Anda di halaman 1dari 31

TUBERKULOSIS PARU

Refarat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam menjalani


kepaniteraan klinik senior di SMF PARU RSUD Dr. Pirngadi Medan

DI SUSUN OLEH :

Rizki Rofita (7117-891397)


Rusmiyati (71170891420)
Mutya Sarah Daulay (71170891406)

DOKTER PEMBIMBING
dr. Ahmad Aswar Siregar, Sp.P

SMF PARU
RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus ini dengan judul “Tuberkulosis Paru”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi
Dokter di Departemen Ilmu Penyakit Paru, Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Pirngadi Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepadadr.
Ahmad Aswar Siregar, Sp.Pyang telah meluangkan waktunya dan
memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga
penulis dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat,
akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 25 Desember 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………………… i

Daftar Isi ………………………………..……………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
………………………………………………………….. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Tuberkulosis……………………………………………………………
. 3
2. 2 Epidemiologi ………………………………………………………...
… 4
2. 3 Manifestasi Klinis
……………………………………………………… 4
2. 4 Klasifikasi
……………………………………………………………… 5
2. 5 Diagnosis TB
………………………………………………………….. 9
2. 6 Penatalaksanaan…………………………………………….…………
14
2. 7 Komplikasi ……………………………………………………………
24
2. 8 Prognosis
……………………………………………………………… 25

BAB III PENUTUP

Kesimpulan …………………………………………………………… 26

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 LATAR BELAKANG
Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronis yang
sudah sangat lama dikenal manusia, misalnya dia dihubungkan dengan
tempat tinggal didaerah urban, lingkungan yang padat dibuktikan dengan
adanya penemuan kerusakan tulang vertebra thoraks yang khas TB dari
kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan neolitikum, begitu juga
penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding pyramid di Mesir
kuno pada tahun 2000-4000 SM. Robert Koch mengidentifikasi basil tahan
asam M.Tuberkulosis untuk pertama kali sebagai bakteri penyebab TB ini. Ia
mendemonstrasikan bahwa basil ini bisa dipindahkan kepada binatang yang
rentan, yang akan memenuhi kriteria postulat Koch yang merupakan prinsip
utama dari pathogenesis mikrobakterial (Bahar dan Zulkifli, 2014)
Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di
dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000
kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di
Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi
pada lebih dari 70% usia produktif (15-50 tahun) (WHO, 2010).
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah
perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan
berperan sekali atas peningkatan kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M.
tuberkulosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan
manifestasi klinis yang paling sering disbanding orga lainnya. Penularan
penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet
nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah
atau berdahak yang mengandung Basil Taha Asam (BTA)(Bahar dan
Zulkifli, 2014).

1
Strategi penanganan TB berdasarkan World Health Organization
(WHO) tahun 1990 dan International Union Against Tuberkulosa and Lung
Diseases (IUATLD) yang dikenal sebagai strategi Directly observed
Treatment Short-course(DOTS)secara ekonomis paling efektif (cost-
efective), strategi ini juga berlaku di Indonesia. Pengobatan TB paru menurut
strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan dengan menggunakan paduan
beberapa obat atau diberikan dalam bentuk kombinasi dengan jumlah yang
tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat dibunuh. Obat-obat yang
dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT) yaitu : Isoniazid (INH),
Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan Etambutol (E). Efek
samping OAT yang dapat timbul antara lain tidak ada nafsu makan, mual,
sakit perut, nyeri sendi, kesemutan sampai rasa terbakar di kaki, gatal dan
kemerahan kulit, ikterus, tuli hingga gangguan fungsi hati (hepatotoksik) dari
yang ringan sampai berat berupa nekrosis jaringan hati. Obat anti
tuberkulosis yang sering hepatotoksik adalah INH, Rifampisin dan
Pirazinamid. Hepatotoksitas mengakibatkan peningkatan kadar transaminase
darah (SGPT/SGOT) sampai pada hepatitis fulminan, akibat pemakaian INH
dan/ Rifampisin.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama
menyerang penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari
tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem
kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb paru
ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan
granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan . Tb paru dapat menular
melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin
atau bicara.

