Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk membendung laju transmisi serta
mencegah progresivitas HIV ke AIDS, tetapi upaya tersebut rupanya belum membuahkan
hasil seperti yang diharapkan.
Berbagai faktor ikut berperan dalam transmisi infeksi HIV dan kematian akibat
AIDS, salah satu faktor diantaranya adalah penatalaksanaan yang masih belum optimal.
Di negara-nrgara maju seperti amerika, australia, dan eropa, sejak pemakaian highly
active antiretroviral therapies (HAART) tahun 1998 terbukti mampu menurunkan viremia
hingga 5-50 kopi/ml. Di indonesia, kini terdapat harapan baru bagi penderita sehubungan
dengan hadirnya antiretroviral therapy (ART) yang diharapkan dapat menekan viremia
hingga kurang dari 50 kopi/ml. Departemen Kesehatan Indonesia dengan dukungan
global fund (GF) dan APBN telah mengambil langkah strategis dengan menunjuk
beberapa rumah sakit untuk melakukan pengobatan distribusi antiretrovira (ARV). Salah
satu rumah sakit yang mendapatkan lesempatan dan kepercayaan adalah RSU
Dr.Soetomo Surabaya. Dengan semakin dekat dan mudahnya ARV dijangkau ODHA,
maka langkah mantap dari pemerintah tersebut merupakan payung peneduh bagi
penderita dan keluarganya. Bukan itu saja sekaligus merupakan langka taktis bagi para
dokter untuk dapat memberikan pengobatan bagiODHA.
Dalam penatalaksaannya infeksi HIV & AIDS, penggunaan ARV penting untuk
menekankan tingkat kepadatan HIV. Antimikroba lain juga penting sebagai profilaksis
primer maupun sekunder terhadap infeksi oportunistik. Meskipun demikian hal tersebut
belum cukup mampu mengatasi laju progresivitas infeksi HIV. Pengaruh lingkungan
internal dalam tubuh ODHA dan eksternal diluar tubuh ODHA perlu mendapatkan
perhatian serius. Semua upaya tersebut diharapkan dapat membendung laju transmisi
infeksi HIV, serta menghambat progresivitas HIV ke AIDS. Dengan demikian anggka
kematian akibat AIDS di indonesia dapat ditekankan serendah mungkin. Tanpa upaya
bersama seperti di atas, maka jumlah penduduk suatu negara akan semakin menurun

1
bukan karena keberhasilan program keluarga berencana semata tetapi lebih disebabkan
oleh kematioan akibat AIDS.
B. Rumusan Masalah\
1. Bagaimana profilaksis HIV AIDS pada dewasa?
2. Bagaimana penatalaksanaan HIV AIDS pada dewasa?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui profilaksis HIV AIDS pada dewasa,
2. Untuk mengetahui penatalaksanaan HIV AIDS pada dewasa.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. MEKANISME TERJADI INFEKSI SEKUNDER

Transmisi HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui 3 cara, yaitu :

1. Vertikal

2. Transeksual
3. Horisontal

Berbagai sel host dapat menjadi target infeksi HIV, terutama sel sel mampu
mengekspresikan reseptor CD4. Berbagai sel tubuh yang mampu
mengekspresikan CD4 dan rentan terhadap HIV tersebar pada berbagai bagian
tubuh.

Pada sistem saraf :

a. Astrosit
b. Mikroglia
c. Oligodendroglia
d. Endoteliumkapiler

Dalam sirkulasi darah perifer :

a. Limfosit
b. Monosit-makrofag

Pada kulit / mukosa :

a. Langerhan’s
b. Dendritik

Epitel saluran cerna memang tidal mengekspresikan reseptor CD4 tetapi sering
merupakan target HIV melalui mekanisme tersendiri, yaitu melalui pengaruh langsung
gp41.

3
Pada awal kejadian infeksi HIV pada sel target, terjadi ikatan gp120 virus dengan
reseptor CD4 pada permukaan sel target. Lebih lanjut gp120 virion berinteraksi dengan
reseptor khemokin yang bertindak sebagai koreseptor spesifik CXCR4 dan CCR5.
Spesifik karena masing masing sel target mempunyai ko-reseptor khusus, misalnya HIV
T-cell-tropic stains meningkat pada ko-reseptor CCR5. Selain sebagai ko-reseptor,
ternyata CCR5 dan CXCR4 juga menentukan nasib sel target. Kinerja CCR5 maupun
CXCR4 dipandu gen pemegang kunci yang menentukan rentan atau justru tahan terhadap
infeksi HIV. Mutasi gen pengkode CCR5 dapat menimbukan dampak protektor atau
resisten terhadap infeksi HIV. Individu yang homozigot cenderung resisten terhadap
infeksi, sedangkan yang heterozigot cenderungan rentan terinfeksi HIV. Di eropa barat,
frekuensi mutasi terjadi 1% pada homozigot, dan 10-15% heterozigot.

