DEPARTEMEN KIMIA
UNIVERSITAS INDONESIA
APRIL 2021
1. Vitamin
a. Cara Kerja dan Tabel Reaksi
1) Penentuan Kadar Asam Askorbat (Vitamin C)
1.1 Cara Titrasi berdasarkan Reaksi Reduksi 2,6-DCIP
b. Pembahasan
1.1 Cara Titrasi berdasarkan Reaksi Reduksi 2,6-DCIP
Metode untuk analisis vitamin C yang terkandung dalam berbagai sampel yang berbeda, seperti
sari buah dalam kemasan atau sampel buah segar. Metode yang digunakan adalah metode
titrasi menggunakan 2,6-DCIP (2,6-Diklorophenolindophenol) dengan prnisip reaksinya
adalah reaksi reduksi-oksidasi. Karena banyak faktor (seperti selama persiapan sampel) dapat
menyebabkan vitamin C teroksidasi, maka titrasi dan ekstraksi vitamin C harus dilakukan
dengan cepat. Diketahui bahwa oksidasi ini dapat dicegah dengan menggunakan asam
metafosfat, asam asetat, asam trikloroasetat dan asam oksalat sebagai ekstraktan.
Dibandingkan dengan kondisi netral atau basa, larutan asam akan memberikan hasil yang lebih
akurat. Penggunaan asam yang disebutkan di atas juga dapat digunakan untuk mengurangi
oksidasi vitamin C dengan mengoksidasi enzim yang ada di jaringan tanaman. Selain itu,
larutan asam asetat asam metafosfat juga dapat digunakan untuk makanan yang mengandung
protein karena asam metafosfat dapat memisahkan vitamin C yang terikat dengan protein.
Dilakukan titrasi dengan prinsip titrasi redoks yang melibatkan transfer elektron antara titran
dan analit. Titran atau titer adalah larutan yang digunakan untuk titrasi (biasanya sudah
diketahui konsentrasinya). Sementara itu, analit adalah zat (atom, unsur, ion, kelompok,
molekul) yang konsentrasi atau strukturnya dianalisis atau ditentukan. Melalui titrasi redoks,
terjadi reaksi reduksi 2,6-DCIP oleh asam askorbat. Akan terjadi reaksi redoks dimana larutan
asam askorbat mengalami oksidasi dan 2,6-DCIP tereduksi. Ketika zat pereduksi teroksidasi
sempurna oleh zat pengoksidasi, titik ekivalen tercapai. Titik ekivalen adalah titik di mana
jumlah titran sama dengan jumlah analit secara kimia. Dibandingkan dengan atmosfer netral
atau basa, larutan asam akan memberikan hasil yang lebih akurat.
Metode ini lebih unggul dari iodometri karena zat pereduksi lain tidak akan mengganggu
penentuan kadar vitamin C. Reaksinya bersifat kuantitatif dan sebenarnya spesifik untuk
larutan asam askorbat dengan pH 1-3,5. Solusi standar harus selalu distandarisasi. Untuk
menentukan kadar vitamin C, perlu dilakukan standarisasi larutan 2,6-DCIP dan larutan
standar vitamin C.
Dalam prosesnya, menurut Hashmi (1986), kadar vitamin C ditentukan dengan titrasi dengan
2,6-diklorofenol indoksil, di mana reaksi reduksi 2,6-diklorofenol indoksil hadir dengan
adanya vitamin C dalam larutan asam. Titrasi dilakukan secara duplo. Sebagai agen pereduksi,
asam askorbat akan menyumbangkan elektron untuk membentuk asam setengah
dehidroaskorbat non-reaktif, dan kemudian mengalami reaksi disproporsionasi untuk
membentuk asam dehidroaskorbat yang tidak stabil. Dehydroascorbate akan terdegradasi
menjadi asam oksalat dan asam treonat. Digunakan pelarut asam metafosfat 4% dalam asam
asetat yang ditujukan sebagai pelarut sekaligus untuk mencegah asam askorbat teroksidasi.
Menurut Nielsen (2010), asam askorbat akan mereduksi pewarna indikator (2,6-DCIP) dalam
larutan tak berwarna. Titik akhir titrasi asam askorbat yang terkandung dalam sampel yang
ditambahkan zat warna adalah adanya zat warna yang berlebih, zat warna tidak akan
berkurang, dan warna larutan akan berubah menjadi merah muda dalam kondisi asam yang
stabil selama kurang lebih 20 detik. Titik akhir titrasi adalah titik pada saat titrasi dihentikan
atau dapat diartikan bahwa titrasi sudah selesai. Sudarmadji (1989) menambahkan bahwa
larutan 2,6-DCIP digunakan sebagai pewarna atau indikator dan warnanya berubah selama
proses titrasi. Dalam kondisi netral atau basa, larutan 2,6-DCIP berwarna biru, sementara itu,
dalam suasana asam berwarna merah muda. Jika 2,6-DCIP direduksi oleh asam askorbat, maka
akan menjadi tidak berwarna, dan ketika semua asam askorbat telah tereduksi 2,6-DCIP,
pewarnaan akan menemukan sedikit kelebihan larutan 2,6-DCIP.
