Anda di halaman 1dari 20

UPACARA SEKATEN KRATON YOGYAKARTA

Resume ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Study Islam

Dosen Pengampu Akhmad Rijalul Akhsan,MPd.I.

Disusun Oleh :
Kristin Rista Rahmadani ( 401200227 )

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2020
i

KATA PENGANTAR

Puji-puji dan syukur kami panjatkan pada Allah SWT. Hanya kepada-Nya
lah kami memuji dan hanya kepada-Nya lah kami memohon pertolongan. Tidak
lupa shalawat serta salam kami haturkan pada junjungan nabi agung kita, Nabi
Muhammad SAW. Risalah beliau lah yang bermanfaat bagi kita semua sebagai
petunjuk menjalani kehidupan.

Dengan pertolongan-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Upacara


Sekaten Kraton Yogyakarta” disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah
metodologi study islam. Kami menantikan kritik dan saran yang membangun dari
setiap pembaca agar perbaikan dapat dilakukan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Kami ucapkan banyak banyak terima kasih kepada semua pihak khususnya
kepada dosen pengampu kami yang telah membimbing dalam menulis makalah
ini. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Ponorogo , 18 November 2020

Kristin Rista R
ii

DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................i
Daftar Isi.................................................................................................................ii
BAB 1
A. Latar belakang penulisan makalah .......................................................iii
B. Rumusan masalah ....................................................................................iv
C. Tujuan penulis ..........................................................................................iv

BAB 2
1. Pendekatan Historis Budaya Sekaten.........................................................5
2. Pendekatan Sosiologis Budaya Sekaten…................................................11
3. Pendekatan Normatif Budaya Sekaten.....................................................13

BAB 3
A. Kesimpulan ..............................................................................................16
B. Analisis .....................................................................................................17
C. Daftar Pustaka......................................................................................... 19
iii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai bangsa timur mengenal etika sebagai prinsip-prinsip


dasar pergaulan antar individu, maupun kelompok dengan individu, baik
buruknya etika bergantung pada sistem nilai yang mempengaruhi seperti
budaya, agama, dan lain-lain. Dalam setiap agama-agama besar di Indonesia
dikenal juga dengan adanya perayaan hari-hari besar keagamaan tertentu, sebut
saja Islam.
Tradisi Sekatenan adalah salah satu istilah yang digunakan masyarakat
Jawa dalam memperingati hari lahir Nabi Muhammad atau disebut juga dengan
istilah Maulid Nabi,. Acara Sekaten yang diadakan untuk memperingati Maulid
Nabi Muhammad SAW diakhiri dengan acara Garebeg Maulud. Garebeg adalah
upacara adat berupa sedekah yang dilakukan pihak keraton kepada masyarakat
berupa gunungan.
Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami perubahan yang cukup signifikan
di bidang kehidupan sosial, akan tetapi tidak mengalami perubahan yang banyak
di bidang kebudayaan karena masyarakat Yogyakarta memegang teguh nilai-nilai
yang sudah ada sejak dulu. Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai prospek
yang cukup tinggi terhadap permintaan pasar wisatawan karena memiliki
keindahan panorama alam, iklim dan keanekaragaman hayati yang merupakan
daya tarik tersendiri, terutama unsur kebudayaan Yogyakarta yang kental sekali
baik di masyarakatnya dan juga dari pihak Keratonnya sendiri.
Tradisi Sekatenan adalah salah satu bentuk dari warisan budaya yang
dilestarikan hingga sekarang, tradisi ini sering diselenggarakan ketika
memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW., dan di dalamnya ada ritual
mencuci benda-benda pusaka Keraton Yogyakarta. Untuk dapat menindaklanjuti
fenomena-fenomena yang akan terjadi dalam sebuah kesatuan kultur budaya
masyarakat Yogyakarta
iv

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi masalah dalam


penelitian ini, maka dapat di rumuskan ke dalam rumusan masalah, di antaranya:
1. Pendekatan historis pada budaya sekaten
2. Pendekatan sosiologis pada budaya sekaten
3. Pendekatan normatif pada budaya sekaten
C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang akan dicapai adalah:


1. Mengetahui pendekatan historis pada budaya sekaten
2. Mengetahui pendekatan sosiologis pada budaya sekaten
3. Mengetahui pendekatan normatif pada budaya sekaten
5