Peran glikoprotein 41 (gp41) pada envelope virus adalah memfasilitasi terjadinya


peleburan atau fusi membran virus deangan membran plasma sel host. Berikut HIV
masuk dan mengalami proses internalisasi ditandai dengan masuknya inti nekleokapsid
ke dalam sitoplasma. Dengan gp41 transmembran (transmembrane glycoprotein 41),
maka permukaan luar dari HIV akan terjadi fusi dengan membran plasma limfosit T-
CD4, sedangkan inti (core) HIV melanjutkan masuk dalam limfosit T sambil membawa
enzim reverse transcriptase. Begitu memasuki sitoplasma limfosit T-CD4 yang
terinfeksi, maka bagian inti HIV yaitu RNA (single stranded RNA) akan berusaha
menyesuaikan dengan konfigurasi double DNA dengan bantuan enzim reverse
transcriptase yang telah dipersiapkan tersebut. Kemudian terjadi penyatuan virion dengan
DNA polimerase dan terbentuklah cDNA atau proviral DNA. Begitu terbentuk proviral
DNA, proses berikutnya adalah upaya masuk ke inti limfosit T dengan bantuan enzim
integrase. Maka terjadinya rangkaian proses integrasi, transkripsi yang dilanjutkan
dengan translasi protein virus, serta replikasi HIV virion. Jumlah HIV virion yang
berlipat ganda kemudian meninggalkan inti. Setelah mengalami modifikasi, saling
melengkapi, kemudian berusaha keluar menembus membran limfosit (budding) dan
virion baru yang terbentuk siap menginvasi limfosit T-CD4 berikutnya. Demikian proses
ini terus berlangsung sehingga jumlah limfosit T-CD4 cenderung terus menurun
jumlahnya hingga berkurang 50% dari nilai normal selama infeksi berlangsung. Hal ini
semakin memperburuk keadaan penderita sehingga terjadi infeksi oportunistik, muncul

4
keganasan, sepsis berat, dan kegagalan fungsi multi organ yang akhirnya mendorong
penderita mendekati pintu gerbang kematiannya.

HIV menginfeksi limfosit T-CD4 dan menyebabkan kematiannya, mengakibatkan supresi


pada cell mediated immunity. Merupakan predisposisi terjadinya bagian infeksi
oportunistik, menginduksi malignansi seperti sarkoma kaposi’s dan limfoma maligna.
Infeksi HIV dan transmisinya melalui transeksual, awal infeksi terjadi karena interaksi
gpl20 virion dengan DC-SIGN yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan
dendritik mukosa traktus urogenital. Dari sel denritik tersebut HIV akan menuju dan
memasuki kelenjar limfe untuk kemudian menyerang limfosit yang lebih 98% berada di
kelenjar limfe dan limpa. Dalam sirkulasi darah tepi, HIV temukan 4-11 hari setelah
paparan.

Jadi pada hakikatnya perjalanan alamiah infeksi HIV berlangsung sebagai berikut :
setelah melalui proses transmisi virus, 2-3 minggu kemudian muncul sindrom retroviral
akut. Duan-tiga minggu berikutnya disusul perbaikan dan serokonversi, beberapa saat
kemudian memasuki fase interaksi kronis asimtomatis. Sekitar 8 tahun ke depan muncul
manifestasi simtomatis AIDS. Bila tanpa intervensi terapi yang optimal maka dalam
waktu 1-3 tahun diperkirakan akan meninggal. Adapun sindrom retroviral akut HIV
menurut bartlett (2002) adalah sebagaimana tersaji pada tabel 1.

