Anda di halaman 1dari 16

I.

Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah

Pertimbangan mendasar terselenggaranya otonomi daerah menurut Halim (2001) adalah


perkembangan kondisi di dalam negeri yang mengindikasikan bahwa rakyat menghendaki
keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi). Selain itu keadaan luar negeri yang juga
menunjukkan bahwa semakin maraknya globalisasi yang menuntut daya saing tiap negara,
termasuk daya saing pemerintah daerahnya. Daya saing pemerintah daerah ini diharapkan akan
tercapai melalui peningkatan kemandirian pemerintah daerah. Selanjutnya peningkatan
kemandirian pemerintah daerah tersebut diharapkan dapat diraih melalui otonomi daerah.

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disebutkan:

 Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain
sebagai Badan Eksekutif Daerah
 Pemerintah Daerah adalah penyelenggara pemerintaha Daerah Otonom oleh Pemerintah
Daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi
 Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah
tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Pembentukan Pemerintah Daerah ini merupakan salah satu bentuk perwujudan dari sistem
pemerintahan desentralisasi yang diyakini lebih baik daripada sistem sentralistis yang selama ini
dianut bangsa Indonesia. Tujuan utama dibentuknya Pemerintah Daerah menurut Ryaas Rasyid
(1996) untuk menjaga suatu sistem ketertiban sehingga masyarakat bisa menjalankan
kehidupannya dengan wajar.

Dalam rangka membangun pemerintahan yang efektif, diperlukan adanya desentralisasi tingkat
tinggi. Tujuannya membentuk kebutuhan untuk membangun daerah-daerah otonom yang
memiliki kemandirian yang tinggi pula. Sehingga otonomi adalah bentuk penerapan dari asas
desentraliasi.

Desentralisasi
Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman dalam berbagai hal. Sehingga
setiap bagian wilayahnya tentu memiliki karakter potensial, sumber daya alam dan
budaya yang akan lebih tergali apabila pembangunan wilayahnya dilaksanakan secara
mandiri. Dengan demikian adanya desentraliasi menjadi hal yang mutlak diperlukan.

Desentralisasi merupakan sistem pengelolaan yang merupakan kebalikan dari sistem


pengelolaan sentralisasi. Sehingga desentralisasi adalah prinsip pendelegasian wewenang
dari pusat ke bagian-bagiannya baik bersifat kewilayahan maupun fungsinya.

Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1, desentralisasi adalah


penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Penerapan sistem pengelolaan desentralisasi pada pemerintah dilakukan
dengan alasan agar tercapainya efektivitas pemerintah dan demi terlaksananya demokrasi
dari lapisan paling bawah sehingga efisiensi secara keseluruhan dapat tercapai.

Jadi desentralisasi di bidang pemerintahan adalah menyerahkan kewenangan untuk


mengatur dan menyelenggarakan sebagian urusan Pemerintah Pusat ke Daerah. Hal ini
berarti memberi kesempatan kepada aparat daerah, termasuk wakil-wakil rakyatnya untuk
berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan berbagai kebijakan pembangunan
tanpa harus mengakses atau diakses dari pusat.

Oleh karena itu pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah bukan hanya soal
administrasi dan keuangan tetapi juga permasalahan politik. Hal ini terjadi agar
keputusan-keputusan yang biasa dilakukan oleh pusat dapat dilakukan di daerah. Sebab
daerah tentu tahu secara pasti apa yang dibutuhkan dan diinginkan masyarakat setempat.

