Kelompok 5
Semester :3
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang selalu
memberikan taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
tentang Filsafat Islam dengan judul “ Ibnu Maskawih, Ibnu Sina: Sejarah dan
Pemikirannya dan Analisis” tepat waktu. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan pada reformis Islam sejati Nabi Muhammad SAW pembawa umat
minazhulumati ilannur.
Sebagaimana dalam peribahasa bahwa “tak ada gading yang tak retak” ,
dalam penyusunan makalah ini pun kami menyadari bahwa banyak sekali
kekurangannya, maka dari itu kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan
penyusunan di masa yang akan datang sangat kami harapkan.
Dengan adanya pembuatan makalah ini, diharapkan dapat membantu
mahasiswa/i dalam menguasai materi pelajaran. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan senantiasa membawa kemudahan kita dalam belajar untuk meraih
prestasi yang kita inginkan.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah atau biografi Ibnu Maskawaih ?
2. Bagaimana pemikiran serta analisis Filsafat Ibnu Maskawaih ?
3. Bagaimanaa sejarah atau biografi Ibnu Sina ?
4. Bagaimana pemikiran serta analisis Filsafat Ibnu Sina ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui sejarah atau biografi Ibnu Maskawaih.
2. Untuk mengetahui pemikiran serta analisis Filsafat Ibnu Maskawaih.
3. Untuk mengetahui sejarah atau biografi Ibnu Sina.
4. Untuk mengetahui pemikiran serta analisis Filsafat Ibnu Sina.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Ibn Miskawaih, nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Kasim Ahmad bin Yaqub
bin Miskawaih. Ia dilahirkan di Kota Rayy, Iran pada Tahu 330 H/941 M dan
wafat di Afsahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Feberuari 1030 M. Sebutan
namanya yang lebih masyhur adalah Miskawaih atau Ibn Miskawaih. Nama itu
diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian
masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali,
bagi kaum Syi'ah dipandang sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari
gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Miskawaih tergolong penganut
aliran Syi'ah. Gelar lain juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim, yang berarti
bendaharawan disebabkan pada masa kekuasaan Adhud Al-Daulah dari Bani
Buwaih ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharanya.1
Mengenai sosok Miskawaih belum dapat dipastikan, apakah Miskawaih itu dia
atau dia itu putra (ibn) Miskawaih. Beberapa orang seperti Margoliouth dan
Bergstrasser menerima alternatif pertama, sedangkan lainnya, seperti
grockelmann, menerima alternatif kedua. Yaqub berkata bahwa ia mula-mula
beragama Majusi, kemudian memeluk Islam. Akan tetapi, hal ini barangkali benar
bagi ayahnya, karena Miskawaih sendiri, sebagaimana tercermin pada namanya
adalah putra seorang Muslim, yang bernama Muhammad.
1
M. Luthfi Jum`ah, Tarikh Falasifah Islam, (Mesir: Dar Al-Maktab,1927), hlm. 304.
3
Miskawaih pernah bekerja selama puluhan tahun sebagai pustakawaan
dengan sejumlah Wazir dan Amir bani Buwaihi, yakni bersama Abufadhl ibn al-
Amid (360 H/970 M) sebagai pustakwannya. Setelah wafatnya Abu al-Fadhl (360
H/970 M), ia mengabdi kepada putranya Abu al-Fath Ali ibn Muhammad ibn al-
Amid, dengan nama keluarga Dzu al-Kifayatin. Ia juga mengabdi kepada Abud al-
Daulah, salah seorang buwaihiah, kemudian kepada beberapa pangeran yang lain
dari keluarga terkenal itu. Miskawaih meninggal 9 Safar 421/16 Februari 1030.
Tanggal kelahirannya tidak jelas. Menurut Margoliouth, ia meninggal tahun 330
H/941 M, tetapi sebenarnya, ia meninggal kira-kira tahun 320 H/932 M, bila
bukan pada tahun-tahun sebelumnya, karena ia biasa persama al-Mahallabi, yang
menjabat sebagai wazir pada tahun 339 H/ 950 M dan meninggal pada 352 H/963
M, yang pada masa itu, paling tidak, ia telah berusia sembilan belas tahun.
dan pada masa ini jugalah Miskawaih muncul samping seorang filosof,
tabib, ilmuwan dan pujangga. Tetapi, dikemerosotan moral yang melanda
masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Miskawaih lalu tertarik untuk
menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.2
2
Syamsul Rizal, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Citapustaka Media Perintis,), hlm.
135-136.
4
Seperti halnya anak-anak lainnya di zaman Bani Abbasiyah, pada
umumnya anak-anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari al-
Quran dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan 'Arud (ilmu
membaca dan membuat sya'ir). Mata pelajaran-mata pelajaran dasar tersebut
diberikan di surau-surau, dikalangan keluarga yang berada di mana guru di
datangkan ke rumahnya untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya.
