Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN KASUS

GAGAL GINJAL KRONIK PADA ANAK

Pembimbing:

dr. Nurifah, Sp. A

Penulis

Siti Zulfah 1102014255

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I R. SAID
SUKANTO PERIODE 28 JANUARI – 4 APRIL 2019

1
ABSTRAK

Gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan pada anak yang cukup
serius dengan prevalens yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan
mortalitas yang meningkat. Definisi GGK yaitu penyakit ginjal dengan kerusakan
ginjal minimal tiga bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG). Berbagai kelainan ginjal baik kelainan kongenital maupun didapat dapat
menyebabkan GGK. Pasien GGK seringkali datang dengan berbagai keluhan yang
menunjukkan bahwa pasien datang pada stadium lanjut, karena keterlambatan
diagnosis. Manifestasi klinis dapat berupa gangguan pertumbuhan, anemia,
nutrisi, hipertensi, gangguan elektrolit, dan osteodistrofi renal. Proteinuria
merupakan petanda penting pada GGK dan berperan dalam progresivitas
penyakit. Pengobatan bertujuan untuk menghambat atau memperlambat
progresivitas penyakit serta mencegah terjadinya komplikasi. Selain terhadap
penyebabnya, pengobatan dilakukan juga untuk mengatasi manifestasi klinis.
Pencegahan dan deteksi dini merupakan hal yang sangat penting, karena dengan
deteksi dini progresivitas penyakit dapat dikendalikan.

2
PENDAHULUAN

Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu keadaan menurunnya laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang bersifat tidak reversibel dan terbagi dalam 4 stadium
sesuai dengan jumlah nefron yang masih berfungsi. Pada anak-anak GGK dapat
disebabkan oleh berbagai hal, terutama karena kelainan kongenital,
glomerulonefritis, penyakit multisistem, dan lain-lain. Gejala klinis GGK
merupakan manifestasi dari penurunan fungsi filtrasi glomerulus yang
mengakibatkan terjadinya uremia, gangguan keseimbangan cairan-elektrolit dan
asam-basa, serta gangguan fungsi endokrin berupa berkurangnya kadar
eritropoietin dan vitamin D3. Penanganan GGK disesuaikan dengan tahap
penurunan laju filtrasi glomerulus, yang secara prinsip dibagi menjadi terapi
konservatif dan terapi pengganti ginjal (TPG).
Kejadian GGK di setiap negara berbeda dan diperkirakan kejadian GGK
lebih tinggi dari data yang ada karena banyak kasus yang tidak terdeteksi.
Penelitian Italkid-project melaporkan prevalens GGK pada anak mencapai 12,1
kasus/tahun/1 juta anak dengan rentang usia 8,8-13,9 tahun atau 74,4 per satu juta
pada populasi yang sama. Prevalens GGK stadium I dan II dilaporkan mencapai
18,5-58,3 per satu juta anak. Penelitian multisenter di Turki melaporkan insidens
GGK mencapai 10,9 kasus per satu juta anak, dengan mayoritas stadium V
(32,5%), stadium IV (29,8%), dan stadium III (25,8%). Sekitar 68% anak dengan
GGK berkembang menjadi GGT (gagal ginjal terminal) pada usia 20 tahun. Anak
dengan GGT mempunyai angka kelangsungan hidup sekitar 3% pada usia 20
tahun. Penyebab kematian paling sering adalah penyakit kardiovaskular diikuti
dengan infeksi. Di Amerika Utara, prevalens GGT meningkat 32% sejak tahun
1990. Di Indonesia belum ada data nasional tentang kejadian GGK. Tahun 2006
dan 2007 dijumpai 382 pasien GGK yang berobat di Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RSCM Jakarta. Kualitas hidup anak dengan GGK lebih rendah
dibandingkan anak sehat, baik secara fisik, emosional, sosial, maupun prestasi
belajar. Mereka sering merasa cemas, takut dan tertekan sehingga mempengaruhi
fungsi akademis di sekolah. Selain itu orangtua anak GGK hidup dalam

3
kecemasan, kelelahan fisik, ketidakpastian mengenai prognosis, dan masalah
finansial.

4
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Penyakit ginjal kronik merupakan terminologi baru yang dikeluarkan oleh


The National Kidney Foundation’s Kidney Disease and Outcome Quality
Initiative (NKF-KDOQI) pada tahun 2002, me- rupakan penyakit ginjal dengan
kerusakan ginjal minimal tiga bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG).

2. Klasifikasi
NKF-KDOQI membagi GGK dalam lima stadium yaitu,
- Stadium 1: kerusakan ginjal dengan LFG normal atau peningkatan LFG
(≥90 mL/menit/1,73 m²)
- Stadium 2: kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (60-89
mL/menit/1,73 m²)
- Stadium 3: penurunan LFG sedang (30-59 mL/ menit/1,73 m²)
- Stadium 4: penurunan LFG berat (15-29 mL/ menit/1,73 m²)
- Stadium 5: gagal ginjal (LFG < 15 mL/menit/1,73 m² atau dialisis)
Klasifikasi GGK tersebut digunakan untuk anak di atas dua tahun
sehubungan dengan proses pematangan ginjal yang masih berlangsung. Nilai
LFG digunakan sebagai fokus utama dalam pedoman ini karena LFG dapat
menggambarkan fungsi ginjal secara menyeluruh. Nilai LFG dapat dihitung
berdasarkan rumus berikut,
K X TB (cm) LFG (mL/menit/173 m2) = Kreatinin serum (mg/dL)
- K adalah konstanta (K= 0,33 untuk bayi berat lahir rendah di bawah usia 1
tahun, K= 0,45 untuk bayi berat lahir cukup bulan sampai 1 tahun, K= 0,55
untuk anak sampai umur 13 tahun, K= 0,57 untuk perempuan 13-21 tahun,
dan 0,70 untuk anak laki-laki 13 – 21 tahun).
- TB=tinggi badan

5
3. Etiologi
Dua penyebab utama GGK pada anak adalah kelainan kongenital dan
glomerulonefritis kronik. Etiologi yang paling sering didapatkan pada anak di
bawah 6 tahun adalah kelainan kongenital, kelainan perkembangan saluran
kencing seperti uropati obstruktif, hipoplasia, displasia ginjal, dan ginjal
polikistik. Menurut laporan EDTA, glomerulonefritis dan pielonefritis
merupakan penyebab tersering timbulnya GGK (24%), diikuti oleh penyakit
herediter (15%), penyakit sistemik (10,5%), hipoplasia ginjal (7,5%), penyakit
vaskular (3%), penyakit lainnya (9%) serta yang tidak diketahui etiologinya
7%. Dari kelompok pielonefritis dan nefritis interstitial yang tersering adalah
uropati obstruktif kongenital dan nefropati refluks (>60%), diikuti oleh
displasia ginjal.
Secara praktis penyebab GGK dapat dibagi menjadi kelainan kongenital,
kelainan didapat, dan kelainan herediter:
1. Kelainan kongenital: hipoplasia renal, displasia renal, uropati obstruktif
2. Kelainan herediter: nefronoftisis juvenil, nefritis herediter, sindrom alport
3. Kelainan didapat: glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulopati
membranosa, kelainan metabolit (oksalosis, sistinosis)

6
Penyebab GGK pada anak sangat erat hubungannya dengan usia saat
timbul GGK. Gagal ginjal kronik yang timbul pada anak di bawah usia 5 tahun
sering ada hubungannya dengan kelainan anatomis ginjal seperti hipoplasia,
displasia, obstruksi dan kelainan malformasi ginjal. Sedangkan GGK yang
timbul pada anak diatas 5 tahun dapat disebabkan oleh penyakit glomerular
(glomerulonefritis, sindrom hemolitik ureumik) dan kelainan herediter
(sindrom Alport, kelainan ginjal kistik).
Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo, penyebab GGK yang ditemukan adalah
sindrom nefrotik (55,5%), infeksi saluran kemih (28,3%), gagal ginjal kronik
(7%), neurogenic bladder (2,6%), nefritis lupus (2,3%).

4. Patofisiologi
Tanpa memandang penyebab kerusakan ginjal, bila tingkat kemunduran
fungsi ginjal mencapai kritis, penjelekan sampai gagal ginjal stadium akhir
tidak dapat dihindari. Mekanisme yang tepat, yang mengakibatkan
kemunduran fungsi secara progresif belum jelas, tetapi faktor-faktor yang
dapat memainkan peran penting mencakup cedera imunologi yang terus-
menerus; hiperfiltrasi yang ditengahi secara hemodinamik dalam
mempertahankan kehidupan glomerulus; masukan diet protein dan fosfor;
proteinuria yang terus-menerus; dan hipertensi sistemik. Endapan kompleks
imun atau antibodi anti-membrana basalis glomerulus secara terus-menerus
pada glomerulus dapat mengakibatkan radang glomerulus yang akhirnya
menimbulkan jaringan parut.
Cedera hiperfiltrasi merupakan akhir jalur umum yang penting pada
destruksi glomerulus akhir, tidak tergantung mekanisme yang memulai cedera
ginjal. Bila nefron hilang karena alasan apapun, nefron sisanya mengalami
hipertrofi struktural dan fungsional yang ditengahi, setidak-tidaknya sebagian,
oleh peningkatan aliran darah glomerulus. Peningkatan aliran darah
sehubungan dengan dilatasi arteriola aferen dan konstriksi arteriola eferen
akibat-angiotensin II menaikkan daya dorong filtrasi glomerulus pada nefron
yang bertahan hidup. "Hiperfiltrasi" yang bermanfaat pada glomerulus yang

7
masih hidup ini, yang berperan memelihara fungsi ginjal, dapat juga merusak
glomerulus dan mekanismenya belum dipahami. Mekanisme yang berpotensi
menimbulkan kerusakan adalah pengaruh langsung peningkatan tekanan
hidrostatik pada integritas dinding kapiler, hasilnya mengakibatkan keluarnya
protein melewati dinding kapiler, atau keduanya. Akhirnya, kelainan ini
menyebabkan perubahan pada sel mesangium dan epitel dengan
perkembangan sklerosis glomerulus. Ketika sklerosis meningkat, nefron
sisanya menderita peningkatan beban ekskresi, mengakibatkan lingkaran setan
peningkatan aliran darah glomerulus dan hiperfiltrasi. Penghambatan enzim
pengubah angiotensin mengurangi hiperfiltrasi dengan jalan menghambat
produksi angiotensin II, dengan demikian melebarkan arteriola eferen, dan
dapat memperlambat penjelekan gagal ginjal.
Model eksperimen insufisiensi ginjal kronis telah menunjukkan bahwa diet
tinggi-protein mempercepat perkembangan gagal ginjal, mungkin dengan cara
dilatasi arteriola aferen dan cedera hiperperfusi. Sebaliknya, diet rendah-
protein mengurangi kecepatan kemunduran fungsi. Penelitian memperkuat
bahwa pada individu normal, laju filtrasi glomerulus (LFG) berkorelasi secara
langsung dengan masukan protein dan menunjukkan bahwa pembatasan diet
protein dapat mengurangi kecepatan kemunduran fungsi pada insufisiensi
ginjal kronis.
Beberapa penelitian yang kontroversial pada binatang menunjukkan bahwa
pembatasan diet fosfor melindungi fungsi ginjal pada insufisiensi ginjal
kronis. Apakah pengaruh yang menguntungkan ini karena pencegahan
penimbunan garam kalsium-fosfat dalam pembuluh darah dan jaringan atau
karena penekanan sekresi hormon paratiroid, yang berkemungkinan
nefrotoksin, masih belum jelas.
Proteinuria menetap atau hipertensi sistemik karena sebab apapun dapat
merusak dinding kapiler glomerulus secara langsung, mengakibatkan sklerosis
glomerulus dan permulaan cedera hiperfiltrasi.
Ketika fungsi ginjal mulai mundur, mekanisme kompensatoir berkembang
pada nefron sisanya dan mempertahankan lingkungan internal yang normal.

8
Namun, ketika LFG turun di bawah 20% normal, kumpulan kompleks
kelainan klinis, biokimia, dan metabolik berkembang sehingga secara
bersamasaan membentuk keadaan uremia.

5. Patogenesis
Respon ginjal pada GGK pada umumnya sama walaupun etiologi
berbeda. Pada awal penyakit, ginjal beradaptasi terhadap kerusakan dengan
meningkatkan LFG oleh nefron normal yang tersisa, namun makin lama
menyebabkan kerusakan glomerulus progresif akibat peningkatan tekanan
hidrostatik pada dinding kapiler dan efek toksik protein yang melintasi dinding
kapiler. Seiring berjalannya waktu, jumlah nefron yang sklerosis akan semakin
banyak, sehingga terjadi peningkatan beban ekskresi pada nefron yang masih
bertahan. Kondisi ini akan terus berulang dan semakin banyak nefron yang
rusak hingga berakhir dengan GGT. Peroteinuria pada GGK merupakan tanda
penting kerusakan ginjal. Proteinuria berperan dalam penurunan fungsi ginjal
karena protein yang melintasi dinding kapiler glomerulus berdampak toksik
sehingga terjadi migrasi monosit/makrofag dan dengan peran berbagai sitokin
terjadi sklerosis glomerulus dan fibrosis tubulointerstisial. Hipertensi yang
tidak terkontrol dapat meningkatkan progresivitas penyakit karena
menyebabkan nefrosklerosis arteriolar dan menambah cedera akibat
hiperfiltrasi. Hiperfosfatemia menyebabkan pembentukan ikatan kalsium fosfat
yang mengendap di interstisial ginjal dan pembuluh darah. Hiperlipidemia
mempengaruhi fungsi glomerulus dengan menimbulkan cedera yang
diperantarai zat oksidan.

6. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang timbul pada GGK merupakan manifestasi dari:
1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit.
2. Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksin uremik.
3. Kurangnya hormon ginjal seperti eritropoietin dan bentuk aktif vitamin D

9
(1,25 dihidroksivitamin D3).
4. Abnormalitas respons end organ terhadap hormon endogen (hormon
pertumbuhan).
Pada pasien GGK yang disebabkan penyakit glomerulus atau kelainan
herediter, gejala klinis dari penyebab awalnya dapat kita ketahui sedangkan
gejala GGK-nya sendiri tersembunyi dan hanya menunjukkan keluhan non-
spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah,
polidipsia, poliuria, gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik sering
ditemukan anak tampak pucat, lemah, dan menderita hipertensi. Keadaan ini
dapat berlangsung bertahun-tahun, sehingga pasien telah menderita gangguan
anatomis berupa gangguan pertumbuhan dan ricketsia. Namun dengan
pemeriksaan yang teliti dan cermat akan ditemukan keadaan-keadaan seperti
azotemia, asidosis, hiperkalemia, gangguan pertumbuhan, osteodistrofi ginjal,
anemia, gangguan perdarahan, hipertensi, gangguan neurologi.
1. Gangguan keseimbangan elektrolit
Natrium
Dengan berkurangnya LFG yang progresif pada pasien GGK,
ginjal akan mempertahankan keseimbangan natrium dengan meningkatkan
ekskresi natrium oleh nefron yang masih baik. Bila adaptasi ini tidak
terjadi, akan timbul retensi natrium yang akan membahayakan tubuh.
Meningkatnya ekskresi natrium ini disebabkan karena meningkatnya
rejeksi tubular dengan akibat meningkatnya fraksi ekskresi natrium
(FeNa). Faktor-faktor yang dapat meningkatkan FeNa pada pasien GGK
belum jelas diketahui. Suda, dkk dalam penelitiannya pada pasien GGK
(LFG antara 11-66 ml/menit/1,73m 2 melaporkan kemungkinan
peningkatan FeNa disebabkan pembentukan faktor natriuretik atrial.
Tetapi penderita GGK ini tidak dapat mengeliminasi beban natrium ini
dengan cepat, yaitu pada pasien GGK dengan LFG subnormal (LFG rata-
rata 34ml/menit/1,73m2) hanya mampu mengekskresi setengah dari jumlah
natrium dalam waktu 2 jam setelah diberi infus NaCl, dibanding orang
normal. Hal ini menunjukkan toleransi pasien GGK terhadap peningkatan

10
masukan natrium yang tiba-tiba adalah buruk dan dapat menimbulkan
perubahan volume ekstraseluler dengan segala akibatnya.
Sebaliknya pasien GGK tidak mampu menurunkan ekskresi
natrium pada saat diberikan diet dengan restriksi natrium. Konsentrasi
minimum natrium urin pada pasien GGK ringan sampai sedang adalah 25-
50 mEq/L. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan nefron distal
meningkatkan reabsorbsi natrium. Bila diberikan restriksi garam secara
tiba-tiba pada pasien GGK akan menimbulkan penurunan volume cairan
ekstraseluler, perfusi ginjal dan LFG. Pasien Ggk karena penyakit ginjal
interstitial, displasia ginjal, dan penyakit ginjal kistik adalah yang paling
sering menyebabkan salt wasting ini. Tubulus ginjal pasien GGK karena
nefropati obstruktif ditemukan kurang responsif terhadap aldosteron
endogen (pseudohipoaldosteronisme).
Kalium
Keseimbangan kalium relatif dapat dipertahankan pada LFG di atas
10 ml/menit/1,73m2. Homeostasis kalium pada pasien GGK dipertahankan
dengan meningkatkan ekskresi renal dan ekstrarenal. Ekskresi renal
dicapai dengan meningkatkan ekskresi fraksional (oleh proses sekresi
tubulus ginjal) pada nefron yang masih berfungsi. Sedangkan ekskresi
ekstrarenal terutama melalui feses yaitu sebanyak 75% (pada orang normal
20%). Walaupun demikian keadaan hiperkalemia tetap merupakan
ancaman bagi pasien GGK, karena mungkin saja mereka mendapat kalium
dalam jumlah besar tiba-tiba misalnya dari makanan, transfusi darah,
keadaan sepsis, ataupun asidosis.
Pada pasien GGK selain hiperkalemia dapat terjadi hipokalemia.
Keadaan hipokalemia biasanya terjadi akibat pemakaian diuretik seperti
hidroklortiazid, furosemid atau bisa juga akibat pemberian diet rendah
kalium. Gejalanya adalah penurunan atau hilangnya refleks otot yang akan
sangat berbahaya bila mengenai otot-otot interkostal karena dapat
menyebabkan henti napas (respiratory arrest).

11
Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik biasanya ditemukan pada pasien GGK dengan
LFG <25% dari normal, ditandai dengan penurunan kadar bikarbonat
plasma (tCO2 12-15 mEq/L) dan peningkatan senjang anion. Asidosis
metabolik terjadi akibat ketidakmampuan pengeluaran ion hidrogen atau
asam endogen yang dibentuk karena insufisiensi sintesis amonium pada
segmen nefron distal. Meningkatnya senjang anion terjadi akibat retensi
anion seperti sulfat, fosfat, urat, dan hipurat dalam plasma (pada ginjal
normal anion ini diekskresi oleh filtrasi glomerulus). Juga ada bukti yang
menunjukkan bahwa kebocoran bikarbonat ginjal berperan dalam
menimbulkan asidosis ini, seperti pada sindrom Fanconi, asidosis tubular
ginjal tipe IV, dan hiperparatiroidisme sekunder.
Asidosis pada GGK dini (LFG 30-50% normal) lebih sering berupa
tipe dengan senjang anion normal (hiperkloremik) dan sebaliknya pada
GGK yang berat (LFG <20ml/menit/1,73m2) biasanya berupa senjang
anion yang besar. Selain terlibat dalam patogenesis terjadinya gangguan
pertumbuhan dan memperburuk hiperkalemia yang telah ada, asidosis juga
menimbulkan keadaan katabolik pada pasien GGK. Manifestasi klinis
asidosis adalah takipneu, hiperpneu, dan perburukan hiperkalemia dan
mungkin gangguan pertumbuhan.
2. Gangguan keseimbangan cairan
GGK dihubungkan dengan gangguan dalam pemeketan urin. Pada
keadaan restriksi cairan, orang normal mampu memekatkan urin sampai
1.500 mosmol/L, sedangkan pasien GGK biasanya tidak mampu
memekatkan urin di atas 300 mosmol/L. Berat jenis dan osmolalitas urin
seringkali mirip dengan plasma. Hal ini disebabkan karena dengan
bertambahnya nefron yang rusak, beban osmotik ekskresi yang ditanggung
oleh nefron yang tersisa semakin bertambah. Dengan demikian
mengakibatkan reabsorbsi air oleh tubulus berkurang dan menyebabkan

12
berat jenis urin mirip dengan plasma (300 mosmol/L dan berat jenis 1,010,
disebut isostenuria). Isostenuria yang resisten terhadap pemberian pitresin
dari luar pada GGK, menunjukkan adanya gangguan terhadap respons
tubulus terhadap ADH yang juga berperan dalam terjadinya isostenuria.
Hal di atas sering terjadi pada GGK yang disebabkan oleh uropati
obstruktif, displasia ginjal, penyakit ginjal kistik dan interstitial. Pasien
ini sering mengalami dehidrasi bila masukan cairan tidak mencukupi atau
dibatasi. Dehidrasi yang berulang dan syok akan memperburuk LFG.
Anak yang demikian dianjurkan untuk tidak dibatasi masukan cairannya
dan segera mencari pertolongan bila terserang gastroentritis. Pasien juga
tidak dapat mengencerkan urin secara maksimal dan tidak dapat
membuang kelebihan cairan tubuh secara tepat dan efektif sehingga dapat
timbul masalah kelebihan cairan.
3. Gangguan metabolisme
Metabolisme karbohidrat
Pasien GGK dapat disertai timbulnya intoleransi glukosa akan
menunjukkan adanya hiperglikemia. Keadaaan ini sebagai akibat
terjadinya resistensi terhadap insulin yang menghambat masuknya glukosa
ke dalam sel. Pada anak yang menderita GGK kadar insulin plasma
meningkat hingga harus dilakukan pemantauan kadar glukosa, karena
dalam keadaan akut pasien GGK memerlukan pemberian glukosa
parenteral. Karena dialisis dapat memperbaiki intoleransi glukosa pada
pasien GGK, maka diduga toksin uremik yang menyebabkan terjadinya
resistensi insulin ini. Faktor lainnya seperti peninggian kadar glukagon dan
hormon pertumbuhan juga berperan.
Metabolisme lemak
Biasanya timbul hiperlipidemia yang bermanifestasi sebagai
hipertrigliserida, kadar kolesterol darah normal, peninggian VLDL (very
low density lipoprotein) dan penurunan LDL (low density lipoprotein).
Hal ini terjadi karena meningkatnya produksi trigliserida di hepar akibat
hiperinsulinemia dan menurunnya fungsi ginjal serta karena menurunnya

13
katabolisme trigliserida. Keadaan ini biasanya terjadi bila LFG
<40ml/menit/1,73m2 dan meningkatnya lemak ini sesuai dengan
bertambahnya progresivitas GGK. Lebih dari 2/3 anak akan mengalami
hiperlipidemia pada saat gagal ginjal terminal. Walaupun demikian
penyebab peningkatan produksi trigliserida dan VLDL ini belum
diketahui. Akhir-akhir ini diduga gangguan terjadi pada catabolic pathway
trigliserida. Hal ini didukung oleh seringnya terjadi penurunan klirens
trigliserida pada pasien uremia yang mendapatkan trigliserida (intralipid)
dari luar. Mungkin ini disebabkan oleh menurunnya aktivitas lipoprotein
lipase dan lipase hati. Dialisis ternyata tidak memperbaiki keadaan
hiperlipidemia pada pasien GGK, mungkin karena tidak memadainya
pembuangan toksin uremik yang diduga berperan atau karena faktor
lainnya.
4. Anemia
Anemia normositer, normokromik merupakan komplikasi GGK
yang biasa ditemukan dan berhubungan dengan derajat GGK. Penyebab
utama anemia pada GGK adalah berkurangnya produksi eritropoietin,
suatu hormon glikoprotein yang diproduksi ginjal (90%) dan sisanya
diproduksi di luar ginjal (hati dan sebagainya). Kadar eritropoietin serum
nyata menurun pada pasien GGK berat, tetapi korelasi ini tidak jelas pada
LFG >20ml/menit/1,73m2. Anemia pada pasien dapat dikoreksi dengan
pemberian eritropoietin rekombinan dan responsnya tergantung dari dosis
yang diberikan. Dengan terapi ini terlihat perbaikan pada toleransi latihan,
fungsi kognitif dan kualitas hidup keseluruhan. Mekanisme lain terjadinya
anemia pada GGK adalah pemendekan umur eritrosit menjadi 2/3 umur
normal, toksisitas aluminium karena pemakaian obat-obat pengikat fosfat
yang mengandung aluminium, iatrogenik karena kehilangan darah
sewaktu dialisis dan pengambilan contoh darah, serta terjadinya defisiensi
asam folat pada pasien yang sedang menjalani dialisis. Anemia yang
terjadi karena toksisitas aluminium mempunyai gambaran mikrositik,

14
hipokromik yang mirip dengan defisiensi zat besi, tetapi kemampuan
mengikat besi dan kadar feritin serumnya normal.

5. Gangguan perdarahan
GGK yang berat biasanya akan diperberat dengan adanya
gangguan perdarahan yang menyertai. Walaupun jumlah trombosit
normal, tetapi waktu perdarahan sering memanjang. Hal ini diduga
disebabkan oleh adanya gangguan pada agregasi trombosit dan
berkurangnya respons terhadap ADP (adenosin difosfat) eksogen, kolagen,
dan epinefrin. Jumlah platelet factor 3 dan retraksi bekuan juga menurun
pada GGK yang tidak menjalani dialisis, diduga karena adanya peranan
“dialyzable factor” sebagai penyebab. Faktor lain yang diduga berperan
dalam menyebabkan gangguan perdarahan adalah gangguan pada faktor
VIII (dapat diperbaiki dengan kriopresipitat dan desmopresin), gangguan
metabolisme (prostaglandin inhibitor-2) PGI2 dan aspirin.
6. Gangguan fungsi kardiovaskular
Hipertensi
Terjadinya hipertensi pada pasien GGK disebabkan karena
tingginya kadar renin akibat ginjal yang rusak. Tetapi bila LFG menurun
dan jumlah urin berkurang, hipertensi terjadi akibat kelebihan cairan.
Keadaan ini akan menimbulkan keluhan sakit kepala, badan lemah, gagal
jantung bendungan, kejang; sedangkan hipertensi persisten mungkin
terjadi akibat berkurangnya LFG. Pada pasien hipertensi persisten yang
tanpa keluhan harus dievaluasi secara terus menerus untuk mencari adanya
kerusakan organ target. Pemeriksaan oftamologi perlu selalu dilakukan
pada pasien hipertensi persisten, selain itu pemeriksaan EKG perlu
dilakukan untuk mencari adanya hipertrofi jantung kiri.
Pada penyakit GGK yang progresif, timbulnya hipertensi dapat
merupakan akibat langsung dari penyakit ginjalnya. Pada setiap keadaan
hipertensi, kita harus meneliti semua faktor yang dapat menimbulkan

15
peninggian tekanan darah seperti faktor kardiovaskular, peningkatan
tahanan pembuluh darah perifer, faktor neurogen, faktor hormonal, dan
faktor renovaskular.

7. Gangguan jantung
Perikarditis
Perikarditis merupakan komplikasi yang sering terjadi pada GGK,
terutama timbul pada pasien dengan uremia berat yang tidak dilakukan
dialisis. Eksudat pada perikarditis uremik biasanya sedikit dan bersifat
fibrinosa atau serofibrinosa. Kadang pada pasien yang mendapat dialisis
yang adekuat juga timbul perikarditis dan efusi yang hemoragis. Pasien
yang mendapat terapi dialisis peritoneal dilaporkan lebih jarang menderita
perikarditis. Patogenesis perikarditis ini masih belum diketahui dengan
pasti. Walaupun toksin uremik yang tinggi pada keadaan dialisis sering
dijadikan kambing hitam, tetapi ada dugaan bahwa kelebihan cairan
berperan dalam menimbulkan perikarditis. Walaupun pasien perikarditis
uremik sering mengalami infeksi terutama oleh virus, tetapi pada cairan
perikardial sulit ditemukan penyebab infeksi, sedangkan cairan perikardial
yang hemoragis sering dihubungkan dengan pemakaian antikoagulan pada
dialisis.
Manifestasi klinis perikarditis uremik dapat berupa nyeri dada,
demam, dan efusi perikardial. Setelah penumpukan cairan perikardial
cukup banyak, pericardial rub akan menghilang, dan bunyi jantung
menjadi redup. Juga dapat terjadi tamponade jantung, terutama pada efusi
perikardial yang hemoragis. Perikarditis dan efusi perikardial uremik yang
lama.
Fungsi miokard dan respons terhadap latihan
Pada pasien GGK toleransi terhadap latihan rendah. Kapasitas
kerja aerobik pada pasien GGK dan GGT yang menjalani hemodialisis
kronik dilaporkan menurun sesuai dengan penurunan konsentrasi Hb.
Toleransi terhadap latihan dilaporkan membaik, bila anemia yang terjadi

16
dikoreksi dengan eritropoietin rekombinan. Kardiomiopati uremik sering
menimbulkan gangguan fungsi jantung berupa gagal jantung kongestif
yang biasanya ditemukan pada GGK yang berat dan GGT. Kardiomiopati
uremik ini disebabkan oleh kelebihan cairan, anemia, hipertensi, dan
mungkin toksin uremik.
Pada kebanyakan pasien GGK yang dilakukan dialisis, kelebihan
cairan ini dapat diatasi dengan dialisis sehingga fungsi jantung dapat
diperbaiki; tetapi hal ini tidak terjadi pada beberapa pasien; diduga
penyebabnya toksin uremik. Pada pasien GGK dapat ditemukan hipertrofi
ventrikel kiri dan penebalan septum interventrikular.
8. Gangguan neurologis
Neuropati perifer
Komplikasi berupa neuropati motorik dan sensorik yang mengenai
segmen distal (neuropati perifer) jarang ditemukan pada anak. Penelitian
terdahulu mendapatkan adanya penurunan elektrofisiologis saraf perifer
pada anak yang menderita GGK. Gejalanya dapat berupa parestesia
telapak tangan dan atau kaki, adanya rasa nyeri, mati rasa pada bagian
distal dan refleks tendon merupakan manifestasi neuropati perifer uremik.
Pada pemeriksaan dapat ditemukan menurunnya kecepatan konduksi saraf
perifer. Pemeriksaan konduksi saraf pada pasien GGK sebaiknya
dilakukan secara serial untuk mendeteksi adanya gangguan saraf sedini
mungkin. Kedaaan ini sering terjadi pada keadaan uremia berat dan
dengan tindakan dialisis memberikan hasil yang bervariasi, sedangkan
transplantasi ginjal memberikan hasil yang baik.
Ensefalopati hipertensif
Peninggian tekanan darah yang hebat dan tiba-tiba dapat
menyebabkan nekrosis arteri intrakranial dan edema serebri dengan gejala
sakit kepala, penurunan kesadaran dan kejang. Krisis hipertensi sering
terjadi pada GGT. Tindakan penurunan tekanan darah yang dilakukan
segera tidak akan meninggalkan gejala sisa yang berat, tetapi bila telah