Otonomi Daerah

a. Pengertian Otonomi Daerah


Otonomi daerah berasal dari bahasa Yunani, yaitu Autos (sendiri) dan Nomos (hukum
atau aturan). Otonomi bermakna kebebasan dan kemandirian daerah dalam
menentukan langkah-langkah sendiri. Ketentuan umum pasal 1 Undang-Undang
No.32 tahun 2004 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
Menurut Wayang yang dikutip Syafrudin (1984:4), mengatakan bahwa otonomi
daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan menjalankan kepentingan khusus se-
daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan berpemerintahan
sendiri. Sedangkan Syafrudin sendiri berpendapat bahwa istilah otonomi mempunyai
makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang
terbatas atas kemandirian adalah wujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggung jawabkan. Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan
pemerintah daerah, juga sangat berkaitan dengan desentralisasi. Desentralisasi adalah
penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat (Nasional) kepada pemerntah lokal
atau daerah dan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingannya
sesuai dengan aspirasi dan keputusannya dikenal sebagai otonomi daerah. Dengan
pemahaman ini, otonomi daerah merupakan inti dari desentralisasi. Jadi yang
dimaksud otonomi daerah pada pokoknya selalu melihat otonomi itu sebagai hal,
wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Daerah otonomi yang dimaksud adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam system negara Kesatuan republik Indonesia.
Alasan diadakannya otonomi daerah adalah untuk mempermudah, meningkatkan
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan jalannya pemerintahan dalam suatu negara.
Beberapa alasan munculnya konsep otonomi daerah adalah (http://digilib.petra.ac.id):
 Adanya kekurangpuasan atas hasil perencanaan pembangunan daerah yang
dicanangkan dan kontrol yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
 Daerah sedang mengalami kemajuan yang cukup baik dan dapat
melaksanakan pembangunan daerahnya sendiri, walaupun tidak secara merata.
 Makin kompleksnya kondisi daerah dan lingkungan masyarakat serta
meningkatnya kegiatan-kegiatan pusat, sehingga akan semakin sulit untuk
mengakomodasikan semua ini dalam perencanaan yang dilakukan oleh pusat.
HUBUNGAN PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH DALAM PRAKTIK
DESENTRALISASI

I. Pola Hubungan Kewenangan Dan Hubungan Keuangan


Pasal 10 ayat 5 UU 32/2004 menyebutkan beberapa pola hubungan yang bersifat
hubungan atasan-bawahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang dapat
diuraikan sebagai berikut :
Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, Pemerintah dapat :
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah; atau
c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas pembantuan.
Departemen Dalam Negeri menggambarkan hubungan tersebut dalam anatomi urusan
sebagai berikut :

URUSAN PEMERINTAHAN

CONCURRENT
ABSOLUT
(Urusan bersama pusat, Pusat, dan
(Mutlal urusan Pusat)
Kabupaten/Kota)
Sedangkan pola hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah di Indonesia dapat digambarkan
sebagai berikut :

Dekonsentrasi

Hubungan Fungsi Desentralisasi

Pusat – Daerah Tugas Pembantuan

Pola hubungan yang perlu dirinci definisinya disini adalah hubungan fungsi
desentralisasi. Dalam Peraturan Pemerintah No. 55 tentang Dana Perimbangan pada pasal 1 point
18 disebutkan bahwa :

Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Selanjutnya dalam palaksanaan desentralisasi Pemerintah memberikan dana perimbangan


yang dibebankan pada mata anggaran transfer, terinci dalam 3 jenis transfer dengan definisi
masing-masing menurut PP 55/2005, sebagai berikut :

- Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
- Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
- Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi.
-

II. Kebijakan Stanar Pelayanan Minimal (SPM) Jasa Pendidikan

Kebijakan bidang pendidikan yang dikelola oleh pemerintah merupakan jasa publik yang
didasarkan dari amandemen UUD 45, Undang-undang, Peraturan Pemerintah hingga Peraturan
Menteri Pendidikan. Berbagai peraturan yang melandasi kebijakan tersebut akan dipetakan
dibawah ini.

II.a Wajib Belajar Pendidikan Dasar

Pembahasan tentang standar pelayanan minimal pada urusan pemerintahan bidang


pendidikan akan melibatkan beberapa pengaturan yang didasarkan pada peraturan perundang-
undangan. Landasan paling awal yang menyatakan pendidikan adalah jasa publik dimulai dari
pembukaan UUD 1945 alinea IV yang menyatakan sebagai berikut :

“Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…. Dst

Kemudian dalam pasal 31 ayat 2 dan 4 UUD 1945 pada perubahan ke IV tanggal 10 Agustus 2002
menyatakan sebagai berikut :

“Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”

Selanjutnya beberapa prinsip penyelenggaraan pendidikan yang bersumber dari Undang-undang