2.1.2 Kuman Tuberkulosis


Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus
berukuran sekitar 0,4 x 3 µm .

Gambar 2.1

Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam

Gambar di atas adalah Mycobacterium tuberculosis yang dilihat


dengan pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar
bakteri ini terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan dan
arabinoman. Lipid inilah yang menyebabkan kuman mempunyai sifat

3
khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut
pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).

Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai


parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri
ini adalah aerob, sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi
penyakit tuberkulosis.

2.2 Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 (berdasarkan data tahun 2010)
sekitar 8,8 juta (antara 8,5-9,2 juta) kasus baru terjadi di seluruh dunia. Masih
berdasarkan data pada tahun 2010, diperkirakan pula sebanyak 1,1 juta kematian
(rentang antara 0,9-1,2 juta) terjadi akibat tubeculosis pada penderita TB dengan
HIV negatif dan sebanyak 0,35 juta kematian (rentang 0.32-0.39 juta ) yang
terjadi akibat TB pada penderita dengan HIV positif. Hal yang perlu dicermati
adalah penurunan jumlah absolut kasus TB sejak tahun 2006, diikuti dengan
penurunan insidensi kejadian dengan angka estimasi kematian sejak tahun 2002.
Dan sekitar 10 juta anak-anak di tahun 2009 menjadi yatim piatu karena orang tua
yang mengidap TB.

2.3 Manifestasi Klinis


Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam – macam atau
malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah :
A. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang – kadang
panas badan dapat mencapai 40 – 41 oC. serangan demam pertama dapat
sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya,
hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah
terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh

4
daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang
masuk.
B. Batuk / Batuk Darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja
batuk baru ada setelah penyakit berkembang pada jaringan paru yakni setelah
berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk
bermula dari batuk kering (non –produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut
adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat
juga terjadipada ulkus dinding bronkus.
C. Sesak Nafas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak
nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya
sudah meliputi setengah bagian paru.
D. Nyeri Dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan nafasnya.
E. Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat
badan menurun), sakit kepala, nyeri otot, keringat malam hari, dll. Gejala
malaise ini makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. (Bahar
& zulkifli, 2014)

2.4 Klasifikasi

5
Klasifikasi TB berdasarkan Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
dibagi atas :
1. Berdasarkan letak anatomi penyakit
 Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim
paru. Tuberkulosis milier diklasifikasikan sebagai TB paru
karena lesinya yang terletak dalam paru
 TB ekstraparu adalah kasus TB yang mengenai organ selain
paru seperti pleura, kelenjar getah bening (trmasuk
mediastnum dan/atau hilus), abdomen, traktus genitourinarius,
kulit, sendi, tulang dan selaput otak.
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi
 Tuberkulosis paru BTA positif, apabila :
 Minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali
pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif pada
laboratorium yang memenuhi syarat quality external
assurance (EQA). Sebaiknya satu kali pemeriksaan
dahak tersebut berasal dari dahak pagi hari. Saat ini
Indonesia sudah memiliki beberapa laboratorium yang
memenuhi syarat EQA.
 Pada Negara atau daerah yang belum memiliki
laboratorium dengan syarat EQA, maka TB paru BTA
positif adalah :
 Dua atau lebih hasil pemeriksaan dahak BTA positif
,atau
 Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan
didukung hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB
yang ditetapkan oleh klinisi ,atau
 Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif ditambahh
hasil kultur M. tuberkulosis positif.
 Tuberculosis paru BTA negatif, apabila:

6
o Hasil pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur
positif
 Setidaknya dua hasil pemeriksaan dahak BTA
negatif pada laboratorium yang memenuhi
syarat EQA
 Dianjurkan pemeriksaan kultur pada hasil
pemeriksaan dahak BTA negatif untuk
memastikan diagnosis terutama pada daerah
dengan prevalens HIV > 1% atau pasien TB
dengan kehamilan ≥ 5%.

o Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negatif di


daerah yang belum memiliki fasilitas kultur M.
tuberculosis memenuhi kriteria sebagai berikut :
o Hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB
aktif dan disertai
o Hasil pemeriksaan HIV positif atau secara laboratorium
sesiau HIV, atau
o Jika HIV negatif (atau satatus HIV tidak diketahui atau
prevalens HIV rendah ), tidak menunjukkan perbaikan
setelah pemberian antibiotik spektrum luas (kecuali
antibiotik yang mempunyai efek anti TB seperti
flourokuinolon dan aminoglikosida)
 Kasus Bekas TB
o Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila
ada) dan gambaran radiologis paru menunjukkan lesi TB
yang tidak aktif, atau foto serial dalam 2 bulan)
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.

7
T
a
p
B
u
r
3.
o Pada kasus dengan gambaran radiologi yang meragukan
dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan tetapi pada
foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologis.

Gambar 2.1 Klasifikasi tuberkulosis

Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Riwayat pengobatan sangat penting diketahui untuk melihat resiko
resistensi obat atau MDR. Pada kelompok ini
pemeriksaan kultur dan uji kepekaan OAT.
perlu dilakukan

Tipe pasien berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu :


 Pasien Baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan OAT
kurang dari satu bulan. Pasien dengan hasil dahak BTA positif atau
negatif dengan lokasi anatomi penyakit dimanapun.
 Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang
sudah pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal
selama satu bulan, dengan hasil dahak BTA positif atau negatif
dengan lokasi anatomi penyakit dimanapun.

8
Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:

a.Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (relaps)Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapatpengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi
kambuh lagi
c.Kasus setelah putus berobat (default )Adalah pasien yang telah berobat dan
putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (failure)Adalah pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan.
e.Kasus lainAdalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2006)

2.5 Diagnosis tuberkulosis


Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.
1. Diagnosis klinis

Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada


atau tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama
adalah batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih.
Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas
dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan
turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun
tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan (Depkes RI, 2006).

2. Pemeriksaan fisik

9
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada
pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan
terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimtomatik.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian
apeks (puncak) paru. Bila dicurigai ada infiltrate yang agak luas, maka
didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronchial. Akan
didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan
nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara
nafasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup
besar, perkusi memberikan hipersonor atau timpani dan auskultasi
memberikan suara amforik.
Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering
terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal
dalam pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi
memberikan suara yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam
penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai
dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin
atau uji tuberkulin yang positif.

3. Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
praktis untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini
lebih memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB
milier yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi
lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus
bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat

10
lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya
berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak
tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa
bulatan dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma (Depkes RI,
2006).
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat
dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas
dengan penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus
maupun pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat
berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh
lapangan paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan
bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik,
kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan emfisema ((Bahar dan zulkifli,
2014).

Gambar 2.1 TB paru lama : tampak bercak berawan disertai kavitas, garis fibrosis, bintik-bintik
kalsifikasi

11
Gambar 2.2 TB miliar : terdapat bercak granuler pada seluruh lap. Paru

4. Pemeriksaan laboratorium
a. Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara
mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-
Sewaktu) BTA hasilnya positif (Depkes RI, 2006).
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan
pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan
spesimen SPS diulang. 1). Kalau hasil rontgen mendukung
tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB
BTA positif. 2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka
pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik
spektrum luas (misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama
1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis
mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS. 1). Kalau hasil
SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA
positif. 2). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto
rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.

12
a. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis
sebagai penderita TB BTA negatif rontgen positif
b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita
tersebut bukan TB.

Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006),


sebagaimana bisa dilihat di bawah ini :

Tersangka Penderita TB (suspek TB)

Periksa Dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)

Hasil BTA Hasil BTA Hasil BTA


+++ +-- ---
++-

Periksa Rontgen
Dada Beri Antibiotik
Spektrum Luas

Hasil Mendukung Hasil Tidak


TB Mendukung TB Tidak Ada Ada Perbaikan
Perbaikan

Ulangi Periksa Dahak SPS

Penderita Hasil BTA Hasil BTA


Tuberkulosis BTA +++ ---
Positif ++-

13
Periksa Rontgen Dada

Hasil Mendukung Hasil


TB Rontgen
Negatif

TB BTA Bukan TBC,


Negatif Penyakit
Rontgen Lain
Positif

Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan


kriteria pada pasien TB paru menjadi :

a) Pasien dengan sputum BTA positif adalah pasien yang pada


pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA,
sekurang kurangnya pada 2 kali pemeriksaan/1 sediaan
sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai
dengan gambaran TB aktif /1 sediaan sputumnya positif
disertai biakan yang positif.
b) Pasien dengan sputum BTA negatif adalah pasien yang pada
pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan
BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif.
b. Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah
leukosit yang sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke
kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah
(LED) mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah
leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi,
LED mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah
lain juga didapatkan: anemia ringan dengan gambaran

14
normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan kadar
natrium darah menurun (Depkes RI, 2006).

2.6 Penatalaksanaan Tuberkulosis


1. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas
bakterisid di mana obat bersifat membunuh kuman–kuman yang sedang
tumbuh (metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat
membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya
kurang aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat
tersebut membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan
didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivitas
sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.
Hampir semua OAT mempunyai sifat bakterisid kecuali Etambutol dan
Tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk
mencegah resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid
mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan Streptomisin
menempati urutan lebih bawah (Bahar dan zulkifli, 2014)
2. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu
obat lapis pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke
penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan
resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid, Rifampisin,
Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lapis dua mencakup
Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine,
Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis kedua ini
dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus multi drug resistance. Obat
tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah Isoniazid,
Rifampisin, dan Etambutol (Bahar dan zulkifli, 2014).

15
Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Jenis OAT Sifat Keterangan

Isoniazid Bakterisid Obat ini sangat efektif terhadap kuman


(H) dalam keadaan metabolik aktif, yaitu
terkuat
kuman yang sedang berkembang.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat
cell-wall biosynthesis pathway

Rifampisin bakterisid Rifampisin dapat membunuh kuman semi-


(R) dormant (persistent) yang tidak dapat
dibunuh oleh Isoniazid. Mekanisme
kerjanya adalah menghambat polimerase
DNA-dependent ribonucleic acid (RNA) M.
Tuberculosis

Pirazinamid bakterisid Pirazinamid dapat membunuh kuman yang


(Z) berada dalam sel dengan suasana asam.
Obat ini hanya diberikan dalam 2 bulan
pertama pengobatan.

Streptomisi bakterisid obat ini adalah suatu antibiotik golongan


n (S) aminoglikosida dan bekerja mencegah
pertumbuhan organisme ekstraselular.

Etambutol bakteriostatik -
(E)

Tabel 2.1 Jenis dan Sifat OAT(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007).

3. Regimen pengobatan (metode DOTS)


Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar
dapat mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah

16
menerapkan strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang
berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan
kepatuhannya. Oleh karena itu WHO juga telah menetapkan regimen
pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut
definisi kasus tersebut, seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini (Bahar dan
zulkifli, 2014):

Kategori Paduan pengobatan TB


pengobatan alternative
TB Pasien TB
Fase awal Fase lanjutan

(setiap hari / 3 x
seminggu)

I Kasus baru TB paru 2 EHRZ (SHRZ) 6 HE


dahak positif; kasus baru
TB paru dahak negatif 2 EHRZ (SHRZ) 4 HR
dengan kelainan luas di 2 EHRZ (SHRZ) 4 H3 R3
paru; kasus baru TB
ekstra-pulmonal berat

II Kambuh, dahak positif; 2 SHRZE / 1 5 H3R3E3


pengobatan gagal; HRZE
pengobatan setelah 5 HRE
terputus 2 SHRZE / 1
HRZE

III Kasus baru TB paru 2 HRZ atau 6 HE


dahak negatif (selain dari 2H3R3Z3
kategori I); kasus baru
TB ekstra-pulmonal 2 HRZ atau
2H3R3Z3 2 HR/4H
yang tidak berat
2 HRZ atau
2H3R3Z3

17
2 H3R3/4H

IV Kasus kronis (dahak TIDAK DIPERGUNAKAN


masih positif setelah
menjalankan pengobatan (merujuk ke penuntun WHO
ulang) guna pemakaian obat lini kedua
yang diawasi pada pusat-pusat
spesialis)

Tabel 2.2 Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan (Crofton,
2002; Bahar & Zulkifli, 2014)

Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah (Bahar dan zulkifli, 2014).

 Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.


Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari selama
2 bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan
diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR
atau 4 H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih positif setelah 2 bulan,
fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum
sudah negatif atau tidak.

 Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H, Z, E,
setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama.
Apabila sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai.
Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4
obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih
positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum
untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3
atau 5 HRE.
 Kategori III : 2HRZ/2H3R3

18
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3, yang dilanjutkan
dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
 Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya
harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H
saja sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan TB resistensi
ganda (MDR-TB).

Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE).

Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan kategori II
pada tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan pengobatan selama 2
minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA positif (Depkes RI, 2006).

4. Dosis obat
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara
harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien:

Jenis Dosis

Isoniazid (H) harian : 5mg/kg BB


intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu

Rifampisin (R) harian = intermiten : 10 mg/kgBB

Pirazinamid (Z) harian : 25mg/kg BB


intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu

Streptomisin (S) harian = intermiten : 15 mg/kgBB


usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
usia > 60 th : 0,50 gr/hari

19
Etambutol (E) harian : 15mg/kg BB
intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu

Tabel 2.3 Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia(Depkes RI, 2006; (Bahar dan
zulkifli, 2014).

5. Kombinasi obat
Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian
obat kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB
untuk menggantikan paduan obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai.
Tersedia obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT
kategori I dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam 1 tablet. Dosisnya (jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan
berat badan pasien, paduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1
masa pengobatan. Dosis paduan OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan
dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Depkes RI, 2006) :

Berat badan Tahap Intensif tiap hari selama Tahap Lanjutan 3x seminggu
56 hari selama 16 minggu

RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT

> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT

Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)(Depkes RI, 2006)

Berat Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan3x seminggu


RHZE (150/75/400/275)
Badan RH (150/150) + E (400)
+S

20
Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu

30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2


tab Etambutol
Streptomisin inj

38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3


tab Etambutol
Streptomisin inj

55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4


tab Etambutol
Streptomisin inj

> 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5


tab Etambutol
Streptomisin inj

Tabel 2.5 Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3(Depkes


RI, 2006)

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari

RHZE (150/75/400/275)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 2.6 Dosis OAT untuk Sisipan(Depkes RI, 2006)

6. Efek samping pengobatan


Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang
mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin
OAT masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek
samping ini sangat mengganggu OAT yang bersangkutan harus dihentikan
dan pengobatan dapat diteruskan dengan OAT yang lain (Bahar &Zulkifli
2014).

21
Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap pasien,
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Jenis Obat Ringan Berat

Isoniazid (H) tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, Hepatitis, ikhterus


kesemutan, nyeri otot dan gangguan
kesadaran. Kelainan yang lain menyerupai
defisiensi piridoksin (pellagra) dan kelainan
kulit yang bervariasi antara lain gatal-gatal.

Rifampisin gatal-gatal kemerahan kulit, sindrom flu, Hepatitis, sindrom respirasi


(R) sindrom perut. yang ditandai dengan sesak
nafas, kadang disertai dengan
kolaps atau renjatan (syok),
purpura, anemia hemolitik
yang akut, gagal ginjal

Pirazinamid Reaksi hipersensitifitas : demam, mual dan Hepatitis, nyeri sendi,


(Z) kemerahan serangan arthritis gout

Streptomisin Reaksi hipersensitifitas : demam, sakit Kerusakan saraf VIII yang


(S) kepala, muntah dan eritema pada kulit berkaitan dengan
keseimbangan dan
pendengaran

Etambutol Gangguan penglihatan berupa berkurangnya Buta warna untuk warna


(E) ketajaman penglihatan merah dan hijau

Tabel 2.7 Efek Samping Pengobatan dengan OAT

Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan


pemeriksaan kontrol, seperti :

a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol


b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin,
darah perifer dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan
Pirazinamid)
7. Hasil pengobatan tuberkulosis