Setelah ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran
ilmu figih, hadits, sejarah (khusus nya sejarah Arab, Parsi, dan India) dan
matematika. Kecuali itu diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti
musik, bermain catur dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran).
a. Filsafat KeTuhanan
5
Ibn Miskawaih juga menyatakan, Tuhan adalah Zat yang jelas dan Zat
yang tidak jelas. Zat yang jelas adalah Yang Hak (benar), yang Benar adalah
terang. Tidak Jelas dikarenakan kelemahan akal pikiran kita untuk menangkap-
Nya, penyebabnya karena banyak dinding-dinding atau kendala kebendaan yang
menutupi-Nya. Pendapat ini bisa diterima karena wujud manusia berbeda dengan
wujud Tuhan. Tuhan dapat dikenal dengan Prograsif Negatif, bukan dengan
Prograsif Positif (menyamakan Tuhan dengan alam). Sebagai seorang filosof
religius sejati, Ibn Miskawaih menyatakan, alam semesta diciptakan Allah dari
tiada menjadi ada.
3
Syamsul Rizal, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 137-138.
6
b. Filsafat Kenabian
Kemudian dibicarakan pula perihal wahyu yang diturunkan Allah pada para
Nabi, kemudian cara memperoleh wahyu tersebut, juga tentang akal yang
diibaratkan sebagai raja yang ditaati sesuai pembawaannya, kemudian perbedaan
antara Nabi dan filosof yang sama-sama membawa pencerahan, hingga lain
sebagainya.4
c. Filsafat Etika
Perbincangan mengenai etika ini tidak terlepas dari sebuah tingkah laku
atau akhlak yang ditimbulkan oleh manusia terhadap alam. Akhlak menurut
konsep Ibn Miskawaih adalah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang
mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah
laku manusia terbagi menjadi dua unsur, yakni unsur watak naluriah dan unsur
lewat kebiasaan dan latihan.
4
M. Yusuf Musa, Falsafah al-Akhlak fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Ma`arif, 2015), hlm.70.
7
Beranjak dari pengertian akhlak di atas, maka yang menjadi sebab dan
akibat dari faktor timbulnya akhlak adalah faktor kejiwaan. Jiwa yang mendorong
manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan secara spontan itu dapat
selamanya merupakan pembawaan fitrah sejak lahir, tetapi dapat juga diperoleh
dengan jalan latihan-latihan membiasakan diri, hingga akhirnya menjadi sifat
kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan yang baik. Ini menunjukkan bahwa
daya kerja jiwa sangat berperan menentukan baik buruknya tingkah laku manusia.
5
Syamsul Rizal, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 139.
8
Perbincangan tentang akhlak ini banyak di jelaskan oleh Ibn Miskawaih
dalam bukunya yang berjudul Tahzib al-Akhlaq wa Tahthir al-'Araq (pendidikan
budi dan pembersihan watak). Dalam bukunya ada sebuah penjelasan tentang
sifat-sifat utama. Sifat utama ini, erat kaitannya dengan jiwa. Jiwa memiliki tiga
daya, yaitu daya berpikir, daya marah, dan daya keinginan. Sifat hikmah adalah
sifat utama bagi jiwa amarah yang timbul dari sifat hilm (mawas diri). Sementara
murah adalah sifat utama bagi jiwa keinginan yang lahir dari `iffah (memelihara
kehormatan diri). Dengan demikian, ada tiga sifat utama, yakni hikmah, berani,
dan murah. Apabila ketiga sifat utama ini serasi, muncul sifat utama yang
keempat, yakni adil. Adapun lawan dari keempat sifat utama ini ialah bodoh,
rakus, penakut, dan dzalim.6
Ibn Sina, nama asli beliau adalah Abu Ali Hosain ibn Abd Allah ibn Sina. Di
Eropa (dunia Barat) ia lebih dikenal dengan sebutan Avicenn. Ia lahir di sebuah
desa Afsyana, di daerah dekat Bukhara pada tahun 340 H. Bertepatan dengan
tahun 980 M. Saat ia lahir kota kelahiran sedang dalam keadaan kacau, karena
saat itu kekuasaan Abbasiyah. Mulai mundur dan negeri-negeri yang mula-mula
berada di bawah kekuasaannya kini mulai melepaskan diri untuk berdiri sendiri.
Kota Baghdad sebagai pusat pemerintahannya dikuasai oleh golongan Banu
Buwaih pada tahun 334 H, hingga tahun 447 H.