No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat diturunkan dari pasal-pasal yang
relevan dengan kewenangan pemerintah (pusat dan daerah) serta pelaksanaan suatu standar
pelayanan kepada masyarakat tertuang dalam pasal 1 ayat 17 dan 18 yang memberikan definisi
dasar yang antara lain menyebutkan bahwa :
- Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia
- Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara
Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
Sebagai suatu jasa layanan pemerintah yang menjadi hak setiap warga negara, maka
kewajiban warga negara anggota masyarakat mengikuti pendidikan dapat dibaca pada pasal
6 ayat 1, sebagai berikut : “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima
belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.”
Kemudian dalam pasal 11 ayat 2 yang menguraikan kewajiban pemerintah pusat dan
daerah dalam hal pendanaan pendidikan dinyatakan sebagai berikut :
“Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan
lima belas tahun.” Penjelasan tentang jenjang pendidikan dasar dapat dilihat paga pasal 17
ayat 2 sebagai berikut : “Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah
ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan
madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.” Penjelasan lebih lanjut
tentang wajib belajar terdapat pada pasal 34, yang agak berlawanan dengan pasal
sebelumnya adalah sebagai berikut : - Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat
mengikuti program wajib belajar. - Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut
biaya. - Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh
lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pasal 34 Undang-
undang diatas, diturunkan lagi menjadi Peraturan Pemerintah no. 47 tahun 2008 tentang
Wajib Belajar, yang dalam pasal 1 ayat 1 s/d 6 didefinisikan berbagai kebijakan wajib belajar
antara lain, sebagai berikut : Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1.
Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara
Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah. 2. Pendidikan dasar
adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk
Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta
sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang
sederajat. 3. Sekolah Dasar yang selanjutnya disebut SD adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan
dasar. 4. Madrasah Ibtidaiyah yang selanjutnya disebut MI adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama
Islam pada jenjang pendidikan dasar, di dalam pembinaan Menteri Agama. 5. Sekolah
Menengah Pertama yang selanjutnya disebut SMP adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan
dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat. 6. Madrasah Tsanawiyah
yang selanjutnya disebut MTs adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang
menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang
pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat, di dalam
pembinaan Menteri Agama.
3.2.2. Standar Layanan Jasa Pendidikan
Layanan standar jasa pendidikan didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 19 tahun
2005, tentang Standar Nasional Pendidikan. Pada pasal 1 PP tersebut menyatakan definisi-
definisi terkait dengan standar pendidikan. Definisi umum tentang standar dan beberapa
definisi yang terkait, akan diuraikan beberapa yang penting saja beradsarkan pasal 1
peraturan diatas sebagai berikut :
- Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
- Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan
kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.
- Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan
kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah,
perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan
berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
- Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pendidikan.
- Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi
satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun.
- Biaya operasi satuan pendidikan adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk
membiayai kegiatan operasi satuan pendidikan agar dapat berlangsungnya kegiatan
pendidikan yang sesuai standar nasional pendidikan secara teratur dan berkelanjutan.
Sedangkan ruang lingkup dan fungsi standar disebutkan pada pasal 2, sebagai berikut : (1)
Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi:
- standar isi;
- standar proses;
- standar kompetensi lulusan;
- standar pendidik dan tenaga kependidikan;
- standar sarana dan prasarana;
- standar pengelolaan;
- standar pembiayaan;dan
- standar penilaian pendidikan.
(1) Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional
Pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.
Dengan demikian standar layanan yang dimaksud dengan peraturan ini adalah
sebagai berikut :
- Pengaturan standar teknis layanan jasa pendidikan yang mengikat bagi
pihak penyelenggaran layanan layanan jasa pendidikan yang dilaksanakan
oleh pemerintah, dunia usaha/swasta maupun masyarakat.
- Standar ini mengatur standar teknis tingkat pendidikan dasar sampai
dengan pendidikan tinggi.
3.2.3. Standar Layanan Jasa Pendidikan Oleh Pemerintah Daerah
Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal mengatur lebih lanjut jaminan
pemerataan akses dan mutu layanan serta pemberlakuan standar layanan kepada
Pemerintah Daerah. Pasal yang mejadi definisi penting tentang SPM diuraikan
padapasal 1 ayat 6, sebagai berikut :
Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang
jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak
diperoleh setiap warga secara minimal.
Sedangkan pada ayat 8 tentang definisi pelayanan dasar disebutkan sebagai
berikut :
Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan.
Selanjutnya pada pasal 3 peraturan tersebut menetapkan 5 (lima) prinsip SPM
yaitu :
1. SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah untuk
menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata
dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib;
2. SPM ditetapkan oleh Pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
3. Penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah merupakan bagian dari
penyelenggaraan pelayanan dasar nasional;
4. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau, dan dapat
dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu pencapaian;
5. SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan
nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang
yang bersangkutan.

