Anda di halaman 1dari 2

Helga

Cerpen Karangan: Sega Dwi Ayu Pradista


Kategori: Cerpen Kisah Nyata, Cerpen Pendidikan, Cerpen Perjuangan
Lolos moderasi pada: 18 May 2021

Siang yang cerah menyelimuti hati ini, terik mentari seakan berada di atas ubun-ubun. Angin
bertiup menyejukkan. Rupanya, ada yang mengoda di balik rasa manis dari secangkir kopi ini. Ada
yang berbeda. Ada sekilas cinta yang melambai-lambai. Layaknya seekor burung betina yang
menghadang untuk ditangkap. Akan tetapi, bermanja terbang untuk dikejar. Api cinta menjala,
menjilat-jilat dengan sejuta kenestetika di sudut ruang kampus.
Menarik, bukan?

Mungkin bisa dikatakan aku adalah orang yang paling beruntung bisa kembali bertemu dengan
Helga. Aku pernah menyeratkan dalam sebuah lembar buku, tertuliskan sebuah pepatah; jika ada
pertemuan pertama maka akan ada pertemuan selanjutnya.
Ya, awalnya kemarin-kemarin, kukira pertemuan itu hanyalah suatu hal yang kebetulan saja.
Sebagaimana kebanyakkan kutemui orang-orang baru di setiap warung kopi dan angkringan
jalanan. Dimana hanya memperbincangkan pertandingan sepak bola, menonton balapan montor
rossi, bercanda tawa bersama, bertukar rasa merek rokok. Bahkan, banyak juga aku melihat
mereka yang acuh dengan lingkungannya. Dengan asyik memainkan handphone mereka. Remaja
khususnya, yang begitu tenggelam dalam dunia mereka masing-masing.

Sebagimana itu tidak mengkisahkan makna baru dalam sebuah skenario pelayaran baru di lautan
kehidupan.
Akan tetapi, warung kopi itu telah menjelma menjadi wadah baru, pertemuan humanis yang
berubah menjadi homantis. Membangun pondasi sekelumit kisah yang menggelora. Asmara.

Rahelga Rahayu Purnama, aku sama sekali tidak menyangka jika akan bertemu kambali
denganmu. Apalagi bisa bertemu di kampus ini. Benar yang dikatakan orang, bahwa sebuah
pertemuan dan perpisahan itu tak dapat diprediksi oleh logika sehat manusia. Aku cukup kaget.
Benar-benar tak terduga, perjalanan skenario kehidupan kali ini kembali mempertemukanku
dengannya.

Seperti yang baru aku ketahui, setiap harinya, dia sekarang sedang merajut kesuksesan di bangku
perkuliahan. Dia adalah mahasiswa. Di kampus STKIP PGRI Ponorogo, sebuah kampus yang
terletak di sudut kota Reog. Yakni, lembaga pendidikan tinggi yang berpredikat sebagai pencetak
guru profesional. Berorientsikan kampus penikmat dan pecinta seni literasi.

Seorang pejuang ialah dia yang sedang bertempur melawan kebodohan yang membinasakan.
Mengejar sejuta impian yang harus tetap diistiqomahkan. Terlahir dari keluarga yang berlabel
kemiskinan ialah bukan hambatan untuk meraih mimpi setinggi langit. Cita-citanya ingin menjadi
guru dan penulis, bagi dia sangat berharga.

Aku selalu menyakini, bahwa roda kehidupan dunia ini selalu berputar. Terkadang kita berada
diatas, dengan merasakan kebahagiaan. Dan, terkadang pula kita berada dibawah dengan
merasakan terpaan kesedihan yang menimbulkan air mata mengalir cukup deras. Kehidupan ini
begitu misteri.

Dia telah banyak meneguk garam kehidupan, luka telah bersemayam abadi di jiwanya yang sayu.
Wajar saja, luka yang membawa dia segigih ini. Skenario kehidupan menyikap hal yang tabu.
Lorong kegelapan menguakkan cahaya hidayah Allah swt. Sehingga sekarang ini, jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia telah dia dekap. Mungkin ini seperti mimpi di siang hari, gelar sarjana 2
tahun lagi akan disandang. Dengan mengali berbagai keindahan kesusastraan yang tersembunyi.

Aku mengamati langkahnya kian berwarna. Dia pun tidak percaya, jika sekarang dia berada di
tahap ini. Dia bercinta dengan pena. Mengeluti aksara, berkiprah di bidang kepenulisan. Menulis,
bagi dia adalah hal yang menyenangkan. Dimana dia dapat mencurahkan segala rasa pada lembar
kertas yang diam. Kertas yang tidak pernah bercakap pada angin perihal apa yang dia seratkan.
Aku mengerti, semua butuh proses yang panjang. Layaknya bunga yang mekar, harus menanti
musim untuk bisa berkembang. Berakar dari hidup di garis kemiskinan. Dimana skenario
kehidupan itu memaksanya untuk terlihat tegar di balik air matanya yang berlinang membasahi
pipi.

Disinilah aku percaya, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Usaha tidak pernah mengkhianati
hasil. Kerja keras yang beriringan dengan doa akan menelurkan dari kesuksesan yang nyata.

Dia juara dalam menyembunyikan kesedihan. Ini bukanlah karena beralasan dia malu terlahir dari
keluarga miskin. Akan tetapi, jiwanya tidak ingin terlihat lemah di hadapan orang untuk diberi
belas kasihan.

Akhirnya seperti yang tampak sore ini, dia duduk di halaman kampus memandang warna jingga di
cakrawala. Jemarinya merayu aksara menjadikan legenda. Matanya banglas memikat kesuksesan.
Dia terus berjuang, meredamkan api dengan setetes air mata keberhasilan. Di akhir mata saya
memandang, di lubuk hati ini menyimpan sekuntum doa yang selalu saya panjatkan, teruntuk dia,
Helga.

Cerpen Karangan: Sega Dwi Ayu Pradista

Anda mungkin juga menyukai