Anda di halaman 1dari 12

Bandung, Maret 2018 Volume 5 Nomor 1 ISSN-P : 2355-6110 ISSN-E : 2581-0081

DAERAH RAWAN BENCANA GEOLOGI GERAKAN TANAH


DALAM ARAHAN KEBIJAKAN MITIGASI KABUPATEN CIAMIS
Oleh:
Aris Rosita1, Deasy Aryanto2, Fitria Noorainy3, Memet Slamet4, Dwiyana Permadi5
1
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Kabupaten Ciamis
2
Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah, Kabupaten Ciamis
3,4,5
Program Studi Magister Manajemen Pemerintahan, Program Pascasarjana Universitas Galuh, Ciamis
1,2
Email: arisrosita@yahoo.com; deasyariyanto@gmail.com

ABSTRAK
Gerakan tanah seringkali menimbulkan bencana pada daerah permukiman dan bahkan menimbulkan
korban jiwa. Gerakan tanah sering terjadi pada daerah dengan gugus vulkano muda seperti di daerah Jawa
Barat terutama di Wilayah Ciamis pada kelerengan yang curam. Kesiapsiagaan ini tentunya harus di
siapkan secara menyeluruh bergantung pada kerentanan kejadian gerakan tanah dan juga waktu terjadinya
bencana yang pada umumnya terjadi pada musim hujan setelah masa kering yang ekstrim melebihi seratus
hari. Tulisan ini mencoba membahas sisi kebijakan dan akademik yang perlu disiapkan dalam menghadapi
bencana pada BNPB Kabupaten Ciamis dari berbagai kejadian gerakan tanah yang terjadi daerah Nasol
Kabupaten Ciamis. Melalui studi penelusuran dokumen dan kepustakaan sebagai metoda yang digunakan
dalam membahas konsep dan strategi penanganan bencana gerakan tanah ini, kami memaparkan hal
penting yang perlu dicermati dalam kebijakan pemerintah Kabupaten Ciamis. hasil yang diperoleh adalah
secara empirik gerakan tanah di daerah Nasol menunjukan kerusakan yang tinggi pada daerah permukiman,
kelerengan dan sangat membahayakan permukiman menempati di kelerengan lebih rendah. Keadaan ini
harus terinformasikan dengan baik kepada masyarakat dan arahan mitigasi bencana yang diperlukan dalam
penanganannya. Disisi lain adalah konsep BNPB harus dapat menentukan prioritas dari semua kejadian
bencana di Kabupaten Ciamis adalah gerakan tanah merupakan ancaman terdepan pada saat pergantian
musim.

Kata Kunci : Daerah Rawan Bencana, Gerakan Tanah, Arahan Mitigasi

I. PENDAHULUAN Kabupaten Ciamis merupakan salah satu


Perencanaan ruang (spatial plan) memiliki tujuan kabupaten di Provinsi Jawa Barat, yang secara
untuk menghasilkan penggunaan ruang yang administratif terdiri dari 26 kecamatan (Setelah
efisien, termasuk diantaranya menimimasi resiko Pangandaran menjadi DOB). Secara geografis
bencana. Indonesia sebagai negara yang sering Kabupaten Ciamis terdiri dari perbukitan serta
mengalami bencana, baik karena faktor geografis daratan yang memungkinkan terjadinya berbagai
atau peningkatan paparan (exposure) terhadap jenis ancaman dan memiliki potensi ancaman
bencana karena pembangunan atau urbanisasi, bencana yang tinggi. Sejarah mencatat bahwa
memerlukan upaya-upaya untuk mengurangi Kabupaten Ciamis pernah terjadi bencana gempa
besarnya resiko bencana. Tulisan ini mengulas bumi yang diikuti tsunami (Sebelum pemekaran
sejauh mana perencanaan ruang dapat Pangandaran), tanah longsor, banjir, kekeringan
berkontribusi di dalam pengurangan resiko dan bencana lainnya yang berskala kecil. Bahkan
bencana dan bagaimana konsep ini telah pada tahun 2011, secara nasional Kabupaten
diterapkan dalam penataan ruang di Indonesia, Ciamis masuk dalam peringkat urutan nomor 22
termasuk di Kabupaten Ciamis. Kabupaten/Kota rawan bencana dan peringkat

885
Bandung, Maret 2018 Volume 5 Nomor 1 ISSN-P : 2355-6110 ISSN-E : 2581-0081

nomor 8 kategori rawan bencana tinggi se-Jawa Mengacu pada gambaran di atas, Kami tertarik
Barat. untuk mengkaji lebih dalam yang disusun dalam
bentuk karya ilmiah berupa artikel mengenai
Ditinjau dari faktor geografis, permasalahan yang
identifikasi daerah rawan bencana geologi gerakan
di alami Kabupaten Ciamis berasal dari dua faktor,
tanah sebagai dasar arahan mitigasi di Kabupaten
yaitu faktor bawaan daerah dan faktor manusia.
Ciamis. Fokus yang dikaji dalam makalah ini
Selanjutnya kondisi tofografi yang didukung
adalah identifikasi daerah rawan bencana geologi
dengan dengan kondisi iklim yang mengenal dua
gerakan tanah, dimana sasarannya yaitu daerah di
musim yaitu panas dan hujan, bisa menimbulkan
Kabupaten Ciamis yang kerentanan gerakan
kondisi tanah yang subur dan stabil. Namun di sisi
tanah/longsornya tinggi, khususnya di Kecamatan
lain apabila kedua kondisi alam tersebut tidak
Cikoneng yakni Desa Nasol.
menguntungkan maka bisa menjadi kerentanan dan
menimbulkan ancaman bencana seperti : banjir Penekanan dari topik yang dibahas adalah
bandang, tanah longsor, angin kencang, kekeringan bagaimana kondisi dari daerah Nasol itu sendiri
dan kebakaran. yang diidentifikasi dari keadaan geografis,
morfologi, tata lahan dan keairan serta penyebab
Hal lainnya terlihat dari kondisi klimatologi pergeseran tanah yang selanjutnya melalui
Kabupaten Ciamis, dimana kondisi curah hujan berbagai studi, penulis lakukan analisis dan
yang tinggi dan tidak menentu dapat menimbulkan dibahas dari aspek kebencanaan. Dimana aspek
ancaman bencana banjir, tanah longsor dan angin tersebut meliputi : kebijakan, strategi tindakan dan
model yang kemungkinan dapat diterapkan untuk
tropis. Tanpa dukungan pembangunan sistem menanggulangi dan meminimalisir risiko
drainase pembuangan air hujan yang lancar dan terjadinya bencana tanah longsor.
tanpa pertumbuhan vegetasi bagian hulu sebagai
penahan aliran air, Kabupaten Ciamis dapat
menjadi daerah banjir. Potensi bencana banjir juga II. METODOLOGI
disebabkan oleh pelaku warga yang sering Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini
membuang sampah di sungai-sungai, sehingga adalah data kualitatif, yakni berupa ungkapan,
sungai tidak bisa menampung air hujan dan kata-kata dan kalimat. Selanjutnya, sumber data
meluap. yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Ancaman gerakan tanah/tanah longsor juga sumber data sekunder. Supranto (2007 : 120)
termasuk risiko tinggi seperti yang tercatat dalam menyatakan bahwa “Data sekunder adalah data
peta indek risiko bencana tanah longsor di Provinsi yang diperoleh baik yang belum diolah maupun
Jawa Barat (BNPB, 2011). Adapun indikator telah diolah, baik dalam bentuk angka maupun
daerah dengan tingkat kerawanan tanah longsor uraian”.
tinggi di wilayah Kabupaten Ciamis adalah daerah Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan
yang mempunyai ciri-ciri yaitu : daerah dengan adalah:
kemiringan lereng lebih dari 300 bahkan
1. Studi Kepustakaan
dibeberapa lokasi mempunyai lereng lebih dari
400. Pergerakan tanah di Kabupaten Ciamis Yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan
merupakan longsoran tanah dan material dengan dengan cara membaca dan mempelajari bahan-
tingkat waktu kejadian antara sedang hingga cepat. bahan literatur atau sumber-sumber bacaan
Intensitas curah hujan yang tinggi dapat yang ada kaitannya dengan masalah yang
mempengaruhi terhadap waktu kejadian longsoran diteliti. Penelusuran dokumentasi tertulis
sehingga curah hujan (air) yang menjenuhi tanah merupakan bagian dari pendekatan dalam
penutup yang sangat tebal, oleh karena itu penelitian dalam mengkaji pengetahuan yang
longsoran sering terjadi pada musim hujan. baru.
Longsoran sering terjadi pada daerah dengan 2. Studi Dokumentasi
morfologi terjal, itologi batuan relatif lunak (batu
pasir, batu lempung atau tufa) dan tanah penutup Dokumen merupakan catatan peristiwa yang
(soil) yang cukup tebal diikuti dengan tingkat sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan,
gambar, atau karya-karya dari seseorang.
curah hujan yang relatif tinggi. Penggundu lan Dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini
hutan juga mengakibatkan lahan kritis sehingga diantaranya program kerja Badan
pengikatan air tanah sangat kurang. Pennggulangan Bencana Daerah (BPBD),

