Anda di halaman 1dari 23

PAPER

MALPRAKTEK DI BIDANG MEDIS

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 5

ADRIAN ODDY MAULANA 7120011112

FITRIA DEWI DAULAY 7120011117

WANI OKTAVIA 7120011118

DOSEN PENGAMPU :
dr. Aidil Akhyar, SH, LLH.
FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SUMATRA UTARA

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah saya dapat
menyelesaikan makalah ini dengan MAKALAH malpraktek di bidang medis. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas dari dosen Bapak dr.. Aidil Akhyar, SH, LLH Fakultas Hukum
di Universitas Sriwijaya. Selain itu, Kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah
wawasan bagi pembaca tentang hukum terhadap malpraktek.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak dr. Aidil Akhyar,
SH, LLH. selaku dosen mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni. Kami juga mengucapkan terima
kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Medan , 21-02-2021

Kelompok 5
DAFTAR ISI
Kata pengantar ...............................................................................................................i

Daftar isi ................................................................................................................ii

BAB 1 : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................1


1.2 Rumusan masalah ....................................................................................................4
1.3 Tujuan masalah ....................................................................................................4
1.4 Manfaat masalah ....................................................................................................4

BAB 2 : PEMBAHASAN
2.1 Ganti Kerugian .......................................................................................5
2.2 Korban Malpraktek .......................................................................................6
2.3 Hukum di Indonesia .......................................................................................8

BAB 3 : PENUTUP
3.1 Kesimpulan ..............................................................................................................14
3.2 Saran ..............................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu unsur
kepastian hu- kum, kemanfaatan, dan keadilan. Dengan adanya kepastian hukum
masyarakat akan lebih tertib. Masyarakat juga mengharapkan manfaat yang da- pat
diperoleh dari ditegakkannya hukum itu. Dalam pelaksanaan penegakan hukum masyarakat
meng- harapkan juga agar hukum bisa memberikan keadi- lan bagi kepentingan mereka.1
Kemanfaatan dalam penegakan hukum salah satunya dimaksud untuk pembangunan
masyarakat, termasuk di dalamnya pembangunan kesehatan masyarakat.
Pembangunan kesehatan masyarakat diarah- kan untuk meningkatkan derajat
kesehatan, sangat besar artinya bagi pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia
Indonesia dan juga sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional yang pada
hakikatnya adalah pembangunan manu- sia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh
masyarakat Indonesia. Ini merupakan usaha dalam rangka mengemban amanah
sebagaimana termuat dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat (3) “Negara ber- tanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang lay- ak”.
Dokter merupakan soko guru dalam menjel- makan cita-cita dalam Pasal 34 ayat (3) UUD
1945 tersebut dimaksud.
Penyelenggaraan pembangunan kesehatan meliputi upaya kesehatan dan sumber
dayanya, harus dilakukan secara terpadu dan berkesinam- bungan guna mencapai hasil
yang optimal. Upaya kesehatan yang semula dititikberatkan pada upaya penyembuhan
penderita secara berangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan yang
menyeluruh. Oleh karena itu, pembangunan kesehatan yang menyangkut upaya
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan
kesehatan harus dilaksan- akan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinam- bungan, dan
dilaksanakan bersama antara pemerin- tah dan masyarakat, termasuk dokter di dalamnya.

