Anda di halaman 1dari 20

Standar

5.1. Program manajemen risiko berkelanjutan digunakan untuk


melakukan identifikasi, analisa dan penatalaksanaan risiko
untuk mengurangi cedera, dan mengurangi risiko lain terhadap
keselamatan pasien, staf dan sasaran pelayanan UKM serta
masyarakat.
Upaya manajemen risiko dilaksanakan melalui sebuah kerangka kerja
manajemen risiko yang dilaksanakan dalam Proses manajemen risiko
yang mencakup : identifikasi, analisa, penatalaksaan risiko dan
monitor perbaikannya. (lihat juga KMP : 1.4; PMP : 5.1)

Kriteria
5.2.1 Risiko dalam penyelenggaraan berbagai upaya Puskesmas terhadap
pasien, keluarga, masyarakat, petugas, dan lingkungan diidentifikasi,
dianalisis dan di lakukan penatalaksanaannya
Pokok Pikiran:
 Pelaksanaan setiap kegiatan Puskesmas dapat menimbulkan risiko.
Risiko terhadap pasien, keluarga, masyarakat, petugas, dan
lingkungan perlu dikelola oleh penanggung jawab dan pelaksana
untuk mengupayakan langkah-langkah pencegahan dan/ atau
minimalisasi risiko dan tidak memberi akibat negatif atau merugikan
tersebut
 Manajemen risiko merupakan pendekatan proaktif yang komponen-
komponen pentingnya meliputi:
a. identifikasi risiko,
b. prioritas risiko,
c. pelaporan risiko,
d. manajemen risiko
e. invesigasi terhadap insiden yang terjadi baik pada pasien,
petugas keluarga dan pengunjung
f. manajemen terkait tuntutan (klaim)
 Identifikasi Risiko terhadap kejadian /Insiden yang sudah terjadi
didokumentasikan dalam Register Risiko. Sedangkan risiko yang
belum terjadi dan berpotensi menimbulkan kejadian/ insiden
didokumentasikan pada Identifikasi Proses Berisiko Tinggi
 Kategori risiko di Puskesmas adalah Risiko yang berhubungan dengan
KMP, UKPP, dan UKM.
 Register Risiko dan Identifikasi Proses Berisiko Tinggi harus
dibuat sebagai dasar penyusunan Program Manajemen risiko untuk
membantu petugas Puskesmas mengenal dan mewaspadai
kemungkinan risiko dan akibatnya terhadap sasaran program,
pasien, keluarga, masyarakat, petugas, lingkungan, dan fasilitas
pelayanan kesehatan.

Elemen Penilaian:
1. Ditetapkan kebijakan dan prosedur penerapan manajemen risiko. (R)
2. Dilakukan identifikasi dan analisis risiko yang sudah terjadi dalam
area KMP, UKM, dan UKPP yang dituangkan dalam register risiko.
3. Dilakukan identifikasi dan analisis potensi risiko yang belum terjadi
dalam area KMP, UKM, dan UKPP yang dituangkan dalam Identifikasi
Proses Berisiko Tinggi (D,W)

Kriteria
5.2.2 Risiko dalam penyelenggaraan berbagai upaya Puskesmas terhadap
pasien, keluarga, masyarakat, petugas, dan lingkungan yang telah
diidentifikasi dianalisis dan ditindak lanjuti.
Pokok Pikiran:
 Program Manajemen Risiko (MR) yang berisi strategi dan kegiatan
untuk mereduksi atau memitigasi risiko, disusun setiap tahun,
terintegrasi dalam perencanaan puskesmas, berdasarkan identifikasi
dan analisis risiko baik yang sudah berakibat terjadinya kejadian/
insiden maupun yang berpotensi menyebabkan terjadinya kejadian/
insiden.
 Strategi reduksi dan mitigasi dapat berupa kontrol risiko (Risk control)
dan pembiayaan risiko (Risk Financing)
Kontrol risiko terdiri dari : Menghindari risiko (risk avoidance),
Mencegah kerugian (Loss Prevention - Frequency), Mereduksi kerugian
/ dampak (Loss Reduction – Severity), Segregasi dan Transfer
Kontraktual yang bukan Asuransi (Contractual non Insurance)
misalnya dengan konsinyasi. Pembiayaan risiko (Risk Financing)
adalah memindahkan risiko kepada pihak lain melalui pembiayaan,
misalnya : asuransi kebakaran.
 Pelaksanaan program manajemen risiko yang terdiri dari proses
manajemen risiko berupa identifikasi, analisa, penatalaksanaaan
risiko dan monitor perbaikannya untuk menentukan Strategi reduksi
dan mitigasi risiko.
 Satu alat/metode analisa proaktif terhadap proses kritis dan berisiko
tinggi adalah failure mode effect analysis (analisis efek modus
kegagalan). Dipilih minimal satu proses prioritas yang berisiko untuk
dilakukan analisis efek modus kegagalan setiap tahun.
 Untuk menggunakan metode / alat ini atau alat-alat lainnya yang
serupa secara efektif, Kepala Puskesmas harus mengetahui dan
mempelajari pendekatan tersebut, menyepakati daftar proses yang
berisiko tinggi dari segi keselamatan pasien dan staf, dan kemudian
menerapkan alat tersebut pada proses prioritas risiko. Setelah
analisis hasil, pimpinan Puskesmas mengambil tindakan untuk
mendesain ulang proses-proses yang ada atau mengambil tindakan
serupa untuk mengurangi risiko dalam proses-proses yang ada.
 Proses pengurangan risiko ini dilaksanakan minimal sekali dalam
setahun dan didokumentasikan pelaksanaannya.

Elemen Penilaian:
1. Program manajemen risiko disusun berdasar analisis kejadian yang
sudah terjadi dan hasil identifikasi proses berisiko tinggi dan menjadi
bagian terintegrasi dalam perencanaan Puskesmas (D, W)
2. Dilakukan penatalaksanaan risiko berupa strategi reduksi dan
mitigasi risiko dan monitor perbaikannya terkait kesehatan dan
keselamatan kerja, sarana prasarana, dan infeksi (D,W)
3. Dilakukan pelaporan hasil program manajemen risiko, dan rencana
tindak lanjut risiko yang telah diidentifikasi. (D, W)
4. Ada bukti Puskesmas telah melakukan failure mode effect analysis
(analisis efek modus kegagalan) setahun sekali pada proses berisiko
tinggi yang diprioritaskan (D,W) Puskesmas telah melaksanakan
tindak lanjut hasil analisis modus dampak kegagalan (FMEA) (D, W)
Standar

5.2. Sasaran Keselamatan Pasien diterapkan dalam Upaya


Keselamatan Pasien
Puskesmas mengembangkan dan menerapkan sasaran keselamatan
pasien sebagai suatu upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan.
(lihat juga KMP : 1.1.3; UKPP 3.1.1., dan PMP : 5.2.1)

Kriteria
5.3.1 Proses Identifikasi pasien dilakukan dengan benar.

