Anda di halaman 1dari 24

AKUNTANSI KEUANGAN LANJUTAN 1

TUGAS MAKALAH

“AKTIVA LANCAR”

Dosen Pengampu : Kayati,SE.,M.Si

Disusun Oleh:

Iin Iryani 3M Akuntansi 114040417


Siska 3K akuntansi 114040357

Kelas : 3C Rumpun Akuntansi Pajak

PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

CIREBON

2016
“AKTIVA LANCAR”

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Mata Kuliah Akuntansi Pajak


Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi

Disusun Oleh:

Iin Iryani 3M Akuntansi 114040417


Siska 3K akuntansi 114040357

Kelas : 3C Rumpun Akuntansi Pajak

PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

CIREBON

2016
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur marilah kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan begitu banyak nikmat yang mana makhluk-Nya pun tidak akan menyadari
begitu banyak nikmat yang telah didapatkan dari Allah SWT. Selain itu, penulis juga
merasa sangat bersyukur karena telah mendapatkan hidayah-Nya baik iman maupun
islam.

Dengan nikmat dan hidayah-Nya pula kami dapat menyelesaikan penulisan


makalaini yang merupakan tugas mata kuliah Kewirausahhan. Penulis sampaikan
terimakasih sebesar-besarnya kepada dosen pengampu mata kuliah “Akuntansi Pajak”
Ibu Kayati,SE.,M.S dan semua pihak yang turut membantu proses penyusunan makalah
ini.

Penulis menyadari dalam makalah ini masih begitu banyak kekurangan-


kekurangan dan kesalahan-kesalahan baik dari isinya maupun struktur penulisannya,
oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran positif untuk perbaikan
dikemudian hari.

Demikian semoga makalah ini memberikan manfaat umumnya pada para


pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri. Aamiin.

Cirebon, September 2016

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I.................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.............................................................................................................3
1.1 Latar Belakang....................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................4
1.3 Tujuan......................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................5
2.1 Kas dan Bank......................................................................................................5
2.2 Sekuritas..............................................................................................................7
2.2.1 Saham..........................................................................................................7
2.2.2 Obligasi........................................................................................................9
2.2.3 Saham pada pasangan perusahaan modal ventura, SUN, dan surat utang
lainnya.......................................................................................................................9
2.2.4 Instrumen keuangan derivative..................................................................10
2.2.5 Sekuritas yang Lain...................................................................................10
2.3 deposito..................................................................................................................11
2.4 wesel tagih.............................................................................................................12
2.5 piutang usaha....................................................................................................13
2.6 Piutang yang Lain..................................................................................................15
2.7 Persediaan..............................................................................................................16
2.8 Biaya Dibayar di Muka.........................................................................................19
BAB III PENUTUP.........................................................................................................21
3.1 KESIMPULAN.................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................22
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Aktiva Lancar atau Current Asset ialah harta perusahaan yang dapat
ditukarkan dengan uang tunai dalam waktu yang relatif singkat. Biasanya ukuran
waktu yang dipakai ialah siklus usaha atau tahun buku tergantung mana yang
lebih pendek. Karena itu uang tunai termasuk kedalam aktiva lancar juga (Sophar
L. : 1996).

(PSAK No.9) Aktiva lancar adalah aktiva yang dapat direalisasikan dalam
satu tahun atau dalam siklus operasi normal perusahaan, mana yang lebih lama,
antara lain meliputi:

a. Kas dan bank.


b. Surat-surat berharga yang mudah dijual dan tidak dimaksudkan untuk
ditahan.
c. Deposito jangka pendek.
d. Wesel tagih yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun.
e. Piutang.
f. Persediaan.
g. Pembayaran uang muka untuk pembelian aktiva lancar.
h. Pembayaran pajak di muka
i. Biaya dibayar di muka.

Pos-pos berikut ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai aktiva lancar:

a. Kas/bank maupun sumber lain yang dibatasi penggunaannya, seperti


dana yang disisihkan untuk perolehan aktiva tetap atau pelunasan
kewajiban jangka panjang.

3|Aktiva Lancar
b. Pernyertaan dalam surat berharga atau pembayaran uang muka dengan
makud untuk menguasai atau melakukan afiliasi dengan perusahaan
lain;
c. Piutang lain-lain yang timbul dari transaksi di luar kegiatan utama
perusahaan yang tidak diharapkan pencairannya dalam jangka waktu
satu tahun, seperti uang muka pada pemegang saham atau direksi;
d. Aktiva yang dapat disusutkan maupun aktiva tetap lainnya.

1.2 RUMUSAN MASALAH

a. Apa saja pos-pos yang disajikan dalam aktiva lancar ?


b. Bagaimana pengertian dan pemahaman terhadap pos-pos aktiva lancar
dilihat dari aspek fiskal ?

