Anda di halaman 1dari 40

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN SYSTEM

IMUN DAN HEMATOLOGI AIDS

TAHUN 2020

Disusun oleh:

1. Dawam Awwabin
2. Lidya Adrian
3. Nia Wulandari

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS MATARAM
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta kemudahan–Nya sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tu

gas mata kuliah Keperawatan Anak II yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada

Anak Dengan System Imun & Hematologi AIDS”. 

Tujuan lain dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui sejauh mana 

kemampuana kademis serta meningkatkan rasa tanggung jawab seorang mahasiswa.

Kami menyadari makalah yang sederhana dan singkat ini masih jauh dari

kesempurnaan. Maka dari itu kritik dan saran dari semua pihak sangat membantu demi

terciptanya karya yang lebih baik dimasa-masa yang akan datang. Semoga dengan

segala keterbatasan yang ada pada kami makalah ini dapat memberi manfaat kepada

semua pihak. Terima kasih

Mataram, Oktober 2020

ii
DAFTAR ISI

JUDUL
KATA PENGANTAR............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1

A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Tujuan Umum........................................................................................................16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................17

A. Definisi...................................................................................................................17
B. Etiologi...................................................................................................................17
C. Anatomi Fisiologi...................................................................................................18
D. Tanda dan Gejala....................................................................................................18
E. Patofisiologi...........................................................................................................19
F. Penatalaksanaan.....................................................................................................26
G. Komplikasi.............................................................................................................27
H. Pencegahan.............................................................................................................29
I. Pemeriksaan Fisik..................................................................................................31
J. Pemeriksaan Penunjang..........................................................................................31
K. Proses Asuhan Keperawatan Anak.........................................................................32
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................................33

A. Kesimpulan............................................................................................................33
B. Saran......................................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................34

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1. Pengertian System Imun

Fungsi sistem imun adalah melindungi pejamu dari invasi organisme asing

dengan membedakan diri (self) dari bukan diri (non-self). Sistem semacam ini

diperlukan untuk kelangsungan hidup. Sistem imun yang berfungsi baik tidak saja

melindungipejamu dari faktor eksternal seperti mikroorganisme atau toksin tetapi

juga mencegah dan menolak serangan oleh faktor endogen seperti tumor atau

fenomena autoimun.

Disfungsi atau defisiensi komponen sistem imun menimbulkan beragam

penyakit klinis dengan ekspresi dan keparahan yang bervariasi dari penyakit atopik

hingga atritis reumatoid, severe combined immunodeviciency, dan kanker. Dalam

makalah yang saya susun ini akan membahas dan memperkenalkan fisiologi rumit

sistem imun dan kelainan yang menimbulkan penyakit hipersensitivitas dan

imunodefisiensi.

Sistem imun membentuk sistem pertahanan badan terhadap bahan asing

seperti mikroorganisme (bakteria, kulat, protozoa, virus dan parasit), molekul-

molekul berpotensi toksik, atau sel-sel tidak normal (sel terinfeksi virus atau

malignan). Sistem ini menyerang bahan asing atau antigen dan juga mewujudkan

peringatan tentang kejadian tersebut supaya pendedahan yang berkali-kali terhadap

bahan yang sama akan mencetuskan gerak balas yang lebih cepat dan tertingkat.

1
Keimunan merujuk kepada keupayaan sesuatu individu yang telah sembuh dari

sesuatu penyakit untuk kekal sehat apabila terdedah kepada penyakit yang sama

untuk kali kedua dan seterusnya.

Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi

tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh

patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis

luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai

cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari

sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa.

Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat

menginfeksi organisme.

Suatu ciri sistem imun ialah keupayaan untuk membedakan bahan-bahan yang

wujud secara semula jadi atau normal (diri) dari bahan-bahan atau agen-agen yang

masuk ke dalam tubuh dari luar (bukan diri) dan menghasilkan gerak balas terhadap

bahan bukan diri saja. Ketidakwujudan khusus suatu gerak balas terhadap diri

dikenali sebagai toleransi. Pentingnya keupayaan untuk membedakan

(mendiskriminasi) antara diri dan bukan diri, serta toleransi diri, ditunjukkan dalam

penyakit-penyakit autoimun, apabila fungsi-fungsi tersebut gagal. Penyakit-penyakit

ini berhasil apabila bahan normal tubuh dicam sebagai asing dan gerak balas imun

dihasilkan terhadap bahan-bahan tersebut. Sistem imun lazimnya amat berkesan

membezakan antara diri dan bukan diri.

2
2. Anatomi dan fisiologi sistem imun

a) Sel sistem imun

Sistem imun terdiri atas komponen spesifik dan non spesifik yang memiliki

fungsi tersendiri tetapi tumpang tindih. Sistem imun yang diperantarai oleh

antibodi yang diperantarai oleh sel menghasilkan spesifisitas dan ingatan akan

antigen yang pernah dijumpai. Meskipun tidak memiliki spesifitas, komponen-

komponen ini esensial karena berperan dalam imunitas alamiterhadap beragam

mikroorganisme lingkungan.

Komponen selular utama sistem imun adalah monosit dan makrofag, limfosit

dan golongan sel granulositik, termasuk neutrofil, eosinofil dan basofil. Fagosit

mononukleus berperan sentral dalam respon imun. Makrofag jaringan berasal

dari monosit darah. Sebagai respon terhadap rangsangan antigen makrofsg

menelan antigen tersebut (fagositosis) dan kemudian mengolah dan

menyajikannya dalam bentuk yang dapat dikenali oleh limfosit T.

Limfosit bertanggung jawab mengenali secara spesifik antigen dan bentuk

ingatan imunologis, yaitu ciri imunitas adaptif. Sel-sel ini secara fungsional dan

fenotipik dibagi menjadi limfosit B yang berasal dari bursa limfosit T yang

berasal dari timus.