3.3. Kewenangan Jasa Pendidikan Pemerintah Daerah Berdasarkan SPM


Kewenangan urusan pendidikan yang menjadi kewenangan bersama pada seluruh strata
pemerintahan perlu dibagi pada tingkat Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
Propinsi serta Kabupaten/Kota. Dasar pembagian dilakukan berdasarkan lampiran PP 38 tahun
2005 yang secara teknis didasarkan pada ukuran pelaksanaan SPM pada tingkat pemerintahan
daerah di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam penilaian realisasi capaian SPM, beberapa
kriteria masih menggunakan kriteria teknis (standar teknis) berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional No.053/U/2001 tanggal 19 April 2001 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah. Hal ini disebabkan Surat Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional No. 129a/U/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Pendidikan, belum menyajikan kriteria teknisnya.
III Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD.
APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan
dengan peraturan daerah.
APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan
pendapatan daerah. Penyusunan APBD berpedoman kepada RKPD dalam rangka mewujudkan
pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. APBD merupakan dasar
pengelolaan 32 keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal
1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.

Penetapan prioritas anggaran pengeluaran daerah harus mengacu pada prinsip penganggaran
terpadu (unified budgeting). Penganggaran terpadu adalah penyusunan rencana keuangan
tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan
kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian efisiensi alokasi dana.

Sebagaimana ditetapkan dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, penyusunan APBD 2007
harus berdasar pada penganggaran terpadu. Penyusunan APBD dilakukan secara terintegrasi
untuk seluruh jenis belanja. Penyusunan APBD tersebut juga harus berorientasi pada anggaran
berbasis kinerja.

Penganggaran di daerah harus di susun dalam Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah


(Medium-Term Expenditure Framework). Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah adalah
pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap
kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan
mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun
berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju. Prakiraan Maju (forward estimate) adalah
perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan
guna memastikan kesinambungan program dan 33 kegiatan yang telah disetujui dan menjadi
dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya.

1. Asas dan Fungsi APBD


Salah satu asas penting dalam menetapkan prioritas anggaran belanja yang dijabarkan
dalam APBD adalah bahwa penentuan anggaran disusun sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Secara khusus,
penganggaran pengeluaran harus didukung oleh adanya kepastian sumber pendanaan
yang cukup dan memiliki landasan hukum yang kuat (Pasal 18 PP Nomor 58 Tahun 2005).
APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan
stabilisasi.
a. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
b. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
c. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk
menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan.
d. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk
menciptakan lapangan kerja/ mengurangi pengangguran dan 34 pemborosan sumber
daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
e. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
f. Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat
untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian
daerah.

Secara lebih spesifik, fungsi APBD dalam proses pembangunan di daerah adalah sebagai:
a. Instrumen kebijakan (policy tools). Anggaran daerah adalah salah satu instrumen
formal yang menghubungkan Eksekutif Daerah dengan tuntutan dan kebutuhan
publik yang diwakili oleh Legislatif Daerah.
b. Instrumen kebijakan fiskal (fiscal tool). Dengan mengubah prioritas dan besar alokasi
dana, anggaran daerah dapat digunakan untuk mendorong, memberikan fasilitas dan
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat guna mempercepat
pertumbuhan ekonomi di daerah.
c. Instrumen perencanaan (planning tool). Di dalam anggaran daerah disebutkan tujuan
yang ingin dicapai, biaya dan output/hasil yang diharapkan dari setiap kegiatan di
masing-masing unit kerja.
d. Instrumen pengendalian (control tool). Anggaran daerah berisi rencana penerimaan
dan pengeluaran secara rinci setiap unit kerja. Hal ini dilakukan agar unit kerja tidak
melakukan overspending, underspending atau mengalokasikan anggaran pada bidang
yang lain. Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa anggaran daerah tersebut tidak
dapat berdiri sendiri. Anggaran daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
seluruh proses perencanaan pembangunan daerah.