Pokok Pikiran:
 Salah identifikasi pasien dapat terjadi di Puskesmas baik pada proses
pelayanan pasien sebagai akibat dari kondisi kesadaran pasien,
perpindahan ruang rawat, dan kondisi lain yang menyebabkan
terjadinya salah identitas.
 Kebijakan dan prosedur identifikasi pasien perlu disusun termasuk
identifikasi pasien pada kondisi tertentu.
 Pada kondisi tertentu, misalnya pasien tidak mempunyai identitas,
atau mempunyai nama sama, pasien dengan penurunan kesadaran,
tidak dapat menyebutkan nama, dan tidak memiliki kartu identitas,
dilakukan cara identifikasi yang tepat supaya tidak terjadi salah
pasien.
 Identifikasi harus dilakukan minimal dengan dua cara yang relatif
tidak berubah, antara lain: nama lengkap tanggal lahir,atau nomor
rekam medis, dan tidak boleh menggunakan nomor kamar pasien
atau lokasi pasien dirawat.
 Identifikasi dilakukan setiap akan melakukan prosedur diagnostik,
tindakan, pemberian obat, dan pemberian diit.

Elemen Penilaian:
1. Ditetapkan kebijakan dan prosedur identifikasi pasien. (R)
2. Dilakukan identifikasi pasien sebelum dilakukan prosedur
diagnostik, tindakan, pemberian obat, dan pemberian diit, sesuai
dengan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan. (D,O,W)
3. Dilakukan prosedur tepat identifikasi pada kondisi khusus seperti
disebutkan pada pokok pikiran (D,O,W)

Kriteria
5.3.2 Proses untuk meningkatkan efektifitas komunikasi dalam pemberian
asuhan ditetapkan dan dilaksanakan

Pokok Pikiran:
 Kesalahan pembuatan keputusan klinis, tindakan, dan pengobatan
dapat terjadi akibat komunikasi yang tidak efektif dalam proses
asuhan pasien
 Komunikasi yang tidak efektif antara lain : 1) terjadi pada saat
pemberian perintah secara verbal, 2) pemberian perintah verbal
melalui telpon, 3) penyampaian hasil kritis pemeriksaan penunjang
diagnosis, 4) serah terima antar shift, dan 5) pemindahan pasien dari
unit yang satu ke unit yang lain.
 Kebijakan dan prosedur komunikasi efektif perlu disusun dan
diterapkan dalam penyampaian pesan verbal, pesan verbal lewat
telpon, penyampaian nilai kritis hasil pemeriksaan penunjang
diagnosis, serah terima pasien pada serah terima jaga maupun serah
terima dari unit yang satu ke unit yang lain, misalnya untuk
pemeriksaan penunjang, dan pemindahan pasien ke unit lain. (Lihat
juga UKM : 3.7.3 tentang kebijakan dan prosedur penetapan nilai
kritis laboratorium)
 Pelaporan kondisi pasien dalam komunikasi verbal atau lewal telpon
antara lain dapat dilakukan dengan menggunakan tehnik SBAR
(Situation, Background, Asessment, Recommendation)
 Pelaksanaan komunikasi efektif verbal atau lewat telpon ditulis
lengkap, dibaca ulang oleh penerima pesan, dan dikonfirmasi kepada
pemberi pesan.
 Nilai kritis hasil pemeriksaan penunjang yang berada di luar rentang
angka normal secara mencolok yang menunjukkan keadaan berisiko
tinggi atau mengancam jiwa harus ditetapkan dan segera dilaporkan
oleh tenaga kesehatan yang bertanggung jawab dalam pelayanan
penunjang kepada dokter penanggung jawab pasien sesuai dengan
ketentuan waktu yang ditetapkan oleh Puskesmas, termasuk
pemeriksaan yang dilakukan oleh perawat atau bidan langsung di
tempat perawatan pasien (point of care testing), misalnya
pemeriksaan gula darah sewaktu yang dilakukan oleh perawat di
tempat perawatan pasien.
 Pelaksanaan serah terima pasien dilakukan dengan tehnik SBAR,
memperhatikan kesempatan untuk bertanya dan memberi penjelasan
(readback, repeat back), menggunakan formulir yang baku, dan berisi
informasi kritikal yang harus disampaikan antara lain: tentang
status/kondisi pasien, pengobatan, rencana asuhan, tindak lanjut
yang harus dilakukan, adanya perubahan status/kondisi pasien
yang signifikan, dan keterbatasan maupun risiko yang mungkin
dialami oleh pasien.
 Untuk meningkatkan kompetensi dalam melakukan komunikasi
efektif maka perlu dilakukan edukasi kepada karyawan. Edukasi
dapat dilakukan dalam bentuk pelatihan, lokakrya, on the job
training atau bentuk lain yang dianggap efektif tratsfer skill dan
pengetahun terhadap peningkatan kompetensi karyawan dalam
melakukan komunikasi efektif

Elemen Penilaian:
1. Ditetapkan kebijakan dan prosedur komunikasi efektif dalam
pemberian asuhan (R)
2. Dilakukan edukasi komunikasi efektif kepada tenaga kesehatan
pemberi asuhan seperti disebutkan dalam pokok pikiran (D,W)
3. Pesan secara verbal atau lewat telpon ditulis lengkap, dibaca ulang
oleh penerima pesan, dan dikonfirmasi kepada pemberi pesan
(D,O,W,S)
4. Penyampaian nilai kritis hasil pemeriksaan laboratorium ditulis
lengkap, dibaca ulang oleh penerima pesan, dan dikonfirmasi oleh
pemberi pesan dilakukan sesuai prosedur, dan dicatat dalam rekam
medis (D,O,W,S)
5. Diidentifikasi siapa dan kepada siapa nilai kritis hasil pemeriksaan
laboratorium dilaporkan dan informasi apa yang didokumentasikan
dalam rekam medis.(D, O, W, S)
6. Proses komunikasi serah terima pasien yang memuat hal-hal kritial
dilakukan secara konsisten sesuai dengan prosedur, metoda, dan
menggunakan form yang dibakukan (D,O,W,S)

Kriteria
5.3.3. Proses untuk meningkatkan keamanan terhadap obat-obat yang
perlu diwaspadai ditetapkan dan dilaksanakan

Pokok Pikiran:
 Pemberian obat pada pasien perlu dikelola dengan baik dalam upaya
keselamatan pasien. Kesalahan penggunaan obat-obat yang perlu
diwaspadai dapat menimbulkan cedera pada pasien.
 Obat yang perlu diwaspadai (high alert) adalah obat-obat yang dalam
penggunaannya sering menyebabkan kesalahan dan / atau kejadian
sentinel, berisiko tinggi untuk penyalahgunaan, antara lain: obat-
obatan dengan rentang terapi yang sempit, insulin, antikoagulan,
kemoterapi, obat-obatan psikoterapi, narkotika, dan obat-obatan
dengan nama dan rupa mirip
 Kesalahan pemberian obat dapat juga terjadi akibat adanya obat
dengan nama dan rupa obat mirip (look alike sound alike)
 Perlu ditetapkan dan dilaksanakan kebijakan dan prosedur
pengelolaan obat yang perlu diwaspadai dan obat dengan nama dan
rupa mirip, meliputi: penyimpanan, penataan, peresepan, pelabelan,
penyiapan, penggunaan, evaluasi penggunaan obat-obat yang perlu
diwaspadai termasuk obat psikotropika, narkotika, dan obat dengan
nama atau rupa mirip