Null cell merupakan 75% limfosit darah yaitu limfosit T dan 10% - 15%

adalah limfosit B, sisanya bukan limfosit B atau T. Null cell mungkin mencakup

3
berbagai jenis sel termasuk suatu kelompok yang dinamai Natural Killer (NK

Cells).

Leukosit polimorfonukleus (neutrofil) adalah sel granulosotik yang berasal

dari sumsum tulang dan beredar dalam darah dan jaringan. Fungsi utamanya

adalah fagositosis non-spesifik antigen dan destruksi partikel asing atau

organisme.

Eosinofil sering ditemukan ditempat peradangan atau rektivitasi imun dan

berperan penting dalam pertahanan pejamu terhadap parasit. Eosinofil

memperlihatkan fungsi modulatorik atau regulatorik dalam berbagai jenis

peradangan.

Basofil berperan penting dalam respon alergik fase cepat dan lambat. Sel-sel

ini mengeluarkan banyak mediator poten pada penyakit peradangan imunologis.

b) Organ sistem imun

Semua sel sistem imun berasal dari sumsum tulang. Stem cells pluripoten

berdiferensiasi menjadi limfosit, granulosit, monosit, eritrosit, dan megakariosit.

Defisiensi dan disfungsi stem cells atau berbagai turunan sel yang berkembang

darinya menyebabkan defisiensi imun dengan beragam ekpresivitas dan

keparahan

Timus yang berasal dari kantong faring ketiga dan keempat pada mudigah,

berfungsi menghasilkan limfosit T dann merupakan tempat diferensiasi awal

limfosit T.

Getah bening berbentuk kacang kecil berbaring disepanjang perjalanan

limfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher, aksila, selangkangan dan

4
daerah para-aorta. Pengetahuan tentang situs kelenjar getah bening yang penting

dalam pemeriksaan fisik pasien.

c) Fungsi Sistem Imun

1) Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit menghancurkan dan

menghilangkan mokroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur

dan virus) yang masuk kedalam tubuh.

2) Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak untuk memperbaiki

jaringan.

3) Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.

d) Fisiologis

1) Imunitas bawaan dan didapat

Organisme hidup memperlihatkan dua tingkat respon terhadap invasi

eksternal. Sistem imun bawaan (innate) alami dan sistem adaptif yang bersifat

didapat. Imunitas bawaan terdapat sejak lahir, cepat dimobilisasi dan

aktivitasnya bersifat non-spesifik. Permukaan kulit berfungsi sebagai lini

pertahanan pertama sistem imun bawaan, sementara enzim, jalur sistem

komplemen alternatif, protein fase-akut, sel NK, dan sitokin membentuk

lapisan pertahanan tambahan.

Sistem imun adaptif ditandai oleh spesifisitas terhadap benda asing

dan ingatan imunologis yang memungkinkan terjadinya respon yang lebih

intensif terhadap pertemuan berikutnya dengan benda yang sama atau terkait

5
erat. Introduksi suatu rangsangan ke sistem imun adaptif memicu suatu

rangkaian kompleks proses yang menyebabkan pengaktifan limfosit.

2) Antigen (Imunogen)
Zat asing yang dapat memicu respons imun disebut antigen atau

imunogen. Imunogenisitas mengisyaratkan bahwa zat tersebut memeiliki

kemampuan untuk bereaksi dengan produk-produk sistem imun adaptif.

Sebgian besar antigen merupakan protein, meskipun karbohidrat murni juga

dapat berlaku sebagai antigen.

Masuknya zat melalui mukosa (saluan napas atau cerna) merangsang

pembentukan antibodi lokal. Antigen larut diangkut ke jaringan limfe regional

melalui pembuluh limfe aferen sementara antigen lainnya diangkut oleh sel

dendritik fagositik.

Organ limfoid perifer regional dan limpa adalah tempat bagi respon

imun utama terhadap antigen oleh limfosit dan sel penyaji antigen (antigen

presening cell, APC).

3) Respon Imun

Untuk mengenali dan kemudian mengeliminasi antigen asing, jaringan

kompleks yang terdiri atas sel, organ, dan faktor biologis spesifik diperlukan.

Interaksi selular yang kopmleks memerlukan lingkungan mikro khusus tempat

sel dapat bekerja sama secara efisien. Baik sel B maupun sel T harus

bermigrasi keseluruh tubuh untuk meningkatkan kemungkinan bawhwa sel-

6
sel tersebut menemukan antigen yang spesifisitasnya dimiliki kedua sel

tersebut.

Respon imun terhadap antigen dalam darah biasanya dimulai di limpa,

sedangkan respon jaringan terhadap mikroorganisme terjadi dikelenjar limfe

lokal. Antigen yang dijumpai melalui rute inhalasi atau ingesti mengaktifkan

sel-sel dijaringan limfoid terkait mukosa.

e) Etiologi Gangguan Sistem Imun

Sistem kekebalan tubuh kurang aktif bisa menyebabkan :

1) Immune deficiency conditions adalah kelompok besar penyakit sistem

kekebalan tubuh yang terdiri dari berbagai macam penyakit yang

menekan sistem imun. Seringkali penyebab immune deficiency conditions

didasari oleh penyakit kronis. Gejala-gejala dari immune deficiency

conditions adalah sama dengan penyakit yang mendasarinya.

2) SCID (Severe Combined Immunodeficiency) adalah gangguan sistem

imun yang diturunkan. Penyebab SCID adalah serangkaian kelainan

genetik, terutama dari kromosom X. Beberapa jenis infeksi yang berulang

umum terjadi pada orang yang menderita SCID. Selain itu, penderita juga

rentan terhadap meningitis, pneumonia, campak, cacar air. Penyakit sistem

imun SCID pada anak akan mulai terlihat dalam 3 bulan pertama

kelahiran.

3) HIV/AIDS adalah masalah kegagalan sistem imun yang serius.

