Anda di halaman 1dari 10

Laporan Pendahuluan dan Askep Diabetes Millitus

Aplikasi Nanda Nic Noc


septiawanputratanjung.blogspot.co.id /2015/10/laporan-pendahuluan-dan-askep-diabetes.html

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1 Defenisi

Diabetesberasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau mengalihkan” ( siphon). Mellitus
berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan
individu yang mengalirkan volume urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes melitus
adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan absolute insulin atau penurunan
relative insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009).

Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar
glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).

Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh
karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun
relatif (Arjatmo, 2002).

2 Etiologi

a. Diabetes tipe I:

- Faktor genetik

Penderita diabetes tidak mewarisi


diabetes tipe I itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau
kecenderungan genetik ke arah
terjadinya DM tipe I.
Kecenderungan genetik ini
ditemukan pada individu yang
memiliki tipe antigen HLA.

- Faktor-faktor imunologi

Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan
normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai
jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.

- Faktor lingkungan

Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.

b. Diabetes Tipe II

Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada
diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :

a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)

b. Obesitas

c. Riwayat keluarga

3 Manifestasi Klinis.

a. Diabetes Tipe I

§ hiperglikemia berpuasa

§ glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia

§ keletihan dan kelemahan

§ ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas bau buah, ada perubahan
tingkat kesadaran, koma, kematian)

b. Diabetes Tipe II

§ lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif

§ gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung, poliuria, polidipsia, luka pada kulit
yang sembuhnya lama, infeksi vaginal, penglihatan kabur

§ komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer)

4 Anatomi Fisiologi

Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm, lebar 5 cm, mulai dari
duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata – rata 60 – 90 gram. Terbentang pada vertebrata
lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.

Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan maupun
manusia. Bagian depan (kepala) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh
duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ
ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi
perkembangan embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel
yang membentuk usus.

Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :

(1). Asini, sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.

(2). Pulau Langerhans yang tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin dan
glukagon langsung ke darah.

Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh
pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid
dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 m,
sedangkan yang terbesar 300 m, terbanyak adalah yang besarnya 100 – 225 m. Jumlah semua pulau
langerhans di pankreas diperkirakan antara 1 – 2 juta.

Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu :


(1). Sel – sel A (alpha), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glikagon yang manjadi faktor
hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti insulin like activity “.

(2). Sel – sel B (betha), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin.

(3). Sel – sel D (delta), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat somatostatin.

Masing – masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat pewarnaan. Di bawah
mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat dan banyak mengandung pembuluh
darah kapiler. Pada penderita DM, sel betha sering ada tetapi berbeda dengan sel beta yang normal
dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi.

Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin manusia. Molekul insulin
terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan
oleh dua jembatan (perangkai), yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan
rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan titik isoelektrik pada 5,3.
Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein reseptor yang besar di dalam
membrana sel.

Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran berselaput yang
berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar glukosa
darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin
meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun.

Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon gastrointestina
merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi metabolisme utama insulin untuk
meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke jaringan terutama sel – sel otot,
fibroblas dan sel lemak

5 Patofisiologi

Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena
sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat
produkasi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan
tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
posprandial (sesudah makan).

Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali semua
glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika
glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan
dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari
kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa
haus (polidipsia).

Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan
penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia), akibat
menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan
normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan
glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan substansi lain), namun
pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut
menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan
peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton
merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan.
Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen,
mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan
perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai
kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala
hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering
merupakan komponen terapi yang penting.

Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin
yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor
khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II
disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus
terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu,
keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada
tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi
diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe II, namun
masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II.
Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya
yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).

Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun dan
obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif,
maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala
tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada
kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadra glukosanya
sangat tinggi)..

6 Pemeriksaan penunjang

a. Glukosa darah sewaktu

b. Kadar glukosa darah puasa

c. Tes toleransi glukosa

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :

a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)

b. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)

c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr
karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

7 Penatalaksanaan

Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar
glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik
pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.

Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :


1. Diet

2. Latihan

3. Pemantauan

4. Terapi (jika diperlukan)

5. Pendidikan

B. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

1. Pengkajian

a. Riwayat kesehatan sekarang

Biasanya klien masuk ke RS dengan keluhan utama gatal-gatal pada kulit yang disertai bisul/lalu tidak
sembuh-sembuh, kesemutan/rasa berat, mata kabur, kelemahan tubuh. Disamping itu klien juga
mengeluh poli urea, polidipsi, anorexia, mual dan muntah, BB menurun, diare kadang-kadang disertai
nyeri perut, kramotot, gangguan tidur/istirahat, haus-haus, pusing-pusing/sakit kepala, kesulitan
orgasme pada wanita dan masalah impoten pada pria

b. Riwayat kesehatan dahulu

§ Riwayat hipertensi/infark miocard akut dan diabetes gestasional

§ Riwayat ISK berulang

§ Penggunaan obat-obat seperti steroid, dimetik (tiazid), dilantin dan penoborbital.

§ Riwayat mengkonsumsi glukosa/karbohidrat berlebihan

c. Riwayat Kesehatan Keluarga

§ Adanya riwayat anggota keluarga yang menderita DM.

d. Pemeriksaan Fisik

§ Neuro sensori

Disorientasi, mengantuk, stupor/koma, gangguan memori, kekacauan mental, reflek tendon menurun,
aktifitas kejang

§ . Kardiovaskuler

Takikardia / nadi menurun atau tidak ada, perubahan TD postural, hipertensi dysritmia, krekel, DVJ
(GJK)

§ Pernafasan

Takipnoe pada keadaan istirahat/dengan aktifitas, sesak nafas, batuk dengan tanpa sputum purulent
dan tergantung ada/tidaknya infeksi, panastesia/paralise otot pernafasan (jika kadar kalium menurun
tajam), RR > 24 x/menit, nafas berbau aseton

§ . Gastro intestinal

Muntah, penurunan BB, kekakuan/distensi abdomen, aseitas, wajah meringis pada palpitasi, bising
usus lemah/menurun
§ Eliminasi

Urine encer, pucat, kuning, poliuria, urine berkabut, bau busuk, diare (bising usus hiper aktif).

§ Reproduksi/sexualitas

Rabbas vagina (jika terjadi infeksi), keputihan, impotensi pada pria, dan sulit orgasme pada wanita

§ Muskulo skeletal

Tonus otot menurun, penurunan kekuatan otot, ulkus pada kaki, reflek tendon menurun
kesemuatan/rasa berat pada tungkai

§ Integumen

Kulit panas, kering dan kemerahan, bola mata cekung, turgor jelek, pembesaran tiroid, demam,
diaforesis (keringat banyak), kulit rusak, lesi/ulserasi/ulkus

e. Aspek psikososial

§ Stress, anxientas, depresi

§ Peka rangsangan

f. Tergantung pada orang lain


Pemeriksaan diagnostik

§ Gula darah meningkat > 200 mg/dl

§ Aseton plasma (aseton) : positif secara mencolok

§ Osmolaritas serum : meningkat tapi < 330 m osm/lt

§ Gas darah arteri pH rendah dan penurunan HCO3 (asidosis metabolik)

§ Alkalosis respiratorik

§ Trombosit darah : mungkin meningkat (dehidrasi), leukositosis, hemokonsentrasi, menunjukkan


respon terhadap stress/infeksi

§ Ureum/kreatinin : mungkin meningkat/normal lochidrasi/penurunan fungsi ginjal

§ Amilase darah : mungkin meningkat > pankacatitis akut

§ Insulin darah : mungkin menurun sampai tidak ada (pada tipe I), normal sampai meningkat pada tipe
II yang mengindikasikan insufisiensi insulin

§ Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat meningkatkan glukosa darah
dan kebutuhan akan insulin

§ Urine : gula dan aseton positif, BJ dan osmolaritas mungkin meningkat

§ Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih, infeksi pada luka.

2. Diagnosa

a. Nyeri akut b.d agen injuri biologis (penurunan perfusi jaringan perifer)

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. ketidakmampuan menggunakan


glukose (tipe 1)
c. Defisit Volume Cairan b.d Kehilangan volume cairan secara aktif, Kegagalan mekanisme
pengaturan

3. Intervensi

NO DIAGNOSA NOC NIC

1 Nyeri akut berhubungan NOC: Manajemen nyeri :


dengan agen injuri
biologis (penurunan · Tingkat nyeri 3. Lakukan pegkajian nyeri
· Nyeri terkontrol
perfusi jaringan perifer) secara komprehensifdurasi,
lokasi, karakteristik, termasuk
frekuensi, kualitas dan ontro
· Tingkat kenyamanan presipitasi.
Setelah dilakukan asuhan 4. Observasi reaksi
keperawatan selama 3 x 24 nonverbal dari
jam, klien dapat : ketidaknyamanan.
1. Mengontrol nyeri, 5. Gunakan teknik
dengan indikator : komunikasi terapeutik untuk
mengetahui pengalaman nyeri
· Mengenal faktor-faktor
klien sebelumnya.
penyebab
6. Kontrol ontro lingkungan
· Mengenal onset nyeri
yang mempengaruhi nyeri
· Tindakan pertolongan seperti suhu ruangan,
non farmakologi pencahayaan, kebisingan.