Elemen Penilaian:
1. Ditetapkan kebijakan dan prosedur tentang penulisan resep obat dan
pengelolaan obat yang perlu diwaspadai dan obat dengan nama atau
rupa mirip seperti disebutkan pada pokok pikiran. (R)
2. Disusun daftar obat yang perlu diwaspadai dan obat dengan nama
atau rupa mirip (D)
3. Dilakukan pelabelan obat yang perlu diwaspadai dan obat dengan
nama atau rupa mirip sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang
disusun (D,O,W)
4. Dilakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan obat-obatan
psikotropika/narkotika dan obat-obatan lain yang perlu diwaspadai
(high alert). (D, W)

Kriteria
5.3.4. Proses untuk memastikan tepat pasien, tepat prosedur, tepat sisi
pada pasien yang menjalani operasi/tindakan medis ditetapkan dan
dilaksanakan.

Pokok Pikiran:
 Terjadinya cedera dan kejadian tidak diharapkan dapat diakibatkan
oleh salah pasien, salah prosedur, salah sisi pada pemberian
tindakan invasif atau bedah minor pada pasien.
 Puskesmas harus menetapkan tindakan invasif dan prosedurnya,
yang meliputi semua tindakan yang meliputi sayatan / insisi atau
tusukan, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, pencabutan gigi,
biopsi, dan artrosentesis, dan mengidentifikasi area di mana prosedur
invasif dilakukan.
 Puskesmas harus mengembangkan suatu sistim untuk memastikan
pasien yang benar, prosedur yang benar, dan sisi yang benar yang
dilakukan tindakan dengan menerapkan Protokol Umum (Universal
Protocol), yang meliputi:
a) Proses verifikasi sebelum dilakukan tindakan;
b) Penandaan sisi yang akan dilakukan tindakan / prosedur; dan
c) Time out yang dilakukan segera sebelum dimulainya prosedur.
 Proses verifikasi sebelum dilakukan tindakan bertujuan untuk
verifikasi benar pasien, benar prosedur, benar sisi, memastikan
semua dokumen, persetujuan tindakan medis, rekam medis, hasil
pemeriksaan penunjang tersedia dan diberi label, memastikan obat-
obatan, cairan intravena, jika ada ada produk darah yang diperlukan,
peralatan medis atau implant tersedia dan siap digunakan.
 Penandaan sisi yang akan dilakukan tindakan / prosedur melibatkan
pasien jika memungkinkan dan dilakukan dengan tanda yang
langsung dapat dikenali dan tidak membingungkan. Tanda harus
dilakukan secara seragam dan konsisten. Penandaan dilakukan pada
semua organ yang mempunyai lateralitas (kanan lawan kiri, seperti
salah satu dari dua anggota badan, satu dari sepasang organ),
beberapa struktur (seperti jari, jari kaki, lesi), atau beberapa tingkat
(tulang belakang). Untuk tindakan di poli gigi, seperti pencabutan
gigi, penandaannya bila perlu, menggunakan hasil rontgen gigi atau
odontogram. Penandaaan harus dilakukan oleh operator/orang yang
akan melakukan tindakan yang akan melakukan seluruh prosedur
dan tetap bersama pasien selama prosedur berlangsung
 Penandaan sisi dapat dilakukan kapan saja sebelum prosedur
dimulai selama pasien terlibat secara aktif dalam penandaan sisi dan
tanda. Adakalanya pasien tidak memungkinkan untuk berpartisipasi,
misalnya: pasien anak-anak, atau ketika pasien tidak kompeten
membuat keputusan tentang perawatan kesehatan.

Elemen Penilaian:
1. Ditetapkan kebijakan dan prosedur verifikasi sebelum
operasi/tindakan medis dilakukan dan penandaan sisi
operasi/tindakan medis sesuai dengan yang diminta dalam pokok
pikiran. (R)
2. Dilakukan penandaan sisi operasi/ tindakan medis secara konsisten
oleh pemberi pelayanan yang akan melakukan tindakan sesuai
kebijakan dan prosedur yang ditetapkan. (O,W)
3. Dilakukan time-out sebelum operasi/ tindakan medis, untuk
memastikan benar identifikasi pasien, benar prosedur, benar sisi,
persetujuan tindakan medis, dan konfirmasi bahwa proses verifikasi
sudah lengkap dilakukan dengan mencatat waktunya. (D,O,W)

Kriteria
5.3.5. Kebersihan tangan diterapkan untuk menurunkan risiko infeksi yang
didapat di fasilitas kesehatan.
Pokok Pikiran:
 Puskesmas harus menerapkan kebersihan tangan yang terbukti
menurunkan risiko infeksi yang terjadi pada fasilitas kesehatan.
 Prosedur kebersihan tangan perlu disusun dan disosialisasikan,
serta ditempel pada tempat yang mudah dibaca. Tenaga medis,
tenaga kesehatan, dan karyawan Puskesmas perlu diedukasi tentang
kebersihan tangan. Sosialisasi kebersihan tangan perlu juga
dilakukan untuk pasien, dan keluarga pasien.
 Kebersihan tangan merupakan kunci efektif pencegahan dan
pengendalian infeksi sehingga Puskesmas harus menetapkan
kebijakan dan prosedur mengenai kebersihan tangan. (lihat juga PMP
: 5.5.3 )
 Setiap karyawan Puskesmas harus memahami 6 (enam) langkah dan
5 (lima) kesempatan melakukan kebersihan tangan dengan benar.
 Puskesmas wajib menyediakan perlengkapan dan peralatan untuk
melakukan kebersihan tangan antara lain:
(1) fasilitas cuci tangan meliputi air mengalir, sabun, tisu pengering
tangan/handuk sekali pakai; dan/atau
(2) hand rubs berbasis alcohol yang ketersediaannya harus terjamin
di Puskesmas

Elemen Penilaian:
1. Ditetapkan kebijakan dan prosedur kebersihan tangan (R)
2. Kebersihan tangan dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang
disusun. (D,O,W)

Kriteria
5.3.6. Proses untuk mengurangi risiko pasien jatuh disusun dan
dilaksanakan

