Anda di halaman 1dari 9

Laporan Pendahuluan

Kebutuhan Dasar Manusia


Mobilitas Fisik
Ruang Nusa Indah RSUD Doris Sylvanus Palangkaraya

Disusun oleh :
Mesy
PO.62.20.1.19.101
Reguler XXIIC

POLTEKKES KEMENKES PALANGKARAYA


PRODI DIII KEPERAWATAN
Pengertian
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara mudah,
bebas dan teratur untuk mencapai suatu tujuan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
baik secara mandiri maupun dengan bantuan orang lain dan hanya dengan bantuan alat
(Widuri, 2010). Mobilitas adalah proses yang kompleks yang membutuhkan adanya koordinasi
antara sistem muskuloskeletal dan sistem saraf (P. Potter, 2010)
Mobilisasi adalah suatu kondisi dimana tubuh dapat melakukan kegiatan dengan bebas
(Kozier, 2010). Jadi mobilitas atau mobilisasi adalah kemampuan individu untuk bergerak secara
bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna
mempertahankan kesehatannya untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri (SDKI, 2016:124). Berdasarkan uraian di atas, seseorang yang
mengalami masalah gangguan kebutuhan mobilitas fisik akan mengalami sulit untuk melakukan
aktivitas sehari-hari. Hal tersebut menandakan bahwa bagian ekstremitas sangat penting dalam
melakukan kegiatan sehari-hari.

Etiologi
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), faktor penyebab terjadinya gangguan mobilitas
fisik, antara lain kerusakan integritas struktur tulang, perubahan metabolisme, ketidakbugaran
fisik, penurunan kendali otot, penurunan massa otot, penurunan kekuatan otot, keterlambatan
perkembangan, kekakuan sendi, kontraktur, malnutrisi, gangguan muskuloskeletal, gangguan
neuromuskular, indeks masa tubuh di atas persentil ke-75 usia, efek agen farmakologi, program
pembatasan gerak, nyeri, kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik, kecemasan,
gangguan kognitif, keengganan melakukan pergerakan, dan gangguan sensoripersepsi.
NANDA-I (2018) juga berpendapat mengenai etiologi gangguan mobilitas fisik, yaitu
intoleransi aktivitas, kepercayaan budaya tentang aktivitas yang tepat, penurunan ketahanan
tubuh, depresi, disuse, kurang dukungan lingkungan, fisik tidak bugar, serta gaya hidup kurang
gerak. Pendapat lain menurut Setiati, Harimurti, dan Roosheroe (dalam Setiati, Alwi, Sudoyo,
Stiyohadi, dan Syam, 2014) mengenai penyebab gangguan mobilitas fisik adalah adanya rasa
nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, masalah psikologis, kelainan postur, gangguan
perkembangan otot, kerusakan sistem saraf pusat, atau trauma langsung dari sistem
muskuloskeletal dan neuromuskular.
Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala pada gangguan mobilitas fisik menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI
(2017) yaitu :
a. Tanda dan gejala mayor
Tanda dan gejala mayor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu mengeluh sulit
menggerakkan ekstremitas. Kemudian, untuk tanda dan gejala mayor objektifnya, yaitu
kekuatan otot menurun, dan rentang gerak menurun.
b. Tanda dan gejala minor
Tanda dan gejala minor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu nyeri saat bergerak,
enggan melakukan pergerakan, dan merasa cemas saat bergerak. Kemudian, untuk tanda dan
gejala minor objektifnya, yaitu sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, dan
fisik lemah.
NANDA-I (2018) berpendapat bahwa tanda dan gejala dari gangguan mobilitas fisik, antara
lain gangguan sikap berjalan, penurunan keterampilan motorik halus, penurunan keterampilan
motorik kasar, penurunan rentang gerak, waktu reaksi memanjang, kesulitan membolak-balik
posisi, ketidaknyamanan, melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan, dispnea
setelah beraktivitas, tremor akibat bergerak, instabilitas postur, gerakan lambat, gerakan
spastik, serta gerakan tidak terkoordinasi.

