Anda di halaman 1dari 18

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Prinsip – Prinsip Yurisdiksi Hukum Internasional

a. Pengertian Yurisdiksi Negara Dalam Hukum Internasional

Secara etimologis, yurisdiksi dalam bahasa Indonesia berasal dari

bahasa Inggris yaitu Jurisdiction. Jurisdiction sendiri berasal dari bahasa latin

“Yurisdictio”, yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan

menurut Hukum, dan dictio yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman.

Sehingga jika didefenisikan secara singkat, maka inti dari yurisdiksi adalah

ucapan atau sabda yang memiliki dasar hukum. Memiliki dasar hukum dapat

diartikan sebagai kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum. Dalam

kekuasaan tersebut di dalamnya mencakup hak dan wewenang yang

didasarkan oleh hukum. Sehingga kekuasaan yang dimiliki oleh pemegng

yurisdiksi bukanlah merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri melainkan

kekuasaan yang berdasarkan hukum, dibatasi oleh nilai – nilai hukum.

Anthony Csabafi, dalam bukunya “The concept of state Jurisdiction in

Internasional Space Law” mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi

Negara sebagai berikut :

“… state jurisdiction in public internasional law means the right of a


state to regulate or effect by legislative, executive or judicial measures
the rights of person, property, acts events with respect to matters not
exclusively of domestic concern …”.1

1
Anthony Csabafi, The Concept of State Jurisdiction in Internasional Space Law, (The
Hague,1971), hlm.45.
2

Dalam definisi tersebut dapat ditemukan unsur – unsur yurisdiksi yang

ada yaitu hak atau kewenangan, mengatur secara hukum melalui lembaga

legislatif, eksekutif, maupun yudikatif; mempengaruhi hak orang, benda,

peristiwa dan tidak semata – mata merupakan masalah dalam negeri saja.

Senada dengan Anthony Csabafi, Akehurst juga menjelaskan bahwa terdapat

tiga jenis yurisdiksi yaitu yurisdiksi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Yurisdiksi legislatif mengacu pada supremasi lembaga Negara yang

diakui secara konstitusional untuk membuat Undang – Undang yang mengikat

dalam wilayahnya. Negara mempunyai hak eksklusif membuat Undang –

Undang dan peraturan dalam banyak bidang. Yurisdiksi eksekutif berkaitan

dengan kewenangan Negara untuk bertindak dalam batas – batas Negara lain,

karena masing – masing Negara independen dan memiliki kedaulatan

territorial. Yurisdiksi yudikatif menyangkut kekuasaan pengadilan dari Negara

tertentu untuk mengadili kasus – kasus di mana ada faktor asing. Dalam

masalah pidana yurisdiksi ini menjangkau mulai dari prinsip territorial hingga

prinsip universal sedangkan dalam persoalan sipil mulai dari kehadiran fisik

terdakwa di Negara itu hingga prinsip kewarganegaraan dan domisili.2

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki

2 (dua) pengertian, yaitu3 :

a. Kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan;

2
Malcolm N. Shaw, Hukum Internasional, terjemahan oleh Derta Sri Widowati, Penerbit
Nusa Media, Bandung, 2013, hlm. 640-641
3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta
: Balai Pustaka, 2005), hlm.1278.
3

b. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah atau

lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum.

Yurisdiksi adalah ciri pokok dan sentral dari kedaulatan Negara, karena

merupakan pelaksanaan kewenangan yang dapat mengubah atau membuat atau

mengakhiri hubungan dan kewajiban hukum.4 Yurisdiksi dapat dicapai dengan

kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Di Indonesia, legislatif

merupakan parlemen yang mengeluarkan Undang – Undang yang mengikat,

eksekutif merupakan pemerintah yang memiliki yurisdiksi atau otoritas

kewenangan untuk menjalankan Undang – Undang, dan yudikatif adalah

kekuasaan kehakiman yang mempunyai wewenang untuk memutus dan

mengadili. Yurisdiksi sangat lekat hubungannya dengan territorial. Yurisdiksi

akan sangat kuat keberadaannya terhadap segala sesuatu yang ada dalam

wilayah suatu Negara. Tetapi keterkaitan antara yurisdiksi dengan wilayah

Negara bukan sesuatu yang bersifat mutlak. Negara – Negara tetap dapat

memiliki yurisdiksi untuk menghukum pelanggaran yang terjadi di luar

wilayah mereka contohnya.

