Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sindrom coroner akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan

ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh kurangnya

oksigen ke otot jantung (miokardium). Sindrom coroner akut ini merupakan

sekumpulan manifestasi atau gejala akibat gangguan pada arteri koronaria

(Shiel WC, Stoppler MC, 2008). SKA merupakan kejadian kegawatan pada

pembuluh darah coroner. Sindrom ini juga merupakan suatu fase akut dari

angina pektoris tidak stabil (APTS) yang disertai infark miokad akut (IMA)

gelombang Q dengan peningkatan non ST atau tanpa gelombang Q dengan

peningkatan ST yang terjadi karena adanya thrombosis akibat ruptur plak

aterosklerosis yang tidak stabil. Sindrom coroner akut mencangkup penyakit

jantung coroner yang bervariasi mulai dari angina pectoris tidak stabil dan

infark miokard tanpa ST-elevasi sampai infark miokard dengan ST-elevasi

(Basuki, N. 2008). Ketiga gangguan ini disebut sindrom coroner akut karena

gejala awal serta manajemen awal sering serupa.

World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa penyakit

jantung koroner menjadi salah satu masalah kesehatan dalam system

kardiovaskular yang jumlahnya meningkat cepat dengan angka kematian 6,7

juta kasus (WHO, 2017). Perhitungan WHO (World Health Organization)

yang memperkirakan pada tahun 2020 mendatang, penyakit kardiovaskuler

akan menyumbang sekitar 25% dari angka kematian dan mengalami

peningkatan khususnya di negara-negara berkembang, salah satu diantaranya


berada di Asia Tenggara. Angka kematian yang disebabkan oleh PJK

mencapai 1,8 juta kasus pada tahun 2014, yang artinya PJK menjadi penyakit

yang mematikan di kawasan Asia Tenggara salah satu negaranya adalah

Indonesia (WHO, 2017).

Indonesia merupakan negara berkembang dimana prevalensi penyakit

jantung dari tahun ke tahun mengalami kenaikan jumlah penderita terutama

penyakit infark miokard akut (IMA). Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS, 2013), prevalensi penyakit IMA tertinggi berada pada wilayah

seperti Sulawesi Tengah (0,8%), Sulawesi Utara, DKI Jakarta dan Aceh yang

masing-masing sebanyak 0,7%. Berdasarkan data Jakarta Acute Coronary

Syndrome Registry menyebutkan bahwa pada tahun 2008-2009 terdapat 654

pasien dengan STEMI dan hanya 59% yang mendapat terapi reperfusi

(Dharma et al, 2012). Sejumlah 478.000 pasien di Indonesia terdiagnosis

penyakit jantung koroner dan prevalensi infark miokard akut dengan ST-

elevasi meningkat dari 25% ke 40% (Kemkes RI, 2014).

Adapun salah satu masalah keperawatan yang muncul pada penderita

SKA yaitu dyspnea. SKA dapat mengakibatkan kegagalan fungsi pulmonal

sehingga terjadi penimbunan cairan di alveoli. Hal ini menyebabkan jantung

tidak dapat berfungsi dengan maksimal dalam memompa darah. Hasil

wawancara dengan 8 orang pasien dan keluarga pasien di rumah sakit

menyatakan bahwa 80% pasien menyatakan bahwa dyspnea mengganggu

mereka dalam beraktivitas sehari-hari. Selain itu gangguan dyspnea pada


pasien SKA seringkali menyebabkan menurunnya kapasitas fungsional,

menyebabkan gangguan masalah tidur, peningkatan respon cemas dan depresi,

meningkatkan angka kematian, readmission, lama rawat inap dan biaya

perawatan pasien itu sendiri. Dampak lain yang muncul adalah perubahan

yang terjadi pada otot-otot respiratori. Hal-hal tersebut mengakibatkan suplai

oksigen ke seluruh tubuh terganggu sehingga terjadi dyspnea (Johnson, 2008;

Wendy, 2010).

Penurunan dyspnea pada pasien SKA merupakan tujuan utama treatmen

dan merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan pasien SKA (Solomonica

et al. 2013). Untuk menurunkan dyspnea dapat digunakan beberapa treatment

pada pasien SKA sesuai dengan kondisi penyerta yang mengganggu baik

menggunakan oksigenasi, manajemen farmakologi dan breathing exercise.