Merupakan penyebab terbanyak kematian. AIDS akan terjadi pada tahap

7
akhir dari perkembangan HIV. Kesehatan klien akan memburuk secraa

perlahan. AIDS akan membuat penderita rentan pilek dan flu dan yang

serius seperti pneumonia dan kanker.

Sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif bisa menyebabkan :

1) Alergi (yang disebabkan oleh jenis makanan, obat-obatan, sengatan

serangga atau zat tertentu) bisa didefinisikan sebagai respon sistem

kekebalan tubuh yang berlebihan terhadap zat yang umumnya tidak

berbahaya. Ada banyak alergen. Dalam banyak kasus, ada lebih dari satu

alergen yang merangsang reaksi alergi. Gejala alergi yang sering

merupakan masalah ringan.

2) Anafilaksis adalah bentuk alergi yang serius dan ekstrim. Alergen dari

makanan, obat-obatan atau gigitan serangga, bisa memicu dan

menyebabkanserangkaian gejala fisik yang tidak menyenangkan. Ruam

gatal, tenggorokan bengkak dan penurunan tekanan darah merupakan

gejala umum anafilaksis.

3) Asma adalah gangguan paru-paru kronis yang disebabkan peradangan

pada saliran udara. Alergen, iritasi atau bahkan stimulan seperti aktivitas

fisik dapat memicu peradangan. Gejala asma meliputi mengi, batuk, sesak

napas, sesak dada.

4) Penyakit autoimun adalah sekelompok gangguan sistem imun. Sel-sel

sistem imun salah menafsirkan sinyal. Dan mulai menyerang sel-sel tubuh

itu sendiri.

8
Gangguan sistem kekebalan tubuh lainnya :

1) Chediak Higashi Syndrome.

2) Common Immunodeficiency Variable.

3) Hay Fever.

4) Hives.

5) HTLV (Human T-lymphotropic Virus Type 1).

6) Hyper-IgE Syndrome (Hyperimmunoglobulin E Syndrome).

7) Hyper-IgM Syndrome (Hyperimunoglobulin M Syndrome).

8) Primary Immune Deficiency.

9) Selective IgA Defisiensi (Selective Immunoglobulin A Defisiensi).

10) Alergi Kulit.

11) XLA (X-Linked Agammaglobulinemia).

f) Patofisiologi

1. Usia

Frekuensi dan intensitas infeksi akan meningkat pada orang yang

berusia lanjut dan peningkatan ini disebabkan oleh penurunan untuk bereaksi

secara memadai terhadap mikroorganisme yang menginfeksinya. Produksi dan

fungsi limfosit T dan B dapat terganggu kemungkinan penyabab lain adalah

akibat penurunan antibodi untuk membedakan diri sendiri dan bukan diri

sendiri.

Penurunan fungsi sistem organ yang berkaitan dengan pertambahan usia

juga turut menimbulkan gangguan imunitas. Penurunan sekresi serta motilitas

9
lambung memungkinkan flora normal intestinal untuk berploriferasi dan

menimbulkan infeksi sehingga terjadi gastroenteritis dan diare.

2. Gender

Kemampuan hormone-hormon seks untuk memodulasi imunitas telah

diketahui dengan baik. Ada bukti yang menunjukkan bahwa estrogen

memodulasi aktifitas limfosit T (khususnya sel-sel supresor) sementara

androgen berfungsi untuk mempertahankan produksi interleukin dan aktifitas

sel supresor. Efek hormon seks tidak begitu menonjol, estrogen akan

memgaktifkan populasi sel B yang berkaitan dengan autoimun yang

mengekspresikan marker CD5 (marker antigenic pada sel B). Estrogen

cenderung menggalakkan imunitas sementara androgen bersifat imunosupresif.

Umumnya penyakit autoimun lebih sering ditemui pada wanita dari pada pria.

3. Nutrisi

Nutrisi yang adekuat sangat esensial untuk mencapai fungsi imun yang

optimal. Gangguan imun dikarenakan oleh defisiensi protein kalori dapat

terjadi akibat kekurangan vitamin yang diperlukan untuk mensintesis DNA

dan protein. Vitamin juga membantu dalam pengaturan poliferasi sel dan

maturasi sel-sel imun. Kelebihan atau kekurangan unsur-unsur renik

(tembaga, besi, mangan, selenium atau zink) dalam makanan umumnya akan

mensupresi fungsi imun Asam-asam lemak merupakan unsur pembangun

(building blocks) yang membentuk komponen structural membrane sel. Lipid

merupakan prekursir vitamin A,D,E, dan K disamping prekursir kolesterol.

10
Jika kelebihan maupun kekurangan asam lemak ternyata akan mensupresi

fungsi imun.

Deplesi simpanan protein tubuh akan mengakibatkan atrofi jaringan

limfoid, depresi respon anti bodi, penurunan jumlah sel T yang beredar dan

gangguan fungsi fagositosik sebagai akibatnya, kerentanan terhadap infeksi

sangat meningkat. Selama periode infeksi dan sakit yang serius, terjadi

peningkatan kebutuhan nutrisi yang potensial untuk menimbulkan deplesi

protein, asam lemak, vitamin, serta unsur-unsur renik dan bahkan

menyebabkan resiko terganggunya respon imun serta terjadinya sepsis yang

lebih besar.

4. Faktor -Faktor Psikoneuro Imunologik

Limfosit dan makrofag memiliki reseptor yang dapat bereaksi terhadap

neurotransmitter serta hormon-hormon endokrin.Limfosit dapat memproduksi

dan mengsekresikan ACTH serta senyawa-senyawa yang mirip endokrin.

Neuron dalam otak, khususnya khusunya dalam hipotalamus, dapat

mengenali prostaglandin, interferon dan interleukin di samping histamine dan

serotonin yang dilepaskan selama proses inflamasi. Sebagaimana sistem

biologi lainnya yang berfungsi untuk kepentingan homoestasis, sistem imun di

integrasikan dengan berbagai proses psikofisiologic lainnya dan diatur serta

dimodulasikan oleh otak.

