DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
DOSEN PENGAMPU :
dr. Aidil Akhyar, SH, LLH.
FAKULTAS HUKUM
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah saya dapat
menyelesaikan makalah ini dengan MAKALAH malpraktek di bidang medis. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas dari dosen Bapak dr.. Aidil Akhyar, SH, LLH Fakultas Hukum
di Universitas Sriwijaya. Selain itu, Kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah
wawasan bagi pembaca tentang hukum terhadap malpraktek.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak dr. Aidil Akhyar,
SH, LLH. selaku dosen mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni. Kami juga mengucapkan terima
kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
Medan , 21-02-2021
Kelompok 5
DAFTAR ISI
Kata pengantar ...............................................................................................................i
BAB 1 : PENDAHULUAN
BAB 2 : PEMBAHASAN
2.1 Ganti Kerugian .......................................................................................5
2.2 Korban Malpraktek .......................................................................................6
2.3 Hukum di Indonesia .......................................................................................8
BAB 3 : PENUTUP
3.1 Kesimpulan ..............................................................................................................14
3.2 Saran ..............................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu unsur
kepastian hu- kum, kemanfaatan, dan keadilan. Dengan adanya kepastian hukum
masyarakat akan lebih tertib. Masyarakat juga mengharapkan manfaat yang da- pat
diperoleh dari ditegakkannya hukum itu. Dalam pelaksanaan penegakan hukum masyarakat
meng- harapkan juga agar hukum bisa memberikan keadi- lan bagi kepentingan mereka.1
Kemanfaatan dalam penegakan hukum salah satunya dimaksud untuk pembangunan
masyarakat, termasuk di dalamnya pembangunan kesehatan masyarakat.
Pembangunan kesehatan masyarakat diarah- kan untuk meningkatkan derajat
kesehatan, sangat besar artinya bagi pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia
Indonesia dan juga sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional yang pada
hakikatnya adalah pembangunan manu- sia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh
masyarakat Indonesia. Ini merupakan usaha dalam rangka mengemban amanah
sebagaimana termuat dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat (3) “Negara ber- tanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang lay- ak”.
Dokter merupakan soko guru dalam menjel- makan cita-cita dalam Pasal 34 ayat (3) UUD
1945 tersebut dimaksud.
Penyelenggaraan pembangunan kesehatan meliputi upaya kesehatan dan sumber
dayanya, harus dilakukan secara terpadu dan berkesinam- bungan guna mencapai hasil
yang optimal. Upaya kesehatan yang semula dititikberatkan pada upaya penyembuhan
penderita secara berangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan yang
menyeluruh. Oleh karena itu, pembangunan kesehatan yang menyangkut upaya
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan
kesehatan harus dilaksan- akan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinam- bungan, dan
dilaksanakan bersama antara pemerin- tah dan masyarakat, termasuk dokter di dalamnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya maka, penulis dapat
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses ganti kerugian yang ada pada malpraktek?
2. Bagimana korban tindak pidana malpraktek medis?
3. Pengaturan malpraktek dalam hukum di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Memperhatikan rumusan masalah yang ada, maka tujuan yang hendak dicapai
penulis dalam penelitian ini yaitu :
1. Untuk mengetahui proses ganti kerugian yang ada pada malpraktek
2. Untuk mengetahui korban tindak pidana malpraktek medis
3. Untuk mengetahui malpraktek dalam hukum di Indonesia
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis, untuk memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu hukum,
diharapakan agar seluruh komponen masyarakat dapat mengetahui dan memperoleh
pengetahuan tentang masalah yang diteliti agar kedepannya tidak terjadi hal – hal
yang tidak diinginkan khususnya dalam bidang kesehatan.