Breathing exercise merupakan latihan untuk meningkatkan pernafasan dan

kinerja fungsional (Cahalin, 2015). Salah satu breathing exercise yang dapat

dilakukan adalah deep breathing exercise yaitu aktivitas keperawatan yang

berfungsi meningkatkan kemampuan otot-otot pernafasan untuk

meningkatkan compliance paru dalam meningkatkan fungsi ventilasi dan

memperbaiki oksigenasi (Smelzer, 2008; Price, 2006). Deep breathing

exercise adalah latihan pernapasan dengan teknik bernapas secara perlahan

dan dalam, menggunakan otot diafragma, sehingga memungkinkan abdomen

terangkat perlahan dan dada mengembang penuh.

Penelitian tentang breathing exercise pada penderita Non-ST Elevation

Myocardial Infarction (NSTEMI) Killip IV oleh Kuswardani (2017). Sampel


penelitian ini menggunakan seluruh populasi, yaitu sebanyak 8 pasien yang

secara keseluruhan diambil sebagai sampel penelitian. Pengumpulan data

didapat dari pemeriksaan tanda-tanda vital (TTV). Hasil uji t menunjukkan

Sig. = 0,000 (<0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima. . Hal ini berarti HR

sebelum dan sesudah tindakan (terapi latihan) tidak sama. Berdasarkan hasil

penelitian, dapat disimpulkan bahwa Terapi latihan dapat mengurangi derajat

sesak napas, spasme otot pernapasan pada penderita Non-ST Elevation

Myocardial Infarction (NSTEMI) Killip IV.

Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan

analisis jurnal tentang “Efektivitas Deep Breathing Exercises Terhadap

Penurunan Derajat Dyspnea Dan Tingkat Saturasi Oksigen Pada Pasien Acute

Coronary Syndrome”.

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui “Efektivitas Deep Breathing Exercises Terhadap

Penurunan Derajat Dyspnea Dan Tingkat Saturasi Oksigen Pada Pasien Acute

Coronary Syndrome”.

1.3 Manfaat

a. Bagi Program Studi Profesi Ners

Analisis jurnal ini dapat dijadikan tambahan materi dan bahan bacaan

tentang mengetahui “Efektivitas Deep Breathing Exercises Terhadap

Penurunan Derajat Dyspnea Dan Tingkat Saturasi Oksigen Pada Pasien Acute

Coronary Syndrome”.

b. Bagi Perawat
Analisis jurnal ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi perawat

dalam melakukan intervensi.

c. Bagi Fasilitas Kesehatan

Analisis jurnal ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam

melaksanakan penatalaksanaan mengetahui “Efektivitas Deep Breathing

Exercises Terhadap Penurunan Derajat Dyspnea Dan Tingkat Saturasi

Oksigen Pada Pasien Acute Coronary Syndrome”.


BAB II
METODE DAN TINJAUAN TEORITIS
2.1 Metode pencarian

Analisis jurnal dilakukan dengan mengumpulkan artikel hasil publikasi

ilmiah dengan penelusuran menggunakan data based Google

Cendekia/Scholar, dan PupMed.

Strategi pencarian literatur penelitian yang relevan untuk analisis jurnal

dapat dilihat pada bagan dibawah ini :

Identifikasi

Google Scholar 1. Breathing exercises


2. Dyspnea and oksigen saturation in
heart disease
PupMed 3. Congestive heart failure

1. PDF
2. FULL TEXT
Screening 3. Bahasa Inggris Google Scholar n=6
4. Bahasa Indonesia
PupMed n=2
5. Tahun 2015-2021

breathing exercises terhadap dyspnea


Kelayakan

Breathing exercises terhadap


Analisis dyspnea dan tingkat saturasi
2.2 pasien dengan penyakit jantung
2.2 Tinjauan Teoritis
2.2.1 Sindrom Koroner Akut (Acute Coronary Syndrom)

A. Definisi

Sindrom koroner akut adalah suatu kondisi dimana terjadi imbalans dari

suplai dan demand oksigen otot jantung yang paling sering disebabkan oleh plak

aterosklerosis yang menyebabkan penyempitan arteri-arteri koroner. Selain itu

sindrom koroner akut. dapat pula terjadi akibat spasme arteri yang disebut

dengan angina varian. Presentasi klinis yang dapat ditimbulkan dapat bermacam-

macam dan membentuk spektrum sindrom koroner akut., namun manifestasi

yang paling sering adalah angina pectoris (Young dan Libby, 2011). SKA

merupakan suatu penyakit yang dinamis, dimana ada suatu proses transisi dari

spektrum penyakit akibat perubahan intralumen mulai dari oklusi parsial sampai

dengan total ataupun reperfusi.

