Anda di halaman 1dari 12

Penanganan dan Penyebab Kolitis Ulserativa yang Disertai Hematokezia

Tanri Julian

102019028

Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510.


E-mail: tanri.102019028@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Inflammatory bowel disease atau disebut juga dengan IBD merupakan sebuah
penyakit dimana traktus gastrointestinal mengalami peradangan yang cukup parah. IBD
sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu kolitis ulseratif dan Crohn’s disease. Kedua
penyakit ini hampir sama tetapi ada sedikit perbedaan diantara keduanya. Pada kolitis
ulseratif, ada beberapa faktor predisposisi yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang
mengalami penyakit ini. Pemeriksaan yang penting dilakukan adalah pemeriksaan fisik pada
pasien, pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah dan feses, dan pemeriksaan
biopsy kolonoskopi untuk menegakkan diagnosis. Tatalaksana yang bisa dilakukan adalah
tatalaksana secara medikamentosa dan secara operasi jika sangat dibutuhkan. Prognosis dari
IBD biasanya baik jika mendapatkan tatalaksana yang baik. Komplikasi dari kolitis ulseratif
cukup banyak dan yang paling bahaya adalah toksik megakolon.

Kata kunci: IBD, kolitis ulseratif,

Abstract

Inflammatory bowel disease or also known as IBD is a disease in which the


gastrointestinal tract experiences severe inflammation. IBD itself can be classified into two,
namely ulcerative kolitis and Crohn's disease. These two diseases are almost the same but
there are slight differences between the two. In ulcerative kolitis, there are several
predisposing factors that can increase a person's chances of developing this disease. The
important examinations to do are physical examination of the patient, laboratory tests such
as blood and fecal tests, and colonoscopic biopsy examinations to make a diagnosis.
Management that can be done is management medically and surgically if it is really needed.
The prognosis of IBD is usually good with good management. There are many complications
from ulcerative kolitis and the most dangerous is megacolon toxicity.

Keyword:IBD, Ulserative kolitis

Pendahuluan

Manusia selalu membutuhkan energi untuk menjalani kehidupannya sehari-hari.


Energi yang didapatkan tubuh manusia berasal dari makanan yang dikonsumsi kita setiap
hari. Makanan yang sudah masuk kedalam tubuh akan diproses oleh sistem pencernaan dan
diserap dan diubah menjadi energi untuk kelangsungan hidup manusia. Tetapi ada keadaan
dimana pencernaan ini terganggu yaitu ketika ada suatu penyakit yang membatasi fungsi
kerja sistem pencernaan tubuh kita.

Inflammatory bowel disease merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan tubuh
manusia menjadi tidak dapat melakukan fungsinya dengan baik. Peradangan pada traktus
gastrointestinal manusia tentu saja akan menimbulkan banyak masalah yang akan
menyebabkan seseorang menjadi lebih lemah dari biasanya. Masalah ini dapat menyebabkan
banyak komplikasi pada seseorang dan bahkan dapat menyebabkan mortalitas.

Anatomi Sistem Pencernaan

Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara toraks dan
pelvis. rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang terbentuk dari dari otot
abdomen, columna vertebralis, dan tulang ilium. Untuk membantu menetapkan suatu lokasi
di abdomen, yang paling sering dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang
bayangan horizontal dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi
dinding anterior abdomen menjadi sembilan daerah (regiones). Dua bidang diantaranya
berjalan horizontal melalui setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian
atas crista iliaca dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang
rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum inguinale. Regio abdomen tersebut
adalah: 1) hypocondriaca dextra, 2) epigastrica, 3) hypocondriaca sinistra, 4) lumbalis dextra,
5) umbilical, 6) lumbalis sinistra, 7) inguinalis dextra, 8) pubica/hipogastrica, 9) inguinalis
sinistra

1. Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung empedu, sebagian
duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal
kanan.
2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan sebagian dari
hepar.
3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian kaudal pankreas,
fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal kiri.
4. Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan, sebagian
duodenum dan jejenum.
5. Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah duodenum, jejenum
dan ileum.
6. Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri, sebagian
jejenum dan ileum.
7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan ureter
kanan.
8. Pubica/Hipogastric meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada
kehamilan).
9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri.