Tabel 1. Sindrome retroviral akut HIV

Simtomatis 50-90%
Simtom
Panas 96%
Adenopati 74%
Faringitis non-eksudatif 70%
Rash kulit morbiliform, 70%
makulopapular
Diare 32%
Sakit kepala 30%
Mual/muntah 27%
Kelainan neurologis* 10%
*Sindrom Guillain-Barre, ensefalitis, meningitis aseptik

5
Tabel 2. Korelasi antara jumlah CD4 dengan infeksi sekunder

CD4 Infeksi sekunder Penyulit non infeksi


(sel/mm3)
≥ 500  Sindrom retroviral akut  PGL

 Vaginitis kandidiasis  Sindrom Guillain-Barre

 Miopati

 Meningitis aseptik

200-  Pneumonia bakteriil  Neoplasia intraepitelial


500 servikal

 TB pulmoner  Kanker serviks

 Harpes zoster  Anemia

 Kandidiasis oris  Limfoma hodgkin’s

 ITP

≤ 200  Pneumonia pneumokistik  Wasting


karinii

 Histoplasmosis diseminata  Neuropati perifer

 TB milier, ekstrapulmoner  Demensia

 Kardiomiopati

 Mielopati vaskuler

 Poliradikulopati progresif

≤ 100  Herpes simpleks diseminata

 Toksoplasmosis

 Kriptosporidiosis

 Kandidiasis esofagus

≤ 50  Infeksi CMV diseminata  Limfoma SSP

 Mikrobakterium avium
kompleks diseminata

6
B. MANIFESTASI KLINIS PENDERITA HIV & AIDS
Menurut WHO (2002), manifestasi klinis penderita HIV & AIDS dewasa dibagi menjadi
empat stadium yaitu : I, II, III, dan IV.
Dengan menurunya status imun terutama bila CD4 < 200 sel/mm3, maka berbagai
mikroorganisme seperti bakteri, virus lain, protozoa cenderung tumbuh dan berkembang
biak menimbulkan infeksi sekunder. Bila CD4 semakin turun hingga < 200 sel/mm3,
maka selain ketiga jenis mikroorganisme tersebut juga muncul infeksi jamur. Meskipun
demikian infeksi jamur juga bisa terjadi bersamaan denga infeksi akibat bakteri, virus dan
protozoa.
Di UPIPI (2005) infeksi sekunder yang sering terjadi asalah tuberkulosis paru,
pneumonia pneumokistik karinii, diare infeksius, hepatitis B & C, toksoplasmosis, infeksi
jamur ( kuku, mulut, esofagus, trakhea, dan sistemik), miningitis, ensefalitis, dermatitis
HIV, sinusitis bakterial.
C. PEMERIKSAAN YANG DILAKUKAN SEBELUM TERAPI
1. Anamnesis
Riwayat medis yang perlu ditanyakan :
a) Kapan dan dimana diagnosis terinfeksi HIV ditegakkan
b) Siapa yang diperkirakan sebagai sumber penularan
c) Keluhan dan gejala yang dialami akhir – akhir ini
d) Riwayat medis dimasa lalu, keluhan, diagnosis dan terapi yang telah diberikan
e) Keluhan maupun terapi TB sebelumnya
f) Riwayat kemungkinan kontak dengan TB
g) Riwayat kemungkinan penyakit menular seksual
h) Riwayat kehamilan
i) Riwayat terapi ARV sebelumnya
j) Riwayat kontak seksual dan kebiasaan sosial
2. Pemeriksaan fisik
a) Pengukuran berat badan
b) Pemeriksaan kulit : harpes zoster, sarkoma kaposi’s, dermatitis HIV
c) Mukosa orofaring : kandidiasis, sarkoma kaposis’s

7
d) Pemeriksaan jantung dan paru
e) Pemeriksaan abdomen, terutama kemungkinan adanya pembesaran hati dan limpa
f) Pemeriksaan neurologis dan muskuloskeletal : status mental, defisit motorik, dan
sensorik
g) Pemeriksaan fundus optik: retinitis, papiledem
h) Pemeriksaan traktus genitourinarius
3. Pemeriksaan labolatorium
Pemeriksaan esensial :
a) Serologi HIV
b) Hitung limfosit CD4+, hitung limfosit total
c) Pemeriksaan darah lengkap dan profil kimia klinis
d) Tes kehamilan atas dugaan
e) HIV-RNA viral load
Pemeriksaan tambahan atas indikasi :
a. Foto Thoraks
b. Urine untuk pemeriksaan rutin dan mikroskopis
c. Pemeriksaan serologis hepatitis virus B dan C
d. Toksoplasmosis, infeksi virus sitomegalo
e. Hitoplasmosis, kandidiasis, kriptokokus
f. Dan lain-lain
D. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Umum
Istirahat cukup guna meminimalkan kondisi hipermetabolik dan hiperkatabolik.
Dukungan nutrisi berbasis mikro dan makronutrien harus optimal untuk menghindari
munculnya sindrom wasting. Konseling yang memadai merupakan formulasi
dukungan psikobiologis dan psikososial terhadap penderita HIV & AIDS.
2. Penatalaksanaan Khusus
Karena kausanya virus, maka pemberian antiretroviral therapy (ART). Perlu
diberikan secara kombinasi. Terhadap infeksi sekunder dan malignansi, tetapi
disesuaikan dengan manifestasinya.
3. Prinsip Dasar Penatalaksanaan Penderita HIV & AIDS