Adapun spektrum klinis dari SKA adalah sebagai berikut (Young dan

Libby, 2011):

a. Penyakit jantung koroner : kondisi imbalans dari suplai dan kebutuhan

oksigen miokardium yang berakibat hipoksia dan akumulasi metabolit

berbahaya, paling sering disebabkan aterosklerosis.

b. Angina pectoris :sensasi tidak nyaman di daerah dada dan sekitar, akibat

proses iskemia otot jatung.

c. Angina stabil : bentuk kronik dari angina yang hilang timbul, timbul saat

aktivitas dan emosi, dan hilang saat istirahat dan pemberian nitrat. Tidak ada

kerusakan permanen otot jantung.


d. Angina varian : klinis seperti angina, timbul saat istirahat, terjadi akibat

spasme pembuluh darah koroner

e. Angina tidak stabil : bentuk dari angina dengan peningkatan frekuensi dan

durasi, muncul saat aktivitas yang lebih ringan. Dapat menjadi imfark

miokard akut jika tidak segera ditangani

f. Silent Ischemia : bentuk asimptomatis dari proses iskemia miokardium. Dapat

dideteksi melalui EKG dan pemeriksaaan laboratorium

g. Infark Miokard Akut : proses nekrosi miokardium yang disebabkan

penurunan aliran darah berkepanjangan. Paling seering disebabkan oleh

thrombus, dapat bermanifestasi pertama kali ataupun muncul kesekian kali

dngan riwayat angina pektoris.

B. Etiologi

Etiologi penyakit jantung koroner adalah adanya penyempitan, penyumbatan,

atau kelainan pembuluh arteri koroner. Penyempitan atau penyumbatan pembuluh

darah tersebut dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering

ditandai dengan yeri. Dalam kondisi yang parah, kemampuan jantung memompa

darah dapat hilang. Hal ini dapat merusak sistem pengontrol irama jantung dan

berakhir dan berakhir dengan kematian (Hermawatirisa, 2014).

Dari faktor risiko tersebut ada yang dikenal dengan faktor risiko mayor dan

minor. Faktor risiko mayor meliputi hipertensi, hiperlipidemia, merokok, dan

obesitas sedangkan faktor risko minor meliputi DM, stress, kurang olahraga,

riwayat keluarga, usia dan seks. Menurut Wang (2010) faktor risiko SKA pada
wanita meliputi : Obesitas, riwayat keluarga, diabetes mellitus, penggunaan

kontrasepsi oral yang disertai dengan riwayat merokok, kolesterol, merokok.

C. Manifestasi Klinik

Menurut Anies (2016) hal ini menunjukan bahwa telah terjadi >70%

penyempitan pembuluh darah koronaria. Keadaan ini bisa merubah menjadi lebih

berat dan menimbulkan sindroma koroner akut (SKA) atau yang dikenal dengan

serangan jantung mendadak: tertekan benda berat, rasa tercekik, ditinju, ditikam,

diremas, rasa seperti terbakar pada dada, disertai sesak nafas, banyak berkeringat.

1) Gambaran Klinis Angina Tak Stabil

a. Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau

keluhan angina yang bertambah dari biasa.

b. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama,

mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang

minimal.

c. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah,

kadang-kadang disertai keringat dingin.

d. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.

2) Gambaran Klinis Infark Miokard Dengan Non Elevasi Segmen ST

(NSTEMI)

a. Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di

epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan

terbakar.
b. Nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala

yang sering ditemukan pada NSTEMI

c. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahawa mereka

yang memiliki gejala dengan onset baru angina berat/terakselerasi

memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki

nyeri pada waktu istirahat.

d. Gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI telah

diketahui dengan baik.

e. Gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di

lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok

yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun

3) Gambaran Klinis Infark Miokard Dengan Elevasi Segmen ST (STEMI)

a. Nyeri dada dengan lokasi substernal, retrosternal, dan prekordial

b. Sifat nyeri seperti rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih

benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

c. Penjalaran biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,

gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan

d. Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat, atau obat nitrat.

e. Gejala yang menyertai seperti mual, muntah, sulit bernafas, keringat

dingin, cemas dan lemas.