Larutan standar asam askorbat dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi ekuivalen 2,6-
DCIP sehingga untuk menghitung larutan, larutan harus distandarkan dengan standar vitamin
C. Sampel makanan dalam larutan kemudian dapat dititrasi dengan indikator pewarna dan
volume yang dititrasi dapat digunakan untuk menghitung kandungan asam askorbat (Nielsen,
2010).
Selain dilakukan titrasi terhadap larutan standar vitamin C dan larutan sampel, dilakukan juga
titrasi untuk blanko. Hal ini ditujukan utnuk menentukan faktor koreksi karena dikhawatirkan
pelarut asam metafosfat dalam asam asetat mungkin akan bereaksi dengan 2,6 DCIP. Titrasi
dilakukan diplo.
Kemudian, kadar vitamin C dalam sampel dapat dititung dengan rumus berikut:
2. Tes Mucin
Cara Kerja Reaksi
Endapan dari percobaan 1 disuspensikan dalam 2 Hasil dengan uji millon: jika positif, membentuk
mL air dan dibagi menjadi 2 bagian dalam 2 tabung endapan jingga di dasar tabung.
reaksi.
Uji Molish:
3. Tes Beberapa Ion Anorganik
b. Pembahasan
2. 1. Pengumpulan Saliva
Sebelum dilakukannya pengumpulan saliva, mulut harus dibersihkan dengan cara
berkumur terlebih dahulu. Hal ini ditujukan agar hasil dari percobaan yang dilakukan
menjadi lebih akurat. Menurut Anrep 1992:10, penambahan asam asetat pada saliva
dilakukan untuk mengendapkan dan membantu mucin mencapai titik isoelektrik. Dengan
melakukan pengendapan, sampel dapat terbagi menjadi dua, yaitu endapan dan filtrat.
Endapan digunakan untuk melakukan tes mucin sedangkan filtrat digunakan untuk
melakukan tes ion anorganik. Percobaan pengumpulan saliva ditujukan untuk mengetahui
kandungan yang ada di dalamnya. Diketahui bahwa saliva memiliki komposisi 99% air
dan 1% organik maupun anorganik.
Mucin merupakan kelompok glikoprotein, terdiri atas karbohidrat serta protein sehingga
untuk membuktikan keberadaan mucin, dilakukan uji millon dan uji molish dimana uji
millon dilakukan dalam mengidentifikasi keberadaan protein pada mucin, sedangkan uji
molisch dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan karbohidrat. Menurut Kasuma
(2015), Mucin bersifat hidrofilik yang dapat mengabsorbsi dan mempertahankan jumlah
air sehingga mencegah dehidrasi dapat terjadi. Berdasarkan dua uji tersebut dapat diketahui
bahwa tes mucin akan menghasilkan hasil positif terhadap pereaksi millon dan negatif
terhadap pereaksi molish. Hal tersebut ditandai dengan terbentuknya endapan putih atau
kekuningan, uji millon merupakan pembentukan garam merkuri dan tirosin. Sedangkan,
uji molish ditandai dengan terbentuknya cincin furfural. Mekanisme cincin furfural
berwarna ungu terbentuk dengan karbohidrat yang terhidrolisis oleh H2SO4 pekat menjadi
monosakarida kemudian terkondensasi membentuk furfural yang bereaksi dengan
alfanaftol sehingga membentuk senyawa kompleks ungu. Cincin ungu tersebut terbentuk
disebabkan karena Penambahan H2SO4 pekat melalui dinding tabung sehingga terbentuk
cincin di dasar tabung reaksi.
Saliva mengandung beberapa komponen anorganik, di antara nya klorida, fosfat, sulfat,
dan kalsium. Elektrolit klorida dan kalsium dalam saliva terdapat dalam bentuk ion Cl- dan
Ca2+. Menurut Multazam (2013), elektrolit sulfat alam saliva terdapat dalam bentuk SCN
dan elektrolit fosfat dalam saliva pada umumnya dalam bentuk H3PO42- yang berperan
dalam sistem buffer saliva. Menurut Selwyn (2018), penambahan HNO3 dalam filtrat saliva
ditujukan untuk memberikan suasana asam pada larutan sehingga dapat terbentuk endapan
dan mencegah terbentuknya garam perak selain AgCl. Terbentuknya endapan putih dengan
penambahan AgNO3, BaCl2, dan ammonium oksalat ke dalam filtrat saliva menunjukkan
adanya ion Cl-, SO42-, dan Ca2+ dalam saliva. Penambahan asam askorbat ke dalam filtrat
saliva akan menghasilkan warna biru yang menunjukkan adanya ion sulfat dalam saliva.