8
a. Menurunkan angka kesakitan akibat HIV, dan angka kematian akibat AIDS
b. Memperbaiki mutu hidup dan meningkatkan kualitas hidup penderita
c. Mempertahankan serta memulihkan status imun penderita
d. Menekan serta menghambat replikasi HIV semaksimal mungkin dalam waktu
yang lama
4. Terapi Antiretroviral
Rekomendasi terapi antiretroviral
Pemerian ART tidak serta merta segera diberikan begitu saja pada penderita yang
dicurigai, tetapi perlu melalui langkah langkah yang arif dan bijaksana, serta
mempertimbangkan berbagai faktor : kemampuan, kesanggupan pengobatan jangka
panjang, resistensi obat, efek samping, jangkauan memperoleh obat, serta saat yang
tepat untuk memulai terapi. Untuk itu perlu tanya adanya dokter yang bertanggung
jawab, pemahaman, kesepakatan dan penandatangannan surat persetujuan setelah
penjelasan mengenai terapi ARV.
Pada tahun tahun terakhir ini penatalaksaan klinis penyakit HIV di indonesia
mengalami perubahan yanga dramatis dengan sediaan obat antiretroviral (ARV). Obat
ARV bekerja langsung menghambat replikasi HIV, bila diberikan secara kombinasi
akan dapat mengurangi jumlah virus dalam darah sehingga menjadi sangat rendah
atau di bawah tingkat yang dapat terdeteksi dalam jangka waktu yang lama.

Rekomendasi memulai terapi antiretroviral menurut


WHO (2004)
1. Bila pemeriksaan CD4 dapat dilakukan :
a. Klinis stadium IV
b. Klinis stadium III dengan CD4 <350/mm3
c. Klinis stadium I-II dengan CD4 <200/mm3
2. Bila pemeriksaan CD4 tidak dapat dilakukan :
a. Klinis stadium IV
b. Klinis stadium III (HIV wasting,diare kronis, demam
tidak jelas sebabnya, TB paru aktif, infeksi bakterial
berulang, infeksi jamur berulang)
c. Stadium II dengan limfosit total <1200/mm3

9
Kategori Klinis CD4 dan HIV RNA Rekomendasi
Simptomatis Semua Terapi ARV
(AIDS)
Asimptomatis CD4 <200 sel/mm3 Terapi ARV
Asimptomatis CD4 200-350 sel/mm3 Beban virus <20.000 terapi
ditunda, bila beban virus
>20.000 c/Ml terapi
Asimptomatis CD4 >350 sel/mm3 Bila beban virus >60.000
c/mL terapi ART, bila
<60.000 ART ditunda

Dibawah ini ada 12 jenis obat antiretroviral yang direkomendasikan WHO (2002)

Nucleosida Reverse Transcriptase Inhibitors (NsRTI)


Abacavir (ABC) Tablet 300mg atau sirup 100mg/5ml
Didanosin (ddi) Tablet 5mg, 100mg, 150mg atau 200mg
Lamivudin (3TC) Tablet 150mg, sirup 50mg/5ml
Stavudin (d4T) Kapsul 15mg, 20mg, 30mg, 40mg, sirup 5mg/ml
Zidovudin (ZDV atau AZT) Kapsul 100mg, 250mg, 300mg
Non Nukleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)
Efavirenz (EFV atau EFZ) Kapsul 50mg, 100mg, 200mg
Nevirapine (NVP) Tablet 200mg atau sirup 50mg/5mg
Protease Inhibitors
Indinavir (IDV) Kapsul 100mg, 200mg, 300mg, 400mg
Ritonavir (RTV, r) Kapsul 100mg, sirup 400 mg/5ml
Lopinavir + ritonavir (LPV/r) Kapsul133,3mg+33mg,sirup400mg/5ml+100mg/5ml
Nelfinavir (NFV) Tablet 50mg, powder 50mg/g
Saquinavir (SQV) Kapsul 200mg

Infeksi HIV Asimptomatis

Bila individu mengidap HIV tetapi asimptomastis atau stadium I, maka rekomendasi
ART menurut WHO adalah bila hitung CD4 mendekati atau <200 sel/mm 3. Untuk
penderita asimptomatis dengan CD4 >350/mm3 sebaiknya pemberian ART ditunda.