D. Patofisiologi

Menurut Saparina (2010) sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari

plak ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan

dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi

plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi

jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).

Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total

maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner

yang lebih distal.

Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi

sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah

koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti

sekitar 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).

Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.

Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan

terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari

iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena

proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan

remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel).

Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas.

Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri

koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa

spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis
setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti

demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus

terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.

E. Pemeriksaan Diagnostik

1) Elektrokardiogram (EKG)

Befungsi untuk merekam sinyal-sinyal listrik yang bergerak melalui

jantung didalam tubuh. EKG seringkali dapat mendiagnosis bukti serangan

jantung sebelum kejadian atau yang sedan berlangsung

2) Ekokardiogram

Tes untuk mendiagnosis kondisi penyakit jantung koroner. Alat ini

menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambar jantung anda.

3) CT scan jantung

Dapat melihat deposit kalsium di arteri anda. Kelebihan kalsium dapat

mempersempit arteri sehingga ini dapat menjadi pertanda kemungkinan

penyakit arteri koroner. Selain itu melakukan X-ray dan ultrasound untuk

menyimpulkan kondisi anda

F. Penatalaksanaan

1) Terapi Farmakologis

a. Terapi anti iskemik : untuk mengurangi iskemia dan mencegah

terjadinya kemungkinan yang lebih buruk seperti, infarkmiokard atau

kematian.

b. Nitrat : mengurangi kebutuhan oksigen dan meningkatkan suplai

oksigen.
c. Antagonis kalsium mengurangi influlks kalsium yang melalui

membrane sel. Obat ini menghambat kontraksi miokard dan otot polos

pembuluh darah.

2) Terapi Non Farmakologis

a. Istirahat yang teratur untuk mengurangi beban kerja jantung.

b. Oksigenasi

2.2.2 Dyspnea

A. Definisi

Menurut Hidayat (2008), dispnea merupakan perasaan sesak dan berat pada

saat bernafas. Dispnea dapat disebabkan karena perubahan kadar gas dalam darah

atau jaringan, kerja berat atau berlebihan, serta karena faktor psikologis.

B. Klasifikasi Dispnea

Menurut Mutaqqin (2008), dispnea diklasifikasikan menjadi lima, yaitu :

Tabel 2.3 Klasifikasi Dispnea

Klasifikasi Dispnea Gambaran Klinis


Dispnea Tingkat I - Tidak ada pembatasan atau hambatan dalam melakukan

aktivitas sehari – hari.

- Sesak nafas terjadi bila melakukan aktivitas jasmani yang

lebih berat dari pada biasanya.

- Dapat melakukan pekerjaan sehari – hari dengan baik


Dispnea Tingkat II - Sesak nafas tidak terjadi pada saat melakukan aktivitas

penting atau aktivitas yang biasa dilakukan sehari – hari.

- Sesak nafas timbul bila melakukan aktivitas yang lebih

berat.
- Sesak nafas timbul pada waktu naik tangga atau mendaki,

akan tetapi sesak nafas tidak muncul pada waktu berjalan

dijalan yang datar.

- Sebaiknya bekerja di kantor atau tempat yang tidak

memerlukan terlalu banyak tenaga.


Dispnea Tingkat III - Sesak nafas terjadi pada saat melakukan aktivitas sehari –

hari seperti mandi atau berpakaian, tetapi masih dapat

melakukan aktivitas sehari – hari tanpa bantuan orang lain.

- Sesak nafas tidak timbul pada saat istirahat. - Mampu

berjalan – jalan ke daerah sekitar, walaupun

kemampuannya tidak sebaik orang – orang sehat pada

umumnya.
Dispnea Tingkat IV - Timbul sesak nafas saat melakukan aktivitas sehari – hari

seperti mandi, berpakaian, dan aktivitas lainnya, sehingga

bergantung pada orang lain ketika melakukan kegiatan

sehari – hari.

- Sesak nafas belum timbul pada saat istirahat,akan tetapi

mulai timbul bila melakukan pekerjaan ringan sehingga

pada waktu mendaki atau berjalan – jalan sedikit, perlu

berhenti untuk istirahat sebentar. Pekerjaan sehari –hari

tidak dapat dilakukan dengan leluasa.