BAB II
PEMBAHASAN

A.PENDEKATAN HISTORIS BUDAYA SEKATEN


Pada masa revolusi, setelah Soekarno dan Muhammad Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945, Sultan Hamengku Buwono IX yang memegang tampuk kekuasaan atas
Ngayogjakarto pada saat itu, dengan tegas menyatakan sikap dukungannya atas
berdirinya negara Republik Indonesia. Pada tanggal 19 Agustus 1945, Sultan
Hamengku Buwono menyatakan bahwa Kerajaan Yogyakarta merupakan wilayah
dari negara Republik Indonesia.
Kebesaran jiwa Sultan Hamengku Buwono IX untuk menjadikan
wilayahnya sebagai bagian dari Republik Indonesia itu, segera dijawab oleh
pemerintah. Sebagai sebuah Provinsi yang berada di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang wilayahnya meliputi wilayah Kerajaan Ngayogyakarta
Hadiningrat, maka berdasarkan Maklumat Pemerintah RI, pada tanggal 5
September 1945, daerah ini kemudian disebut dengan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Menerima amanat tersebut maka Presiden pertama Republik Indonesia, Ir.
Sukarno, menetapkan bahwa Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam
merupakan Dwi Tunggal yang memegang kekuasaan atas Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY). Sempat terkatung-katung selama beberapa tahun, status
keistimewaan tersebut semakin kuat setelah disahkannya Undang-Undang nomor
13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Dengan demikian, diharapkan agar
segala bentuk warisan budaya di Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten
Pakualaman dapat terus dijaga dan dipertahankan kelestariannya.

Sekaten merupakan salah satu tradisi yang masih bertahan di kota Yogyakarta dan
Solo hingga sekarang. Namun apakah semua orang tahu makna di balik kata sekaten yang
sebenarnya?.Kata sekaten berasal dari beberapa kata yang sarat makna, yaitu :
6

1. Syahadatain, yaitu kalimat shahadat yang merupakan suatu kalimat yang


harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti:
Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.

2. Sahutain, menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur


dan menyeleweng;

3. Sakhatain: menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan,
karena watak tersebut sumber kerusakan;

4. Sakhotain: menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci


atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan;

5. Sekati: menimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-
hal yang baik dan buruk; dan

6. Sekat: batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat
serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.

Sejarah sekaten dimulai dari Kerajaan Demak pada masa pemerintahan


Raden Patah. Raden Patah sebagai raja pertama berniat menghapus segala bentuk
upacara keagamaan yang sudah ada sebelumnya salah satunya adalah upacara
pengorbanan raja,  dengan harapan masyarakat Jawa dapat memeluk agama Islam
secara sempurna dan “kafah” serta terlepas dari pengaruh anminisme dan Hindu. 
Namun upaya tersebut ternyata tidak membawa hasil seperti dengan yang
diharapkan, justrumenimbulkan keresahan di kalangan rakyat, sebab rakyat sudah
berabad-abad terbiasa hidup dengan adat dari kepercayaan lama. Keresahan yang
menimbulkan gangguan keamanan negara itu, masih ditambah dengan musibah
lain, yaitu berjangkitnya wabah penyakit menular.

Atas saran Wali Songo, upacara pengorbanan raja itu dihidupkan kembali,
namun diberi warna keislaman. Hewan kurban disembelih menurut peraturan
agama Islam. Awal dan akhir doa selamatan, berupa doa Islam yang dipanjatkan
oleh Sunan Giri dan Sunan Bonang. Maka setelah kerajaan menyelenggarakan
upacara kurban itu, tak berapa lama kemudian menghilanglah wabah penyakit
menular, dan ketenteraman pulih kembali. Sesudah aman tenteram dan makmur,
7

para Wali Songo menggiatkan usaha untuk mensyiarkan agama Islam di kalangan
rakyat. Untuk mendukung syiar Islam tersebut, maka didirikanlah Masjid Besar
sebagai pusat peribadatan umum. Menurut candrasengkala yang berbunyi geni
mati siniram ing janmi, Masjid Besar itu selesai pembangunannya pada tahun
1408.

Meski telah ada Masjid Besar dan para Wali Songo giat berdakwah,
penyebaran agama Islam tidak banyak mengalami kemajuan. Jumlah para santri
masih sangat sedikit. Sebagian besar rakyat terutama masyarakat pedesaan, masih
enggan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai pemyataan memeluk
agama Islam. Maka para Wali Songo lalu bermusyawarah. Mereka sependapat
bahwa untuk menginsyafkan rakyat dan kebenaran ajaran agama Islam, haruslah
dilakukan secara bertahap dan dengan penuh kearifan. Bersikap sopan-santun,
ramah-tamah dalam berdakwah, dan tanpa mencela adat serta unsur-unsur
kebudayaan rakyat,  bahkan memanfaatkan unsur-unsur kebudayaan rakyat
sebagai sarana dakwah, terutama dengan memanfaatkan bahasa, adat-istiadat dan
kesenian rakyat.

