Anda di halaman 1dari 5

Nama: Lyona Keren Saragi

NIM: 2001112681
Dosen Pengampu: Dr. Yusnarida Eka Nizmi, S.IP., M.A
Mata Kuliah: Kajian Transnasional
Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka
mendatangkan investasi asing untuk membiayai pembangunan nasional adalah
penyederhanaan perizinan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang masuk ke Indonesia.
Prosedur perizinan tenaga kerja asing pada saat ini cenderung lebih mudah karena
dalam prakteknya diduga banyak terjadi pelanggaran perizinan. Negara kita telah
diserbu oleh banyaknya TKA yang tidak memenuhi kualifikasi – atau dapat dikatakan
sebagai unskilled worker. Oleh karena itu diperlukan perhatian lebih serta bantuan
dari pemerintah dan pihak-pihak terkait dari berbagai institusi untuk membatasi TKA
yang masuk ke Indonesia. Upaya lain yang dapat dilakukan secara internal adalah
memperkuat pendidikan sekolah kejuruan hingga ke jenjang pendidikan vokasi agar
banyak usia produktif di Indonesia yang terampil dalam bekerja.
Lalu siapa sebenarnya tenaga kerja asing itu? Mengapa sebuah negara
memerlukan tenaga kerja? Tenaga kerja asing adalah tiap orang bukan Warga Negara
Indonesia (WNI) yang mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat (Hakim, 2009). Tenaga kerja asing menurut Sumarprihatiningrum (2006)
adalah orang asing yang bukan WNI, karena kemampuan dan kualifikasi yang
dimilikinya sangat dibutuhkan untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan di dalam
negeri guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Sementara dalam Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 dicantumkan bahwa tenaga kerja asing adalah warga negara asing
pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
Sebuah negara membutuhkan tenaga kerja ini dikarenakan oleh peranan
penting tenaga kerja dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Mereka berperan
sebagai aktor dan acuan pembangunan. Salah satu upaya negara untuk mengerahkan
pembangunan nasional adalah dengan cara menarik investasi asing. Penarikan
investasi asing sejalan dengan komitmen Indonesia sebagai anggota dari MEA
(Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan WTO (World Trade Organization), yaitu untuk
memberi kebebasan masuknya TKA agar bisa bekerja di Indonesia. Masuknya TKA
ke Indonesia tentu harus disertai dengan suatu peraturan yang menyeluruh dan
komprehensif.
Pemerintah menetapkan beberapa kebijakan dalam rangka penerimaan TKA di
Indonesia. Pertama adalah perizinan. Ridwan HR (2010) bergagsan bahwa izin
merupakan sebuah instrumen yuridis yang digunakan pemerintah agar masyarakat
mau mengikuti cara yang dianjurkan guna mencapai tujuan konkret. Tujuan dari
dibuatnya perizinan adalah: (1) keinginan mengarahkan atau mengendalikan aktivitas-
aktivitas tertentu; (2) mencegah bahaya bagi lingkungan; (3) melindungi objek-objek
tertentu; (4) izin atas kehendak untuk membagi benda-benda yang sedikit; serta (5)
memberikan pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas.
Gagasan lain tentang perizinan yang diberikan oleh Bidara (2014) adalah dispensasi
atau pelayanan dari suatu larangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
perizinan merupakan sarana yang digunakan pemerintah untuk membebaskan warga
negara melakukan sesuatu guna mencapai tujuan.
Kedua, Indonesia memiliki regulasi yang mengatur perihal ketenagakerjaan,
yakni Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Dan untuk mengoperasionalkan undang-
undang tersebut, maka dibuatlah Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Tenaga Kerja,
serta Keputusan Menteri Tenaga Kerja. Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
disebutkan bahwa pemberi kerja yang hendak menggunakan tenaga kerja asing harus
memilki izin tertulis, Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), jenis
jabatan dan standar kompetensi TKA, penunjukan warga negara Indonesia sebagai
pendamping TKA, melakukan pemberian pendidikan dan pelatihan bagi Tenaga Kerja
Indonesia (TKI), serta kewajiban untuk memulangkan TKA ke negara asal ketika
hubungan kerjanya atau kontraknya sudah berakhir. RPTKA harus terlebih dahulu
disahkan oleh menteri sebagai bentuk persyaratan untuk mendapatkan izin kerja.