· Menggunakan analgetik 7. Kurangi ontro presipitasi


nyeri.
· Melaporkan gejala-gejala
nyeri kepada tim kesehatan. 8. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
· Nyeri terkontrol (farmakologis/non
farmakologis)..
2. Menunjukkan tingkat
nyeri, dengan indikator: 9. Ajarkan teknik non
farmakologis (relaksasi,
· Melaporkan nyeri distraksi dll) untuk mengetasi
nyeri..
· Frekuensi nyeri
10. Berikan analgetik untuk
· Lamanya episode nyeri mengurangi nyeri.

· Ekspresi nyeri; wajah 11. Evaluasi tindakan


pengurang nyeri/ontrol nyeri.
· Perubahan respirasi rate
12. Kolaborasi dengan dokter
· Perubahan tekanan bila ada komplain tentang
darah pemberian analgetik tidak
berhasil.
· Kehilangan nafsu makan
13. Monitor penerimaan klien
. tentang manajemen nyeri.

Administrasi analgetik : .

1. Cek program pemberian


analogetik; jenis, dosis, dan
frekuensi.

2. Cek riwayat alergi..

3. Tentukan analgetik
pilihan, rute pemberian dan
dosis optimal.

4. Monitor TTV sebelum


dan sesudah pemberian
analgetik.

5. Berikan analgetik tepat


waktu terutama saat nyeri
muncul.

6. Evaluasi efektifitas
analgetik, tanda dan gejala efek
samping.

2 Ketidakseimbangan Nutritional Status : Food and Nutrition Management


nutrisi kurang dari Fluid Intake
kebutuhan tubuh b.d. 1. Monitor intake makanan
ketidakmampuan · Intake makanan peroral dan minuman yang dikonsumsi
menggunakan glukose yang adekuat klien setiap hari
(tipe 1)
· Intake NGT adekuat 2. Tentukan berapa jumlah
kalori dan tipe zat gizi yang
· Intake cairan peroral dibutuhkan dengan
adekuat berkolaborasi dengan ahli gizi

· Intake cairan yang 3. Dorong peningkatan


adekuat intake kalori, zat besi, protein
dan vitamin C
· Intake TPN adekuat
4. Beri makanan lewat oral,
bila memungkinkan

5. Kaji kebutuhan klien akan


pemasangan NGT

6. Lepas NGT bila klien


sudah bisa makan lewat oral
3 Defisit Volume Cairan b.d NOC: · Tidak ada tanda tanda
Kehilangan volume dehidrasi, Elastisitas turgor kulit
cairan secara aktif, · Fluid balance baik, membran mukosa
Kegagalan mekanisme lembab, tidak ada rasa haus
pengaturan · Hydration yang berlebihan

· Nutritional Status :
Food and Fluid Intake

Kriteria Hasil :

· Mempertahankan urine
output sesuai dengan usia dan
BB, BJ urine normal, HT
normal

· Tekanan darah, nadi,


suhu tubuh dalam batas
normal
NIC : 5. Monitor masukan 10. Berikan
makanan / cairan dan penggantian nesogatrik
Fluid management hitung intake kalori harian sesuai output

1. Timbang 6. 2. Dorong keluarga


popok/pembalut jika diperlukan Kolaborasikan untuk membantu pasien
pemberian cairan makan
2. Pertahankan catatan IV
intake dan output yang akurat 3. Tawarkan snack (
7. Monitor status nutrisi jus buah, buah segar )
3. Monitor status hidrasi (
kelembaban membran mukosa, 8. Berikan cairan IV 4. Kolaborasi dokter jika
nadi adekuat, tekanan darah pada suhu ruangan tanda cairan berlebih muncul
ortostatik ), jika diperlukan meburuk
9. Dorong masukan oral
4. Monitor vital sign 5. Atur
kemungkinan tranfusi

6. Persiapan untuk tranfusi

C. DAFTAR PUSTAKA

Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit


FKUI, 2002

Soegondo S, dkk. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, cetakan keenam. Balai
Penerbit
FKUI : Jakarta

Sudoyo, W Aru. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC


Syaifuddin, H. 2006. Anatomi Fisiologi. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai