Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA

Vitamin, Saliva, dan Darah

Nama : Niken Fitria


NPM : 1806143384
Kelas : Praktikum Biokimia (A)
Kelompok :2
Asisten Praktikum : Kak Eka Munika
Rekan Kerja : Reina
Adinda Syarifa Y.
Rida Hasna Fadhilah
Indriyanti Novitasari

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS INDONESIA

APRIL 2021
1. Vitamin
a. Cara Kerja dan Tabel Reaksi
1) Penentuan Kadar Asam Askorbat (Vitamin C)
1.1 Cara Titrasi berdasarkan Reaksi Reduksi 2,6-DCIP

Cara Kerja Reaksi


Dibuat larutan vitamin C standar 0,5 mg/mL (500 ppm) Gambaran titrasi yang terjadi: dilakukan minimal
dengan pelarut asam metafosfat 4% dalam asam asetat. duplo.

Dipipet 2 mL larutan vitamin C standar ke erlenmeyer


yang berisi 10 mL larutan asam metafosfat 4 % dalam
asam asetat, dititrasi dengan larutan 2,6-DCIP sampai
tercapai titik akhir.

Dilakukan titrasi duplo untuk standar.

Dipotong kecil-kecil daging buah dan dihancurkan


dengan blender. Sari buahnya diperas dan disaring
dengan kertas saring (sebagi sampel). Asam metafosfat dalam asam asetat ditujukan
sebagai pelarut dan mencegah oksidasi asam
Dipipet 25 mL filtrat sari buah. Ditambahkan 25 mL askorbat terjadi.
larutan asam metafosfat 4 % dalam asam asetat.
Campuran dikocok. Reaksi reduksi 2,6-DCIP oleh asam askorbat:

Dipipet 10 mL larutan campuran dan dititrasi dengan


larutan 2,6-DCIP yang sudah distandarisasi.

Dilakukan titrasi duplo untuk standar.

Dilakukan titrasi blanko dengan dititrasi 10mL asam


metafosfat dalam asam asetat yang ditambahkan 2 mL
aquades.
Dihitung kandungan vitamin C dalam 100 mL sampel
atau setiap 100 g berat bahan mula-mula.

1.2 Cara Fotometrik berdasarkan Reaksi antara Asam Dehidroaskorbat


dengan 2,4 – dinitrofenilhidrasin.
Cara Kerja Reaksi
Digerus 10 g buah atau 10 mL air perasan buah dalam
larutan metafosfat 4 % dalam asam asetat.

Disaring, ditambahkan 0,75 g norit “acid – washed” ke


dalam 15 ml cairan filtrat. Dikocok sampai homogen.
Campuran disaring dan filtrat ditampung.

Dimasukan 4 mL filtrat ke tabung reaksi dan


ditambahkan 1 tetes larutan tiourea 10 % dan 1 mL
pereaksi 2,4–dinitrofenilhidrasin
Contoh kurva standar yang mungkin dihasilkan:
Ditempatkan dalam penangas air suhu 37°C selama 3
jam. Dilakukan juga untuk blanko.

Tabung didinginkan dalam es. Ditambahkan 5 mL


H2SO4 85%. Ditambahkan pereaksi pada blanko.

Setelah 30 menit, dibaca pada spektofotometer dengan


panjang gelombang 540 nm.

Dibuat kurva standar dengan kadar 0,25 – 15 g per mL.

b. Pembahasan
1.1 Cara Titrasi berdasarkan Reaksi Reduksi 2,6-DCIP
Metode untuk analisis vitamin C yang terkandung dalam berbagai sampel yang berbeda, seperti
sari buah dalam kemasan atau sampel buah segar. Metode yang digunakan adalah metode
titrasi menggunakan 2,6-DCIP (2,6-Diklorophenolindophenol) dengan prnisip reaksinya
adalah reaksi reduksi-oksidasi. Karena banyak faktor (seperti selama persiapan sampel) dapat
menyebabkan vitamin C teroksidasi, maka titrasi dan ekstraksi vitamin C harus dilakukan
dengan cepat. Diketahui bahwa oksidasi ini dapat dicegah dengan menggunakan asam
metafosfat, asam asetat, asam trikloroasetat dan asam oksalat sebagai ekstraktan.
Dibandingkan dengan kondisi netral atau basa, larutan asam akan memberikan hasil yang lebih
akurat. Penggunaan asam yang disebutkan di atas juga dapat digunakan untuk mengurangi
oksidasi vitamin C dengan mengoksidasi enzim yang ada di jaringan tanaman. Selain itu,
larutan asam asetat asam metafosfat juga dapat digunakan untuk makanan yang mengandung
protein karena asam metafosfat dapat memisahkan vitamin C yang terikat dengan protein.