Pokok Pikiran:
 Cedera pada pasien dapat terjadi karena jatuh di fasilitas kesehatan.
Risiko jatuh pada pasien termasuk adanya riwayat jatuh,
penggunaan obat, minum minuman beralkohol, gangguan
keseimbangan, gangguan visus, gangguan mental, dan sebab yang
lain.
 Kebijakan dan prosedur penapisan (screening) risiko jatuh harus
ditetapkan. Penapisan secara umum dapat dilakukan dengan
Pertanyaan sederhana dengan jawaban ya/tidak atau observasi
dengan skor yang diberikan berdasarkan respons pasien, misalnya
apakah pasien pernah jatuh dalam kurun waktu 6 (enam) bulan
terakhir, apakah pasien mengalami vertigo, apakah pasien
mengkonsumsi obat yang mengganggu keseimbangan, apakah pasien
perlu bantuan ketika berdiri/berjalan.
 Penapisan dilakukan sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang
disusun untuk meminimalkan terjadinya risiko jatuh pasien rawat
jalan di Puskesmas.
 Penapisan risiko jatuh dilakukan pada pasien di rawat jalan dengan
mempertimbangkan :
1) kondisi pasien, contoh : pasien geriatri, dizziness, vertigo,
gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, penggunaan
obat, sedasi, status kesadaran dan atau kejiwaan, konsumsi
alkohol
2) diagnosis, contoh pasien dengan diagnosis penyakit Parkinson
3) situasi : Pasien yang mendapatkan sedasi atau pasien dengan
riwayat tirah baring lama yang akan dipindahkan untuk
pemeriksaan penunjang dari ambulans, perubahan posisi akan
meningkatkan risiko jatuh
4) lokasi : hasil identifikasi area-area di Puskesmas yang berisiko
terjadi pasien jatuh, antara lain lokasi yang dengan kendala
penerangan atau mempunyai barrier/penghalang yang lain,
misalnya tempat pelayanan fisioterapi, tangga.
 Puskesmas harus melakukan penapisan kemungkinan terjadinya
risiko jatuh pada pasien. Kriteria untuk melakukan penapisan
kemungkinan terjadinya risiko jatuh harus ditetapkan baik untuk
pasien rawat inap maupun rawat jalan, dan dilakukan upaya untuk
mencegah atau meminimalkan kejadian jatuh di fasilitas kesehatan.
Contoh alat untuk melakukan penapisana pada pasien rawat inap
adalah skala Morse untuk pasien dewasa, dan skala Humpty Dumpty
untuk pasien anak, sedangkan untuk pasien rawat jalan dengan
menggunakan get up and go test , atau dengan menanyakan tiga
pertanyaan:
a. apakah dalam enam bulan terakhir pernah jatuh
b. apakah menggunakan obat yang mengganggu keseimbangan
c. apakah jika berdiri dan/atau berjalan membutuhkan bantuan
orang lain. Jika satu dari pertanyaan tersebut mendapat
jawaban ya, maka pasien tersebut dikategorikan berisiko jatuh
Elemen Penilaian:
1. Ditetapkan kebijakan dan prosedur penapisan pasien dengan risiko
jatuh berdasarkan kondisi, diagnosis, situasi dan lokasi (R)
2. Dilakukan penapisan pasien dengan risiko jatuh sesuai dengan
kebijakan dan prosedur (D,O,W)
3. Dilakukan upaya mengurangi risiko jatuh pada pasien dari hasil
penapisan yang dapat mengakibatkan pasien jatuh (O,W,S)
4. Dilakukan evaluasi dan tindak lanjut untuk mengurangi risiko
terhadap situasi dan lokasi yang diidentifikasi berisiko terjadi pasien
jatuh (D, O, W).

Standar
5.3. Puskesmas menetapkan sistem pelaporan insiden keselamatan
pasien dan pengembangan budaya keselamatan
Pelaporan insiden keselamatan pasien berhubungan dengan budaya
keselamatan di Puskesmas dan diperlukan untuk mencegah insiden
lebih lanjut atau berulang di masa mendatang yang akan membawa
dampak merugikan yang lebih besar bagi Puskesmas

Kriteria

5.4.1 Dilakukan pelaporan, dokumentasi, analisis, dan penyusunan rencana


penyelesaian masalah, upaya perbaikan, dan pencegahan insiden
keselamatan pasien.
Pokok Pikiran:
 Insiden keselamatan pasien adalah setiap kejadian yang tidak
disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi
mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien. Insiden
keselamatan pasien terdiri atas : 1) Kejadian tidak diharapkan (KTD),
2) Kejadian nyaris cedera (KNC), 3) Kejadian tidak cedera, 4) kondisi
potensial cedera (KPC), dan 5) Kejadian sentinel (KS)
 Cedera adalah perubahan yang terjadi dapat bersifat fisik, motorik,
sensorik, psikologis dan intelektual.
 Contoh yang dapat menimbulkan insiden keselamatan pasien seperti
kesalahan obat (medication errors), kesalahan identifikasi pasien,
kesalahan asuhan klinis dan faktor lingkungan.
 Upaya keselamatan pasien dilakukan untuk mencegah terjadinya
insiden. Jenis Insiden terdiri dari :
1) Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), yaitu insiden yang
mengakibatkan cedera pada pasien . Misalnya pasien jatuh dari
tempat tidur dan menimbulkan luka pada pergelangan kaki.
2) Kejadian tidak cedera (KTC) adalah insiden yang sudah mengenai
/ terpapar pada pasien tapi tidak terjadi cedera.
Misalnya Perawat salah memberikan obat pada pasien, obat telah
diminum tapi pasien tidak mengalami cedera.
3) Kondisi Potensial Cedera (KPC) adalah semua situasi atau kondisi
terkait perawatan pasien yang sangat berpotensi cedera pada
pasien. Misalnya : Alat Inkubator rusak
yang diletakan di ruang bayi/neonatus .
4) Kejadian Nyaris Cedera (KNC) adalah insiden yang terjadi tapi
belum mengenai / terpapar pada pasien karena dapat dicegah.
Misalnya: perawat mau memberikan obat kepada pasien, ketika di
cek ternyata obat yang diberikan oleh farmasi milik pasien yang
lain yang namanya mirip, sehingga obat tersebut tidak jadi
diberikan.
5) Sentinel suatu kejadian yang tidak diinginkan (unexpected
occurrence yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius.
Kejadian sentinel dapat berupa:
a) Kematian yang tidak diduga, termasuk dan tidak terbatas hanya
pada:
- kematian yang tidak berhubungan dengan perjalanan
penyakit pasien atau kondisi pasien (contoh, kematian
akibat proses transfer yang terlambat)
- kematian bayi aterm
- bunuh diri
b) Kehilangan permanen fungsi yang tidak terkait penyakit pasien
atau kondisi pasien
c) Tindakan salah tempat, salah prosedur, salah pasien
d) Penculikan anak termasuk bayi atau anak termasuk bayi
dikirim ke rumah bukan rumah orang tuanya
e) Perkosaan, kekejaman di tempat kerja seperti penyerangan
(berakibat kematian atau kehilangan fungsi secara permanen)
atau pembunuhan (yang disengaja) atas pasien, anggota staf,
dokter, pengunjung atau vendor/pihak ketiga ketika berada
dalam lingkungan Puskesmas
 Pelaporan insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut
pelaporan insiden adalah suatu sistem untuk mendokumentasikan
laporan insiden keselamatan pasien. Pelaporan insiden terdiri dari
Laporan Insiden Internal dan Laporan Insiden Eksternal
 Sistem pelaporan diharapkan dapat mendorong individu di dalam
Puskesmas untuk peduli akan bahaya atau potensi bahaya yang
dapat terjadi pada pasien. Pelaporan juga penting digunakan untuk
memantau upaya pencegahan terjadinya kesalahan (error) sehingga
dapat mendorong dilakukan investigasi. Di sisi lain pelaporan akan
menjadi awal proses pembelajaran untuk mencegah kejadian yang
sama terulang kembali.
 Puskesmas perlu melakukan analisa Matriks grading risiko yang
akan menentukan jenis investigasi insiden yang dilakukan setelah
Laporan insiden internal. Investigasi terdiri dari Investigasi
sederhana (Simple RCA) dan Investigasi Komprehensif
(Comprehensive RCA /Root Cause Analysis)
 Puskesmas perlu menetapkan sistem pelaporan insiden yang
meliputi: kebijakan, alur pelaporan, formulir pelaporan, prosedur
pelaporan, insiden yang harus dilaporkan internal yaitu semua jenis
insiden termasuk kejadian sentinel, kejadian tidak diharapkan,
kejadian nyaris cedera maupun kejadian sangat potensial cedera.
Sedangkan laporan eksternal yang dilaporkan adalah Sentinel, KTD.
Ditentukan juga siapa saja yang membuat laporan, batas waktu
pelaporan, investigasi dan tindak lanjutnya
 Pelaporan insiden keselamatan pasien dilaporkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Elemen Penilaian:
1. Ditetapkan kebijakan dan prosedur pelaporan insiden. (R)
2. Dilakukan pelaporan jika terjadi insiden sesuai kebijakan dan
prosedur yang ditetapkan ke Tim keselamatan pasien. (D)
3. Dilakukan analisa risiko dan investigasi insiden, serta tindaklanjut
terhadap insiden (D,W)
4. Dilakukan pelaporan ke Komite Nasional Keselamatan Pasien (KNKP)
terhadap insiden, analisis, dan tindak lanjut sesuai kerangka waktu
yang ditetapkan (D)