Regulasi tersebut ternyata juga diperkuat dengan eksistensi Peraturan Presiden No. 20
Tahun 2018 tentang penggunaan tenaga kerja asing. Disebutkan bahwa tenaga kerja
yang datang ke Indonesia untuk menduduki suatu jabatan tertentu harus dengan
keadaan memiliki keterampilan – dalam kata lain tidak dibolehkan datang tanpa
adanya keterampilan yang sesuai dengan jabatan tersedia. Namun ketika berbicara
secara realistis, ditemukan banyak pelanggaran dalam praktiknya.
Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 10 Tahun 2018, diindikasikan
bahwa pemberi kerja terhadap tenaga kerja asing adalah badan hukum atau badan-
badan lainnya dengan membayar upah dalam bentuk lain. Pemberi kerja tersebut
meliputi instansi pemerintah, kantor perwakilan dagang asing, perusahaan swasta
asing yang terdaftar di instansi berwenang, badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum Indonesia dalam bentuk PT atau yayasan, lembaga sosial, serta usaha jasa
impersariat.
Seorang TKA harus memiliki standar kompetensi dan kualifikasi pengetahuan,
keahlian, keterampilan di bidang tertentu, serta pemahaman terhadap budaya
Indonesia. Akan tetapi, dengan ketentuan standar kompetensi tersebut, TKA memiliki
batasan untuk menduduki jabatan tertentu. Kemudian dalam Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 16 Tahun 2015, TKA wajib memiliki pendidikan dan sertifikasi
kompetensi serta pengalaman kerja selama lima tahun sesuai dengan jabatan yang
akan diduduki. TKA juga wajib mengalihkan keahliannya kepada tenaga kerja lokal
sebagai pendamping dan dibuktikan dengan laporan pelaksana. Bagi TKA yang akan
bekerja lebih dari enam bulan harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
kartu jaminan sosial, dan bukti polis asuransi. Pemberi kerja pun wajib memiliki Izin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang berlaku bagi posisi anggota
direksi, dewan komisaris atau anggota pembina, anggota pengurus, serta anggota
pengawas yang berdomisili di luar negeri. Selain itu pemberi kerja juga harus dapat
menyerap tenaga kerja lokal sekurang-kurangnya 10 orang di tempat yang sama TKA
tersebut dipekerjakan. Namun segala persyaratan tersebut tidak berlaku bagi
pekerjaan yang bersifat darurat atau mendesak seperti penanggulangan bencana alam,
kerusakan mesin utama, serta huru-hara yang perlu segera ditangani untuk
menghindari kerugian fatal.
Maraknya kedatangan TKA di Indonesia sudah menjadi perdebatan di
kalangan pemerintahan maupun masyarakat selama beberapa waktu. Pemerintah
yakin bahwa dengan mempermudah masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia dapat
memperbaiki iklim investasi dalam negeri. Investasi asing yang ditarik ke Indonesia
adalah sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Di samping untuk
menarik investor, penerimaan tenaga kerja asing juga bertujuan untuk meningkatkan
alih teknologi (transfer of technology) dan alih keahlian (transfer of skill) kepada
tenaga kerja Indonesia. Selain itu penciptaan lapangan kerja juga perlu didorong oleh
peningkatan investasi. Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di APEC Economic
Leaders’ Meeting pernah menyatakan ketidaksanggupan Indonesia untuk memenuhi
kebutuhan akan investasi dikarenakan oleh anggaran negara yang terbatas. Akan
tetapi proses perizinan yang dipermudah tersebut menimbulkan dampak buruk yang
tentunya merugikan.
Kementrian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker) mencatat bahwa
sepanjang tahun 2016 ada 74.183 TKA yang masuk ke Indonesia – TKA asal Cina
menjadi yang terbesar, dikuti oleh 12.490 TKA Jepang dan 8.424 TKA Republik
Korea. Sejak tahun 2011 jumlah TKA yang masuk ke Indonesia relatif meningkat.
Fenomena ini tidak terlepas dari banyaknya kasus pelanggaran yang dilakukan oleh
TKA. Contoh pelanggaran tersebut biasanya berupa ketidaklengkapan dokumen,
overstay, dan penyalahgunaan jabatan. Tindakan Administratif Keimigrasian (TAK)
yang diberikan bisa seperti pembayaran denda, deportasi, dan ancaman penjara
selama maksimal lima tahun.
