Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN TEORI TENTANG TINDAK PIDANA DAN PENYERTAAN


TINDAK PIDANA
 
 
A. Definisi Tindak Pidana.
Tindak Pidana adalah merupakan singkatan dari tindakan atau
petindak. Artinya ada orang yang melakuan suatu tindakan
sedangkan orang yang melakukan itu dinamakan petindak. Suatu
tindakan hanya dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam banyak hal
sesuatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seorang
dari suatu golongan, jenis kelamin saja atau seorang dari suatu
golongan yang bekerja pada negara/pemerintah/pegawai negeri/
militer, nakhoda dan sebagainya atau seseorang dari golongnan
dan sebagainya atau seseorang dari golongan.14
Tindak Pidana menurut Wirjono Prodjodkoro adalah suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
Pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subyek” tindak pidana.15
Tindak Pidana Menurut Simons adalah kelakuan (handeling)
yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang
yang mampu bertanggung jawab.16

                                                            
14
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta:PT Rineka cipta 1994), Cetakan
Kedua Edisi Revisi h. 87.
15
C.S.T Kansil, dan Cristine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana (Hukum Pidana
Untuk Tiap Orang), (Jakarta:PT Pradnya Paramitha, 2004), h. 3.
16
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2009), h 61.

12 
 
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  13

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana.


Pada hakikatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas
unsur-unsur yang lahir oleh karena perbuatan yang megandung
kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya, adalah suatu
kejadian dalam lahir.
Berikut pendapat pakar hukum mengenai unsur tindak pidana:
1. Prof. Dr. Wirjono Prodjdikoro, S.H. menyatakan bahwa suatu tindak
pidana harus memenuhi beberapa unsur : 17
a. Subjek tindak pidana.
b. Perbuatan dari tindak pidana.
c. Hubungan sebab-akibat (causal verband).
d. Sifat melawan hukum (onrechtmatigheid).
e. Kesalahan pelaku tindak pidana.
f. Kesengajaan (opzet).
g. Hubungan antara kesengajaan dengan sifat melawan hukum.
2. Prof. Simons mengatakan unsur-unsur dari tindak pidana
18
(straftbaar feit) meliputi:
a. Perbuatan manusia.
b. Diancam dengan pidana oleh hukum.
c. Bertentangan dengan hukum.
d. Dilakukan oleh orang yang bersalah.
e. Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.
Menurut Prof. Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan
unsur subjektif dari straafbaar feit, yaitu : 19
1) Unsur objektif adalah: perbuatan orang; akibat yang kelihatan
dari perbuatan itu; mungkin ada keadaan tertentu yang
menyertai perbuatan itu.

                                                            
17
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung:Refika
Aditama, 2003),h.59-71.
18
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit,h.96.
19
Mety Rahmawati, Dasar-Dasar Penghapus Penuntutan, Penghapus, Peringan dan
Pemberat Pidana dalam KUHP, Op.Cit,h.5.

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  14

2) Unsur subjektif adalah: orang yang mampu bertanggung jawab,


adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus
dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan
dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan
mana perbuatan itu dilakukan.

C. Jenis-Jenis Tindak Pidana/delik


Menurut Andi Hamzah terdapat beberapa macam tindak pidana
yang kita kenal dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia.
Perbedaan jenis-jenis tindak pidana tersebut dapat dibedakan
berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, seperti perbedaan dilihat dari
cara perumusannya, dilihat dari cara melakukan tindak pidananya,
dilihat dari ada atau tidaknya pengulangan atau kelanjutannya serta
beberapa macam delik yang lainnya, berikut ini akan diuraikan
mengenai macam-macam tindak pidana atau delik berdasarkan
kriteria-kriteria atau pembagian-pembagian tertentu. Delik dapat
dibedakan dalam beberapa bagian, yaitu:
1. Kejahatan dan Pelanggaran
Kejahatan berarti suatu perbuatan yang tercela dan
berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain daripada “perbuatan
melanggar hukum”. Pelanggaran berarti suatu perbuatan yang
melanggar sesuatu, dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak
lain dari “perbuatan yang melanggar hukum”. 20
Delik kejahatan dimengerti sebagai delik hukum yang artinya
sebelum hal itu diatur di dalam undang-undang sudah dipandang
sebagai seharusnya dipidana suatu perbuatan dipandang mutlak
atau secara esensial bertentangan dengan pengertian tertib hukum
baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Hukum yang ada
dimasyarakat apabila masyarakat menganggap bahwa perbuatan