Sunan Kalijogo mengetahui bahwa rakyat menyukai perayaan, keramaian


yang dihubungkan dengan upacara-upacara keagamaan. Apalagi jika perayaan,
keramaian itu disertai irama gamelan, tentu akan sangat menarik perhatian rakyat
untuk datang menghadiri. Timbullah gagasan Sunan Kalijogo agar kerajaan
menyelenggarakan perayaan, keramaian setiap menyongsong hari kelahiran Nabi
Muhammad saw, pada bulan Rabiulawal. Untuk menarik perhatian rakyat agar
mau rnasuk ke Masjid Besar, dibunyikanlah gamelan yang ditempatkan di
halaman masjid. Para Wali dapat berdakwah langsung di hadapan rakyat.

Meski membunyikan gamelan di halaman masjid itu dapat ditafsirkan


sebagai makruh, namun demi kelancaran syiar Islam, gagasan Sunan Kalijogo itu
diterima majelis Wali Songo. Sultan pun menyetujui pelaksanaan gagasan Sunan
Kalijogo. Maka dalam bulan Rabiulawal, seminggu sebelum hari kelahiran nabi,
diselenggarakanlah perayaan, keramaian yang disebut sekaten. Di halaman Masjid
8

Besar didirikan tempat khusus untuk menaruh dan membunyikan gamelan,


disebut pogongon. Makna pagongan adalah tempat gong (gamelan) yang dibuat
oleh Sunan Giri. Konon, sebagian dari gendhing-gendhing (lagu) gamelan dicipta
oleh Sunan Giri pula dan sebagian lagl olen Sunan Kalijogo. Selama satu minggu
gamelan diperdengarkan terus-menerus, kecuali pada waktu-waktu sholat dan
pada malam Jumat sampai lewat sholat Jumat.

Untuk lebih menarik simpati rakyat, pada malam menjelang hari kelahiran nabi
yang bertepatan dengan tanggal 12 bulan Rabiulawal, sultan berkenan mengikuti
upacara keagarnaan di Masjid Besar. Sultan keluar dari keraton diiring (bahasa
Jawa ginarebeg) para putra dan segenap pembesar kerajaan. Selepas sholat Isya,
sultan dan para pengiringnya duduk di serambi masjid untuk mendengarkan
riwayat hidup nabi yang diuraikan oleh para wali disusul dengan selawatan. Baru
pada tengah malam, sultan dan para pengiringnya kembali ke keraton. Gamelan
yang selama seminggu ditaruh dan dibunyikan di halaman Masjid Besar, juga di
bawa ke kraton sebagai tanda berakhirnya perasaan, keramaian sekaten dan
upacara peringatan hari kelahiran nabi.

1. Pelaksanaan Sekaten Masa Lalu

Islam masuk tanah Jawa melalui sosio culture. Pelaksanaan syariat Islam
agar mudah diterima, maka yang dilakukan adalah melalui penyesuaian dengan
budaya masyarakat Jawa. Islam dengan nilai-nilainya yang tidak bertentangan
dengan budaya masyarakat Jawa (culture) merupakan sub culture yang
selanjutnya dengan mudahnya Islam dapat diterima dengan baik oleh
masyarakat.16 salah satunya adalah melalui sekaten.
Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat telah dilaksanakan sejak
kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Sekaten pada masa itu
merupakan sekaten yang dilakukan sebagai bentuk pengenalan Islam sebagai
agama baru. Harapannya agar masyarakat yang pada saat itu masih menganut
kepercayaan Hindu, Budha, Animisme, Dinamisme dan kepercayaan nenek
9

moyang mengetahui dan mengenal Islam lebih dalam kemudian menjadikan Islam
agama yang mereka anut menggantikan kepercayaan-kepercayaan sebelumnya.