Menurut McKelvie dkk. (1995), kompleks ammonium fosfomolibdat yang terbentuk akan
menghasilkan warna biru.
• Ion klorida (Cl-)
Percobaan ditujukan untuk mengetahui atau mendeteksi keberadaan ion Cl- di dalam saliva.
Hal ini dapat diketahui dengan cara direaksikannya ion Cl- dengan AgNO3 dengan reaksi:
Ion Cl- akan bereaksi dengan AgNO3 membentuk endapan AgCl. Endapan AgCl yang
dihasilkan ditemukan dalam bentuk endapan berwarna putih yang berada di dasar tabung.
Dengan demikian, hasil positif yang menunjukkan keberadaan ion Cl- dapat diperiksa dari
terbentuknya endapan putih pada tabung reaksi.
Percobaan ditujukan untuk mendeteksi keberadaan ion PO43- di dalam saliva. Percobaan
dilakukan dengan mencampurkan saliva dengan 0,5 mL pereaksi molibdat dan 5 tetes asam
askorbat 5% dengan reaksi:
Percobaan ditujukan untuk mendeteksi keberadaan ion sulfat di dalam saliva. Filtrat saliva
yang telah diasamkan dicampurkan dengan 1 mL larutan BaCl2 5% yang akan membentuk
reaksi sebagai berikut.
Ion sulfat (SO42-) akan bereaksi dengan barium (Ba2+) dan membentuk senyawa BaSO4 yang
berupa endapan putih yang berada pada bagian dasar tabung reaksi. Dengan demikian, uji
positif yang menunjukkan keberadaan ion sulfat di dalam saliva dapat diperiksa dari
terbentuknya endapan berwarna putih pada tabung reaksi.
Percobaan ditujukan untuk mendeteksi keberadaan ion kalsium di dalam saliva. Penambahan
ammonium oksalat 4% ke dalam filtrat saliva menghasilkan reaksi:
3. Darah
a. Cara Kerja dan Tabel Reaksi
1. Penentuan Kadar Hemoglobin Cara Sahli
2. Tes Benzidin
b. Pembahasan
3.1 Penentuan Kadar Hemoglobin Cara Sahli
Percobaan penentuan kadar Hb dengan cara sahli ditujukan untuk menghitung kadar Hb
dalam darah. Prinsip dari metode Sahli yaitu menentukan kadar Hb secara visual dengan
membandingkan larutan darah dengan panduan standar Hb atau indikator, yakni pada pria
12 – 16 gr/100mL dan pada wanita 12 – 14 gr/100mL. Berdasarkan prinsipnya, metode
sahli menggunakan HCl untuk mengubah hemoglobin pada darah yang telah diambil di
tahap awal menjadi asam hematin yang memiliki warna kecoklatan. Proses pengadukan
pada metode sahli ditujukan agar campuran antara darah dan HCl menjadi homogen.
Dilakukan waktu tunggu supaya HCl dapat memecah sel darah merah sehingga
hemoglobin yang berada di dalamnya dapat bereaksi dengan HCl membentuk asam
hematin yang berwarna kecoklatan. Intensitas serta kedalaman warna yang muncul setelah
ditetesi oleh akuades tetes demi tetes akan menunjukkan kadar hemoglobin yang dimiliki
dalam bentuk g % atau gr per 100 ml darah.
DAFTAR PUSTAKA
Tim KBI Biokimia. (2015). Diktat Penuntun Praktikum Biokimia. Depok: Departemen
Kimia FMIPA UI.
Firmansyah, W.E. (2014). Laporan Praktikum Biokimia dan Analisis Pangan: Analisis
Kadar Vitamin C. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang: 13 hlm.
Arya, S. P., M. Mahajan & P. Jain. (1998). Photometric Methods for The Determination
of Vitamin C. The Japan Society for Analytical Chemistry 14: 889-895.
Kasuma, N. (2015). Fisiologi dan Patologi Saliva. Andalas University Press, Padang: iii +
58 hlm.
Parade, N. N. J. (2011). Pengaruh Konsumsi Minuman Jeruk Kemasan terhadap Perubahan
pH Saliva.
Mohamed, A. M. H. (2020). Course Book of Biochemistry. Department of Biochemistry,
Benha University. 35 hlm.
Hashmi, M.H. (2004). Assay of Vitamins in Pharmaceutical Preparations. London: John
Wiley & Sons.
Mallo, P.Y., S.R.U.A. Sompie, B.F. Narasiang & Bahrun. (2012). Rancang Bangun Alat
Ukur Kadar Hemoglobin dan Oksigen dalam Darah dengan Sensor Oximeter secara Non-
Invasive. Jurnal Teknik Elektro dan Komputer 1(1): 1-6.
Febianty, N., Sugiarto, C., & Sadeli, L. (2013). Perbandingan Pemeriksaan Kadar
Hemoglobin Dengan Menggunakan Metode Sahli dan Autoanalyzer Pada Orang Normal.
Universitas Kristen Marananta.