Dilakukan titrasi dengan prinsip titrasi redoks yang melibatkan transfer elektron antara titran
dan analit. Titran atau titer adalah larutan yang digunakan untuk titrasi (biasanya sudah
diketahui konsentrasinya). Sementara itu, analit adalah zat (atom, unsur, ion, kelompok,
molekul) yang konsentrasi atau strukturnya dianalisis atau ditentukan. Melalui titrasi redoks,
terjadi reaksi reduksi 2,6-DCIP oleh asam askorbat. Akan terjadi reaksi redoks dimana larutan
asam askorbat mengalami oksidasi dan 2,6-DCIP tereduksi. Ketika zat pereduksi teroksidasi
sempurna oleh zat pengoksidasi, titik ekivalen tercapai. Titik ekivalen adalah titik di mana
jumlah titran sama dengan jumlah analit secara kimia. Dibandingkan dengan atmosfer netral
atau basa, larutan asam akan memberikan hasil yang lebih akurat.

Metode ini lebih unggul dari iodometri karena zat pereduksi lain tidak akan mengganggu
penentuan kadar vitamin C. Reaksinya bersifat kuantitatif dan sebenarnya spesifik untuk
larutan asam askorbat dengan pH 1-3,5. Solusi standar harus selalu distandarisasi. Untuk
menentukan kadar vitamin C, perlu dilakukan standarisasi larutan 2,6-DCIP dan larutan
standar vitamin C.

Dalam prosesnya, menurut Hashmi (1986), kadar vitamin C ditentukan dengan titrasi dengan
2,6-diklorofenol indoksil, di mana reaksi reduksi 2,6-diklorofenol indoksil hadir dengan
adanya vitamin C dalam larutan asam. Titrasi dilakukan secara duplo. Sebagai agen pereduksi,
asam askorbat akan menyumbangkan elektron untuk membentuk asam setengah
dehidroaskorbat non-reaktif, dan kemudian mengalami reaksi disproporsionasi untuk
membentuk asam dehidroaskorbat yang tidak stabil. Dehydroascorbate akan terdegradasi
menjadi asam oksalat dan asam treonat. Digunakan pelarut asam metafosfat 4% dalam asam
asetat yang ditujukan sebagai pelarut sekaligus untuk mencegah asam askorbat teroksidasi.

Menurut Nielsen (2010), asam askorbat akan mereduksi pewarna indikator (2,6-DCIP) dalam
larutan tak berwarna. Titik akhir titrasi asam askorbat yang terkandung dalam sampel yang
ditambahkan zat warna adalah adanya zat warna yang berlebih, zat warna tidak akan
berkurang, dan warna larutan akan berubah menjadi merah muda dalam kondisi asam yang
stabil selama kurang lebih 20 detik. Titik akhir titrasi adalah titik pada saat titrasi dihentikan
atau dapat diartikan bahwa titrasi sudah selesai. Sudarmadji (1989) menambahkan bahwa
larutan 2,6-DCIP digunakan sebagai pewarna atau indikator dan warnanya berubah selama
proses titrasi. Dalam kondisi netral atau basa, larutan 2,6-DCIP berwarna biru, sementara itu,
dalam suasana asam berwarna merah muda. Jika 2,6-DCIP direduksi oleh asam askorbat, maka
akan menjadi tidak berwarna, dan ketika semua asam askorbat telah tereduksi 2,6-DCIP,
pewarnaan akan menemukan sedikit kelebihan larutan 2,6-DCIP.

Larutan standar asam askorbat dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi ekuivalen 2,6-
DCIP sehingga untuk menghitung larutan, larutan harus distandarkan dengan standar vitamin
C. Sampel makanan dalam larutan kemudian dapat dititrasi dengan indikator pewarna dan
volume yang dititrasi dapat digunakan untuk menghitung kandungan asam askorbat (Nielsen,
2010).
Selain dilakukan titrasi terhadap larutan standar vitamin C dan larutan sampel, dilakukan juga
titrasi untuk blanko. Hal ini ditujukan utnuk menentukan faktor koreksi karena dikhawatirkan
pelarut asam metafosfat dalam asam asetat mungkin akan bereaksi dengan 2,6 DCIP. Titrasi
dilakukan diplo.