2. Pelaksanaan Sekaten Masa Kini

Pelaksanaan sekaten tentunya mengalami beberapa perubahan seiring


dengan berkembangnya zaman. Namun, Sekaten masa kini dapat dikatakan tidak
jauh berbeda dengan sekaten di masa lalu. Perubahan sedikit terlihat pada tahun
2004 yaitu pada perayaan pasar malam sekaten yang disebut dengan Jogja Expo
Sekaten (JES).
JES merupakan pengembangan dari tradisi lama. JES sesungguhnya
‘hanya’ merupakan rangkaian dari tradisi lokal yang mengiringi acara sekaten.
Sebelum zaman kolonial Belanda, masyarakat mengenal pasar seni rakyat yang
juga menyajikan berbagai kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka melakukan
transaksi dengan cara barter, yakni saling tukar menukar barang.
Berikutnya, semasa kolonial Belanda, acara tersebut dikemas lebih
lengkap lagi. Misalnya dengan menghadirkan perusahaan kopi, teh, dan
sebagainya. Unsur bisnis pun sudah mulai terasa. Selepas itu pada zaman
kemerdekaan, tradisi tersebut tetap dipelihara bahkan makin lengkap, dengan
tampilnya stand-stand pemerintah, pengusaha besar, hingga menengah ke bawah.
Karena semakin berkembang, perayaan digelar di Alun-alun utara sehingga bisa
menampung semua lapisan. Namun semasa orde lama ada upaya untuk
memisahkan antara perayaan sekaten dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad
SAW, namun seiring tumbangnya rezim orde baru, maka rencana tersebut gagal di
jalankan.
Menurut pengamatan sejarawan Universitas Gadjah Mada, Adaby Darban
SU, pasar malam perayaan sekaten terkesan glamour dan lebih menonjolkan unsur
bisnis juga syarat akan kepentingan ekonomi. Ia mengatakan bahwa pasar malam
sekaten juga sudah menjadi semacam konglomerasi pemodal besar dan pasar
rakyat sekaten telah terpisah dari akar budayanya. Hal ini ditunjukan dengan
mahalnya harga tiket masuk ke arena perayaan sekaten. Selain itu, unsur dakwah
dalam rangkaian sekaten pun sudah mulai memudar, Adaby menambahkan
10

bahwasannya unsur dakwah harus dibenahi yakni dengan cara mengemas model-
model dakwah yang tidak hanya dilakukan di Masjid Agung saja.

3. Perubahan Sosial dan Pergeseran Makna Sekaten

a. Perubahan Sosial Masyarakat Etnis menuju Masyarakat Modern.


Di indonesia terdapat sejumlah masyarakat etnis. Masyarakat etnis ini
sudah ada semenjak ratusan tahun yang lalu atau bahkan ribuan. Selama itu pula
mereka menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan tradisi mereka. Tiap-
tiap masyarakat etnis memiliki tradisi yang berbeda. Pada umumnya setiap
masyarakat etnis memiliki wilayah tertentu pula. Dengan jelas bisa ditunjukkan
wilayah budaya masyarakat etnis Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Batak,
Bali, Banjar, Bugis, Melayu dan lain-lain.
Dengan bahasa dan perangkat sistem budaya lainnya, masing-masing suku
bangsa berupaya menjaga identitas etnis mereka, sehingga bentuk jangka waktu
yang panjang eksistensi mereka sebagai suatu masyarakat etnis tetap berlangsung
Kelangsungan hidup masyarakat etnis dengan segala tradisi mereka hanya bisa
tetap bertahan jika lingkungan mereka tetap terisolasi, jika lingkungan alam
mereka masih bisa mencukupi dan menghidupi warga masyarakat etnis yang
bersangkutan. Lahan pertanian masih tersedia, demikian juga perairan, atau hutan
masih bisa mereka andalkan untuk mata pencaharian. Mobilitas penduduk hampir-
hampir tidak terjadi. Sarana transportasi ataupun media komunikasi yang amat
terbatas tidak memungkinkan mereka keluar (baik secara fisik ataupun mental)
dari “dunia” mereka.
Sejarah memperlihatkan bahwa proses perubahan atau penyesuaian
menjadi tak terelakkan. Masuknya Islam yang membawa konsep budaya yang
baru, kehadiran Belanda di Nusantara yang memperkenalkan sistem dan nilai
budaya yang lain, Politik Etis Pemerointah Kolonial Belanda yang memungkinkan
anak bumiputra beroleh pendidikan yang mengenal (untuk kemudian masuk)

b. Pergeseran Makna Sekaten


Pergeseran makna sekaten merupakan suatu perubahan kebudayaan yang
11

disebabkan oleh perubahan sosial. Perubahan social dan perubahan kebudayaan


adalah suatu hal yang berbeda. Pergeseran makna sekaten menimbulkan banyak
dampak, baik dampak positif ataupun dampak negatif. Dalam perubahan sosial
terjadi perubahan struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, antara lain sistem
status, hubungan- hubungan di dalam keluarga, sistem politik, sistem kekuasaan,
serta persebaran penduduk.
Perayaan sekaten yang dikemas melalui Jogja Expo Sekaten, terkesan
lebih mewah dan megah karena sudah tidak lagi terbatas oleh ruang yang sempit.
Hal ini menyebabkan banyaknya masyarakat yang berbondong-bondong datang
untuk melihat dan ikut merasakan perayaan sekaten. Sekaten juga dijadikan
sebagai lahan untuk mencari nafkah oleh sebagian masyarakat. Hal ini kemudian
dikaitkan dengan perubahan sosial yang disebabkan karena meningkatnya
kebutuhan ekonomi masyarakat.

Disamping itu, pelaksanaan sekaten masa kini juga berdampak positif


terhadap pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta. Banyak wisatawan yang datang
dari berbagai daerah hanya untuk menyaksikan atau ikut merasakan prosesi
sekaten.

B. PENDEKATAN SOSIOLOGIS BUDAYA SEKATEN

Pengkajian Islam di Jawa memiliki karakteristik yang unik. Semenjak


perkembangannya, di bawah arahan Walisongo, Islam selalu diliputi oleh mitologi Jawa.
Oleh karena itu langkah awal yang dilakukan dalam kajian keislaman dalam lingkup ini
harus hati-hati mana yang sesungguhnya ingin dikaji, Apakah kajian Islam dalam Jawa
sebagai wadahnya atau Jawa dalam Islam sebagai wadahnya. Untuk itu, memahami Islam
jawa yang paling penting dilakukan pertama kali adalah kajian atas Jawa Pra-Islam secara
independen dan mendalam karena Jawa memiliki orisinilitas budayanya tersendiri. Kajian
keislaman dijawa tanpa menguasai Jawa hanya akan menghasilkan Studi Islam yang
tercabut dari akarnya.

Sekaten, yang saat ini sedang dirayakan oleh sebagian besar masyarakat
Yogyakarta merupakan sebuah rangkaian kegiatan perayaan Maulid Nabi Muhammad
12

SAW yang diselenggarakan oleh Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat


bersama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta dan masyarakat. Berbagai bentuk acara dan
kegiatan dilangsungkan dalam perayaan Sekaten – yang beraneka ragam variasi dan
macamnya seiring perubahan waktu – mulai dari yang sifatnya ritual keagamaan hingga
apresiasi seni tradisi lokal sampai pameran dan pasar malam. Kultur lokal dan kultur
modern seakan melebur dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten.

Memandang Sekaten, oleh karena itu, jangan hanya dalam bingkai perspektif
agama atau dalam kacamata budaya lokal dan budaya Jawa belaka. Cara pandang yang
demikian akan mengakibatkan distorsi yang cenderung memunculkan perdebatan yang
tak kunjung berhenti. Perdebatan tersebut akan bermuara pada masalah tafsir terhadap
agama – dimensi normatif dan historis serta Islam sebagai das sein dan das sollen – serta
berujung pada perpecahan dan perselisihan pendapat bila perbedaan tersebut tidak
dibingkai dalam upaya untuk memperoleh dan memperkuat jalinan ”ukhuwah” Islamiyah,
Wathoniyah, dan Basyariah.

Perayaan Sekaten dalam masyarakat Jawa – khususnya masyarakat Kota


Yogyakarta dan sekitarnya – yang telah begitu mengakar kuat dan mentradisi tidak hanya
di kalangan grass root (akar rumput) tapi juga masyarakat keseluruhan pada umumnya
tidak dapat dipungkiri merupakan hasil dari ”sinergisasi” dan ”akulturasi” (perpaduan)
kebudayaan, antara Islam (sebagai agama sekaligus ”budaya”) dengan budaya lokal
setempat. Uraian berikut ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perselisihan dan
wacana yang sifatnya distortif dalam memandang perayaan Sekaten.

Hubungan dan kolaborasi antara, Islam sebagai ”teks besar” atau ”grand
narrative” dengan budaya lokal tidak lagi dapat dipandang dalam frame penundukkan–
Islam menundukkan (atau) ditundukkan oleh budaya lokal – tetapi harus dipandang
bahwa proses akulturasi tersebut malah semakin menunjukkan kekayaan atau
keberagaman ekspresi budaya Islam setelah bersinggungan atau bertemu dengan
bangunan budaya lokal. Islam tidak melulu dipandang dalam dimensi
keuniversalitasannya–walaupun pada titik ini orang yang beragama Islam harus tetap
berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang paripurna dan universal–tetapi juga
bahasa dan sikap akomodatif ”Islam” dalam menerima dan mengapresiasi budaya lokal.

Di sisi lain, budaya lokal tidak pula melulu kita pandang sebagai bagian yang
harus selalu mengalah kepada Islam, namun ia–budaya lokal–pasti mempunyai kacamata
sendiri dalam membahasakan Islam menurut perspektifnya sendiri. Cara pandang yang
seperti ini akan menghasilkan konstruksi pemahaman baru yang peranannya sangat
signifikan dalam proses pembauran dan perpaduan antara dua unsur budaya yang berbeda
13

sehingga menghasilkan akulturasi budaya yang mengakar di masyarakat tanpa


menghilangkan substansi dari dua unsur budaya yang bertemu.

C. PENDEKATAN NORMATIF BUDAYA SEKATEN

Upacara Sekaten termasuk jenis upacara ritual. Dalam menjalankan suatu ritual
terdapat kriteria, antara lain:

(1) Waktu kegiatannya tertentu


Upacara Sekaten merupakan upacara kerajaan yang digunakan untuk
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Maulud
(Rabiul Awal). Bulan ini juga disebut Maulid (bahasa Arab) artinya kelahiran, dan
dalam kalender Jawa-Islam disebut Mulud. Tanggal 12 Maulud itu sendiri memiliki arti
yang sangat penting, karena waktu tersebut diyakini umat Islam sebagai hari lahir dan
sekaligus wafatnya Nabi Muhammad SAW. Kegiatan peringatan hari dan bulan
kelahiran Nabi Muhammad SAW sudah sejak lama telah dirintis oleh Sultan Kerajaan
Demak, yaitu Raden patah sebagai pewaris tradisi dari kerajaan besar bernama
Majapahit.

Tradisi peringatan ini kemudian dilestarikan oleh para raja-raja Jawa berikutnya,
yang hingga kini sangat populer dinamakan Garebeg Malud. Dengan upacara Sekaten
ini, kraton Yogyakarta 10 mempunyai tujuan untuk merayakan dan memperingati hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW, serta menghormati kehadirannya di dunia, serta
mengambil makna ketauladanan dari pola kehidupannya. Usaha dakwah agama Islam
melalui upacara Sekaten yang dilakukan oleh kraton Yogyakarta sekarang, masih
mematuhi kaidah-kaidah yang diterapkan oleh Kesultanan Demak, baik mengenai
waktu, tempat dan pelaksanaan. Temasuk dalam hal ini tatacara membunyikan gamelan
di pelataran masjid besar untuk mengundang massa dari berbagai lapisan masyarakat.

Demikian juga upacara keagamaan yang dilakukan oleh Sultan Demak di


serambi masjid besar pada malam hari menjelang tanggal 12 Mulud tetap dilaksanakan
14

oleh para raja Jawa sekarang, baik di Kasultanan Yogyakarta, Kasunan Surakarta,
maupun Kesepuhan Cirebon. Dalam menghormati kehadiran Nabi Muhammad SAW di
dunia, memetik suri tauladan kehidupannya, dan melakukan dakwah agama merupakan
substansi upacara Sekaten. Pandangan masyarakat dalam melihat upacara ini tampaknya
banyak positipnya. Oleh karena itu masyarakat di luar kraton Yogyakarta juga
melestarikan tradisi peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Setiap menjelang dan sesudah tanggal 12 Maulud, banyak warga masyarakat dari
segenap lapisan menyelenggarakan upacara selamatan (kenduri), yang disebut muludan.
Peringatan ini kadang-kadang diramaikan dengan selawatan, yaitu menyajikan lagu-lagu
yang berisi puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW, baik dengan menggunakan
iringan musik rebana maupun tanpa iringan sama sekali. Di masjid-masjid, surau-surau,
bahkan di rumah diadakan pengajian, biasanya bertema riwayat hidup Nabi Muhammad
SAW.

(2) Tempat kegiatannya tertentu


Sekaten itu sendiri berlangsung di dua tempat. Pertama, Tratag Sitihinggil yaitu
bangunan luas berbentuk segi empat memanjang dengan pilar-pilar sangat tinggi,
didirikan di tempat tanah agak tinggi atau satu setengah meter lebih tinggi dibanding
dataran tanah biasa. Sesuai dengan namanya, Tratag Sitihinggil diuraian seperti berikut.
Tratag berarti tempat untuk berteduh, yang berbentuk rumah besar tanpa dinding, karena
atapnya disangga oleh tiang-tiang tinggi 9 (sekitar 15 meter). Sitihinggil berasal dari kata
siti artinya tanah, dan hinggil artinya tinggi. Atap terbuat dari seng, sedangkan tiang
terbuat dari besicor.