Memperoleh pelayanan kesehatan adalah hak asasi setiap manusia yang


tanggungjawab pelaksanaannya ada pada pemerintah. Pemerintah menyadari rakyat yang
sehat merupakan aset dan tujuan utama dalam mencapai masyarakat adil makmur. Oleh
karenanya pemerintah berkewajiban menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan
terjangkau oleh masyarakat, membiayai pela- yanan kesehatan yang bersifat public goods
seperti imunisasi, pemberantasan penyakit menular, dan kewajiban membiayai pelayanan
kesehatan orang miskin dan usia lanjut. Pada dasarnya perubahan hubungan antara dokter
dan pasien sejalan pula dengan perkembangan ilmu dan teknologi, baik di bidang hukum
maupun ilmu kedokteran sendiri, dan juga disebabkan oleh bertumbuhnya kesadaran
hukum masyarakat khususnya Indonesia, sebagai salah satu hasil pembangunan.
Perubahan karakteristik masyarakat dan dokter sebagai pemberi jasa, dan perubahan
masyarakat sebagai pengguna jasa kedokteran tersebut, bila tidak didukung oleh
peningkatan komunikasi antara dokter dan pasien dapat menimbulkan ketidakpua- san dan
konflik antara keduanya. Konflik itu sering terjadi akibat dari malpraktik yang dilakukan
oleh dokter terhadap pasiennya. Konflik itu terbukti den- gan antara lain masih rendahnya
tingkat kesehatan masyarakat dan m
Masih banyaknya kesalahan dalam pengobatan pasien yang menimbulkan cacat atau
kematian. Sejak awal mengenai umat manusia sudah dikenal adanya hubungan
kepercayaan antara dua insan, yaitu manusia penyembuh dan penderita yang ingin
disembuhkan. Dalam zaman modern hubungan antara dokter dengan pasien. Hubungan ini
merupakan hubungan yang sangat spesifik, yang berlandaskan rasa saling menghormati
dan saling mempercayai serta senantiasa diliputi oleh segala emosi harapan dan
kekhawatiran makhluk insani.
Transaksi terapeutik merupakan suatu perjanjian dalam hal memberikan jasa yang
diatur di dalam pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan jenis perjanjian untuk
memberikan atau melakukan jasa yang diatur di dalam ketentuan khusus1 . Yang
dimaksud dengan ketentuan khusus yang mengatur tentang perjanjian terapeutik adalah
Undang – undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Dokter dan pasien adalah dua
subjek hukum yang terkait dalam hukum kedokteran.
Dokter adalah pihak yang mempunyai keahlian dibidang kedokteran. sedangkan
pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan Dokter untuk menyembuhkan
penyakit yang dideritanya. Pada kedudukan ini dokter adalah orang sehat yang juga pakar
dalam bidang penyakit sementara pasien adalah orang sakit yang awam mengenai
penyakitnya. Pasien, karena keawaman atau ketidaktahuannya, menyerahkan masalah atau
penyakit yang dideritanya kepada dokter demi kesembuhannya. Pasien diharapkan patuh
dalam menjalankan semua nasehat dokter, tidak melanggar larangan, serta memberikan
persetujuan atas tindakan medik yang dilakukan dokter. Keduanya membentuk hubungan
medik maupun hubungan hukum.
Hubungan medik dan hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah hubungan
yang objeknya pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan pelayanan kesehatan pada
khususnya. Hubungan antara dokter dan pasien ini dapat terjadi sengketa medik yang
timbul karena adanya kesenjangan antara harapan pasien / keluarga pasien dengan
kenyataan yang ada setelah dilakukan upaya medik, ditambah lagi dengan kurangnya
pemahaman tentang masalah teknis medis dari pihak pasien serta informasi dari pihak
dokter yang tidak memuaskan pasien / keluarga pasien.
Kebangkitan kesadaran akan hak asasi manusia khusunya dibidang kesehatan, dan
makin tingginya pengetahuan pasien atas berbagai masalah kesehatan, mengakibatkan
dokter tidak bisa secara leluasa mengobati pasiennya tanpa memperhatikan keadaan
pasien. Pola hubungan antara dokter dengan pasien berangsur-angsur berubah menjadi
pola hubungan partner, dimana dokter tidak lagi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
dibanding pasien. Kini pasien mempunyai kedudukan yang sejajar dengan dokter yang
mengobatinya.
Seiring perkembangan pola pikir masyarakat, serta semakin berkembangnya keadaan
masyarakat akan perlindungan hukum, menjadikan hubungan dokter dan pasien bukan saja
sebagai hubungan keperdataan namun juga berkembang hingga menyentuh pada persoalan
pidana, terutama bila muncul kecurigaan dalam diri pasien bahwa ada tindakan malpraktik
yang dilakukan dokter. Hal ini semakin sering diungkap dimedia masa,baik elektronik
maupun cetak, yang mengangkat kasus dugaan malpraktik yang dikaitkan dengan
kecacatan atau kematian seseorang setelah dilakukannya prosedur pengobatan.
Mencermati kasus-kasus yang diduga malpraktik pada dasarnya ada dua pendapat
yang bertentangan secara diameteral. korban yang dalam hal ini masyarakat awam,
menyakini bahwa yang terjadi adalah kasus malpraktik. sedangkan disisi lain, kubu dokter
atau rumah sakit berkeyakinan bahwa yang terjadi bukanlah malpraktik dengan alasan
bahwa pelayanan kesehatan sudah dijalankan sesuai standar sehingga kepercayaan
masyarakat sangat besar kepada para dokter karena merupakan ahli dibidang kesehatan.
sekalipun secara objektif belum tentu menjadi kasus malpraktik, namun oleh karena dalam
prakteknya ternyata ada juga dokter yang lalai dalam hal menangani pasien sehingga
berujung pada kasus malpraktek dan yang lebih mengejutkan lagi bahwa adanya
pembicaraan serta pemberitaan atas kasus malpraktek tersebut telah membuat kalangan
dokter dan tenaga kesehatan lainnya merasa dipojokkan. Apalagi bila kemudian
dilanjutkan dengan tuntutan hukum, baik secara perdata maupun secara pidana.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya maka, penulis dapat
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses ganti kerugian yang ada pada malpraktek?
2. Bagimana korban tindak pidana malpraktek medis?
3. Pengaturan malpraktek dalam hukum di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Memperhatikan rumusan masalah yang ada, maka tujuan yang hendak dicapai
penulis dalam penelitian ini yaitu :
1. Untuk mengetahui proses ganti kerugian yang ada pada malpraktek
2. Untuk mengetahui korban tindak pidana malpraktek medis
3. Untuk mengetahui malpraktek dalam hukum di Indonesia

