Anda di halaman 1dari 17

TUGAS

Di susun oleh :

NAMA : YUNINDRI ENJINIA TUMIWUDA


KELAS : A2/VII

DOSEN MATA KULIAH : Ns. ARISKA S.KEP., M.KEP

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA MANADO
TAHUN 2019
INITIAL ASSESSMENT
Initial Assessment adalah proses penilaian awal pada penderita trauma disertai pengelolaan
yang tepat guna untuk menghindari kematian.
Initial assesment meliputi :
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey (anamnesis dan pemeriksaan fisik)
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan reevaluasi berkesinambungan
9. Penanganan definitif

Urutan dari initial assessment diterapkan secara berurutan atau sekuensial, akan tetapi dalam
praktek sehari-hari dapat dilakukan secara bersamaan atau simultan.
1. Persiapan

Persiapan pada penderita berlangsung dalam dua fase yang berbeda, yaitu fase pra rumah
sakit / pre hospital, dimana seluruh penanganan penderita berlangsung dalam koordinasi
dengan dokter di rumah sakit. Fase kedua adalah fase rumah sakit/hospital dimana dilakukan
persiapan untuk menerima penderita sehingga dapat dilakukan resusitasi dengan cepat.
a. Fase pra rumah sakit
Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas di lapangan akan
menguntungkan penderita. Pada fase pra rumah sakit, hal yang perlu diperhatikan
adalah penjagaan airway, kontrol pendarahan dan syok, imobilisasi penderita dan
segera dibawa ke rumah sakit terdekat dengan fasilitas yang memadai.

Waktu di tempat kejadian (scene time) yang lama harus dihindari. Selain itu juga
penting mengumpulkan keterangan yang nanti dibutuhkan di rumah sakit, seperti
waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian, serta riwayat penderita.
Sehingga dapat ditentukan jenis dan berat dari trauma.
b. Fase rumah sakit
Pada fase rumah sakit perlu dilakukan perencanaan sebelum penderita tiba, sebaiknya
ada ruangan khusus resusitasi serta perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal
tube) yang sudah dipersiapkan. Selain itu, perlu dipersiapkan cairan kristaloid (mis :
RL) yang sudah dihangatkan, perlengkapan monitoring serta tenaga laboratorium dan
radiologi. Semua tenaga medik yang berhubungan dengan penderita harus
dihindarkan dari kemungkinan penularan penyakit menular dengan cara penganjuran
menggunakan alat-alat protektif seperti masker/face mask, proteksi mata/google, baju
kedap air, sepatu dan sarung tangan kedap air.

2. Triase
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang
tersedia. Terapi didasarkan pada prioritas ABC (Airway dengan kontrol vertebra servikal),
Breathing, dan Circulation dengan kontrol perdarahan.
Triase juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan rumah sakit yang akan
dirujuk. Dua jenis keadaan triase yang dapat terjadi:
a. Multiple Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak melampaui
kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dengan masalah yang
mengancam jiwa dan multi trauma akan dilayani terlebih dahulu.
b. Mass Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya luka melampaui kemampuan
rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilakukan penanganan terlebih dahulu
adalah penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar, serta membutuhkan
waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit.

3. Primary Survey

Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan
jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme trauma. Pada primary survey dilakukan
usaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu dengan berpatokan
pada urutan berikut :
A : Airway
Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal ini meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maxilla, fraktur laring/trakhea. Usaha uhtuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal (servical spine control), dimulai dengan melakukan chin lift
atau jaw trust. Jika dicurigai ada kelainan pada vertebra servikalis berupa fraktur maka harus
dipasang alat immobilisasi serta dilakukan foto lateral servikal.
Pemasangan airway definitif dilakukan pada penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS
(Glasgow Coma Scale) ≤ 8, dan pada penderita dengan gerakan motorik yang tidak bertujuan.
B : Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi
yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat
ekspansi pernafasan dan dilakukan auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam
paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura.
Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi.
Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension
pneumothoraks, flailchest dengan kontusio paru dan open pneumotoraks. Sedangkan trauma
yang dapat mengganggu ventilasi dengan derajat lebih ringan adalah hematothoraks, simple
pneumothoraks, patahnya tulang iga, dan kontusio paru.
C : Circulation
1. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi dengan terapi yang
cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada trauma harus dianggap
disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka
diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita yang meliputi :

a. Tingkat kesadaran

Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
b. Warna kulit

Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat meruoakan tanda
hipovolemia.
c. Nadi

Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri
karotis kiri dan kanan untuk melihat kekuatan nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang
tidak cepat, kuat, dan teratur, biasanya merupakan tanda normovolemia. Nadi yang
cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, sedangkan nadi yang tidak teratur
merupakan tanda gangguan jantung. Apabila tidak ditemukan pulsasi dari arteri besar
maka merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi segera.
2. Perdarahan

Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Sumber perdarahan


internal adalah perdarahan dalam rongga thoraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang
panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis, atau sebgai akibat dari luka dada tembus
perut.
D : Disability/neurologic evaluation
Pada tahapan ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat atau level cedera spinal. GCS / Glasgow Coma Scale adalah sistem
skoring sederhana dan dapat meramal outcome penderita. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan oleh penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan
trauma langsung.

E : Exposure/environmental
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan cara menggunting dengan
tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka penderita harus
diselimuti agar tidak kedinginan.

a. Primary Survey
Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain :

1) Airway maintenance

Menurut Thygerson (2011), tindakan pertama kali yang harus dilakukan

adalah memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara

untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien

yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka.

Menurut Wilkinson & Skinner (2000), pasien yang tidak sadar mungkin

memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Obstruksi jalan nafas paling

sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar.

Perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :

a) Kepatenan jalan nafas pasien.

b) Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:

(1) Adanya snoring atau gurgling

(2) Agitasi (hipoksia)

(3) Penggunaan otot bantu pernafasan

(4) Sianosis

c) Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas

dan potensial penyebab obstruksi

d) Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien

terbuka.

e) Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien

sesuai indikasi :

(1) Chin lift/jaw thrust

(2) Lakukan suction (jika tersedia)


(3) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask

Airway

(4) Lakukan intubasi

2) Breathing dan oxygenation

Menurut Wilkinson & Skinner (2000), pada kasus stroke mungkin

terjadi akibat gangguan di pusat napas (akibat stroke) atau oleh karena

komplikasi infeksi di saluran napas. Pedoman konsensus mengharuskan

monitoring saturasi O2 dan mempertahankannya di atas 95% (94-98%).

Pada pasien stroke yang mengalami gangguan pengendalian respiratorik

atau peningkatan TIK, kadang diperlukan untuk melakukan ventilasi.

3) Circulation

Wilkinson & Skinner (2000), shock didefinisikan sebagai tidak

adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Diagnosis shock

didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia,

pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan

produksi urin. Pengkajian circulation menurut Muttaqin (2008) pada klien

stroke biasanya didapatkan renjatan (syok) hipovolemik, tekanan darah

biasanya terjadi peningkatan dan bisa terdapat hipertensi massif dengan

TD >200 mmHg.

4) Disability - pemeriksaan neurologis.

Menurut Muttaqin (2008), tingkat kesadaran klien dan respons

terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk membuat


peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran. Pada keadaan

lanjut, tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat

letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma,

maka penilaian GCS sangat penting untung menilai tingkat kesadaran

klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.

4. Resusitasi

Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam nyawa merupakan hal
yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.
A. Airway

Pada penderita yang masih sadar dapat dipakai nasofaringeal airway. Bila penderita
tidak sadar dan tidak ada refleks batuk (gag refleks) dapat dipakai orofaringeal airway.
B. Breathing

Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena faktor mekanik, ada
gangguan ventilasi dan atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi
endotrakheal baik oral maupun nasal. Surgical airway / krikotiroidotomi dapat
dilakukan bila intubasi endotrakheal tidak memungkinkan karena kontraindikasi atau
karena masalah teknis.
C. Circulation

Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang minimal dua IV line. Kateter IV yang
dipakai harus berukuran besar. Pada awalnya sebaiknya menggunakan vena pada
lengan. Selain itu bisa juga digunakan jalur IV line yang seperti vena seksi atau vena
sentralis. Pada saat memasang kateter IV harus diambil contoh darah untuk
pemeriksaan laboratorium rutin serta pemeriksaan kehamilan pada semua penderita
wanita berusia subur.
Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter cairan kristaloid, sebaiknya
Ringer Laktat. Bila tidak ada respon, berikan darah segulungan atau (type specific).
Jangan memberikan infus RL dan transfusi darah terus menerus untuk terapi syok
hipovolemik. Dalam keadaan harus dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan
perdarahan.
5. Tambahan pada primary survey dan resusitasi

A. Monitor EKG : dipasang pada semua penderita trauma.

B. Kateter urin dan lambung

 Kateter uretra

Produksi merupakan indikator yang peka untuk menilai keadaan perkusi ginjal dan
hemodinamik penderita. Kateter urin jangan dipasang jika dicurigai ada ruptur
uretra yang ditandai dengan :
1. Adanya darah di orifisium uretra eksterna (metal bleeding)
2. Hematom di skrotum atau perineum
3. Pada Rectal Toucher, prostat letak tinggi atau tidak teraba.
4. Adanya fraktur pelvis.

Bila dicurigai ruptur uretra harus dilakukan uretrogram terlebih dahulu.


 Kateter lambung atau NGT
Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan mengurangi
kemungkinan muntah. Isi lambung yang pekat mengakibatkan NGT tidak
berfungsi, lagipula pemasangannya sendiri dapat mengakibatkan muntah. Darah
dalam lambung dapat disebabkan darah tertelan, pemasangan NGT yang traumatik
atau perlukaan lambung. Bila lamina kribosa patah atau diduga patah, kateter
lambung harus dipasang melalui mulut untuk mencegah masuknya NGT dalam
rongga otak. Dalam keadaan ini semua pipa jangan di masukkan lewat jalur naso-
faringeal.

C. Monitor
Monitoring hasil resusitasi sebaiknya didasarkan pada penemuan klinis seperti laju
nafas, nadi, tekanan nadi, tekanan darah, ABG (Arterial Blood Gases), suhu tubuh
dan keluaran (output) urin hasil pemeriksaan di atas harus didapat secepatnya setelah
menyelesaikan survei primer.
1. Laju nafas dan ABG dipakai untuk menilai airway dan breathing. ETT dapat
berubah posisi pada saat penderita berubah posisi. Alat pengukur CO2 secara
kolorimetrik mengukur End-Tidal CO2 dan merupakan cara yang baik untuk
menetapkan bahwa posisi ETT dalam trakhea, dan bukan dalam esofagus.
Penggunaan alat ini tidak dapat menentukan bahwa letak ETT sudah tepat.
2. Penggunaan Pulse oximetri mengukur kadar O2 saturasi, bukan PaO2. Suatu sensor
diletakkan pada ujung jari atau cuping telinga, dan kemudian mengukur saturasi O2,
biasanya sekaligus tercatat denyut nadi.
3. Pada penilaian tekanan darah harus disadari bahwa tekanan darah ini merupakan
indikator yang kurang baik guna menilai perfusi jaringan.
D. Pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan tambahan lainnya
Pemeriksaan foto rontgen harus selektif, dan jangan menghambat proses resusitasi.
Foto toraks dan pelvis dapat mengenali kelainan yang mengancam nyawa, dan foto
pelvis dapat menunjukkan adanya fraktur pelvis.
Pemeriksaan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) dan USG abdomen merupakan
pemeriksaan bermanfaat untuk menentukan adanya perdarahan intraabdomen.
6. Secondary survey
Survei sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe examination),
termasuk re-evaluasi pemeriksaan tanda vital.

A. Anamnesis
Setiap pemeriksaan lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat perlukaan.
Biasanya data ini tidak bisa didapat dari penderita sendiri dan harus didapat dari
keluarga atau petugas lapangan.

Riwayat SAMPLE
S: Sign and symptom (tanda dan gejala)
A: Alergi
M: Medikasi (obat yang diminum saat ini)
P: Past Illness (penyakit penyerta) / pregnancy
L: Last meal
E: Even / environment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan

Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan penderita. Jenis perlukaan dapat


diramalkan dari mekanisme kejadian perlukaan itu. Trauma biasanya dibagi menjadi
beberapa jenis:

1. Trauma tumpul
Dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, terjatuh dan kegiatan rekreasi atau
pekerjaan. Keterangan yang penting yang dibutuhkan kecelakaan lalu lintas mobil
adalah pemakaian sabuk pengaman, deformasi kemudi, arah tabrakan, kerusakan
kendaraan baik kerusakan major dalam bentuk luar atau hal – hal yang
berhubungan dengan perlengkapan penumpang, dan terlemparnya keluar
penumpang. Pola perlukaan pada pasien dapat diramalkan dari mekanisme
traumanya. Trauma perlukaan juga sangat dipengaruhi usia dan aktivitas.
2. Trauma tajam
Trauma tajam akibat pisau atau benda tajam dan senjata api semakin sering
ditemukan. Faktor yang menentukan jenis dan berat perlukaan adalah daerah tubuh
yang terluka, organ yang terkena dan velositas / kecepatan. Dengan demikian maka
velositas, caliber, arah dan jarak dari senjata merupakan informasi yang sangat
penting diketahui.
3. Trauma termal
Luka bakar dapat terjadi sendiri atau dalam kombinasi dengan trauma tumpul atau
trauma tajam akibat mobil terbakar, ledakan, benda yang terjatuh, usaha
penyelamatan diri ataupun serangan pisau dan senjata api. Cedera dan keracunan
monoksida dapat menyertai luka bakar. Secara khusus perlu ditanyakan tempat
terjadinya kejadian perlukaan (ruang tertutup / terbakar) atau bahan yang ikut
terbakar (bahan kimia, plastik, dsb) dan perlukaan lain yang menyerta.
Hipotermia akut atau kronik dapat menyebabkan kehilangan panas umum atau
local. Kehilangan panas dalam jumlah besar dapat terjadi walaupun tidak dalam
suhu yang terlalu dingin (15-20Oc) yaitu bila penderita memakai pakaian yang
basah, tidak bergerak aktif atau minum alcohol, sehingga tubuh tidak bisa
menyimpan panas.

4. Trauma kimia, toksin dan radiasi


Kontak dengan bahan kimia, toksin atau radiasi perlu diketahui karena dua sebab.
Pertama disebabkan karena bahan – bahan ini dapat mengakibatkan berbagai
macam kelainan pada jantung, paru atau organ tubuh lainnya. Kedua, bahan ini
dapat berbahaya bagi tenaga kesehatan yang merawat pasien tersebut.

B. Pemeriksaan Fisik

7. Tambahan terhadap secondary survey


Dalam melakukan secondary survey, dapat dilakukan pemeriksaan diagnostic yang lebih
spesifik seperti misalnya foto tambahan dari tulang belakang serta ekstremitas, CT-Scan
kepala, dada, abdomen dan spine, urografi dan angiografi, USG transesofageal,
bronkoskopi, esofagoskopi dan prosedur diagnostic lain.

8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan


Penurunan keadaan dapat dikenali apabila dilakukan evaluasi ulang secara terus menerus,
sehingga gejala yang baru timbul, segera dapat dikenali dan dapat ditangani secepatnya.
Monitoring tanda vital dan produksi urin sangat penting. Produksi urin pada orang dewasa
sebaiknya dijaga ½ cc/kgBB/jam, pada anak 1cc/kgBB/jam.

Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Rasa nyeri dan ketakuatan akan
timbul pada penderita trauma, terutama pada perlukaan muskulo-skeletal. Golongan opiat
atau anxiolitika harus diberikan secara intravena dan sebaiknya jangan intra-muskular.

9. Penanganan definitif
Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria. Kriteria
ini memakai data fisiologis penderita, cedera anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit
penyerta serta faktor – faktor yang dapat mempengaruhi prognosis.
Tanda dan gejala stroke hemoragik:
 Sakit kepala berat.
 Mual dan muntah.
 Penurunan kesadaran.
 Kejang.