Dispnea Tingkat V - Harus membatasi diri dalam segala tindakan atau

aktivitas sehari – hari yang sebelumnya dilakukan secara

rutin.

- Aktivitas ditempat tidur atau hanya duduk di kursi.


- Sangat bergantung pada bantuan orang lain ntuk

memenuhi kebutuhan sehari - hari.

C. Faktor yang mempengaruhi dispnea

Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi dispnea menurut Mutaqqin (2008),

adalah sebagai berikut :

1) Faktor psikis

Keadaan emosi tertentu seperti menangis terisa - isak, tertawa terbahak –

bahak, mengeluh dengan menarik nafas panjang, dan merintih atau

mengerang karena suatau penyakit dapat mempengaruhi irama pernafasan.

2) Faktor peningkatan kerja pernafasan

Pada saat kemampuan dinding thoraks atau paru untuk mengembang

mengalami penurunan, sedangkan tahanan saluran nafas meningkat, maka

otot pernafasan memerlukan tenaga yang lebih besar untuk memberikan

perubahan volume serta tambahan tenaga yang diperlukan untuk kerja

sistem pernafasan. Hal tersebut akan meningkatkan kebutuhan oksigen, jika

paru paru tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen, akan timbul sesak

nafas

3) Otot pernafasan yang abnormal

Kelainan otot pernafasan dapat berupa kelelahan, kelemahan, dan

kelumpuhan. Penelitian yang dilakukan Monod Scherrer pada otot

diafragma yang mengalami kelehan, menyimpulkan bahwa kelelahan yang


terjadi dan berkembang pada otot tergantung pada jumlah energi yang

tersimpan dalam otot, kecepatan pemasokan energi, dan pemakaian otot

yang tepat.

2.2.3 Saturasi Oksigen

A. Definisi

Saturasi oksigen (SaO2) adalah presentasi oksigen yang terikat atau dibawa

oleh hemoglobin di pembuluh darah, dimana satu hemoglobin memiliki empat

situs pengikat oksigen dan produk hasil pengikatan hemoglobin dan oksigen

disebut oksihemoglobin. Nilai normal saturasi oksigen adalah sekitar 95% - 98%

pada dewasa sehat, dinyatakan dalam satuan persen yang menggambarkan jumlah

total persentase situs pengikat hemoglobin yang berikatan dengan oksigen.

(Hidayat, 2017).

B. Faktor yang Mempengaruhi Saturasi Oksigen

Hubungan antara afinitas oksigen terhadap hemogobin dipengaruhi oleh

beberapa faktor yang tergambarkan dalam perubahan pada kurva disosiasi

oksihemoglobin.Pergeseran ke kanan (shift to the right) menggambarkan

penurunan afinitas hemoglobin terhadap oksigen, sedangkan pergeseran ke kiri

(shift to the left) menggambarkan peningkatan afinitas hemoglobin terhadap

oksigen. Faktor ini ialah temperature tubuh, pH darah, konsentrasi tekanan parsial

karbondioksida (pCO2), konsentrasi 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG), dan

konsentrasi dyshemoglobin. Pergeseran ke kanan terjadi ketika kondisi pH darah

rendah, peningkatan pCO2 dan konsentrasi 2,3-DPG, serta peningkatan

temperatur tubuh. Perubahan tersebut terjadi semisal ketika tubuh tengah


melakukan aktivitas fisik, dimana perubahan-perubahan tersebut akan menggeser

kurva ke kanan sehingga memudahkan pelepasan O2 ke jaringan tubuh selama

periode dengan permintaan O2 yang tinggi (efek Bohr).10 Sedangkan pergeseran

ke kiri terjadi ketika kondisi pH darah tinggi, penurunan pCO2 dan konsentrasi

2,3-DPG, serta penurunan temperatur tubuh. Selain itu, keadaan tingginya

karbonmonoksida (CO) di dalam sistem sirkulasi akan menggeser kurva disosiasi

ke kiri. Hal ini disebabkan karena CO memiliki afinitas dengan hemoglobin 250

kali lebih besar dibandingkan dengan oksigen, mengakibatkan penurunan kadar

oksigen yang dapat diangkut oleh hemoglobin. Oleh karena itu, rantai-rantai

polipeptida globin yang tidak berikatan dengan CO akan meningkatkan

afinitasnya terhadap O2 yang terikat.