10
Infeksi HIV Simptomatis

Untuk penderita AIDS (stadium penyakit III dan IV) WHO menganjurkan segera
diberikan ART, dengan mengabaikan jumlah CD4 atau jumlah limfosit total.
Rekomendasi terapi juga diberikan untuk penderita stadium II dan III bila jumlah
CD4 <200 sel/mm3. Bila pemeriksaan CD4 tidak dapat dilakukan maka pemberian
terapi bagi penderita yang simptomatis (stadium penyakit II dan III) dengan limfosit
total <1200/mm3

Dosis, Cara Pemberian dan Efek Samping

Dosis dan efek samping pemberian ART berdasarkan golongan obat adalah
sebagaimana disajikan pada tabel berikut ini :

1. Nukleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NsRTI)

Nama Dosis Efek Samping


Generik
Abacavir 300mg 3 kali sehari, atau a. Reaksi hipersensitivitas
(ABC) dalam bentuk kombinasi (dapat fatal)
dengan ZDV dan 3TC b. Demam, rash, kelemahan
(Trizivir) 1 tablet, 2 kali sehari umum
di dalam Trizivir, terkandung c. Mual, muntah, nafsu makan
300mg ZDV, 150mg 3TC, dan menurun, gangguan saluran
300mg ABC pernapasan (nyeri
tenggorok, batuk)
d. Asidosis laktat dengan
hepatic steatosis
Didanosine a. >60kg: 200mg 2 kali sehari, Pankreatitis, neuropati perifer,
(ddi) atau 400mg 1 kali sehari mual, diare, asidosis laktat
b. <60 kg: 125mg 2 kali sehari dengan hepatic steatosis
atau 250mg 1 kali sehari
Lamivudin 150mg 2 kali sehari atau Toksisitas minimal, asidosis
(3TC) <50kg: 2 mg/kg BB bid laktat dengan hepatic steatosis
Stavudine a. >60kg : 40mg 2 kali sehari Pankreatitis, neuropati perifer,

11
(d4T) b. <60kg : 30mg 2 kali sehari asidosis laktat dengan hepatic
steatosis, lipoartrophy
Zidovudine a. 300mg 2 kali sehari atau Anemia, neutropeni,
(ZDV, AZT) dalam bentuk kombinasi intoleransi gastrointestinal,
ZDV/3TC sakit kepala, insomnia,
b. 300mg/150mg 2 kali sehari miopati, asidosis laktat dengan
hepatic steatosis

2. Non-Nukleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)

Nama Generik Dosis Efek Samping


Nevirapine (NVP) 200mg 1 kali sehari untuk Rash kulit, sindrom Stevens-
14 hari yang diikuti oleh Johnson, peningkatan kadar
200mg 2 kali sehari serum transaminase,
hepatitis
Efavirenz (EFV) 600mg 1 kali sehari a. Keluhan mengenai CNS :
diberikan malam hari dizziness, somnolen,
insomnia, confusion,
halusinasi, agitasi
b. Peningkatan kadar serum
transaminase, rash kulit

3. Protease Inhibitors (PI)

Nama Generik Dosis


Nelfinavir (NFV) 1250mg 2 kali sehari
Indinavir/ritonavir (IDV/r) 800mg/100mg 2 kali sehari
Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400mg/100mg 2 kali sehari (533mg/133mg
2 kali sehari bila dikombinasikan dengan
EFZ atau NVP)
Saquinavir/ritonavir (SQV/r) 1000/100mg 2 kali sehari

E. PEMILIHAN REJIMEN TERAPI


Pemilihan regimen terapi tergantung berbagai factor :

