Ceramah Paru Word
Ceramah Paru Word
DI SUSUN OLEH :
DOKTER PEMBIMBING
dr. Ahmad Aswar Siregar, Sp.P
SMF PARU
RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN
2018
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus ini dengan judul “Tuberkulosis Paru”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi
Dokter di Departemen Ilmu Penyakit Paru, Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Pirngadi Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepadadr.
Ahmad Aswar Siregar, Sp.Pyang telah meluangkan waktunya dan
memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga
penulis dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat,
akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
………………………………………………………….. 1
2. 1 Tuberkulosis……………………………………………………………
. 3
2. 2 Epidemiologi ………………………………………………………...
… 4
2. 3 Manifestasi Klinis
……………………………………………………… 4
2. 4 Klasifikasi
……………………………………………………………… 5
2. 5 Diagnosis TB
………………………………………………………….. 9
2. 6 Penatalaksanaan…………………………………………….…………
14
2. 7 Komplikasi ……………………………………………………………
24
2. 8 Prognosis
……………………………………………………………… 25
Kesimpulan …………………………………………………………… 26
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 LATAR BELAKANG
Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronis yang
sudah sangat lama dikenal manusia, misalnya dia dihubungkan dengan
tempat tinggal didaerah urban, lingkungan yang padat dibuktikan dengan
adanya penemuan kerusakan tulang vertebra thoraks yang khas TB dari
kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan neolitikum, begitu juga
penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding pyramid di Mesir
kuno pada tahun 2000-4000 SM. Robert Koch mengidentifikasi basil tahan
asam M.Tuberkulosis untuk pertama kali sebagai bakteri penyebab TB ini. Ia
mendemonstrasikan bahwa basil ini bisa dipindahkan kepada binatang yang
rentan, yang akan memenuhi kriteria postulat Koch yang merupakan prinsip
utama dari pathogenesis mikrobakterial (Bahar dan Zulkifli, 2014)
Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di
dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000
kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di
Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi
pada lebih dari 70% usia produktif (15-50 tahun) (WHO, 2010).
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah
perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan
berperan sekali atas peningkatan kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M.
tuberkulosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan
manifestasi klinis yang paling sering disbanding orga lainnya. Penularan
penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet
nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah
atau berdahak yang mengandung Basil Taha Asam (BTA)(Bahar dan
Zulkifli, 2014).
1
Strategi penanganan TB berdasarkan World Health Organization
(WHO) tahun 1990 dan International Union Against Tuberkulosa and Lung
Diseases (IUATLD) yang dikenal sebagai strategi Directly observed
Treatment Short-course(DOTS)secara ekonomis paling efektif (cost-
efective), strategi ini juga berlaku di Indonesia. Pengobatan TB paru menurut
strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan dengan menggunakan paduan
beberapa obat atau diberikan dalam bentuk kombinasi dengan jumlah yang
tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat dibunuh. Obat-obat yang
dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT) yaitu : Isoniazid (INH),
Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan Etambutol (E). Efek
samping OAT yang dapat timbul antara lain tidak ada nafsu makan, mual,
sakit perut, nyeri sendi, kesemutan sampai rasa terbakar di kaki, gatal dan
kemerahan kulit, ikterus, tuli hingga gangguan fungsi hati (hepatotoksik) dari
yang ringan sampai berat berupa nekrosis jaringan hati. Obat anti
tuberkulosis yang sering hepatotoksik adalah INH, Rifampisin dan
Pirazinamid. Hepatotoksitas mengakibatkan peningkatan kadar transaminase
darah (SGPT/SGOT) sampai pada hepatitis fulminan, akibat pemakaian INH
dan/ Rifampisin.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama
menyerang penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari
tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem
kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb paru
ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan
granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan . Tb paru dapat menular
melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin
atau bicara.
Gambar 2.1
3
khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut
pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 (berdasarkan data tahun 2010)
sekitar 8,8 juta (antara 8,5-9,2 juta) kasus baru terjadi di seluruh dunia. Masih
berdasarkan data pada tahun 2010, diperkirakan pula sebanyak 1,1 juta kematian
(rentang antara 0,9-1,2 juta) terjadi akibat tubeculosis pada penderita TB dengan
HIV negatif dan sebanyak 0,35 juta kematian (rentang 0.32-0.39 juta ) yang
terjadi akibat TB pada penderita dengan HIV positif. Hal yang perlu dicermati
adalah penurunan jumlah absolut kasus TB sejak tahun 2006, diikuti dengan
penurunan insidensi kejadian dengan angka estimasi kematian sejak tahun 2002.
Dan sekitar 10 juta anak-anak di tahun 2009 menjadi yatim piatu karena orang tua
yang mengidap TB.