17
terjadi perdarahan intraserebral dan intraventrikular dapat menimbulkan
gejala sisa yang berat dan bahkan kematian.
Retardasi mental
Diperkirakan terjadi peningkatan kejadian retardasi mental dengan
meningkatnya gangguan fungsi ginjal pada bayi dan anak kecil yang
menderita GGK pada tahun pertama kehidupan. Hal ini diduga akibat
pengaruh ureum terhadap perkembangan otak dan banyaknya alumunium
dalam makanan bayi. Terjadinya disfungsi otak diduga sebagai akibat
keracunan aluminium, karena suatu penelitian menunjukkan kejadian
retardasi mental dan disfungsi otak menurun pada bayi yang mendapat
calcium binding agents yaitu kalsium karbonat sebagai pengganti
aluminium containing, fosfat binding agent.
9. Osteodistrofi ginjal
Penimbunan asam fosfat mengakibatkan terjadi hiperfosfatemia
dan menyebabkan kadar ion kalsium serum menurun. Keadaaan ini
merangsang kelenjar paratiroid untuk mengeluarkan hormon lebih banyak
agar ekskresi fosfor meningkat dan kadar fosfat kembali normal. Jadi
osteodistrofi ginjal adalah kelainan tulang pada GGK sebagai akibat
gangguan absorpsi kalsium, hiperfungsi paratiroid, dan gangguan
pembentukan vitamin D aktif.
Gejala klinis osteodistrofi ginjal antara lain gangguan
pertumbuhan, gangguan bentuk tulang, fraktur spontan dan nyeri tulang.
Apabila disertai gejala rakitis yang jelas akan timbul hipotonia umum,
lemah otot, dan nyeri otot. Pada pemeriksaan radiologi dan histologi
ditemukan gambaran tulang yang abnormal dengan ciri khas seperti
osteomalasia dan osteofibrosis. Pemeriksaan yang paling sederhana untuk
melihat gambaran osteodistrofi ginjal adalah ujung-ujung tulang panjang
yaitu foto falangs, sendi lutut, dan sendi siku.
10. Gangguan pertumbuhan
Terjadinya gangguan pertumbuhan pada pasien GGK dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Kemungkinan faktor yang paling penting

18
adalah umur waktu timbulnya GGK, karena yang paling sering
mempengaruhi pertumbuhan adalah penyakit ginjal kongenital. Hal-hal
yang diduga ada hubungannya dengan gangguan fungsi ginjal usia dini,
asidosis, osteodistrofi ginjal, dan gangguan hormonal.
Keadaan asidosis dapat mengganggu pertumbuhan anak pasien
GGK. Terjadinya osteodistrofi ginjal dan menurunnya nafsu makan pada
pasien GGK akan menyebabkan masukan makanan dan energi tidak
adekuat sehingga mengganggu pertumbuhan. Adanya gangguan sekresi
hormon tumbuh dan insulin like growth factors pada pasien GGK akan
mempengaruhi pertumbuhan anak karena pemberian hormon tumbuh
rekombinan dapat mempercepat pertumbuhan anak tapi mekanismenya
sendiri belum diketahui.
11. Perkembangan seksual
Keterlambatan perkembangan seksual sering dijumpai pada pasien
GGK. Keadaan ini merupakan akibat disfungsi gonad primer dalam
memproduksi steroid gonad, disfungsi hipofisis dan gangguan
pengeluaran gonadotropin. Terjadinya gangguan pengeluaran
gonadotropin akan mengakibatkan terlambatnya pubertas. Keadaan ini
mungkin disebabkan uremia berat.

7. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Kadang-kadang sulit membedakan apakah anak menderita GGA yang
reversible, atau GGK. Oleh karena itu sebaiknya dikenal kriteria atau indikasi
kapan seorang anak harus segera dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis (lihat Tabel 2.)
Tabel 2.
Indikasi untuk menegakkan diagnosis
Gagal Ginjal.
1. Abnormalitas elektrolit
2. Hiperkalemia: K+ > 6 mmol/L
3. Hipernatremia, Hyponatremia

19
4. Asidosis metabolik
5. Hipokalsemia, Hiperfosfatemia
6. Hipertensi Berat
7. Edema Pulmo
8. Anuria/Oliguria
Anamnesis dan pemeriksaan fisik penting untuk mengungkap penyebab
gagal ginjal, meskipun pada beberapa anak hal tersebut baru bisa diungkapkan
melalui pemeriksaan-pemeriksaan yang spesifik Tabel 3. Tabel 4 menunjukkan
gejala-gejala yang dapat membantu membedakan GGA dan GGK, dan Tabel 5
menunjukkan pemeriksaan-pemeriksaan untuk menetapkan tingkat keparahan
dan lamanya GGK.
Tabel 3.
Pemeriksaan-Pemeriksaan Spesifik untuk Menegakkan Diagnosa Gagal Ginjal
Kronik.
1. USG Saluran Renal
2. Cyctourethrogram
3. Radio-isotope scans: DMSA, MAG3, or DTPA
4. Antegrade pressure flow studies
5. Urogram Intravena
6. Urinalisis
7. Kultur dan Mikroskopi Urin
8. C3, C4, antinuclear antibody, anti-DNA antibodies, anti-GBM antibodies, ANCA
9. Biopsi Renal
10. White cell cystine level
11. Eksresi Oxalat
12. Eksresi Purin

20
Tabel 4.

Tabel 5.
Pemeriksaan untuk Menentukan Tingkat Keparahan GGK
1. Darah Rutin
2. AGD, Urea, Kreatinin, Kalsium, Fosfat, Alkalin Fosfat, Protein Total, Albumin, Asam
Urat
3. LFG
4. Rontgenografi
5. EKG atau Ekokardiografi

8. Tatalaksana
Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala, meminimalkan
komplikasi dan memperlambat perkembangan penyakit. Penyebab dan
berbagai keadaan yang memperburuk gagal ginjal harus segera dikoreksi.
Terapi Konservatif

21
Tujuan terapi konservatif gagal ginjal pra-terminal, adalah:
1. Anak merasa sehat, tidak ada keluhan atau rasa sakit yang disebabkan oleh
uremia, seperti misalnya mual, muntah.
2. Merasa normal, seperti teman-temannya, mempunyai cukup energi untuk
berpartisipasi dalam kegiatan sekolah dan aktivitas sosial lainnya; sehingga
dapat mencapai pertumbuhan motorik, sosial, dan intelektual yang optimal.
3. Mempertahankan pertumbuhan fisik yang normal.
4. Mempertahankan agar fungsi keluarga berjalan seperti biasanya.
5. Memperlambat progresivitas penurunan LFG.
6. Mempersiapkan anak dan keluarganya untuk menghadapi keadaan gagal
ginjal terminal.
Terapi Nutrisi
Malnutrisi energi protein seringkali ditemukan pada anak-anak
dengan GGK. Patogenesis terjadinya malnutrisi ini multifaktorial. Faktor-
faktor tersebut, antara lain adalah anoreksia, diet protein yang rendah,
proses katabolisme akibat uremia yang menyebabkan pemecahan protein
otot dan inhibisi sintesis protein, sekresi kortisol dan hormon paratiroid
yang meningkat, resistensi insulin, asidosis metabolik, dan toksin uremia
lain. Pada pasien yang mendapat terapi dialisis, terjadi pembuangan asam
amino, peptida dan protein melalui dialisis, dan proses katabolisme pada
hemodialisis yang akan memperberat malnutrisinya. Bila nutrisi tidak
diperhatikan, pasien gagal ginjal akan jatuh dalam keadaan malnutrisi, dan
anak-anak akan mengalami gagal tumbuh. Terapi nutrisi, berperan dalam
menghambat kecepatan penurunan fungsi ginjal dan akan dapat
meningkatkan perasaan well-being serta pertumbuhan. Intake nutrisi yang
direkomendasikan untuk anak-anak dengan GGK hendaklah memperhatikan
hal-hal berikut:
1. Asupan nutrisi sebaiknya dipantau melalui cara penilaian diet secara
prospektif 3 hari berturut-turut 2 kali setahun, dan lebih sering bila ada
indikasi klinik.

22
2. Anak-anak dengan GGK cenderung kehilangan nafsu makan dan seringkali
mendapatkan intake dibawah kebutuhan yang dianjurkan. EAR adalah
estimasi kebutuhan rata-rata energi, protein, vitamin, mineral. Kriteria ini
dipakai untuk menggantikan Recommended Daily Allowance (RDA), yang
didefinisikan sebagai kecukupan kebutuhan nutrisi untuk anak sehat dengan
jenis kelamin, tinggi badan dan umur yang sama. Asupan energi kurang dari
80% dari RDA telah terbukti berasosiasi dengan gagal tumbuh (Rizzoni
1984), yang dapat dipulihkan dengan meningkatkan energi menjadi 100%
RDA. Asupan energi berlebih tidak memberikan manfaat, kecuali pada
anak-anak dengan ratio berat terhadap tinggi badan yang rendah, yang
membutuhkan asupan energi sampai 120% RDA. Untuk mencapai EAR
yang sesuai umur dan energi, sebagian besar anak dengan GGK
membutuhkan suplemen kalori dalam bentuk polimer glukosa atau emulsi
lemak, dimana pada bayi dan anak-anak kecil, diperlukan nutrisi tambahan
melalui pipa nasogastrik.
3. Untuk mencegah atau mengobati hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfat
plasma harus dipertahankan antara mean dan -2SD untuk umurnya, dengan
cara membatasi diet fosfat dan pemakaian kalsium karbonat sebagai
pengikat fosfat. Sumber fosfat terbanyak adalah susu, keju dan yoghurt.
4. Pada binatang percobaan, diet rendah protein terbukti mampu menghambat
laju penurunan fungsi ginjal. Pada anak-anak, yang kebutuhan proteinnya
lebih tinggi untuk pertumbuhannya, restriksi protein ternyata tidak
bermanfaat dalam menghambat laju penurunan fungsi ginjal, dan bahkan
akan mengakibatkan gagal tumbuh. Anak-anak dengan GGK sebaiknya
memperoleh asupan protein minimum sesuai EAR for age (lihat tabel).
Tetapi bila kadar urea darah anak tetap diatas 120 mg/dl, barulah dilakukan
restriksi protein secara bertahap sampai kadar ureumnya menurun. Restriksi
protein tidak perlu diberlakukan bila protein telah mencapai 6% dari
kebutuhan total kalori. Beberapa penelitian mengenai pemberian diet protein
yang dicampur dengan asam amino essensial atau analog ketoasidnya
menunjukkan perbaikan keadaan umum, perbaikan pertumbuhan dan fungsi

23
ginjal, namun diet ini sangat kompleks, mahal, rasanya tidak enak, dan
belum ada penelitian yang membuktikan bahwa diet ini lebih unggul
dibanding kelompok kontrol dengan makanan yang kurang kompleks.
Table . Recommended daily energy and nutrient intakes for children with
chronic renal faliure.

