Anda di halaman 1dari 6

TUGAS MENGANALISIS KASUS TERORISME POSO DENGAN

EMPAT KONSENSUS DASAR KEHIDUPAN BERBANGSA DAN


BERNEGARA
Tugas ini dibuat untuk memenuhi nilai pada mata kuliah Pendidikan Bela Negara
Dosen Pengampu : Dra. Hermina Manihuruk, MM.

Aufa Pradana (2010412162)

Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
Sejumlah prajurit TNI AD melakukan penyisiran untuk memburu kelompok Muhajidin
Indonesia Timur (MIT), di Desa Lembangtongtoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa
(1/12/2020). (Foto: ANTARAFOTO/Basri Marzuki)

Sumber https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201202124935-20-577034/jejak-
panjang- konflik-di-poso

I. Pembahasan Masalah

Sejatinya terorisme merupakan musuh dan ancaman besar yang dihadapi oleh setiap
negara baik pada negara berekembang ataupun negara maju karena kegiatan ini mengancam
berbagai prospek dan sektor yang ada dalam negeri. Ketahanan, keamanan, sosial hingga
ekonomi menjadi hal yang harus dibayarkan atas adanya kegiatan terorisme dalam suatu
negara.
Daerah Poso di Sulawesi Tengah sendiri sepertinya telah menjadi daerah konflik yang
cukup panas dalam negeri. Benang merah dari konflik ini dikatakan berasal dari berbagai
konflik lokal yang terjadi pada daerah pusat Poso (Kabupaten Morowali, Lembah Palu,
Maranatha, Rante Kala, Luwu Utara dan Mamasa serta daerah Pasangkayu) yang juga telah
terindikasi rawan dengan adanya berbagai dorongan dari konflik luar yang turut menjadi
pemicu.
Dengan latar belakang pengantar tersebut, saya mencoba menganalisis sebuah artikel
berita terkait dengan aktivitas terorisme di Poso, yang dimotori oleh Mujahidin Indonesia
Timur (MIT), pimpinan Ali Kalora.
Jakarta, CNN Indonesia -- Aksi teror di wilayah Sulawesi Tengah belakangan kembali mencuat
terkait pada Jumat (27/11).

Empat orang yang merupakan satu keluarga itu tewas secara nahas usai dihabisi oleh
sekelompok orang yang diduga merupakan jaringan Mujahidin Indonesia Timur (MIT)
pimpinan Ali Ahmad alias Ali Kalora.

Berdasarkan catatan kepolisian, kelompok teror tersebut juga membakar tujuh rumah
penduduk ketika melancarkan aksi teror. Akibatnya, terdapat pengungsi sebanyak 49 kepala
keluarga di Balai Desa Lembantongoa, Sigi.

Jauh sebelumnya, wilayah Poso identik dengan serangkaian konflik yang berujung
pada kericuhan.

Awal mulanya bahkan, di kawasan ini pula sempat terjadi konflik komunal yang
melibatkan kelompok agama, seperti Islam dan Kristen.

Salah satu jurnal mengenai konflik di Poso menyebut, pertama kali konflik komunal
terjadi pada 24 Desember 1998. Insiden saat itu terjadi karena pertikaian antar-pemuda yang
kebetulan berbeda agama. Tapi lantas memunculkan sentimen keagamaan yang cukup tajam
antara umat Islam dan Kristen lantaran bertepatan dengan momen perayaan Natal dan
Ramadan yang bersamaan.

Isu tersebut berkembang sedemikian rupa hingga akhirnya mengakibatkan


perpecahan. Namun begitu, Komnas HAM pada saat itu meyakinkan bahwa kerusuhan yang
muncul bukan disebabkan karena ketegangan antar-agama atau etnis tertentu.

Ketegangan lain menyusul bertahun kemudian pada April hingga Mei 2000. Konflik
disulut pertikaian antara pemuda Muslim yang mengaku diserang kelompok pemuda Kristen.
Kemudian, aksi saling balas pun mewarnai bulan-bulan tersebut.