Yurisdiksi Negara dalam hukum Internasional dibagi dalam dua ranah

yaitu yurisdiksi perdata dan yurisdiksi pidana. Dalam yurisdiksi perdata,

hukum nasional suatu Negara lebih banyak dipakai untuk menyelesaikan

sengketa dibandingkan dengan hukum internasional. Reaksi yang dihasilkan

oleh Negara – Negara lain juga jauh lebih sedikit.5 Kasus perdata dalam hukum

4
Op cit. hlm. 637.
5
Ibid, hlm. 640.
4

internasional diselesaikan menggunakan yurisdiksi Negara yang telah

disepakati oleh masing – masing pihak dalam perjanjian. Hampir tidak ada

protes diplomatik atau diskusi antar Negara menyangkut hukum privat.

Beberapa penulis menyimpulkan bahwa hukum adat internasional tidak

menetapkan peraturan tertentu dalam hal pembatasan yurisdiksi pengadilan

dalam persoalan sipil.6

Ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh Negara yang berdaulat

menurut John O’Brien, yaitu:

1. Kewenangan Negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum

terhadap orang, benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah

teritorialnya (legislative jurisdiction or prescriptive jurisdiction);

2. Kewenangan Negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-

ketentuan hukum nasionalnya (executive jurisdiction or enforcement

jurisdiction);

3. Kewenangan pengadilan Negara untuk mengadili dan memberikan

putusan hukum (yudicial jurisdiction).

Adalah penting untuk membedakan antara ketiga yurisdiksi di atas.

Menurut Akehurst, khususnya membedakan antara yang kedua dengan yang

ketiga. Contoh enforcement jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita

harta kekayaan dan lain-lain. Enforcement jurisdiction menurut Akehurst

merupakan powers of physical interference exercised by the executive. Contoh

6
Ibid.
5

enforcement jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta kekayaan

dan lain-lain. Adapun contoh judicial enforcement adalah persidangan yang

dilakukan pengadilan suatu Negara berkaitan dengan orang, banda maupun

peristiwa tertentu.

Bila Akehurst menekankan perbedaan antara enforcement jurisdiction

dengan judicial jurisdiction. Beberapa penulis lain seperti Martin Dixon dan

Tien Saefullah menggabungkan keduanya dalam enforcement jurisdiction.

Dengan demikian, menurut mereka keweangan Negara untuk menetapkan

ketentuan-ketentuan hukum dikenal sebagai jurisdiction to prescribe, adapun

kewenangan untuk menegakkan atau menerapkan ketentuan hukum

nasionalnya terhadap peristiwa, kekayaan danperbuatan dikenal sebagai

jurisdiction to enfore. Dengan jurisdiction to prescribe Negara bebas untuk

merumuskan materi ketentuan hokum nasionalnya, juga untuk menyatakan

bahwa ketentuan tersebut berlaku secara ekstrateritorial, maka beberapa

penulis lain justru menekankan pentingnya perbedaan antara prescriptive

jurisdiction dengan enforcement jurisdiction. Kewenangan Negara untuk

menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dikenal sebagaijurisdiction to

prescribe.

Adapun berkaitan dengan jurisdiction to enforce Negara tidak dapat

secara otomatis memaksakan ketentuan hukum yang telah dirumuskannya di

luar wilayah negaranya. Hal ini dikarenakan oleh adanya prinsip Par in parem

non habet imperiumyang melarang suatu Negara yang berdaulat melakukan

tindakan kedaulatan di dalam wilayah Negara lain. Dalam kasus Lotus 1927
6

Mahkamah Internasional Permanen (PJIC) dinyatakan bahwa suatu Negara

tidak dapat melaksnakan segala bentuk kekuasaannya di wilayah Negara lain.