886
Bandung, Maret 2018 Volume 5 Nomor 1 ISSN-P : 2355-6110 ISSN-E : 2581-0081

peraturan/kebijakan tentang penangulangan Berikut ini adalah tabel mengenai berbagai jenis
bencana, peta dan foto kejadian. kegiatan mitigasi dan tujuan penggunaanya, yaitu :
Tabel 1. Berbagai Jenis Kegiatan Mitigasi dan
Tujuan Penggunaanya
III. PEMBAHASAN DAN HASIL
Jenis Kegiatan
No Tujuan Mitigasi
3.1. Kontribusi Perencanaan Ruang Dalam Mitigasi
Pengurangan Resiko Bencana 1. Perencanaan tata guna Pengaturan pembangunan di
lahan lokasi yang aman
Kesadaran akan pentingnya peran perencanaan tata 2. Building codes Penguatan terhadap tekanan
ruang untuk pengurangan resiko bencana termasuk bahaya
3. Pengaturan zonasi Pembatasan terhadap penggunaan
cukup lambat, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga area berbahaya
di Amerika seperti yang disampaikan oleh Burby 4. Pengaturan subdivisi Penguatan infrastruktur terhadap
et. al., (2000). Pendekatan yang lebih umum bahaya
5. Analisis Bahaya / Identifikasi area berbahaya
dipakai adalah mitigasi fisik dan persiapan respon / Pemetaan Resiko
untuk tanggap darurat. Mitigasi fisik mencakup 6. Sistem informasi Peningkatan kesadaran terhadap
pembuatan dam, penguatan tanggul, serta bahaya resiko
7. Edukasi publik Peningkatan pengetahuan
pemasangan instalasi perangkat peringatan dini. mengenai bencana
8. Pemantauan / inspeksi Pemantauan implementasi
Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar alokasi peraturan
pemerintah Indonesia adalah dengan penguatan 9. Pengambilalihan lahan Pengalihan fungsi menjadi ruang
organisasi dan kapasitas yang terkait dengan fase yang berbahaya terbuka/rekreasi
10. Relokasi Pemindahan kondisi rentan ke
tanggap darurat atau respon ketika bencana terjadi. lokasi yang aman
Pola – pola manajemen bencana sampai dengan 11. Insentif dan disinsentif Penciptaan motivasi untuk pindah
tahun 2007 adalah dikoordinasi oleh Badan pajak ke lokasi aman
12. Asuransi bencana Pemberian kompensasi terhadap
Koordinasi Penanggulangan Bencana (Bakornas kerugian ekonomi
PB) ataupun Satuan Tugas Pelaksanaan
Penanggulangan Bencana (Satlak PB). Ini berarti Sumber: Godschalk, 1991:136 dalam Kaiser et al
usaha penanggulangan bencana diselesaikan (1995)
melalui mekanisme koordinasi yang dibentuk
ketika bencana terjadi. Dengan demikian
perencanaan tata ruang yang sejatinya adalah suatu Di dalam menghasilkan tata ruang yang
instrumen pengurangan resiko bencana yang mempertimbangkan unsur-unsur kebencanaan
dilakukan pada saat tidak terjadi bencana, sampai serta menentukan alat mitigasi yang akan
dengan tahun 2007 belum benar–benar digunakan, teknik pertampalan (overlay) antara
mendapatkan tempat sebagai instrumen penting. konsep pembangunan dengan daerah-daerah
beresiko bencana hasil analisis resiko perlu
Perencanaan tata ruang sebagai suatu bentuk dilakukan. Hasil pertampalan dapat digunakan
intervensi pembangunan yang multidimensi untuk mengoreksi usulan perencanaan, baik
(Syarifudin. 2008), memungkinkan berbagai struktur ruang, pola ruang, maupun penentuan
bentuk kegiatan mitigasi resiko bencana untuk kawasan – kawasan strategis, yang diatur di dalam
diintegrasikan, baik yang bersifat fisik (struktural) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi,
maupun non fisik (non struktural). Dalam Kabupaten, maupun Kota. Hal yang perlu
menentukan bentuk kegiatan mitigasi yang akan diperhatikan ialah adanya kebutuhan dan
digunakan akan bergantung kepada jenis bencana kesesuaian skala kedetailan resiko bencana yang
dan tujuan kegiatan tersebut. Godschalk (1991) dihasilkan dengan tingkat kedetailan rencana tata
dalam (Kaiser, 1995) memberikan gambaran jenis ruang yang akan diperkaya dengan resiko bencana
kegiatan mitigasi dan tujuan yang dapat diraih oleh tersebut. Sebagai contoh, peta resiko untuk
kegiatan tersebut, hal ini memerlukan keterampilan mengoreksi rencana rinci (misalnya RDTR) tentu
kajian resiko bencana sehingga pilihan intervensi berbeda dengan rencana umum tata ruang
menjadi sesuai. Hal ini sejalan dengan fungsi (RTRW). Perbedaan ini juga secara signifikan
implementasi perencanaan penggunaan rencana menentukan seberapa detail rekomendasi
guna lahan untuk manajemen ekosistem yang pengurangan resiko melalui perencanaan tata
dapat dilakukan melalui pemutakhiran data, ruang dapat dihasilkan. Pada akhirnya, usaha
pemetaan data kepemilikan, analisis dampak dari pertampalan harus berorientasi akhir pada keluaran
manusia; tujuan guna lahan; kebijakan terdiri atas produk rencana tersebut karena rencana tata ruang
mekanisme insentif, akuisisi lahan, dan dan merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan
kebijakan lainnya. penataan ruang yang baku.