Dalam serangkaian upacara Sekaten, Tratag Sitihinggil dipergunakan untuk


tempat Pasowanan Garebeg. Pada acara ini, Sultan berada di Bangsal Manguntur Tangkil,
duduk di singgasana keemasan yang diletakkan di atas selo gilang (batu yang
ditinggalkan). Batu ini berbentuk segi empat memanjang yang dipasang berbentuk
melintang. Para tamu yang terdiri dari kerabat raja (bangsawan), pegawai istana
(abdidalem), rakyat kecil yang duduk bersama, menghaturkan sembah dan bekti kepada
15

raja, serta mendengarkan dhawuh (amanat raja). Kedua, masjid besar yaitu masjid yang
didirikan di sebelah barat alun-alun, atau dari depan kraton Yogyakarta menuju arah barat
laut kurang lebih 100 meter. Masjid ini dapat menampung 5.000 orang jamaah. Di
pelataran depan serambi masjid adalah tempat untuk menaruh gamelan Sekaten, yang
berlangsung selama satu minggu. Di sekitar pelataran ini termasuk tempat yang luas,
sehingga dapat menampung ribuan orang untuk mendengarkan bunyi gamelan Sekaten.

Bagian paling depan serambi masjid terdapat ambang pintu, yang dipergunakan
untuk upacara penerimaan sesaji selamatan negara, berupa gunungan, yang sebelumnya
diusung dari kraton Yogyakarta. Patih (setara perdana menteri) kraton Yogyakarta atas
nama Sultan Hamengkubuwono menyerahkan gunungan kepada kyai penghulu, untuk
memanjatkan doa upacara. Dalam upacara penerimaan ini, kyai penghulu kraton
memanjatkan doa berisi tentang keselamatan dan kesejahteran ditujukan kepada raja,
keluarga raja, negara (kerajaan) beserta rakyatnya.

(3) Terdapat uba rampe yang disajikan, misalnya sesaji.


Salah satu syarat dalam upacara ritual adalah adanya ubarampe (alat-alat)
kelengkapan yang dipergunakan dalam suatu upacara. Ubarampe ini mutlak harus ada,
meskipun bendanya cukup langka untuk disajikan, sebab tanpa persyaratan ini, upacara
itu tidak dapat dijalankan. Secara tradisi, alat-alat upacara yang dimaksud adalah
gunungan, benda-benda upacara, dan pusaka kerajaan.
16

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sekaten merupakan hajad dalem yang dilakukan untuk memperingati hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW setiap tanggal 5 sampai 11 Maulud. Pada
awalnya sekaten merupakan salah satu cara yang dilakukan para wali sebagai
sarana dakwah atau proses Islamisasi agar lebih mudah diterima oleh masyarakat
yang saat itu masih menganut kepercayaan-kepercayaan dari nenek moyang.
Sekaten merupakan suatu bentuk akulturasi atau pembauran antara
kebudayaan lokal dengan agama Islam yang kemudian menjadi suatu kebudayaan
baru. Dalam hal ini, sekaten menjadi suatu media yang menyiratkan bahwasannya
budaya Jawa adalah suatu yang inklusif atau terbuka dalam menerima Islam dan
kemudian terjadilah suatu pembauran. Pada dasarnya gamelan atau sekati adalah
suatu bentuk kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Jawa, sedangkan prosesi
sekaten sendiri merupakan hal-hal bernafaskan Islam yang kental, seperti
pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW, ataupun gending-gending yang
dinyanyikan bersamaan dengan pemukulan gamelan.
Dalam aspek komunikasi, sekaten merupakan suatu media yang digunakan
para wali sebagai sarana dakwah atau menyampaikan Islam sebagai ajaran agama
yang benar. Masyarakat Jawa yang memiliki sifat inklusivisme mampu menerima
dengan mudah ajaran dan kebudayaan baru yang disampaikan oleh para wali
secara berangsur-angsur. Perubahan sosial mempengaruhi perubahan sekaten.
Baik dari pemaknaan, dan pemanfaatan.Pergeseran makna sekaten juga tidak
luput dari beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain :
1. Berkembangnya teknologi sehingga menimbulkan inovasi-inovasi baru yang
menyebabkan perubahan dalam rangkaia kegiatan sekaten khususnya pelaksanaan
pasar malam sekaten yang saat dikenal dengan istilah Jogja Expo Sekaten (JES)
2. Meningkatnya kebutuhan masyarakat sehingga banyak masyarakat yang
memanfaatkan keramaian atau antusiasme sekaten menjadi sarana mengais rezeki
(ekonomi).
17

