Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

TYPHOID FEVER

Disusun oleh :


dr. Indah Putri Permatasari

Pembimbing:

dr. Wakhidah Liliana

PUSKESMAS KECAMATAN KRAMAT JATI

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

PROVINSI DKI JAKARTA

PERIODE 3 FEBRUARI 2020 – 3 Mei 2020


BAB I
ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien:
• Nama 
 : Tn. MP
• Usia 
 : 72 tahun
• Jenis kelamin 
 : Laki-Laki
• Agama 
 : Islam
• Status pernikahan 
 : Menikah
• Alamat 
 : Kp. Tengah no.18 rt 01/ rw01 Kel Kramat Jati
• No. RM 
 : 00397403
• Tanggal masuk : 9 Maret 2020

Anamnesis dilakukan di poli lansia puskesmas kecamatan kramat jati pada


tanggal 9 Maret 2020 secara autoanamnesis.

Keluhan Utama: 

Keluhan demam naik turun sejak 5 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poli lansia puskesmas kecamatan kramat jati dengan keluhan
demam naik turun sejak 5 hari yang lalu. Demam dirasakan memberat sejak 1 hari
terakhir sepanjang hari. Keluhan demam dirasakan tinggi terutama sore menjelang
malam hari. Pasien tidak pernah mengukur suhu tubuhnya sebelumnya. Keluhan
disertai badan terasa meriang, nyeri perut bagian tengah dan mual. Pasien mengatakan
muntah 2 kali 1 hari yang lalu berupa makanan yang baru saja dimakan. Penurunan
nafsu makan diakui pasien terjadi 2 hari terakhir.

1
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat menderita keluhan sama seperti ini disangkal. Pasien memiliki riwayat
penyakit maag sejak 1 tahun yang lalu dan riwayat hipertensi terkontrol rutin minum
amlodipine 10mg 1x1/ hari. Pasien tidak memiliki riwayat diabetes mellitus.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada yang pernah mengalami keluhan yang sama dengan pasien dalam
keluarganya. Keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat darah tinggi
(Hipertensi), ataupun penyakit jantung dan Diabetes Melitus.

Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan


Pasien memiliki 5 orang anak. Saat ini pasien tinggal berempat bersama istri
dan dua anaknya yang belum menikah di rumahnya. Pasien sudah tidak bekerja.
Kegiatan sehari-hari pasien setelah bangun tidur sekitar pukul 3 pagi adalah
pasien melakukan shalat, olahraga pagi seperti berjalan mengelilingi komplek
rumahnya kemudian mandi. Pasien mengaku tidak merokok, tetapi sering minum kopi
setiap pagi dan sore hari. dan makan-makanan yang pedas juga asam. Pasien rutin
berolahraga.

Pemeriksaan Tanda Vital (Vital Sign)


• Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
• Kesadaran : Compos mentis
• Berat badan : 47.5 kg
• Tinggi badan : 154 cm
• Tekanan darah : 159/84 mmHg
• Suhu tubuh : 37.1 ⁰C
• Frekuensi denyut nadi : 85 x/menit, kuat angkat, regular, isi cukup
• Frekuesi nafas : 20 x/menit

2
Pemeriksaan Fisik 

• Kepala: Normocephal, konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), nafas
cuping hidung(-/-), mukosa kering (-), stomatitis (-), lidah kotor (-)
• Leher : KGB tidak teraba membesar, tidak ada peningkatan JVP, tidak ada
pembesaran kelenjar tiroid
• Thorax :

a. Inspeksi : bentuk dada simetris, tidak ada retraksi dinding dada, tidak ada
ketertinggalan gerak, ictus cordis tidak tampak
b. Palpasi : tidak dilakukan
c. Perkusi : tidak dilakukan
d. Auskultasi : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-

• Abdomen :
a. Inspeksi : perut tampak datar, massa (-)
b. Auskultasi : Bising usus 8x/menit
c. Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+)
d. Perkusi : normal, timpani
• Genu :
a. Inspeksi : edema (-/-), hematom (-/-), deformitas (-/-)
b. Palpasi : hangat (-/-), krepitasi (-/-)
c. Pergerakan : ROM aktif : luas/luas, ROM pasif : luas/luas