Kemudian, kadar vitamin C dalam sampel dapat dititung dengan rumus berikut:

dengan keterangan: Y= vol titran pada titrasi sampel


X = vol titran pada titrasi standar
a = vol titran untuk blanko
1. 2. Cara Fotometrik berdasarkan Reaksi antara Asam Dehidroaskorbat dengan 2,4 –
dinitrofenilhidrasin.
Keberadaan vitamin C (asam askorbat) serta konsentrasinya dalam suatu sampel buah dan
sayuran dapat diketahui dengan teknik fotometrik menggunakan senyawa 2,4
dinitrofenilhidrasin (2,4 DNPH). Pada percobaan, vitamin C dianalisis dengan prosedur
kimiawi berdasarkan prinsip pengukuran kompleks berwarna yang dihasilkan oleh reaksi
asam dehidroaskorbat dengan2,4-dinitrofenilhidrasin. Digunakan karbon aktif berupa norit
yang bertujuan untuk mengoksidasi asam askorbat (AA) menjadi asam dehidroaskorbat
(DHAA). Senyawa DHAA ini yang akan bereaksi dengan 2,4 DNPH untuk mengetahui
konsentrasi vitamin C. Sebelum dicampur 2,4 DNPH, DHAA pada tabung reaksi
dimasukkan larutan tiourea terlebih dahulu untuk membentuk medium pereduksi, sehingga
pewarnaan pada hasil percobaan akan lebih spesifik. Selanjutnya DHAA dicampurkan
dengan 2,4 DNPH dan dipanaskan dalam penangas, sehingga bereaksi dan membentuk
senyawa osazone. Dalam suasana asam, ketosa atau aldosa yang bereaksi dengan
fenilhidrazin dan membentuk fenilhidrazon. Jika fenilhidrazin berlebih, maka akan
bereaksi dengan fenilhidrazon dan membentuk osazon seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Senyawa osazone ini dapat terlihat pada panjang gelombang 540 nm yang
berwarna merah dan merupakan indikator keberadaan asam askorbat pada sampel.
Konsentrasi asam askorbat juga dapat dihitung dengan membuat kurva standar dengan
kadar tertentu.
2. Saliva
a. Cara Kerja dan Tabel Reaksi
1. Pengumpulan Saliva

Cara Kerja Reaksi


Mulut dicuci dengan cara berkumur dengan air Asam astetat sampai tidak terbentuk endapan
lagi dalam artian seluruh glikoprotein sudah
Sepotong lilin atau malam yang bersih dikunyah untuk mengendap semua.
merangsang pengeluaran saliva.

Saliva ditampung sampai kurang lebih 15 mL.

Saliva diteteskan asam asetat 2N sampai tidak terbentuk


endapan lagi.

Endapannya disaring untuk tes mucin dan filtratnya


untuk tes ion anorganik.

2. Tes Mucin
Cara Kerja Reaksi
Endapan dari percobaan 1 disuspensikan dalam 2 Hasil dengan uji millon: jika positif, membentuk
mL air dan dibagi menjadi 2 bagian dalam 2 tabung endapan jingga di dasar tabung.
reaksi.

Ditambahkan 2 tetes pereaksi Millon pada tabung


1 dan dipanaskan. Diamati perubahannya.

Ditambahkan 2 tetes pereaksi Molish pada tabung


2 dan dikocok. Dituangkan 1 mL H2SO4 pekat lewat Hasil dengan uji molisch: jika positif, membentuk
dinding tabung. warna orange di permukaan atas tabung.

Uji Molish:
3. Tes Beberapa Ion Anorganik

Cara Kerja Reaksi


a. Ion Klorida (Cl-) Pemberian HNO3 encer untuk membentuk suasana
Diasamkan 2 mL filtrat saliva dengan 4 tetes HNO3 asam dan menghasilkan endapan putih AgCl.
encer.
Reaksi: Cl- + AgNO3 → AgCl + NO3-
Ditambahkan 3 tetes AgNO3 0,5 M dan diamati
perubahan yang terjadi.