Patofisiologi
Neuromuskular berupa sistem otot, skeletal, sendi, ligamen, tendon, kartilago, dan saraf
sangat mempengaruhi mobilisasi. Gerakan tulang diatur otot skeletal karena adanya
kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagi sistem pengungkit. Tipe
kontraksi otot ada dua, yaitu isotonik dan isometrik. Peningkatan tekanan otot menyebabkan
otot memendek pada kontraksi isotonik. Selanjutnya, pada kontraksi isometrik menyebabkan
peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak terjadi pemendekan atau gerakan aktif
dari otot, misalnya menganjurkan pasien untuk latihan kuadrisep.
Gerakan volunter merupakan gerakan kombinasi antara kontraksi isotonik dan kontraksi
isometrik. Perawat harus memperhatikan adanya peningkatan energi, seperti peningkatan
kecepatan pernapasan, fluktuasi irama jantung, dan tekanan darah yang dikarenakan pada
latihan isometrik pemakaian energi meningkat. Hal ini menjadi kontraindikasi pada pasien yang
memiliki penyakit seperti infark miokard atau penyakit obstruksi paru kronik. Kepribadian dan
suasana hati seseorang digambarkan melalui postur dan gerakan otot yang tergantung pada
ukuran skeletal dan perkembangan otot skeletal. Koordinasi dan pengaturan kelompok otot
tergantung tonus otot dan aktivitas dari otot yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan
gravitasi. Tonus otot sendiri merupakan suatu keadaan tegangan otot yang seimbang. Kontraksi
dan relaksasi yang bergantian melalui kerja otot dapat mempertahankan ketegangan.
Immobilisasi menyebabkan aktivitas dan tonus otot menjadi berkurang. Rangka pendukung
tubuh yang terdiri dari empat tipe tulang, seperti panjang, pendek, pipih, dan irreguler disebut
skeletal. Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan, melindungi organ vital, membantu
mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan sel darah merah (Potter dan
Perry, 2012).
Pengaruh imobilisasi yang cukup lama akan terjadi respon fisiologis pada sistem otot
rangka. Respon fisiologis tersebut berupa gangguan mobilisasi permanen yang menjadikan
keterbatasan mobilisasi. Keterbatasan mobilisasi akan mempengaruhi daya tahan otot sebagai
akibat dari penurunan masa otot, atrofi dan stabilitas.
Pengaruh otot akibat pemecahan protein akan mengalami kehilangan masa tubuh yang
terbentuk oleh sebagian otot. Oleh karena itu, penurunan masa otot tidak mampu
mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Selain itu, juga terjadi gangguan pada
metabolisme kalsium dan mobilisasi sendi. Jika kondisi otot tidak dipergunakan atau karena
pembebanan yang kurang, maka akan terjadi atrofi otot. Otot yang tidak mendapatkan
pembebanan akan meningkatkan produksi Cu, Zn. Superoksida Dismutase yang menyebabkan
kerusakan, ditambah lagi dengan menurunya catalase, glutathioneperoksidase, dan mungkin
Mn, superoksida dismutase, yaitu sistem yang akan memetabolisme kelebihan ROS. ROS
menyebabkan peningkatan kerusakan protein, menurunnya ekspresi myosin, dan peningkatan
espresi komponen jalur ubiquitine proteolitik proteosome. Jika otot tidak digunakan selama
beberapa hari atau minggu, maka kecepatan penghancuran protein kontraktil otot (aktin dan
myosin) lebih tinggi dibandingkan pembentukkannya, sehingga terjadi penurunan protein
kontraktil otot dan terjadi atrofi otot.

Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan masalah gangguan mobilitas
fisik yaitu dengan memberikan latihan rentang gerak. Latihan rentang gerak yang dapat
diberikan salah satunya yaitu dengan latihan Range of Motion (ROM) yang merupakan latihan
gerak sendi dimana pasien akan menggerakkan masing-masing persendiannya sesuai gerakan
normal baik secara pasif maupun aktif.
Range of Motion (ROM) pasif diberikan pada pasien dengan kelemahan otot lengan
maupun otot kaki berupa latihan pada tulang maupun sendi dikarenakan pasien tidak dapat
melakukannya sendiri yang tentu saja pasien membutuhkan bantuan dari perawat ataupun
keluarga. Kemudian, untuk Range of Motion (ROM) aktif sendiri merupakan latihan yang
dilakukan sendiri oleh pasien tanpa membutuhkan bantuan dari perawat ataupun keluarga.
Tujuan Range of Motion (ROM) itu sendiri, yaitu mempertahankan atau memelihara kekuatan
otot, memelihara mobilitas persendian, merangsang sirkulasi darah, mencegah kelainan bentuk
(Potter & Perry, 2012). Saputra (2013) berpendapat bahwa penatalaksanaan untuk gangguan
mobilitas fisik, antara lain:
a. Pengaturan posisi tubuh sesuai dengan kebutuhan pasien, seperti memiringkan pasien, posisi
fowler, posisi sims, posisi trendelenburg, posisi genupectoral, posisi dorsal recumbent, dan
posisi litotomi.
b. Ambulasi dini
Salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot serta
meningkatkan fungsi kardiovaskular. Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara melatih posisi
duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan yang lainnya.
c. Melakukan aktivitas sehari-hari.
Melakukan aktivitas sehari-hari dilakukan untuk melatih kekuatan, ketahanan, dan
kemampuan sendi agar mudah bergerak, serta mingkatkan fungsi kardiovaskular.
d. Latihan Range of Motion (ROM) aktif atau pasif.