Dengan kata lain, kecuali ditentukan lain, Negara A tiak dapat melaksanakan

yurisdiksinya di Negara B.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki

kekuasaan penuh di bawah hukum internasional to prescribe jurisdiction,

namun pelaksanaan prescriptive jurisdiction tersebut terbatas hanya di wilayah

teritorialnya saja. Penggunaan kekuatan polisi, eksekusi putusan pengadilan

nasional, tidak dapat dilakukan di wilayah Negara lain, kecuali diperjanjikan

secara khusus oleh pihak-pihak terkait. Contoh yang jarang terjadi adalah

perjanjian antara Inggris dan Belanda 1999 yang mengizinkan persidangan

kasus Lockerbie diselenggarakan oleh Pengadilan Scotlandia, menggunakan

hukum Scotlandia, di wilayah Belanda. Kesemuanya ini sebenarnya senada

dengan yang dikemukakan oleh Muchtar Kusumaatmadja bahwa kedaulatan

Negara berakhir ketika dimlai wilayah Negara lain. Kedaulatan Negara dibatasi

oleh hukum internasional dna kepentingan Negara lain.

Ranah yurisdiksi yang kedua adalah yurisdiksi pidana. Sepanjang

menyangkut ranah pidana maka yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu Negara

dapat berupa bentuk – bentuk seperti ini :

1. Prinsip Teritorial

Maksud dari prinsip ini adalah suatu Negara mempunyai yurisdiksi

penuh terhadap segala semua orang dan benda di dalam batas teritorialnya

dan dalam semua perkara pidana dan perdata yang timbul di wilayah
7

teritorialnya. Prinsip ini adalah prinsip yang paling penting dan mapan

dalam membicarakan masalah yurisdiksi dalam hukum Internasional.7

Seiring berjalannya waktu, maka prinsip ini dikembangkan lagi menjadi

dua prinsip yaitu prinsip teritorial subyektif dan prinsip obyektif.

Prinsip teritorial subyektif adalah keadaan di mana Negara dapat

menuntut dan menghukum pelaku kejahatan yang melakukan tindak

pidana di wilayah negaranya tetapi tindakan itu diselesaikan atau

menimbulkan kerugian di Negara lain. Prinsip teritorial obyektif artinya

Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan

yang menimbulkan kerugian di negaranya meskipun perbuatan itu dimulai

dari Negara lain, tetapi dengan syarat perbuatan tersebut dilaksanakan atau

diselesaikan di dalam wilayah mereka dan menimbulkan akibat yang

sangat berbahaya terhadap ketertiban sosial ekonomi di wilayah mereka.

Pengadilan Negara di mana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi

terkuat dengan pertimbangan:

a. Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban


sosialnya paling terganggu;
b. Biasanya pelaku ditemukan Negara dimana kejahatan dilakukan;
c. Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga
proses persidangan dapat lebih efisien dan efektif;
d. Seseroang WNA yang dating ke wilayah suatu Negara dianggap
menyerahkan diri pada sistem Hukum Nasional Negara tersebut,
sehingga ketika ia melakukan pelanggaran Hukum Nasional di
Negara yang ia datangi maka ia harus tunduk pada hokum stempat
meskipun mungkin apa yang ia lakukan sah (lawful) menurut system
Hukum Nasinal negaranya sendiri.

7
Dj Harris, Cases and Materials on Internasional Law,3 rd Ed, (London: Sweet
&Maxwell,1998), hlm.210.
8

Dengan demikian, ketika seorang WN Australia tertangkap basah

menyimpan dan memperjualbelikan ganja di sebuah hotel Denpasar, Bali

Indonesia dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya terhadap orang

tersebut.