Kriteria
5.4.2 Tenaga kesehatan pemberi asuhan berperan penting dalam
memperbaiki perilaku dalam pemberian pelayanan yang
mencerminkan budaya mutu dan budaya keselamatan.

Pokok Pikiran:
 Upaya peningkatan mutu layanan klinis, dan keselamatan pasien
menjadi tanggung jawab seluruh tenaga kesehatan yang memberikan
asuhan pasien.
 Tenaga kesehatan adalah tenaga medis, perawat, bidan, dan tenaga
kesehatan lain yang diberi wewenang dan bertanggung jawab
melaksanakan asuhan pasien.
 Perilaku terkait budaya keselamatan berupa:
a) penyediaan layanan yang baik, termasuk pengambilan keputusan
bersama;
b) bekerja dengan pasien atau klien
c) bekerja dengan tenaga kesehatan lain
d) bekerja di dalam sistem layanan kesehatan
e) meminimalisir risiko
f) mempertahankan kinerja profesional
g) perilaku profesional dan beretika
h) memastikan pelaksanaan proses pelayanan yang terstandar
i) upaya peningkatan mutu dan keselamatan termasuk keterlibatan
dalam pelaporan dan tindak lanjut insiden
 Perilaku yang tidak mendukung budaya keselamatan seperti:
a) Perilaku yang tidak layak (Inappropriate), seperti kata-kata atau
bahasa tubuh yang merendahkan atau menyinggung perasaan
sesama staf, misalnya mengumpat, memaki;
b) Perilaku yang mengganggu (disruptive) antara lain perilaku tidak
layak yang dilakukan secara berulang, bentuk tindakan verbal
atau non verbal yang membahayakan atau mengintimidasi staf
lain, adalah komentar sembrono didepan pasien yang berdampak
menurunkan kredibilitas staf klinis lain, contoh mengomentari
negatif hasil tindakan atau pengobatan staf lain didepan pasien,
misalnya “obatnya ini salah, tamatan mana dia...?”, melarang
perawat untuk membuat laporan insiden, memarahi staf klinis
lainnya didepan pasien, kemarahan yang ditunjukkan dengan
melempar membuang rekam medis diruang rawat;
c) perilaku yang melecehkan (harassment) terkait dengan ras, agama,
suku termasuk gender;
d) pelecehan seksual.
 Puskesmas perlu melakukan pengukuran (survei) dan evaluasi
budaya keselamatan. Budaya keselamatan juga merupakan hasil
dari nilai-nilai, sikap, persepsi, kompetensi, dan pola perilaku
dari individu maupun kelompok, yang menentukan komitmen
terhadap keselamatan, serta kemampuan manajemen
Puskesmas, dicirikan dengan komunikasi yang berdasarkan
rasa saling percaya, dengan persepsi yang sama tentang
pentingnya keselamatan, dan dengan keyakinan akan manfaat
langkah- langkah pencegahan.
 Mutu layanan klinis tidak hanya ditentukan oleh sistem pelayanan
yang ada, tetapi juga perilaku dalam pemberian pelayanan. Tenaga
kesehatan perlu melakukan evaluasi terhadap perilaku dalam
pemberian pelayanan dan melakukan upaya perbaikan baik pada
sistem pelayanan maupun perilaku pelayanan yang mencerminkan
budaya keselamatan, dan budaya perbaikan pelayanan klinis yang
berkelanjutan.

Elemen Penilaian:
1. Ditetapkan kebijakan dan prosedur penerapan budaya mutu dan
keselamatan pasien (R)
2. Dilakukan identifikasi dan pelaporan perilaku yang tidak mendukung
budaya keselamatan / "tidak dapat diterima" dan upaya
perbaikannya (D,O,W)
3. Dilakukan edukasi tentang mutu klinis dan keselamatan pasien pada
semua tenaga kesehatan pemberi asuhan. (D,W)
Standar
5.4. Program pencegahan dan pengendalian infeksi dilaksanakan
untuk mencegah dan meminimalkan terjadinya infeksi terkait
dengan pelayanan kesehatan
Pencegahan dan pengendalian infeksi yang selanjutnya disingkat PPI
adalah upaya untuk mencegah dan meminimalkan terjadinya infeksi
pada pasien, petugas, pengunjung, dan masyarakat sekitar fasilitas
kesehatan.

Kriteria
5.5.1 Regulasi dan program pencegahan dan pengendalian infeksi
dilaksanakan oleh seluruh karyawan Puskesmas secara
komprehensif untuk mencegah dan meminimalkan risiko terjadinya
infeksi yang terkait dengan pelayanan kesehatan.