Kantor Imigrasi Bandung mencatat ada 178 warga negara Cina yang bekerja
di sektor industri – kebanyakan dari mereka sayangnya tidak patuh kepada aturan
imigrasi. Namun pemerintah dianggap sengaja membiarkan kondisi tersebut. Hal ini
semakin meresahkan masyarakat lokal dikarenakan oleh berbagai alasan. Adapun
beberapa faktor yang menyebabkan maraknya TKA dari Cina masuk ke Indonesia.
Faktor pertama adalah keterbukaan investasi Indonesia dalam rangka percepatan
pembangunan bangsa. Faktor kedua adalah kebijakan bebas visa yang kemudian
sangat berdampak terhadap peningkatan pelanggaran keimigrasian. Terakhir adalah
pemberlakuan MEA yang menyebabkan terbukanya sekat antar negara (borderless).
Stastik TKA asal Cina yang mendominasi memberikan anggapan bahwa
Indonesia sudah menjadi ‘surga’ bagi warga negara panda tersebut. Keresahan
masyarakat lokal yang dipengaruhi oleh ketakutan akan perebutan lapangan pekerjaan
yang semestinya bisa menjadi hak bagi WNI. Akan tetapi meningkatnya investasi
pasti selaras dengan datangnya pekerja asing. Itu merupakan konsekuensi yang harus
dihadapi. Jadi sekalipun Indonesia terbuka dalam hal penggunaan TKA, pemerintah
seharusnya tetap berupaya melindungi pekerja lokal.
Banyak sekali kendala yang ditemui dalam penanggulangan isu-isu tenaga
kerja asing. Ambisi Presiden Joko Widodo dalam pembangunan negara ternyata
bertemu dengan kepentingan Cina yang sedang aktif berinvestasi ke berbagai negara.
Dalam konteks ini, Cina sudah mengeluarkan banyak dana untuk membantu
pembangunan infrastruktur Indonesia. Oleh karena itu, Cina diduga menuntut
pelonggaran kebijakan ketenagakerjaan asing. Ditilik dari segi sejarah, hubungan
Inodnesia-Cina ternyata memiliki lika-liku yang cukup rumit. Diketahui bahwa dulu
Indonesia pernah membekukan relasi dengan Cina selama 22 tahun. Kemudian pada
23 Februari 1989, Menteri Luar Negeri Cina mengusulkan sebuah pertemuan di mana
pihak-pihak terkait bisa mendiskusikan tentang normalisasi hubungan Indonesia-Cina.
Hubungan antara Indonesia dan Cina di bawah pemerintahan Soekarno
terbilang baik, terutama ketiga kedua belah negara mencoba untuk mengadakan
Conference of New Emerging Forces (CONEFO) di Jakarta. Akan tetapi muncul
berbagai kekhawatiran dan ketidakyakinan dari pihak militer negara. Hal ini
disebabkan oleh peristiwa G30SPKI – di mana enam jenderal diculik dan dibunuh.
Kudeta tersebut mengakibatkan likuidasi PKI, lengsernya pemerintahan Soekarno,
dan kemenangan militer Indonesia. Kudeta tersebut juga mengubah arah dari
kebijakan politik luar negeri Indonesia. Banyak pihak yang percaya bahwa Cina
mengambil peran dalam kejadian G30SPKI tersebut. Diduga Cina mendukung dan
memasok senjata kepada PKI tanpa sepengetahuan otoritas militer Indonesia. Sebagai
tambahan, pejabat Cina di Beijing juga mengetahui tentang kudeta tersebut enam jam
setelah terjadi.
Dugaan itu dibantah oleh CIA karena dianggap tidak memiliki bukti yang
cukup kuat. Cina mulai menyebut Indonesia dengan sebutan ‘reaksioner’ dan ‘fasis’.
Hingga sampai di titik di mana Jakarta menangguhkan hubungan diplomatik dan
perdagangan langsung dengan Cina. Pada pemerintahan Soeharto – di waktu yang
sama Cina diterima sebagai anggota PBB, perwakilan pemerintah Cina mulai
berhubungan kembali dengan mitranya di Indonesia. Mereka menyatakan ingin
kembali ‘berteman’ dengan tanah air, akan tetapi Jakarta sama sekali tidak responsif.