Di lain pihak, proses imun ternyata dapat mempengaruhi fungsi neural

dan endokrin termasuk perilaku. Jadi, interaksi sistem saraf dan system imun

tampaknya bersifat dua arah.

11
5. Kelainan Organ yang Lain

Keadaan seperti luka bakar atau cedera lain, infeksi dan kanker dapat

turut mengubah fungsi system imun. Luka bakar yang luas atau faktor-faktor

lainnya menyebabkan gangguan integritas kulit dan akan mengganggu garis

pertama pertahanan tubuh hilangnya serum dalam jumlah yang besar pada

luka bakar akan menimbulkan deplesi protein tubuh yang esensial, termasuk

immunoglobulin. Stresor fisiologi dan psilkologik yang disertai dengan stress

karena pembedahan atau cidera kan menstimulasi pelepasan kortisol serum

juga turut menyebabkan supresi respon imun yang normal.

Keadaan sakit yang kronis dapat turut mengganggu sistem imun

melalui sejumlah cara. Kegagalan ginjal berkaitan dengan defisiensi limfosit

yang beredar. Fungsi imun untuk pertahanan tubuh dapat berubah karena

asidosis dan toksin uremik. Peningkatan insidensi infeksi pada diabetes juga

berkaitan dengan isufisiensi vaskuler, neuropati dan pengendalian kadar

glukosa darah yang buruk. Infeksi saluran nafas yang rekuren berkaitan

dengan penyakit paru obstruksi menahun sebagai akibat dari berubahnya

fungsi inspirasi dan ekspirasi dan tidak efektifnya pembersihan saluran nafas.

6. Penyakit Kanker

Imunosekresi turut menyebabkan terjadinya penyakit kanker. Namun,

penyakit kanker sendiri bersifat imunosupresif. Tumor yang besar dapat

melepaskan antigen ke dalam darah, antigen ini akan mengikat antibodi yang

beredar dan mencegah antibodi tersebut agar tidak menyerang sel-sel tumor.

Lebih lanjut, sel-sel tumor dapat memiliki faktor penghambat yang khusus

12
yang menyalut sel-sel tumor dan mencegah pengahancurannya oleh limposit T

killer. Dalam stadium awal pertumbuhan tumor, tubuh tidak mampu

mengenali antigen tumor sebagai unsure yang asing dan selanjutnya tidak

mampu memulai distruksi sel-sel yang maligna tersebut.kanker darah seperti

leukemia dan limpoma berkaitan dengan berubahnya produksi serta fungsi sel

darah putih dan limposit.

7. Obat-obatan

Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan perubahan yang dikehendaki

maupun yang tidak dikehendaki pada fungsi sistem imun. Ada empat

klasifikasi obat utama yang memiliki potensi untuk menyebabkan

imunosupresi: antibiotic, kortikostreoid, obat-obat anti-inflamasi nonsteroid

(NSAID Nonsteroidal anti inflamatori drugs) dan preparat sitotoksik.

Penggunaan preparat ini bagi keperluan terapeutik memerlukan upaya

untuk mencari kesinambungan yang sangat tipis antara manfaat terapi dan

supresi sistem pertahanan tubuh resipien yang berbahaya.

8. Radiasi

Terapi radiasi dapat digunakan dalam pengobatan penyakit kanker

atau pencegahan rejeksi allograft. Radiasi akan menghancurkan limfosit dan

menurunkan populasi sel yang diperlukan untuk menggantikannya. Ukuran

atau luas daerah yang akan disinari menentukan taraf imunosupresi. Radiasi

seluruh tubuh dan dapat mengakibatkan imunosupresi total pada orang yang

menerimannya.

9. Genetik

13
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas

genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder

baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu.

Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi

terhadap antigen lain tinggi sehingga mungkin ditemukan keberhasilan

vaksinasi yang tidak 100%. Faktor genetik dalam respons imun dapat

berperan melalui gen yang berada pada kompleks MHC dengan non MHC.

14
g) Manifestasi Klinis

Tanda :

1) Sebagian besar bayi yang sehat mengalami infeksi saluran pernafasan

sebanyak 6 kali atau lebih dalam 1 tahun, terutama jika terlular oleh anak

lain. Sebaliknya, bayi dengan gangguan sistem imun, biasanya menderita

infeksi bakteri berat yang menetap, berulang atau menyebabkan

komplikasi. Misalnya infeksi sinus, infeksi telinga menahun dan bronkitis

kronis yang biasanya terjadi setelah demam dan sakit tenggorokan.

Bronkitis bisa berkembang menjadi pneumonia.

2) Kulit dan selaput lendir yang melapisi mulut, mata dan alat kelamin sangat

peka terhadap infeksi.

3) Thrush merupakan suatu infeksi jamur dimulut disertai luka dimulut dan

peradangan gusi, bisa merupakan pertanda awal dari adanya gangguan

sistem kekebalan.

4) Peradangan mata (konjungtivitis) , rambut rontok, eksim yang berat dan

pelebaran kapiler dibawah kulit merupakan pertanda dari penyakit

immunodefisiensi.

5) Infeksi pada saluran pencernaan bisa menyebabkan diare pembentukan gas

yang berlenihan dan penuruna berat badan.

Tanda defisiensi Imun kombinasi yang berat.

15
A. Terdapat pada minggu atau bulan pertama kehidupan.

1) Sering terjadi infeksi virus atau jamur dibandingkan bakteri.


2) Diare kronik umum terjadi sering disebut gastroenteritis.
3) Infeksi respiratorius dan oral thrush umum terjadi.
4) Tejadi Failure to thrive tanpa adanya infeksi.
5) Limfopenia ditemui pada hampir semua bayi.

Gejala klinis penyakit Imunodefisiensi

1. Gejala yang biasanya dijumpai.

Infeksi saluran napas atas berulang infeksi bakteri yang berat.