Gejala lainnya yang dapat terjadi adalah lemah, kelumpuhan pada satu sisi tubuh, gangguan
berbicara, mata tidak dapat digerakkan menuju arah tertentu, gangguan penglihatan, dan
terlihat bingung.

Sementara itu, stroke hemoragik subarachnoid (perdarahan subarachnoid) ditunjukkan


dengan gejala awal berupa penglihatan ganda dan sakit kepala yang terjadi tiba-tiba. Gejala
tersebut terjadi sebelum pembuluh darah pecah. Setelah pecahnya pembuluh darah, beberapa
gejala yang dapat muncul antara lain:

 Nyeri di daerah wajah atau sekitar mata.


 Penglihatan kabur.
 Leher kaku.
 Penurunan kesadaran.

Gejala pada perdarahan subarachnoid dapat memburuk dalam waktu 24 jam, di mana cairan
serebrospinal mengiritasi selaput pelindung otak (meningens) sehingga mengakibatkan gejala
kaku leher, nyeri punggung, pusing, serta dapat diikuti dengan muntah. Gejala perdarahan
berat hingga penurunan kesadaran dapat terjadi secara mendadak, sehingga penderita harus
segera dilarikan ke rumah sakit. Tidak jarang penderita menjadi koma atau bahkan meninggal
sebelum sampai di rumah sakit.

b. Secondary Assessment

Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil,

dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.

1) Anamnesis

Menurut Rudd dalam Emergency Nursing Association (2009), anamnesis

juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan

keluarga:
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,

makanan)

M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang

menjalani pengobatan hipertensi, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat).

P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang

pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya)

L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi

berapa jam sebelum kejadian).

E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cidera (kejadian

yang menyebabkan adanya keluhan utama).

2) Pemeriksaan fisik

a) Kulit kepala

Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya

pigmentasi, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala.

b) Mata

Ukuran pupil apakah isokor atau anisokor serta bagaimana refleks

cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya

ikterus, apakah konjungtivanya anemis atau tidak.

c) Hidung

Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman.

d) Telinga

Periksa adanya nyeri, penurunan atau hilangnya pendengaran.

e) Mulut

Inspeksi pada bagian mukosa terhadap tekstur, warna, kelembaban.


f) Toraks

Inspeksi: peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot

bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan.

Palpasi : taktil fremitus seimbang kanan dan kiri pada klien dengan

tingkat kesadaran compos mentis.

Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan.

Auskultasi : bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada klien stroke

dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Tidak didapatkan bunyi

nafas tambahan pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis.

g) Abdomen

Inspeksi : adakah distensi abdomen, asites.

Auskultasi : bising usus.

Perkusi : untuk mendapatkan nyeri lepas (ringan).

Palpasi : untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,

hepatomegali, splenomegali.

h) Ektremitas

Pada saat inspeksi lihat adanya edema, gerakan, dan sensasi harus

diperhatikan, paralisis, sedangkan pada jari-jari periksa adanya

clubbing finger serta hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien

hypoxia lambat s/d 5-15 detik).

3) Pengkajian Nervus Kranial menurut Muttaqin (2008).

a) Syaraf Olfaktorius (N.I)

Biasanya tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.

b) Syaraf Optikus (N.II)


Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensorik primer

diantara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial

sering terlihat pada klien dengan hemiplegi kiri. Klien mungkin tidak

dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk

mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.

c) Syaraf Okulomotorius (N.III), Trokealis (N.IV), dan Abdusens (N.VI)

Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis sesisi otot-otot okularis

didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi

yang sakit.

d) Syaraf Trigeminalis (N.V)

Pada beberapa keadaan stroke mengakibatkan paralisi saraf trigeminus,

didapatkan penurunan koordinasi gerakan mengunyah. Penyimpangan

rahang bawah ke sisi ipsilateral dan kelumpuhan sesisi otot-otot

pterigoidus internus dan eksternus.

e) Syaraf Fasialis (N.VII)

Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris, otot wajah

tertarik ke bagian sisi yang sehat.

f) Syaraf Vestibulokoklear (N.VIII)

Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi

g) Syaraf Glosofaringeus (N.IX) dan Vagus (N.X)

Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.