4
daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang
masuk.
B. Batuk / Batuk Darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja
batuk baru ada setelah penyakit berkembang pada jaringan paru yakni setelah
berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk
bermula dari batuk kering (non –produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut
adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat
juga terjadipada ulkus dinding bronkus.
C. Sesak Nafas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak
nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya
sudah meliputi setengah bagian paru.
D. Nyeri Dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan nafasnya.
E. Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat
badan menurun), sakit kepala, nyeri otot, keringat malam hari, dll. Gejala
malaise ini makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. (Bahar
& zulkifli, 2014)
2.4 Klasifikasi
5
Klasifikasi TB berdasarkan Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
dibagi atas :
1. Berdasarkan letak anatomi penyakit
Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim
paru. Tuberkulosis milier diklasifikasikan sebagai TB paru
karena lesinya yang terletak dalam paru
TB ekstraparu adalah kasus TB yang mengenai organ selain
paru seperti pleura, kelenjar getah bening (trmasuk
mediastnum dan/atau hilus), abdomen, traktus genitourinarius,
kulit, sendi, tulang dan selaput otak.
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi
Tuberkulosis paru BTA positif, apabila :
Minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali
pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif pada
laboratorium yang memenuhi syarat quality external
assurance (EQA). Sebaiknya satu kali pemeriksaan
dahak tersebut berasal dari dahak pagi hari. Saat ini
Indonesia sudah memiliki beberapa laboratorium yang
memenuhi syarat EQA.
Pada Negara atau daerah yang belum memiliki
laboratorium dengan syarat EQA, maka TB paru BTA
positif adalah :
Dua atau lebih hasil pemeriksaan dahak BTA positif
,atau
Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan
didukung hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB
yang ditetapkan oleh klinisi ,atau
Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif ditambahh
hasil kultur M. tuberkulosis positif.
Tuberculosis paru BTA negatif, apabila:
6
o Hasil pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur
positif
Setidaknya dua hasil pemeriksaan dahak BTA
negatif pada laboratorium yang memenuhi
syarat EQA
Dianjurkan pemeriksaan kultur pada hasil
pemeriksaan dahak BTA negatif untuk
memastikan diagnosis terutama pada daerah
dengan prevalens HIV > 1% atau pasien TB
dengan kehamilan ≥ 5%.
7
T
a
p
B
u
r
3.
o Pada kasus dengan gambaran radiologi yang meragukan
dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan tetapi pada
foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologis.
8
Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
a.Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (relaps)Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapatpengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi
kambuh lagi
c.Kasus setelah putus berobat (default )Adalah pasien yang telah berobat dan
putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (failure)Adalah pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan.
e.Kasus lainAdalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2006)
2. Pemeriksaan fisik
9
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada
pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan
terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimtomatik.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian
apeks (puncak) paru. Bila dicurigai ada infiltrate yang agak luas, maka
didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronchial. Akan
didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan
nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara
nafasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup
besar, perkusi memberikan hipersonor atau timpani dan auskultasi
memberikan suara amforik.
Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering
terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal
dalam pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi
memberikan suara yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam
penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai
dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin
atau uji tuberkulin yang positif.
3. Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
praktis untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini
lebih memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB
milier yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi
lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus
bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat
10
lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya
berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak
tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa
bulatan dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma (Depkes RI,
2006).
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat
dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas
dengan penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus
maupun pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat
berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh
lapangan paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan
bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik,
kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan emfisema ((Bahar dan zulkifli,
2014).
Gambar 2.1 TB paru lama : tampak bercak berawan disertai kavitas, garis fibrosis, bintik-bintik
kalsifikasi
11
Gambar 2.2 TB miliar : terdapat bercak granuler pada seluruh lap. Paru
4. Pemeriksaan laboratorium
a. Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara
mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-
Sewaktu) BTA hasilnya positif (Depkes RI, 2006).
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan
pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan
spesimen SPS diulang. 1). Kalau hasil rontgen mendukung
tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB
BTA positif. 2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka
pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik
spektrum luas (misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama
1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis
mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS. 1). Kalau hasil
SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA
positif. 2). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto
rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.
12
a. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis
sebagai penderita TB BTA negatif rontgen positif
b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita
tersebut bukan TB.
Periksa Rontgen
Dada Beri Antibiotik
Spektrum Luas
13
Periksa Rontgen Dada
14
normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan kadar
natrium darah menurun (Depkes RI, 2006).
15
Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Etambutol bakteriostatik -
(E)
Tabel 2.1 Jenis dan Sifat OAT(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007).