887
Bandung, Maret 2018 Volume 5 Nomor 1 ISSN-P : 2355-6110 ISSN-E : 2581-0081

Dengan demikian perencanaan tata ruang hasil 3.2 Tingkat Kerentanan/Risiko Ancaman
pengumpulan dan dan analisis informasi tentang Bencana Tanah Longsor di Kabupaten
kesesuaian pembangunan dari daerah yang Ciamis
terpapar (exposed) terhadap bencana alam dapat
diketahui oleh masyarakat, investor potensial- Longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa
pelaku usaha, dan pemerintah. tanah atau batuan, ataupun pencampuran
keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari
Konteks integrasi dan pengarusutamaan
terganggunya kestabilan tanah atau batuan
pengurangan resiko bencana ke dalam perencanaan
penyusunan lereng tersebut. Gerakan tanah atau
tata ruang di Indonesia juga dapat dikatakan
tanah longsor diakibatkan kondisi tanah yang tidak
terlewatkan karena secara kontekstual pemantauan
stabil yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
atas kualitas rencana itu sendiri masih kurang
karena tekanan atau beban tanah menahan
terjamin, bahkan di dalam aspek – aspek umum
benda/bangunan di atasnya, kemiringan tanah yang
yang telah dipraktikkan bertahun – tahun. Dengan
curam hingga sangat curam sehingga mendukung
demikian, alternatifnya adalah untuk menyertakan
longsoran tanah dan curah hujan yang tinggi serta
isu – isu lain yang berkaitan untuk membantu
tidak ada vegetasi yang menahan luncuran air,
integrasi dan pengarusutamaan ini, misalnya
sehingga mengakibatkan material tanah ikut
dengan konteks degradasi lingkungan. Dalam
mengalir dan terjadilah longsoran bahkan dapat
kacamata resiko bencana, degradasi lingkungan
juga diikuti banjir bandang.
dapat ditempatkan sebagai faktor yang
memperbesar kerentanan suatu daerah. Hal ini Tanah longsor juga dapat terjadi karena ada
diamati, Becker et. Al. (2010) di Selandia Baru, gangguan kestabilan pada tanah/batuan penyusun
dimana pengembangan kebijakan zonasi lereng. Penyebab longsoran dapat dibedakan
merupakan bagian dari pembangunan menjadi dua. Pertama, faktor pengontrol gangguan
berkelanjutan secara umum dari aspek lingkungan. kestabilan lereng, dan yang kedua adalah proses
Contoh lain dapat juga dipelajari dari konteks pemicu longsoran. Gangguan kestabilan lereng ini
Negara Jerman, yang menyediakan flood plain dikontrol oleh kondisi morfologi (terutama
atau dikenal juga dengan “leaving more space to kemiringan lereng), kondisi batuan ataupun tanah
rivers” yang dilakukan dalam konteks penyediaan penyusun lereng dan kondisi hidrologi atau tanah
ruang terbuka (Shen, 2010), hal ini dapat juga air pada lereng.
diaplikasika penerapannya di Kabupaten Ciamis.
Berdasarkan kondisi wilayah, Kabupaten Ciamis
Di dalam pengurangan kerentanan bencana, merupakan daerah yang rawan terhadap ancaman
banyak pendekatan perlu dilakukan. Salah satunya bencana tanah longsor. Hal ini sesuai dengan peta
dengan peningkatan ketahanan komunitas indek risiko bencana tanah longsor di Provinsi
(community resilience) yang dapat dilakukan Jawa Barat (BNPB, 2011) menunjukkan bahwa
dengan mengadopsi perencanaan tata ruang (Burby Kabupaten Ciamis merupakan daerah yang
et. al. 2000). Twigg (2007), sebagai contoh termasuk risiko bencana tanah longsor tingkat
menjadikan komponen tata ruang berbasis tinggi. Di mana wilayah tersebut meliputi
masyarakat sebagai salah satu indikator untuk Kecamatan: Banjarsari, Cihaurbeuti, Cikoneng,
menilaia tingkat ketahanan masyarakat terhadap Cipaku, Cisaga, Pamarican, Panawangan, Panjalu,
resiko bencana. Dalam hal ini tentu terdapat gap Panumbangan, Rajadesa, Rancah, Sindangkasih
antara rencana tata ruang yang dihasilkan dan tambaksari.
perencana professional dengan masyarakat.
Lokasi bencana gerakan tanah secara administratif
Namun demikian, yang terpenting adalah bahwa
terletak di Dusun Desa, Desa Nasol Kecamatan
melalui aktivitas merencanakan tata ruang di
Cikoneng Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat.
dalam masyarakat tersebut terdapat sense untuk
Daerah yang terkena bencana pada tanggal 19
mengurangi resiko dan menjadi lebih siap jika
September 2003, tepatnya terletak pada wilayah
sewaktu–waktu bencana terjadi, sehingga mereka
RT 11, 12 dan 13. Menurut penduduk setempat
mengetahui jalur evakuasi dan tempat pengungsian
yang tertimpa bencana, sebelum terjadinya gerakan
dengan lebih cepat. Kemudian hal ini perlu
tanah, di daerah ini telah turun hujan yang tinggi
ditindaklanjuti dengan kegiatan–kegiatan pelatihan
berturut-turut selama 2 hari.
maupun drilling untuk membiasakan masyarakat
dalam melaksanakan perencanaan evakuasi dan Bencana berikutnya terjadi pada tanggal 22
kesiapsiagaan yang memanfaatkan perencanan tata Desember 2014, terletak pada koordinat 1080 17’
ruang dan manajemen bencana yang berbasis 25,404”–70 16’ 57,936” LS, tepatnya pada wilayah
masyarakat. RT 14.