h) Syaraf Asesorius Spinal (N.XI)

Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

i) Saraf Hipoglossus (N.XII)


Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi. Indra

pengecapan normal.
DIAGNOSA
1. Resiko perfusi serebral tidak efektif
2. Gangguan komunikasi verbal
3. Gangguan mobilitas fisik
4. Resiko jatuh
5. Inkontinensia urine

INTERVENSI
Diagnosa 1 : Resiko perfusi serebral tidak efektif
Intervensi:
1. Indentifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. Lesi,gangguan metabolisme,edema
serebral)
Rasional : untuk mengetahui penyebab peningkatan TIK
2. Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. Tekanan darah meningkat,tekanan nadi
melebar,bradikardia,pola napas ireguler,kesadaran menurun)
Rasional : agar dapat diketahui secara tepat kemungkinan memburuknya pasien
3. Monitor status pernapasan
Rasional : agar dapat diketahui adanya perubahan pada pernapasan klien
4. Berikan posisi semi fowler
Rasional : untuk memaksimalkan ventilasi
5. Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang
Rasional : agar pasien dapat beristirahat dengan tenang

Diagnosa 2 : Gangguan komunikasi verbal


Intervensi :
1. Gunakan metode komunikasi alternatif (misalnya dengan mata
berkedip,menulis,isyarat tangan)
Rasional : untuk membantu pasien berkomunikasi
2. Sesuaikan gaya komunikasi dengan kebutuhan (mis. Berdiri didepan pasien,dengar
dengan saksama,tunjukkan satu gagasan atau pemikiran sekaligus,bicara;ah dengan
perlahan sambil menghindari teriakan,gunakan komunikasi tertulis,atau meminta
bantuan keluarga untuk memahami ucapan pasien)
Rasional : agar kominukasi dengan pasien dapat terjalin dengan efektif
3. Berikan dukunga psikologis
Rasional : agar pasien merasa termotivasi dan merasa lebih baik
4. Anjurkan berbicara perlahan
Rasional : agar mudah dipahami
Diagnosa 3 : Gangguan mobilitas fisik
Intervensi :
1. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
Rasional : untuk mengetahui bagian yang dapat digerakan
2. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
Rasional : agar dapat diketahui keadaan umum saat mobilisasi apakah ada kelainan
atau tidak
3. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. Pagar tempat tidur)
Rasional : agar mobiliasai dapat terkontrol
4. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan
Rasional : agar pergerakan pasien dapat optimal
5. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. Duduk ditempat tidur,duduk
di sisi tempat tidur,pindah dari tempat tidur ke kursi)
Rasional : agar mobilisasi pasien dapat meningkat

Diagnosa 4 : Resiko jatuh


Intervensi :
1. Identifikasi faktor resiko jatuh (mis. Usia >65 tahun,penurunan tingkat
kesadaran,defisit kognitif,hipotensi ortostatik,gangguan keseimbangan,gangguan
penglihatan,neuropati)
Rasional : agar dapat memperkecil faktor yang dapat menimbulkan resiko jatuh
2. Pasang handrail tempat tidur
Rasional : agar pergerakan pasien terkontrol
3. Tempatkan pasien beresiko tinggi jatuh dekat dengan pantauan perawat dari nurse
station
Rasional : agar pasien dapat dikontrol oleh perawat
4. Dekatkan bel pemanggil dalam jangkauan pasien
Rasional : agar memperkecil gerakan yang berlebiahan dari pasien
5. Anjurkan memanggil perawat jika membutuhkan bantuan berpindah
Rasional : agar dapat berpindah dengan lebih baik

Diagnosa 5 : inkontenensia urine


Intervensi :
1. Periksa kondisi pasien (mis. Kesadaran,tanda-tanda vital,daerah perineal,distensi
kandung kemih,inkontinensia urine,refleks berkemih)
Rasional : agar dapat diketahui tindakan apa yang akan dilakukan selanjutnya
2. Jelaskan tujuan dan prosedur katetr urine
Rasional : agar pasien mengerti dan dapat membantu pasien dalam berkemih dan
memperkecil mobilisasi ke kamar kecil

Anda mungkin juga menyukai