Penyembuhan inkomplit antar episode infeksi. Atau respons pengobatan

in komplit.

2. Gejala yang sering dijumpai.

1) Gagal tumbuh atau retardasi tumbuh.


2) Jarang ditemukan kelenjar atau tonsil yang membesar.
3) Infeksi oleh mikroorganisme yang tidak lazim.
4) Lesi kulit (Rash, ketombe, pioderma, abses nekrotik/noma, alopesia,
eksim, teleangiektasi, warts yang hebat).
5) Oral thrush yang tidak menyembuh dengan pengobatan.
6) Jati tabuh.
7) Diare dan Mal abrsopsi.
8) Mastoiditis dan otitis persisten.
9) Pneumonia atau bronkitis berulang.
10) Penyakit autoimun.
11) Kelainan helatologis (anemia aplastik, anemia hemolitik, neutropenia,
trombositopenia).
3. Gejala yang jarang dijumpai.

16
1) Berat Badan Turun.
2) Demam.
3) Peridontitis.
4) Limfadenopati.
5) Hepatosplenomegali.
6) Penyakit virus yang berat.
7) Artritis atau artralgia.
8) Ensefalitis kronik.
9) Meningitis berulang.
10) Pioderma gangrenosa.
11) Kolangitis sklerosa.
12) Hepatitis kronik (virus atau autoimun).
13) Reaksi simpang terhadap vaksinasi.
14) Bronkiektasis.
15) Infeksi saluran kemih.
16) Lepas/ puput tali pusat terlambat.
17) Stomatitis kronik.
18) Granuloma.
19) Keganasan limfoid.

B. Tujuan Umum

Untuk menggambarkan asuhan keperawatan pada anak dengan masalah

system imun dan AIDS

17
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala

penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang

disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer,

2000:162)

AIDS adalah Runtuhnya benteng pertahanan tubuh yaitu system kekebalan alamiah

melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, yaitu dengan hancurnya sel limfosit T

(sel-T). (Tambayong, J:2000)

AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas

seluler yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara keseluruhan

dimana kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan keperawatan canggih

selama perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)

AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler akibat kehilangan kekebalan yang

dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus

tertentu yang bersifat oportunistik. ( FKUI, 1993 : 354)

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan AIDS adalah kumpulan

gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang

18
disebabkan oleh retrovirus (HIV) yang dapat mempermudah terkena berbagai infeksi

seperti bakteri, jamur, parasit dan virus.

B. Etiologi

HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan

memasuki limfosit T helper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan

sel-sel imunologik lain dan orang itu mengalami destruksi sel CD4+ secara bertahap

(Betz dan Sowden, 2002). Infeksi HIV disebabkan oleh masuknya virus yang

bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia

(Pustekkom, 2005).

C. Anatomi Fisiologi

D. Tanda dan Gejala

Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara klinis

dan imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis tidak

tampak sering mendahului gejala-gejala terkait HIV, meskipun penilaian imunologik

bayi beresiko dipersulit oleh beberapa factor unik. Pertama, parameter spesifik usia

untuk hitung limfosit CD4 dan resiko CD4/CD8 memperlihatkan jumlah CD4 absolut

yang lebih tinggi dan kisaran yang lebih lebar pada awal  masa bayi, diikuti

penurunan terhadap pada beberapa tahun pertama. Selain itu, pajanan obat ini

beresiko dan bahkan pajanan terhadap antigen HIV tanpa infeksi dapat

membingungkan fungsi dan jumlah limfosit. Oleh karena itu, hal ini peting untuk

19
merujuk pada standar yang ditentukan usia untuk hitung CD4, dan bila mungkin

menggunakan parameter yang ditegakkan dari observasi bayi tak terinfeksi yang lahir

dari ibu yang terinfeksi.

Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi jarang

diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For Diseasen Control

sebagai bagian definisi mencakup demam, kegagalan berkembang, hepatomegali dan

splenomegali, limfadenopati generalisata (didefinisikan sebagai nodul yang >0,5 cm

terdapat pada 2 atau lebih area tidak bilateral selama >2 bulan), parotitis, dan diare.

Diantara semua anak yang terdiagnosis dengan infeksi HIV, sekitar 90% akan

memunculkan gejala ini, kebergunaannya sebagai tanda awal infeksi dicoba oleh

studi the European Collaborativ pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi. Mereka

menemukan bahwa dua pertiga bayi yang terinfeksi memperlihatkan tanda dan gejala

yang tidak spesifik pada usia 3 bulan, dengan angka yang lebih rendah diantara bayi

yang tidak terinfeksi. Pada penelitian ini, kondisi yang didiskriminasi paling baik

antara bayi terinfeksi dan tidak terinfeksi adalah kandidiasis kronik, parotitis,

limfadenopati persistem, hepatosplenomegali. Otitis media, tinitis, deman yang tidak

jelas, dan diare kronik secara tidak nyata paling sering pada bayi yang terinfeksi

daripada bayi yang tidak terinfeksi.

E. Patofisiologi

HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,

yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit

20
penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga

meperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit.

Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.

HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,

yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit

penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga

memperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit.

Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti,

meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis

melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen; penghancuran sel

yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan kematian atau

disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar getah bening.

HIV dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak

seperti infeksi pada limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang

terinfeksi dapat berperang sebagai reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi,

dan dapat membawa virus ke organ, terutama otak, dan menetap di otak. Percobaan

hibridisasi memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel kromafin mukosa usus,

epitel glomerular dan tubular dan astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus yang

paling konsisten adalah dari otak, hati, dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan

banyak organ, meskipun sering sulit untuk mengetahui apakah kerusakan terutama

disebabkan oleh infeksi virus local atau komplikasi infeksi lain atau autoimun.