Pemberian HNO3 encer untuk membentuk suasana


b. Ion Fosfat (PO43-) asam. Akan terbentuk 2 lapisan, lapisan atas dan
Diasamkan 2 mL filtrat saliva dengan 4 tetes HNO3 bawah. Lapisan atas berwarna bening dan lapisan
encer. bawah yang berwarna biru tua.
Ditambahkan 0,5 mL pereaksi molibdat dan 5 tetes asam PO43- + (NH4)3MoO4 → (NH4)3PO4.12MoO3
askorbat 5%.

Diamati perubahan yang terjadi.

c. Ion Sulfat (SO42-) Pemberian HNO3 encer untuk membentuk suasana


Diasamkan 2 mL filtrat saliva dengan 4 tetes HNO3
asam dan menghasilkan larutan yang berubah
encer.
menjadi lebih keruh.
Ditambahkan 1 mL larutan BaCl2 5%.
SO42- + BaCl2 → BaSO4 + 2Cl-
Dikocok dan diamati perubahan yang terjadi.

d. Ion Calsium (Ca2+) Penambahan 1 mL larutan ammonium oksalat 4%


Ditambahkan 1 mL larutan ammonium oksalat 4% ke dalam filtrat saliva menghasilkan larutan yang
dalam 2 mL filtrat saliva. berubah menjadi lebih keruh.
Ca2+ + (NH4)2C2O4 → CaC2O4 + 2NH4+
Dikocok dan diamati perubahan yang terjadi.

b. Pembahasan
2. 1. Pengumpulan Saliva
Sebelum dilakukannya pengumpulan saliva, mulut harus dibersihkan dengan cara
berkumur terlebih dahulu. Hal ini ditujukan agar hasil dari percobaan yang dilakukan
menjadi lebih akurat. Menurut Anrep 1992:10, penambahan asam asetat pada saliva
dilakukan untuk mengendapkan dan membantu mucin mencapai titik isoelektrik. Dengan
melakukan pengendapan, sampel dapat terbagi menjadi dua, yaitu endapan dan filtrat.
Endapan digunakan untuk melakukan tes mucin sedangkan filtrat digunakan untuk
melakukan tes ion anorganik. Percobaan pengumpulan saliva ditujukan untuk mengetahui
kandungan yang ada di dalamnya. Diketahui bahwa saliva memiliki komposisi 99% air
dan 1% organik maupun anorganik.

2.2. Tes Mucin

Mucin merupakan kelompok glikoprotein, terdiri atas karbohidrat serta protein sehingga
untuk membuktikan keberadaan mucin, dilakukan uji millon dan uji molish dimana uji
millon dilakukan dalam mengidentifikasi keberadaan protein pada mucin, sedangkan uji
molisch dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan karbohidrat. Menurut Kasuma
(2015), Mucin bersifat hidrofilik yang dapat mengabsorbsi dan mempertahankan jumlah
air sehingga mencegah dehidrasi dapat terjadi. Berdasarkan dua uji tersebut dapat diketahui
bahwa tes mucin akan menghasilkan hasil positif terhadap pereaksi millon dan negatif
terhadap pereaksi molish. Hal tersebut ditandai dengan terbentuknya endapan putih atau
kekuningan, uji millon merupakan pembentukan garam merkuri dan tirosin. Sedangkan,
uji molish ditandai dengan terbentuknya cincin furfural. Mekanisme cincin furfural
berwarna ungu terbentuk dengan karbohidrat yang terhidrolisis oleh H2SO4 pekat menjadi
monosakarida kemudian terkondensasi membentuk furfural yang bereaksi dengan
alfanaftol sehingga membentuk senyawa kompleks ungu. Cincin ungu tersebut terbentuk
disebabkan karena Penambahan H2SO4 pekat melalui dinding tabung sehingga terbentuk
cincin di dasar tabung reaksi.

2. 3. Tes Beberapa Ion Anorganik

Saliva mengandung beberapa komponen anorganik, di antara nya klorida, fosfat, sulfat,
dan kalsium. Elektrolit klorida dan kalsium dalam saliva terdapat dalam bentuk ion Cl- dan
Ca2+. Menurut Multazam (2013), elektrolit sulfat alam saliva terdapat dalam bentuk SCN
dan elektrolit fosfat dalam saliva pada umumnya dalam bentuk H3PO42- yang berperan
dalam sistem buffer saliva. Menurut Selwyn (2018), penambahan HNO3 dalam filtrat saliva
ditujukan untuk memberikan suasana asam pada larutan sehingga dapat terbentuk endapan
dan mencegah terbentuknya garam perak selain AgCl. Terbentuknya endapan putih dengan
penambahan AgNO3, BaCl2, dan ammonium oksalat ke dalam filtrat saliva menunjukkan
adanya ion Cl-, SO42-, dan Ca2+ dalam saliva. Penambahan asam askorbat ke dalam filtrat
saliva akan menghasilkan warna biru yang menunjukkan adanya ion sulfat dalam saliva.
Menurut McKelvie dkk. (1995), kompleks ammonium fosfomolibdat yang terbentuk akan
menghasilkan warna biru.
• Ion klorida (Cl-)