Etiologi dan Epidemiologi

Inflammatory Bowel Disease atau IBD termasuk Crohn’s disease dan kolitis ulseratif.
Kedua penyakit tersebut ditandai dengan peradangan kronis dengan etiologi yang belum
jelas. Respon inflamasi usus besar merupakan suatu proses fisiologis yang kejadiannya sangat
diperlukan sebagai reaksi pertahanan suatu organisme. Peradangan dapat disebabkan oleh
faktor internal yang terkait dengan sel tubuh serta faktor eksternal, seperti infeksi dan
eksposisi agen inflamasi. Sampai saat ini, IBD telah diklasifikasikan sebagai penyakit
autoimun, sekarang IBD dikaitkan dengan gangguan obstruksi usus atau disbiosis.1

Terdapat cukup banyak predisposisi yang dapat meningkatkan resiko terkena penyakit
IBD. Faktor genetik, disbiosis. diet tipe barat, komponen alami seperti gluten dan laktosa.
Selain itu, perkembangan penyakit ini dibantu juga oleh rokok, fosfat, nanomolekul, natrium
klorida, emulgen, karagenan, karboksimetilselulosa, polusi, maltodekstrin.1

Studi populasi komparatif terakhir di Asia menemukan bahwa kejadian IBD


bervariasi di seluruh Asia, mulai dari 0,54 per 100.000 sampai 3,44 per 100.000 orang. 2 Di
Australia, angka kejadian IBD, CD dan KU dalam standar usia (Populasi Standar Dunia
WHO) masing-masing adalah 25,2, 16,5 dan 7,6/100.000/tahun. 3 Berdasarkan catatan rumah
sakit nasional menunjukkan 4,2 kasus baru CD dan 12,8 kasus baru KU per 100.000
penduduk pada tahun 2007. Selain itu, jumlah pasien baru dirawat di rumah sakit karena CD
meningkat secara signifikan, terutama pada kelompok usia termuda. Kejadian IBD lebih
tinggi di kota jika dibandingkan dengan daerah pedesaan dan kejadian tertinggi diamati
terjadi pada dekade ketiga kehidupan. CD pada populasi orang dewasa lebih sering terjadi
pada wanita, sedangkan pada anak-anak, ditemukan korelasi yang berlawanan.4

Patofisiologi

Perkembangan teknologi analisis DNA dan sekuens DNA telah berkontribusi besar
terhadap pemahaman tentang kontribusi genetik untuk IBD dengan ditemukannya NOD2
(nucleotide-binding oligomerization domaincontaining 2), gen kerentanan pertama untuk CD.
Gen NOD2 mengkode protein yang awalnya digambarkan sebagai reseptor intraseluler yang
mengenali muramyl dipeptide (MDP). Stimulasi MDP menginduksi autophagy yang
mengontrol replikasi bakteri dan presentasi antigen, dan memodulasi respon imun bawaan
dan adaptif. NOD2 berpartisipasi dalam jalur MDP-independen yang berbeda seperti regulasi
respons sel-T. Analisis genetik telah menunjukkan peran yang sangat diperlukan untuk
autophagy dalam respons imun di IBD, dan melaporkan dua gen terkait autophagy bernama
ATG16L1 dan IRGM. ATG16L1 penting untuk semua bentuk autophagi, dan mutasi kode
T300A dikaitkan dengan peningkatan risiko CD. Polimorfisme terkait CD di IRGM
menyebabkan berkurangnya ekspresi protein.5,6,7,8

Gen IL23R mengkode subunit reseptor untuk pro-inflamasi sitokin interleukin (IL)
-23, peptida yang terlibat dalam pembentukan sel Th17. Pengikatan IL23 oleh IL23R
menghasilkan aktivasi jalur yang mendorong peradangan dan mengatur respons imun adaptif.
Jalur Th17 dan IL-23 telah ditetapkan dengan baik dalam patogenesis IBD, dengan lokus gen
kerentanan IL23R, IL12B, JAK2, dan STAT3 telah diidentifikasi di KU dan CD. 9 Kerusakan
fungsi IL-10 juga telah dikaitkan dengan CD dan KU. Gen kerentanan lain yang mengatur
fungsi kekebalan termasuk CARD9, IL1R2, REL, SMAD3 dan PRDM1.6,7,8