Meskipun penting, kuat dan popular, penerapan yurisdiksi

territorial tidaklah absolute. Ada beberapa perkecualian yang diatur dalam

HI dimana Negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi territorialnya,

meskipun suatu peristiwa terjadi di wilayahnya, beberapa perkecualian

yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a) Terhadap pejabat diplomatik negara asing

b) Terhadap negara dan kepala negara asing

c) Terhadap kapal publik negara asing

d) Terhadap organisasi internasional

e) Terhadap pangkalan militer negara asing

2. Prinsip personal (Nasionalitas)

Prinsip ini artinya setiap Negara dapat mengadili warga negaranya

terhadap kejahatan – kejahatan yang dilakukannya di manapun juga.8

Prinsip nasionalitas ini juga dibagi menjadi dua bagian menurut

prakteknya yaitu prinsip nasionalitas aktif dan prinsip nasionalitas pasif.

Prinsip nasionalitas aktif artinya Negara dapat melaksanakan yurisdiksi

terhadap warga negaranya di manapun ia berada. Prinsip nasionalitas pasif

artinya suatu Negara dapat memiliki yurisdiksi untuk mengadili orang

8
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi revisi, (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.162.
9

asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar

negeri.9

3. Prinsip perlindungan

Prinsip ini artinya suatu Negara dapat melaksanakan yurisdiksinya

terhadap warga Negara asing yang melakukan kejahatan di luar negeri

yang di duga dapat mengancam kepentingan keamanaan, integritas, dan

kemerdekaan Negara yang bersangkutan.10 Prinsip ini dibenarkan atas

dasar perlindungan terhadap kepentingan Negara yang sangat penting.

4. Prinsip universal

Prinsip ini seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya berarti bahwa setiap

Negara mempunyai yurisdiksi untuk mengadili seseorang tanpa

mengindahkan lokasi maupun warga Negara orang tersebut dalam batasan

bahwa tindak pidana tersebut mengusik kehidupan seluruh komunitas

internasional.

Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan

beberapa ciri menonjol sebagai berikut:

a. Setiap Negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal.


Frase “setiap negara” mengarah hanya padanegara yang merasa
bertanggung jawab untuk turut serta secara aktif menyelamatkan
masyarakat internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh serious
crime, sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya. Rasa
bertanggung jawab tersebut harus dibuktikan dengan tidak adanya
niat untuk melindungi pelaku dengan memberikan safe heaven
dalam wilayah negaranya.
b.Setiap Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak
perlu mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku
juga korban dan dimana serious crime dilakukan. Dengan kata lain

9
Ibid. hlm.163.
10
Ibid. hlm.164
10

dapat dikatakan tidak diperlukan titik pertautan antara Negara yang


akan melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban dan tempat
dilakukannya kejahatan itu sendiri. Satu-satunya pertimbangan yang
diperlukan adalah apakah pelaku berada di wilayahnya atau tidak?
Tidak mungkin suatu Negara bisa melakansakan yurisdiksi universal
bia pelaku tidak berada di wilayahnya. Akan merupakan pelanggaran
hokum internasional bila Negara memaksa menangkap seseorang
yang berada di wilayah Negara lain.
c. Setiap Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya
terhadap pelaku serious crime atau yang lazim disebut internastional
crime.
Berdasarkan karakteristik sebagaimana dipaparkan di atas dapat

disimpulkan bahwa pada hakikatnya yurisdiksi yang berpotensi untuk

mengisi kekosongan hukum dalam pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindak-

tindak pidana internasional. Hakikat yurisdiksi universal berbeda dengan

yurisdiksi yang lain karena tidak memerlukan titik pertautan antara Negara

yang melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban, dan tindak

pidana itu sendiri. Kekosongan hukum dapat diatasi dengan diberikannya

wewenang oleh hukum internasional kepada setiap Negara untuk

melaksanakan yurisdiksi universal.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, selama ini yurisdiksi

universal hanya dapat diterapkan dalam kasus-kasus international crime

menurut hakim Supreme Court Amerika Serikat dalam Hostage Case

adalah:

“an international crime is such an act universally recognized as


criminal, which is considered as agrave matter of international
concern and for some valid reason cannot be left within the state
that would have control over it under normal circumatances”

Dengan demikian, untuk menjadi international crime harus memenuhi

beberapa syarat sebagai berikut:


11

a. Perbuatan itu diakui universal sebagai tindak pidana, sudah dirumuskan

sebagai tindak pidana dalam semua system hukum pidana di semua

Negara. Semua Negara mengutuk (condemn) perbuatan itu dan

menentukan hukumannya yang layak.

b. Tindak pidana itu harus memenuhi kriteria tertentu sebagai

international crime, yaitu bahwa pelakunya merupakan musuh umat

manusia dan tindakannya bertentangan dengan kepentingan umat

manusia sehingga penegakan hukum internasionalnya harus dilakukan,

dengan melalui hukum kebiasaan internasional maupun perjanjian

internasional, dengan menghukum pelakunya.

c. Arena sifatnya yang sangat membahayakan masyarakat internasional

maka sangat beralasan untuk tidak hanya memberikan yurisdiksi pada

suatu Negara saja yang jika dalam keadaan normal memang berhak

untuk melaksanakannya.

b. Hukum internasional klasik menyebutkan kejahatan perang (war crime)

dan piracy sebagai kejahatan internasional yang kepadanya dapat

diterapkan yurisdiksi universal. Pasal 404 Restatement (Third) of the

Foreign Relations Law of United States menyebutkan yurisdiksi

universal diberlakukan terhadap piracy, perdagangan budak, attack or

hijacking of aircraft, genocide, war crimes dan terrorism. ICTY

memasukkan pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran

hukum atau kebiasaan perang, genocide, dan kejahatan kemanusiaan

sebagai kejahatan internasional yang memerlukan yurisdiksi universal.


12

Yurisdiksi ICTR mencakup genocide, kejahatan kemanusiaan,

pelanggaran pasal 3 bersama Konvensi Geneva dan Protokol Tambahan

II 1977. Adapun Statuta ICC menyebutkan genocide, war crime,

kejahatan kemanusiaan dan kejahatan agresi sebagai yurisdiksinya.

B. Argumentasi yang mendukung terorisme sebagai kejahatan internasional

a. Terorisme telah diterima sebagai kejahatan internasional dalam hukum

internasional

Terorisme telah diterima sebagai kejahatan internasional dalam

perjanjian-perjanjian internasional hukum internasional mengenal setidaknya

25 perjanjian internasional yang mengkriminalisasi terorisme atau bentuk-

bentuk terorisme. Perjanjian-perjanjian ini terdiri dari 14 perjanjian yang

diadopsi oleh PBB, 5 perjanjian regional, dan 6 perjanjian lainnya. Perjanjian

ini dapat terbagi menjadi :

1. Perjanjian yang secara tegas menyatakan bahwa terorisme dilarang, dan

2. Perjanjian yang tidak secara tegas melarang terorisme, namun

mengkriminalisasi bentuk-bentuk terorisme.

Perjanjian jenis pertama dapat dilihat dalam berbagai ketentuan dalam

Genewa Conventions 12 Agustus 1949 maupun protokol-protokolnya 8 Juni

1977. Pasal 33 (1) Genewa Conventions IV menyatakan bahwa:

“all measures of intimidation or of terrorism are prohibited.”

Pasal 4 (2) protokol II menyatakan bahwa:

“ The following acts are and shall remain prohibited at any time and in
any place whatsoever: (d) acts of terrorism”
13

sedangkan Pasal 51 (2) protokol I maupun Pasal 13 (2) protokol II menyatakan

ketentuan yang sama, yaitu:

“ Acts or threats of violence the primary purpose of which is to spread


terror among the civilian population are prohibited.”

Sedangkan perjanjian jenis kedua dapat dilihat dalam Pasal 2 (1)

Internasional Convention for the suppression of terrorist Bombings 1998 yang

menyatakan bahwa :

“ any person commits an offence within the meaning of this convention


if that person unlawfully intentionally delivers, places, discharges, or
detonates an explosive or other lethal device in, into, or against a
place of public use, a state or government facility, a public
transportation system or an infrastructure facility”

Perjanjian jenis kedua lainnya dapat dilihat dalam Pasal 1 (1) Convention for

the suppression of unlawful acts against the safety of civil aviation (Montreal

Convention) 1971 yang menyatakan bahwa:

“ Any person commits an offence if he unlawfully and intentionally:

a) Performs an act of violence against a person on board an aircraft in flight.


b) Destroys an aircraft in service.
c) Places or causes by any means a device or substance wgich is likely to
destroy that aircraft.
d) Destroys or damages air navigation facilities.
e) Communicate information which he knows to be false, thereby
endangering the safety of an aircraft in flight.”