Percobaan ditujukan untuk mengetahui atau mendeteksi keberadaan ion Cl- di dalam saliva.
Hal ini dapat diketahui dengan cara direaksikannya ion Cl- dengan AgNO3 dengan reaksi:

Cl- + AgNO3 → AgCl + NO3-

Ion Cl- akan bereaksi dengan AgNO3 membentuk endapan AgCl. Endapan AgCl yang
dihasilkan ditemukan dalam bentuk endapan berwarna putih yang berada di dasar tabung.
Dengan demikian, hasil positif yang menunjukkan keberadaan ion Cl- dapat diperiksa dari
terbentuknya endapan putih pada tabung reaksi.

• Ion Fosfat (PO43-)

Percobaan ditujukan untuk mendeteksi keberadaan ion PO43- di dalam saliva. Percobaan
dilakukan dengan mencampurkan saliva dengan 0,5 mL pereaksi molibdat dan 5 tetes asam
askorbat 5% dengan reaksi:

PO43- + (NH4)3MoO4 → (NH4)3PO4.12MoO3

Ion fosfat akan bereaksi dengan pereaksi fosfomolibdat membentuk kompleks


fosfomolibdenum yang berwarna biru. Dengan demikian, uji positif yang menunjukkan
keberadaan ion fosfat di dalam saliva dapat diperiksa dengan terbentuknya kompleks berwarna
biru pada larutan.

• Ion sulfat (SO42-)

Percobaan ditujukan untuk mendeteksi keberadaan ion sulfat di dalam saliva. Filtrat saliva
yang telah diasamkan dicampurkan dengan 1 mL larutan BaCl2 5% yang akan membentuk
reaksi sebagai berikut.

SO42- + BaCl2 → BaSO4 + 2Cl-

Ion sulfat (SO42-) akan bereaksi dengan barium (Ba2+) dan membentuk senyawa BaSO4 yang
berupa endapan putih yang berada pada bagian dasar tabung reaksi. Dengan demikian, uji
positif yang menunjukkan keberadaan ion sulfat di dalam saliva dapat diperiksa dari
terbentuknya endapan berwarna putih pada tabung reaksi.

• Ion Calsium (Ca2+)

Percobaan ditujukan untuk mendeteksi keberadaan ion kalsium di dalam saliva. Penambahan
ammonium oksalat 4% ke dalam filtrat saliva menghasilkan reaksi:

Ca2+ + (NH4)2C2O4 → CaC2O4 + 2NH4+


Ion kalsium (Ca2+) akan bereaksi dengan anion oksalat (C2O42-) membentuk endapan kalsium
oksalat (CaC2O4) yang berwarna putih. Dengan demikian, uji positif yang menunjukkan
keberadaan ion kalsium di dalam saliva dapat diperiksa dari warna larutan yang berubah
menjadi lebih keruh.

3. Darah
a. Cara Kerja dan Tabel Reaksi
1. Penentuan Kadar Hemoglobin Cara Sahli

Cara Kerja Reaksi


Dimasukkan 5 tetes larutan HCl 0,1N ke tabung
hemometer.

Jari digosok dan dibersihkan dengan kapas yang telah


dibasahi alkohol 70%.
Penentuan kadar hemoglobin menggunakan skala
Jari ditusuk hingga darah keluar, darah diisap pada tabung hemometer dengan catatan kisaran
menggunakan pipet hemometer sampai 0,02 mL. kadar Hb normal bergantung pada jenis kelamin.
Unuk pria, (14-16 gr/dL darah) dan untuk wanita,
Darah dimasukkan ke larutan HCl pada tabung
hemometer dan pipet dibilas dengan larutan HCl. (12-14 gr/dL darah).
Didiamkan selama 30 detik.

Campuran diencerkan dengan aquades sambil diaduk


sampai warna larutan sama dengan warna larutan
standar pada hemometer.