888
Bandung, Maret 2018 Volume 5 Nomor 1 ISSN-P : 2355-6110 ISSN-E : 2581-0081

Bencana tanah longsor berupa longsornya tembok kembali bergerak. Dengan demikian perlu adanya
penahan tebing, sehingga air selokan tertahan dan kesadaran semua pihak baik pemerintah maupun
meluap masuk ke dalam rumah warga yang ada di masyarakat setempat untuk tetap waspada dan
bawahnya. berupaya untuk mengurangi pergerakan dengan
menjaga tanah agar tidak jenuh air.
Bencana longsor lainnya terjadi pada koordinat
1080 17’ 24,977” BT–70 17’ 0,827”, tepatnya pada
wilayah RT 15 dan 16 pada tanggal 12 Februari 3.3. Kebijakan, Strategi dan Program Prioritas
2015. Kejadian tersebut mengakibatkan 10 rumah
warga mengalami retak-retak pada bagian lantai Mengenai kebijakan, strategi dan program prioritas
dan dindingnya. Selain itu, pergerakan masih dalam penanggulangan bencana di Kabupaten
berlangsung jika musim hujan tiba, sehingga Ciamis, penulis tuangkan dalam tabel berikut:
warga merasa khawatir rumahnya akan ambruk Selain kebijakan di atas, pada tahap setelah terjadi
bila longsoran terus berlangsung dan mengancam bencana kebijakan yang dilakukan dalam rangka
pemukiman lainnya yang ada di bawah tebing. rehabilitasi dan rekonstruksi (pemulihan) adalah
Berikut ini penulis menganalisa mekanisme penilaian perkiraan kerusakan dan kerugian
gerakan tanah yang terjadi di Desa Nasol (Damage and Loss Assesment/DLA), yang secara
Kecamatan Cikoneng: umum dikelompokkan ke dalam lima sektor, yaitu:

1. Gerakan tanah di RT 14 RW 04, Dusun Desa, 1) Sektor perumahan dan permukiman,


Desa Nasol Kecamatan Cikoneng. Curah hujan 2) Sektor prasarana
yang tinggi mengakibatkan kandungan air
dalam tanah meningkat, sehingga tanah 3) Sektor sosial
menjadi jenuh air, di mana sebelumnya pada 4) Sektor ekonomi produksi, dan
lereng bagian atas sudah terdapat beberapa
5) Sektor lainnya (lintas sektor) yang masing-
kolam ikan. Akibatnya kandungan air dalam
masing sektor (kecuali sektor perumahan dan
tanah meningkat dan terakumulasi di belakang
permukiman) masih terbagi lagi menjadi:
tembok penahan tebing yang tidak dilengkapi
daluran pengering. Sehingga tembok tidak kuat a) Sektor Infrastruktur : transportasi,
lagi menahan tekanan dari tanah dan perhubungan, air bersih dan sanitasi,
hidristatika air, diperkuat lagi dengan adanya telekomunikasi, energi/listrik;
erosa lateral dari saluran yang ada di bagian
b) Sektor sosial : Kesehatan, Pendidikan,
bawah tembok. Akhirnya tembok jebol dan
Agama, Kebudayaan, Lembaga Sosial;
materialnya menimbun saluran irigasi yang ada
di bawahnya serta airnya meluap membanjiri c) Sektor ekonomi produksi : lingkungan
pemukiman yang ada di bawahnya. hidup, tata pemerintahan, keuangan dan
perbankan, ketertiban dan keamanan.
2. Gerakan tanah di RT 15 dan RT 16 RW 04,
Dusun Desa, Desa Nasol Kecamatan Cikoneng. Adapun kebijakan umum pemulihan pasca
Curah hujan yang tinggi mengakibatkan bencana di Kabupaten Ciamis dirumuskan dalam
kandungan air di dalam tanah meningkat, tiga butir pokok, yaitu :
sehingga tanah menjadi jenuh air, bobot masaa
tanah bertambah, ikatan antar butir tanah 1) Pemulihan Perumahan dan Permukiman
mengecil, mengakibatkan lereng menjadi tidak
stabil. Dan adanya bidang gelincir gerakan 2) Pemulihan Sarana dan Prasarana Publik
tanah, mengakibatkan lereng mudah bergerak 3) Revitalisasi Perekonomian Daerah dan
mencari keseimbangan baru dan terjadilah
pergerakan tanah. Namun karena kemiringan Masyarakat
lereng landai, maka pergerakannya sangat Ruang lingkup kebijakan umum pemulihan
lambat dan mengakibatkan gerakan tanah tipe tersebut meliputi :
rayapan. Meski demikian, akibat gerakan tanah
ini menimbulkan terjadinya nendatan dan a) Pembangunan ulang atau perbaikan berbagai
retakan pada lereng bagian atas sehingga infrastruktur fisik, antara lain perumahan dan
merusak bangunan dan sarana jalan yang permukiman, infrastruktur publik dan
dilaluinya.
infrastruktur pendukung ekonomi.
Dari uraian di atas sebetulnya terlihat jelas bahwa
gerakan tanah di lokasi tersebut sudah sering
terjadi dan sudah terbentuk bidang lemah,
sehingga jika tanah mengalami jenuh air akan

889
Bandung, Maret 2018 Volume 5 Nomor 1 ISSN-P : 2355-6110 ISSN-E : 2581-0081

a. b.
Foto menggambarkan tebing yang merupakan gerakan tanah di bahu jalan pada jalur Retakan akibat gerakan tanah di daerah
Nasol-Ciamis yang mengancam permukiman di bawah tebing permukiman yang berbahaya ketika air hujan
infiltrasi

c. d.
Foto memperlihatkan lantai salah satu rumah warga di daerah permukiman Nasol Retakan salah satu dinding rumah warga yang
yang retak akibat gerakan tanah terindikasi pada daerah bahaya gerakan tanah.

Gambar 1. Dampak Kerusakan dari Gerakan Tanah dan Longsor di Nasol

Tabel 2. Kebijakan, Strategi dan Program Prioritas dalam Penanggulangan Bencana di Kabupaten Ciamis
No Kebijakan Strategi Program Prioritas
1. Penguatan Kelembagaan Pengembangan dan peningkatan • Pengembangan lembaga PB sebagai pusat
Badan Penanggulangan kelembagaan Badan keunggulan PB.
Bencana Daerah Penanggulangan Bencana Daerah • Pengembangan pusat sumber daya PB.
• Penguatan Manajemen bencana pada
institusi PB.
• Pengembangan sistem kesiapsiagaan
terhadap bencana.
• Mengkoordinasikan para pemangku
kepentingan.
2. Penguatan kerangka Penyusunan peraturan, prosedur • Penyusunan rencana kontijensi untuk
regulasi penanggulangan tetap, pedoman dan renacana ancaman risiko tinggi.
bencana yang penanggulangan bencana yang • Menyusun rencana operational
terkoordinasi disosialisasikan sampai dengan penanggulangan bencana (PROTAP).
tingkat kecamatan/desa • Penyusunan buku pedoman penyebaran
informasi pengurangan risiko bencana.
• Penyusunan pedoman penilaian rumah
rusak akibat bencana.