2. Pedoman Penyusunan APBD


Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2006 mengatur tentang Pedoman
Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2007. Secara singkat, pedoman tersebut meliputi:
a. Sinkronisasi kebijakan pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Daerah
Untuk mencapai sasaran prioritas pembangunan nasional tahun 2007, perlu dilakukan
sinkronisasi program dan kegiatan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Selain itu, perlu ada keterkaitan antara sasaran program dan kegiatan provinsi
dengan kabupaten/kota untuk menciptakan sinergi sesuai dengan kewenangan
provinsi dan kabupaten/kota.
b. Prinsip dan kebijakan penyusunan APBD dan perubahan APBD Penyusunan APBD
perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Partisipasi masyarakat
Pengambilan keputusan dalam proses penyusunan dan penetapan APBD sedapat
mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui akan
hak dan kewajibannya dalam pelaksanaan APBD.

2. Transparansi dan akuntabilitas anggaran


APBD harus dapat menyajikan informasi secara terbuka dan mudah diakses oleh
masyarakat meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan pada setiap jenis/objek
belanja serta korelasi antara besaran anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin
dicapai dari suatu kegiatan yang dianggarkan.
3. Disiplin anggaran
 Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara
rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja
yang dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja
 Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya
penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan
kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit anggarannya dalam
APBD/Perubahan APBD;
 Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang
bersangkutan harus dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas
umum daerah.
4. Keadilan anggaran
Pajak daerah, retribusi daerah, dan pungutan daerah lainnya yang dibebankan kepada
masyarakat harus mempertimbangkan kemampuan untuk membayar. Dalam
mengalokasikan belanja daerah, Pemerintah Daerah harus mempertimbangkan keadilan
dan pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi
pemberian pelayanan.

5. Efisiensi dan efektivitas anggaran


Dana yang tersedia harus dimanfaatkandengan sebaik mungkin untuk dapat
menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna
kepentingan masyarakat.

6. Taat azas
penyusunan APBD tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan peraturan daerah lainnya.

b. Teknik penyusunan APBD


Dalam menyusun APBD pada tahun anggaran 2007, langkah-langkah yang perlu dilakukan
oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan Permendagri
Nomor 26 Tahun 2006 adalah:
1. Penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan dokumen Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara (PPAS)
2. Pembahasan KUA dan PPAS antara Pemerintah Daerah dengan DPRD
3. Penetapan Nota Kesepahaman KUA dan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA)
4. Penyusunan dan penyampaian surat edaran kepala daerah tentang pedoman
penyusunan RKA-SKPD kepada seluruh SKPD
5. PPKD melakukan kompilasi RKA-SKPD menjadi Raperda APBD untuk dibahas dan
memperoleh persetujuan bersama dengan DPRD sebelum diajukan dalam proses Evaluasi
6. Pembahasan RKA-SKPD oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dengan SKPD
7. Penyusunan rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang APBD
8. Pembahasan Raperda APBD
9. Proses penetapan Perda APBD baru dapat dilakukan jika Mendagri/Gubernur
menyatakan bahwa Perda APBD tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan
peraturan perundangan yang lebih tinggi
10. Penyusunan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.

d. Teknis penyusunan perubahan APBD


Perubahan APBD harus dilandasi dengan perubahan KUA dan Prioritas dan Plafon
Anggaran (PPA) yang disepakati bersama antara Pimpinan DPRD dan Kepala Daerah.
Perubahan Peraturan Daerah tentang APBD hanya dapat dilakukan satu kali dalam satu
tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa.

Perubahan APBD dapat dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:


1. Perkembangan yang terjadi tidak sesuai dengan asumsi KUA, misalnya perubahan
asumsi makro, proyeksi pendapatan daerah terlampaui atau tidak tercapai, terdapat
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan belanja daerah, dan adanya
perubahan kebijakan di bidang pembiayaan
2. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit
organisasi, antar program, antar kegiatan, dan antar jenis belanja
3. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan
dalam tahun anggaran berjalan
4. Keadaan darurat
5. Keadaan luar biasa

Anda mungkin juga menyukai