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis, untuk memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu hukum,
diharapakan agar seluruh komponen masyarakat dapat mengetahui dan memperoleh
pengetahuan tentang masalah yang diteliti agar kedepannya tidak terjadi hal – hal
yang tidak diinginkan khususnya dalam bidang kesehatan.
2. Manfaat praktis, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri
maupun pihak – pihak lain yang ingin mengetahui permasalahan yang diteliti. Selain
itu, diharapkan penelitian ini dapat menjadi acuan bagi para tenaga 7 medis maupun
masyarakat dalam bertindak sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MALPRAKTEK DI BIDANG


MEDIS

1.1 Ganti Kerugian

Pengertian mengenai ganti kerugian tidak ditemukan dalam KUHP, namun


pengertian mengenai ganti kerugian dapat dilihat menurut ketentuan yang diatur dalam

Pasal 1 angka 22 dalam undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan “Ganti kerugian adalah hak seorang untuk

mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena

ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang

atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini.” Berdasarkan uraian pasal tersebut diatas dapat diketahui

beberapa penegasan yang terkait dengan ganti kerugian yaitu:

a. Ganti kerugian merupakan hak tersangka atau terdakwa.

b. Hak itu pemenuhan berupa “imbalan sejumlah uang”.

c. Hak atas imbalan sejumlah uang tersebut diberikan kepada tersangka atau

terdakwa atas dasar :

i. Karena terhadapnya dilakukan penangkapan, penahanan, penuntutan atau

peradilan tanpa alasan berdasarkan undangundang, atau ;

ii. Karena tindakan lain tanpa alasan berdasarkan UndangUndang, atau ;

iii. Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan.

Kemudian penekanan dari permasalahan tersebut tertuang dalam hukum pidana formil yaitu

pasal 98 s/d 101 KUHAP.