3. Terbiasanya masyarakat memiliki hubungan atau kontak dengan kebudayaan


dan dengan orang-orang yang berasal dari luar masyarakat, sehingga timbullah
pemikiran-pemikiran baru yang lebih luas mengenai kebudayaan dan
pemanfaatannya.
4. Perubahan kepentingan oleh pemerintah masyarakat. Sebagai bentuk
pemeliharaan dan pelestarian budaya, sebagai sarana hiburan untuk menarik
wisatawan ataupun sebagai sarana penunjang perekonomian daerah. Dalam segi
prosesi, sekten masa kini masih sama dengan sekaten masa lalu, namun dari segi
pemaknaan, sekaten masa kini sudah mengalami beberapa perubahan.
Pemanfaatan sekaten masa kini terlihat dalam berbagai hal. Yaitu sebagai hiburan
masyarakat (gamelan), sebagai sarana jual beli (ekonomi) dan sebagai sarana
rekreasi (pasar malam sekaten). Jika sekaten di masa lalu lebih menekankan
kepada nilai- nilai religi dan keIslaman, maka sekaten di masa kini lebih
menekankan kepada nilai- nilai kelestarian budaya, nilai hiburan dan nilai
ekonomi walaupun hingga saat ini masih terdapat unsur dakwah yang terdapat
dalam prosesi sekaten.

B. Analisis
Sebuah momentum besar yang di dalamnya terdapat berbagai muatan
historis, peristiwa upacara ritual, simbol, makna dan tujuan, pisisi aktivitas
perayaan sekaten yang menjadi tempat berkumpulnya ribuan manusia dari
berbagai penjuru, dapat memberikan daya dan kekuatan manusia yakni kekuatan
magis dalam kehidupan masyarakat Jawa. Dengan demikian eksistensi aktivitas
kultural ini akan selalu menjadi pemicu secara spiritual kehidupan manusia
terutama bagi komunitas Kraton Yogyakarta beserta masyarakat pendukungnya.
Pandangan saya pribadi dalam menanggapi tradisi sekaten ini tentu dengan
amat sangat positif karena melihat antusiasme warga Yogyakarta yang begitu
hebat. Oleh karena itu, masyarakat di luar kraton Yogyakarta juga ikut serta
melestarikan tradisi peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Setiap
menjelang dan sesudah tanggal 12 Maulud, banyak warga masyarakat dari
segenap lapisan menyelenggarakan upacara selamatan (kenduri), yang disebut
18

muludan. Peringatan ini kadang-kadang diramaikan dengan selawatan, yaitu


menyajikan lagu-lagu yang berisi puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW,
baik dengan menggunakan iringan musik rebana maupun tanpa iringan sama
sekali. Di masjid-masjid, surau-surau, bahkan di rumah diadakan pengajian,
biasanya bertema riwayat hidup Nabi Muhammad SAW.
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Cikal Bakal Keraton Kesultanan


Yogyakarta, (http://kratonjogja.id/cikal-bakal/detail), diakses pada 09 November
2. Ismail Yahya, dkk, Adat-Adat Jawa dalam Bulan-bulan Islam: Adakah
Pertentangan? (Solo: Inti Medina, 2009)
3. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Cikal Bakal Keraton Kesultanan
Yogyakarta, (http://kratonjogja.id/cikal-bakal/detail), diakses pada 10 November
4. Hanik Atfiati, Haryadi Hadipranoto, Khocil Birawa dan Hudono, Dari Gamelan
Hingga Syahadatain, (Yogyakarta: Pusat Studi Pariwisata UGM, 2005),
5. Syiar Islam melaluiSekaten. Website Resmi (http://www.kratonjogja.id)
Sudirman, Ibid, h. 77
6. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Opt.cit.
7. Kota Jogja.com, Grebek Sekaten: Makna Simbolis dan Filosofi Dalam
Kehidupan, artrikel (http://kotajogja.com/862/grebeg-sekaten/)
8. Mursal Esten, Kajian Transformasi Budaya, (Bandung: Angkasa Bandung,
1999),
9. M.Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar, (Bandung: PT.
Refika Aditama, 1998),

Anda mungkin juga menyukai