Kadar Hb dalam satuan gram/100 mL darah dihitung.

2. Tes Benzidin

Cara Kerja Reaksi


Ditempatkan 1 tetes darah ke tabung reaksi, Reaksi pembentukan radikal hidroksil: Fe2+ +
ditambahkan 1 mL larutan benzidin dalam asam asetat H2O2 → Fe3- + .OH- + OH-
glacial dan 0,5mL larutan H2O2 3%.
Reaksi oksidasi pembentukan warna biru
Dikocok dan diamati perubahan yang terjadi. benzidin:
3. Penentuan Beberapa Senyawa dalam Darah
Cara Kerja Reaksi
1 mL darah ditempatkan dalam cawan penguap • Tes Gula Pereduksi:

Ditambahkan 5 mL air dan campuran dipanaskan di


penangas air.

Ditambahkan 1 tetes asam asetat 2M dan dipanaskan


kembali sampai terbentuk koagulan. Uji menghasilkan hasil (+) jika terbentuk endapan
merah bata dan hal ini menunjukkan adanya
Campuran disaring dan filtrat ditampung. glukosa (gula pereduksi).
Filtrat diuapkan sampai volumenya tinggal separuh. • Ion Klorida (Cl-)
Didinginkan dan dilakukan tes untuk gula pereduksi, ion
klorida dan ion fosfat. Reaksi: Cl- + AgNO -> AgCl(s) + NO-
Uji (+) menghasilkan AgCl berupa endapan putih.
a. Tes Gula Pereduksi
1 mL filtrat ditambahkan 1 mL larutan Benedict.
• Ion Fosfat (PO43-)
Campuran dipanskan dalam penangas air mendidih
selama 5 menit. Reaksi:

Diamati perubahan yang terjadi. PO43- + (NH4)3MoO4 -> (NH4)3PO4.12MoO2


(kompleks berwarna biru)
b. Ion Klorida (Cl-)
2 mL filtrat saliva diasamkan dengan 4 tetes HNO3 Asam askorbat berperan sebagai reduktor. Uji
encer. menghasilkan hasil (+) jika terbentuk kompleks
berwarna biru.
Ditambahkan 3 tetes AgNO3 0,5M dan diamati
perubahan yang teradi.

c. Ion Fosfat (PO43-)


2 mL filtrat saliva diasamkan dengan 4 tetes HNO3
encer.
Ditambahkan 0,5 mL pereaksi molibdat dan 5 tetes
asam askorbat 5%.
Diamati perubahan yang terjadi.

b. Pembahasan
3.1 Penentuan Kadar Hemoglobin Cara Sahli
Percobaan penentuan kadar Hb dengan cara sahli ditujukan untuk menghitung kadar Hb
dalam darah. Prinsip dari metode Sahli yaitu menentukan kadar Hb secara visual dengan
membandingkan larutan darah dengan panduan standar Hb atau indikator, yakni pada pria
12 – 16 gr/100mL dan pada wanita 12 – 14 gr/100mL. Berdasarkan prinsipnya, metode
sahli menggunakan HCl untuk mengubah hemoglobin pada darah yang telah diambil di
tahap awal menjadi asam hematin yang memiliki warna kecoklatan. Proses pengadukan
pada metode sahli ditujukan agar campuran antara darah dan HCl menjadi homogen.
Dilakukan waktu tunggu supaya HCl dapat memecah sel darah merah sehingga
hemoglobin yang berada di dalamnya dapat bereaksi dengan HCl membentuk asam
hematin yang berwarna kecoklatan. Intensitas serta kedalaman warna yang muncul setelah
ditetesi oleh akuades tetes demi tetes akan menunjukkan kadar hemoglobin yang dimiliki
dalam bentuk g % atau gr per 100 ml darah.

3.2 Tes Benzidin


Tes benzidine anyak digunakan untuk membuktikan adanya darah dalam bidang forensik.
Tes benzidine ditujukan untuk mendeteksi keberadaan ion besi dalam darah. Prinsip dasar
dari tes benzidin adalah mendeteksi keberadaan darah dari reaksi redoks yang terjadi
dimana besi yang terkelat dalam hemoglobin darah dengan adanya peroksida akan bereaksi
menghasilkan radikal hidroksil. Radikal hidroksil ini dapat menyerang molekul-molekul
yang kaya akan elektron. Keberadaan larutan pereaksi benzidin dapat membuat radikal
hidroksil menyerang benzidin sehingga terjadi reaksi redoks yang menghasilkan benzidin
berwarna biru sebagai hasil positif terhadap tes ini. Dari reaksi ini, dapat dibuktikan adanya
kandungan darah.