Selain faktor-faktor diatas, nilai saturasi oksigen juga dipengaruhi

faktorfaktor patologis dan faktor lingkungan, diantara lain :

a. Kadar Hb (contoh: pada anemia, dan hemoglobinopati)

b. Dyshemoglobin, yaitu hemoglobin yang tidak berikatan dengan oksigen

seperti carboxyhemoglobin (COHb) dan methemoglobin (MetHb).

c. Kondisi-kondisi yang menurunkan daya kompliansi pengembangan paru

maupun mengganggu proses pertukaran O2 dan CO2 di tingkat alveolar,

seperti pada PPOK, kondisi patologis jantung, dan obesitas

d. Lingkungan dengan kadar oksigen rendah, seperti pada dataran tinggi.

C. Pengukuran Saturasi Oksigen

Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa

tehnik.Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk


memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak

(Tarwoto, 2016). Adapun cara pengukuran saturasi oksigen antara lain :

1) Saturasi oksigen arteri (Sa O2) nilai di bawah 90% menunjukan keadaan

hipoksemia (yang juga dapat disebabkan oleh anemia ). Hipoksemia

karena SaO2 rendah ditandai dengan sianosis . Oksimetri 8 nadi adalah

metode pemantauan non invasif secara kontinyu terhadap saturasi oksigen

hemoglobin (SaO2). Meski oksimetri oksigen tidak bisa menggantikan

gas-gas darah arteri, oksimetri oksigen merupakan salah satu cara efektif

untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil

dan mendadak. Oksimetri nadi digunakan dalam banyak lingkungan,

termasuk unit perawatan kritis, unit keperawatan umum, dan pada area

diagnostik dan pengobatan ketika diperlukan pemantauan saturasi oksigen

selama prosedur.

2) Saturasi oksigen vena (Sv O2) diukur untuk melihat berapa banyak

mengkonsumsi oksigen tubuh. Dalam perawatan klinis, Sv O2 di bawah

60%, menunjukkan bahwa tubuh adalah dalam kekurangan oksigen, dan

iskemik penyakit terjadi. Pengukuran ini sering digunakan pengobatan

dengan mesin jantung-paru (Extracorporeal Sirkulasi), dan dapat

memberikan gambaran tentang berapa banyak aliran darah pasien yang

diperlukan agar tetap sehat.

3) Tissue oksigen saturasi (St O2) dapat diukur dengan spektroskopi

inframerah dekat . Tissue oksigen saturasi memberikan gambaran tentang

oksigenasi jaringan dalam berbagai kondisi.


4) Saturasi oksigen perifer (Sp O2) adalah estimasi dari tingkat kejenuhan

oksigen yang biasanya diukur dengan oksimeter pulsa. Pemantauan

saturasi O2 yang sering adalah dengan menggunakan oksimetri nadi yang

secara luas dinilai sebagai salah satu kemajuan terbesar dalam pemantauan

klinis (Giuliano & Higgins, 20015). Untuk pemantauan saturasi O2 yang

dilakukan di perinatalogi ( perawatan risiko tinggi ) Rumah Sakit Islam

Kendal juga dengan menggunakan oksimetri nadi. Alat ini merupakan

metode langsung yang dapat dilakukan di sisi tempat tidur, bersifat

sederhana dan non invasive untuk mengukur saturasi O2 arterial (Astowo,

20015 ).

2.2.4 Deep Breathing exercises

A. Definisi

Latihan napas deep breathing adalah suatu teknik bernapas yang

mengoptimalkan fungsi otot bantu pernapasan untuk menghasilkan tarikan napas

yang lebih dalam, dengan memperbesar ekspansi abdomen dan dada selama

inspirasi sehingga jumlah volume tidal sewaktu yang masuk lebih banyak.

(Critchley, 2015). Breathing exercise merupakan latihan napas dalam ,bagian dari

teknik pernapasan yang menekan pada inspirasi maksimum yang panjang yang

dimulai dari akhir ekspirasi dengan tujuan untuk meningkatkan volume paru,

meningkatkan dan redistribusi ventilasi, mempertahankan alveolus tetap

mengembang, meningkatkan oksigenisasi, mobilisasi sangkar thorax dan

meningkatkan kekuatan dan daya tahan serta efisiensi otototot pernafasan (Basuki,

2016). Deep breathing exercise salah satu latihan otot pernapasan untuk
meningkatkan kapasitas vital paru sehingga dapat memaksimalkan proses difusi.