12
Biaya, kemudahan, kesanggupan penggunaan jangka panjang, potensi regimen, toleransi
dan efek samping, interaksi obat. Terapi ARV tunggal atau kombinasi dua obat tidak
direkomendasikankarena potensial terjadi resistensi obat. Monoterapi dengan zidovudin
direkomendasikan untuk profilaksis transmisi HIV dari ibu ke anak. Berikut ini adalah
beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pemberian ART :
1. Tes HIV secara sukarela disertai konseling (VCT) yang mudah dijangkau untuk
mendiagnosis HIV secara dini
2. Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian tentang
ART, pentingnya kepatuhan pada terapi, efek samping yang mungkin terjadi, dan
lain-lain.
3. Konseling lanjutan untuk memberikan dukungan psikososial dan mendorong
kepatuhan serta untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul akibat ART.
4. Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi hati,
tes fungsi ginjal, dan lain-lain.
5. Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi
oportunistik akibat HIV.
6. Tersediannya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat untuk
infeksi oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV.
7. Tersediannya tim kesehatan terpadu termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja
social, dukungan sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan kelompok
dukungan ODHA dan pendampingnya.
8. Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik
tentang penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem untuk
menyebarluaskan informasi dan pedoman baru.
9. Obat ARV digunakan secara rasional sesuai pedoman yang berlaku.
F. PEMANTAUAN PENGOBATAN ARV
1. Monitoring klinis
Monitoring klinis di unit perawatan intermedit penyakit infeksi dilakukan setiap hari
bagi penderita yang menjalani rawat inap. Bagi penderita rawat jalan, monitoring
dilakukan setiap minggu, dua minggu, tiga minggu, empat minggu, atau 12 minggu

13
sekali tergantung derajat beratnya penyakit. Umumnya menderita memilih 1-2
minggu sekali. Beberapa indikator klinis terhadap respon terapi :
a. Perubahan berat badan
b. Ada tidaknya efek samping obat
c. Penurunan frekuensi dan derajat beratnya infeksi oportunistik.
d. Beberapa perubahan yang harus dimonitor adalah pemeriksaan mulut, terutama
mencari kandidiasis oral, kelainan mukosa mulut dan gusi. Perubahan distribusi
lemak sehubungan dengan penggunaan ARV, maupun pengaruh perubahan
nutrisi. Asidosis laktat (keluhan sesak napas, keluhan saluran cerna, kelemahan
umum, hepatomegali), sehubungan toksisitas mitokondria maka akan efektif bila
penderita mendapatkan tambahan mikronutien. Kecemasan dan mimpi buruk
sering terkait dengan penggunaan efavirenz, untuk itu perlu diyakinkan terhadap
penderita.
2. Monitoring laboratoris :
Pemeriksaan laboratorium rutin perlu untuk memonitor :efek samping, deteksi
dini infeksi oportunistik, penentuan progresivitas penyakit. Pemeriksaan meliputi
darah lengkap, SGOT, SGPT, Serum kreatinin,glukosa darah,profil lipid tergantung
regimen obat dankemungkinan efek samping monitoring laboratoris sebaiknya juga
meliputi sistem imun terutama CD4, virology atau beban virus, efek samping dan
resistensi ARV. Pemeriksaan lain kea rah infeksi oportunistik dapat dilakukan atas
indikasi. Khusus untuk daerah dengan fasilitas terbatas, terutama pemeriksaan beban
virus (keterbatasan biaya, fasilitas laboratorium, dan sumber daya manusia) WHO
menganjurkan untuk monitoring progrevisitas penyakit dan respons terapi dengan
mengikuti indikator klinis dan hitung CD4. Hitung CD4 sering terkait dengan
manifestasi klinis, CD4< 200 sel meningkatkan resiko infeksi oportunistik.
CD4 penting untuk penentuan kapan memulai terapi ARV dan saat yang tepat
menghentikan profilaksis terhadap organisme tertentu. Penderita mendapatkan terapi
ARVoptimal diharapkan CD4 meningkat > 100 sel dalam 6-12 bulan pertama.
Pemeriksaan CD4 perlu diulang setiap 3-6 bulan bagi yang penderita tanpa ARV dan
tiap 2-4 bulan yang dengan terapi ARV. Bagi penderita yang mendapatkan ARV
tetapi karena berbagai keterbatasan., maka pemeriksaan CD4 cukup tiap 6 bulan.

14
Respons CD4 yang diharapkan dapat meningkat 50-60 sel dalam 4 bulan pertama,
dengan laju peningkatan 8-10 sel atau 100-150 sel/mm3/tahun.
Kriteria gagal pengobatan, bila jumlah CD4 kembali ke jumlah seperti sebelum
pengobatan, atau terjadi penurunan 30% dari nilai tertinggi yg pernah dicapai selama
menjalani pengobatan. Kalau CD4 tidak mungkin dilakukan, maka pemeriksaan
jumlah limfosit total bersama performans klinis penting untuk dipakai acuan.
Pemeriksaan beban virus, merupakan indikator terbaik untuk menilai progresivitas
penyakit. Sementara jumlah CD4, penting untuk menilai derajat beratnya deplesi
sistem imun.
G. INDIKASI UNTUK MENGGANTI REGIMEN ATAU BERHENTI ARV