1.3 TUJUAN

a. Mengetahui pos-pos yang disajikan dalam aktiva lancar


b. Memahami tentang bagaimana pengertian terhadap pos-pos aktiva
lancar dilihat dari aspek fiskal

4|Aktiva Lancar
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KAS DAN BANK

Kas ialah uang tunai yang paling likuid, sehingga pos ini biasanya
ditempatkan pada urutan teratas dari aktiva. Yang termasuk dalam kas ialah
seluruh alat pembayaran yang dapat digunakan segera seperti uang kertas, uang
logam, dan saldo rekening giro di bank. Bank ialah saldo rekening giro yang dapat
digunakan secara bebas untuk membiayai kegiatan usaha. Pengertian tentang dan
perlakuan terhadap kas dan bank dalam perpajakan dan akuntansi sama. Demikian
pentingnya uang kas dan bank, sehingga ketentuan perpajakan mengatur agar
dalam pembukuan setidak-tidaknya catatan kas, utang piutang, dan persediaan
harus diadakan. (Sophar L. :1996)

Istilah kas menunjuk pada alat pembayaran yang siap dan bebas
dipergunakan untuk membiayai kegiatan umum perusahaan, sedangkan bank
menunjuk pada sisa rekening giro perusahaan di bank yang dapat dipergunakan
secara bebas untuk membiayai kegiatan umum perusahaan. Dalam pengertian kas
dan bank tidak termasuk dana yang disishkan untuk tujuan tertentu, persediaan
prangko, cek mundur, cek kosong dari pihak ketiga, dan rekening giro pada bank
di luar negeri yang tidak dapat segera dipakai. (Gunadi : 2009)

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1994, rekening giro


dimasukkan dalam dalam kelompok tabungan. Kepada penabung, tabungan,
termasuk rekening giro, memberikan penghasilan berkala berupa bunga. Dalam
akuntansi Komersial, penghasilan bunga bukan merupakan motivasi utama
pembukuan rekening giro di bank, karena barang kali jumlahnya tidak begitu
berarti. Kalau terdapat bunga dari rekening giro, akuntansi komersial akan
mencatatnya sebagai penghasilan. (Gunadi : 2009)

5|Aktiva Lancar
Sesuai dengan Ketentuan Umum Perpajakan, bunga dikenakan pajak
penghasilan dengan tarif final 20% dan tidak boleh digabung dengan penghasilan
yang lain (yang dikenakan tarif umum). Oleh Karena itu untuk tujuan akuntansi
perpajakan, penghasilan itu tidak perlu dicantumkan dalam kelompok penghasilan
(kena pajak) pada akhir tahun. (Gunadi : 2009)

Bagaimana teknik dan metode pembukuan kas dan bank diselenggarakan,


Ketentuan Umun Perpajakan tidak mengatur secara rinci. Jadi, praktik akuntansi
komersial dapat diikuti sepenuhnya. Untuk tujuan pengendalian kas dan bank
perusahaan melakukan pemisahan dana antara kas kecil (dipakai untuk
pengeluaran harian) dan kas besar (dipakai untuk pengeluaran tertentu). Biasanya
wajib pajak mengoperasikan kas kecil (petty cash) dengan variasi antara:

1. Metode Imprest (metode dana tetap dengan pencatatan transaksi dan mutasi
dana kas kecildilakukan pada saan penggantian dana) atau
2. Metode dana berfluktuasi (dengan pencatatan transaksi dan mutasi dana
setiap saat.

Semua itu diserahkan sepenuhnya kepada prakyik pembukuan wajib pajak.


Demikian juga dengan penyelenggaraan rekonsiliasi antara saldo kas dan saldo
bank.

Pada akhir tahun buku, adanya akrualisasi biaya pada sistem kas kecil
dengan metode dana tetap dan sebagai akibat penyesuaian (biaya dan penghasilan)
karena rekonsiliasi saldo kas dengan saldo bank, dalam penyelenggaraan
pembukuan untuk keperluan perpajakan adanya biaya dan penghasilan dari
akrualisasi, itu harus disesuaikan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku
(Gunadi :2009)

6|Aktiva Lancar
2.2 SEKURITAS

Sekuritas dalam bentuk surat berharga, misalnya saham dan obligasi yang
mudah di jual belikan merupakan bentuk investasi sementara untuk memanfaatkan
dana yang tidak dipergunakan (secondary cash reserves). Dengan motivasi
penyisihan dana sementra itu, keuntungan karena fluktuasi harga bukan
merupakan tujuan utama dari pembelian sekuritas. Sekuritas dapat berbentuk
saham ( sekuritas ekuitas), obligasi, dan sekuritas yang lain (Gunadi :2009).

2.2.1 Saham

Sekuritas saham dapat berbentuk saham biasa dan saham preferen.


Sebagaimana terjaadi pada akuntansi komersial, pada saat pembelian nilai saham
dicatat sebesar harga perlehannya. Penghasilan dari saham dapat berupa dividen
(tunai, saham atau harta) saham bonus (dari revaluasi aktiva atau kapitalisasi
agio), dari hak membeli emisi saham perusahaan (stock warrants, preemptive
right, right issue),dan keuntungan karena pelepasan saham (capital gains). Selain
capital gain, apabila sekuritas saham itu dimiliki oleh wajib pajak badan maka
sesuai dengan ketentuan pasal 4 ayat 3 huruf F UU PPh penghasilan dividen tidak
dikenakan pajak dengan syarat:

a. Dividen berasal dari laba yang ditahan.


b. Bagi perseroan terbatas, BUMN, dan BUMD penerima dividen harus
memiliki saham badan pemberi dividen paling kurang 25% (kalau sahamnya
kurang dari batas minimal tersebut dividen dimaksud tetap dikenakan pajak).

Praktik akuntansi komersial menyediakan dua pilihan pennilaian sekuritas


saham di neraca yaitu harga perolehan (cost method) dan harga terendah antara
harga perolehan dan harga pasar (cost or market price whichever is lower). Dalam
praktik, terutama untuk saham yang mobilitasnya di pasar modal cukup tinggi,
pembukuan saham kebanyakan didasarkan atas nilai perolehan dengan alasan
harga pasar bersifat sementara. Berdasarkan alasan itu, metode penilaian dengan
harga terendah antara harga pasar dan harga perolehan sering tidak dipakai.
(Gunadi : 2009)

7|Aktiva Lancar
Untuk keperluan akuntansi perpajakan, penjelasan pasal 10 ayat (6) UU PPh
menyatakan ketentuan tentang penilaian persediaan berlaku juga untuk sekuritas.
Bahkan pada masa krisis keuangan global pertengahan tahun 2008 yang
membawa jatuhnya harga pajak final 0,1% per basis bruto berapapun harga jual
asset (impairment of asset value). Sebagaimana diatur PSAK 48, dan pengakuan
kerugian sekuritas akibat merosotnya IHSG di Bursa Efek Indonesia tidak relevan
dalam konteks Akuntansi Pajak.

Untuk keperluan pajak persediaanhanya diperbolehkan untuk dinilai


berdasarkan harga perolehan. Oleh karena itu, alternatif penilian sekuritas
menurut harga terendah antara harga perolehan dan harga pasar tidak di
perkenankan. Dengan berklakunya metode penilaian berdasarkan harga perolehan,
penghasilan saham yang berupa dividen hanya diakui pada saat secara nyata
terdapat pembagian dividen. Dalam peraturan Pemerintah Nomer 41 Tahun 1994,
penghasilan (positif dan negatif) dari transaksi penjualan saham dibursa efek
dikenakan pajak penghasilan 0,1% untuk saham pada umumnya atau 5,1% untuk
saham pendiri (berdasarkan Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1997 tarif pajak
saham pendiri 5% tersebut diturunkan 0,5% yang harus dilunasi pada 29 Mei
1997 bagi saham yang telah ada dan saat itu belum diperdagangkan di Bursa atau
pada saat penawaran umum perdana (initial public offering) bagi saham pendiri
yang terbit setelah itu). Karena pungutan pajak itu diperlakukan sebagai pungutan
final maka untuk akuntansi pajak, penghasilan dari pennjualan saham tidak perlu
dilaporkan dalam SPT Tahunan dan dikonsolidasikan denagn penghasilan lainnya
yang tidak dikenakan pajak final. Sebagai akibat pengenaan final itu, semua
pengeluaran dan biaya tidak dapat dikurangkan pada penghasilan baik yang
berasal dari saham itu maupun penghasilan yang lain. Misalnya, PT Andi pada
Oktober 1996 menjual saham PT Iwan, yang dibelinya Rp 1.000.000,00 dengan
harga Rp 1.100.000,00 dan biaya penjualan (jasa pialang dan sebagainya) Rp
10.000,00. Keuntungan bersih PT Andi dari penjualan saham itu Rp 90.000,00.
Namun, untuk tujuan perpajakan jumlah keuntungan itu dikesampingkan, dan PT
Andi harus membayar pajak final sejumlah Rp 1.100,00 (0,1% x Rp 1.100.00,00).
Demikian juga kalau sebaliknya terdapat kerugian (misalnya saham dijual dengan
harga Rp 950.000,00) oleh administrasi pajak kerugian itu dikesampingkan, dan

8|Aktiva Lancar
perusahaan tetap harus membyar pajak penghasilan RP 950,00 (0,1% x Rp
950.000,00) tanpa mempertimbangkan adanya fakta kerugian. Hal ini semata-
mata karena alasan kesederhanaan administrasi pemajakan dan pemberian
kepastian kepada para pembayar pajak dan pelaku pasar. (Gunadi : 2009)

2.2.2 Obligasi

Perlakuan akuntasi pajak atas sekuritas obligasi hampir sama dengan


saham. Kalau dalam pembelian obligasi termasuk unsur bunga berjalan, bunga itu
harus diperhitungkan sebagai penghasilan. Pajak penghasilan yang dipungut atas
bunga obligasi tidak boleh dikapitalisasi, tetapi harus dicatat sebagai pajak yang
dibayar dimuka (pasal 23) untuk obligasi yang diperdagangkan di BEI dipotong
pajak final sebesar 20% berlaku juga atas agio (diskon) yang diterima pada saat
obligasi atau realisasi pada saat penjualan obligasi (capital gains) di BEI. (Gunadi
: 2009)

Berbeda dengan dividen antar badan, tiap bunga obligasi antar badan
dikenakan pajak penghasilan. Penghasilan obligasi selain bunga tetap, dapat
berupa keuntungan pelepasan (capital gains) dan realisasi disagio (selisih antara
nilai nominal dengan nilai perolehan) pada saat pelunasan obligasi. Hanya bunga
obligasi dan dividen dari saham yang diperdagangkan di bursa yang diterima
wajib pajak perseorangan yang tidak melebihi jumlah penghasilan tidak kena
pajak (setahun) dibebaskan dari pajak. Prinsip penilaian sekuritas saham berlaku
juga atas obligasi. Demikian juga dengan catatan pelaporan obligasi melalui bursa
efek diperlukan sama dengan saham. (Gunadi : 2009)