Peningkatan kapasitas vital paru menyebabkan semakin meningkatnya perbedaan

tekanan parsial gas antara tekanan parsial gas dalam alveoli dan dan tekanan

parsial gas dalam darah kapiler paru.Peningkatan tekanan parsial gas oksigen

dalam alveoli menyebabkan tidak terganggunya proses difusi sehingga dapat

menyebabkan peningkatan saturasi oksigen. Deep breathing exercise dapat

diberikan kepada seluruh penderita dengan status pasien yang hemodinamik

stabil, pasien CHF NYHA II dan III.

B. Tujuan Deep Breathing Exercise

1) Untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta

mengurangi kerja pernapasan

2) Meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot dan menghilangkan

ansietas

3) Mencegah pola aktifitas otot pernapasan yang tidak berguna, melambatkan

frekuensi pernapasan, mengurangi udara yang terperangkap serta

mengurangi kerja bernapas (Smeltzer et al, 2014).

C. Volume dan Kapasitas Paru Pada Deep Breathing

Pada fungsi fisiologisnya, udara yang berada atau dihirup dan dikeluarkan

oleh paru dikelompokkan menjadi beberapa istilah yang disebut volume dan

kapasitas paru. Ketika saat seseorang melakukan pernapasan deep breathing, akan

terjadi perubahan volume tidal (VT) dan kapasitas vital (KV) paru menjadi lebih

tinggi dibandingkan dengan normal. (Critchley, 2015).

D. Deep Breathing Sebagai Mekanisme Terapeutik Bagi Bidang Ilmu


Keperawatan

Deep breathing merupakan suatu teknik pernapasan yoga yang

berkarakteristikan inhalasi sadar – retensi napas – dan ekshalasi, juga

mempengaruhi sistim autonomi tubuh dengan menekan respon saraf simpatis dan

meningkatkan regulasi respon saraf parasimpatis.Beberapa efek fisiologis pada

sistem saraf parasimpatis yang dihasilkan ditunjukkan dengan adanya peningkatan

venous return darah ke jantung dan peningkatan volume tidal dengan tetap

menjaga ventilasi optimal.Deep breathing yang dilakukan dengan terkontrol

dengan rasio lambat dan volume tidal yang optimal telah menunjukkan efek

peningkatan efisiensi ventilasi oksigen dengan meningkatkan ventilasi alveolar

dan mengurangi volume ruang mati.Selain itu, deep breathing juga dapat

meningkatkan oksigenasi arterial dengan meningkatkan pertukaran gas yang

terjadi pada level alveolar – kapiler.Sehingga dapat dikatakan bahwa efisiensi

ventilasi oksigen dapat dioptimalisasikan dengan merubah pola pernapasan

sehingga dapat mengefisiensikan transisi antara ventilasi alveolus dan ventilasi

udara. (Mohamed,2018)

E. Teknik Deep Breathing

Alterasi pola napas yang terjadi saat seseorang melakukan latihan napas

dalam atau deep breathing adalah perlambatan waktu laju napas dengan

memanjangkan waktu inspirasi dan ekspirasi guna meningkatkan kompliansi

paru, memperbaikin fungsi ventilasi, dan memperbaiki oksigenasi (Kaushik,

2016).

Teknik deep breathing meliputi :


1) Mengatur subyek pada posisi half laying atau semi fowler;

2) Meletakkan satu tangan di abdomen (di bawah iga) untuk merasakan

pergerakan dada dan abdomen saat bernapas;

3) Menarik napas melalui hidung selama 4 detik melalui hidung, menjaga

mulut tetap tertutup selama penarikan napas, tahan napas selama 2

detik;

4) Menghembuskan napas melalui bibir yang dirapatkan dan sedikit

terbuka sambal mnegkontraksikan otot-otot abdomen selama 4 detik;

5) Melakukan pengulangan selama 1 menit dengan jeda 2 detik setiap

pengulangan, mengikuti dengan periode istirahat 2 menit;

6) Melakukan latihan dalam 5 siklus selama 15 menit. Ekspirasi napas

pada latihan napas deep breathing dilakukan melalui bibir secara

perlahan dan tidak melalui hidung untuk memperpanjang waktu

ekshalasi dan mempermudah subyek mengontrol volume udara yang

dihembuskan serta kontraksi otot abdomen yang terjadi.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis jurnal, maka dapat disimpulkan bahwa Deep

breathing exercises memiliki pengaruh yang cukup bermakna terhadap


dispnea dan tingkat saturasi pada pasien dengan Acute Coronary Syndrome.