21
Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi akut, sering

simtomatik, disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode penahanan imun pada

replikasi viral, selama individu biasanya bebas gejala, dan priode akhir gangguan

imun sitomatik progresif, dengan peningkatan replikasi viral. Selama fase asitomatik

kedua-bertahap dan dan progresif, kelainan fungsi imun tampak pada saat tes, dan

beban viral lambat dan biasanya stabil. Fase akhir, dengan gangguan imun

simtomatik, gangguan fungsi dan organ, dan keganasan terkait HIV, dihubungkan

dengan peningkatan replikasi viral dan sering dengan perubahan pada jenis vital,

pengurangan limfosit CD4 yang berlebihan dan infeksi aportunistik.

Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun “

priode inkubasi “  atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum

lebih singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama

fase ini, gangguan regulasi imun sering tampak pada saat tes, terutama berkenaan

dengan fungsi sel B; hipergameglobulinemia dengan produksi antibody

nonfungsional lebih universal diantara anak-anak yang terinfeksi HIV dari pada

dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan. Ketidak mampuan untuk

berespon terhadap antigen baru ini dengan produksi imunoglobulin secara klinis

mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen sebelumnya, berperang pada infeksi dan

keparahan infeksi bakteri yang lebih berat pada infeksi HIV pediatrik. Deplesi

limfosit CD4 sering merupakan temuan lanjutan, dan mungkin tidak berkorelasi

dengan status simtomatik. Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV sering memiliki

jumlah limfosit yang normal, dan 15% pasien dengan AIDS periatrik mungkin

22
memiliki resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang

untuk beberapa alasan menderita imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan

kerentanan perkembangan system saraf pusat menerangkan frekuensi relatif

ensefalopati yang terjadi pada infeksi HIV anak.

Kelas P-1: infeksi asimtomatik


Anak yang terbukti terinfeksi, tetapi tampa gejala P-2; mungkin memiliki fungsi
imun normal (P-1A) atau abnormal (P-1B)
Kelas P-2: infeksi sitomatik
P-2A: gambaran demam nonspesifik (>2 lebih dari 2 bulan) gagal berkembang,  
limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, parotitis, atau diare rekuren atau persistem
yang tidak spesifik.
P-2B: penyakit neurologi yang progresif
P-2C: Pneumonitis interstisial limfoid
P-2D: infeksi oportunistik menjelaskan AIDS, infeksi bakteri rekuren,
kandidiasis oral persisten, stomatitis herpes rekuren, atau zoster multidermatomal.
P-2E: kanker sekunder, termasuk limfoma non-Hodgkin sel-B atau limforma
otak
P-2F: penyakit end-organ HIV lain (hepatitis, karditis, nefropati, gangguan hematologi)

Tanda pertama infeksi tidak nyata. Pengalaman dari beberapa pusat

penelitian menunjukkan bahwa sekitar 20% bayi yang terinfeksi secara cepat akan

23
berkembang menjadi gangguan imun dan AIDS. Banyak dari bayi ini akan

menampakkan gejala aneumonia Pneumocystis carinii (PCP) pada usia 3 sampai 6

bulan, atau menderita infeksi bakteri serius lain. Pada beberapa bayi, jumlah CD4

mungkin normal saat terjadinya PCP.

Dalam 2 tahun setelah lahir, kebanyakan bayi akan mengalami beberapa

derajat kegagalan berkembang, demam rekuren atau kronik, keterlambatan

perkembangan, adenopati persisten, atau hepatosplemegali. Semua ini bukan keadaan

kecacatan, dan konsisten dengan kelangsungan hidup yang lama. Melebihi ulang

tahun pertama, sekitar 8% bayi ini akan berkembang menjadi AIDS terbatas CDC per

tahun. Penunjukan “AIDS” merupakan kebergunaan yang sangat terbatas pada

prognosis atau pada nosologi deskriptif infeksi HIV, tetapi penyakit indicator AIDS

berperang sebagai tanda tingginya perkembangan penyakit dan sebagai catalog

kondisi yang sering terlihat dengan perkembangan penyakit. Masing-masing dibahas

secara singkat dibawah:

Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP). PCP merupakan penyakit indicator

AIDS paling sering, yang terjadi pada sekitar sepertiga anak dan bayi yang terinfeksi.

Usia rata untuk munculnya penyakit adalah sekitar usia 9 bulan, meskipun puncaknya

sampai usia 3 sampai 6 bulan diantara bayi-bayi yang berkembang sangat cepat.

Tidak seperti reaksi PCP pada orang dewasa, infeksi ini biasanya merupakan infeksi

primer pada anak yang terinfeksi HIV, bergejala subkutan atau mendadak dengan

demam, batuk, takipnea, dan ronki. PCP sulit dibedakan dengan infeksi paru lain atau

usia ini, dan karena trimetoprim-sulfametoksasol dan kortikosteroid intravena

24
diberikan pada awal perjalanan penyakit menyebabkan perbaikan yang signifikan,

lavese bronkoalveolar diagnostic harus dipikirkan secara serius pada bayi beresiko

dengan gambaran klinis konsisten. PCP memberikan prognosis yang tidak baik pada

awal penelitian dengan kelangsungan hidup media 1 bulan setelah diagnosis. Saat ini

dikenali bahwa penyakit yang lebih ringan dapat terjadi dan konsisten dengan

kelangsungan hidup yang lama. Profilaksin PCP dengan trimetoprim-sulfametoksasol

oral efektif, dan merupakan indikasi untuk bayi dengan kehilangan limfosit CD4 yang

signifikan, sebelum PCP, dan pada beberapa bayi muda dengan perkembangan gejala

terkait HIV yang cepat.

