan untuk kontrol untuk melihat tingkat keberhasilan dari

perawatan yang telah diberikan. Pada saat kontrol terlihat lesi di bibir bagian

dalam bawah sebelah kanan sudah hilang dan sembuh. Pasien sudah mengikuti

instruksi yang diberikan dengan mengkonsumsi obat triamcinolone acetonid

0,1%. Terapi yang diberikan menunjukkan tanda-tanda perbaikan pada pasien,

keluhan berupa sakit pada bibir pasien menghilang.


BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan intraoral, dapat ditarik

kesimpulan pasien mengalami traumatic ulcer. Pada pemeriksaan intraoral

ditemukan lesi pada bibir bawah bagian dalam sebelah kanan. Traumatic ulcer

yang dialami pasien disebabkan oleh tergigitnya bibir oleh pasie sendiri.

Pasien diberikan obat triamcinolone acetonid 0,1%. Pasien dianjurkan

memakainya 3-4 kali sehari dioles tipis pada bagian luka, dan diet makanan sehat,

berserat, dan gizi seimbang, dan minum air mineral 2 Liter perhari.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ariyanda, Muhammad Ilham. (2017). `Prevalensi Traumatik Ulser pada Pengguna


Piranti Ortodonti Cekat di Klinik PPDGS FKG USU`. Skripsi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatra Utara.

Diaz, Anabel.; Lopes, Otilia Pereira.; Barbosa, Elisabete.; Mesquita, Pedro.;


Coimbra, Filipe. (2015). `Behavior Of The Recurrent Aphthous Stomatitis
as a Dental Urgency at Vedado1s University Polyclinic`. Faculty of Dental
Medicine, University Of Porto, Portugal.

Laillyza, Maharani Apriasari. (2012). `The Management of Chronic Traumatic


Ulcer In Oral Cavity`. Kalimantan Selatan, Indonesia.

Laskaris, G. Pocket Atlas of Oral Diseases. 2 nd ed. 138-141. Stuggart: Georg


Thieme Publishers, 2006:137-141.

Leao JC, Gomes VB, Porter S. (2007). `Ulcerative lesions of the mouth: An
update for the general medical practitioner`. Clinics 62(6):769-80.

Nurhasanah, Siti.H.; Palmasari, Astrid.; Setyaningtyas, Dwi.; Sujati.; Setyawati,


Okty. (2016). `Recurrent of Aphthous Stomatitis (RAS) and Exfoliative
Cheilitis in Eldery Psoriatis Sufferer`. Surabaya, Indonesia.

Talacko, AA.; AK. Gordon.; MJ. Aldred. (2010). `The Patient With Recurrent
Oral Ulceration`. Heidelberg, Victoria, Australia.

Wiley, John. (2016). `Cosmetic Dermatology : Product and Procedures`.


Blackwell Publishing, UK.

21

Anda mungkin juga menyukai