Mean Energ Protein Sodium Calcium Phosphorus


Age Weight i RNI RNI RNI
( kg) EAR EAR (g) RNI (mmol) (mg) (mg)
KKal (g)

0-3 months 5.9 115/kg 2,1/kg 9 525 400

4-6 months 7,7 100/kg 1,4/kg 12 525 400


1,6/kg
7-9 months 8,8 95/kg 1,3/kg 14 525 400
1,6/kg
10-12 9,7 95/kg 1,2/kg 15 525 400
months 1,5/kg
1-3 years 12,5 1230 11,7 22 350 270
14,5
4-6 years 17,8 1715 14,8 30 450 350
19,7
7-10 years 28,3 1970 22,8 52 550 450
28,3
11-14 years; 43 2220 33,8 70 1000 775
males 42,1
Females 43,8 1845 33,1 70 800 625
41,2
15-18 years, 64,5 2755 46,1 70 1000 775
males 55,2
55,5 2110 37,1 70 800 625
Females 45,4

24
- Based on UK dietary reference values (Department of Health, 1991)
- EAR, Estimated Average Requirement
- RNI, Reference Nutrient Intake = EAR + 2 SD

Terapi Cairan dan Elektrolit


Penilaian secara klinik adanya dehidrasi dapat dilakukan dengan
pemeriksaan turgor kulit, kekeringan mukosa, tekanan darah, tekanan vena
juguler, dan berat badan, yang harus selalu dilakukan pada setiap kunjungan.
Anak dengan uropati obstruktif atau displasia ginjal umumnya cenderung
menderita kekurangan garam natrium dan kalium, yang akan mengganggu
pertumbuhannya. Suplemen natrium khlorida sebaiknya diberikan pada kasus-
kasus tersebut dengan pemantauan ketat terhadap pertumbuhan, sembab,
hipertensi, atau hipernatremia. Kebutuhan air disesuaikan dengan jumlah urine
yang keluar. Anak-anak dengan penyakit ginjal primer yang menimbulkan
hipertensi, dianjurkan untuk membatasi asupan natrium dan air.
Sebagian besar anak dengan GGK mampu mempertahankan
homeostasis kalium. Bila terjadi hiperkalemia, perlu dipikirkan apakah tidak
ada obat-obat seperti misalnya ACE inhibitors, katabolisme, atau asidosis
metabolik, sebagai penyebabnya, sebelum membatasi asupan kalium atau
memberikan kalium exchange resin.
Keseimbangan asam – basa
Metabolik asidosis yang menetap seringkali menyebabkan gagal
tumbuh pada bayi dan menimbulkan demineralisasi tulang, serta hiperkalemia.
Untuk mempertahankan keseimbangan asam basa perlu diberikan suplemen
natrium bikarbonat dimulai dari dosis mmol/kg/hari, dengan pemantauan pH
dan kadar bikarbonat pada analisis gas darahnya.

Osteodistrofi Renal
1. Kadar hormon paratiroid (PTH) meningkat dan kadar 1,25
dihydroxycholecalciferol menurun, sejak mulai terjadinya insufisiensi ginjal
ringan, yaitu pada LFG 50-80 ml/menit/1.73m2 . Kadar fosfat plasma

25
merupakan sebab utama terjadinya hiperparatiroidisme sekunder. Fosfat
mengatur sel paratiroid secara independen pada kadar calcium serum dan kadar
1,25-dihydroxycholecalciferol endogen. Oleh karenanya kontrol terhadap
fosfat plasma adalah hal paling penting sebagai prevensi dan terapi
hiperparatiroidisme sekunder, meskipun hal tersebut paling sulit dicapai dalam
jangka panjang, oleh karena membutuhkan kepatuhan akan diet rendah fosfat
yang ketat and pemberian pengikat fosfat untuk mengurangi absorbsinya. Diet
rendah fosfat berarti membatasi intake susu sapi dan produknya. Bila kadar
fosfat plasma tetap diatas harga rata-rata untuk umur, pengikat fosfat misalnya
kalsium karbonat 100 mg/kg/hari diberikan bersama makanan, dosis
disesuaikan sampai kadar fosfat plasma berada antara harga rata-rata dan -2 SD
sesuai umurnya. Kalsium asetat, dan yang lebih baru, sevelamer (non-
calcium/non-aluminium containing polymer) juga merupakan pengikat fosfat
yang bermanfaat.
2. Penurunan kadar fosfat plasma dapat meningkatkan kadar 1,25-
dihydroxycholecalciferol endogen dan kalsium ion, yang mampu menormalkan
kadar PTH. Namun, bila kadar PTH tetap tinggi dan kadar fosfat plasma
normal, perlu ditambahkan vitamin D3 hidroksilasi. Tipe, dosis, frekuensi, dan
rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan terapi osteodistrofi renal masih
merupakan kontroversi. Dianjurkan pemberian dosis rendah 1,25-
dihydroxycholecalciferol 15-30 ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak dengan
berat kurang dari 20 kg, dan 250-500 ng sekali sehari untuk anak-anak yang
lebih besar, untuk menaikkan kadar kalsium plasma sampai batas normal atas:
bila kadar PTH telah normal, 1,25-dihydroxycholecalciferol dapat dihentikan
sementara. Pemberian 1,25-dihydroxycholecalciferol secara intravena lebih
efektif untuk menurunkan kadar PTH, tetapi dapat menyebabkan adynamic
bone, oleh karena 1,25- dihydroxycholecalciferol pada dosis tinggi mempunyai
efek antiproliferatif pada osteoblast.
4. Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma hendaknya diperiksa
setiap kunjungan. Kadar PTH diukur setiap bulan, atau setiap kunjungan bila
anak melakukan kunjungan yang lebih jarang, dan terapi disesuaikan. Bila anak

26
asimtomatik dan parameter biokimia normal, hanya perlu dilakukan
pemeriksaan radiologi manus kiri dan pergelangan tangan setiap tahun untuk
menilai usia tulang.

Hipertensi
Hipertensi dapat berasal dari penyakit ginjal primer, misalnya nefropati
refluks, penyakit ginjal polikistik autosomal resesif, atau karena GGK yang
telah lanjut, akibat retensi natrium dan air. Pengendalian tekanan darah pada
GGK, bukan saja untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi
itu sendiri, melainkan juga untuk mencegah progresivitas penurunan fungsi
ginjal. Bila tidak ada circulatory volume overload, sistolik dan diastolik dalam
pemeriksaan berulang lebih dari 90 persentil untuk umur, perlu diberikan terapi
antihipertensi untuk prevensi komplikasi hipertensi dan menghambat laju
GGK. Bila ada tanda-tanda circulatory volume overload sebagai penyebab
hipertensi, diberikan diuretic dari golongan furosemide dengan dosis 1-3 mg/kg
dan diet rendah garam.

Infeksi
Anak-anak dengan kelainan ginjal rentan mengalami infeksi saluran kemih
berulang. Bila menderita refluks vesiko-ureter perlu diberikan antibiotik dosis
rendah sebagai profilaksis.

Anemia
Anemia pada GGK adalah anemia normokromik normositer, karena
produksi eritropoietin yang tidak adekuat. Eritropoietin rekombinan (rHuEPO)
telah dipakai secara luas untuk mencegah anemia pada GGK. Disamping
eritropoietin masih ada faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya anemia
antara lain menurunnya daya survival sel darah merah, inhibisi sumsum tulang
terutama oleh PTH, kehilangan darah intestinal, dan paling sering defisiensi
besi dan folat. Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGT dapat
mempertahankan kadar hemoglobin tanpa bantuan terapi eritropoietin

27
rekombinan, dengan cara pengaturan nutrisi yang baik, suplemen besi dan
folat, dan bila diperlukan supresi hiperparatiroid sekunder dengan memakai
pengikat fosfat yang tidak mengandung aluminium. Bila anemia tetap terjadi,
dapat diberikan eritropoietin rekombinan dengan dosis 50 unit/kg secara
subkutan dua kali seminggu, dosis dapat dinaikkan sesuai respon agar
mencapai target hemoglobin 10-12 g/dl.
Kadar ferritin serum dipertahankan diatas 100 mcg/l agar tercapai suplemen
besi yang adekuat. Anak-anak dengan pra-GGT biasanya mendapatkan
suplemen besi peroral, sedangkan mereka yang telah dilakukan dialisis
biasanya memerlukan suplemen besi secara intra-vena.

Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan indikator yang paing sensitif untuk terapi GGK
yang adekuat. Pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, status
pubertal, volume testes, dan lingkar lengan atas sangat dianjurkan untuk
dilakukan secara rutin, sehingga akan dapat dideteksi secara dini setiap
gangguan kecepatan pertumbuhan. Faktor-faktor yang menyebabkan gangguan
pertumbuhan adalah multifaktorial.
Pola pertumbuhan masing-masing anak dengan GGK dipengaruhi oleh
umur anak, umur saat onset GGK dan terapi yang diberikan. Pada anak normal,
kecepatan pertumbuhan maksimal selama tahun pertama kehidupan,
pertumbuhan kemudian melambat selama masa anak-anak, dan meningkat lagi
dengan pubertal growth spurt. Pertumbuhan yang tidak optimal pada salah satu
atau kedua periode kritis tersebut akan mengakibatkan berkurangnya tinggi
badan akhir.
Anak-anak pra-pubertas dengan GGK yang tumbuh dibawah persentil ke-3
untuk umurnya akan menunjukkan respon yang baik terhadap hormon
pertumbuhan rekombinan dengan dosis supra-fisiologik.

Mempertahankan fungsi ginjal

28
Pada sebagian besar anak dengan GGK, fungsi ginjalnya akan terus
menurun secara progresif, meskipun penyakit ginjal primernya telah tidak
aktif. Progresifitas GGK berkaitan dengan kelainan histologinya yaitu
glomerulosklerosis progresif, fibrosis interstitial, dan sklerosis vaskuler atau
arterioler.
Untuk mempertahankan fungsi ginjal yang berada pada suatu fase
tertentu, dapat dilakukan dengan cara-cara: pengendalian hipertensi,
menghilangkan proteinuria, mencegah terjadinya hiperparatiroidisme sekunder,
dan diet protein yang cukup. Berbagai penelitian baik invivo maupun invitro
membuktikan bahwa lipid mempunyai peran penting dalam progresivitas
penyakit ginjal kronik. Gangguan metabolisme lipid sering ditemukan pada
GGK sehingga menimbulkan keadaan hiperlipoproteinemia, kadar HDL
menurun, LDL meningkat, dan VLDL kholesterol sangat menurun, disertai
hipertrigliseridemia, dan gangguan apolipoprotein. Hal ini disebabkan karena
terjadinya gangguan klirens lipoprotein LDL, dan menurunnya aktivitas
lipolitik yang sebagian disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder dan
resistensi insulin. Selain dengan manipulasi diet, beberapa penelitian juga
membuktikan manfaat penggunaan zat untuk menurunkan kadar lipid darah
terhadap perbaikan LFG dan aliran plasma ginjal.
Edukasi dan persiapan
Masa terapi konservatif GGK, merupakan saat terbaik untuk melaksanakan
program edukasi bagi pasien dan keluarganya, untuk menjelaskan tentang apa
yang sebenarnya terjadi sehingga mereka dan keluarganya akan ikut secara
aktif dalam program pengobatan tersebut. Masa tersebut juga dapat digunakan
untuk mempersiapkan mereka menghadapi stadium gagal ginjal terminal.
Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum anak masuk dalam stadium GGT:
1. Anak harus telah mendapatkan imunisasi lengkap sebelum dilakukan
transplantasi, setidak-tidaknya 3 bulan sebelum dimulainya TPG.
2. Anak-anak dengan GGK yang mengalami disfungsi buli-buli, misalnya
buli-buli neurogenik, atau katup uretra posterior harus diatasi terlebih
dahulu sebelum transplantasi dilakukan.