Mengganti regimen akibat toksisitas obat dapat dilakukan dengan mengganti satu atau
lebih obat dari golongan yang sama dengan obat yang dicurigai mengakibatkan toksisitas.
Mengganti terapi akibat kegagalan, untuk hal ini sebaiknya ada kriteria khusus untuk
penggantian terapi menjadi regimen yang secara keseluruhan (masing-masing obat dalam
kombinasi diganti dengan yang baru) atau penghentian terapi. Penggantian atau
penghentian dilakukan apabila:

1. ODHA pernah menerima regimen yang sama sekali tidak efektif lagi misalnya
monoterapi atau terapi dengan dua nukleosida (NRTI)
2. Viral load masih terdeteksi setelah 4-6 bulan terapi, atau bila viral load menjadi
terdeteksi kembali setelah beberapa bulan tidak terdeteksi.
3. Jumlah CD4 terus-menerus menurun setelah dites dua kali dengan interval
beberapa minggu.
4. Infeksi oportunistik atau berat badan menurun secara drastis. Hal ini harus
dibedakan dengan immune reconstitution syndrome/sindrom pemulihan kembali
kekebalan.
KEHAMILAN
1. Beberapa ahli menyarankan untuk menghentikan pengobatan ARV pada
trimester pertama karena akan berpengaruh pada pembentukan organ fetus.
2. Efavirenz (EFV) dan hydroxyurea (HU) harus dihindari, risiko efek teratogenik

15
3. Kombinasi stavudine (d4T) dan didanosine (ddl) sebaiknya dihindari, potensial
mencetuskan asidosis laktat.
REKOMENDASI TERAPI ARV PADA KEHAMILAN
1. Antepartum: AZT 300 mg atau 200 mg , kehamilan 14 minggu hingga persalinan
2. Intrapartum: AZT 2 mg , 1 jam dilanjutkan 1 mg selama persalinan
3. Postpartum : (bayi) :AZT sirup 2 mg (atau 1,5 mg )X 6 minggu
4. Regimen ARV yang efektif menurunkan transmisi dari ibu ke anak: ZDV/3TC, dan
NVP.
Regimen ini pertama yang dianjurkan untuk kehamilan adalah ZDV.bila diperlukan
kombinasi,pilihan pertama adalah ZDV/3TC.
H. DUKUNGAN NUTRISI PADA PENDERITA HIV&AIDS

Makronutrien mutlak diperlukan dalam penatalaksanaan penderita, tetapi


mikronutrien juga harus disertakan guna menghambat laju progresivitas HIV ke AIDS,
serta mencegah akibat yang lebih fatal. Jadi idealnya mengandung komponen
makronutrien yang diperlukan untuk pemenuhan metabolisme pokok yaitu
karbohidrat,protein,lemak,dan juga mengandung micronutrient yang mempunyai dampak
positif terhadap fungsi imunologis.

Pada penderita terinfeksi HIV sering terjadi gangguan asupan nutrient yang
menyebabkan menurunnya fungsi biologis tubuh. Bahkan pada penderita terjadi
perubahan kondisi klinis bukan hanya karena masalah asupan nutrient saja, tetapi juga
akibat proses penyakitnya. Dukungan nutrisi penting diperhatikan, karena
penatalaksanaan yang selama ini dilakukan dalam mengelola penderita HIV&AIDS
melalui upaya pencegahan transmisi, upaya pengobatan umum dan khusus melalui
HAART ternyata tidak mampu membendung peningkatan angka kesakitan dan kematian
akibat HIV&AIDS sesuai yang diharapkan. Hal tersebut disebabkan karena antiretroviral
hanya mampu mengurangi kepadatan virus dalam tubuh penderita tetapi tidak mampu
menanggulangi pengaruh reactive oxygen species (ROS) yang banyak terbentuk pada
tubuh penderita HIV & AIDS. Apabila situasi seperti ini terus dibiarkan berlarut-larut
maka gangguan fungsi dan kematian sel akan berlangsung progresif sehingga potensial
jatuh ke derajat penyakit yang lebih berat. Untuk itu diperlukan suatu inovasi dan langkah

16
intervensi terapi dengan menambahkan unsur suplemen imunonutrien guna mengatasi
pengaruh ROS tersebut.