Sesuai dengan putusan mahkamah internasional dalam North Sea Continental

Shelf Cases dan Asylum Case, hukum kebiasaan internasional harus memenuhi

2 (dua) unsur, yaitu State practice dan opinion juris.

State practice yang menunjukkan bahwa terorisme telah diterima sebagai

kejahatan internasional dapat dilihat dari penerimaan negara– negara untuk


14

terikat pada perjanjian–perjanjian internasional yang mengkriminalisasi

terorsime, dan diinkorporasikannya ketentuan–ketentuan yang

mengkriminalisasi terorisme di dalam peraturan perundang-undangan nasional

Negara-negara. Sedangkan opinion juris ditunjukkan oleh pernyataan bahwa

terorisme adalah tindakan terlarang melalui berbagai putusan pengadilan

nasional dan internasional, maupun pernyataan yang mengutuk terorisme oleh

delegasi Negara-negara yang disampaikan dalam berbagai forum internasional.

Terorisme dan segala bentuknya juga telah secara tegas dilarang oleh

PBB melalui berbagai resolusinya. PBB telah membentuk pula berbagai

mekanisme untuk mencegah dan menanggulangi terorisme. Pada 8 September

2006, majelis umum PBB mengadopsi “United Nations Global Counter-

Terrorism Strategy”, sebuah program kerja yang bertujuan mencegah dan

menanggulangi terorisme melalui kerjasama antar Negara-negara anggota.

Pada 2001 dan 2005, Dewan Keamanan PBB membentuk Counter-Terrorism

Committee dan melengkapi dengan kompetensi yang luas untuk mewajibkan

Negara-negara mengambil tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk mencegah

dan menanggulangi terorisme. Pada 2004, Dewan Keamanan juga membentuk

Counter-Terrorism Committee Executive Directorate untuk mewajibkan

Negara-negara menerima kunjungan delegasi Dewan Keamanan untuk

memonitor pelaksanaan kebijakan anti-terorisme di Negara-negara tersebut.

Disamping argumentasi-argumentasi yang menyatakan bahwa

terorisme merupakan kejahatan internasional tersendiri, terdapat pula

argumentasi-argumentasi yang menyatakan bahwa terorisme tiada lain


15

merupakan bentuk-bentuk kejahatan internasional yang telah ada. Hal ini

dikarenakan terorisme adalah fenomena yang dapat mengambil berbagai wujud

dan manifestasi, atau juga dikenal dengan”karakter seperti bunglon”

(chameleon-like character).11 Oleh karena itu, terorisme dapat diklasifikasikan

dalam berbagai kategori kejahatan yang berbeda, bergantung pada keadaan-

keadaan dimana aksi tersebut dilakukan.12

Terorisme telah diterima sebagai kejahatan internasional dalam hokum

internasional dikarenakan :

1. Terorisme telah diterima sebagai kejahatan internasional dalam hukum

perjanjian internasional

2. Terorisme telah diterima sebagai kejahatan internasional dalam hokum

kebiasaan internasional, dan

3. Terorisme dapat merupakan bentuk dari kejahatan-kejahatan

internasional yang telah ada, yaitu : kejahatan terhadap kemanusiaan,

kejahatan perang, atau genosida.

b. Pelaku terorisme dapat diadili berdasarkan yurisdiksi universal

Hukum internasional hari ini mengenal setidaknya 10 (sepuluh)

perjanjian internasional yang memberikan hak kepada Negara – Negara

anggota untuk melaksanakan yurisdiksi universal terhadap pelaku bentuk –

bentuk terorisme. Empat diantaranya memiliki ketentuan yang secara sama

berbunyi :

11
A. Roberts, “Can We Define Terrorism?,” 14 Oxford Today (2002): hlm. 18.
12
Yoram Dinstein, “Terrorism as an Internasional Crime,” 18 Israel Yearbook on Human
Rights (1989): hlm. 55-73.
16

“ the state party in the territory of which the alleged offender is found
shall, if it does not axtradite him, be obliged, without exception whatsoever
and whether or not the offense was committed in its territory, to submit the
case to its competent authorities for the purpose of prosecution, through
proceedings in accordance with the laws of that state”.

