Seharusnya hari Idul Fitri menjadi hari penuh kemenangan bagi umat Muslim.
Namun hal ini tidak dirasakan anggota Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI.
Cilawu, Kabupaten Garut milik Jamaah Ahmadiyah, dihentikan secara sepihak oleh
Bupati Garut. Penyegelan dilakukan oleh Satpol PP Kabupaten Garut dan tim gabungan
serupa. Mereka –anggota JAI- dianggap keukeuh beribadah dan melakukan aktivitasnya
di masjid milik mereka sendiri, yang dibangun dari jerih payah dan iuran anggota
selama bertahun-tahun. Sebuah alasan yang sungguh absurd. Ibarat kita memiliki
rumah, namun orang lain, misalnya tetangga atau masyarakat sekitar melarang kita
Gubernur (Pergub) Jabar Nomor 12 Tahun 2011 yang pada intinya melarang seluruh
tidak melarang Ahmadiyah untuk membangun masjid mereka sendiri. Pada dasarnya,
Pergub Jabar dan SKB Tiga Menteri hanya melarang Ahmadiyah melakukan aktivitas
yang melanggar ajaran Islam. Saya jamin, tidak akan ada seorang Muslim pun yang
Islam.
Lebih lanjut, Pergub dan SKB tersebut tidak tunduk kepada hukum yang lebih
tinggi, yakni UUD 1945. Dalam Pasal 28E UUD 1945 ayat (1) dan (1) ditegaskan :
Indonesia, sebaiknya beliau segera menyusun tim untuk mencabut SKB 3 Menteri
Ahmadiyah tersebut. Sayangnya, seorang Presiden tidak memiliki hak untuk mencabut
Pergub. Artinya masyarakat harus berkoalisi untuk menggugat segala bentuk pergub
yang mendiskriminasi suatu kelompok minoritas, seperti Pergub Jabar tentang
Ahmadiyah.
Banyak orang mendukung keputusan Bupati Garut berdasarkan Fatwa Majlis Ulama
Indonesia (MUI), padahal fatwa MUI bukanlah hukum positif dan tidak punya aspek
legal. Bahkan dalam Islam sendiri, kedudukan fatwa bukanlah harga mati. Dari sono-nya
fatwa bukanlah produk hukum yang mengikat dan harus diikuti. Fatwa harus
diposisikan sebagai legal opinion yang boleh diikuti boleh tidak (dalam Kala Fatwa Jadi
Penjara : xvi). Belum lagi kalau kita mengkritisi MUI itu sendiri. Apakah ia lembaga
“Di era klasik, sarjana muslim menyusun kualifikasi ketat yang harus dilalui
seorang ahli hukum sebelum dirinya dipandang memenuhi syarat untuk
mengeluarkan suatu fatwa. Di era kontemporer, institusi-institusi yang
memperkuat sistem kualifikasi ini telah porak-poranda dan lenyap. Kini, dalam
kenyataannya, siapa pun dapat mendaulat dirinya sebagai seorang mufti dan
selanjutnya melontarkan fatwa-fatwa, tanpa suatu proses legal atau sosial yang
akan mencegahnya dari melakukan semua itu” (2006:42)
Apa yang dipertontonkan hari-hari ini tidak lain adalah kekalahan aparat
persekusi dan teror yang dilakukan kelompok intoleran terhadap JAI, negara seakan-
akan absen. Yang justru mengemuka adalah keberpihakan aparat serta pejabat di
cukup mengejutkan dipaparkan Yenni Wahid - Direktur The Wahid Institute- bahwa
sepanjang 2015 lalu salah satu pelaku intoleransi di tanah air adalah aktor negara
mengorbankan Ahmadiyah yang selama ini sudah menjadi korban (Victimizing the
Victim).
Sisa waktu pemerintahan Jokowi bersama Kabinet Kerja 2 nya tinggal tiga tahun
lagi. Pak Jokowi, pada pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) IX Lembaga Dakwah
Islam Indonesia (LDII) Tahun 2021, menegaskan bahwa beliau akan menegakan
Ahmadiyah untuk beribadah atau beraktivitas masih ada, maka selamanya kami
meragukan komitmen Pak Jokowi ini. Karena itu, wahai Pak Jokowi, segeralah cabut SKB