890
Bandung, Maret 2018 Volume 5 Nomor 1 ISSN-P : 2355-6110 ISSN-E : 2581-0081

3. Integrasi • Penyusunan APBD • Pelaksanaan musrenbang berwawasan PB.


penanggulangan bencana berwawasan penanggulangan • Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
ke dalam arus utama bencana (RTRW) berwawasan PB.
pembangunan dan • Pengintegrasian • Pengembangan manajemen mutu terhadap
pemerintahan penanggulangan bencana ke PB.
dalam rencana pembangunan • Sinkronisasi, dan penyusunan kebijakan
daerah, renstra SKPD dan daerah tentang PB.
Renja SKPD. • Penyediaan anggaran untuk aktivitas PB
yang akuntabel.
• Pengintegrasian pelayanan pertolongan
korban bencana.
• Pemenuhan kebutuhan pokok.
4. Mengembangkan sistem • Peningkatan partisipasi para • Pemetaan dan zonasi daerah rawan
pengurangan risiko pemangku kepentingan bencana.
bencana • Penguatan sistem • Diseminasi informasi daerah rawan
penanggulangan bencana bencana dan cara-cara pengurangan risiko
bencana.
• Pendayagunaan pengetahuan modern dan
tradisional tentang kebencanaan.
• Penguatan dan pengembangan potensi
budaya masyarakat tentang kebencanaan.
• Kampanye kesiapsiagaan bencana.
• Penguatan sistem kedaruratan PB.
• Pengembangan sistem peringatan dini.
• Pengelolaan lingkungan berwawasan PB.
5. Meningkatkan kualitas Peningkatan kapasitas dan • Penyelenggaraan pendidikan dan latihan
sumber daya manusia pengetahuan personil (diklat) PB.
(SDM) penanggulangan penanggulangan bencana. • Pendidikan dan latihan (diklat) dalam PB
bencana atau pelatihan fasilitator (training of
trainer/ToT PB.
• Penelitian kebencanaan.
• Sertifikasi sumber daya manusia (SDM)
PB.
6. Menumbuhkembangkan • Peningkatan strategi • Peningkatan diseminasi PB melalui media.
budaya sadar bencana publikasi penanggulangan • Diseminasi pengetahuan PB dalam
bencana pendidikan formal dan informal.
• Peningkatan strategi • Pewujudan sekolah siaga bencana.
pendidikan penanggulangan • Pemberdayaan dan pengorganisasian
bencana masyarakat dalam PB.
• Pendampingan dan
bimbingan penanggulangan
bencana
7. Meningkatkan kapasitas • Pengembangan program • Mensosialisasikan informasi PB kepada
dan ketangguhan PRB berbasis masyarakat masyarakat melalui pelatihan sebagai
masyarakat dalam • Meningkatakan kemampuan wujud peningkatan pengetahuan dan
menghadapi bencana dan masyarakat dalam kapasitas.
pengembangan penanggulangan bencana. • Peningkatan dan penyediaan fasilitas
pelayanan untuk • Mengembangkan fasilitas pelayanan hak-hak dasar dalam
memenuhi hak-hak dasar pelayanan hak-hak dasar penanggulangan bancana bagi kelompok
masyarakat. masyarakat diantaranya rentan yang merupakan kelompok paling
untuk kelompok rentan rentan dalam situasi bencana.
(orang/anak penyandang • Pengembangan perencanaan pembangunan
cacat, lansia, ibu hamil, desa berwawasan PB.
balita dan lainnya). • Pembentukan masyarakat (desa) siap siaga
menghadapi bencana (desa tangguh).
• Pembangunan kapasitas masyarakat melalui
pemberdayaan masyarakat di daerah rawan
bencana yang didukung oleh unsur
pemerintahan terkait di kecamatan/desa/
kelurahan, tenaga sosial, kader-kader
tanggap bencana, dan lembaga sosial
kemanusiaan lokal setempat dalam
penanggulangan bencana.
8. Peningkatan daya Peningkatan fungsi pelayanan Penyediaan sarana dan prasarana yang
dukung sarana/ kepada masyarakat dalam menunjang dalam penanggulangan bencana baik
prasarana menunjang keberhasilan upaya pada tahap pra bencana, tanggap darurat dan
penanggulangan bencana penanggulangan bencana secara pasca bencana sebagai wujud peningkatan
optimal. pelayanan masyarakat.
9. Kerjasama dengan Peningkatan koordinasi dan Menjalin koordinasi dan kerjasama dalam
organisasi mitra kerjasama dengan organisasi melakukan upaya penanggulangan bencana untuk
pemerintah mitra pemerintah, baik organisasi mewujudkan jalinan kerjasama demi peningkatan
sosial kemanusiaan dari lokal kapasitas pengurangan risiko bencana di
maupun internasional. Kabupaten Ciamis.
10. Optimalisasi penanganan • Peningkatan partisipasi • Pemberian bantuan rehabilitasi dan
pasca bencana masyarakat sebagai aktor rekonstruksi terhadap masyarakat yang

891
Bandung, Maret 2018 Volume 5 Nomor 1 ISSN-P : 2355-6110 ISSN-E : 2581-0081

10. Optimalisasi penanganan • Peningkatan partisipasi • Pemberian bantuan rehabilitasi dan


pasca bencana masyarakat sebagai aktor rekonstruksi terhadap masyarakat yang
utama PB menjadi korban bencana.
• Pendayagunaan sumber daya • Evaluasi menyeluruh rehabilitasi-rekonstruksi
yang tersedia. yang mencakup pemenuhan kebutuhan
masyarakat dengan mengacu pada pasal 53
UU No.24/ 2007 tentang PB.
• Pemanfaatan hasil evaluasi dan
rekomendasinya sebagai dasar untuk
melanjutkan rehabilitasi rekonstruksi yang
mengacu pada pemenuhan kebutuhan dasar.
11. Pengawasan, evaluasi Peningkatan pengawasan dan • Pelaksanaan pengawasan, evaluasi dan
dan pelaporan evaluasi pelaksanaan perencanaan pelaporan secara berkala atas capaian kinerja
pelaksanaan yang disusun oleh setiap dan sasaran dari setiap SKPD atau instansi
penanggulangan bencana instansi/SKPD pada tahapan- terkait.
tahapan PB yang terjabarkan • Pemanfaatan hasil pengawasan dan evaluasi
secara detail ke dalam yang tertuang dalam rekomendasi untuk
penyusunan prioritas kegiatan pengkajian situasi dan perumusan rencana
penanggulangan bencana yang tindak dan pelaksanaan pada tahap
mewakili tugas pokok fungsi dari berikutnya.
SKPD/pihak terkait dengan
dihubungkan pada indikator
capaian kinerja ataupun sasaran.
Sumber : BPBD, Ciamis, 2011