Indonesia tetap percaya bahwa Cina terlibat dalam aksi pembunuhan dan penculikan
enam jenderal pada tanggal 30 September serta secara diam-diam masih mendukung
gerakan PKI. Alasan dari keinginan Cina untuk dapat memulihkan hubungan adalah
untuk mendapatkan support dari negara-negara ASEAN.
Ada sisi pro dan kontra yang ditimbulkan oleh keinginan Cina tersebut. Para
pebisnis Indonesia beranggapan bahwa dengan normalisais hubungan, kegiatan
ekonomi terutama ekspor ke Cina akan menstimulasi bisnis Indonesia. Kementrian
Luar Negeri pun merasa bahwa normalisasi akan memproyeksikan citra Indonesia di
luar negeri sebagai bangsa yang tidak berpihak, sekaligus mempermudah pembicaraan
langsung dengan Cina terkait sejumlah masalah internasional. Namun sayangnya
pihak pro-normalisasi kalah oleh kontra-normalisasi yang jauh lebih kuat. Kemiliteran
sangat memperhatikan keamanan dalam negeri. Mereka menganggap Cina adalah
resiko keamanan utama. Cina juga nantinya bisa memanfaatkan imigran mereka untuk
mempromosikan kepentingan sendiri. Beberapa kelompok Islam yang sudah jelas
merupakan antikomunis juga khawatir jika Cina kembali mendukung gerakan sayap
kiri di Indonesia jika normalisasi dilakukan. Selain itu pemberian kewarganegaraan
kepada warga negara Cina sebagai salah satu bentuk normalisasi akan memperkuat
cengkraman ekonomi minoritas di Indonesia. Ini dianggap merugikan kelompok
usahawan pribumi.
Karena Soeharto beranggapan bahwa Cina sebenarnya masih mendukung PKI,
ia ingin normalisasi diadakan jika Cina sudah memutuskan hubungan dengan pihak-
pihak komunis. Akan tetapi hubungan kedua belah negara mulai membaik secara
perlahan di awal tahun 1980-an – ketika terjadi penurunan harga minyak yang
notabenenya merupakan 60% dari pendapatan negara. Soeharto bergerak untuk
memperluas pasar ekspor, terutama non-migas, untuk memasuki pasar negara-negara
sosialis; termasuk Cina.
Akhirnya pada 23 Februari, saat kunjungan Soeharto ke Tokyo dalam rangka
menghadiri pemakaman Kaisar Jepang Hirohito, Indonesia secara tiba-tiba
mengumumkan bahwa Jakarta dan Beijing akan menormalisasikan hubungan
diplomatik. Hal ini diduga didorong oleh keinginan Soeharto untuk memainkan peran
besar dalam politik dunia. Tidak ada pernyataan publik dari Cina yang mengakui
keterlibatan mereka dalam kudeta 30 September 1965, maupun tentang pemutusan
hubungan dengan PKI. Akan tetapi Cina telah mengkonfirmasi bahwa mereka tidak
akan mendukung partai komunis Indonesia dan bahwa hubungan Indonesia-Cina akan
didasarkan pada prinsip saling menghormati kedaulatan satu sama lain. Reaksi
internasional terhadap keputusan ini sangat baik karena hubungan kedua negara
dianggap akan memberikan kontribusi pada perdamaian dan kemakmuran.
Normalisasi tersebut tentunya tidak lepas dari protes beberapa pihak di
Indonesia yang beranggapan bahwa keputusan harusnya didukung penuh oleh warga
negara dan membutuhkan waktu yang cukup untuk pertimbangan. Tidak ada jaminan
kalau Cina sudah benar-benar ‘berubah’. Indonesia harus lebih berhati-hati dan
memperhatikan keamanan nasional. Selain itu, normalisasi pastinya juga berdampak
pada perekonomian Indonesia. Normalisasi memberikan peluang bagi pengusaha Cina
untuk memperluas pasarnya pada lokasi-lokasi strategis. Cina bahkan berhasil
menjadi salah satu negara asal investasi terbesar di Indonesia pada tahun 2015.