Menurut sejarah hidup yang disusun oleh Ibn Sina, bernama Jurjani, dari sejak
kecil Ibn Sina telah banyak mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang ada di
zamannya. Ilmu-ilmu itu adalah Ilmu fisika, matematika, kedokteran, hukum dan
lain-lain. Sewaktu Ibn Sina masih berusia 17 tahun, ia telah dikenal sebagai dokter
dan atas panggilan istana pernah mengobati Pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga
pulih kembali kesehatannya. Setelah orang tua Ibn Sina meninggal saat ia brusia
22 tahun, ia pindah ke Jurjan, suatu kota di dekat Laut Kaspia, dan di sanalah ia
mulai menulis ensiklopedinya tentang ilmu kedokteran yang kemudian terkenal
dengan nama al-Qanun fi al-Tibb (The Qanun).
6
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2013), hlm. 61.
9
Kemudian ia pindah ke Ray, suatu kota di sebelah Teheran, dan bekerja
untuk Ratu Sayyedah dan anaknya Majd al-Dawlah. Kemudian Sultan Syams al-
Dawlah yang berkuasa di Hamdan (di bahagian Barat dari Iran) mengangkat Ibn
Sina menjadi Menterinya. Kemudian ia pindah ke Isfahan dan meninggal di tahun
1037 M pada usia 58. Dalam pendidikannya, Ibn Sina sangat haus dengan
pendidikan, hidupnya selalu diwarnai dengan belajar, diantara guru yang
mendidiknya ialah 'Abu Abdallah al-Natali dan Isma'il sang Zahid. Karena
kecerdasan otaknya yang luar biasa ia dapat menguasai semua ilmu yang
diajarkan kepadanya dengan sempurna dari sang guru, bahkan melebihi
pengetahuan sang guru. Ibn Sina juga secara tidak langsung berguru kepada al-
Farabi, bahkan dalam otobiografinya disebutkan tentang utang budinya kepada
guru kedua ini. Hal ini terjadi ketika ia kesulitan untuk memahami metafisika
Aristoteles, sekalipun telah ia baca sebanyak 40 kali dan hampir hafal di luar
kepala. Akhirnya, ia tertolong berkat bantuan risalah kecil al-Farabi. Sirajuddin
Zar menambahkan, anekdot ini juga dapat diartikan bahwa Ibn Sina adalah
seorang pewaris Filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan al-Farabi.
Dengan istilah lain, Ibn Sina adalah pelanjut dan pengembang filsafat
Yunani yang sebelumnya telah dirintis al-Farabi dan dibukakan pintunya oleh al-
Kindi. Kehebatan Ibn Sina dalam belajar bukan hanya karena ia memilik sistem,
tetapi sistem yang Ibn Sina miliki menampakkan sebuah keaslian, menunjukkan
jenis jiwa yang genius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang
diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasionalis murni dan tradisi
intelektual Hellenisme yang ia Warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan
Islam. Dapatlah dikemukan bahwa keaslian yang menyebabkan dirinya disebut
unik tidak hanya terjadi di dalam Islam, tetapi juga terjadi di Abad Pertengahan,
karena itu terjadi pula perumusan kembali teologi Katolik Roma yang dilakukan
oleh Albert Yang Agung, terutama oleh Thomas Aguinas yang secara mendasar
terpengaruh oleh Ibn Sina. 7
7
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, hlm. 62-63.
10
D. Pemikiran serta Analisis Filsafat Ibnu Sina
Dalam sejarah pemikiran filsafat Abad Pertengahan, sosok Ibn Sina dalam
banyak hal unik, sedang di antara para filosof Muslim ia tidak hanya unik, tapi
juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia
adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem
filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi
filsafat Muslim beberapa abad. Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia
memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya
yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode-metode dan
alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional
murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam
sistem keagamaan Islam. Di antara filsafa Ibn Sina, antara lain sebagai berikut:
a. Filsafat Wujud
Mengenai Wujud Tuhan, Ibn Sina memiliki pendapat yang berbeda dari
al-Farabi. Ibn Sina bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat yaitu sifat wajib
wujud-nya, sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujud nya jika ditinjau
dari hakekat dirinya (wajib al-wujud Lighairi dan Mumkin al-wujud Lidzatihi)
dalam bahasa Inggris (Necessary by virtue of the Necessary Being dan Possible in
essence). Dengan demikian ia mempunyai tiga objek pemikiran yaituTuhan,
dirinya sebagai wajib wujud-nya dan dirinya sebagai mungkin wujud-nya. Dari
pemikiran tentang Tuhan, timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai
wajib wujud-nya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai
mungkin wujud-nya timbul langit-langit.
11
Ibn Sina dalam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Dialah
Allah, maka ia tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi
cukup dalil adanya Wujud Pertama, yakni wajib al-wujud. Sedangkan jagad raya
ini, yakni mumkin alwujud memerlukan sesuatu sebab (`illat) yang
mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri.
Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah, kita tidak
memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan
pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhlukNya. Sebagai pembuktian dari
wacana di atas, al-Ouran menggambarkannya dalam Surat Fushshilat ayat 53 yang
berbunyi “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi
mereka bahwa al-Ouran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya
Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”. 8
b. Filsafat Jiwa
Menurut pendapat Ibn Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang
tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan
tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia
ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi. fungsi fisik, dengan
demikian tidak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya
yang berpikir, yakni jiwa yang masih berhajat pada badan.
8
Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2011),
hlm. 35.
12
Menurut Ibn Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung
tentang subtansialitas non-badan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen,
tetapi sebagai pembuka mata. Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain segala apa
yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh.
Kemudian Ibn Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian. Pertama. Jiwa
tumbuh-tumbuhan (al-Nafsul Nabatiyah), yakni meliputi beberapa daya makan
(nutrition), tumbuh (Growth), berkembang biak (reproduction). Kedua. Jiwa
binatang (an-Nafsul Hayawaniah), yakni meliputi beberapa daya gerak
(locomotion), menangkap (perception). Dua daya ini dibagi lagi menjadi dua
bahagian, yaitu menangkap dari luar (al-Mudrikah minal kharij) dengan
pancaindera, dan menangkap dari dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan
indera-indera yang meliputi : 1) Indera bersama yang menerima segala apa yang
dirangkap oleh panca indera, 2) Representasi yang menyimpan segala apa yang
diterima oleh indera bersama, 3) Imaginasi yang menyusun apa yang disimpan
dalam representasi, 4) Estimasi yang dapat manangkap hal-hal abstrak yang
terlepas dari materinya, umpama keharusan lari bagi kambing dari anjing srigala,
5) Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
Ketiga. Jiwa manusia (an-Nafsul Natigah) meliputi dua daya, yaitu praktis
(practical) yang hubungannya adalah dengan badan, dan teoritis (theoritical) yang
hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak.
Dengan demikian, sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga
macam jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada
dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya,
maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia (al-Nafs al-
Natigah) yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat
menyerupai malaikat dan dekat pada kesempurnaan.9
9
Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, hlm. 36-37.
13
c. Filsafat Tentang Ke-Nabian
14
Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu besarnya, sehingga tanpa
melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan
mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akhirnya aka ini menjadi
tinggi, dan diperoleh bagi manusia-manusia. terkhusus pada pilihan Allah mereka
yang mendapatkannya adalah para Nabi-Nabi Allah.
Jadi wahyu dalam pengertian di atas yang mendorong manusia untuk beramal
dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham
belaka. Maka tidak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun
demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang
diperlukan, juga tidak diragukan lagi karena dalam kenyataannya wahyu tersebut
tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung
simbol-simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau Nabi
dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip
moral yang memadai, dan sebenarnya Ke dalam suatu struktur sosial politik, baik
wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tidak akan banyak berfaedah.
Maka dari itu, Nabi berhak mendapat mendapatkan derajat seorang filosof.
Salah satu ungkapan Ibn Sina tentang perihala Nabi yakni ada wujud yang
berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang pertama lebih unggul
daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam meteri
dan ada pula yang berada dalam materi. Yang pertama lebih unggul daripada yang
kedua, selanjutnya ada hewan yang rasional (manusia) dan ada pula hewan yang
tidak rasional (binatang). Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua
...selanjutnya ada manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara
langsung (tanpa latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang memiliki akal
aktual dengan sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan dan studi),
maka yang pertama yakni para Nabi yang lebih unggul daripada yang kedua,
yakni para filsuf. Para Nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam
lingkungan makhluk-makhluk materi. Karena yang lebih unggul harus memimpin
segenap manusia yang diunggulinya.10
10
Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, hlm. 38-39.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ibn Miskawaih
Ibn Miskawaih, nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Kasim Ahmad
bin Yaqub bin Miskawaih. Ia dilahirkan di Kota Rayy, Iran pada Tahu 330
H/941 M dan wafat di Afsahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Feberuari
1030 M. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Miskawaih atau Ibn
Miskawaih. Ibn Maskawaih tidak memberikan pengertian secara tegas, ia
hanya membagi filsafat menjadi dua bagian yaitu bagian teori dan bagian
praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi
potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan
kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan
tidak ragu-ragu terhadap kebenaran.
Ibn Sina
Ibn Sina, nama asli beliau adalah Abu Ali Hosain ibn Abd Allah
ibn Sina. Di Eropa (dunia Barat) ia lebih dikenal dengan sebutan Avicenn.
Ia lahir di sebuah desa Afsyana, di daerah dekat Bukhara pada tahun 340
H. Bertepatan dengan tahun 980 M. Dalam sejarah pemikiran filsafat Abad
Pertengahan, sosok Ibn Sina dalam banyak hal unik, sedang di antara para
filosof Muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan
yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof
besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap
dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat
Muslim beberapa abad.
16
B. Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 2011. Filsafat dan Mitisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
18