Pneumolitis Interstisial Limfoid (LIP). Infiltrasi paru intersisial kronik telah

ditentukan pada orang dewasa yang terinfeksi HIV dalam jumlah kecil, tetapi terjadi

pada sekitar 20% anak yang terinfeksi HIV. Dianggap berhubungan dengan infeksi

virus Epstein-Barr. Kondisi ini ditandai dengan perjalanan kronik eksa-serbasi

intermiten (sering selama infeks respirasi yang terjadi di antara infeksi atau selama

infeksi. Infiltra dada kronik yang terlihat pada sinar-X sering menunjukkan diagnosis,

tetapi hanya biopsy paru terbuka yang dapat dipercaya untuk diagnosis definitive.

Hipoksia jaran parah sampai terbawa selama beberapa tahun, dan beberapa perbaikan

pada kostikosteroid. LIP sebagai gejala yang timbul pada infeksi HIV dapat disertai

prognosis yang lebih baik, dan sering terlihat pada kelompok gejala dengan

hipergamaglobulinemia yang nyata dan parotitis.

Infeksi Bakteri Rekuren. Untuk criteria AIDS pediatric CDC, infeksi bakteri

rekuren adalah dua atau lebih episode sepsis, meningitis, pneumonia, abses internal,

25
atau infeksi tulang dan sendi; ini semua terlihat pada 15% anak-anak dengan AIDS

pediatric. Infeksi bakteri yang lebih sedikit, seperti infeksi sinus rekuren atau kronik,

otitis media, dan pioderma masih sering terjadi. Streptococcus pneumonia merupakan

isolate darah yang paling sering pada anak yang terinfeksi HIV, meskipun

stafilokokal gram-negatif, dan bahkan bakteremia pseudomonal terjadi berlebihan.

Penanganan episode demam pada anak yang terinfeksi HIV sama dengan penanganan

anak dengan kondisi yang menganggu imunitas lain. Gangguan kemampuan untuk

menjaga respons antibody yang efektif dan kurangnya pajanan membuat anak yang

terinfeksi HIV rentang terhadap penyakit bakteri yang lebih setius. Profilaksis dengan

immunoglobulin intravena dapat mengurangi frekuensi dan keparahan infeksi bakteri

yang serius.

Penyakit Neurologi Progresif. Sampai 60% anak yang terinfeksi HIV dapat

munculkan tanda infeksi system saraf pusat. Pada sekitar seperempatnya, infeksi ini

dalam bentuk ensefalopati static yang biasanya bermanifestasi pada tahun pertaman

dengan keterlambatan perkembangan. Pada sekitar sepertiganyan, terjadi ensefalopati

progresif, dengan kehilangan kejadian yang penting sebelumnya dan deficit motorik

dan kognitif yang berat. Pencitraan saraf dapat memperlihatkan atrofi serebral,

kelainan subtansi alba, atau klasifikasi ganglion basal, atau kesemuanya, meskipun

keparahan abnormalitas pencitraan sering tidak berkorelasi dengan gambaran klinis.

Zidovudin IV kontinu ditemukan menyebabkan perbaikan yang dramatic pada

beberapa anak dengan deficit perkembangan saraf; kostikosteroid juga

menguntungkan pada laporan terisolasi.

26
Wasting Syndrome. Kegagalan kronik untuk tumbuh pada infeksi HIV lanjut

terjadi pada sekitar 10% bayi dan anak dengan AIDS dan hamper selalu

multifaktorial. Deficit system saraf pusat dari latergi sampai kelemahan dalam

mengunyah; abnormalitas neuroendokrin; malabsorpsi dan diare akibat infeksi HIV

primer, infeksi usus sekunder, atau terapi; dan katabolisme yang diinduksi infeksi

sering berperang pada masalah yang menjengkelkan ini.

Infeksi Oportunistik. Lebih dari satu lusin infeksi oportunistik spesifik

memenuhi AIDS, meskipun setelah PCP, paling sering pada AIDS pediatric adalah

esofagistis kandida, terjadi pada sekitar 10%, dan infeksi kompleks, Mycobakterium

avium. Diantara virus-virus, infeksi CMV diseminata dan lama pada saluran cerna,

dan infeksi virus varisela zoster apitikal, rekuren dan ekstensif sering terjadi.

Walaupun daftar panjang pathogen yang menyebabkan penyakit berat dan lama tidak

lazim pada penjamu ini, virus respirasi yang lazim, mencakup virus sinsitial

respiratorius, jarang menyebabkan penyakit yang berkomplikasi.

Terkenanya organic lain. Terkenanya hepar padi infeksi HIV pediatric sering

mengambil bentuk organ yang membesar sedang sampai berat, transaminitis

berfluktuasi. Yang jarang adalah hepatitis kolestatik berat yang terjadi pada bayi yang

terinfeksi pada tahun pertama, dengan prognosis buruk. Kelainan hati dapat

disebabkan oleh infeksi yang bersama dengan CMV, HCV, atau HBV, oleh infeksi

HIV itu sendiri, atau banyak agen infeksius lain. Penyakit ginjal yang sering terjadi,

paling sering bermanifestasi protenuria. Perubahan mesangial dan glomerulokslerosis

fokal telah diindentifikasi sebagai patologi yang paling sering terjadi pada anak

27
dengan AIDS. Kelainan jantung dapat diperhatikan pada separuh anak semua usia

penyakit HIV, meskipun insiden kardiomiopati simtomatik hanya 12 sampai 20%;

efusi pericardial dan gangguan fungsi ventrikel merupakan kelainan ekokardiografi

yang paling sering ditemukan. Meskipun frekuensi penyakit paru kronik pada pasien

ini, terkenanya vertikel kiri beberapa kali lebih sering daripada yang kanan. Tekanan

HIV langsung, autoimunitas, malnutrisi dan infeksi bersama dengan virus miotropik

semuanya telah dihipotesis sebagai etiologi. Fenomena autoimun mencakup anemia

hemolitik positif-coombs dan trombositopenia. Sarcoma Kaposi dan kanker sekunder

lain jarang pada anak yang terinfeksi HIV.