Pemeriksaan Laboratorium :
Pemeriksaan Hasil
Hemoglobin 10.3
Leukosit 13.2
Eritrosit 3.9
Neutrophil segmen 74
Limfosit 20

3
Monosit 7
Trombosit 310
Hematocrit 31
Serologi :
Salmonella typhi O 1/320
Salmonella paratyphi AO 1/80
Salmonella paratyphi BO Negative
Salmonella paratyphi CO Negative
Salmonella typhi H 1/320
Salmonella paratyphi AH Negative
Salmonella paratyphi BH 1/160
Salmonella paratyphi CH Negative

Diagnosis
Typhoid and Paratyphoid Fever
Anemia
Hipertensi Grade I

Diagnosis banding
Demam Dengue

Penatalaksanaan
A. Non-Medikamentosa
1. Istirahat cukup
2. Diet rendah garam dan lemak
3. Mengkonsumsi makanan lumat, tidak pedas dan asam.
4. Olahraga rutin

B. Medikamentosa
1. Cefiksime cap 2x500mg 7 hari
4
2. Parasetamol tab 3x500mg
3. Omeprazole tab 2x20mg
4. Domperidon tab 2x10mg prn
5. Amlodipine tab 1x10mg
6. Tablet SF tab 1x1

Edukasi
 Memberikan informasi mengenai penyakit yang dialami oleh pasien, penyebab,
gejala klinis, pengobatan, prognosis serta pencegahannya
 Edukasi pasien untuk menjalankan pola hidup bersih dan sehat
 Mengkonsumsi makanan lumat, tidak pedas dan berasam.
 Diet rendah garam dan lemak.
 Meyakinkan pasien bahwa penyakitnya diberikan pengobatan dan memberi
edukasi untuk meminum obat secara rutin dan teratur serta menjaga pola hidup
pasien
 Memberitahukan kepada pasien mengenai istirahat yang cukup

Prognosis
• Quo ad vitam : ad bonam
• Quo ad functionam : ad bonam
• Quo ad sanationam : ad bonam

5
BAB II
BORANG PORTOFOLIO

Nama Peserta: dr. Indah Putri Permatasari

Nama Wahana: Puskesmas Kecamatan Kramat Jati

Topik: Typhoid and Paratyphoid Fever

Tanggal (kasus): 9 Maret 2020

Nama Pasien Tn. MP No. RM: 00397403

Tanggal Presentasi:
Nama Pendamping: dr. Wakhidah Liliana
Tempat Presentasi: Puskesmas Kecamatan Kramat Jati
Objektif Presentasi:
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka

6
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil

□ Deskripsi: Tn.MP , 72 thn, dengan Typhoid and Paratyphoid Fever

□ Tujuan: Mengobati Tn.MP dan melakukan terapi agar pasien menjadi lebih baik

Bahan □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit


bahasan:
Cara
membahas: □ Diskusi □ Presentasi dan diskusi □ Email □ Pos

Data Pasien: Nama: Tn. MP Nomor Registrasi: 00397403


Nama Klinik: Puskesmas
Telp: - Terdaftar sejak: 9 Maret 2020
Kecamatan Kramat Jati
Data utama untuk bahan diskusi :

7
1. Diagnosis/Gambaran Klinis: Typhoid and Paratyphoid Fever
2. Riwayat Pengobatan: tidak ada
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: riw. Hipertensi terkontrol; amlodipine 1x10mg
4. Riwayat Keluarga: tidak ada yang mengalami seperti keluhan pasien
5. Riwayat Pekerjaan: Pasien sudah tidak bekerja
6. Lain-lain:
Hasil Pembelajaran : Typhoid and Paratyphoid Fever

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio:

1. Subjektif: Keluhan demam naik turun sejak 5 hari yang lalu.

2. Objektif: Pasien keadaan sadar compos mentis, dengan tanda vital :


• Tekanan darah : 159/84 mmHg
• Suhu tubuh : 37.1 ⁰C
• Frekuensi denyut nadi : 85 x/menit, kuat angkat, regular, isi cukup
• Frekuesi nafas : 20 x/menit

8
3. Assessment: Berdasarkan data anamnesis dan pemeriksaan fisik disimpulkan pasien mengalami Typhoid dan Paratyphoid Fever.
4. Plan: Rencana terapi untuk pasien ini adalah dengan terapi non medikamentosa dan terapi medikamentosa. Untuk terapi
medikamentosa diberikan: Cefiksime 2x500mg selama 7 hari, parasetamol 3x500mg, Omeprazole 2x20 mg, Domperidon 2x10 mg,
Amlodipin 1x10mg dan tablet SF 1x1. Sedangkan terapi non-medikamentosaberupa edukasi untuk gaya hidup sehat dan minum obat
teratur.

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Demam Tifoid

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella Typhi. Bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak
berspora, motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 370C, bersifat
fakultatif anaerob dan hidup subur pada media yang mengandung empedu.Isolat kuman
Salmonella Typhi memiliki sifat-sifat gerak positif, reaksi fermentasi terhadap manitol dan
sorbitol positif, sedangkan hasil negatif pada reaksi indol, fenilalanin deaminase, urease dan
DNAse.6,17
Bakteri Salmonella Typhi memiliki beberapa komponen antigen antara lain antigen
dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik grup. Antigen flagella
(H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella dan bersifat spesifik
spesies.Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi
seluruh permukaan sel.Antigen ini menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O
serum dan melindungi antigen O dari proses fagositosis.Antigen Vi berhubungan dengan
daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin.
Salmonella Typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagaian terluar dari
dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid A.
Antibodi O, H dan Vi akan membentuk antibodi agglutinin di dalam tubuh. Sedangkan,
Outer Membran Protein (OMP) pada Salmonella Typhi merupakan bagian terluar yang
terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan
lingkungan sekitarnya.OMP sebagain besar terdiri dari protein purin, berperan pada
patogenesis demam tifoid dan antigen yang penting dalam mekanisme respon imun
host.OMP berfungsi sebagai barier mengendalikan masuknya zat dan cairan ke membran
sitoplasma selain itu berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin.1,2

III.2 Epidemiologi demam tifoid


Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi masalah
dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara subtropis pun prevalensi
demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang. WHO mencatat pada tahun 2003

10
lebih dari 17 juta kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai
600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia.1
Surveilans Departemen Kesehatan RI mencatat frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1994 meningkat hingga 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai
rumah sakit di Indonesia tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8%, yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.6
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid. Di
Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian lebih dari
20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka
prevalensi demam tifoid secara nasional adalah 1,6%.3

Gambar 2.1. Distribusi global daerah endemik dari Salmonella Enteric serotipe Typhi, 1990-2002.5

Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya berhubungan dengan
sanitasi lingkungan; di daerah rural 157 kasus per 10.000 penduduk, sedangkan di daerah urban
ditemukan 760-810 kasus per 10.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan
erat dengan penyediaan air bersih secara merata yang belum memadai, serta sanitasi
lingkungan terutama cara pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan
ligkungan.7
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh
kematian di Indonesia. Namun berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995, demam tifoid tidak termasuk dalam
10 penyakit dengan mortalitas tinggi.8

11
III.3 Etiologi demam tifoid
Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella memiliki dua
spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica terbagi dalam
enam subspesies, yaitu : I. Salmonella enterica subsp. enterica; II. Salmonella enterica subsp.
salamae; IIIa. Salmonella enterica subsp. arizonae; IIIb. Salmonella enterica subsp.
diarizonae; IV. Salmonella enterica subsp. hotenae; V. Salmonella enterica subsp. indica. 9
Salmonella enterica subsp. enterica memiliki setidaknya 1454 serotipe, beberapa
diantaranya adalah : Salmonella Choleraesuis, Salmonella Dublin, Salmonella Enteritis,
Salmonella Gallinarum, Salmonella Hadar, Salmonella Heidelberg, Salmonella Infantis,
Salmonella Paratyphi, Salmonella Typhi, Salmonella Typhimurium, dan Salmonella Genrus.9
Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi adalah bakteri penyebab demam tifoid.
Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul
dan mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti
di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 66o C)
selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi.10

Gambar 2.2. Struktur antigenik Salmonellae. 10

12
Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 11
1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak
tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin.

III.4 Patogenesis demam tifoid


Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman
akan menembus sel-sel epitel usus dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.11

13
Gambar 2.3. Mekanisme infeksi Salmonella Typhi .12

Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk
ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) kemudian
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Dengan periode
waktu yang bervariasi antara 1-3 minggu, kuman bermultiplikasi di organ-organ ini kemudian
meninggalkan makrofag dan kemudian berkembang biak di luar makrofag dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.11
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara intermiten. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, oleh karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka
saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6,
IL-8, TNF-β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi

14
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler,
gangguan mental, dan koagulasi.11
Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan
perforasi usus.11

III.5 Manifestasi klinis demam tifoid


Pengetahuan tentang gambaran klinis demam tifoid sangatlah penting untuk membantu
mendeteksi secara dini. Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimptomatik hingga
gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.11
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Pada minggu
pertama, ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut umumnya yaitu
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.10 Karakteristik demamnya adalah demam
yang meningkat secara perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi
dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi terutama pada sore hingga malam hari.
Pada akhir minggu pertama, demam akan bertahan pada suhu 39-40°C. Pasien akan
menunjukkan gejala rose spots, yang warnanya seperti salmon, pucat, makulopapul 1-4 cm
lebar dan jumlahnya kurang dari 5; dan akan menghilang dalam 2-5 hari. Hal ini disebabkan
karena terjadi emboli oleh bakteri di dermis.11
Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang jelas, berupa demam,
bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1o C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali
per menit, kemudian didapatkan pula lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung
lidah merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.11 Beberapa penderita dapat menjadi karier
asimptomatik dan memiliki potensi untuk menyebarkan kuman untuk jangka waktu yang tidak
terbatas.

15
III.6 Diagnosis Demam Tifoid
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat
oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian
yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam
usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh. Pemeriksaan laboratorium
untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
(1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman;
(3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.12

1. Pemeriksaan darah tepi


Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya
normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis.13
Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit
serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang
cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan,
akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis menjadi dugaan kuat diagnosis demam
tifoid.14
2. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella Typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum tulang. Bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium
berikutnya di dalam urine dan feses.12,16 Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid
akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada
beberapa faktor, seperti : (1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum
dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negatif; (2) Jumlah darah yang diambil terlalu sedikit
(diperlukan kurang lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan
bisa negatif; (3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam
darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah dapat negatif;
dan (4) Waktu pengambilan darah yang dilakukan setelah minggu pertama, pada saat
aglutinin semakin meningkat. 10,12

16
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan
2-4 mL.17 Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar
0.5-1 mL.18 Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika
daripada bakteri dalam darah. Hal ini mendukung teori bahwa kultur sumsum tulang lebih
tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel
yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.12,19 Media
pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella Typhi adalah media empedu dari sapi.
Media ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya Salmonella Typhi dan
Salmonella Paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.17
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70-90% dari penderita pada
minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.12,17 Sensitivitasnya
akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat
sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.20
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.
Biakan sumsum tulang merupakan metode yang mempunyai sensitivitas paling tinggi
dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk
penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif
sebelumnya.17,20 Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek
sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang
diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan
secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. 13,16,17

3. Uji serologis
Uji Widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella Typhi
dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella Typhi terdapat
dalam serum penderita demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella Typhi, dan
orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji
Widal adalah suspensi Salmonella Typhi yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Tujuan uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita yang diduga menderita demam tifoid.11,22
17
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosis. Secara umum, aglutinin O mulai muncul pada hari ke 6-8 dan
aglutinin H mulai muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari timbulnya demam.
Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai
penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada
pemeriksaan ulang yang dilakukan pada selang waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer
aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam
tifoid.22
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut.
b. Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah mendapat
imunisasi atau pernah menderita infeksi.
c. Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.