b) Pemberian bantuan/stimulasi, untuk 3.4. Upaya Yang Dapat Dilakukan Guna


mendorong perekonomian daerah dan Mengidentifikasi Daerah Rawan Bencana
masyarakat. Geologi Gerakan Tanah Sebagai Dasar
Arahan Mitigasi di Kabupaten Ciamis
c) Dukungan peraturan/kebijakan, berupa
pencabutan regulasi yang menghambat dan Penataan ruang dapat menjalankan peran penting
menyusun regulasi yang dapat mendorong dalam penetapan rencana pemanfaatan ruang yang
pemulihan ekonomi daerah. aman dari dampak bencana alam. Karena
setidaknya dalam penataan ruang sudah
d) Pemulihan kesehatan dan kondisi psikologis
dimunculkan kriteria lokasi rawan bencana alam
bagi masyarakat korban bencana salah satunya
dan sebaran lokasi kawasan kritis dan kawasan
dengan cara memberikan pemulihan kesehatan
yang beresiko bencana. Penataan Ruang dapat
dan pemulihan trauma.
meminimalisasi dampak bencana karena premis
e) Pemulihan sosial yang meliputi penyediaan penataan ruang adalah keseimbangan lingkungan
pelayanan kepada masyarakat yang menjadi hidup. Atau dapat dikatakan, pemanfaatan suatu
penyandang masalah kesejahteraan sosial kawasan untuk berbagai kegiatan disesuaikan
akibat bencana, seperti penyandang cacat, anak dengan kemampuan daya dukung lingkungannya.
yatim piatu dan lainnya. Patut digaris bawahi bahwa sesungguhnya
penyelenggaraan penataan ruang adalah sama
Strategi pemulihan pasca bencana di Kabupaten
dengan usaha mitigasi bencana. Dalam konteks
Ciamis meliputi dua tahapan, yaitu tahap
identifikasi kawasan rawan bencana, maka hal ini
rehabilitasi dan tahap rekonstruksi. Tahap
merupakan upaya mendukung penataan ruang
rehabilitasi bersifat jangka pendek, sebagai respon
dengan memberikan informasi yang berkaitan
atas berbagai isu yang bersifat mendesak dan
dengan kerentanan wilayah terhadap bencana
membutuhkan penanganan yang segera dan
sehingga resiko bencana dapat dicermati dan
bertujuan untuk memulihkan standar pelayanan
diantisipasi dalam pola ruang. Dengan kata lain,
minimum pada sektor perumahan, sektor
identifikasi kawasan rawan bencana berguna untuk
prasarana, sektor sosial, sektor ekonomi produksi,
menentukan struktur ruang dan pola ruang suatu
serta sektor lainnya (lintas sektor) yang mengalami
wilayah.
kerusakan dan kerugian akibat dampak bencana.
Tahap rekonstruksi lebih bersifat jangka panjang Berikut ini adalah alur mitigasi bencana dan
untuk memulihkan sistem secara keseluruhan serta penyelenggaraan penataan ruang yang akan
mengintegrasikan berbagai program pembangunan diuraikan pada Gambar 2.
ke dalam pendekatan pembangunan daerah.

892
Bandung, Maret 2018 Volume 5 Nomor 1 ISSN-P : 2355-6110 ISSN-E : 2581-0081

Pedoman-pedoman ini lebih lanjut diatur dengan


Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21, 22,
23 dan 24 Tahun 2007.

3.4. Model Mitigasi Bencana Tanah Longsor


yang Tepat dan Efektif
Mitigasi bencana longsor lahan adalah suatu usaha
memperkecil jatuhnya korban manusia dan atau
Gambar 2. Mitigasi Bencana dan kerugian harta benda akibat peristiwa atau
Penyelenggaraan Penataan Ruang Sumber : Linda rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam,
Tondobala (2011: 59) manusia, dan oleh keduanya yang mengakibatkan
jatuhnya korban, penderitaan manusia, kerugian
Identifikasi kawasan rawan bencana merupakan harta benda, kerusakan sarana dan prasarana,
salah satu kegiatan dalam mitigasi bencana. Untuk fasilitas umum serta gangguan terhadap tata
itu dalam melakukan kegiatan identifikasi kawasan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
rawan bencana di Kabupaten Ciamis dapat
mengacu pada pendapat Tondobala (2011: 60) Mitigasi longsor pada prinsipnya bertujuan untuk
berikut ini : meminimumkan dampak bencana tersebut. Untuk
a. Identifikasi sumber bencana dan itu kegiatan early warning (peringatan dini)
memetakannya, terutama di wilayah dan/atau bencana menjadi sangat penting. Adapun upaya
kawasanyang sudah menunjukan ciri-ciri pengurangan bencana ke dalam perencanaan
perkotaan dan/atau terbangun. pembangunan daerah yang telah dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Ciamis meliputi lima
b. Mengklasifikasikan kawasan-kawasan yang tahapan utama, yaitu :
berpeluang terkena bencana berdasarkan jenis
dan tingkat besar/kecilnya ancaman bencana (1) Perencanaan daerah penanggulangan bencana
dan dampak bencana yang ditimbulkan (2) Perumusan rencana aksi daerah pengurangan
(tipologi bahaya). risiko bencana
c. Menginformasikan tingkat kerentanan wilayah (3) Pengarustamaan PRB ke dalam rencana
terhadap masing-masing tipologi bahaya. pembangunan
Aktivitas-aktivitas ini yang harus dilakukan
terlebih dahulu dalam rangka menunjang (4) Pelaksanaan program pembangunan yang
kegiatan perencanaan pembangunan daerah dan memuat PRB
tata ruang yang berwawasan “mitigasi (5) Monitoring dan evaluasi.
bencana”.
Untuk lebih jelasnya mengenai tahapan tersebut,
Dalam hal Penelitian Identifikasi Kawasan Rawan penulis tuangkan dalam Gambar 3 berikut ini.
Bencana dikhususkan pada Kawasan Rawan
Bencana Geologi. Untuk itu beberapa Pedoman
dapat dipakai sebagai literatur (Tondobala, 2011: Rencana Penanggulangan
Bencana Daerah (RPBD)
62) yaitu:
(1) Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Monitoring dan Evaluasi
Daur Integrasi PRB dalam
Rencana Aksi Daerah
(Monev) Pengurangan Resiko Bencana
Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Rencana Pembangunan Daerah

Gempa Bumi
Pelaksanaan PRB (Terpadu Pengarusutamaan PRB Ke
Dalam Program Pembangunan) Dalam Pembangunan
(2) Pedoman Penataan Ruang Kawasan Bencana
Longsor
(3) Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Gambar 3. Daur Pemaduan Pengurangan Risiko
BencanaKe Dalam Perencanaan Pembangunan
Bencana Banjir
Daerah Sumber data : BPBD Ciamis (2011 113)
(4) Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan
Tsunami