Akibatnya, kekerasan pun meningkat pada periode itu. Hingga akhirnya, aparat
kepolisian mendatangkan pasukan Brigade Mobil (Brimob) dari Palu. Sepanjang ketegangan
antara Mei 2000 hingga Desember 2001, disebut bahwa fenomena konflik mengarah pada
perang saudara sehingga membuat kekacauan berkepanjangan.

Jurnal kajian historis mengenai konflik Poso menulis, hal tersebut karena masing-
masing kelompok menganggap konflik yang terjadi merupakan perang untuk
mempertahankan kesucian masing-masing agama.

Melalui isu agama pula, eskalasi konflik pun meluas. Salah satu upaya perdamaian
yang untuk meredam 'api' di Poso kala itu adalah Deklarasi Damai Malino I pada Desember
2001.

Langkah itu inisiatif pendeta A. Tobondo yang kemudian dieksekusi Jusuf Kalla yang
kala itu menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Masyarakat. JK--sapaan akrab Kalla--
ditunjuk menjadi pemimpin mediator.
Saat itu ia mengutarakan bahwa akar konflik bukanlah disebabkan perseteruan antar-
agama, melainkan unsur politik. Salah satu hasil pertemuan juga meminta semua pihak untuk
menjaga suasana damai, menghilangkan fitnah dan menegakkan sikap saling menghormati.

Pasca-kerusuhan di wilayah Poso mereda, Polri mendirikan Komando Lapangan


Operasi yang digelar dengan berbagai sandi operasi. Misalnya, Operasi Sadar Maleo pada
2000 silam. Kemudian, pada April 2004 TNI/Polri juga memobilisasi kekuatan melalui
Operasi Sintuwu Maroso.

Aparat juga sempat menggencarkan operasi Camar Maleo pada awal 2015. Dalam hal
ini, kegiatan tersebut ditujukan menangkap kelompok teroris Abu Wardah alias Santoso yang
merupakan pendahulu dari Ali Kalora di wilayah Poso.

Operasi tersebut digelar dalam empat jilid hingga Januari 2016. Setidaknya, ada 24
orang teroris yang ditangkap dan tujuh anak buah pimpinan MIT tewas ditembak.

Kelompok itu, disebut-sebut selalu bersembunyi di wilayah pegunungan Kabupaten


Poso, Sulteng. Namun, hingga akhir berjalannya operasi, aparat tak berhasil membongkar
jaringan teror binaan Santoso di wilayah Sulawesi tersebut.

Santoso merupakan sosok teroris yang acapkali menyerang korbannya dengan brutal.
Sejak 2007, dia diduga menjadi otak pembunuhan mutilasi terhadap tiga siswi SMK di Poso.
Kemudian, terjadi pula aksi pembunuhan terhadap sejumlah polisi.

Polri kemudian membentuk tim Satuan Tugas (Satgas) Tinombala yang mulai
beroperasi sejak 2016. Operasi ini melibatkan sejumlah satuan pasukan khusus kepolisian dan
prajurit TNI.

Dalam operasi tersebut pun, aparat berhasil menembak mati Santoso pada 18 Juli
2016 di sekitar desa Tambarana, Poso Pesisir Utara. Tak berselang lama, kaki tangan
Santoso, Muhammad Basri pun ikut diringkus lantas menyerahkan diri.

Pucuk pimpinan organisasi terorisme tersebut kemudian beralih kepada Ali Ahmad
alias Ali Kalora yang hingga saat ini belum tertangkap.

Aparat memperkirakan selama ini Ali Kalora bersembunyi di hutan-hutan di kawasan


antara Kabupaten Poso dan Kabupaten Parigi Moutong. Ia bergabung dengan MIT pada 2011
silam. Tak berselang lama, Ali langsung terlibat serangkaian aksi teror di wilayah Poso,
Sulawesi Tengah.