3.3 Penentuan Beberapa Senyawa dalam Darah


a. Tes gula pereduksi
Uji ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi keberadaan gula pereduksi pada darah.
Prinsip dari uji tes gula pereduksi ini, yakni gugus aldehid atau keton bebas pada gula
pereduksi akan mereduksi reduksi ion Cu2+ menjadi Cu+ yang mengendap dalam suasana
basa. Jika suatu senyawa gula pereduksi bereaksi dengan pereaksi Benedict yang
mengandung Cu2+ akan menyebabkan adanya endapan merah bata setelah pemanasan.
Pereaksi Benedict ditujukan sebagai penyedia suasana basa. Gula yang tereduksi berupa
monosakarida dan disakarida, kecuali sukrosa dan pati. Hasil (+) terhadap uji gula
pereduksi, yakni ketika endapan merah bata terbentuk setelah pemanasan.

b. Ion klorida (Cl-)


Uji ini dilakukan untuk mendeteksi keberadaan ion klorida dalam darah. Prinsip dari uji
ion klorida, yakni dengan menambahkan asam nitrat encer (HNO3) untuk memberi suasana
asam pada filtrat darah dilanjutkan dengan menambahkan AgNO3. Endapan putih AgCl
kemudian terbentuk dalam suasana asam setelah ditambahkan AgNO3. Perlu diperhatikan
bahwa uji ini berlangsung dalam suasana asam, karena jika tidak dilakukan dalam suasana
asam, AgNO3 yang ditambahkan akan bereaksi dan membentuk AgOH.
c. Ion fosfat (PO43-)
Uji ini dilakukan untuk mendeteksi keberadaan ion fosfat dalam darah. Prinsip dari uji ion
fosfat, yakni dengan menambahkan asam nitrat encer (HNO3) untuk memberi suasana
asam pada filtrat darah lalu menambahkan reagen molibdat dengan tujuan agar darah
selanjutnya terkonversi menjadi kompleks kekuningan. Penambahan asam askorbat 5%
ditujukan agar kompleks biru fosfomolibdat dapat terbentuk. Kompleks ini dapat
diindikasikan sebagai keberadaan ion fosfat.

DAFTAR PUSTAKA
Tim KBI Biokimia. (2015). Diktat Penuntun Praktikum Biokimia. Depok: Departemen
Kimia FMIPA UI.

Firmansyah, W.E. (2014). Laporan Praktikum Biokimia dan Analisis Pangan: Analisis
Kadar Vitamin C. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang: 13 hlm.

Al-Ani, M., L. U. Opara, D. Al-Bahri, dan N. Al-Rahbi. (2007). Spectrophotometric


Quantification of Ascorbic Acid Contents of Fruit and Vegetables using the 2,4-
Dinitrophenylhydrazine Method. Journal of Food, Agriculture & Environment 5(3&4):
165-168.

Arya, S. P., M. Mahajan & P. Jain. (1998). Photometric Methods for The Determination
of Vitamin C. The Japan Society for Analytical Chemistry 14: 889-895.

Kasuma, N. (2015). Fisiologi dan Patologi Saliva. Andalas University Press, Padang: iii +
58 hlm.
Parade, N. N. J. (2011). Pengaruh Konsumsi Minuman Jeruk Kemasan terhadap Perubahan
pH Saliva.
Mohamed, A. M. H. (2020). Course Book of Biochemistry. Department of Biochemistry,
Benha University. 35 hlm.
Hashmi, M.H. (2004). Assay of Vitamins in Pharmaceutical Preparations. London: John
Wiley & Sons.

Mallo, P.Y., S.R.U.A. Sompie, B.F. Narasiang & Bahrun. (2012). Rancang Bangun Alat
Ukur Kadar Hemoglobin dan Oksigen dalam Darah dengan Sensor Oximeter secara Non-
Invasive. Jurnal Teknik Elektro dan Komputer 1(1): 1-6.

Febianty, N., Sugiarto, C., & Sadeli, L. (2013). Perbandingan Pemeriksaan Kadar
Hemoglobin Dengan Menggunakan Metode Sahli dan Autoanalyzer Pada Orang Normal.
Universitas Kristen Marananta.

Anda mungkin juga menyukai