29
3. Anak-anak yang membutuhkan dialisis sebelum transplantasi, tetapi tidak
sesuai untuk dialisis peritoneal, hendaknya dibuatkan fistula arteri-vena
untuk akses hemodialisis.
Terapi Pembedahan
Tujuan terapi Gagal Ginjal Terminal pada anak-anak tidak hanya untuk
memperpanjang hidup anak, namun juga untuk meningkatkan kualitas hidup
secara keseluruhan, dengan tujuan utama adalah kehidupan masa dewasa yang
lebih baik. Transplantasi merupakan terapi terbaik bagi anak-anak dengan
gagal ginjal terminal oleh karena akan memberikan rehabiltasi terbaik untuk
hidup yang sangat mendekati wajar. Transplantasi dilakukan dengan ginjal
jenazah atau ginjal yang berasal dari keluarga hidup yang berusia relatif lebih
tua, biasanya dari orang tuanya. Di Eropa pada tahun 1984-1993 hampir 21%
anak yang berusia kurang dari 21 tahun mendapat ginjal dari donor hidup,
sedangkan di Amerika Utara donor hidup mencapai 50% dari seluruh donor
yang diterima anak-anak yang berusia kurang dari 21 tahun pada tahun 1987-
2000.
Dialisis merupakan pelengkap dari transplantasi yang diperlukan pada
saat sebelum atau antara transplantasi, dan bukanlah merupakan pilihan
alternatif dari transplantasi. Ada 2 pilihan dasar yaitu hemodialisis atau dialisis
peritoneal. Tetapi pilihan tidak selalu dapat dilakukan, bila misalnya terdapat
kesulitan untuk memperoleh akses fistula A-V, maka pilihan hanyalah dialisis
peritoneal, atau misalnya adanya adhesi intra-abdominal, maka dialysis
peritoneal tidak bisa dipilih, kecuali hemodialisis. Seorang anak dipersiapkan
untuk dilakukan transplantasi apabila laju filtrasi glomerulus telah menurun
sampai 10 ml/menit/1.73m 2 . Secara ideal sebenarnya adalah melakukan
transplantasi sebelum timbul gejala-gejala akibat gagal ginjal kronik dan
sebelum dialisis dibutuhkan. Tetapi hal tersebut jarang bisa dilakukan karena
masa tunggu untuk mendapatkan donor yang cocok tidak bisa dipastikan,
masalah-masalah medis yang tidak memungkinkan anak segera menjalani
transplantasi, atau yang paling sering adalah memberikan waktu yang cukup

30
untuk pasien dan keluarganya guna mempersiapkan dan menyesuaikan diri
menghadapi situasi yang baru.

Indikasi untuk memulai dialisis adalah:


1. timbulnya gejala sindrom uremia berupa letargi, anoreksia, atau muntah
yang mengganggu aktivitas sehari-harinya.
2. gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam jiwa,
misalnya hiperkalemia yang tidak respon terhadap pengobatan konservatif.
3. gejala kelebihan cairan yang tidak dapat diatasi dengan terapi diuretik.
4.terjadi gagal tumbuh yang menetap meskipun telah dilakukan terapi
konservatif yang adekuat.

Dialisis
Di Inggris, Amerika Serikat, dan banyak negara-negara lain, dialisis
peritoneal lebih banyak dilakukan pada anak-anak. Hemodialisis adalah suatu
teknik untuk memindahkan atau membersihkan solute dengan berat molekul
kecil dari darah secara difusi melalui membran semipermeabel. Hemodialisis
membutuhkan akses sirkulasi, yang paling baik adalah pembuatan fistula A-V
pada vasa radial atau brachial dari lengan yang tidak dominan. Pada dialisis
peritoneal, membran peritoneal berfungsi sebagai membran semi-permeabel
untuk melakukan pertukaran dengan solute antara darah dan cairan dialisat.
Untuk memasukkan cairan dialisat kedalam rongga peritoneum perlu dipasang
kateter peritoneal dari Tenckhoff. Ada 2 cara pelaksanaan dialisis peritoneal,
yaitu:
1. Automated Peritoneal Dialysis (APD), dimana dialisis dilakukan malam hari
dengan mesin dialisis peritoneal, sehingga pada siang hari pasien bebas dari
dialisis.
2. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dialisis berlangsung 24
jam sehari dengan rata-rata pertukuran cairan dialisat setiap 6 jam sekali.

31
Meskipun hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan TPG yang efektif,
angka mortalitas dialisis lebih tinggi daripada transplantasi untuk semua
kelompok umur.

9. Prognosis
Angka kelangsungan hidup anak-anak dengan gagal ginjal kronik saat ini
semakin baik. Dari 1070 anak yang berumur kurang dari 18 tahun saat
menerima ginjal donor jenazah di Inggris dan Irandia dalam periode 10 tahun
(1986-1995): 91 (9%) meninggal dengan penyebab kematian: 19% oleh
karena infeksi, 4.5% lymphoid malignant disease, 4.5% uremia karena graft
failure. Sedangkan data dari Amerika Utara melaporkan angka kelangsungan
hidup 5 tahun setelah transplantasi donor hidup berkisar antara 80.8% pada
anak-anak yang berusia kurang dari 1 tahun saat ditransplantasi, sampai
97.4% pada anak-anak yang berusia antara 6-10 tahun.
Sebagai penutup ingin tekankan bahwa terapi GGK adalah seumur hidup,
meskipun telah dilakukan transpantasi ginjal. Tetapi masa depan mereka
tidaklah seburuk seperti yang dibayangkan, banyak diantara mereka sekarang
telah berhasil dalam profesi dan kehidupan keluarga.

32
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS

1. Pasien
a. Nama : An. AFR
b. Tanggal lahir : 09-12-2001
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Alamat : Komp. Polri Ciracas
e. Agama : Islam
f. Rekam Medis : 1021150
g. Tanggal Masuk : 04-02-2019
h. Tanggal Periksa : 07-02-2019
2. Orang Tua

33
Tabel Identitas Orang Tua An. Aji
Ayah Ibu
Nama Tn. A Ny. J
Usia 50 tahun 45 Tahun
Agama Islam Islam
Pendidika S1 SMA
n
Pekerjaan Polri Ibu rumah tangga
Alamat Komplek polri Ciracas Komplek Polri Ciracas
Hubungan dengan pasien : Orang tua kandung

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di ruang perawatan ICU B1
RS. Polri pada tanggal 07 Februari 2019

1. Keluhan Utama
Sesak nafas

2. Keluhan Tambahan
Nyeri ulu hati, muntah 2 kali serta bengkak pada seluruh tubuh sejak 4 hari
SMRS

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS Polri pada tanggal 4 Februari 2019 dengan
keluhan sesak nafas, dan bengkak seluruh tubuh sejak 4 hari SMRS serta nyeri
pada ulu hati dan mual dan muntah 2 kali, 9 hari SMRS pasien mengalami
kejang selama satu kali ±1 menit lalu pasien dibawa ke RS Polri tanggal 27
januari 2019 dan di rawat selama 5 hari di ruang suparno 2, setelah di cek
laboratorium Hb pasien 7,3 g/dl sehingga dilakukan transfusi sebanyak 3
kantong. Pasien pulang perawatan yang pertama tanggal 31 januari. Kemudian
pasien kembali dibawa ke RS Polri tanggal 4 Februari dengan keluhan sesak,
dan bengkak pada seluruh tubuh, serta nyeri ulu hati dan muntah sebanyak 2

34
kali. Pasien mengatakan sering kali merasa lemas dan terbatas dalam
melakukan aktivitas fisik, seperti olahraga pasien butuh selingan antara
olahraga dan istirahat, kemudian jika BAK jumlahnya sedikit-sedikit.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


-

5. Riwayat Alergi
a. Alergi Makanan : disangkal
b. Alergi Obat : disangkal
c. Asma Bronkial : disangkal

6. Riwayat Makanan
Tabel Riwayat Makan
Umur Makanan Jumlah Frekuensi
1. 0-6 bulan ASI ekslusif Semaunya anak Semaunya anak
2. 7 bulan-2 tahun MP ASI Tidak ingat Tidak ingat
Kesan : Asi Ekslusif, kualitas, dan kuantitas cukup

7. Riwayat Persalinan
- Riwayat Pemeriksaan Ante Natal Care :
Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya ke rumah sakit dengan
dokter spesialis kandungan.
- Riwayat Persalinan
Tempat Persalinan : Di rumah
Penolong Persalinan : Bidan
Cara Persalinan : Normal
Penyulit persalinan :-
Usia Gestasi : 39 minggu
Berat Lahir : 3.500 gram
Panjang Lahir : 50 cm

35
- Riwayat Perkembangan
- Perkembangann Sosial
- Tersenyum : 2 bulan
- Mengambil mainan : 5 bulan
- Minum dari gelas : 6 bulan
- Tepuk tangan : 7 bulan
- Perkembangan Psikomotor
- Tengkurap : 3 bulan
- Inisiasi berbicara : 4 bulan
- Duduk : 6 bulan
- Merangkak : 8 bulan
- Berdiri : 10 bulan
- Berjalan : : 11 bulan
- Perkembangan Bahasa
- Berteriak : 5 bulan
- Ketawa : 6 bulan
- Papa/ Mama : 11 bulan
- Kesimpulan Tumbuh Kembang
Pasien tidak mengalami gangguan ataupun keterlambatan dalam
masa tumbuh kembang. Tumbuh kembang pasien sesuai dengan
tumbuh kembang anak-anak sebayanya.