Uji Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)


Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi.13 Uji ini sering dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen O9 LPS, antibodi IgG terhadap
antigen flagela d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi. Chaicumpa
dkk mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel
feses, dan 40% pada sampel sumsum tulang.1,24
Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella Typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella Typhi
sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen
kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai
fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,29
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila
dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur
darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20
Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.30

18
Uji Tubex®
Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh IDL Biotech,
Broma, Sweden.27 Tes ini sangat cepat, hanya membutuhkan waktu 5-10 menit,
sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi serum antibodi IgM terhadap antigen O9 LPS
yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella Typhi. Pada orang yang sehat
normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.23,27

Gambar 2.5. Prinsip dari tes Tubex®. Bagian atas, hasil negatif;
bagian bawah, hasil positif.27

Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif dengan cara
membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex® color scale yang
tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah) hingga nilai 10
(warna paling biru).27
Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut menurut IDL Biotech 2008: 11,27
1. Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid).
2. Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).

19
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan
gejala klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam
tifoid yang sangat kuat.27
Uji Typhidot®
Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh
Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji Typhidot® dinilai positif apabila
didapatkan reaksi dengan intensitas yang sama dengan atau lebih besar dari reaksi
kontrol, terlihat pada kertas saring komersial yang telah disiapkan. Tes ini
memperingatkan, jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah 48
jam.28

Gambar 2.6. Prinsip dari tes Typhidot®. Bagian atas, prosedur tes;
bagian bawah, interpretasi hasil tes.28

4. Identifikasi kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella Typhi dalam darah dengan teknik
hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA.

20
III.7 Terapi Demam Tifoid
Pemberian terapi antibiotik yang tepat dan cepat, mencegah komplikasi demam tifoid
yang berat dan mengurangi kasus fatal menjadi < 1%. Terapi antibiotik inisial bergantung
terhadap kerentanan dari S. Typhi dan S. Paratyphi pada tiap tiap area. Terapi demam tifoid
yang paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan angka kesembuhan 98% dan angka
relaps dan karier fecal <2%. Pemberian terapi singkat degan ofloxacin memiliki angka
kesuksesan yang sama dengan pemberian agen kuinolon terhadap salmonela yang sensitif. Di
Asia, penggunaan luas agen fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka
kejadian DCS ( decreased ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen
fluorokuinolon sebainya dibatasi dan tidak menjadi terapi empiris. Pasien yang terinfeksi
dengan golongan S.typhi DCS sebaiknya diterapi menggunakan ceftriaxone, azithromycin
atau ciprofloksasin dalam dosis besar. Penggunaan fluorokuinolon dosis besar dalam 7 hari
sebagai terapi demam typhoid DCS, menyebabkan keterlambatan resolusi dan meningkatkan
angka karier fecal. Oleh karena itu, terapi demam typhoid DCS dengan menggunakan
ciprofloxacin dosis besar diberikan dalam waktu 14 hari.
Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk demam tifoid
MDR ( multi drug resistant), termasuk DCS dan salmonella yang resisten dengan
fluorokuinolon. Agen ini menurunkan panas dalam waktu ± 1 minggu, dengan angka
kegagalan 5-10%, angka karier fekal <3% dan angka relaps 3-6%. Pemberian azithromycin
oral, menurunkan demam dalam 4-6 hari, dengan angka relaps dan karier fekal <3%. Pada
demam tifoid DCS, pemberian azithromycin berhubungan dengan angka kegagalan terapi
yang rendah, dan durasi hospitalisasi yang pendek dibandingkan pemberian fluorokuinolon.
Sefalosporin generasi satu, generasi generasi kedua dan aminoglikosida tidak efektif pada
terapi demam tifoid.
Pada pasien dengan demam tifoid tanpa komplikasi, dapat diterapi di rumah dengan
antibiotik oral dan antipiretik. Pasien dengan muntah menetap, diare menetap atau distensi
abdomen sebaiknya dirawat di rumah sakit dan diberikan terapi suportif (tirah baring dan
dukungan nutrisi )disertai pemberian antibiotik parenteral sefalosporin generasi ketiga atau
fluorokuinolon, tergantung dari tingkat sensitif bakteri. Terapi sebaiknya diberikan selama 10
hari atau selama 5 hari setelah resolusi demam.
Pada 1-5% pasein yang menderita karies Salmonella kronis dapat diterapi dengan
pemberian antibiotik oral yang tepat selama 4 sampai 6 minggu. Terapi menggunakan