893
Bandung, Maret 2018 Volume 5 Nomor 1 ISSN-P : 2355-6110 ISSN-E : 2581-0081

Kelima tahapan di atas saling berkaitan satu sama bagaimana dan ke arah mana harus
lain dan merupakan sebuah siklus. Artinya hasil menyelamatkan diri.
dari monitoring dan evaluasi akan menjadi
3. Sesudah bencana antara lain pemulihan
masukan bagi pengkajian situasi dan perumusan
(recovery) dan masyarakat harus dilibatkan.
rencana tindak dan pelaksanaan pada tahap
berikutnya. Konsep dengan model siklus seperti ini a. Penyelamatan korban secepatnya ke daerah
mendukung model pengelolaan organisasi yang yang lebih aman.
adaptif sehingga Pemerintah Daerah dapat menjadi b. Penyelamatan harta benda yang mungkin
organisasi yang berkembang karena selalu belajar masih dapat diselamatkan.
dari pengalaman.
c. Menyiapkan tempat-tempat penampungan
Selain konsep dan model siklus tersebut, penulis sementara bagi para pengungsi seperti
berkaca dan menganalisis pengalaman penanganan tenda-tenda darurat.
bencana di beberapa daerah lainnya di Pulau Jawa,
bahwa ada hal teknis lainnya yang mesti d. Menyediakan dapur-dapur umum
diperhatikan guna penanggulangan bencana secara e. Menyediakan air bersih, sarana kesehatan
dini. Peringatan dini dapat dilakukan antara lain
melalui prediksi cuaca/iklim sebagai salah satu f. Memberikan dorongan semangat bagi para
faktor yang menentukan bencana longsor. Mitigasi korban bencana agar para korban tersebut
bencana meliputi : sebelum, saat terjadi dan tidak frustasi dan lain-lain.
sesudah terjadi bencana. g. Koordinasi dengan aparat secepatnya.
1. Sebelum bencana antara lain peringatan dini Kami yakin hal-hal di atas dapat diterapkan dalam
(early warning system) secara optimal dan penanganan bencana tanah longsor di Kabupaten
terus menerus pada masyarakat. Ciamis. Adapun tahapan mitigasi bencana tanah
a) Mendatangi daerah rawan longsor longsor, yaitu: Pemetaan, penyelidikan,
berdasarkan peta kerentanannya. pemeriksaan, pemantauan dan sosialisasi. Dan hal
lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan
b) Memberi tanda khusus pada daerah rawan pemanfaatan IPTEK. Seperti penginderaan jauh,
longsor. sebenarnya sangat besar perannya untuk
c) Memanfaatkan peta-peta kajian tanah mengantisipasi dan mitigasi bencana alam. Dengan
longsor secepatnya. bantuan citra penginderaan jauh dapat dibuat
pemetaan faktor-faktor yang mempengaruhi
d) Permukiman sebaiknya menjauhi tebing terjadinya longsor seperti peta perubahan
e) Tidak melakukan pemotongan lereng penggunaan lahan, peta geologi, peta kondisi cuaca
(keawanan dan perkiraan hujan).
f) Melakukan reboisasi pada hutan yang pada
saat ini dalam keadaan gundul, menanam Lillesand dan Kiefer (1994), mengemukakan
pohon-pohon penyangga, melakukan bahwa “Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni
penghijauan pada lahan-lahan terbuka. memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah
atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
g) Membuat terasering atau sengkedan pada
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan
lahan yang memiliki kemiringan yang
obyek, daerah atau fenomena yang dikaji”. Sistem
relatif curam.
perolehan data dalam penginderaan jauh terdiri
h) Membatasi lahan untuk pertanian atas : (1) tenaga, (2) Obyek atau benda, (3) proses,
dan (4) keluaran. Tenaga yang paling banyak
i) Membuat saluran pembuangan air menurut
digunakan adalah tenaga elektromagnetik yang
kontur tanah
bersumber dari tenaga matahari dan dari pancaran
j) Menggunakan teknik penanaman dengan obyek di permukaan bumi. Data yang didapat
sistem kontur tanah. adalah hasil perekaman kenampakan di bumi yang
k) Waspada gejala tanah longsor (retakan, disebut dengan citra.
penurunan tanah) terutama di musim hujan. Citra satelit, seperti citra NOAA dan GMS dapat
2. Saat bencana antara lain dengan mendeteksi sebaran awan dan peluang hujan,
memberitahukan kepada masyarakat prediksi hujan, deteksi terjadinya titik panas dan
sebaran asap kebakaran, tingkat

894
Bandung, Maret 2018 Volume 5 Nomor 1 ISSN-P : 2355-6110 ISSN-E : 2581-0081

kekeringan/kehijauan lahan, dan lain-lain. Selain Pada akhirnya, semua upaya yang dilakukan untuk
kondisi lingkungan yang rentan gerakan tanah dan menanggulangi bencana longsor tidak akan dapat
penutup lahan yang berubah, faktor cuaca juga berjalan efektif jika mengabaikan komponen
berpeluang menghasilkan hujan hingga saat masyarakat sebagai subjek maupun obyek
bencana longsor. Pada pasca bencana, citra satelit bencana. Maka pemberdayaan masyarakat dengan
akan membantu upaya rehabilitasi atau pemulihan cara pembekalan pengetahuan tentang karakteristik
kondisi lingkungan dan penataan ruang daerah dari bencana longsor sangat diperlukan, sehingga
bencana. mereka mampu mengenali ancaman bahaya
tersebut.
Dengan berkembangnya sistem satelit
penginderaan jauh, peta geologi dapat dihasilkan
melalui data Landsat TM/SPOT dengan jangkauan
IV. SIMPULAN
pengamatan yang lebih luas dibandingkan dengan
data hasil potret udara. Citra yang berasal dari Pada akhirnya perlu di disadari bahwa perencanaan
sensor multispectral (Landsat TM dan SPOT) dan tata ruang berbasis kebencanaan perlu terintegrasi
Hyperspectral dapat memberikan informasi dengan alat-alat pengurangan resiko bencana
mengenai jenis batuan bumi. Selain Landsat dan lainnya. Berdasarkan arah kebijakan
SPOT yang terbaik saat ini dalam deteksi fisik penanggulangan bencana di Kabupaten Ciamis,
spatial saat ini adalah LiDAR (Light Detection and dapat dirumuskan pilihan tindakan sesuai dengan
Ranging) menggunakan laser (light amplification kebijakan, strategi dan program prioritas
by stimulated emission of radiation) yaitu penanggulangan bencana untuk masing-masing
instrumen yang mengaplikasikan arus listrik kuat tahapan yaitu pra-bencana, tanggap darurat, dan
pada material lasabl dengan deteksi aktif pemulihan-rekonstruksi. Identifikasi kawasan
(Sunandar & Syarifudin, 2018). rawan bencana di Kabupaten Ciamis yaitu dengan
melakukan kegiatan sebagai berikut :
Selain dukungan sistem informasi, agar
manajemen mitigasi bencana dapat dilaksanakan • Identifikasi sumber bencana dan
dengan efektif dan efisien, diperlukan pula memetakannya, terutama di wilayah dan/atau
dukungan kelembagaan berupa jaringan kawasanyang sudah menunjukan ciri-ciri
komunikasi kerja dan distribusi tugas maupun perkotaan dan/atau terbangun.
kewenangan sesuai dengan kompetensi masing-
• Mengklasifikasikan kawasan-kawasan yang
masing.
berpeluang terkena bencana berdasarkan jenis
Model mitigasi bencana tanah longsor yang tepat dan tingkat besar/kecilnya ancaman bencana
dan efektif seyogyanya mengacu pada kebijakan dan dampak bencana yang ditimbulkan
pengembangan wilayah yang berkelanjutan dan (tipologi bahaya).
berprespektif mitigasi bencana yang disusun
• Menginformasikan tingkat kerentanan wilayah
berdasarkan rangkaian proses sebagai berikut:
terhadap masing-masing tipologi bahaya.
(1) Mengevaluasi implementasi kebijakan Aktivitas-aktivitas ini yang harus dilakukan
pengembangan wilayah; terlebih dahulu dalam rangka menunjang
kegiatan perencanaan pembangunan daerah dan
(2) Mengidentifikasi potensi pengembangan
tata ruang yang berwawasan “mitigasi
wilayah;
bencana”.
(3) Mengidentifikasi potensi bencana alam yang
Pada akhirnya, semua upaya yang dilakukan untuk
sering terjadi di wilayah yang bersangkutan;
menanggulangi bencana longsor tidak akan dapat
(4) Mengkaji bentuk dan efektivitas keberhasilan berjalan efektif jika mengabaikan komponen
upaya mitigasi bencana yang sejenis di masyarakat sebagai subjek maupun obyek
wilayah lain; bencana. Maka pemberdayaan masyarakat dengan
(5) Mengembangkan model kebijakan cara pembekalan pengetahuan tentang karakteristik
pengembangan wilayah yang berkelanjutan dari bencana longsor sangat diperlukan, sehingga
berperspektif mitigasi bencana; mereka mampu mengenali ancaman bahaya
tersebut.
(6) Merumuskan kebijakan pengembangan
wilayah berperspektif mitigasi bencana alam;