Disfungsi jalur imun bawaan dan adaptif berkontribusi pada respon inflamasi usus
yang menyimpang pada pasien IBD. Studi terbaru menemukan bahwa perilaku sel yang
memediasi imunitas bawaan dan ekspresi serta fungsi protein TLR dan NOD berubah secara
signifikan pada individu dengan IBD.7 Hilangnya fungsi NOD2 dapat menyebabkan
kurangnya penghambatan stimulasi TLR2, yang mengarah ke aktivasi jalur inflamasi dan
respon Th-1 yang berlebihan. Lebih lanjut, NOD2 juga berkontribusi pada toleransi imun.
Efek ini terganggu pada sel dari pasien dengan mutasi NOD2 3020insC. IL-23 adalah sitokin
baik dalam imunitas bawaan maupun adaptif dan memiliki peran sentral dalam mendorong
respons awal terhadap mikroba.

Sel Th1 memediasi produksi sitokin proinflamasi, seperti interferon gamma (IFN-γ),
TNF-α, dan interleukin (IL) -2, yang merupakan bagian dari imunitas yang diperantarai sel.
Sebaliknya, sel Th2 menyebabkan produksi sitokin antiinflamasi, termasuk IL-4, IL-5, IL-6,
dan IL-10, yang merupakan respon imun humoral. Ada interaksi timbal balik antara limfosit
Th1 dan Th2. Sitokin Th1 mendorong produksi sel Th1 dan menghambat sel Th2. Pada
pasien KU, sel NK T atipikal melepaskan lebih banyak sitokin Th2 IL-13 daripada sel T.
Oleh karena itu, CD dianggap ditandai oleh respons imun Th1, sedangkan KU dianggap
sebagai penyakit yang dimediasi Th2.

Banyak faktor lingkungan yang dianggap sebagai faktor risiko IBD, termasuk
merokok, diet, obat-obatan, geografi, tekanan sosial, dan elemen psikologis. Penelitian
selanjutnya telah mengkonfirmasi efek perlindungan perokok berat pada perkembangan KU
dengan tingkat kekambuhan yang lebih rendah.10 Kekurangan vitamin D dikaitkan dengan
peningkatan kerentanan terhadap kolitis yang diinduksi natrium sulfat dekstran dan
suplementasi 1,25 (OH)2D3 memperbaiki keparahan peradangan usus. Dosis tinggi, durasi
penggunaan yang lama, dan penggunaan NSAID yang sering dikaitkan dengan peningkatan
risiko CD dan KU. Penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid lebih tinggi pada
pasien dengan kolitis ulseratif dibandingkan dengan kontrol, dan sepertiga pasien dengan
kolitis ulseratif eksaserbasi yang dilaporkan baru saja menggunakan obatobatan anti inflamasi
non-steroid.10, 11
Gambar 1 Respons imunitas pada KU dan CD. Sumber: Fakhoury M, Negrulj R, Mooranian A, Al-salami H. Inflammatory
Bowel Disease: Clinical Aspects and Treatments. J Inflamm Research. 2014;7:113-20.

Pada kondisi yang fisiologis sistem imun pada kolon melindungi mukosa kolon dari
gesekan dengan feses saat akan defekasi, tetapi karena aktifitas imun yang berlebihan pada
kolitis maka sistem imunnya malah menyerang sel-sel dikolon sehingga menyebabkan ulkus.
Ulkus terjadi disepanjang permukaan dalam (mukosa) kolon atau rectum yang menyebabkan
darah keluar bersamaan dengan feses. Darah yang keluar biasanya berwarna merah, karena
darah ini tidak masuk dalam pencernaan tetapi darah yang berasal dari pembuluh darah
didaerah kolon yang rusak akibat ulkus, selain itu ulkus yang lama kemudian akan
menyebabkan peradangan menahan sehingga terbentuk pula nanah (pus). Ulkus dapat terjadi
pada semua bagian kolon baik, pada sekum, kolon asenden, kolon tranversummaupun kolon
sigmoid. KU mempengaruhi mukosa superflisisal kolon dan dikarakteristikkan dengan
adanya ulserasi multiple, inflamasi menyebar,dan deskuamasi atau pengelupasan epitelium
kolonik. Perdarahan terjadi sebagai akibat dari ulserasi. Lesi berlanjut yang terjadi secara
bergantian , satu lesi diikuti yang lainnya. Proses penyakit dimulai pada rectum dan akhirnya
dapat mengenai seluruh kolon, akhirnya usus menyempit, memendek dan menebal akibat
hipertropi dan deposit lemak.12,13

Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding

Diagnosis kerja dari hasil skenario yang diberikan adalah pasien memiliki diagnosis
kerja kolitis ulseratif. Anamnesis pada pasien dapat menemukan tanda-tanda inflamasi seperti
demam, eritema nodosum, malaise pada pasien. Penderita kolitis ulseratif juga cenderung
mengalami nyeri di bagian kiri bawah perut serta diare. Akibatnya, kedua gejala ini mungkin
dapat menyebabkan penurunan berat badan dan diare yang disertai dengan darah merah segar
atau hematokezia. Salah satu anamnesis penentu yang mengarah ke arah kolitis ulseratif
adalah hematokezia ini. Lokasi nyeri perut tergantung pada luasnya keterlibatan kolon. Nyeri
ditemukan di kuadran kiri bawah dengan penyakit distal dan meluas ke seluruh perut dengan
pankolitis. Terkadang artritis juga dapat ditemukan pada pasien.14

Diagnosis banding untuk kolitis ulseratif termasuk CD dan kolitis menular yang
disebabkan oleh patogen bakteri, virus, atau parasit. Kolitis ulseratif biasanya muncul dengan
keterlibatan kolon yang menyebar, ileum normal, tidak adanya inflamasi transmural, dan
kurangnya granuloma epiteloid. Sedangkan pasien dengan penyakit Crohn mungkin memiliki
area mukosa normal di antara area penyakit. Kolitis ulserativa juga harus dibedakan dari
kolitis mikroskopis, penyebab umum diare non-darah, nyeri perut, dan penurunan berat badan
pada orang dewasa. Kolitis mikroskopis didiagnosis dengan biopsi endoskopi. Pasien yang
dicurigai menderita kolitis ulserativa harus dilakukan kultur feses bakteri. Mereka yang
memiliki riwayat penggunaan antibiotik baru-baru ini harus menjalani tes toksin Clostridium
difficile. Tes tambahan untuk menyingkirkan etiologi infeksi dapat dilakukan tergantung
pada riwayat pasien. Kolitis yang disebabkan oleh infeksi dapat muncul dengan keterlibatan
usus besar yang menyebar dan dapat menyebabkan kolitis toksik. Namun, itu tidak akan
menunjukkan perubahan mukosa kronis seperti distorsi kripto.15

Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang

Suatu serangan bisa mendadak berat, menyebabkan diare hebat, demam tinggi, sakit
perut dan peritoritis (radang selaput perut). Selama serangan, penderita tampak sangan sakit.
Yang lebih sering terjadi adalah serangannya mulai bertahap, dimana penderita memiliki
keinginan untung buar air besar yang sangat kram ringan pada perut bawah dan tinja yang
berdarah dan berlendir. Jika penyakit ini terbatas pada rectum dan kolon sigmoid, tinja
mungkin normal atau keras dan kering, tetapi selama atau diantara waktu buang air besar dari
rectum keluar lendir yang mengandung banyak sel darah merah dan sel darah putih.
Pemeriksaan mikroskopis tinja dapat dilakukan untuk menentukan keadaan ini.15

Gejala umum berupa demam, bisa ringan atau malah tidak muncul. Jika penyakit
menyebar ke usus besar, tinja lebih lunak dan penderita buang air besar sebanyak 10- 20 kali.
Penderita sering mengalami kram perut yang berat, kejang pada rectum yang terasa nyeri,
disertai keinginan untuk buang air besar. Pada malam hari gejala ini pun berkurang.15,16
Skor aktivitas penyakit Mayo, yang merupakan gabungan skor endoskopi dan klinis
(terdiri dari 4 sub-kategori: frekuensi buang air besar, perdarahan saat buang air besar,
temuan kolonoskopi dan penilaian keseluruhan dokter yang berkisar dari 0 hingga 12).16