21
amoxicillin oral, TMP-SMX, ciprofloxacin atau norfloxacin efektif dalam mengeradikasi
karier kronis ( 80% efektif). Siprofloksasin 750 mg, 2 kali sehari selama 28 hari terbukti
efektif. Bila tidak ada siprofloksasin dan galur tersebut peka, 2 tablet ko-trimoksaszol 2 kali
sehari selama 3 bulan , atau 100 mg/kg/hari amoksisilin dikombinasi dengan probenesid 30
mg/kg/hari, keduanya diberikan selama 3 bulan juga efektif. Karier dengan batu empedu
hanya memperlihatkan respons sementara terhadap kemoterapi, dan diperlukan
kolesistektomi untuk mengakhiri keadaan karier pada kasus tersebut.
Tabel 2.1 Terapi antibiotik untuk demam tifoid

22
Tabel 2.2 Antibiotik untuk Pengobatan Demam Tifoid Tahun 2010 ( KONSENSUS
KONAS PETRI - BALI )

III.8 Komplikasi Demam Tifoid


Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan mengancam nyawa,
terggantung dari faktor inang ( terapi imunosupresi, terapi antasida, riwayat vaksinasi),
virulensi dari bakteri dan pemilihan terapi antibiotik. Pendarahan gastrointestinal *10-20%)
dan perforasi intestinal (1-3%), hal ini biasa terjadi minggu ke-3 dan minggu ke-4.

23
Pendarahan gastrointestinal dan perforasi intestinal terjadi akibat hiperplasia, ulsersi dan
nekrosis dari plak peyeri ileocecal. Keuda komplikasi ini dapat mengancam nyawa dan
membutuhkan resusistasi cairan segera dan intervensi bedah dengan pemberian antibiotik
spektrum luas untu periotinits polimikrobial. Manifestasi neurologikal dapat ditemukan pada
2 -40% berupa, meningitis, guillain-barre syndrome, neuritits dan gejala neuropsikiatrik.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa disseminated intravascular coagulation,
hematophagotic syndrome, pankreatitis, hepatitis, miokarditis, orkitis, glomerulonefritis,
pieloneftitis, pneumonia berat, arthritis, osteomielitis. Namun komplikasi ini sudah jarnag
terjadi akibat pemberian antibiotik yang tepat.

Gambar 2.7 : Perforasi ileum akibat infeksi S. typhi

24
BAB IV
KESIMPULAN

IV.1 Kesimpulan
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia. WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk
demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka
kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya. Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan
dengan berbagai cara, tidak hanya dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada
pasien namun juga didukung dengan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis definitif.
Pada intinya, segala jenis pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri
penyebab demam tifoid. Diantara berbagai pemeriksaan serologis yang ada, widal
sebagai pemeriksaan yang paling tua sudah tidak lagi menjadi pemeriksaan yang
direkomendasikan. Saat ini sudah ada pemeriksaan serologis lain dengan sensitifitas dan
spesitifitas yang lebih baik seperti TUBEX dan Typhidot.
Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan angka
kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fecal <2%. Penggunaan luas agen
fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS (decreased
ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen fluorokuinolon sebainya
dibatasi dan tidak menjadi terapi empiris. Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral
merupakan terapi efektif untuk demam tifoid.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. [WHO] Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever.
World Health Organization; 2003: 17-18.
2. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, Baiging D, Bhattacharya SK, Agtini MD, et
al. WHO | A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and
implications for controls. http://www.who.int/ bulletin/volumes/86/4/06039818/
en/#content. [31 Mei 2013].
3. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008. http://www.litbang.depkes. go.id/
bl_riskesdas2007. [31 Mei 2013].
4. Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran Indonesia.
2012; XXXVIII (08). http://jurnalmedika.com /edisi-tahun-2012/edisi-no-08-vol-
xxxvii/2012/463-kegiatan/965-Tubex®-cepat-dan-akurat-diagnosis-demam-tifoid. [31
Mei 2013].
5. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB, et al. Bull.
World Health Organisation. 2011 Sep 1;89(9):640-7. http://www.who.
int/bulletin/online_first/11-087627.pdf. [31 Mei 2013].
6. Kawano RL, Leano SA, Agdamag DM. Comparison of Serological Test Kits for Diagnosis
of Typhoid Fever in the Philippines. J Clin Microbiol. Jan 2007; 45(1): 246–247.
http://www.ncbi.nlm. nih.gov/pmc/articles/PMC 1828988/.
[ 31 Oktober 2013 ].
7. Septiawan IK, Herawati S, Sutirtayasa IW. Examination of The Immunoglobulin M Anti
Salmonella in Diagnosis of Typhoid Fever. E-Jurnal Medika Udayana 2.6; 2013: 1080-
1090. http://ojs.unud.ac.id /index.php/eum/article/view/5626. [31 Oktober 2013].
8. Aru W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jilid II. Jakarta: Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006: 1774.
9. Kidgell C, Reichard U, Wain J, Linz B, Torpdahl M, Dougan G, et al. Salmonella Typhi,
the causative agent of typhoid fever. Infect Genet Evol. 2002 Oct;2(1):39-45.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 12797999. [ 31 Oktober 2013 ].
10. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III. Jakarta :
Interna Publishing. 2009:2797-2800.