                                                            
20
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 96

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  15

tersebut tidak baik, maka perbuatan itu dianggap sebagai


kejahatan.21
Delik pelanggaran sering disebut dengan delik undang-undang
artinya karena tercantum di dalam undang-undang maka
dipandang sebagai delik. Suatu perbuatan dipandang melanggar
hukum atas dasar kekuatan undang-undang, jadi semata-mata
pelanggaran hukum formil. 22
2. Delik Omisi dan Delik Comisi
Delik omisi yaitu terjadinya delik tidak dengan melakukan
perbuatan, padahal seharusnya melakukan perbuatan
(pelanggaran terhadap suatu perintah).Sedangkan Delik comisi
ialah terjadinya suatu delik dengan cara melakukan perbuatan yang
dilarang oleh suatu peraturan hukum pidana(pelanggaran terhadap
suatu larangan).Delik komisi adalah tindakan aktif (active
handeling) yang dilarang untuk pelanggarannya diancam dengan
pidana. Contoh dari tindakan aktif yang dilarang tersebut antara lain
adalah seperti dilarang membunuh (Pasal 338 KUHP), dilarang
mencuri (Pasal 362 KUHP), dilarang berzinah (Pasal 284 KUHP)
dan sebagainya.
Delik omisi adalah tindakan pasif (passive handeling) yang
diharuskan, yang jika tidak melakukannya diancam dengan pidana.
Contoh dari tindakan pasif atau passive handeling adalah
mengenai wajib melaporkan kejahatan tertentu (Pasal 164 KUHP),
mengenai kewajiban menjadi saksi (Pasal 224 KUHP), kewajiban
memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan
23
pertolongan (Pasal 531 KUHP), dan sebagainya.
3. Delik Formil dan Delik Materiel
Delik formil menekankan pada dilarangnya perbuatan,
sedangkan delik materiel menekankan pada dilarangnya akibat dari
                                                            
21
Ibid., hal 96
22
Ibid.,
23
Ibid.,

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  16

perbuatan. Contohnya adalah pembunuhan sebagai delik materiel ,


karena akibat dari perbutan yang dilarang yaitu matinya atau
hilangnya nyawa seseorang. Sedangkan contoh delik formil adalah
pencurian, peristiwa dianggap telah terjadi bukan pada apakah
suatu benda dimaksudkan untuk di pinjam atau dimiliki, proses
berpindahnya suatu benda telah cukup membuat dianggap
selesainya suatu tindak pidana formil.
Dengan kata lain delik formil adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti
larangan yang dirumuskan adalah melakukan suatu perbuatan
tertentu. Permusan tindak pidana formil tidak membutuhkan dan
memperhatikan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan yang
sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata
pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian (Pasal 369 KUHP)
untuk selesainya pencurian bergantung pada selesainya perbuatan.
Sebaliknya, tindak pidana materiil inti larangan adalah pada
timbulnya akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang
menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang
dipertanggungjawabkan dan dipidana. Misalnya pada pembunuhan
(Pasal 338 KUHP), inti larangan adalah menghilangkan nyawa
seseorang, bukan pada menembak, membacok, atau memukul.
Untuk selesainya perbuatan digantungkan pada timbulnya akibat
dan bukan pada selesainya wujud perbuatan.24
4. Delik Mandiri dan Delik Berlanjut
Atas dasar ada atau tidaknya pengulangan atau kelanjutan delik
dibedakan antara delik mandiri dan delik berlanjut.Delik mandiri
adalah delik yang dilakukan tanpa adanya gabungan atau
perbarengan tindak pidana, sedangka delik berlanjut ialah delik
yang disertai dengan gabungan tindak pidana dan perbarengan
tindak pidana.
                                                            