2.2.3 Saham pada pasangan perusahaan modal ventura, SUN, dan surat
utang lainnya

Perusahaan modal ventura merupakan sarana mendorong pemerataan


pembangunan dan peran serta seluruh lapisan masyarakat dengan penyertaan
modalnya pada perusahaan pasangan usaha khususnya usaha kecil dan menengah
dengan omset paling banyak Rp 5 Milyar setahun (KMK 25/95). Bagian laba

9|Aktiva Lancar
yang diperoleh dari pasanan usaha modal ventura, menurut pasal 4 (3) huruf (k)
UU PPh dikecualikan dari objek pajak. Selanjutnya apabila saham tersebut dijual
di BEI menurut Peraturan Pemerintah Nomor 4/1995 dikenakan pajak vinal
sebesar 0,1% atas nilai penjualan bruto. Wajib pajak dapat pula mempunyai SUN
dan surat-surat utang lainnya misalnya SUKUK atau sebagainya yang perlakuan
perpajakannya sama dengan obligasi baik bunga, diskon maupun keuntungan
penjualannya (neto) dikenakan pajak final 20%. (Gunadi : 2009)

2.2.4 Instrumen keuangan derivative

Secara sederhana derivative merupakan instrumen yang nilainya


ditentukan (turunan) oleh aset lain(underlying asset). Underlying asset dapat
berupa aset finansial seperti saham, niali tukar valas, nilai IHSG, dan sebagainya
dan aset non finansial (komodities seperti karet, kapas dan sebagainya.
Perdagangan derivative dapat mendatangkan keuntungan atau kerugian.
Pengakuan penghasilan dimaksud, secara teoritis dapat dilakukan beradasr
beberapa prinsip seperti :

a. Realisasi ( pada saat realisasi transaksi atau akhir masa kontrak)


b. Harga Pasar ( Mark to market basis : setiap akhir tahun buku berdasar harga
perolehan dengan nilai pasar)
c. Penyesuaian (Matching principles : pengakuan nilai penghasilan dari
derivative waktunya disamakan dengan saat pengakuan penghasilan dari
underlying transaksi yang diberi lindung nilai dengan derivative dimaksud).
(Gunadi : 2009)

2.2.5 Sekuritas yang Lain

Wajib pajak dapat mempunyai sekuritas yang lain seperti;

a. Warkat komersial (commercial paper);


b. Surat promes (promissory notes);
c. Bill off change (trade acceptance);
d. Banker’s acceptence;

10 | A k t i v a L a n c a r
e. Sertifikat deposito; dan
f. Repurchase agreement.

Semua sekuritas itu merupakan instrumen pasar uang yang dapat


diperjualbelikan setiap saat. Selisih antara nilai yang dibayar pada saat pembelian
dan nilai yang diterima pada saat penjualan atau pelunasan merupakan
penghasilan bagi pemegang sekuritas dan biaya bagi penerbit sekuritas.
Sebagaimna terjadi dengan penghasilan yang dikenakan pajak pada pemegang
sekuritas, biaya dan kerugian dapat dikurangkan penghasilan oleh penerbit
sekuritas. Metode penilaian pada saham dan obligasi dapat diterapkan terhadap
jenis sekuritas yang lain. (Gunadi : 2009)

2.3 DEPOSITO

Tergantung pada faktanya, deposito dapat dimasukkan dalam satuan mata


uang rupiah atau valas, jangka pendek atau jangka panjang, di dalam atau di luar
negeri. Karena ketentuan pajak tidak mengatur sendiri, dalam pembukuan dapat
dianut praktik akuntansi komersial. Untuk tujuan perpajakn berdasarkan PP
Nomer 51 Tahun 1994) dalam pengertian deposito termasuk deposit on call.
Bagaimana deposito dibukukan, ketentuan pajak tidak mengaturnya melainkan
cukup diserahkan kepada praktik akuntansi yang diterima masyarakat. Begitu juga
pengakuan dengan penghasilannya yang berupa bunga. Bersama dengan bunga
tabungan dan diskonto sertifikan Bank Indonesia, bunga dari deposito semula
dikenakan pajak 15% berdasarkan PP131 Tahun 2000 dinakikkan menjadi 20%
dan bersifat final. (Gunadi : 2009)

Karena sudah dikenakan pajak final diakhir tahun,bunga deposito bukan


merupakan penghasilan kena pajak pada SPT dan pajaknya tidak dapat
dikreditkan. Untuk deposito dalam valuta asing, keuntungan atau kerugian karena
fluktuasi nilia tukar dapat diakui pada saat realisasi (pencairan) deposito. Namun,
apabila perusahaan menyelenggarakan pembukuan berdasarkan pada nilai tukar
diakui dan kena pajak pada tahun yang bersangkutan. (Gunadi : 2009)

11 | A k t i v a L a n c a r
2.4 WESEL TAGIH

Walaupun secara essensial sama dengan bentuk promes, wesel taggih


(notes receivable yang keduannya pada saat ini hampir-hamoir sudah jarang
dimanfaatkan dunia usaha), berbeda dengan warkat komersial. Keberadaan
promes yang merupakan wesel tagih, umumnya, karena sebelumnya ada utang
piutang dari penyerahan barang atau jasa. Promes yang merupakan instrumen
untuk mendapatkan pendanaan bagi si penerbit (yang kemudian didiskontokan)
disebut warkat komersial. (Gunadi : 2009)

Jenis wesel dapat atas nama (tak dapat dipindahkan kepada orang lain)
atau atas unjuk. Di lain tataran, promes dapat tanpa bunga (dibayar sebesar nilai
nominal) atau dengan bunga (dibayar plus bunga). Bunga yang diterima pada saat
pelunasan merupakan pengahsilan pemegang wesel dan biaya bagi penerbit
promes. (Gunadi : 2009)

Untuk tujuan perpajakan, selain penyelenggarakan administrasi piutang


yang teratur, sebelum terdapat ketentuan khusus tentang penyelenggaraan
pembukuan wesel. Oleh karena itu, praktik akuntansi komersial wesel dapat
diikuti. (Gunadi : 2009)

Ada yang berpendapat bahwa perlu untuk memisahkan pencatatan antara


penjualan wesel tagih dan piutang bunga. Mereka ini menyatakan terdapat laba
(rugi) dari pennjualan wesel sebesar selisih antara jumlah uang yang diterima dan
nilai nominal wesel. Untuk itu, diperlukan penyesuaian penghasilan bunga dalam
masa kepemilikan wesel (holding period) sebagai berikut.

Wesel dengan bunga 9% Wesel dengan bunga 15%


1. Penyesuaian penghasilan
bunga (10-25 juni 1993)

Piutang bunga 3.750 Piutang bunga 6.250


Penghasilan bunga 3.750 Penghasilan bunga 6.250
2. Pencatatan penjualan wesel

Kas 999.775 Kas 1.000.000

12 | A k t i v a L a n c a r
Rugi penjualan wesel 3.975 Piutang bunga 6.250
Piutang bunga 3.750 Piutang wesel 1.000.000
Piutang wesel 1.000.000 Laba penjualan wesel 3.375

2.5 PIUTANG USAHA

Piutang usaha meliputi piutang yang timbul karena penjualan produk atau
penyerahan jasa dari kegiatan normal perusahaan. Piutang usaha terjadi karena
penjualan barang atau penyerahan jasa secara kredit.(Gunadi : 2009)

Kalau wajib pajak sekaligus merupakan pengusaha kena pajak, wajib pajak
(pengusaha) itu wajib memungut PPN atas penyerahan barang dan jasa kena pajak
yang dilakukannya. Secara toritis pengakuan dan pembukuan atas penjualan
dilakukan pada saat pengiriman barang yang diikuti dengan penerbitan faktur
(komersial). Untuk tujuan perpajakan (PPN), pengusaha diminta untuk penerbitan
faktur pajak selambatnya 30 hari setelah penyerahan barang (faktur standar) atau
berasama-sama pada akhir bulan (faktur gabungan). Karena ada dua faktur
(komersial dan pajak) menjadi masalah bagi pengusaha kapan penjualan barang
dan jasa harus dibukukan (diakui). Untuk tujuan pajak pengghasilan, saat
pencatatan umumnya mengikuti praktik akuntani komersial. (Gunadi : 2009)

Dalam akuntansi komersial sering terjadi pemberian pemotongan perniagaan


(trade discount) dan potongan tunai (cash discount). Selain itu, sering terjadi retur
penjualan. Praktik akuntansi komersial (dengan mengurangkannya dari penjualan
bruto) tampak diikuti oleh ketentuan pajak. Namun, pembukuan penyisihan
(allowance) untuk potongan tunai dan retur penjualan kelihatannya tidak
diperkenankan untuk tujuan perpajakan karena ketentuan pajak lebih menekankan
pada keadaan senyatanya dan bukan bersifat antisipatif dengan penyisihan itu.
(Gunadi : 2009)

Akan tetapi, untuk jenis usaha tertentu (bank dan asuransi), SKMK No.
80/KMK.04/1995 tanggal 6 Februari 1995 memperkenankan pembentukan
cadangan. Besarnya cadangan tiap tahun dihitung berdasarkan pendekatan neraca
(a) baik bank atau pemerintah maupun swasta 3% dari rata-rata saldo piutang awal
dan akhir; (b) perusahaan sewa guna usaha dengan hak opsi 2,50% adri rata-rata

13 | A k t i v a L a n c a r
saldo awal dan saldo akhir piutang; (c) asuransi kerugian 40% dari premi. Selain
itu, cadangan kerugian untuk asuransi kerugian sebesar klaim kerugian yang telah
ditetapkan oleh tim penyelesaian perusahaan, sedangkan cadangan premi untuk
asuransi jiwa dihitung berdasarkan perhitungan aktuaria yang telah mendapat
pengesahan dari Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (Departemen Keuangan).
Sementara itu, perusahaan pertambangan diperbolehkan membentuk cadangan
dana reklamasi ke bank pemerintah. (Gunadi : 2009)