Wahyu Affandi mengemukakan “karena perbuatan itu merupakan perkara pidana dan

tuntutan ganti rugi hanya sekedar meminta maka terpenuhinya tuntutan itu tergantung dari

putusan pidananya, bila terdakwa atau penuntut umum menerima putusan tuntutan ganti rugi

direalisir, sebaliknya bila salah satu pihak atau kedua-duanya menolak putusan itu tuntutan ganti

rugi belum dapat direalisir.”1

1.2 Korban Tindak Pidana Malpraktek Medis

1.2.1 Korban Tindak Pidana

Korban dalam Pengaturan hukum di Indonesia selalu menjadi pihak yang paling

dirugikan, selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik

secara materiil, fisik, maupun psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena

tanpa disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian

hukum, misalnya harus kembali mengemukakan, mengingat bahkan mengulangi (merekontruksi)

kejahatan yang pernah menimpanya pada saat sedang menjalani proses pemeriksaan, baik

ditingkat penyidikan maupun setelah kasusnya diperiksa di pengadilan.

Pengertian mengenai korban dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 3 UU PSK yang

menyatakan bahwa “korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau

kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.” Pengertian korban secara luas

bukan hanya sekedar korban yang menderita langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun

juga mengalami penderitaan yang dapat diklarifikasikan sebagai korban.

Korban kejahatan tidak terlepas dari ilmu viktimologi. Melalui ilmu viktimologi dapat

diketahui berbagai macam aspek yang berkaitan dengan korban diantaranya:

1
Djoko Prakoso, 1989, Masalah Ganti Rugi dalam KUHAP, Bina Aksara, Jakarta, h. 109
1. Bagaimana seseorang dapat menjadi korban

2. Faktor yang menyebabkan munculnya kejahatan

3. Upaya untuk meminimalisir terjadinya korban kejahatan, dan

4. Hak dan kewajiban bagi korban kejahatan.2

Korban menurut pendapat Arief Gosita sebagaimana dikutip oleh Dikdik M. Arief

Mansur dan Elisatri Gultom bahwa korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan

rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain

yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang dirugikan.3

Muladi mengemukakan bahwa korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara

individual maupun kolektif telah menderita kerugian termasuk kerugian fisik atau mental,

emosional, ekonomi atau gangguan subtansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui

perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk

penyalahgunaan kekuasaan.4

Jenis-jenis korban sebagaimana dikemukakan oleh Sellin dan Wolfgang yang dikutip

Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjiarto .RS dan G. Widiartana terdiri dari:

 primary victimization, yaitu korban berupa individu atau perorangan


 secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum
 Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas
 No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui misalnya konsumen yang
tertipu dalam menggunakan suatu produksi masyarakat.5

2
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara
Norma dan Realita, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 46
3
ibid
4
Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan
Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, h. 48
5
Suryono Ekotama,ST.Harum Pudjiartono .RS dan G. Widiartana, 2001, Abortus Provocatus Bagi Korban
Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Universitas Atmajaya, Jakarta, h. 96
Korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara

langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan

bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau

tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu

korban mengatasi penderitaan atau untuk mencegah viktimisasi.

1.2.2 Malpraktek Medis

Malpraktek atau malpraktek medis adalah istilah yang sering digunakan orang untuk

tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi didalam dunia kesehatan atau

biasa disebut tenaga kesehatan. Banyak persoalan malpraktek, atas kesadaran hukum pasien

diangkat menjadi masalah pidana.6 Menurut Maryanti, hal tersebut memberi kesan adanya

kesadaran hukum masyarakat terhadap hak-hak kesehatannya.

Beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai malpraktek. Malpraktek

menurut pendapat Jusuf Hanafiah merupakan “kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan

tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien

atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.”7 Amri Amir menyatakan

bahwa “malpraktek medis adalah tindakan yang salah oleh dokter pada waktu menjalankan

praktek, yang menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi kesehatan dan kehidupan pasien, serta

menggunakan keahliannya untuk kepentingan pribadi.”8

Menurut pendapat Ninik Mariyanti bahwa malpraktek memiliki pengertian yang luas

yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

6
Anny Isfandyarie, op.cit, h. 9
7
M. Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan¸Kedokteran EGC,
Jakarta, h. 87
8
Amri Amir, 1997, Bunga Rampai Hukum Kesehatan,Widya Medika, Jakarta, h. 53
1) Dalam arti umum : suatu praktek yang buruk, yang tidak memenuhi standar yang telah

ditentukan oleh profesi.

2) Dalam arti khusus (dilihat dari sudut pasien) malpraktek dapat terjadi di dalam

menentukan diagnosis, menjalankan operasi, selama menjalankan perawatan, dan

sesudah perawatan.9

Hermien Hadiati sebagaimana dikutip oleh Anny Isfandyarie menjelaskan malpraktek

secara harfiah berarti bad practice, atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan

ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus.

Karena malpraktek berkaitan dengan “how to practice the medical science and technology”, yang

sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang

yang melaksanakan praktek. Maka Hermien lebih cenderung untuk menggunakan istilah

“maltreatment”.10

Adapun jenis-jenis malpraktek ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum dapat

dibedakan menjadi dua bentuk yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek

yuridis (yuridical malpractice).

a. Malpraktek Etik

Yaitu tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya

sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan

dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan

seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.

b. Malpraktek Yuridis

9
Ninik Mariyanti, 1998, Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata, Bina Aksara,
Jakarta, h. 75-76
10
Anny Isfandyarie, op.cit, h. 20
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek

perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek

administratif (administrative malpractice).11

1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)

Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya

isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau

terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan

kerugian kepada pasien. Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam

melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa

levis). Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya

perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktek pidana. 12 Contoh dari malpraktek perdata,

misalnya seorang dokter yang melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa perban

didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal kemudian

dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut. Dalam hal ini

kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat

negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.

2) Malpraktek Pidana

Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat

tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya

perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktek pidana

ada tiga bentuk yaitu:

11
Anny Isfandyarie, op.cit, h. 31-33
12
Anny Isfandyarie, op.cit, h. 34
a. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional),tenaga medis tidak

melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada

orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak

benar.

Contoh : melakukan aborsi tanpa tindakan medis

b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan

tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta

melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis. Contoh : Kurang

hati-hatinya perawat dalam memasang infus yang menyebabkan tangan pasien

membengkak karena terinfeksi

c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau

kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-

hati.Contoh : seorang bayi berumur 3 bulan yang jarinya terpotong pada saat

perawat akan melepas bidai yang dipergunakan untuk memfiksasi infus 13

3) Malpraktek Administratif

Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran

terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan

tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau

izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan

praktek tanpa membuat catatan medik.

13
Anny Isfandyarie, op.cit, h. 35
2.3 Pengaturan Malpraktek Medis Menurut Hukum di Indonesia

Hukum di Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai ketertiban masyarakat. Tercapainya

tujuan tersebut tidak terlepas dari aturan-aturan hukum yang satu dengan yang lainnya yang

saling terikat secara tertib dan teratur yang merupakan tatanan. Aturan hukum yang lebih rendah

tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Sehingga banyaknya aturan

hukum yang ada saling terkait yang disebut dengan tatanan hukum.

