Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
Sejumlah prajurit TNI AD melakukan penyisiran untuk memburu kelompok Muhajidin
Indonesia Timur (MIT), di Desa Lembangtongtoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa
(1/12/2020). (Foto: ANTARAFOTO/Basri Marzuki)
Sumber https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201202124935-20-577034/jejak-
panjang- konflik-di-poso
I. Pembahasan Masalah
Sejatinya terorisme merupakan musuh dan ancaman besar yang dihadapi oleh setiap
negara baik pada negara berekembang ataupun negara maju karena kegiatan ini mengancam
berbagai prospek dan sektor yang ada dalam negeri. Ketahanan, keamanan, sosial hingga
ekonomi menjadi hal yang harus dibayarkan atas adanya kegiatan terorisme dalam suatu
negara.
Daerah Poso di Sulawesi Tengah sendiri sepertinya telah menjadi daerah konflik yang
cukup panas dalam negeri. Benang merah dari konflik ini dikatakan berasal dari berbagai
konflik lokal yang terjadi pada daerah pusat Poso (Kabupaten Morowali, Lembah Palu,
Maranatha, Rante Kala, Luwu Utara dan Mamasa serta daerah Pasangkayu) yang juga telah
terindikasi rawan dengan adanya berbagai dorongan dari konflik luar yang turut menjadi
pemicu.
Dengan latar belakang pengantar tersebut, saya mencoba menganalisis sebuah artikel
berita terkait dengan aktivitas terorisme di Poso, yang dimotori oleh Mujahidin Indonesia
Timur (MIT), pimpinan Ali Kalora.
Jakarta, CNN Indonesia -- Aksi teror di wilayah Sulawesi Tengah belakangan kembali mencuat
terkait pada Jumat (27/11).
Empat orang yang merupakan satu keluarga itu tewas secara nahas usai dihabisi oleh
sekelompok orang yang diduga merupakan jaringan Mujahidin Indonesia Timur (MIT)
pimpinan Ali Ahmad alias Ali Kalora.
Berdasarkan catatan kepolisian, kelompok teror tersebut juga membakar tujuh rumah
penduduk ketika melancarkan aksi teror. Akibatnya, terdapat pengungsi sebanyak 49 kepala
keluarga di Balai Desa Lembantongoa, Sigi.
Jauh sebelumnya, wilayah Poso identik dengan serangkaian konflik yang berujung
pada kericuhan.
Awal mulanya bahkan, di kawasan ini pula sempat terjadi konflik komunal yang
melibatkan kelompok agama, seperti Islam dan Kristen.
Salah satu jurnal mengenai konflik di Poso menyebut, pertama kali konflik komunal
terjadi pada 24 Desember 1998. Insiden saat itu terjadi karena pertikaian antar-pemuda yang
kebetulan berbeda agama. Tapi lantas memunculkan sentimen keagamaan yang cukup tajam
antara umat Islam dan Kristen lantaran bertepatan dengan momen perayaan Natal dan
Ramadan yang bersamaan.
Ketegangan lain menyusul bertahun kemudian pada April hingga Mei 2000. Konflik
disulut pertikaian antara pemuda Muslim yang mengaku diserang kelompok pemuda Kristen.
Kemudian, aksi saling balas pun mewarnai bulan-bulan tersebut.
Akibatnya, kekerasan pun meningkat pada periode itu. Hingga akhirnya, aparat
kepolisian mendatangkan pasukan Brigade Mobil (Brimob) dari Palu. Sepanjang ketegangan
antara Mei 2000 hingga Desember 2001, disebut bahwa fenomena konflik mengarah pada
perang saudara sehingga membuat kekacauan berkepanjangan.
Jurnal kajian historis mengenai konflik Poso menulis, hal tersebut karena masing-
masing kelompok menganggap konflik yang terjadi merupakan perang untuk
mempertahankan kesucian masing-masing agama.
Melalui isu agama pula, eskalasi konflik pun meluas. Salah satu upaya perdamaian
yang untuk meredam 'api' di Poso kala itu adalah Deklarasi Damai Malino I pada Desember
2001.
Langkah itu inisiatif pendeta A. Tobondo yang kemudian dieksekusi Jusuf Kalla yang
kala itu menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Masyarakat. JK--sapaan akrab Kalla--
ditunjuk menjadi pemimpin mediator.
Saat itu ia mengutarakan bahwa akar konflik bukanlah disebabkan perseteruan antar-
agama, melainkan unsur politik. Salah satu hasil pertemuan juga meminta semua pihak untuk
menjaga suasana damai, menghilangkan fitnah dan menegakkan sikap saling menghormati.
Aparat juga sempat menggencarkan operasi Camar Maleo pada awal 2015. Dalam hal
ini, kegiatan tersebut ditujukan menangkap kelompok teroris Abu Wardah alias Santoso yang
merupakan pendahulu dari Ali Kalora di wilayah Poso.
Operasi tersebut digelar dalam empat jilid hingga Januari 2016. Setidaknya, ada 24
orang teroris yang ditangkap dan tujuh anak buah pimpinan MIT tewas ditembak.
Santoso merupakan sosok teroris yang acapkali menyerang korbannya dengan brutal.
Sejak 2007, dia diduga menjadi otak pembunuhan mutilasi terhadap tiga siswi SMK di Poso.
Kemudian, terjadi pula aksi pembunuhan terhadap sejumlah polisi.
Polri kemudian membentuk tim Satuan Tugas (Satgas) Tinombala yang mulai
beroperasi sejak 2016. Operasi ini melibatkan sejumlah satuan pasukan khusus kepolisian dan
prajurit TNI.
Dalam operasi tersebut pun, aparat berhasil menembak mati Santoso pada 18 Juli
2016 di sekitar desa Tambarana, Poso Pesisir Utara. Tak berselang lama, kaki tangan
Santoso, Muhammad Basri pun ikut diringkus lantas menyerahkan diri.
Pucuk pimpinan organisasi terorisme tersebut kemudian beralih kepada Ali Ahmad
alias Ali Kalora yang hingga saat ini belum tertangkap.
Operasi Tinombala masih berlanjut meski sudah empat tahun gagal meringkus
kelompok MIT Poso tersebut. Setidaknya, masih ada 11 buronan termasuk Ali Kalora yang
menjadi pekerjaan rumah bagi Satuan Tugas itu.
Polri telah memperpanjang masa kerja Satuan Tugas (Satgas) dalam Operasi
Tinombala hingga akhir tahun 2020. Perpanjangan tim pengejaran kelompok teroris ini
dilakukan usai masa operasi berakhir pada 30 September lalu.
Berita yang sudah saty cantumkan tadi. Akan saya anlisis dengan menghubungkannya
pada empat consensus dasar berbangsa dan bernegara, yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945,
NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika
DAFTAR PUSTAKA