Anda di halaman 1dari 5

Menunggu Ketegasan Presiden Jokowi Mencabut SKB 3 Menteri Ahmadiyah

« Pemerintah berkomitmen dan akan terus berupaya untuk mendorong moderasi


beragama. Sikap-sikap yang tidak toleran, apalagi yang disertai dengan kekerasan fisik
maupun verbal harus hilang dari bumi pertiwi Indonesia. Sikap keras dalam beragama
yang menimbulkan perpecahan dalam masyarakat tidak boleh ada di negeri kita yang
kita cintai ini » Jokowi,

Seharusnya hari Idul Fitri menjadi hari penuh kemenangan bagi umat Muslim.

Namun hal ini tidak dirasakan anggota Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI.

Pembangunan Masjid milik JAI di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan

Cilawu, Kabupaten Garut milik Jamaah Ahmadiyah, dihentikan secara sepihak oleh

Bupati Garut. Penyegelan dilakukan oleh Satpol PP Kabupaten Garut dan tim gabungan

Forkopimcam Cilawu, seperti yang dikutip dari laman sindonews.com.

Alasan penyegelan dan penutupan masjid-masjid milik JAI biasanya hampir

serupa. Mereka –anggota JAI- dianggap keukeuh beribadah dan melakukan aktivitasnya

di masjid milik mereka sendiri, yang dibangun dari jerih payah dan iuran anggota

selama bertahun-tahun. Sebuah alasan yang sungguh absurd. Ibarat kita memiliki

rumah, namun orang lain, misalnya tetangga atau masyarakat sekitar melarang kita

untuk tinggal dan beraktivitas di rumah kita sendiri.

Payung hukum yang mereka –para persekutor- gunakan adalah Peraturan

Gubernur (Pergub) Jabar Nomor 12 Tahun 2011 yang pada intinya melarang seluruh

aktivitas Jamaah Ahmadiyah dan SKB 3 Menteri nomer KEP-033/A/JA/6/2008 tentang


Ahmadiyah. Padahal, SKB Tiga Menteri dan Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2011

tidak melarang Ahmadiyah untuk membangun masjid mereka sendiri. Pada dasarnya,

Pergub Jabar dan SKB Tiga Menteri hanya melarang Ahmadiyah melakukan aktivitas

yang melanggar ajaran Islam. Saya jamin, tidak akan ada seorang Muslim pun yang

mengatakan bahwa membangun masjid adalah perbuatan yang melanggar ajaran

Islam.

Lebih lanjut, Pergub dan SKB tersebut tidak tunduk kepada hukum yang lebih

tinggi, yakni UUD 1945. Dalam Pasal 28E UUD 1945 ayat (1) dan (1) ditegaskan :

1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,


memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal, di wilayah Negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali
2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Selanjutnya di Pasal 29 UUD 1945 ayat 2 lebih ditegaskan lagi :

2.Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya


masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.”

Jika Pak Jokowi memang berkomitmen untuk mewujudkan moderasi beragama di

Indonesia, sebaiknya beliau segera menyusun tim untuk mencabut SKB 3 Menteri

Ahmadiyah tersebut. Sayangnya, seorang Presiden tidak memiliki hak untuk mencabut

Pergub. Artinya masyarakat harus berkoalisi untuk menggugat segala bentuk pergub
yang mendiskriminasi suatu kelompok minoritas, seperti Pergub Jabar tentang

Ahmadiyah.

Banyak orang mendukung keputusan Bupati Garut berdasarkan Fatwa Majlis Ulama

Indonesia (MUI), padahal fatwa MUI bukanlah hukum positif dan tidak punya aspek

legal. Bahkan dalam Islam sendiri, kedudukan fatwa bukanlah harga mati. Dari sono-nya

fatwa bukanlah produk hukum yang mengikat dan harus diikuti. Fatwa harus

diposisikan sebagai legal opinion yang boleh diikuti boleh tidak (dalam Kala Fatwa Jadi

Penjara : xvi). Belum lagi kalau kita mengkritisi MUI itu sendiri. Apakah ia lembaga

negara atau organisasi masyarakat (ormas) semata ? Apakah produk fatwa-nya

kredibel ? Khaled Abou El-Fadl, Guru Besar Hukum Islam menyatakan :

“Di era klasik, sarjana muslim menyusun kualifikasi ketat yang harus dilalui
seorang ahli hukum sebelum dirinya dipandang memenuhi syarat untuk
mengeluarkan suatu fatwa. Di era kontemporer, institusi-institusi yang
memperkuat sistem kualifikasi ini telah porak-poranda dan lenyap. Kini, dalam
kenyataannya, siapa pun dapat mendaulat dirinya sebagai seorang mufti dan
selanjutnya melontarkan fatwa-fatwa, tanpa suatu proses legal atau sosial yang
akan mencegahnya dari melakukan semua itu” (2006:42)

Apa yang dipertontonkan hari-hari ini tidak lain adalah kekalahan aparat

pemerintah terhadap tuntutan kelompok-kelompok intoleran. Pada sebagian besar

persekusi dan teror yang dilakukan kelompok intoleran terhadap JAI, negara seakan-

akan absen. Yang justru mengemuka adalah keberpihakan aparat serta pejabat di

daerah terhadap kelompok-kelompok semacam ini. Aparat yang semestinya melindungi


justru malah menjadi aktor dan fasilitator praktek-praktek intoleransi. Temuan yang

cukup mengejutkan dipaparkan Yenni Wahid - Direktur The Wahid Institute- bahwa

sepanjang 2015 lalu salah satu pelaku intoleransi di tanah air adalah aktor negara

(merdeka.com). Kemunculan SKB, Pergub dan aturan-aturan seperti ini telah

mengorbankan Ahmadiyah yang selama ini sudah menjadi korban (Victimizing the

Victim).

Sisa waktu pemerintahan Jokowi bersama Kabinet Kerja 2 nya tinggal tiga tahun

lagi. Pak Jokowi, pada pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) IX Lembaga Dakwah

Islam Indonesia (LDII) Tahun 2021, menegaskan bahwa beliau akan menegakan

moderasi beragama di Indonesia. Selama peraturan-peraturan yang kerap menyulitkan

Ahmadiyah untuk beribadah atau beraktivitas masih ada, maka selamanya kami

meragukan komitmen Pak Jokowi ini. Karena itu, wahai Pak Jokowi, segeralah cabut SKB

3 Menteri tentang Ahmadiyah.

Penulis: Fariz Abdussalam, Akhmad Faizal Reza

Anda mungkin juga menyukai