Pokok Pikiran:
 Pencegahan dan pengendalian infeksi yang selanjutnya disingkat PPI
adalah upaya untuk mencegah dan meminimalkan terjadinya infeksi
pada pasien, petugas, pengunjung, dan masyarakat sekitar fasilitas
kesehatan.
 Tujuan PPI adalah mengidentifikasi dan menurunkan risiko infeksi
yang didapat dan ditularkan diantara pasien, staf, tenaga
professional kesehatan, tenaga kontrak, tenaga sukarelawan
mahasiswa dan pengunjung.
 Agar pencegahan dan pengendalian infeksi dapat dilaksanakan
dengan optimal perlu diidentifikasi staf yang terlatih dan ditetapkan
oleh pimpinan puskesmas berdasarkan kebijakan dan pedoman yang
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
 Puskesmas perlu menyusun program PPI (lihat 5.1.1) yang meliputi
implementasi kewaspadaan isolasi yang terdiri dari kewaspadaan
standar dan kewaspadaan berdasar transmisi, Pendidikan dan
pelatihan (dapat berupa pelatihan atau workshop) PPI baik bagi
petugas maupun pasien dan keluarga, serta masyarakat,
penyusunan dan penerapan bundles Hais, surveilans serta
penggunaan antimikroba secara bijak.
 Kegiatan yang tercantum dalam program PPI tergantung pada
kompleksitas kegiatan klinis dan pelayanan Puskesmas, besar
kecilnya area Puskesmas, tingkat risiko dan cakupan populasi yang
dilayani, geografis, jumlah pasien, dan jumlah pegawai dan
merupakan bagian terintegrasi dengan Program Peningkatan Mutu.
 Untuk memantau dan menilai pelaksanaan program PPI disusun
indikator-indikator sebagai bukti dilaksanakannya kegiatan-kegiatan
yang direncanakan.

Elemen Penilaian:
1. Ditetapkan kebijakan, pedoman dan prosedur PPI dalam
penyelenggaraan pelayanan Puskesmas. (R)
2. Puskesmas merancang dan mengimplementasikan program PPI
secara komprehensif yang melibatkan semua staf. (lihat PMP 5.1.1)
3. Dilakukan pemantauan, evaluasi dan tindak lanjut terhadap
pelaksanaan program PPI dengan menggunakan indikator yang
ditetapkan. (D, W)

Kriteria
5.5.2 Dilakukan identifikasi prosedur dan pelaksanaan yang terkait
dengan risiko infeksi dengan menerapkan strategi untuk mengurangi
risiko infeksi.

Pokok Pikiran:
 Puskesmas melakukan identifikasi dan kajian pemberian asuhan
yang memiliki risiko infeksi terhadap pasien, pengunjung, dan
petugas termasuk penunjang layanan. Pelaksanaan identifikasi dan
kajian pemberian asuhan harus sesuai prinsip-prinsip PPI dengan
memastikan :
a. ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan,
kacamata pelindung, masker, sepatu dan gaun pelindung
b. ketersediaan linen yang benar
c. ketersediaan alat medis sesuai ketentuan
d. terlaksananya penyuntikan yang aman
e. penyimpanan dan penanganan produk makanan dan nutrisi
yang tepat, jika tersedia dan digunakan di pusat;
f. pengelolaan limbah melalui penempatan yang aman dan
pembuangan limbah klinis dan limbah yang berpotensi menular
yang memerlukan pembuangan khusus seperti benda tajam /
jarum dan peralatan sekali pakai lainnya yang mungkin
bersentuhan dengan tubuh cairan; (Juga lihat FMS.4)
g. proses untuk mengelola penggunaan kembali perangkat sekali
pakai; dan
 Renovasi bangunan di area Puskesmas dapat merupakan sumber
infeksi. Pemaparan debu dan kotoran konstruksi, kebisingan,
getaran, kotoran dan bahaya lain dapat merupakan bahaya potensial
terhadap fungsi paru dan keamanan karyawan dan pengunjung.
Oleh karena itu Puskesmas harus menetapkan kriteria risiko untuk
menangani dampak tersebut yang dituangkan dalam bentuk regulasi
tentang penilaian risiko dan pengendalian infeksi (infection control
risk assessment/ICRA). (Lihat MFK 1.4.)

Elemen Penilaian:
1. Dilakukan identifikasi dan kajian risiko infeksi terkait dengan
pelayanan pasien, pengunjung, dan petugas termasuk penunjang
layanan. (O,W)
2. Dilakukan upaya strategi untuk meminimalkan risiko infeksi terkait
dengan pelayanan pasien, pengunjung, dan petugas termasuk
penunjang layanan dengan memastikan setidaknya a) sampai g) di
dalam pokok pikiran. (D,W)
3. Terdapat bukti strategi ICRA dalam pelaksanaan program PPI pada
renovasi bangunan. (D,W)

Kriteria
5.5.3. Kebersihan tangan diterapkan untuk menurunkan risiko infeksi yang
didapat di fasilitas kesehatan.
Pokok Pikiran:
 Puskesmas harus menerapkan kebersihan tangan yang terbukti
menurunkan risiko infeksi yang terjadi pada fasilitas kesehatan.
 Prosedur kebersihan tangan perlu disusun dan disosialisasikan,
serta ditempel pada tempat yang mudah dibaca. Tenaga medis,
tenaga kesehatan, dan karyawan Puskesmas perlu diedukasi tentang
kebersihan tangan. Sosialisasi kebersihan tangan perlu juga
dilakukan untuk pasien, dan keluarga pasien.
 Kebersihan tangan merupakan kunci efektif pencegahan dan
pengendalian infeksi sehingga Puskesmas harus menetapkan
kebijakan dan prosedur mengenai kebersihan tangan. (lihat juga PMP
: 5.3.5 )
 Setiap karyawan Puskesmas harus memahami 6 (enam) langkah dan
5 (lima) kesempatan melakukan kebersihan tangan dengan benar.
 Puskesmas wajib menyediakan perlengkapan dan peralatan untuk
melakukan kebersihan tangan antara lain:
(1) fasilitas cuci tangan meliputi air mengalir, sabun, tisu pengering
tangan/handuk sekali pakai; dan/atau
(2) hand rubs berbasis alcohol yang ketersediaannya harus terjamin
di Puskesmas

Elemen Penilaian:
1. Dilakukan edukasi kebersihan tangan pada tenaga medis, tenaga
kesehatan, seluruh karyawan Puskesmas, pasien dan keluarga
pasien. (D,W)
2. Perlengkapan dan peralatan untuk kebersihan tangan tersedia di
tempat pelayanan. (D,O)
3. Dilakukan evaluasi dan tindak lanjut terhadap pelaksanaan
kebersihan tangan. (D, W)

Kriteria
5.5.4. Puskesmas mengurangi risiko infeksi yang terkait dengan pelayanan
kesehatan perlu melaksanakan dan mengimplementasikan program
PPI, untuk mengurangi risiko infeksi baik bagi pasien, petugas,
keluarga pasien, masyarakat, dan lingkungan.