24
Ibid.,

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  17

5. Delik Biasa dan Delik Aduan


Delik biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang
untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap perbuatannya tidak
disyaratkan adanya pengaduan bagi yang berhak. Sebagian besar
tindak pidana adalah tindak pidana biasa. Sedangkan delik aduan
adalah tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan
pidana disyaratkan untuk terlebih dahulu adanya pengaduan oleh
yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya
dalam perkara perdata (Pasal 72 KUHP) atau keluarga tertentu
dalam hal tertentu (Pasal 73 KUHP), atau orang yang diberi kuasa
khusus untutk pengaduan oleh yang berhak.25
6. Delik Khusus dan Delik Umum
Delik umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam
KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II dan Buku III
KUHP). Sementara delik khusus adalah semua tindak pidana yang
terdapat diluar kodifikasi tersebut. Misalnya tindak pidana perikanan
(Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009), tindak pidana
psikotropika (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997), tindak pidana
perbankan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998), tindak pidana
narkotika (undang-undang Nomor 22 Tahun 1997), dsb. 26

D. Kesalahan Dalam Tindak Pidana.


Untuk adanya pemidanaan, maka harus ada syarat bahwa
orang yang melakukan perbuatan itu mempuanyai kesalahan atau
bersalah. Dengan kata lain orang tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini berlaku “azas tiada pidana
tanpa kesalahan” (nulla poena sine culpa/geen straf zonder
schuld).

                                                            
25
Ibid.,
26
Ibid.,

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  18

Menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro, suatu unsur yang


menghubungkan si pelaku dengan unsur perbuatan, akibat dan
sifat melanggar hukum maka orang yang bersangkutan dapat
dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggung-jawaban pidana
sehingga dapat “dipidana”. Seseorang dianggap mampu
bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila ia mampu
menilai dan menyadari bahwa apa yang dilakukan merupakan
suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan ia dapat
menetukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
Dalam hal ini yang menjadi subyek tindak pidana menurut Prof.
Wirjono Prodjodikoro, adalah orang yang mampu bertanggung
jawab. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 44
KUHP “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat di
pertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”
Sehingga menurut Pasal 44 KUHP, ketidakmampuan tersebut harus
disebabkan karena jiwa atau batinnya cacat dalam tubuhnya.27 Dalam
pandangan kitab undang undang hukum pidana, yang dapat
menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai
oknum ini mudah terlihat pada perumusan – perumusan dari tindak
pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum pidana, yang
menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak
pidana itu, juga melihat pada wujud hukuman pidana yang termuat
dalam Pasal-Pasal kitab undang-undang hukum pidana, yaitu
hukuman penjara kurungan dan denda. 28
Karena si pelaku adalah seorang manusia, maka hubungan ini
adalah mengenai hal kebatinan, yaitu hal kesalahan si pelaku
tindak pidana (schuld-verband). Hanya dengan hukuman batin ini
perbuatan yang dilarang dapat dipertanggung jawabkan pada si
                                                            