Pengkajian Keperawatan
Pengkajian pada masalah pemenuhan kebutuhan mobilitas dan imobilitas pada pasien
stroke non hemoragik adalah sebagai berikut :
a. Identitas Klien
Identitas klien yang perlu dikaji meliputi nama, jenis kelamin, tanggal lahir, nomor register,
usia, agama, alamat, status perkawinan, pekerjaan, dan tanggal masuk rumah sakit.
b. Identitas Penanggungjawab
Identitas penanggungjawab yang perlu dikaji meliputi nama, umur, pekerjaan, alamat, dan
hubungan dengan klien.
c. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Gejala yang menjadi keluhan utama pada pasien Stroke non hemoragik adalah lemah
sebelah anggota gerak yang timbul mendadak, dan sakit kepala (Bararah & Jauhar, 2013).
2) Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang muncul pada pasien Stroke non hemoragik dengan masalah gangguan
mobilitas fisik pada saat dikaji adalah adanya lemah sebelah anggota gerak, bicara kurang jelas,
dan nyeri dikepala.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya klien dengan penyakit Stroke non hemoragik memiliki kebiasan atau pola hidup
yang kurang sehat seperti gaya hidup merokok, memakan makanan yang mengandung garam,
makan makanan yang bersantan dan berminyak, adanya riwayat penyakit hipertensi, diabetes
melitus, anemia, riwayat trauma kepala, riwayat jatuh, penyakit kardiovaskuler (Widagdo, dkk,
2008).
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Perlu dikaji adanya riwayat keluarga yang memiliki penyakit keturunan seperti adanya
riwayat jantung, hipertensi, DM. Sesuai dengan etiologi yang dikemukakan dalam Padila (2012),
yaitu salah satu faktor pencetus timbulnya penyakit stroke yaitu faktor genetik atau keturunan.
Faktor pencetus tersebut merupakan faktor yang tidak dapat diubah oleh pasien.

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons pasien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung
aktual maupun potensial. Tujuan diagnosis keperawatan adalah untuk mengidentifikasi respons
pasien individu, keluarga, komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (Tim
Pokja DPP PPNI, 2016).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien stroke non hemoragik yaitu gangguan
mobilitas fisik berhubungan penurnan kekuatan otot ditandai dengan mengeluh susah
menggerakkan ekstermitas, rentang gerak (ROM) menurun. (Tim Pokja DPP PPNI, 2016).Adapun
diagnosa yang mungkin muncul pada pasien stroke non hemoragik:
a. Gangguan menelan berhubungan dengan penurunan fungsi nerfus vagus atau hilangnya
refluks muntah
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk mencerna makanan, penurunan fungsi nerfus hipoglosus.
c. Nyeri akut
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparesis, kehilangan keseimbangan dan
koordinasi, spastisitas dan cedera otak.
e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gejala sisa stroke
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hemiparesis/hemiplegia, penurunan
mobilitas.
g. Resiko jatuh berhubungan dengan perubahan ketajaman penglihatan