Pokok Pikiran:
 Program pencegahan dan pengendalian infeksi di Puskesmas adalah
untuk mengidentifikasi dan mengurangi risiko tertular dan
menularkan infeksi di antara pasien, petugas, keluarga dan
masyarakat dan lingkungan melalui kewaspadaan standar yang
benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
a. Alat Pelindung Diri (APD)
Alat Pelindung Diri (APD) digunakan dengan benar untuk
mencegah dan mengendalikan infeksi Alat Pelindung Diri (APD)
digunakan dengan benar untuk mencegah dan mengendalikan
infeksi Alat Pelindung Diri (APD) digunakan dengan benar untuk
mencegah dan mengendalikan infeksi, APD yang dimaksud
meliputi tutup kepala (topi), masker, google (perisai wajah),
sarung tangan, gaun pelindung, sepatu pelindung digunakan
secara tepat dan benar oleh petugas Puskesmas, dan digunakan
sesuai dengan indikasi dalam pemberian asuhan pasien
b. Penyuntikan yang aman
Tindakan penyuntikan yang aman perlu memperhatikan
kesterilan alat yang digunakan dan prosedur penyuntikannya.
Pemakaian spuit dan jarum suntik steril harus sekali pakai, dan
berlaku juga pada penggunaan vial multi dosis untuk mencegah
timbulnya kontaminasi mikroba saat obat dipakai pada pasien.
Penyuntikan yang aman berdasarkan prinsip PPI meliputi
(1) menerapkan tehnik aseptik untuk mencegah kontaminasi
alat injeksi.
(2) semua alat suntik yang dipergunakan harus sekali pakai
untuk satu pasien dan satu prosedur walaupun jarum
suntiknya berbeda.
(3) gunakan single dose untuk obat injeksi dan cairan pelarut/
flushing.
(4) proses pencampuran obat dilaksanakan sesuai peraturan
perundang undangan yang berlaku.
(5) pengelolaan limbah tajam bekas pakai perlu dikelola
dengan benar sesuai perundangan yang berlaku.
c. Dekontaminasi
Menurunkan risiko infeksi melalui kegiatan dekontaminasi
melalui proses pembersihan awal (pre cleanning), pembersihan,
disinfeksi dan /atau sterilisasi dengan mengacu pada kategori
Spaulding. meliputi :
(1) kritikal berkaitan dengan alat kesehatan yang digunakan
pada jaringan steril atau sistim pembuluh darah dengan
menggunakan Tehnik Sterilisasi, seperti instrumen bedah,
partus set
(2) semi kritikal, peralatan yang digunakan pada selaput
mukosa dan area kecil dikulit yang lecet dengan
menggunakan Disinfeksi Tingkat Tinggi (DTT), seperti
oropharyngeal airway (OPA)/Guedel, penekan lidah, kaca
gigi.
(3) non Kritikal peralatan yang dipergunakan pada permukaan
tubuh yang berhubungan dengan kulit yang utuh
dilakukan Disinfeksi Tingkat Rendah, seperti tensimeter
atau termometer.
Proses dekontaminasi tersebut meliputi:
 pembersihan awal dilakukan oleh petugas di tempat kerja
dengan menggunakan APD dengan cara membersihkan dari
semua kotoran, darah dan cairan tubuh dengan air
mengalir, untuk kemudian dilakukan transportasi ke
tempat pembersihan, disinfeksi dan sterilisasi.
 pembersihan merupakan proses secara fisik membuang
semua kotoran, darah, atau cairan tubuh lainnya dari
permukaan peralatan secara manual atau mekanis dengan
mencuci bersih dengan detergen (golongan disinfenktan dan
klorin dengan komposisi sesuai dengan standar yang
berlaku) atau larutan enzymatic, dan ditiriskan sebelum
dilakukan disinfeksi atau sterilisasi.
 disinfeksi tingkat tinggi dilakukan untuk peralatan semi
kritikal untuk menghilangkan semua mikroorganisme
kecuali beberapa endospore bacterial dengan cara merebus,
menguapkan atau menggunakan disinfektan kimiawi.
 sterilisasi merupakan proses menghilangakan semua
mikroorganisme termasuk endospore menggunakan upa
bertekanan tinggi (autoklave), panas kering (oven),
sterilisasi kimiawi, atau cara sterilisasi yang lain.
Dekontaminasi lingkungan yaitu pembersihan permukaan
lingkungan yang berada di sekitar pasien dari kemungkinan
kontaminasi darah, produk darah atau cairan tubuh.
Pembersihan dilakukan dengan menggunakan cairan
desinfektan seperti klorin 0,05% untuk permukaan lingkungan
dan 0,5% pada lingkungan yang terkontaminasi darah dan
produk darah. Selain klorin dapat digunakan desinfektan lain
sesuai ketentuan.
d. Linen
Pengelolan linen yang baik dan benar adalah salah satu upaya
untuk menurunkan resiko infeksi. Linen terbagi menjadi linen
kotor non infeksius dan linen kotor infeksius. Linen kotor
infeksius adalah linen yang terkena darah atau cairan tubuh
lainnya. Penatalaksanaan linen yang sudah digunakan harus
dilakukan dengan hati-hati. Kehati-hatian ini mencakup
penggunaan APD petugas yang mengelola linen, dan kebersihan
tangan sesuai prinsip PPI terutama pada linen infeksius.
Fasilitas kesehatan harus membuat regulasi pengelolaan.
Penatalaksanaan linen meliputi penatalaksanaan linen di
ruangan, transportasi linen ke ruang cuci/laundry, dan
penatalaksanaan linen di ruang cuci/laundry. Prinsip yang
harus diperhatikan dalam penatalaksanaan linen adalah selalu
memisahkan antara linen bersih, linen kotor dan steril atau
dengan kata lain setiap kelompok linen tersebut harus
ditempatkan pada tempat yang terpisah
e. Limbah
Puskesmas setiap harinya menghasilkan limbah, terutama
limbah infeksius, benda tajam dan jarum yang apabila
pengelolaan pembuangan dilakukan dengan tidak benar dapat
menimbulkan risiko infeksi. Pengelolaan limbah infeksius
meliputi pengelolaan limbah cairan tubuh infeksius, darah,
sampel laboratorium, benda tajam (seperti jarum) dalam safety
box (penyimpanan khusus), dan limbah B3. Proses edukasi
kepada karyawan mengenai pengelolaan yang aman,
ketersediaan tempat penyimpanan khusus dan pelaporan
pajanan limbah infeksius atau tertusuk jarum dan benda tajam.
Pengelolaan limbah meliputi :
(1) limbah infeksius adalah limbah yang terkontaminasi darah
dan cairan tubuh, sample laboratorium, produk darah dan
lain-lain, yang dimasukan kedalam kantong plastik
berwarna kuning dan dilakukan proses sesuai ketentuan
peraturan perundangan
(2) limbah benda tajam adalah semua limbah yang memiliki
permukaan tajam yang dimasukan kedalam safety box
(penyimpanan khusus tahan tusukan dan tahan air).
Penyimpanan tidak boleh melebihi ¾ isi safety box.
(3) limbah cair infeksius segera dibuang ketempat
pembuangan limbah cair (spoel hoek)
(4) pengelolaan limbah dimaksud meliputi identifikasi,
penampungan, pengangkutan, tempat penampungan
sementara, pengolahan akhir limbah
Pembuangan benda tajam (seperti jarum) yang tidak benar
merupakan salah satu penyebab bahaya luka tusuk jarum yang
berisiko pada penularan penyakit infeksi melalui darah sehingga
diperlukan pengelolaan risiko pasca pajanan.
Penerapan kewaspadaan standar perlu dipantau oleh tim PPI atau
petugas yang diberi tanggung jawab agar dilaksanakan secara
periodik dalam penyelenggaraan kegiatan pelayanan Puskesmas.