895
Bandung, Maret 2018 Volume 5 Nomor 1 ISSN-P : 2355-6110 ISSN-E : 2581-0081

V. DAFTAR PUSTAKA T. Budhistrisna, (1986), Peta Geologi Lembar


Agus Darsoatmodjo et. al., (2003). Laporan Tasikmalaya. Badan geologi, Pusat
Pemeriksaan Bencana Gerakan Tanah Di Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Dusun Nasol, Desa Nasol Kecamatan Bandung
Cikoneng Kabupaten Ciamis provinsi Jawa Twigg, J. (2007). Characteristics of A Disaster -
Barat. Jakarta : Departemen Energi dan Resilient Community: A Guidance Note,
Sumber Daya Mineral dan Dirjen Geologi DFID: Disaster Risk Reduction Interagency
dan Sumber Daya Mineral serta Direktorat Coordination Group.
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. ______, Badan Nasional Penanggulangan
Burby, R., Deyle, R., Godschalk, D., and Bencana, (2011) Indeks Rawan Bencana
Olshansky, R. (2000). Creating hazard Indonesia, Jakarta: BNPB.
resilient communities through land-use ______, Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
planning. Natural Hazards Review, 1(2). (2011). Rencana Aksi Daerah
J. Supranto, (2009). Statistik Teori dan Aplikasi, Pengurangan Resiko Bencana Kabupaten
Edisi ketujuh Jilid 2: Jakarta, Penerbit Ciamis 2012-2014, Keputusan Bupati
Erlangga. Nomor 360/Kpts.774-Huk/2011. Ciamis:
Kaiser, E., Godschalk, D., and Chapin Jr., F. BPBD.
(1995). Urban Land Use Planning, Joseph ______, Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Henry Press. (2011). Rencana Penanggulangan Bencana
Kamadhis UGM, (2007). Bencana Alam (Buletin). Daerah Kabupaten Ciamis 2012-2016,
Yogyakarta. 2007. Keputusan Bupati Nomor 360/Kpts.773-
Karnawati. D., (2005), Bencana Alam Gerakan Huk/2011. Ciamis: BPBD.
Massa Tanah di Indonesia dan Upaya ______, Bahana Nusantara dan Dinas Bina Marga,
Penaggulangannya, Penerbit Jurusan Sumber Daya Air, Energi dan Sumber Daya
Teknik Geologi FT Universitas Gadjah Manusia. (2015). Laporan Akhir Kajian
Mada, Jogjakarta. Geoteknik Pada Lokasi Terjadinya Gerakan
Lillesand T.M. & Kiefer R.W, (1994), Remote Tanah Dusun Nasol Desa Nasol,
Sensing & Image Interpretation, Third Kecamatan Cikoneng Kabupaten Ciamis
Edition, John Wiley & Sons Jawa Barat. Ciamis: PT Bahana Nusantara
Linda Tondobala. (2011). Pemahaman Tentang dan Dinas Bina Marga, Sumber Daya Air,
Kawasan Rawan Bencana dan Tinjauan Energi dan Sumber Daya Manusia.
Terhadap Kebijakan dan Peraturan ______, Undang – Undang Dasar Republik
Terkait, Jurnal Sabua Vol.3, No.1: 58-63, Indonesia 1945
Mei 2011 ISSN 2085-7020, Program Studi ______,Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2007
Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) tentang Rencana Pembangunan Jangka
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik – Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-
Universitas Sam Ratulangi Manado Mei 2025
2011. ______,Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007
Purwadarminta, (2006). Kamus Umum Bahasa tentang Penanggulangan Bencana
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. ______,Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007
Shen, (2010). Flood Risk Perception and tentang Penataan Ruang
Communication within Risk Management in ______,Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004
Different Cultural Context, PhD Thesis, jo Undang – Undang Nomor 23 Tahun
United Nations University-EHS Bonn. 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Skempton, A.W., and Hutchinson, J.N., (1969),
Stability of Natural Slopes and
Embankment Foundations, Proceedings of
7th International Conference of Soil
Mechanics and Foundation Engineering,
Mexico.
Sunandar, I., & Syarifudin, D. (2018). LiDAR:
Penginderaan Jauh Sensor Aktif Dan
Aplikasinya di Bidang Kehutanan. Jurnal
Planologi Unpas, 1(2), 145-154.
Syarifudin, D. (2008). Strategi Pengembangan
Desa Tertinggal Wilayah Darat dan
Wilayah Pesisir dalam Perspektif
Peningkatan Indeks Pembangunan
Manusia: Wilayah Studi Kabupaten
Ciamis (Doctoral dissertation, Tesis).

896

Anda mungkin juga menyukai