Operasi Tinombala masih berlanjut meski sudah empat tahun gagal meringkus
kelompok MIT Poso tersebut. Setidaknya, masih ada 11 buronan termasuk Ali Kalora yang
menjadi pekerjaan rumah bagi Satuan Tugas itu.

Polri telah memperpanjang masa kerja Satuan Tugas (Satgas) dalam Operasi
Tinombala hingga akhir tahun 2020. Perpanjangan tim pengejaran kelompok teroris ini
dilakukan usai masa operasi berakhir pada 30 September lalu.

Terakhir, Kapolri Jenderal Idham Azis memerintahkan anggotanya untuk menembak


mati kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora jika melawan saat
ditangkap. Instruksi ini merespons tindakan keji yang diduga dilakukan kelompok tersebut
terhadap satu keluarga di Sigi beberapa waktu lalu.

II. Analisis Berita

Berita yang sudah saty cantumkan tadi. Akan saya anlisis dengan menghubungkannya
pada empat consensus dasar berbangsa dan bernegara, yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945,
NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika

Dalam keempat konsesus tersebut, nilai-nilai nasionalisme khususnya di Indonesia


yang kemudian berbanding dan terkhianati berdasarkan aktivitas organisasi terorisme yang
terjadi di Poso itu sendiri. Empat Konsensus Dasar Bangsa, yakni Pancasila, UUD 1945,
NKRI, Bhinneka Tunggal Ika sendiri telah begitu gagal diterapkan oleh para pelaku ideologis
ini. Poin-poin mana yang kemudian dalam empat konsensus dasar mengalami pengaruh dari
aksi terorisme tersebut mencakup seluruh poin dalam keempat konsensus dasar.
Poin “Persatuan Indonesia” pada dasar negara Pancasila sepertinya menjadi nilai yang
begitu ingin dihancurkan oleh para pelaku Tindakan terorisme, khususnya Poso. Mereka
bahkan melakukan pembataian demi pemenuhan ideologi dan keinginan organisasi tanpa
mengingat rasa kesatuan bertanah air antara satu sama lain. Dalam UUD 1945 bahkan pada
bagian pembukaan Preambul yang menyatakan mengenai kemerdekaan dan peri-
kemanusiaan telah dihancurkan dengan penanaman perasaan tertekan, pertikaian yang kerap
terjadi. Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI tak lagi menjadi nilai yang mereka hiraukan
mengingat bahwa kepentingan organisasi mereka sebagai pemberontak jauh lebih penting
atas segala kemanusiaan yang ada. Lebih spesifiknya lagi, rangkaian aksi terorisme yang
dilakukan oleh MIT pimpinan Ali Kalora melanggar UUD 1945 pasal 28A yang berbunyi
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
dan juga pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduknya untuk memeluk agama”. Selain itu, kelompok teroris MIT juga melanggar
UUD 1945 Pasal 340 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang berbunyi “Barang
siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20
tahun”.
Lalu apabila menilik dari sisi historis perjuangan bangsa Indonesia, para
pejuang,pahlawan dan pendiri bangsa, yang dimana berjuang mati-matian dalam membuat
sebuah platform bernegara yang ideal dengan berbagai latar belakang yang dimiliki Indonesia,
yaitu Bhinneka Tunggal Ika, rasanya sudah pasti apa yang dilakukan oleh kelompok
Mujahidin Indonesia Timur (MIT) sangat bertentangan dengan hal tersebut. Padahal
seharusnya keberagaman yang Indonesia miliki dapat dijadikan suatu bahan untuk mempererat
persatuan Indonesia, tapi sangat disayangkan bahwa apa yang dilakukan oleh kelompok MIT
ini malah menggunakan perbedaan tersebut untuk memecah belah persatuan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

CNN Indonesia. 2020. Jejak Panjang Konflik di Poso


. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-55120384 Diakses 19 Maret 2021.

Anda mungkin juga menyukai