22
World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil pengobatan
penderita tuberkulosis paru dibedakan menjadi :
a. Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya
negatif 2 kali atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir
pengobatannya.
b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai
jadwal yaitu selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau
hanya 1 kali follow up dengan hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir
pengobatan.
c. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan
dan seterusnya sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif
pada akhir pengobatan.
Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA
terkhir masih positif.
Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan
ke-2 dari pengobatan.
d. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih
dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.
e. Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa
melihat sebab kematiannya.

8. Evaluasi pengobatan
Bayupurnama (2014) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode
yang bisa digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru :
a. Klinis:biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu
pertama,selanjutnya2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya
sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya
terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk berkurang,
batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat
dll.

23
b. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA
mulai menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan
sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA
langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan
resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif
setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang
mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif,
sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-
turut. Bila BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan),
maka pasien yang sebelumnya telah sembuh mulai kambuh lagi.
c. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat
pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila
nanti timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang
(misalnya tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat
dilihat keadaan TB parunya atau adakah penyakit lain yang
menyertainya. Karena perubahan gambar radiologis tidak secepat
perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan
sekali .
2.7 Komplikasi

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum


pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah (PDPI, 2011) :
-         Batuk darah
-         Pneumotoraks
-         Luluh paru
-         Gagal napas
-         Gagal jantung
-         Efusi pleura

24
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
 Komplikasi dini :
a. Pleuritis
b. Efusi pleura
c. Empiema
d. Laringitis
e. Poncet’s arthropaty
 Komplikasi lanjut :
a. Obstruksi jalan napas  SOFT (Sindroma Obstruksi Pasca
Tuberkulosis)
b. Kerusakan parenkim berat  SOPT / fibrosis paru
c. Kor- pulmonal
d. Amiloidosis
e. Karsinoma paru
Sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB

2.8 Prognosis
Sebelum ditemukan anti tuberkulosis, penderita tuberkulosis paru mempunyai
masa depan yang suram, seperti halnya penderita kanker paru pada saat ini.
Tetapo sejak ditemukan obat anti tuberkulosis, apalagi ditemukan rifampisin dan
lain-lain, maka masa depan penderita tuberkulosis paru sangat cerah. Kecuali
penderita yang telah mengalami relaps (kekambuhan), atau terjadinya penyulit
pada organ paru dan organ lain di dalam rongga dada, maka penderita-penderita
demikian banyak yang jatuh ke dalam kor-pulmonal (PDPI, 2011).
Bila terbentuk kaverne yang cukup besar, kemungkinan batuk darah hebat
dapat terjadi dan keadaan ini sering menimbulkan kematian, walaupun secara
tidak langsung. Untuk diabetes melitus yang sulit dilakukan regulasi, dapat
menyebabkan penyembuhan penderita tuberkulosis menjadi lama, walaupun telah
memakai regimen yang adekuat(PDPI, 2011)

25
26
BAB III
KESIMPULAN

Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama


menyerang parenkim paru.Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan ketiga
terbanyak di dunia setelah India dan Cina.Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis
dapat bermacam – macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa
keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan namun sering banyak ditemukan
dengan keluhan demam dan batuk berdahak/ tidak berdahak. Pemeriksaan dalam TB
bisa dilakukan dengan cara pemeriksaan sputum dan foto thorak. Pengobatan TB
minimal dijalani selama 6 bulan dengan pengobata OAT (Obat Anti TB).

27
DAFTAR PUSTAKA

Bahar, A dan Zulkifli Amin.2014. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.

Bahar, A.dan Zulkifli Amin. 2014. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi VI. Jakarta : BPFKUI.

Bayupurnama, Putut. 2014. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II, Edisi VI. Jakarta : BPFKUI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta

World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2011. Geneva World
Health Organization. 2011

World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2010. Geneva World
Health Organization. 2010

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis &


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Universitas Indonesia

28

Anda mungkin juga menyukai