Elemen Penilaian:
1. Ditetapkan kebijakan dan prosedur sesuai pokok pikiran huruf a
sampai dengan huruf e. (R)
2. Terdapat bukti diterapkannya prinsip prinsip pengelolaan sesuai
pokok pikiran huruf a sampai dengan huruf e sesuai prosedur yang
ditetapkan. (D,O,W)
3. Dilakukan pemantauan terhadap pelaksanaan sesuai pokok pikiran
huruf a sampai dengan huruf e dalam kegiatan pelayanan di
puskesmas. (D,W) dan dilakukan penanganan serta pelaporan jika
terjadi pajanan. (D,W)
4. Bila ada pengelolaan pada pokok pikiran huruf a sampai dengan
huruf e yang dilaksanakan oleh pihak ketiga, puskesmas harus
memastikan standar mutu pada pihak ketiga sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan. (D,W)

Kriteria
5.5.5. Dilakukan upaya pencegahan penularan infeksi pada proses
pelayanan dan transfer pasien dengan penyakit yang dapat
ditularkan melalui transmisi air borne

Pokok Pikiran:
 Program PPI dalam kewaspadaan isolasi terdiri dari kewaspadaan
standar dan kewaspadaan berdasarkan transmisi. Kewaspadaan
transmisi terdiri dari kontak, droplet dan air borne. Penularan
penyakit air borne disease salah satunya risiko yang paling banyak di
Puskesmas
 Untuk mengurangi risiko penularan air borne disease diantaranya
dengan menggunakan APD, penataan ruang periksa, penempatan
pasien, maupun transfer pasien dilakukan sesuai dengan prinsip PPI.
Upaya pencegahan juga perlu ditujukan untuk memberikan
perlindungan kepada staf, pengunjung serta lingkungan pasien.
Pembersihan kamar dengan benar setiap hari selama pasien tinggal
di puskesmas dan pembersihan kembali setelah pasien pulang harus
dilakukan sesuai standar atau pedoman pengendalian infeksi.
 Untuk mencegah penularan airborne disease perlu melakukan
identifikasi pasien yang berisiko dengan memberikan masker,
menempatkan pasien di tempat tersendiri atau kohorting dan
mengajarkan etika batuk.
 Untuk pencegahan penularan transmisi airborne ditetapkan alur dan
SOP pengelolaan pasien sesuai ketentuan.
Elemen Penilaian:
1. Ditetapkan kebijakan dan prosedur pencegahan penularan infeksi
melalui transmisi airborne. (R)
2. Dilakukan identifikasi penyakit infeksi yang ditularkan melalui
transmisi airborne yang dilayani di Puskesmas. (D,W)
3. Dilaksanakan pencegahan penularan infeksi melalui transmisi
airborne dengan pemakaian APD, penataan ruang periksa,
penempatan pasien, maupun transfer pasien, sesuai dengan regulasi
yang disusun. (D,O,W)
4. Dilakukan evaluasi dan tindak lanjut terhadap hasil pemantauan
terhadap pelaksanaan penataaan ruang periksa, penggunaan APD,
penempatan pasien, transfer pasien untuk mencegah transmisi
infeksi (D.O.W)

5.5.6. Ditetapkan dan dilakukan proses untuk menangani outbreak infeksi


baik di Puskesmas atau di wilayah kerja Puskesmas

Pokok Pikiran:
 Puskesmas menetapkan kebijakan tentang outbreak bagaimana
penanggulangan sesuai dengan wewenangnya, untuk menjamin
perlindungan kepada petugas, pengunjung dan lingkungan pasien.
 Kriteria outbreak infeksi terkait pelayanan kesehatan di Puskesmas
adalah:
(1) terdapat kejadian infeksi yang sebelumnya tidak ada atau sejak
lama tidak pernah muncul yang diakibatkan oleh kegiatan
pelayanan kesehatan yang berdampak risiko infeksi baik di
Puskesmas atau di wilayah kerja Puskesmas.
(2) peningkatan kejadian 2 kali lipat atau lebih dibanding periode
sebelumnya.
(3) kejadian dapat meningkat secara luas dalam kurun waktu yang
sama

Elemen Penilaian:
1. Ditetapkan kebijakan dan prosedur penanganan outbreak infeksi
baik yang terjadi akibat kegiatan pelayanan di Puskesmas atau di
wilayah kerja Puskesmas. (R)
2. Dilakukan identifikasi kemungkinan terjadinya outbreak infeksi baik
yang terjadi di Puskesmas atau di wilayah kerja Puskesmas. (D,W)
3. Jika terjadi outbreak infeksi, dilakukan penanggulangan sesuai
dengan kebijakan dan prosedur yang disusun. (D,W)
4. Dilakukan evaluasi dan tindak lanjut tentang penanggulangan sesuai
dengan kebijakan dan prosedur yang disusun (D.W)

Kriteria
5.5.7. Dilakukan upaya penggunaan antimikroba secara bijak untuk
mengendalikan resistensi antimikroba.

Pokok Pikiran:
 Resistensi terhadap antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) telah
menjadi masalah kesehatan yang mendunia, dengan berbagai
dampak merugikan yang dapat menurunkan mutu dan
meningkatkan risiko pelayanan kesehatan khususnya biaya dan
keselamatan pasien.
 Meningkatnya masalah resistensi antimikroba terjadi akibat
penggunaan antimikroba yang tidak bijak dan bertanggung jawab.
 Salah satu upaya untuk menurunkan resistensi terhadap
antimikroba yaitu dengan menetapkan kebijakan dan panduan
penggunaan antrimikroba di Puskesmas dan melakukan perbaikan
pola penggunaan antimikroba untuk menilai kesesuaian terhadap
panduan yang disusun.

Elemen Penilaian:
1. Ditetapkan kebijakan dan panduan penggunaan antimikroba di
Puskesmas. (R)
2. Dilakukan edukasi penggunaan antimikroba secara bijak pada
tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas. (D,W)

Anda mungkin juga menyukai