Sebagai contoh, dalam tahun 1995 piutang awal suatu bank swasta
Rp10.000.000,00, sedangkan saldo akhirnya Rp25.000.000,00. Dalam Tahun
1995 itu terdapat penghapusan piutang Rp100.00,00. Saldo akhir piutang akhir
1996 Rp5.000.000,00. Dari data itu dapat dilakukan beberapa perhitungan sebagai
berikut:

1. Jumlah cadangan penghapusan piutang pada akhir tahun 1995 adalah 3% x


(Rp10.000.000 + 25.000.000) :2 =Rp525.000,00
2. Dengan adanya penghapusan piutang Rp100.000,00 maka untuk
mendapatkan saldo cadangan piutang Rp525.000,00 harus ada
pembebanan ke laba-rugi Rp6.255.000,00.
3. Jumlah cadangan piutang yang harus ada pada akhir tahun 1996 adalah 3%
x (Rp25.000.000 + Rp5.000.000) : 2 = Rp450.000,00.
4. Karena saldo cadangan penghapusan piutang lebih besar dari ketentuan,
sejumlah Rp175.000 harus dipindahkan sebagai penghasilan (kena pajak)
ke laba-rugi tahun 1996.

Akan tetapi, sejak sekitar 1998 ketentuan pencadangan penghapusan piutang


industri perbankan sudah mengikuti ketentuan darI Bank Indonesia sehingga
pajak tidak mengatur secara khusus.(Gunadi : 2009)

14 | A k t i v a L a n c a r
2.6 PIUTANG YANG LAIN

Piutang yang sering terjadi karena transaksi di luar aktivitas usaha pada
umumnya dikelompokkan sebagai piutang yang lain. Piutang itu dapat terjadi
karena:

a. Penjualan sekuritas atau harta selain persdiaan;


b. Pinjaman (uang muka) kepada pesero, direktur, pengurus, karyawan atau
orang lain atau kepada perusahaan afiliasi;
c. Setoran atau deposito kepada kreditor, perusahaan, atau instalasi lain;
d. Pembayaran dimuka atas biaya kontrak;
e. Klaim kerusakan atau kerugian; dan
f. Klaim restitusi pajak atau pembayaran pemindahbukuan pajak. (Gunadi :
2009)

Terhadap kelompok piutang ini dapat diikuti praktik akuntansi komersial.


Namun, piutang kepada perusahaan afiliasi, persero, direktur, pengurus atau orang
lain yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak, untuk tujuan
pajakdapat dipertanyakan keasliannya. Piutang itu dapat dikarakterisasi kembali
menjadi penyetaraan (pada perusahaan afiliasi) atau penghasilan (direktur,
misalnya). Kalau untuk tujuan pajak, berdasarkan ketentuan Pasal 18 (4) UU PPh,
piutang kepada perusahaan afiliasi direkarakterisasi sebagai modal maka terdapat
dualisme pengelompokan dalam penyelenggarakan pembukuan. Untuk
pembukuan komersial jumlah itu akan tetap sebagai piutang afiliasi, sedangkan
untuk tujuan laporan keuangan jumlah fiskal itu dimasukkan dalam kelompok
penyertaan pada perusahaan afiliasi atau investasi. Teknik pembukuannya,
mungkin cukup dibuat catatan kaki pada akuntansi komersial (full disclosure).
Bagi kreditor rekarakterisasi piutang menjadi penyertaan dapat membawa
keuntungan perpajakan apabila piutang atas utang itu dibayarkan bunga oleh
debitor karena bunga diperlakukan sebagai dividen. Berdasarkan ketentuan pasal
4 (3) (f) UU PPh, dividen antarbadan seperti itu dibebaskan dari pengenaan pajak.
(Gunadi : 2009)

15 | A k t i v a L a n c a r
2.7 PERSEDIAAN

Persediaan menunjuk pada aktiva:

a. Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal, baik barang dagangan
dalam usaha dagang maupun barang jadi untuk manufaktur;
b. Berada dalam proses produksi (barang dalam proses untuk manufaktur dan
pekerjaan dalam proses untuk kontraktor);dan
c. Dalam bentuk bahan baku atau perlengkapan (bahan pembantu) untuk
digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa.

Barang yang tersedia selain untuk kegiatan usaha normal wajib pajak dapat
dikelompokkan sebagai persediaan lain-lain.(Gunadi : 2009)

Dalam menghitung jumlah (unsur) persediaan sering terdapat barang yang


masih dalam perjalanan (in transit) dan berada di tempat pihak lain (konsinyasi).
Apakah untuk tujuan perpajakan barang itu dapat berada di tangan wajib pajak
(termasuk persediaan), tampaknya berlaku kebiasaan dalam praktik akuntansi
komersial. Untuk tujuan PPN, Pasal 1 (c) UU PPN menyatakan bahwa
penyerahan barang (kena pajak) kepada pedagang perantara atau juru lelang
dianggap merupakan transaksi penyerahan (penjualan). Oleh karena itu,
menyimpang dari praktik akuntansi (yang diikuti PPh), untuk tujuan pelaporan
dan perhitungan PPN barang konsinyasi (yang dititipkan kepada perantara) tidak
termasuk persediaan penitip (consignor); walaupun barangnya secara nyata belum
terjual. Demikian juga untuk barang yang berada ditempat cabang mancanegara,
dianggap bukan merupakan persediaan kantor pusat karena adanya prinsip bahwa
untuk tujuan perhitungan pajak penghasilan, transaksi antar cabang dan kantor
pusat diperlakukan (fiktif) layaknya antarbadan terpisah. Dengan demikian, untuk
tujuan pajak, pengiriman barang ke cabang diperlakukan sepertinya sudah ada
penyerahan barang dari kantor pusat (wajib paak dalam negeri = WPDN) kepada
cabang dimancanegara dan dihitung ada penghasilan (arms length principllle).
(Gunadi : 2009)