Pelayanan kesehatan di Indonesia merupakan suatu upaya dari pemerintah untuk

mengurangi jumlah kematian dan meningkatkan persentase kesembuhan masyarakat yang

dirawat di rumah sakit. Keberhasilan upaya kesehatan tergantung kepada ketersediaan

sumber daya kesehatan yang berupa tenaga, sarana dan prasarana dalam jumlah dan mutu

yang memadai. Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk

pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan

pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Pemberian perlindungan dan

kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai

penyelenggaraan praktik kedokteran. Mendukung terciptanya pelayanan kesehatan yang baik,

pemerintah mengeluarkan berbagai macam aturan baik yang berupa undang-undang, peraturan

pemerintah maupun peraturan menteri. Pelaksanaan praktek kedokteran banyak menghadapi

kendala, salah satunya dikenal dengan sebutan malpraktek medis. Belum adanya aturan hukum

normatif (undang-undang) yang mengatur secara terterinci mengenai malpraktek medis

menyebabkan malpraktek medis ini sulit dibuktikan sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak

pasien yang menjadi korban. Selain itu tidak adanya aturan hukum secara terperinci mengenai

malpraktek medis juga berdampak pada tenaga kesehatan karena tidak adanya ketentuan yang

jelas bagaimana kriteria perlakuan medis yang

dapat dinyatakan sebagai malpraktek medis.


Indonesia sampai saat ini belum memiliki Undang-Undang tentang malpraktek medis.

Sistem hukum Indonesia, tidak semua mengatur malpraktek medis. Pengaturan mengenai

malpraktek medis secara umum dapat dilihat dari ketentuan yang tercantum dalam Hukum

Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi. Undang-Undang yang bersangkutan, antara

lain : UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktek

Kedokteran, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta UU No 44 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan dasar

bagi pasien untuk mengajukan upaya hukum.

Peraturan yang tidak masuk dalam hierarki sistem hukum Indonesia tetapi berkaitan

dengan malpraktek medis antara lain: Peraturan Menteri Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008

tentang Rekam Medis, Peraturan Menteri Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin

Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan No:

585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik. Pengaturan tersebut yang

sudah tidak berlaku lagi yakni, UU No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan yang sudah diganti

dengan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Secara yuridis kasus malpraktek medis di

Indonesia dapat diselesaikan dengan bersandar pada beberapa dasar hukum yaitu: KUHP,

KUHPerdata, UU No 23 Tahun 1992, UU No 8 Tahun 1999, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36

Tahun 2009, UU Nomor 44 Tahun 2009, Peraturan Menteri Kesehatan No

585/Menkes/Per/IX/1989, Peraturan Menteri Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007, Peraturan

Menteri Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008.

Malpraktek Kedokteran bisa masuk lapangan hukum pidana , apabila memenuhi syarat –

syarat tertentu dalam tiga aspek yaitu syarat dalam sikap batin dokter, syarat dalam perlakuan

medis dan syarat mengenai hal akibat. Dasarnya syarat dalam perlakuan medis adalah perlakuan

medis yang menyimpang. Syarat mengenai sikap batin adalah syarat sengaja atau culpa dalam
malpraktek kedokteran. Syarat Akibat adalah syarat mengenai timbulnya kerugian bagi

kesehatan atau nyawa pasien.

Secara garis besar pengaturan mengenai malpraktek medis dalam hukum di Indonesia

dapat dilihat dari ketentuan KUHP, UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan UU No. 29

Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

a. KUHP

Berkaitan dengan tindak pidana malpraktek tidak diatur dengan jelas dalam

KUHP. Pengaturan di dalam KUHP lebih kepada akibat dari perbuatan malpraktek

tersebut. Pengaturan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dilihat

dari ketentuan Pasal 53 KUHP yaitu terkait dengan percobaan melakukan kejahatan pasal

ini hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat

dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Pasal 267 KUHP mengenai

Pemalsuan Surat, Pasal 345, 347, 348, 349 KUHP yang berkaitan dengan upaya abortus

criminalis (pengguguran kandungan) karena di dalamnya terdapat unsur adanya upaya

menggugurkan kandungan tanpa adanya indikasi medis. Pasal 351 KUHP tentang

Penganiayaan sebagaimana penjelasan Menteri Kehakiman bahwa setiap perbuatan yang

dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaanbadan kepada orang lain atau

dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang lain.14

Terkait dengan kealpaan yang menyebabkan mati atau luka-luka dapat dilihat dari

ketentuan Pasal 359 KUHP. Pasal ini terkait dengan penanggulangan tindak pidana

malpraktek kedokteran dapat didakwakan terhadap kematian yang diduga disebabkan

karena kesalahan dokter. Pasal 359 KUHP ini juga dapat memberikan perlindungan

hukum bagi

14
Anny Isfandyarie, 2005, Malpraktek dan Resiko Medik, Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 134
pasien sebagai upaya preventif mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana

malpraktek kedokteran namun perlu juga solusi untuk menghindarkan dokter dari rasa

takut yang berlebihan dengan adanya pasal ini. Pasal 360 KUHP, rumusan dalam Pasal 359

dan Pasal 360 KUHP menyebutkan tentang cacat, luka – luka berat maupun kematian yang

merupakan bentuk akibat dari perbuatan petindak sehingga dari sudut pandang subjektif

sikap batin petindak disini termasuk dalam hubungannya dengan akibat perbuatannya. 15

Pasal 361 KUHP yang merupakan pasal pemberatan pidana bagi pelaku dalam

menjalankan suatu jabatan atau pencaharian dalam hal ini jabatan profesi sebagai dokter,

bidan dan juga ahli obat-obatan yang harus berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya

karena apabila mereka lalai sehinga mengakibatkan kematian bagi orang lain atau orang

tersebut menderita cacat maka hukumannya dapat diperberat 1/3 dari Pasal 359 dan Pasal

360 KUHP. Pasal 304 KUHP, Pasal 306 ayat (2) KUHP “kalau salah satu perbuatan yang

diterangkan dalam Pasal 304 mengakibatkan orang mati, si tersalah itu dihukum penjara

paling lama sembilan tahun”. Terkait dengan kejahatan terhadap tubuh dan nyawa dapat

dilihat dari ketentuan Pasal 338, 340, 344, 345, 359, KUHP yang dapat dikaitkan dengan

euthanasia, apabila dihubungkan dengan dunia kesehatan sebagai upaya penanggulangan

tindak pidana malpraktek di Indonesia menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun

pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Termasuk juga dengan euthanasia aktif dengan

permintaan.

b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Adapun kebijakan formulasi hukum pidana terkait dengan penanggulangan tindak

pidana malpraktek medis dapat dilihat dari ketentuan Pasal 29 UU Kesehatan yang

berkaitan dengan dengan kelalaian, disebutkan bahwa “Dalam hal tenaga kesehatan diduga

melakukan

15
Adami Chazawi, 2001, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 125
kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih

dahulu melalui mediasi.” Berkaitan dengan perlindungan pasien dapat dilihat dari

ketentuan Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 UU Kesehatan.

Terkait dengan transplantasi organ dapat dilihat dari ketentuan Pasal 64, Pasal 65,

Pasal 66, apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan pasal tersebut maka dapat dijatuhi

sanksi pidana sesuai ketentuan Pasal 192 UU Kesehatan yang menyatakan :

“Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan
dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah)”

Ketentuan mengenai aborsi sebagaimana diatur dalam Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77

UU Kesehatan bagi yang melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi sebagaimana

ditetapkan dalam ketentuan Pasal 194 UU Kesehatan bahwa “Setiap orang yang dengan

sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

c. Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Adapun ketentuan yang berkaitan dengan penanggulangan tindak pidana

malpraktek kedokteran pada Undang – Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran dapat dilihat dalam Pasal 51 UU Praktik Kedokteran mengenai kewajiban dari

dokter dan dokter gigi, Pasal 75, Pasal 77 UU Praktik Kedokteran yang berlaku bagi orang

yang bukan dokter yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk

lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah – olah dokter yang telah memiliki

SIP atau STR ( Surat izin praktik atau Surat Tanda Registrasi ), Pasal 78, Pasal 79, Pasal