26
11. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever. New
England Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782. http://www.nejm.org/doi/
full/10.1056/NEJMra020201. [31 Oktober 2013].
12. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi – Pediatri
Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang : IDAI Jawa
Timur, 2005:37-50.
13. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of Pediatrics,
edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-358.
14. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed.
Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43.
15. Darmowandowo W. Demam tifoid. Media IDI 1998;23:4-7.
16. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan Naskah
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI,
2001:65-73.
17. [WHO] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis,
treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.
18. Wain J, Bay PVB, Vinh H, Duong NM, Diep TS, Walsh AL, et al. Quantitation of bacteria
in bone marrow from patients with typhoid fever : relationship between counts and
clinical features. J Clin Microbiol 2001;39(4):1571-6.
19. Chaicumpa W, Ruangkunaporn Y, Burr D, Chongsa-Nguan M, Echeverria P. Diagnosis of
typhoid fever by detection of Salmonella Typhi antigen in urine. J Clin Microbiol
1992;30(9):2513-5. [Abstract]
20. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-82.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra020201. [ 31 Oktober 2013 ].
21. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak
XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2003:19-34.
22. [DEPKES]. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Mei 2006. www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes /KMK%20No.
%20364%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Demam%20Tifoid.pdf.
[31 Oktober 2013].
23. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.
repository.usu.ac.id/bitstream/4/Chapter %20II.pdf. [31 Oktober 2013]
27
24. Drive, Nancy R. 2009. A Review Article of Salmonella Typhi IgM ELISA.
www.genwaybio.com. [ 31 Oktober 2013 ].
25. Gasem MH, Smits HL, Goris MG, Dolmans WM. Evaluation of a simple and rapid dipstick
assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med Microbiol 2002; 51:173-
177.
26. Sherwal BL, Dhamija RK, Randhawa VS, Jais M, Kaintura A, Kumar M . A Comparative
Study of Typhoid and Widal Test in Patient of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3) : 244-
6. http:// medind.nic.in/jac/t04/i3/jact 04i3p244.pdf. [ 31 Oktober 2013 ].
27. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever. IDL Botech, 2008. www.idl.se. [ 31
Oktober 2013 ].
28. Anagha K, Deepika B, Shahriar R, Sanjeev K. The Easy and Early Diagnosis of Typhoid
Fever. JDCR. 2012;4058:2034. www.jcdr.net /articles/pdf/ 2034/12a-%204058.A.pdf.
[ 31 Oktober 2013 ].
29. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Salmonellosis.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th edition. United States : Mc Graw Hill.
2015:1049-1052.
30. KONAS PETRI Bali 2010. Konsensus Penatalaksanaan Demam Tifoid. Bali. 2010.

28

Anda mungkin juga menyukai