Sebagai contoh, pada 20 Desember 1996 PT Ganesa mengirim barang


seharga Rp100.000.000,00 kepada cabangnya di Singapura. Atas penjualannya

16 | A k t i v a L a n c a r
kepada pihak ketiga badan itu menghitung margin 20%. Barang itu dijual oleh
cabang Singapura, pada bulan Maret 1997. (Gunadi : 2009)

Untuk keperluan perpajakan barang itu dianggap “dijual” PT Ganesa pada


Desember 1996 dengan margin Rp20.000.000,00 yang dihitung berdasarkan
penjualan kepada pihak ketiga. Dengan demikian, untuk tujuan perpajakan barang
itu tidak termasuk dalam persediaan akhir badan tersebut. (Gunadi : 2009)

Akuntansi persediaan terutama berkaitan dengan sistem (pencatatan)


persediaan (inventory system) dan penilaian (valuation). Praktik akuntansi
komersial umumnya mengenal dua sistrem persediaan, yaitu fisik (periodik atau
kolektif) dan permanen (perpektual atau individual). Penentuan jumlah persediaan
(akhir) pada sistem fisik dilakukan melalui opname persediaan. Sementara itu,
pada sistem permanen (berkelanjutan) pencatatan mutasi persediaan dibuat
sedemikian rupa sehingga setiap saat langsung diketahui jumlah persediaannya
(dari catatan itu). (Gunadi : 2009)

Pada umumnya persediaan dalam neraca dinyatakan sebesar harga pokok


atau perolehannya (PSAK No 14). selain dengan harga pokok, persediaan dapat
dinyatakan berdasarkan;

a. Harga terendah antara harga pokok dan harga pasar (cost or market
whichever is lover);
b. Harga jual (untuk produk tertentu).

Untuk keperluan pajak penghasilan, Pasal 10 (6) UU PPh menyatakan bahwa


persediaan harus dinilai berdasarkan harga perolehannya. Dengan demikian, kalau
wajib pajak melakukan penilaian berdasarkan metode harga terendah antara harga
pokook dan harga jual maka harus disesuaikan kembali. Dalam menentukan harga
perolehan ini pun perlu dilihat apakah terdapat hubungan istimewa antara penjual
dan pembeli. Kalau terdapat hubungan istimewa, sesuai dengan ketentuan Pasal
18 (3) UU PPh harga perolehann itu perlu disesuaikan dengan harga wajar.
Demikian juga untuk barang hasil produksi sendiri. Pasal 9 (1) UU PPh
membatasi beberapa pengeluaran sebagai pengurang penghasilan (pemberian
kenikmatan dan pembayaran melebihi kewajaran). Oleh karena itu, sesuai dengan

17 | A k t i v a L a n c a r
ketentuan perpajakan harga pokok produksi perlu penyesuaian seperlunya untuk
dapat diakui sebagai nilai persediaan. (Gunadi:2009)

Alokasi harga pokok persediaan menggunakan tiga metode;

a. Masuk terakhir keluar pertama (last in first out);


b. Masuk pertama keluar pertam (first in first out); dan
c. Rata-rata (PSAK No. 14). (Gunadi:2009)

Selain itu, dalam praktik akuntansi dikenal dengan delapan metode;

1. Identifikasi khusus;
2. LIFO kelompok nilai dan barang;
3. Biaya-biaya pembelian terakhir;
4. Biaya standar;
5. Biaya langsung, variabel atau marginal;
6. Laba kotor;
7. Harga eceran; dan
8. Harga terendah antara harga perolehan dan harga pasar.

Untuk tujuan perpajakan, karena Pasal 10 (6) UU PPh secara tegas mengatur
metode masuk pertama keluar pertama (FIFO) atau rata-rata maka metode
penilaian yang lain tidak diperkenankan. Atau kalau untuk tujuan komersial telah
dipakai metode selain kedua metode itu, untuk keperluan perpajakan hasil dari
metode itu harus disesuaikan (dikoreksi). (Gunadi:2009)

Dalam kebiasaan bisnis sering terjadi wajib pajak menutup komitmen


pembelian (masa mendatang) dengan harga tetap. Kalau terdapat penurunan harga
pasar, kerugian diakui pada saat kejadianpenurunan harga itu walaupun barang
belum diserahkan. Misalnya, PT Iwan menutup komitmen barang sejumlah
Rp120.000.,00 yang akan diserahkan Februari tahun depan. Pada Desember harga
barng itu turun menjadi Rp100.000.,00. Praktik akuntansi koersial akan
manghitung sejumlah Rp20.000,00 sebagaikerugian yang diderita dalam bulan
Desember. Untuk keperluan perpajakan, karena pajak lebih melihat fiskal riil dan
kurang menerima antisipasi kerugian, tentunya kerugian yang demikian kurang
dapat dipertimbangkan, dan kerugian Rp20.000,00 tidak diakui dan menunggu

18 | A k t i v a L a n c a r
nanti apabila barang yang dibeli Rp120.000,00 itu telah nyata-nyata dijual.
(Gunadi:2009)

Secara komersial, barang itu akan dinilai berdasarkan harga standar


(katalog) atau harga konstruktif dengan memperhatikan harga normal. Misalnya,
PT Andi menjual mesin cuci seharga Rp450.000,00 secara angsuran. Seorang
pembeli yang baru membayar Rp250.000,00 menyatakan tidak mampu lagi dan
mengembalikan barang. Mesin itu memerlukan biaya Rp50.000,00 untuk dapat
dijual kembali dengan harag Rp250.000,00 dengan laba normal 20% dari harga
jual. Dalam pencatatan PT Andi barang yang dimiliki kembali itu akan dicatat
dengan harga perolehan Rp150.000,00 dengan perhitungan kerugian dari
pemilikan kembali Rp100.000,00 (Rp250.000,00 – Rp150.000,00).karena
ketentuan pajak belum mempunyai aturan tersendiri tentang hal itu, dapat
dipertanyakan berapa nilai perolehan barang itu; apakah Rp150.000,00 (seperti
dalam praktik akuntansi komersial) dengan rugi pemilikan kembali Rp100.000,00
atau Rp300.000,00 (250.000 + 50.000) dengan penundaan potensi rugi
Rp50.000,00 (300.000 – 2 50.000). Untuk tujuan perpajakan, selaras dengan
konsep harga perolehan tampaknya pilihan kedua perlu dipertimbangkan.
(Gunadi:2009)

2.8 BIAYA DIBAYAR DI MUKA

Biaya yang dibayar di muka merupakan biaya yang telah terjadi, yang
akan dilunaskan untuk aktivitas perusahaan yang akan datang (PSAK 9). Secara
tradisional, praktik akuntansi komersial mengalokasikan biaya itu pada masa yang
mendapat manfaat. Misalnya PT Andi menyewa bangunan Rp3.000.000,00 untuk
masa tiga tahun (1990-1992). Dalam perhitungan rugi-laba PT Andi akan
mengalokasikan biaya itu tiap tahun dengan jumlah Rp1.000.000,00. Untuk tujuan
perpajakan, dalam ketentuan lama, Pasal 11 (10) UU PPh menyebut biaya yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun diamortisasi dengan tarif yang
berlaku untuk aktiva golongan 1 (50%), golongan 2 (25%), golongan 3 (10%),
atau metode satuan produksi. Berdasarkan ketentuan itu, PT Andi dapat

19 | A k t i v a L a n c a r
mengamortisasi biaya sewa itu 50% tiap tahun berdasarkan saldo menurun.
Namun, sejak 1995, dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 1994, biaya itu tidak
dibebankan melalui amortisasi lagi melainkan dialokasi menurut masa manfaatnya
sehingga perlakuan pajak menjadi transparan dengan perlakuan akuntansi
komersial. (Gunadi:2009)

20 | A k t i v a L a n c a r
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Sekuritas dalam bentuk surat berharga, misalnya saham dan obligasi yang
mudah di jual belikan yang merupakan bentuk investasi sementara untuk
memanfaatkan dana yang tidak dipergunakan (secondary cash reserves.
Perusahaan modal ventura merupakan sarana mendorong pemerataan
pembangunan dan peran serta seluruh lapisan masyarakat dengan penyertaan
modalnya pada perusahaan pasangan usaha khususnya usaha kecil dan menengah
dengan omset paling banyak Rp 5 Milyar setahun (KMK 25/95). Bagian laba
yang diperoleh dari pasanan usaha modal ventura, menurut pasal 4 (3) huruf (k)
UU PPh dikecualikan dari objek pajak.

Secara sederhana derivative merupakan instrumen yang nilainya ditentukan


(turunan) oleh aset lain(underlying asset). Underlying asset dapat berupa aset
finansial seperti saham, niali tukar valas, nilai IHSG, dan sebagainya dan aset non
finansial (komodities seperti karet, kapas dan sebagainya. Perdagangan derivative
dapat mendatangkan keuntungan atau kerugian. Yaang merupakan Piutang usaha
meliputi piutang yang timbul karena penjualan produk atau penyerahan jasa dari
kegiatan normal perusahaan. Piutang usaha terjadi karena penjualan barang atau
penyerahan jasa secara kredit.

Dalam akuntansi komersial sering terjadi pemberian pemotongan perniagaan


(trade discount) dan potongan tunai (cash discount). Selain itu, sering terjadi retur
penjualan. Piutang yang sering terjadikarena transaksi di luar aktivitas usaha pada
umumnya dikelompokkan sebagai piutang yang lain.

21 | A k t i v a L a n c a r
DAFTAR PUSTAKA

Gunadi. 2009. Akuntansi Pajak : Edisi Revisi 2009. Jakarta:Grasindo

Lumbantoruan, Sophar. 1996. Akuntansi Pajak. Jakarta:Grasindo

22 | A k t i v a L a n c a r

Anda mungkin juga menyukai