8. Riwayat Imunisasi
Tabel Riwayat Imunisasi
Imunisasi Waktu Pemberian
Bulan Tahun
0 1 2 3 4 5 6 9 15 18 5 10 12
BCG I
Polio I II III IV V
Hepatitis I II III IV
B
Hib I II III IV
DPT I II III IV

36
Campak I II

Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai umur

9. Riwayat Keluarga
- Orang tua dan keluarga pasien tidak ada riwayat yang sakit ginjal

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal di Ruang ICU B1 Rumah Sakit
Bhayangkara TK I Raden Said Sukanto, Jakarta.

a. Keadaan Umum : Tampak sakit Berat


b. Kedasaran : Compos Mentis
c. Tanda-tanda vital :
a. Nadi : 92 x/menit
b. Pernapasan : 24 x/menit
c. suhu : 38oC
d. Tekanan darah : 140/80 mmHg
d. Antropometri :
a. Berat badan : 58 kg
b. Tinggi badan : 160 cm
c. Status nutrisi berdasarkan CDC :
- WFA (Weight for Age) : 58/65 x 100% = 89 % : BB normal
- LFA (Length For Age) : 160/175 x 100% = 91 % : TB normal
- WFL (Weight for Length) : 58/65 x 100 % = 89 % : status gizi kurang

37
38
2. Pemeriksaan fisik
Kepala : Normocephali
Mata : Conjungtiva Anemis +/+ , Sklera Ikterik -/- , Pupil Isokor
3mm/3mm, RCL +/+, RCTL +/+
Telinga : Normotia, Seret -/- , Hiperemis -/-
Hidung : Septum Deviasi (-), konka edema -/-, sekret (-)
Mulut
- Bibir : Mukosa bibir kering
- Gigi : Karies gigi (-)
- Lidah : Coated Tounge (+), tremor (-)
- Tonsil : T1/T1 , detritus (-)
- Faring : Hiperemis (+)
Leher : Tidak terdapat pembesaran KGB
Thorax
a. Pulmo
Inspeksi : simetris, statis, dinamis
Palpasi : fremitus vocal +/+
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auakultasi : vesikular +/+, ronki basah nyaring -/-, wheezing -/-
b. Cor
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : ikut cordis teraba di ICS V
Perkusi : batas jantung sedikit melebar
Auakultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
c. Abdomen
Inspeksi : datar,sikatrik (-)
Palpasi : bising usus (+) normal
Perkusi : nyeri tekan (-)
Auskultasi : dalam batas normal

39
d. Genital : Dalam batas normal
e. Ektremitas : Akral hangat (+), CRT <2 detik, Edeme -/-/-/-
f. Kulit : Sianosis (-), ikterik (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 04-02-2019 09:15
Hematologi Hasil Nilai Rujukan Satuan

Hemoglobin 10,3* 13-16 g/dl

Lekosit 13.200* 5.000-10.000 u/l

Hematokrit 30* 40-48 %

Trombosit 160.000 150.000-400.000 /ul

b. Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 04-02-2019 20:38


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Kimia Klinik (Elektrolit)
Natrium 134* 135-145 mmol/l
Kalium 4,6 3,5-5,0 mmol/l
Chlorida 112* 98-108 mmol/l
Serologi/ Immunologi
HBs Ag Non Reaktif Non Reaktif
Anti HCV Non Reaktif Non Reaktif

c. Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 04-02-2019 18:17 / 20:24


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Hemoglobin 9,6* 13-16 g/dl
Lekosit 11.900* 5.000-10.000 u/l
Hematokrit 28* 40-48 %
Trombosit 128.000* 150.000-400.000 /ul

40
Kimia Klinik (LIVER FUNGSI TEST)
Protein total 7,2 6,0-8,7 g/dl
Albumin 3,5 3,5-5,2 g/dl
Globulin 3,7 2,5-3,1 g/dl
Bilirubin Total 0,34 Dws <15; Neo mg/dl
<12
Bilirubin direct 0,09 <0,5 mg/dl
Bilirubin indirect 0,25 <1,0 mg/dl
SGOT/AST (37 C) 23,8 <37 U/L
SGPT/ ALT (37 C) 21,1 <40 U/L
Ureum 395* 10-50 mg/dl
Creatinin 17,8* 0,5-1,5 mg/dl
Estimasi GFR 3 >=90 ml/min/1.73 m2
(CKD/EPI)
Glukosa Darah 154 <200 mg/dl
Sewaktu

d. Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 04-02-2019 22:30


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Kimia Klinik (Analisa Gas Darah)
O
Temperature C
FIO2 %
PH 7,13* 7,35-7,45
PCO2 15* 35-45 mmHg
PO2 110* 85-95 mmHg
O2 Saturasi 97* 85-95 %
HCO3 9* 21-25 mmol/L
Base Excess -24* -2,5 - +2,5 mmol/L
Total CO2 5* 21-27 mmol/L

e. Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 05-02-2019 05:59

41
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Kimia Klinik (Analisa Gas Darah)
O
Temperature C
FIO2 %
PH 7,28* 7,35-7,45
PCO2 15* 35-45 mmHg
PO2 102* 85-95 mmHg
O2 Saturasi 97* 85-95 %
HCO3 12* 21-25 mmol/L
Base Excess -20* -2,5 - +2,5 mmol/L
Total CO2 7* 21-27 mmol/L
Urine lengkap
Warna Kuning muda
Kejernihan Keruh*
Reaksi / PH 6,0 5-8,5
Berat Jenis 1.030 1.000-1.030
Protein - Negatif
Bilirubin - Negatif
Glukosa - Negatif
Keton - Negatif
Darah/Hb +++ Negatif
Nitrit - Negatif
Urobilinogen 0,1 0,1-1,0 IU
Lekosit - Negatif
Sedimen :
Leukosit 3-4 0-5
Eritrosit PENUH* 1-3
Sel epitel +

f. Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 05-02-2019 11:36 / 12:07

42
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Kimia Klinik (LIVER FUNGSI TEST)
Protein total 6,0 6,0-8,7 g/dl
Albumin 3,5 3,5-5,2 g/dl
Globulin 2,5 2,5-3,1 g/dl
Bilirubin Total 0,41 Dws <15; Neo <12 mg/dl
Bilirubin direct 0,12 <0,5 mg/dl
Bilirubin indirect 0,29 <1,0 mg/dl
SGOT/AST (37 C) 21,9 <37 U/L
SGPT/ ALT (37 C) 19,8 <40 U/L
Ureum 431* 10-50 mg/dl
Creatinin 19* 0,5-1,5 mg/dl
Estimasi GFR 3 >=90 ml/min/1.73 m2
(CKD/EPI)
Glukosa Darah 119 <200 mg/dl
Sewaktu
Elektrolit
Natrium 139 135-145 mmol/l
Kalium 3,8 3,5-5,0 mmol/l
Chlorida 114* 98-108 mmol/l

g. Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 05-02-2019 20:28 / 20:48


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hemoglobin 8,8* 13-16 g/dl
Lekosit 8.200 5.000-10.000 u/l
Hematokrit 24* 40-48 %
Trombosit 141.000 150.000-400.000 /ul
Ureum 308* 10-50 mg/dl
Creatinin 13,9* 0,5-1,5 mg/dl
Estimasi GFR 5 >=90 ml/min/1.73 m2
(CKD/EPI)

43
Glukosa Darah 152 <200 mg/dl
Sewaktu
Elektrolit
Natrium 139 135-145 mmol/l
Kalium 2,8* 3,5-5,0 mmol/l
Chlorida 110* 98-108 mmol/l
Kimia Klinik (Analisa Gas Darah)
O
Temperature C
FIO2 %
PH 7,49* 7,35-7,45
PCO2 25* 35-45 mmHg
PO2 104* 85-95 mmHg
O2 Saturasi 98* 85-95 %
HCO3 22 21-25 mmol/L
Base Excess -4* -2,5 - +2,5 mmol/L
Total CO2 20* 21-27 mmol/L

d. Rontgen thorax proyeksi AP pada tanggal

44
Cor : Kesan membesar
Aorta dan mediastinum seperior : tidak melebar
Trakea : ditengah,
kedua hilus : tidak melebar
Pulmo : Corakan bronkovaskular kedua paru baik
Tidak tampak infiltrat maupun nodul pada kedua lapang paru
Kedua hemidiafragma : licin.
Kedua sinus kostofrenikus : lancip
Tulang-tulang dan jaringan lunak dinding dada baik
Kesan :
Kardiomegali
Tidak tampak kelainan radiologis pada pulmo.

E. RINGKASAN

45
Seorang pasien anak laki-laki usia 17 tahun datang dengan sesak nafas dan
bengkak pada kedua tungkai. Pasien mengeluh nyeri uku hati, mual serta
muntah sebanyak 2 kali sebelum masuk rumah sakit. 1 minggu yang lalu
pasien sempat di rawat di RS Polri dengan keluhan Kejang. Pada pemeriksaan
pasien tampak sakit sedang, suhu 38 OC, tekanan darah 150/80 mmHg, pada
pemeriksaan laboratorium, ureum 395 mg/dl creatinin 17,8 mg/dl.

F. DIAGNOSA KERJA
Gagal Ginjal Kronik Stadium 5

G. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad malam
Quo ad functionam : ad malam
Quo ad sanationam : ad malam

H. TERAPI
1. IVFD : - RL 7 tpm
- Nacl 0,9 % 7 tpm
2. Cefotaxime : 3 x 1 gr IV
3. Rantin : 2 x 50 mg IV
4. Lasix : 2 x 40 mg IV
5. Cefoperazone : 2 x 1 gr IV
6. CaCO3 : 3 X 1 PO
7. Bicnat : 3 x 1 tab PO
8. Asam Folat : 3 x 1 PO
9. Captopril : 2 x 12,5 mg PO

FOLLOW UP

46
Tabel Follow up pasien hari pertama
Senin, 4 Februari 2019
S Sesak (+), kaki bengkak (+), riw. BAK sedikit-sedikit
sebelum diberikan lasix, mual (-), muntah (-)
O Kesadaran : Compos Mentis
TD : 150/80 mmHg Suhu : 37,4oC
HR : 94 x/menit RR : 24 x/menit
Kepala : Normocephal
Mata : CA +/+, SI -/-, Pupil isokor 3mm/3mm, RCL +/
+, RCTL +/+
Telinga : Normotia, sekret -/-, hiperemis -/-
Hidung : Septum deviasi (-),konka edema -/-, secret (-)
Mulut :
Bibir : mukosa bibir tidak kering
Gigi : Karies gigi (-)
Lidah : Coated tounge (-), tremor (-)
Tonsil : T1/T1, detritus (-)
Faring : Hiperemis (+)
Leher : tidak terdapat pembesaran KGB
Pulmo : Vesikular +/+, Rongki basah nyaring -/-,
Wheezing -/-
Cor : Bj I-II Regular, murmur (-), gallpol (-)
Abdomen : Supel, datar, tidak ada nyeri tekan, bising usus
(+) Normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2detik,edema -/-/-/
Hasil pemeriksaan darah perifer lengkap (4/2/19)
Hb 10,3 g/dl
L 13.200 u/l
Ht 30 %
Tr 160.000/ul
A CKD stage V