Intervensi
Rencana keperawatan merupakan fase dari proses keperawatan yang penuh pertimbangan
dan sistematis serta mencakup pembuatan keputusan untuk menyelesaikan masalah (Kozier et
al., 2010). Menurut McCloskey & Bulecheck, intervensi keperawatan adalah setiap tindakan
berdasarkan penilaian klinis dan pengetahuan, yang perawat lakukan untuk meningkatkan hasil
pada pasien (Kozier et al., 2010).
1. Kaji tingkat mobilisasi pasien dengan ( Tingkatan 0-4) secara berkala.
Rasional: Menunjukan perubahan tingkatan mobilisasi pasien setiap hari.
2. Kaji kekuatan otot/kemampuan fungsional mobilitas sendi dengan menggunakan ( skala
kekuatan otot 0-5) secara teratur.
Rasional: Menentukan perkembangan peningkatan kekuatan otot/mobilitas sendi pasien
sebelum dan sesudah dilakukan latihan rentang gerak (ROM).
3. Monitor tanda-tanda vital.
Rasional: Kelumpuhan otot mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas
4. Instruksi/bantu pasien melakukan latihan ROM pasif/aktif secara konsisten.
Rasional: Meminimalkan atrofi otot, mningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontrakutur
dan meningkatkan pemulihan fungsi kekuatan otot dan sendi.
5. Instruksikan pasien pada aktivitas sesuai dengan kemampuannya.
Rasional: Meningkatkan kemampuan aktivitas mandiri pasien, harga diri, dan peran diri pasien
sehari-hari.
6. Melibatkan pasien dalam perawatan untuk mengurangi depresi dan kebosanan yang
berkaitan dengan terapi mobilisasi range of motion (ROM).
Rasional: Peran pasien mendukung motivasi diri untuk menikmati pengobatan dan perawatan
yang diberikan.
7. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik (Fisioterapi) atau okupasi dan atau rehabilitasi spesialis.
Rasional: Mendukung peningkatan kekuatan otot dan fungsi ekstremitas fungsional dan
mencegah kontraktur.
Evaluasi
Evaluasi adalah fase kelima dan fase terakhir proses keperawatan. Evaluasi adalah aspek
penting proses keperawatan karena kesimpulan yang ditarik dari evaluasi menentukan
menentukan apakah intervensi keperawatan harus diakhiri, dilanjutkan, atau diubah. Evaluasi
berjalan kontinu, evaluasi yang dilakukan ketika atau segera setelah mengimplementasikan
program keperawatan memungkinkan perawat segera memodifikasi intervensi. Evaluasi yang
dilakukan pada interval tertentu (misalnya, satu kali seminggu untuk klien perawatan dirumah)
menunjukan tingkat kemajuan untuk mencapai tujuan dan memungkinkan perawat untuk
memperbaiki kekurangan dan memodifikasi rencana asuhan sesuai kebutuhan (Kozier, 2010).
Setelah dilakukan tindakan keperawatan sudah ditentukan pada setiap masalah
keperawatan yang terdapat pada pasien, maka dilakukan evaluasi pada setiap tindakan
keperawatan mengacu pada tujuan yang sudah ditetapkan. Evaluasi yang dilakukan pada
masalah keperawatan gangguan mobilitas fiisk mengacu pada tujuan, yaitu mobilitas fisik
meningkat dengan kriteria pergerakan ekstremitas meningkat, kekuatan otot cukup meningkat,
rentang gerak (ROM) meningkat, nyeri menurun, kekakuan sendi cukup menurun, kelemahan
fisik cukup menurun, kecemasan menurun gerakan terbatas cukup menurun, serta gerakan
tidak terkoordinasi cukup menurun (SLKI, 2019) dan pergerakan pasien dapat meningkat (NOC,
2016) dengan kriteria gerakan sendi sedikit terganggu, gerakan otot sedikit terganggu,
koordinasi sedikit terganggu, serta keseimbangan sedikit terganggu.
Kemudian, evaluasi pada masalah keperawatan risiko jatuh melihat pada tujuannya, yaitu
tingkat jatuh pasien menurun (SLKI, 2019 dan NOC, 2016). Selanjutnya, pada masalah
keperawatan gangguan integritas kulit atau jaringan dengan tujuan integritas kulit dan jaringan
meningkat (SLKI, 2019 dan NOC, 2016). Evaluasi yang terakhir yaitu pada masalah keperawatan
kesiapan peningkatan pengetahuan dengan tujuannya, yaitu tingkat pengetahuan membaik
(SLKI, 2019) dan pengetahuan perilaku kesehatan meningkat (NOC, 2016).
DAFTAR PUSTAKA
Asuhan Keperawatan Gangguan Mobilitas Fisik Pada Pasien Stroke Non
Hemoragik di Irna C RSSN Bukit Tinggi. Diakses pada 19 Maret 2021.
pustaka.poltekkes-pdg.ac.id
BAB II Tinjauan Pustaka A. Gangguan Mobilitas Fisik. Diakses pada 19 Maret 2021.
repository.poltekkes-denpasar.ac.id
BAB II Tinjauan Pustaka A. Konsep Gangguan Mobilitas Fisik. Diakses pada 19
Maret 2021. eprints.poltekkesjogja.ac.id

Anda mungkin juga menyukai