Sedangkan menurut Murni Winarsih, tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan
atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan oleh
tidak fungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga anak tersebut tidak dapat
menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari.Hal ini memberikan efek
terhadap sulitnya menangkap informasi yang masuk bagi penderita ditambahkan dengan
pengungkapan bahasa untuk menyampaikan apa yang diinginkan.
Berdasarkan klasifikasi di atas, maka anak yang berada di level profound akan menggunakan
bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan orang lain karena mereka memang tidak bisa
menangkap bahasa sama sekali, kecuali jika dilakukan tindakan medis (operasi cangkok
telinga/cochlear implant) atau alat bantu dengar yang sangat membantu dalam berkomunikasi.
Layanan pendidikan yang ditawarkan pemerintah adalah sistem pendidikan segregasi (sistem
pendidikan di mana anak berkelainan terpisah dari sistem pendidikan anak normal). sistem
pendidikan integrasi (sistem pendidikan yang memungkinkan anak luar biasa memperoleh
kesempatan mengikuti proses pendidikan bersama dengan siswa normal agar dapat
mengembangkan diri secara optimal), dan sistem pendidikan inklusi (penggabungan
penyelenggaraan pendidikan luar biasa dan pendidikan reguler dalam satu sistem pendidikan
yang di persatukan).
Jika guru tidak mampu menerapkan metode pembelajaran dengan tepat, maka siswa juga
tidak bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Sehingga kelompok anak tunarungu akan merasa
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran yang dilaksanakan anak normal. Selain itu akan
muncul diskriminasi antar siswa dalam satu kelas yang akhirnya akan berdampak pada sisi
psikologis anak berkebutuhan khusus.
Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran,
melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara
tersebut.
Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita
mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran
bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral.
Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi
secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak
berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989
dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang
ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang
tinggi. Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang
hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika
Serikat.