2. Manfaat praktis, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri
maupun pihak – pihak lain yang ingin mengetahui permasalahan yang diteliti. Selain
itu, diharapkan penelitian ini dapat menjadi acuan bagi para tenaga 7 medis maupun
masyarakat dalam bertindak sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
BAB II
Pasal 1 angka 22 dalam undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan “Ganti kerugian adalah hak seorang untuk
mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena
ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.” Berdasarkan uraian pasal tersebut diatas dapat diketahui
c. Hak atas imbalan sejumlah uang tersebut diberikan kepada tersangka atau
Kemudian penekanan dari permasalahan tersebut tertuang dalam hukum pidana formil yaitu
tuntutan ganti rugi hanya sekedar meminta maka terpenuhinya tuntutan itu tergantung dari
putusan pidananya, bila terdakwa atau penuntut umum menerima putusan tuntutan ganti rugi
direalisir, sebaliknya bila salah satu pihak atau kedua-duanya menolak putusan itu tuntutan ganti
Korban dalam Pengaturan hukum di Indonesia selalu menjadi pihak yang paling
dirugikan, selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik
secara materiil, fisik, maupun psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena
tanpa disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian
kejahatan yang pernah menimpanya pada saat sedang menjalani proses pemeriksaan, baik
Pengertian mengenai korban dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 3 UU PSK yang
menyatakan bahwa “korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.” Pengertian korban secara luas
bukan hanya sekedar korban yang menderita langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun
Korban kejahatan tidak terlepas dari ilmu viktimologi. Melalui ilmu viktimologi dapat
1
Djoko Prakoso, 1989, Masalah Ganti Rugi dalam KUHAP, Bina Aksara, Jakarta, h. 109
1. Bagaimana seseorang dapat menjadi korban
Korban menurut pendapat Arief Gosita sebagaimana dikutip oleh Dikdik M. Arief
Mansur dan Elisatri Gultom bahwa korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan
rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain
Muladi mengemukakan bahwa korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara
individual maupun kolektif telah menderita kerugian termasuk kerugian fisik atau mental,
emosional, ekonomi atau gangguan subtansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui
perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk
penyalahgunaan kekuasaan.4
Jenis-jenis korban sebagaimana dikemukakan oleh Sellin dan Wolfgang yang dikutip
Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjiarto .RS dan G. Widiartana terdiri dari:
2
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara
Norma dan Realita, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 46
3
ibid
4
Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan
Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, h. 48
5
Suryono Ekotama,ST.Harum Pudjiartono .RS dan G. Widiartana, 2001, Abortus Provocatus Bagi Korban
Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Universitas Atmajaya, Jakarta, h. 96
Korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara
bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau
tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu
Malpraktek atau malpraktek medis adalah istilah yang sering digunakan orang untuk
tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi didalam dunia kesehatan atau
biasa disebut tenaga kesehatan. Banyak persoalan malpraktek, atas kesadaran hukum pasien
diangkat menjadi masalah pidana.6 Menurut Maryanti, hal tersebut memberi kesan adanya
menurut pendapat Jusuf Hanafiah merupakan “kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan
tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien
atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.”7 Amri Amir menyatakan
bahwa “malpraktek medis adalah tindakan yang salah oleh dokter pada waktu menjalankan
praktek, yang menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi kesehatan dan kehidupan pasien, serta
Menurut pendapat Ninik Mariyanti bahwa malpraktek memiliki pengertian yang luas
6
Anny Isfandyarie, op.cit, h. 9
7
M. Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan¸Kedokteran EGC,
Jakarta, h. 87
8
Amri Amir, 1997, Bunga Rampai Hukum Kesehatan,Widya Medika, Jakarta, h. 53
1) Dalam arti umum : suatu praktek yang buruk, yang tidak memenuhi standar yang telah
2) Dalam arti khusus (dilihat dari sudut pasien) malpraktek dapat terjadi di dalam
sesudah perawatan.9
secara harfiah berarti bad practice, atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan
ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus.
Karena malpraktek berkaitan dengan “how to practice the medical science and technology”, yang
sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang
yang melaksanakan praktek. Maka Hermien lebih cenderung untuk menggunakan istilah
“maltreatment”.10
Adapun jenis-jenis malpraktek ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum dapat
dibedakan menjadi dua bentuk yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek
a. Malpraktek Etik
Yaitu tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya
sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan
seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.
b. Malpraktek Yuridis
9
Ninik Mariyanti, 1998, Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata, Bina Aksara,
Jakarta, h. 75-76
10
Anny Isfandyarie, op.cit, h. 20
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya
isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau
kerugian kepada pasien. Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam
melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa
levis). Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya
perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktek pidana. 12 Contoh dari malpraktek perdata,
misalnya seorang dokter yang melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa perban
didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal kemudian
dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut. Dalam hal ini
kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat
2) Malpraktek Pidana
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat
tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya
perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktek pidana
11
Anny Isfandyarie, op.cit, h. 31-33
12
Anny Isfandyarie, op.cit, h. 34
a. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional),tenaga medis tidak
melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada
orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak
benar.
tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta
kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-
hati.Contoh : seorang bayi berumur 3 bulan yang jarinya terpotong pada saat
3) Malpraktek Administratif
terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan
tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau
izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan
13
Anny Isfandyarie, op.cit, h. 35
2.3 Pengaturan Malpraktek Medis Menurut Hukum di Indonesia
tujuan tersebut tidak terlepas dari aturan-aturan hukum yang satu dengan yang lainnya yang
saling terikat secara tertib dan teratur yang merupakan tatanan. Aturan hukum yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Sehingga banyaknya aturan
hukum yang ada saling terkait yang disebut dengan tatanan hukum.
sumber daya kesehatan yang berupa tenaga, sarana dan prasarana dalam jumlah dan mutu
yang memadai. Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk
kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai
pemerintah mengeluarkan berbagai macam aturan baik yang berupa undang-undang, peraturan
kendala, salah satunya dikenal dengan sebutan malpraktek medis. Belum adanya aturan hukum
menyebabkan malpraktek medis ini sulit dibuktikan sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak
pasien yang menjadi korban. Selain itu tidak adanya aturan hukum secara terperinci mengenai
malpraktek medis juga berdampak pada tenaga kesehatan karena tidak adanya ketentuan yang
Sistem hukum Indonesia, tidak semua mengatur malpraktek medis. Pengaturan mengenai
malpraktek medis secara umum dapat dilihat dari ketentuan yang tercantum dalam Hukum
Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi. Undang-Undang yang bersangkutan, antara
Rumah Sakit, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan dasar
Peraturan yang tidak masuk dalam hierarki sistem hukum Indonesia tetapi berkaitan
sudah tidak berlaku lagi yakni, UU No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan yang sudah diganti
dengan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Secara yuridis kasus malpraktek medis di
Indonesia dapat diselesaikan dengan bersandar pada beberapa dasar hukum yaitu: KUHP,
Malpraktek Kedokteran bisa masuk lapangan hukum pidana , apabila memenuhi syarat –
syarat tertentu dalam tiga aspek yaitu syarat dalam sikap batin dokter, syarat dalam perlakuan
medis dan syarat mengenai hal akibat. Dasarnya syarat dalam perlakuan medis adalah perlakuan
medis yang menyimpang. Syarat mengenai sikap batin adalah syarat sengaja atau culpa dalam
malpraktek kedokteran. Syarat Akibat adalah syarat mengenai timbulnya kerugian bagi
Secara garis besar pengaturan mengenai malpraktek medis dalam hukum di Indonesia
dapat dilihat dari ketentuan KUHP, UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan UU No. 29
a. KUHP
Berkaitan dengan tindak pidana malpraktek tidak diatur dengan jelas dalam
KUHP. Pengaturan di dalam KUHP lebih kepada akibat dari perbuatan malpraktek
tersebut. Pengaturan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dilihat
dari ketentuan Pasal 53 KUHP yaitu terkait dengan percobaan melakukan kejahatan pasal
ini hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat
dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Pasal 267 KUHP mengenai
Pemalsuan Surat, Pasal 345, 347, 348, 349 KUHP yang berkaitan dengan upaya abortus
menggugurkan kandungan tanpa adanya indikasi medis. Pasal 351 KUHP tentang
dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaanbadan kepada orang lain atau
Terkait dengan kealpaan yang menyebabkan mati atau luka-luka dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 359 KUHP. Pasal ini terkait dengan penanggulangan tindak pidana
karena kesalahan dokter. Pasal 359 KUHP ini juga dapat memberikan perlindungan
hukum bagi
14
Anny Isfandyarie, 2005, Malpraktek dan Resiko Medik, Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 134
pasien sebagai upaya preventif mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana
malpraktek kedokteran namun perlu juga solusi untuk menghindarkan dokter dari rasa
takut yang berlebihan dengan adanya pasal ini. Pasal 360 KUHP, rumusan dalam Pasal 359
dan Pasal 360 KUHP menyebutkan tentang cacat, luka – luka berat maupun kematian yang
merupakan bentuk akibat dari perbuatan petindak sehingga dari sudut pandang subjektif
sikap batin petindak disini termasuk dalam hubungannya dengan akibat perbuatannya. 15
Pasal 361 KUHP yang merupakan pasal pemberatan pidana bagi pelaku dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencaharian dalam hal ini jabatan profesi sebagai dokter,
bidan dan juga ahli obat-obatan yang harus berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya
karena apabila mereka lalai sehinga mengakibatkan kematian bagi orang lain atau orang
tersebut menderita cacat maka hukumannya dapat diperberat 1/3 dari Pasal 359 dan Pasal
360 KUHP. Pasal 304 KUHP, Pasal 306 ayat (2) KUHP “kalau salah satu perbuatan yang
diterangkan dalam Pasal 304 mengakibatkan orang mati, si tersalah itu dihukum penjara
paling lama sembilan tahun”. Terkait dengan kejahatan terhadap tubuh dan nyawa dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 338, 340, 344, 345, 359, KUHP yang dapat dikaitkan dengan
tindak pidana malpraktek di Indonesia menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun
pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Termasuk juga dengan euthanasia aktif dengan
permintaan.