16
menerapkan strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang
berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan
kepatuhannya. Oleh karena itu WHO juga telah menetapkan regimen
pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut
definisi kasus tersebut, seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini (Bahar dan
zulkifli, 2014):
(setiap hari / 3 x
seminggu)
17
2 H3R3/4H
Tabel 2.2 Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan (Crofton,
2002; Bahar & Zulkifli, 2014)
Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah (Bahar dan zulkifli, 2014).
Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H, Z, E,
setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama.
Apabila sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai.
Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4
obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih
positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum
untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3
atau 5 HRE.
Kategori III : 2HRZ/2H3R3
18
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3, yang dilanjutkan
dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya
harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H
saja sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan TB resistensi
ganda (MDR-TB).
Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan kategori II
pada tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan pengobatan selama 2
minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA positif (Depkes RI, 2006).
4. Dosis obat
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara
harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien:
Jenis Dosis
19
Etambutol (E) harian : 15mg/kg BB
intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu
Tabel 2.3 Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia(Depkes RI, 2006; (Bahar dan
zulkifli, 2014).
5. Kombinasi obat
Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian
obat kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB
untuk menggantikan paduan obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai.
Tersedia obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT
kategori I dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam 1 tablet. Dosisnya (jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan
berat badan pasien, paduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1
masa pengobatan. Dosis paduan OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan
dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Depkes RI, 2006) :
Berat badan Tahap Intensif tiap hari selama Tahap Lanjutan 3x seminggu
56 hari selama 16 minggu
Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)(Depkes RI, 2006)
20
Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu
RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
21
Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap pasien,
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
22
World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil pengobatan
penderita tuberkulosis paru dibedakan menjadi :
a. Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya
negatif 2 kali atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir
pengobatannya.
b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai
jadwal yaitu selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau
hanya 1 kali follow up dengan hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir
pengobatan.
c. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan
dan seterusnya sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif
pada akhir pengobatan.
Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA
terkhir masih positif.
Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan
ke-2 dari pengobatan.
d. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih
dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.
e. Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa
melihat sebab kematiannya.
8. Evaluasi pengobatan
Bayupurnama (2014) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode
yang bisa digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru :
a. Klinis:biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu
pertama,selanjutnya2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya
sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya
terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk berkurang,
batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat
dll.
23
b. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA
mulai menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan
sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA
langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan
resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif
setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang
mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif,
sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-
turut. Bila BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan),
maka pasien yang sebelumnya telah sembuh mulai kambuh lagi.
c. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat
pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila
nanti timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang
(misalnya tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat
dilihat keadaan TB parunya atau adakah penyakit lain yang
menyertainya. Karena perubahan gambar radiologis tidak secepat
perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan
sekali .
2.7 Komplikasi
24
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
Komplikasi dini :
a. Pleuritis
b. Efusi pleura
c. Empiema
d. Laringitis
e. Poncet’s arthropaty
Komplikasi lanjut :
a. Obstruksi jalan napas SOFT (Sindroma Obstruksi Pasca
Tuberkulosis)
b. Kerusakan parenkim berat SOPT / fibrosis paru
c. Kor- pulmonal
d. Amiloidosis
e. Karsinoma paru
Sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB
2.8 Prognosis
Sebelum ditemukan anti tuberkulosis, penderita tuberkulosis paru mempunyai
masa depan yang suram, seperti halnya penderita kanker paru pada saat ini.
Tetapo sejak ditemukan obat anti tuberkulosis, apalagi ditemukan rifampisin dan
lain-lain, maka masa depan penderita tuberkulosis paru sangat cerah. Kecuali
penderita yang telah mengalami relaps (kekambuhan), atau terjadinya penyulit
pada organ paru dan organ lain di dalam rongga dada, maka penderita-penderita
demikian banyak yang jatuh ke dalam kor-pulmonal (PDPI, 2011).
Bila terbentuk kaverne yang cukup besar, kemungkinan batuk darah hebat
dapat terjadi dan keadaan ini sering menimbulkan kematian, walaupun secara
tidak langsung. Untuk diabetes melitus yang sulit dilakukan regulasi, dapat
menyebabkan penyembuhan penderita tuberkulosis menjadi lama, walaupun telah
memakai regimen yang adekuat(PDPI, 2011)
25
26
BAB III
KESIMPULAN
27
DAFTAR PUSTAKA
Bahar, A dan Zulkifli Amin.2014. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.
Bahar, A.dan Zulkifli Amin. 2014. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi VI. Jakarta : BPFKUI.
Bayupurnama, Putut. 2014. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II, Edisi VI. Jakarta : BPFKUI.
World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2011. Geneva World
Health Organization. 2011
World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2010. Geneva World
Health Organization. 2010
28