Mempertahankan kerjasama yang telah terjalin antara Indonesia dan Cina
bertujuan untuk mencapai kerjasama ideal dalam bidang keamanan politik, ekonomi,
hingga sosial budaya. Namun demikian, disetujuinya Turnkey Project – di mana
seluruh mega proyek Cina di Indonesia, baik material dan SDM-nya didatangkan dari
Cina, menyebabkan peningkatan TKA yang ilegal dan tidak sesuai keahlian.
Peningkatan tersebut memicu munculnya perubahan dalam Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan tentang penghapusan persyaratan wajib berbahasa Indonesia pagi
para TKA. Penghapusan pasal tersebut dikhawatirkan dapat menghilangkan
kesempatan terjadinya alih pengetahuan dan alih teknologi dari TKA ke pekerja lokal.
Kemudian ada juga penghapusan dan perubahan mengenai RPTKA untuk pekerja
asing yang bersifat sementara. Perubahan lainnya ada di Pasal 40 ayat (2) Pemenaker
No. 16 Tahun 2015 tentang penghapusan ketentuan DKP-TKA yang dibayarkan haris
dikonversi ke Rupiah. Perubahan tersebut bertolakbelakang dengan Undang-Undang
No. 7 Tahun 2011, di mana diatur bahwa mata uang Rupiah wajib digunakan dalam
setiap transaksi yang memiliki tujuan pembayaran dan penyelesaian kewajiban yang
harus dipenuhi dengan uang.
Jadi, apakah Indonesia sudah menjadi subsistem dari kepentingan Cina?
Investor Cina memiliki minat yang kuat untuk melakukan investasi karena mereka
melihat Indonesia sebagai pasar. Hal ini berbeda dengan investasi Cina di negara lain
yang didasari oleh pencarian sumber daya. Bantuan dan investasi merupakan alat dari
kebijakan Cina untuk menjadikan negara mereka sebagai kekuatan dunia.
Hingga kini Indonesia nyatanya belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan
pasar nasional sehingga diperlukanlah bantuan TKA dengan keahlian untuk mengisi
jabatan tertentu dalam bidang tertentu, di waktu tertentu pula. Kebutuhan yang
kontras dengan keadaan, perubahan-perubahan tadi dirasa sangat kontroversial dan
menimbulkan berbagai penolakan dari masyarakat terkait maraknya TKA ilegal asal
Cina. Penghapusan wajib berbahasa Indonesia, contohnya, mendapat keluhan. Aturan
berbahasa Indonesia dianggap menghambat urusan investasi. Padahal aturan itu
ditetapkan sebagai salah satu upaya untuk menjaga bangsa Indonesia dari ancaman
eksternal. Peraturan tersebut juga merupakan kontrol pemerintah atas TKA yang
masuk ke Indonesia, diharapkan agar mereka dapat menghargai budaya Indonesia.
Tidak ada penelitian yang membuktikan bahwa penggunaan bahasa Indonesia akan
menghambat arus investasi. Penghapusan aturan tersebut justru dianggap
merendahkan budaya dan bahasa negara sendiri.
Isu lain yang menimbulkan perdebatan adalah penghapusan persyaratan rasio
resapan tenaga kerja lokal untuk setiap penggunaan TKA. Ini menimbulkan
kekhawatiran akan hilangnya kesempatan kerja maupun alih keahlian kepada tenaga
kerja lokal. Pemerintah harusnya lebih memprioritaskan pekerja lokal dengan
kualifikasi yang sama. Penghapusan rasio ini pada akhirnya dianggap telah
mempermudah investor asing untuk mendirikan perusahaan atau menjalankan proyek
di Indonesia agar bisa lebih banyak mempekerjakan TKA.
Dengan demikian, tujuan pemerintah Indonesia untuk menarik investor asing
dalam rangka mempercepat pembangunan nasional sebenarnya sudah bagus. Akan
tetapi perlu diingat bahwa peningkatan jumlah investor berbanding lurus dengan
peningkatan jumlah tenaga kerja asing yang masuk ke dalam negeri. Oleh karena itu,
dibutuhkan perhatian lebih terkait isu penanganan ketenagakerjaan. Selain itu
penetapan regulasi disertai sanksi yang tegas perlu dilakukan untuk menghindari tidak
tercapainya kepentingan nasional.

Anda mungkin juga menyukai