Anda di halaman 1dari 9

Filsafat Dan Pemikiran Dan Analisis Menurut Suhrawardi Al-Maqtul

Disusun oleh: Kelompok VII(tujuh)

Nama : Aidil Mudasir

NIM : 3032019032

Unit/Semester : I/3(tiga)

Prodi : Ilmu Alquran Dan Tafsir

Mata Kuliah : Filsafat Islam

Dosen : Dr. Arief Muammar, S.H.I, M. Pem. I

IAIN ZAWIYAH COTKALA LANGSA


TAHUN AJARAN 2020-2021
PENDAHULUAN

Peradaban Islam pada masa Suhrowardi berada pada fase kematangan, yang mana
akal pemikiran Suhrowardi sangat unik dan mendasar. Dia berusaha mencari dan
mendapatkan bahan-bahan pemikirannya hingga pada sumber yang paling awal. Dia
melacak sumber kebenaran yang ada pada beragam kepercayaan.

Untuk selanjutnya di dalam makalah saya akan mencoba menjelaskan


mengenai filsafat Suhrowardi seiring dengan pemikirannya.
PEMBAHASAN

Biografi Suhrawardi Al-Maqtul

Suhrawardi, lengkapnya Syihab al-Din Yahya ibn Habasy ibn Amira’


Suhrawardi al-Maqtul. Istilah al-Maqtul untuk membedakannya dengan dua tokoh
Suhrawardi yang lain lahir di desa Suhrawardi, sebuah desa kecil dekat kota Zinjan di
Iran Timur Laut, tahun 545 H/1153 M.

Pendidikannya dimulai di Maraghah, sebuah kota yang kemudian menjadi


terkenal karena lahirnya Nasirud al-Din al-Tusi (1201-1274) yang membangangun
observatorium I dalam Islam di bawah bimbingan Majdud al-Din al Jilli, dalam bidang
Fiqh dan teologi. Selanjutnya pergi ke isfahan untukin al-Mardini (w.1198 M), di mana
orang yang disebut terakhir ini diduga sebagai guru Suhrawardi yang paling penting.
Selain itu, ia juga belajar logika pada Zahir al-Farsi, yang mengajarkan al-Bashair al-
Nashiriyah, kitab karya ‘Umar ibn Sahlan al-Sawi (w.1183 M), ahli logika terkenal
sekaligus salah satu pemikir illuminasionis awal dalam islam.

Setelah itu, Suhrawardi pergi mengembara ke pelosok Persia untuk menemui


guru-guru sufi dan hidup secara asketis. Menurut Husein Nasr, Suhrawardi memasuki
putaran kehidupannya melalui jalan sufi dan cukup lama berkhalwat untuk mempelajari
dan memikirkannya. Perjalanannya semakin melebar sehingga mencapai Anatoli dan
Syiria. Dari Damaskus ia pergi ke Aleppo untuk berguru pada Syaffir Iftikhar al-Din,
dan di kota ini Suhrawardi menjadi terkenal sehingga para faqih menjadi iri dan
mengecamnya. Akibatnya ia dipanggil Pangeran Malik al-Zahir,penguasa Aleppo, putra
Sultan Shalah al-Din al-Ayyubi, untuk dipertemukan dengan para fuqaha dan teolog.
Namun, dalam perdebatan ini Suhrawardi mampu mengemukakan argumentasi-
argumentasi yang kuat, yang justru membuatnya dekat dengan pangeran Zahir dan
pendapat-pendapatnya disambut baik.

Saat di Aleppo, dalam usianya yang masih belia, Suhrawardi telah menguasai
pengetahuan filsafat dan tasawuf begitu mendalam, serta mampu menguraikannya secara
baik. Bahkan Thabaqat al-Athibba’ menyebut Suhrawardi sebagai tokoh zamannya
dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai ilmu filsafat, memahami ushul fiqh,
begitu cerdas dan begitu fasih ungkapannya. Semua itu semakin membuat iri dan
dendam lawan-lawannya. Karena itu, setelah tidak berhasil mempengaruhi pangeran
Zahir, para fuqaha yang dengki berkirim surat langsung pada Sulthan Shalah al-Din, dan
memperingatkan bahaya akan tersesatnya akidah sang pangeran jika terus bersahabat
dengan Suhrawardi. Shalah al-Din sendiri, yang terpengaruh isi surat tersebut segera
memerintahkan putranya untuk menghukum mati Suhrawardi. Akhirnya, pemikir yang
sangat brilian ini harus mati di tiang gantungan, tahun 1191 M, dalam usianya yang
relatif muda, 38 tahun, karena kedengkian sebagian ulama fiqh.

Meski perjalanan hidupnya terbilang pendek, Suhrawardi meninggalkan banyak


karya tulis. Menurut Husein Nasr, ada sekitar 50 judul buku yang ditulisnya dalam
bahasa Arab dan Persia, meliputi berbagai bidang dan ditulis dengan metode yang
berebeda, sehingga memungkinkan untuk membaginya dalam 5 bagian:

1. Buku-buku empat besar tentang pengajaran dan doktrin yang ditulis dalam bahasa
Arab. Kumpulan ini membentuk kelompok yang membahas filsafat paripaterik,
yang terdiri atas al-Talwihat, al-Muqawimat, dan al-Mutharahat yang ketiga berisi
pembenaran filsafat Aristoteles. Terakhir Himah al-Isyraq (The Theolosophy of te
Orient of Light) yang berbicara sekitar konsep illuminasi.
2. Risalah-risalah pendek yang masing-masing ditulis dalam bahasa Arab dan
Persia. Materi tulisan ini sebenrnya juga telah ada dalam kumpulan buku yang
keempat tetapi ditulis dalam bahasa yang lebih sederhana.
3. Kisah-kisah sufisme yang melukiskan perjalanan ruhani dalam semesta, yang
mencari keunikan dan illuminasi. Hampir semua kisah ini ditulis dalam bahasa
Persia.
4. Nulikan-nukilan, terjemahan dan penjelasan terhadap buku filsafat lama, seperti
terjemahan Risalah al-Thair karya Ibn Sina (980-1037 M) dalam bahasa Persia,
penjelasan al-Isyarat, serta Risalah fi Haqiqah al-Isyqi (On the Reality of Love)
yang terpusat pada risalah fi al- Isyqi karya Ibn Sina, dan tafsir sejumlah ayat
serta hadits Nabi.
5. Wirid-wirid dan doa-doa dalam bahasa Arab1.

Filsafat Suhrawardi Al- Maqtul

As-Suhrawardi menguraikan ajaran filsafatnya dengan sangat unik karena


banyak menggunakan tamsil dan kisah dari kisah perumpamaan. Tidak dapat di elakan
karya filsafatnya bercorak sastra. Ini merupakan cirri khas Timur, sebagaimana tampak
dalam uraian ahli filsafat, seperti konfusius, lao Tze, dan Ibnu Sina. Bahkan Plato
khususnya dalam republic, juga memaparkan ajaran filsafat dalam bentuk dialog. Namun,
pemikiran Suhrawardi lebih menarik lagi karena bersumber dari berbagai tradisi budaya
serta kepercayaaan dalam rentangan zaman yang panjang. Sumber-sumber klasik
pemikirannya meliputi kearifan Persia kuno, Yunani kuno pro Aristoteles, dan Arab
Persia. Dari Persia kuno ia menggali pemikiran Gayamars, Faridun, Kay Khusraw. Dari
tradisi Arab-Persia atau Islam, ia menentukan akar pemikirannya dalam tradisi hikmah
Nabi Syis dan Nabi Idris a.s sampai Zunnun Al- Misri, Abu Sahl At-Tustari atau Mansur
Al-Hallaj. Dari Yunani kuno ia menggali pemikiran tradisional Ordo Hermetiah
(Hermetitisme) sampai Phytagoras dan Plato2.

1
Sayyed Nasr Hossein, Intelektual Islam, (Yogyakarta : Ciss Press, 1991) hal. 116-119.
2
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2009 Cet. 1) hal. 180.
Oleh karena itu untuk menurut akar pemikiran filsafat Suhrawardi dapat
ditemukan dari kecenderungan iluminasionisme Suhrawardi yang merujuk kepada pola
Plato, Hermes, dan tokoh-tokoh Yunani dan Persia kuno, sebagaimana ungkapannya, “
yang saya sebut dengan ilmu tentang pancaran cahaya-cahaya ketuhanan (‘Ulum Al-
Anwar) dan segala hal yang terkait dengannya bisa saya capai berkat bantuan orang-
orang yang selalu merambah jalan Allah, yaitu seorang tokoh dan ketua akademi, Plato
yang mula-mula menemukan teori keabadian (a parte poste) dan pancaran cahaya
ketuhanan dan jasa orang-orang sebelumnya dari zaman bapak para filsuf, Hermes,
hingga zaman Empedocles.

Apabila dilihat dari sudut sejarah dan kandungan ajaran metafisikannya, filsafat
Isyraqiyah merupakan penjelmaan kembali hikmah purba yang mengutamakan intuisi
intelektual (zauq) tanpa mengesampingkan pemikiran diskursif. Filsafat Al-Isyraq adalah
filsafat yang memadukan kecenderungan pemikiran Platonisme dan Aristotelian yang
dilapisi dengan tatanan kemalaikatan (angelologi) zorooaster serta gagasan
Hermetisisme.

Akar pemikiran filsafat iluminasi lainnya adalah teori emanasi yang


dikembangkan oleh Ibnu Sina dan Al-Farabi sebagai dasar epistemologi Suhrawardi,
meskipun ia berbeda dari mereka dalam hal akal terakhir. Emanasi Ibnu Sina dan Al-
Farabi berhenti pada akal aktual. Sementara emanasi Suhrawardi tidak terbatas pada akal
aktual, tetapi terus beremanasi pada akal yang lebih banyak dan tidak bisa terhitung
selama cahaya dari cahaya-cahaya terus menerus memancarkan cahaya murni kepada
segala sesuatu yang ada di bawahnya3.

Dengan perjalanan waktu yang panjang, setelah mengurangi berbagai filsafat


sebelumnya, Suhrawardi sampai tingkat penemuan filsafat iluminasi. Dengan teori
iluminasi yang diambil dari mistisme Yuanani dan filsafat Persia, Suhrawardi mengambil
3
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hal 180-181.
kesimpulan bahwa tidak tepat baginya mengarungi dunia Inderawi dan materi bersama
orang-orang yang terjebak di dunia materi, yang lebih tepat baginya adalah meninggalkan
dunia materi menuju dunia peninggalan keinginan dunia (tajarrudi) dan penyaksian
langsung (syuhudi), kemudian naik ke maqam orang-orang yang bercahaya (nuraniyyun),
bergaul bersama mereka, dan menyaksikan mereka dari dekat. Inilah titik kulminasi
filsafat Suhrawardi4.

Jiwa manusia menurut Suhrawardi tidak bisa sampai pada alam suci serta tidak
bisa menerima cahaya-cahaya iluminasi kecuali dengan latihan rohaniah, sebab alam suci
maupun cahaya itu adalah substansi malakut, dimana alam itu sendiri tidak membutuhkan
kekuatan-kekuatan fisik. Jelasnya, seandainya jiwa manusia menguat dengan
keutamaaan-keutamaan rohaniah, dan kontrok kekuatan fisik melemah akibat
mengurangi makan serta mengurangi tidur malam, jiwa pun terkadang melesat menuju
alam suci dan bertemu dengan induk sucinya, bahkan menerima berbagai
pengetahuannya. Dengan begitu, menurut As- Suhrawardi, lewat latihan rohaniah jiwa
menjadi berkaitan dengan suatu kefanaan duniawi. Dan lewat kefanaan itulah jiwa
berhubungan dengan alam suci serta mencapai kelezatan dan kebahagiaan.

Perbedaan jiwa dan badan manusia menyebabkan perbedaan kemampuan dalam


pencerapan. Jiwa manusia mampu mencerap makna-makna yang terlepas dari badan
sedangkan badan tidak demikian. Kemampuan jiwa mencerap menunjukkan bahwa jiwa
memiliki karakter-karakter khusus yang tidak dimiliki oleh badan. Kemampuan jiwa
mengungguli kemampuan jasadnya, dan memang pada hakikatnya manusia akan tetap
utuh dan eksis apabila jiwanya masih melekat pada badannya, sehingga apabila jiwa
terlepas dari badan maka hakikat manusia sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu,
eksistensi manusia terletak pada jiwanya, bukan pada badannya5.

4
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hal 182.
5
hmad Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997) hal. 251.
Cahaya memiliki dua bentuk yaitu cahaya yang terang pada dirinya sendiri dan
cahaya yang terang dan menerangi selainnya. Cahaya yang terakhir ini menerangi segala
sesuatu. Namun, bagaimana pun statusnya, cahaya tetaplah sesuatu yang terang. Dan
sebagaimana telah disebutkan, ia merupakan sebab tampaknya segala sesuatu yang tidak
bisa tidak beremanasi darinya. Maka dari itu, ia bersifat hidup sebab kehidupan tidak lain
dari penampakan diri yang esensial pada segala sesuatu selainnya.

Pembahasan tentang cahaya-cahaya pengatur (‘arbab al-‘ashnam) ini berkaitan


pembahasan metafisis, dan didalam wacana pemikiran Suhrowardi, hal itu terdapat pada
teorinya tentang ‘alam al-mitsal. Setelah ketiga unsure (tanah, air, dan udara) itu
melahirkan barang-barang tambang dan tumbuhan, giliran selanjutnya ia melahikan
manusia yang merupakan hasil paling sempurna dari proses perpaduan ketiga unsur
pembentuk tersebut. Kepada manusia inilah cahaya dominan yang disebut isfandarmadz
memberikan nafs an-nathiqah, yaitu isfahbad, yang mengatur segala urusannya.

Dari perpaduan itu muncul cahaya yang dari bentuk yang lebih sempurna, yaitu
isfahbad an-nasut, atau nafs an-nathiqah yang bertindak sebagai pengatur badan. Adapun
yang dimaksud dengan perubahan dalam lingkaran alam cahaya-cahaya adalah
langgengnya penyinaran dan pelimpahan, dimana cahaya yang lebih tinggi menyinari
cahaya yang ada dibawahnya, sedangkan cahaya yang di bawahnya musyahadah terhadap
cahaya yang ada di atasnya6.

KESIMPULAN

Secara subtansial, filsafat iluminasi Suhrawardimerupakan upaya memadukan


antara rasionalistas kaum peripatetikyang dianggap ketika bersentuhan nilai rasa
keberagamaan dengan spritualitas beragama yang dianggap lemah ketika bersentuhan
6
Amroeni Drajat, Suhrowardi Kritik Falsafah Peripatetik, hal. 199-200.
dengan objektifitas pengetahuan.Filsafat ini hadir dengan paradigmpelimpahan cahaya.
Menurut iluminasi hakekat segala sesuatu tidak dapat diketahui hanya berdasarkan nalar
semata yang memisahkan objek dan subjek. Pengetahuan manusia tentang sesuatu hanya
akan tersingkap melalui subjekyang memiliki kesadaran diri penuhKesadaran diri adalah
jalan pengetahuan, yang diperoleh melalui pelimpahan cahaya ketuhanan. Karena setiap
manusia memiliki cahaya ketuhanan, maka manusia harus menempuh jalan itu
memperolehnya. Dalam Filsafat iluminasi, rasionalitas/pembuktian demontratif dan
intuisi dipadukan yang menghasilkan pengetahuan huduri sebagai pengetahuan
terpercaya bagi para “pencari tuhan”Bagi Suhrawardi, ini merupakan tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh oleh para filsuf
peripatetik, yang bertumpu pada kesatuan dengan akal aktif.

Anda mungkin juga menyukai