F. Penatalaksanaan

1)      Perawatan

Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:

  Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan mencegah

kemungkinan terjadi infeksi

  Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada

  Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan

dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT

dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV

  Mengatasi dampak psikososial

28
  Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan

prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis

  Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu

memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)

G. Komplikasi

1.      Oral Lesi

Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,

peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,

dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh

bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati, kandidiasis

oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan gejala yang

menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik sternum

(nyeri retrosternal).

2.      Neurologik

•   ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS

(ADC; AIDS dementia complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya

ingat, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan

psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif

global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan

29
yang kosong, hiperefleksi paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor,

inkontinensia, dan kematian.

•   Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala,

malaise, kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-

kejang. diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal.

3.      Gastrointestinal

Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui

untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10% dari

BB awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan

demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat

menjelaskan gejala ini.

  Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma,

dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,

malabsorbsi, dan dehidrasi.

  Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,

alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam

atritis.

  Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal

yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal,

gatal-gatal dan diare.

4.      Respirasi

30
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea),

batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi

infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI),

cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides.

5.      Dermatologik

Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena

xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa

terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan

herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak

integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh

pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika akan disertai ruam

yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah.penderita

AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit

yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema dan

psoriasis.

6.      Sensorik

  Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis

sitomegalovirus berefek kebutaan

  Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan

pendengaran dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis,

sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.

31
H. Pencegahan

Pencegahan infeksi HIV primer pada semua golongan usia kemungkinan akan

memengaruhi epidemil global lebih dari terapi apa pun dimasa depan yang dapat

diketahui. Kesalahan konsepsi mengenai factor resiko untuk infeksi HIV adalah target

esensial untuk usaha mengurangi perilaku resiko, terutama diantara remaja. Untuk

dokter spesialis anak, kemampuan member konsultasi pada pasien dan keluarga

secara efektif mengenai praktik seksual dan penggunaan obat adalah aliran utama

usaha pencegahan ini. Bahkan pendidikan dan latihan tersedia dari The American

Medical Assosiation dan The American Academy of Pediatrics yang dapat membantu

dokter pediatric memperoleh kenyamanan dan kompetensi yang lebih besar pada

peran ini.

Pencegahan infeksi HIV pada bayi dan anak harus dimulai dengan tepat dengan

pencegahan infeksi pada perempuang hamil. Langkah kedua harus menekan pada uji

serologi HIV bagi semua perempuan hamil. Rekomendasi ini penting karena uji coba

pengobatan mutakhir menunjukkan bahwa protocol pengobatan bayi menggunakan

obat yang sama selama beberapa minggu secara signifikan mengurangi angka

transmisi dari ibu ke bayi.

Pemberian zidovudin terhadap wanita hamil yang terinfeksi HIV-1

mengurangi penularan HIV-1 terhadap bayi secara dermatis. Penggunaan zidovudin

(100 mg lima kali/24 jam) pada wanita HIV-1 dalam 14 minggu kehamilan sampai

kelahiran dan persalinan dan selama 6 minggu pada neonatus (180 mg/m2 secara oral

setiap jam) mengurangi penularan pada 26% resipien palasebo sampai 8% pada

resipien zidovudin, suatu perbedaan yang sangat bermakna. Pelayanan kesehatan A.S.

32
telah menghasilkan pedoman untuk penggunaan zidovudin pada wanita hamil HIV-1

positif untuk mencegah penularan HIV-1 perinatal. Wanita yang HIV-1 positif, hamil

dengan masa kehamilan 14-34 minggu, mempunyai anak limfosid CD4 +  200/mm

atau lebih besar, dan sekarang tidak berada pada terapi atteretrovirus dianjurkan

menggunakan zidovudin. Zidovudin intravena (dosis beban 1 jam 2 mg/kg/jam

diikuti dengan infus terus menerus 1 mg/kg/jam sampai persalinan) dianjurkan

selama proses kelahiran. Pada semua keadaan dimana ibu mendapat zidovudin untuk

mencegah penularan HIV-1, bayi harus mendapat sirup zidovudin (2 mg/kg setiap 6

jam selama usia 6 minggu pertama yang mulai dan8 jam sesudah lahir). Jika ibu HIV-

1 positif dan tidak mendapatkan zidovudin, zidovudin harus dimulai pada bayi baru

lahir sesegera mungkin sesudah lahir, tidak ada bukti yang mendukung kemajuan

obat dalam mencegah infeksi HIV-1 bayi baru lahir sesudah 24 jam. Ibu dan anak

diobati dengan zidovudin harus diamati dengan ketak untuk kejadian-kejadian yang

merugikan dan didaftar pada PPP untuk menilai kemungkinan kejadian yang

merugikan jangka lama. Saat ini, hanya anemia ringan reversible yang telah

ditemukan pada bayi. Untuk melaksanakan pendekatan ini secara penuh, semua

wanita harus mendapatkan prenatal yang tepat, dan wanita hamil harus diuji untuk

positivitas HIV-1.

Penularan seksual. Pencegahan penularan seksual mencakup penghindaran pertukaran

cairan-cairan tubuh. Kondom merupakan bagian integral program yang mengurangi

penyakit yang ditularkan secara seksual. Seks tanpa perlindungan dengan mitra yang

lebih tua atau dengan banyak mitra adalah biasa pada remaja yang terinfeksi HIV-1.

I. Pemeriksaan Fisik

33
J. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV.

Tes ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan

latex agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak,

bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah

dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain reaction)

atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes antibodi (biasanya

digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.

1.      Tes untuk diagnosa infeksi HIV :

  ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)

  Western blot (positif)

  P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)

  Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut

mendeteksi enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang

meningkat)

2.      Tes untuk deteksi gangguan system imun.

  LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)

  CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi

terhadap antigen)

34
  Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)

  Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya

penyakit).

  Kadar immunoglobulin (meningkat)

K. Proses Asuhan Keperawatan Anak

35
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Saran

36
DAFTAR PUSTAKA

37

Anda mungkin juga menyukai