pidana malpraktek medis dapat dilihat dari ketentuan Pasal 29 UU Kesehatan yang
berkaitan dengan dengan kelalaian, disebutkan bahwa “Dalam hal tenaga kesehatan diduga
melakukan
15
Adami Chazawi, 2001, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 125
kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui mediasi.” Berkaitan dengan perlindungan pasien dapat dilihat dari
Terkait dengan transplantasi organ dapat dilihat dari ketentuan Pasal 64, Pasal 65,
Pasal 66, apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan pasal tersebut maka dapat dijatuhi
“Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan
dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah)”
Ketentuan mengenai aborsi sebagaimana diatur dalam Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77
ditetapkan dalam ketentuan Pasal 194 UU Kesehatan bahwa “Setiap orang yang dengan
sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
malpraktek kedokteran pada Undang – Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran dapat dilihat dalam Pasal 51 UU Praktik Kedokteran mengenai kewajiban dari
dokter dan dokter gigi, Pasal 75, Pasal 77 UU Praktik Kedokteran yang berlaku bagi orang
yang bukan dokter yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk
lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah – olah dokter yang telah memiliki
SIP atau STR ( Surat izin praktik atau Surat Tanda Registrasi ), Pasal 78, Pasal 79, Pasal
80 UU Praktik Kedokteran.
Menurut ketentuan Pasal 80 ayat (1) dan (2) UU Praktik Kedokteran tersebut
dapat diartikan bahwa sanksi pidana yang tercantum di dalam pasal 80 ayat (1) dan ( 2 )
pelayanan kesehatan yang mempekerjakan dokter tanpa SIP, selain itu korporasi yang
memiliki sarana pelayanan kesehatan yang mempekerjakan Dokter yang tidak mempunyai
SIP juga dapat dikenakan pidana. Menganalisa pada ketentuan Pasal 75 (1), Pasal 76, Pasal
79 huruf a dan Pasal 79 huruf c sebelum putusan mahkamah konstitusi materi muatan yang
tindakan dokter yang berpraktik kedokteran yang tidak dilengkapi STR, SIP dan tidak
memasang papan nama, serta tidak menambah ilmu pengetahuan dengan ancaman pidana
yang cukup berat dan denda yang sangat tinggi Hal demikian dapat menimbulkan rasa
B. Saran
Dugaan malpraktik antara pasien dengan tenaga kesehatan jika masuk ke peradilan
sangat sensitif bagi tenaga kesehatan untuk menjaga reputasinya sebagai pelayan kesehatan,
apalagi kalau sampai ke pengadilan, untuk itu pemerintah perlu memberi edukasi dan
sosialisasi pada profesi kesehatan sebagai pemberi layanan dan pasien atau masyarakat
penerima layanan bagaimana menyelesaikan dugaan malpraktik dengan cara non litigasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anny Isfandyarie, 2005, Malpraktek dan Resiko Medik, Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 134
Ninik Mariyanti, 1998, Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata,
Bina Aksara, Jakarta, h. 75-76
Djoko Prakoso, 1989, Masalah Ganti Rugi dalam KUHAP, Bina Aksara, Jakarta, h. 109
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan Antara Norma dan Realita, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 46
Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, h. 48