Sedangkan 2 (dua) perjanjian lainnya memiliki ketentuan yang secara sama

berbunyi :

“ each state party shall likewise take such measures as may be necessary
to establish its jurisdiction over the offences set forth… in its territory and
it does not extradite that person to any of the states parties which have
established their jurisdiction…”.

Sementara 4 (empat) perjanjian yang tersisa memberikan hak kepada Negara –

Negara anggotanya untuk melaksanakan yurisdiksinya terhadap pelaku

terorisme yang melakukan kejahatan perang berupa pelanggaran berat terhadap

Genewa Conventions 12 Agustus 1949, terlepas dari kewarganegaraan

pelaku.13

Ketiga ketentuan ini memiliki arti bahwa, selama pelaku kejahatan

terorisme berada di wilayah suatu Negara anggota konvensi tersebut, dan jika

Negara tersebut tidak mengekstradisi pelaku ke Negara lain, maka terlepas dari

apakah kejahatan dilakukan di Negara tersebut atau apakah pelaku merupakan

warga Negara tersebut, Negara yang dimaksud berkewajiban untuk mengadili

pelaku. Ketentuan ini tidak diragukan lagi memberikan kewenangan kepada

Negara – Negara anggota konvensi untuk melaksanakan yurisdiksi universal

terhadap pelaku terorisme.

13
Geneva Convention I ( For the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick
in Armed Forces in the Field). Geneva, 12 Agustus 1949.
17

Yurisdiksi universal untuk mengadili pelaku terorisme terhadap fasilitas

transportasi umum, seperti pembajakan dan penyanderaan penumpang di dalam

pesawat udara,14 pemasangan bahan peledak di dalam pesawat udara,15 dan

peledakan bus umum16 juga telah secara tegas diakui dalam berbagai

yurisprudensi pengadilan nasional. Ketentuan hukum nasional beberapa Negara

juga mengakui adanya yurisdiksi universal terhadap aksi – aksi atau sebagian

aksi terorisme.17

Hal ini dikarenakan, hukum internasional mengenal bahwa pelaku

terorisme dapat diadili berdasarkan yurisdiksi universal dalam berbagai

perjanjian internasional, yurisprudensi pengadilan nasional, dan ketentuan

perundang-undangan nasional Negara-negara.

Hal ini tampak dari berbagai ketentuan hukum positif Indonesia

mengenai terorisme, seperti: UU No. 15 tahun tentang penetapan peraturan

pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2002 tentang

pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi UU, dan UU No. 6 tahun 2006

tentang pengesahan international convention for the suppression of the

financing of terrorism, 1999. Hal ini juga ditunjukkan dari pernyataan resmi

pemerintah yang disampaikan dalam berbagai kesempatan. Dalam berbagai

ketentuan perundang-undangan dan pernyataan pemerintah ini, Indonesia

mengkualifikasi terorisme sebagai “ kejahatan terhadap kemanusiaan”,

14
United States V. Yunis, 681 F. Supp. 896 (D.D.C. 1988), affirmed at 924 F. 2d 1086
(D.C. Cir. 1991).
15
United states V. Yousef, 927 F. Supp. 673, 681-682 (S.D.N.Y.1996).
16
Flatow V. Islamic Republic of Iran, 999 F. Supp. 1, 14 (D.D.C.1998).
17
Amerika Serikat, Restatement (Third) Of Foreign Relations Law 404 (1986) entitled
“Universal Jurisdiction to Define and Punish.
18

“pelanggaran HAM berat”, “kejahatan luar biasa”, atau “kejahatan

internasional”.

Anda mungkin juga menyukai