80 UU Praktik Kedokteran.
Menurut ketentuan Pasal 80 ayat (1) dan (2) UU Praktik Kedokteran tersebut

dapat diartikan bahwa sanksi pidana yang tercantum di dalam pasal 80 ayat (1) dan ( 2 )

UU Praktik Kedokteran dapat dikenakan kepada perorangan yang memiliki sarana

pelayanan kesehatan yang mempekerjakan dokter tanpa SIP, selain itu korporasi yang

memiliki sarana pelayanan kesehatan yang mempekerjakan Dokter yang tidak mempunyai

SIP juga dapat dikenakan pidana. Menganalisa pada ketentuan Pasal 75 (1), Pasal 76, Pasal

79 huruf a dan Pasal 79 huruf c sebelum putusan mahkamah konstitusi materi muatan yang

terdapat di dalam UU Praktik Kedokteran telah menimbulkan kriminalisasi terhadap

tindakan dokter yang berpraktik kedokteran yang tidak dilengkapi STR, SIP dan tidak

memasang papan nama, serta tidak menambah ilmu pengetahuan dengan ancaman pidana

yang cukup berat dan denda yang sangat tinggi Hal demikian dapat menimbulkan rasa

takut bagi dokter di dalam melakukan pengobatan terhadap pasien.


BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
1. Malpraktik adalah perbuatan yang bertentangan dengan etika, disiplin serta hukum, tidak
melaksanakan standar-standar dan pedoman yang dibuat oleh organisasi profesinya dan
pemerintah, dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja atau karena kelalaian.
2. Bentuk malpraktik apoteker dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu pertama,
bertentangan dengan etik (ethical malpractice), kedua, bertentangan dengan disiplin disebut
(disipline malpractice), ketiga, bertentangan dengan hukum (yuridis malpractice).
Bertentangan dengan hukum dibagi 3 (tiga) yaitu hukum perdata (civil malpractice), hukum
pidana (criminal malpractice) dan hukum administrasi (administration malpractice).
3. Pertanggungjawaban malpraktik apoteker sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan yaitu
pertanggungjawaban secara etik, disiplin maupun hukum dengan pertanggungjawaban
tunggal dapat komulatif.
4. Bahwa peraturan perundang-undangan yang terkait bidang kefarmasian dewasa ini belum
efektif untuk menanggulangi jika terjadi malpraktik apoteker dikarenakan sistem hukumnya
sendiri belum ada yang secara implisit mengatur bagaimana tata cara praktik apoteker dan
perihal malpraktik apoteker, masih sedikit penegak hukum yang memahami hukum bidang
kesehatan, masyarakat tidak banyak yang tahu hak dan kewajiban dalam menerima
pelayanan kefarmasian, masih banyak apoteker belum memberikan kewajibannya dan tidak
ada tindakan tegas dari pemerintah

B. Saran
Dugaan malpraktik antara pasien dengan tenaga kesehatan jika masuk ke peradilan
sangat sensitif bagi tenaga kesehatan untuk menjaga reputasinya sebagai pelayan kesehatan,
apalagi kalau sampai ke pengadilan, untuk itu pemerintah perlu memberi edukasi dan
sosialisasi pada profesi kesehatan sebagai pemberi layanan dan pasien atau masyarakat
penerima layanan bagaimana menyelesaikan dugaan malpraktik dengan cara non litigasi.
DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi, 2001, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.


125

Anny Isfandyarie, 2005, Malpraktek dan Resiko Medik, Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 134

Ninik Mariyanti, 1998, Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata,
Bina Aksara, Jakarta, h. 75-76

Djoko Prakoso, 1989, Masalah Ganti Rugi dalam KUHAP, Bina Aksara, Jakarta, h. 109

Dikdik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan Antara Norma dan Realita, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 46

Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, h. 48

Suryono Ekotama,ST.Harum Pudjiartono .RS dan G. Widiartana, 2001, Abortus


Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana,
Universitas Atmajaya, Jakarta, h

Anda mungkin juga menyukai