Dengan kata lain bahwa Deep breathing exercises dapat memperbaiki dispnea

dan meningkatkan saturasi pada pasien dengan Acute Coronary Syndrome.

4.2 Saran

a. Bagi Program Studi Profesi Ners

Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan tambahan teori dan bahan

bacaan tentang “Efektivitas Deep Breathing Exercises Terhadap Penurunan

Derajat Dyspnea Dan Tingkat Saturasi Oksigen Pada Pasien Acute Coronary

Syndrome”.

b. Bagi perawat

Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan sebagaimasukan bagi

perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan

Acute Coronary Syndrome.

c. Bagi Fasilitas Kesehatan

Diharapkan analisis jurnal ini dapat menjadi masukan bagi Fasilitas

kesehatan agar dapat melakukan pembahasan secara mendalam tentang

intervensi nonfarmakologis dalam memberikan Deep Breathing Exercises

terhadap dispnea dan tingkat saturasi pada pasien dengan Acute Coronary

Syndrome.

DAFTAR PUSTAKA

Astowo, Pudjo. 2015. Terapi Oksigen: Ilmu Penyakit Paru. Bagian Pulmonologi
dan Kedokteran Respirasi. FKUI. Jakarta

Basuki, N. 2016. Hand Out FT Kardiopulmonal. Surakarta: Poltekes Surakarta.


Critchley, H. D., Nicotra, A., Chiesa, P. A., Nagai, Y., Gray, M. A., Minati, L., &
Bernardi, L. 2015. Slow breathing and hypoxic challenge:
Cardiorespiratory consequences and their central neural substrates. PLoS
One, 10(5) doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0127082

Kaushik. 2016. Effects of mental relaxation and slow breathing in essential


hypertension. Journal of Complementary Therapies in Medicine. 14 (120-
126)

Mohamed, E., Hanafy, N. F., El-Naby, A. G. A. 2018. Effect of slow deep


breathing exercise on blood pressure and heart rate among newly
diagnosed patients with essential hypertension. Journal of Education and
Practice. 37, Vol.5, No.4

Smeltzer, Suzzane C, Bare, B.G., Hincle, J.I., Cheever, K.H. 2014. Textbook of
medical surgical nursing; brunner&suddart eleventh edition. Jakarta:
EGC.

Tarwoto & Wartonah. 2016. Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses


Keperawatan.Edisi Ke-3. Jakarta: Salemba Medika

Smeltzer, Susanna and B. Bare. 2008. Textbook of Medical Surgical Nursing:


Brunner and Suddarth's. 11th ed. Philadelpia: Lippincott William
Wilkins.

Solomonica, A., Burger, A.J., & Aronson. 2013. Hemodinamic Determinant Of


Dyspnea Improvement In Acute Decompesated Heart Failure. Circulation
Heart Failure, 6, 53 60.

Shiel, W.C., Stoppler, M.C. 2008. Kamus Kedokteran Webster’s New World Edisi
Ketiga. Jakarta: PT.Indeks.

Basuki, N. 2008. Hand Out FT Kardiopulmonal. Surakarta: Poltekes Surakarta.

World Health Organization (WHO). 2015. Indonesia : WHO Statistical Profile.


Country Statistics And Global Health Estimates. Retrieved From
http://Who.int/gho/mortality_burden_disease/en.

World Health Organization (WHO). 2017. Indonesia: WHO Statistical Profile.


Country Statistics And Global Health Estimates. Retrieved From
http://Who.int/gho/mortality_burden_disease/en.

Dinas Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Riset Kesehatan Dasar 2013. Riset
Kesehatan Dasar, 111-116. https://doi.org/1 Desmber 2013.
Wendy C. 2010. Dyspnoea and Oedema in Chronic Heart Failure. Pract Nurse.
39 (9)

Cahalin LP, Arena RA. 2015. Breathing exercises and inspiratory muscle training
in heart failure. Heart Fail Cli. 11(1):149-72.

Anda mungkin juga menyukai