Biopsi kolon dengan cara kolonoskopi dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis.
Teknik ini sangat efektif dalam mendiagnosis penyakit dan membedakan jenis peradangan.
Di bawah mikroskop, biopsi usus besar yang mengalami inflamasi dapat menunjukkan
kerusakan mukosa, ditandai dengan infiltrasi fokal leukosit ke dalam epitel. Baron score
merupakan penilaian yang digunakan untuk menentukan aktivitas KU dan memastikan terapi
yang harus dijalankan. Dalam beberapa keadaan, penyakit kolon yang parah dapat
menyebabkan inkompetensi katup ileocecal, yang dapat mengakibatkan aliran retrograde isi
kolon ke dalam ileum distal, dan peradangan, yang sering disebut sebagai “backwash”
ileitis.16

Tes laboratorium untuk pemeriksaan darah juga dapat dilakukan seperti tes darah dan
analisis tinja. Tes darah dilakukan untuk mengecek apakah ada anemia atau tidak. Analisis
tinja juga dilakukan untuk melihat apakah ada hematokezia kemudian apakah ada ditemukan
leukosit pada tinja yang merupakan indikasi ada peradangan di intestinum. Analisis tinja juga
dapat membantu menyingkirkan gangguan lain, seperti infeksi yang disebabkan oleh bakteri,
virus, dan parasit.16 CT scan abdomen atau lumbal dapat dilakukan jika dicurigai adanya
komplikasi dari KU. CT scan juga dapat mengungkapkan seberapa besar peradangan kolon
terjadi dan letak-letak pasti dari peradangan juga dapat ditemukan.

Tatalaksana

Terapi medikamentosa dilakukan setelah menetapkan aktivitas penyakit, distribusi


penyakit (Proctitis, left-sided, ekstensif), dan pola (frekuensi relaps, waktu berapa lama
terkena KU, reaksi terhadap pengobatan sebelumnya, efek samping obat, dan manifestasi
ekstraintetinal) dari KU. Tujuan pengobatan adalah untuk induksi dan perbaikan kualitas
kehidupan pasien, mengurani ketergantungan terhadap steroid jangka lama, dan
meminimalisir kemungkinan kanker.16,17

Sulfasalazine biasanya digunakan untuk pengobatan rheumatoid artritis tetapi ternyata


pemakaian sulfasalazine pada pasien KU juga ditemukan efektif. Sulfasalazine sangat bagus
untuk KU yang masih ringan atau sedang dengan fungsi utamanya adalah untuk mencegah
remisi setelah inflamasi sudah berhasil dihentikan. Dosis yang diberikan adalah 2-4 g/hari
untuk perbaikan dan 3-6 g/hari untuk KU yang akut. Efek sampingnya adalah mual, muntah,
anoreksia, sakit kepala, hipersensitivitas kulit, agranulositosis, hepatitis, infertilitas, dan
terhambatnya penyerapan asam folate. Sulfasalazine aman digunakan untuk ibu hamil.16,17

Glukokortikoid juga berfungsi untuk remisi inflamasi dan perkembangan colonnya


menjadi lebih baik. Indikasi pemberian steroid ketika KU sudah mencapai tingkat sedang
atau parah atau ada inflamasi yang parah. Prednison oral sebanyak 20-60 mg dan jika
serangan KU cukup berat maka bisa diberikan secara intravena dengan dosis 40-60 mg/hari
disertai dengan 40-60 mg/hari metilprednison. Terapi intravena ini dilakukan selama 7-10
hari.16,17

Immunosupresan seperti azathiopine dan siklosporin juga dapat digunakan untuk


memperbaiki remisi dari inflamasi. Azathiopine dapat diberikan sebanyak 2-2,5 mg/kgBB
dengan efek samping yang sedikit. Siklosporin biasanya diberikan pada KU yang berat
dengan dosis 4 mg/kgBB.16,17

Terapi operasi yang dilakukan berupa Brook ileostomy, Kock pouch, dan ileoanal
anastomosis. Terapi operasi hanya dilakukan jika ada indikasi KU tetap dalam keadaan yang
parah meskipun terapi secara medikamentosa sudah optimal atau jika ditemukan ada displasia
dan karsinoma yang ditemukan. Kolektomi darurat juga dapat dilakukan jika terdapat
fulminan akut pada kolon atau serangan akut toksik megakolon.16,17

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah pendarahan parah yang dapat menyebabkan
hematokezia parah pada pasien yang dikarenakan inflamasi yang cukup parah. Pendarahan
juga dapat disebabkan oleh ulkus yang sudah parah. Jika ulkus dibiarkan juga dapat
menyebabkan perforasi kolon dan kemudian perforasi kolon dapat menyebabkan peritonitis.
Angka mortalitas sekitar 30 % dan sering terjadi perforasi usus. Dehidrasi yang parah juga
ditakutkan akan terjadi karena kolon kehilangan fungsinya sehingga penyerapan air
berkurang. Kemungkinan terjadi ca kolon juga meningkat. Salah satu komplikasi yang
berbahaya dan membutuhkan penanganan segera adalah pembengkakan kolon yang cepat
(toksik megakolon). Komplikasi sistemik sangat beragam, dan sukar dihubungkan secara
kausal dengan penyakit kolon komplikasi tersebut berupa piodema gangrenosa, episkleritis,
uveitis, artritis, dan spondilosis ankilosa. Gangguan fungsi hati sering terjadi pada kolitis
ulseratif. Adanya komplikasi sistemik berat dapat menjadi indikasi pembedahan pada kolitis,
bahkan bila gejala bersifat ringan sekalipun.1,4,5,16
Prognosis dan Edukasi

Kolitis ulserativa biasanya kronis, dengan kekambuhan berulang dan remisi (periode
tanpa gejala). Pada sekitar 10% orang, serangan awal berkembang pesat dan mengakibatkan
komplikasi serius. 10% orang lainnya pulih sepenuhnya setelah satu serangan. Orang-orang
yang tersisa memiliki beberapa derajat penyakit berulang.

Pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi sangat penting. Diet rendah residu
tinggi protein dan tinggi kalori, dan terapi suplemen vitamin dan pengganti besi diberikan
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Ketidak-seimbangan cairan dan elektrolit yang
dihubungkan dengan dehidrasi akibat diare, diatasi dengan terapi intravena sesuai dengan
kebutuhan. Adanya makanan yang mengeksaserbasi diare harus dihindari. Susu dapat
menimbulkan diare pada individu intoleran terhadap lactose. Selain itu makanan dingin dan
merokok juga dapat dihindari, karena keduanya dapat meningkatkan morbilitas usus. Nutrisi
parenteral total dapat diberikan.17

Simpulan

Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan sebuah penyakit dimana traktus


gastrointestinal seseorang mengalami peradangan parah. Penyebab dari IBD masih belum
jelas tetapi ada beberapa faktor faktor predisposisi yang dapat meningkatkan kemungkinan
terkena penyakit IBD. IBD sendiri dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu Crohn’s disease dan
kolitis ulserativa. Pasien pada skenario mengalami kolitis ulserativa dikarenakan dari
anamnesis yang ditemukan bahwa ada diare berdarah yang sudah berlangsung lama dan
selalu kambuh terus menerus dalam suatu jangka waktu. Pada pemeriksaan penunjang yaitu
biopsi kolonoskopi juga ditemukan pada lamina propria mukosa kolon terdapat serbukan
keras limfosit dan sel plasma yang menandakan adanya peradangan pada mukosa kolon.
Absess kripta, basal plasmasitosis juga ditemukan serta “backwash” ileitis yang merupakan
salah satu ciri khas yang dapat ditemukan pada pasien KU. Pengobatan diberikan kepada
pasien berfungsi untuk meningkatkan kualitas hidup dan pilihan obat yang dapat diberikan
adalah Sulfasalazine sebanyak 2-4 g/hari untuk perbaikan dan 3-6 g/hari untuk KU yang akut
dan Prednison oral sebanyak 20-60 mg dan jika serangan parah maka 40-60 mg/hari secara
intravena selama 7-10 hari. Komplikasi yang biasanya terjadi adalah perforasi kolon, anemia
karena hematokezia dan pendarahan berat, dan salah satu komplikasi paling bahaya adalah
toksik megakolon yang butuh penanganan segera. Prognosis KU biasanya baik dan tingkat
mortalitas tidak terlalu tinggi.

Daftar Pustaka

1. Kikut J, Konecka N, Zietek M, Szczuko M. Inflammatory Bowel Disease etiology:


current knowledge. Pteridenes. 2018;29(1):206-14.
2. Ng SC, Tang W, Ching JY, Wong M, Chow CM, Hui AJ, et al. Incidence and
phenotype of inflammatory bowel disease based on results from the Asia-Pacific
Crohn’s and kolitis epidemiology study. Gastroenterology. 2013;145:158-65.
3. Gearry RB, Richardson A, Frampton CMA, Collett JA, Burt MJ, Chapman BA, et al.
High incidence of Crohn’s disease in Canterbury, New Zealand: results of an
epidemiologic study. Inflamm Bowel Dis. 2016;12:936-43.
4. Wehkamp J, Götz M, Herrlinger K, Steurer W, Stange E. Inflammatory Bowel
Disease. Crohn’s disease and ulcerative kolitis. Dtsch Arztebl Int., 2016;113(5):72–
82.
5. Zhang YZ, Li YY. Inflammatory bowel disease: Pathogenesis. World J Gastroenterol
2014;20(1):91-99
6. Ogura Y, Bonen DK, Inohara N, Nicolae DL, Chen FF, Ramos R, Britton H, Moran
T, Karaliuskas R, Duerr RH, Achkar JP, Brant SR, Bayless TM, Kirschner BS,
Hanauer SB, Nuñez G, Cho JH. A frameshift mutation in NOD2 associated with
susceptibility to Crohn’s disease. Nature 2011;411:603-606.
7. Marks DJ, Harbord MW, MacAllister R, Rahman FZ, Young J, Al-Lazikani B, Lees
W, Novelli M, Bloom S, Segal AW. Defective acute inflammation in Crohn’s
disease: a clinical investigation. Lancet. 2016;367:668-678.
8. Jostins L, Ripke S, Weersma RK, Duerr RH, et al. Host-microbe interactions have
shaped the genetic architecture of inflammatory bowel disease. Nature 2012; 491:
119-124
9. Gaya DR, Russell RK, Nimmo ER, Satsangi J. New genes in inflammatory bowel
disease: lessons for complex diseases. Lancet. 2011; 367: 1271-1284.
10. . Higuchi LM., Khalili H., Chan AT., Richter JM., Bousvaros A., Fuchs CS.: A
Prospective Study of Cigarette Smoking and the Risk of Inflammatory Bowel Disease
in Women. Am J Gastroenterol. 2012 Sep; 107(9): 1399–1406.
11. Shaw SY, Blanchard JF, Bernstein CN. Association between the use of antibiotics in
the first year of life and pediatric inflammatory bowel disease. Am J Gastroenterol.
2010; 105: 2687-2692.
12. Medzhitov R, Janeway C. Innate immunity. N Engl J Med 2012; 343: 338-344.
13. Wehkamp J, Harder J, Weichenthal M, Mueller O, Herrlinger KR, Fellermann K,
Schroeder JM, Stange EF. Inducible and constitutive beta-defensins are
differexpressed in Crohn’s disease and ulcerative kolitis. Inflamm Bowel Dis 2003; 9:
215-223.
14. Sawczenko A, Sandhu BK. Presenting features of inflammatory bowel disease in
Great Britain and Ireland. Arch Dis Child. 2003;88(11):995–1000.
15. Feldman M, et al, eds. Epidemiology, pathogenesis, and diagnosis of inflammatory
bowel diseases. In: Sleisenger and Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease:
Pathophysiology, Diagnosis, Management. 11th ed. Elsevier; 2021.
16. Lewis JD. The utility of biomarkers in the diagnosis and therapy of inflammatory
bowel disease. Gastroenterology. 2011;140(6):1817–1826.
17. Bramantya RR, Nusi IA, Setiawan PB, Purbayu H, Sugihartono T, et al. Diagnosis
and management of Ulcerative Kolitis. SIPS. 2017;1:405-412.

Anda mungkin juga menyukai