47
HT st 1
Anemia Renal
P - IVFD Nacl 0,9 % 7 tpm
- Cefoperazone 2 x 1 gr IV
- Lasix 2 x 1 IV
- CaCO3 3 x 1
- Bicnat 3 x 1
- Asam folat 3x1
- Captopril 2 x 12,5 mg
- Usul HD
- BC / 24 jam
- DC kateter
- Cek AGD, elektrolit

Rabu, 6 Februari 2018


S -
O Kesadaran : Compos Mentis
TD : 150/80 mmHg Suhu : 36,8oC
HR : 73 x/menit RR : 21 x/menit
Kepala : Normocephal
Mata : CA +/+, SI -/-, Pupil isokor 3mm/3mm, RCL +/
+, RCTL +/+
Telinga : Normotia, sekret -/-, hiperemis -/-
Hidung : Septum deviasi (-),konka edema -/-, secret (-)
Mulut :
Bibir : mukosa bibir tidak kering
Gigi : Karies gigi (-)
Lidah : Coated tounge (-), tremor (-)
Tonsil : T1/T1, detritus (-)
Faring : Hiperemis (+)
Leher : tidak terdapat pembesaran KGB

48
Pulmo : Vesikular +/+, Rongki basah nyaring -/-,
Wheezing -/-
Cor : Bj I-II Regular, murmur (-), gallpol (-)
Abdomen : Supel, datar, tidak ada nyeri tekan, bising usus
(+) Normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2detik,edema -/-/-/
Hasil pemeriksaan elektrolit (4/2/19) 20:38
Na : 134* mmol/L
Kalium : 4,6 mmol/L
Chlorida : 112* mmol/L
IMMUNOLOGI
HBs Ag : Non Reaktif
ANTI HCV : Non Reaktif
(4/2/19) 20:24
Hb : 9,6* g/dl Lekosit : 11.900* u/l
Ht : 28% Trombosit : 128.000 /ul
Ureum : 395* mg/dl Creatinin : 17,8 mg/dl
Estimasi GFR : 3ml/min/1,73 m2
PH : 7,13 pCO2 : 15 mm Hg
pO2 : 110 mmhg O2 satu rasi : 97 %
HC03 : 9 mmol/L Basse excess: - 24 mmol/L
Total CO2 : 5 mmol/L
(5/2/19)
PH : 7,28 pCO2 : 15 mm Hg
pO2 : 102 mmhg O2 satu rasi : 97 %
HC03 : 12 mmol/L Basse excess: - 20 mmol/L
Total CO2 : 7 mmol/L
Urine Lengkap :
Kejernihan : Keruh Darah : +++
Eritsosit : Penuh

49
A CKD stage V
HT st 1
Anemia Renal
P - IVFD Nacl 0,9 % 7 tpm
- Cefoperazone 2 x 1 gr IV
- Lasix 2 x 1 IV
- CaCO3 3 x 1
- Bicnat 3 x 1
- Asam folat 3x1
- Captopril 2 x 12,5 mg
- Usul HD
- BC / 24 jam

Kamis, 7 Februari 2019


S Meriang
O Kesadaran : Compos Mentis
TD : 140/80 mmHg Suhu : 38oC
HR : 87 x/menit RR : 18 x/menit
Kepala : Normocephal
Mata : CA +/+, SI -/-, Pupil isokor 3mm/3mm, RCL
+/+, RCTL +/+
Telinga : Normotia, sekret -/-, hiperemis -/-
Hidung : Septum deviasi (-),konka edema -/-, secret (-)

Mulut :
Bibir : mukosa bibir tidak kering
Gigi : Karies gigi (-)
Lidah : Coated tounge (-), tremor (-)
Tonsil : T1/T1, detritus (-)
Faring : Hiperemis (+)
Leher : tidak terdapat pembesaran KGB

50
Pulmo : Vesikular +/+, Rongki basah nyaring -/-,
Wheezing -/-
Cor : Bj I-II Regular, murmur (-), gallpol (-)
Abdomen : Supel, datar, tidak ada nyeri tekan, bising
usus (+) Normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2detik,edema -/-/-/
Hasil pemeriksaan laboratorium (5/2/19)
Ureum : 431 mg/dl Creatinin : 19 mg/dl
Chlorida : 114 mmol/l
5/2/19 20:48 Wib
Hb : 8,8 g/dl
Ht : 24%
Ureum : 308 mg/dl Creatinin : 13,8 mg/dl
Kalium : 2,8 mmol/l Chlorid : 110 mmol/l
Ph : 7,49 PCO2 : 25 mmHg
PO2 : 104 mmHg O2 saturasi : 98 %
Base excess : -4 mmol/l Total CO2 : 20 mmol/l
A CKD stage V
HT st 1
Anemia Renal
P - IVFD Nacl 0,9 % 7 tpm
- Cefoperazone 2 x 1 gr IV
- Lasix 2 x 1 IV
- CaCO3 3 x 1
- Bicnat 3 x 1
- Asam folat 3x1
- Captopril 2 x 12,5 mg
- Usul HD
- BC / 24 jam
- Cek AGD, elektrolit

51
BAB III
ANALISA KASUS

Pada kasus ini di lakukan anamnesis kepada pasien secara auto anamnesis.
Hasil auto anamnesis di dapatkan pasien mengalami sesak sebelum masuk rumah
sakit, bengkak pada kedua tungkai serta nyeri pada ulur hati. 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit pasien di rawat selama 5 hari di rumah sakit Polri di ruang Vip
Suparno 2 karena pasien mengalami kejang dan pasien mengalami anemia dengan
Hb 7,3 g/dl sehingga di lakukan transfusi sebanyak 3 kantong. Setelah keluar dari

52
rumah sakit perawatan pertama pasien riwayat BAK sedikit-sedikit. Berdasarkan
hasil tersebut terdapat gejala klinis yang mengarahkan pada kecurigaan gagal
ginjal kronis stadium 5. Gagal ginjal kronis merupakan penyakit ginjal dengan
kerusakan ginjal minimal tiga bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG).
Manifestasi klinis pada gagal ginjal kronis meliputi pada pemeriksaan
urinalisis didapatkan hematuria, proteinuria, atau berat jenis urin rendah.
Pemeriksaan memperlihatkan anemia normositik, peningkatan ureum dan
kreatinin, asidosis metabolik, hiperkalemia, hiponatremia, hipokalsemia,
hiperfosfatemia, hiperuri- kemia, hipoalbuminemia, serta peningkatan kadar
trigliserida dan kolesterol serum. Anemia merupakan masalah yang umum pada
GGK dengan prevalens 36,6%. Anemia berat dapat meningkatkan beban jantung,
menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati maladaptif, sehingga
meningkatkan risiko kematian karena gagal jantung maupun penyakit jantung
iskemia, kejadian hipertensi pada GGK mencapai 63% pada PGK stadium 1, 80%
pada stadium 4 dan 5. Hipertensi dapat disebabkan oleh kelebihan cairan dan
aktivasi sistem renin- angiotensin-aldosteron.
Hasil pemeriksaan fisik pasien suhu 38 oC, RR 24 x/menit , HR 92 x/menit
TD 140/80 mmHg. Pada saat pemeriksaan pasien sudah di berikan terapi di ruang
ICU B1 yang mebuat keluhan sesak nafas dan bengkak pada tungkai sudah tidak
ada. Pasien datang sejak keluhan sesak dan bengkak pada tungkai muncul. Hal
tersebut merupakan manifestasi dari gagal ginjal kronis pada pemeriksaan fisik di
lakukan perkusi yang menunjukan pembesaran batas jantung hal tersebut
merupakan komplikasi dari gagal ginjal kronis.
Berdasarkan hasil laboratorium di dapatkan hasil laboratorium di dapatkan
hasil peningkatkan ureum 395 mg/dl dan creatinin 17,8 mg/dl, hal-hal tersebut
menandakan gagal ginjal stadium 5. Pada rontgent thorax pasien di dapatkan
pembesaran jantung.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penujang di
dapatkan keluhuan yang mengarah pada gagal ginjal stadium 5. Penatalaksanaan
pada kasus ini adalah IVFD Nacl 0,9 % 7 tpm, Cefoperazone 2 x 1 gr IV, Lasix 2

53
x 1 IV, CaCO3 3 x 1, Bicnat 3 x 1, Asam folat 3x1, Captopril 2 x 12,5 mg.
Perlahan keadaan pasien mulai mebaik yang di tandai hilangnya keluhan sesak
dan edema tungkai menurun tetapi pada perawatan hari ke 5 pasien mengalami
aspirasi dan akhirnya pasien meninggal dunia.

BAB IV
KESIMPULAN

Gagal ginjal kronik adalah penyakit ginjal dengan kerusakan ginjal


minimal tiga bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).
Pasien dalam kasus ini menderita gagal ginjal kronik stadium 5 karena menurut
kriteria diagnosis yaitu gagal ginjal (LFG < 15 mL/menit/1,73 m² atau dialisis)
serta terdapat manifestasi hematuria, anemia normositik, peningkatan ureum dan
kreatinin, asidosis metabolik, hiperkalemia, hiponatremia, hipokalsemia,

54
hiperfosfatemia, Anemia merupakan masalah yang umum pada GGK dengan
prevalens 36,6%. Anemia berat dapat meningkatkan beban jantung, menyebabkan
hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati maladaptif, sehingga meningkatkan
risiko kematian karena gagal jantung maupun penyakit jantung iskemia, kejadian
hipertensi pada GGK mencapai 63% pada GGK stadium 1, 80% pada stadium 4
dan 5. Hipertensi dapat disebabkan oleh kelebihan cairan dan aktivasi sistem
renin- angiotensin-aldosteron.

DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas, Husein (2001). Buku Ajar Nefrologi Anak, edisi 2. IDAI :


Jakart Behrman R.E
2. Fogo AB, Kon V (2004). Pathophysiology of progressive renal
disease. In Avner ED, Harmon WE, Niaudet P Eds. Pediatric Nephrology.
Lippincott Williams & Wilkins USA,; 1269-85.

55
3. Kei-Chiu TN, Chiu MC (2005). Pre-Renal Replacement Program :
Conservative Management of Chronic Kidney Disease. In Chiu MC, Yap HK
Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong,; 247-52.
4. Prasad Devarajan and Stuart L Goldstein (2007). Acute Renal Failure.
In: Kanwal K Kher MD, editors. Clinical pediatric nephrology. 2nd edition.
McGraw-Hill Health., pp. 371
5. Price A (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
EGC : Jakarta
6. Rigden SPA (2004). The management of chronic and end stage renal
failure in children. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric
Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc,; 427-46.
7. Sari Pediatri (2009) , Vol. 11, No. 3, Oktober

56

Anda mungkin juga menyukai