Suplemen mikronutrien tersebut mengandung berbagai bahan yang dapat


memenuhi kebutuhan penderita yang mengalami infeksi dan mampu meredam pengaruh
negative dari ROS. Suplemen tersebut sebaiknya juga mengandung berbagai vitamin dan
mineral serta trace elemen sehingga memiliki kemampuan sebagai antioksidan eksogen,
serta memicu potensi antioksidan endogen, dan mempunyai efek anti apoptosis. Radikal
bebas yang terbentuk selama berlangsungnya infeksi secara endogen dapat diredam oleh
berbagai enzim dalam tubuh antara lain katalase, superoksid dismutase (SOD), glutation.
Enzim SOD di mitokondria mengandung Mn (mangan), sedangkan dalam sitosol
bekerjannya enzim SOD memerlukan batuan Cu (tembaga) dan Zn (seng). Dengan
demikian untuk pengendalian ROS yang terbentuk selama infeksi, diperlukan bantuan
mineral Mn, Cu, dan Zn. Selenium merupakan mineral yang dapat membantu kinerja
antioksidan endogen. Karena keempat mineral tersebut mendukung kinerja mitokondria
dan sitosol, dengan demikian mereka juga berperan sebagai anti apoptosis yang
memotong proses apoptosis melalui mitochondrial mediated pathway. Suplemen tersebut
juga dilengkapi dengan komponen beta-carotene, vitamin C dan vitamin E yang secara
luas diketahui berperan sebagai antioksidan eksogen. Vitamin E dan beta-carotene
merupakan antioksidan yang larut dalam lemak (tidak polar) sedangkan vitamin C
merupakan antioksidan yang larut dalam air (polar). Dengan berbagai keunggulan
komponen terkandung, maka suplemen tersebut mempunyai potensi untuk proteksi
terhadap mitokondria. Mitokondria terhindar dari krisis karena pengaruh ROS selama
infeksi HIV & AIDS berlangsung, dengan demikian mitokondria tetap dapat menjalankan
fungsinya sebagai pabrik energy ATP yang dapat menjamin kelangsungan hidup sel.

I. PROFILAKSIS PRIMER DAN SEKUNDER


Profilaksis primer perlu untuk menghadang munculnya berbagai infeksi oportunistik,
pemberian berlandaskan pada beban virus dan hitung CD4. Karena infeksi oportunistik
cenderung relaps, maka profilaksis sekunder penting untuk mencegah relaps setelah
infeksi episode pertama terutama bila defisiensi imun tidak tertanggulangi.

Infeksi Oportunistik Indikasi Obat dan Dosis

17
Pneumonia Pneumokistik Profilaksis primer, hitung Trimetoprim
Karinii (PPK) CD4 <200µl, atau sesudah sulfametoksazol
episode PPK 800/160mg, 3 kali
seminggu, atau setiap hari
400/80mg
Pentamidine aerosols
300mg sekali sebulan
Dapsone 50mg/hari
Plus pyrimethamine
50mg/hari
Toksoplasmosis Sereberi Profilaksis primer, hitung Trimetoprim
CD4 <100/µl sulfametoksazol 800/160mg
3 kali seminggu atau
400/80mg setiap hari
Profilaksis Sekunder Sulfadiazine 2g perhari atau
Klindamisin 3 kali 600mg
plus pyrimethamine 25mg
setiap hari
Tuberkulosis Profilaksis primer, bila Isoniazid 5mg/kg/hari
indurasi kulit pada test (maximum 300mg/hari)
tuberkulin 5 U > 5mm selama 6 bulan dengan
vitamin B6 40mg/hari
Kriptokokosis Profilaksis primer bila Flukonazole 400mg
dihitung CD4 /µl perminggu atau 200mg
perkali, 3 kali seminggu
Profilaksis Sekunder Flukonazole 200mg/hari
setelah episode
Kriptokokosis
Rinitis CMW Profilaksis primer jika Vulgansiclovir 450g/hari
dihitung CD4 <50
Profilaksis sekunder setelah
episode rinitis

18
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala
infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat
infeksi virus HIV. Virusnya Human Immunodeficiency Virus HIV yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi
rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan
yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum
benar- benar bisa disembuhkan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, 2005. Monitoring Klinis, laboratorium. Dalam : Pedoman Monitoring Pasien
untuk Perawatan HIV dan Terapi Atiretroviral. Jakarta, hlm 14-20

WHO, 2002. Principle of HIV therapy. In : The use of Antiretroviral Therapy: A


Simplyfied Approach for Resource-Constrained Countries. WHO regional Office for
South-east Asia. New Delhi, p. 4-34

Alexander JW, 1998. Immunonutrition: The Role of E-3 Fatty Acids. Nutrition 14: 627-32

20

Anda mungkin juga menyukai