27
Ibid. 
28
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama), h. 59.

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  19

pelaku. Dan baru kalau ini tercapai, maka betul-betul ada suatu
tindak pidana yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman pidana (geen
strafbaar feit zonder schuld).29
Kesalahan / schuld dalam hukum pidana dapat dibagai menjadi 2
(dua) bentuk, yaitu:
a) “Dolus” atau kesengajaan
Menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro, sebagian besar tindak
pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet bukan unsur
culpa ini layak karena biasanya yang pantas mendapat
hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu
dengan sengaja.
Dalam pergaulan hidup kemasnyarakatan sehari-hari
seseorang dengan suatu perbuatan sering mengakibatkan
sekadar kerusakan kalau ia akan menghindarkan dari dari suatu
celaan, hampir selalu berkata “saya tidak sengaja” biasanya,
apabila kerusakan itu tidak begitu berarti, perbuatan yang tidak
dengan sengaja itu dimaafkan oleh pihak yang menderita
kerugian. Artinya, tidak dikenai hukuman apa pun.
Ada 3 (tiga) macam kesengajaan/dolus dalam hukum pidana
yakni:
(1) Kesengajaan sebagai maksud/opzet als oogmerk
Menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro, dengan kesengajaan
yang bersifat tujuan (Oogmerk) si pelaku dapat di
pertanggungjawabkan mudah dapat dimengerti oleh
khalayak ramai. Maka apabila kesengajaan semacam ini ada
pada suatu tindakan pidana, tidak ada yangmenyangkal
bahwa si pelaku pantas dikenai hukuman pidana. Ini lebih
tampak apabila dikemukakan bahwa dengan adanya
kesengajaan yang bersifat tujuan ini, dapat dikatakan bahwa
si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang
                                                            
29
Ibid., h. 65.

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  20

menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana


(constitutif gevold).
Ada yang mengatakan bahwa yang dapat dikehendaki
adalah hanya perbuatannya, bukan akibatnya. Akibat ini oleh
si pelaku hanya dapat dibayangkan atau digambarkan akan
terjadi (voorstellen). Dengan demikian, secara dialektik
timbul dua teori yang bertentangan satu sama lain, yaitu (a)
teori kehendak (wilstheorie) dan (b) teori bayangan
(voorstellingstheorie).
Teori kehendak menganggap kesengajaan (opzet) ada
apabila perbuatan dan akibat suatu tindak pidana
dikehendaki oleh si pelaku. Teori bayangan menganggap
kesengajaan dan apabila si pelaku pada waktu mulai
melakukan perbuatan ada bayangan yang terang bahwa
akibat yang bersangkutan akan tercapai, dan maka dan itu ia
menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu. Misalnya
seorang yang menembak orang lain yang sebagai akibatnya
kemudian meninggal dunia, menurut teori kehendak
(wilstheorie) melakukan tindak pidana pembunuhan dengan
sengaja oleh karena si pelaku itu menghendaki matinya
orang lain itu.
Menurut teori bayangan (voorstellings theorie) si pelaku
ini dapat dikatakan melakukan tindak pidana pembunuhan
dengan sengaja karena ia, pada waktu menembak,
mempunyai bayangan atau gambaran dalam pikirannya
bahwa orang yang ditembak itu akan meninggal dunia
sebagai akibat tembakan itu, dan kemudian si pelaku
menyesuaikan perbuatannya berupa menembak dengan
akibat yang dibayangkan itu.30

                                                            
30
Ibid., h. 66-67.

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  21

(2) Kesegajaan tentang kesadaran dengan tentang kepastian/opzet


met bewustheid van zekerheid of noodzzakelijkheid
Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan
perbuatanya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang
menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat
itu pasti akan mengikuti perbuatan itu kalau itu terjadi, maka
teori kehendak (wilstheorie) menganggap akibat tersebut
juga dikehendaki oleh pelaku, maka kini juga ada
kesenjangan. Menurut teori bayangan (voorstelling-theorie),
keadaan ini sama dengan kesengajaan berupa tujuan
(Oogmerk) karena dalam keduanya tentang akibat tidak
dapat dikatakan ada kehendak si pelaku, melainkan hanya
bayangan atau gambaran dalam gagasan pelaku, bahwa
akibat itu pasti akan terjadi.31
(3) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan sekali
terjadi/kemungkinan terjadi/sengaja bersyarat (dolus eventualis)
Menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro, lain halnya dengan
kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayangan
suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan,
tetapi hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan
akibat itu.
Kini, ternyata tidak ada persamaan pendapat di antara
para sarjana hukum Belanda. Menurut van Hattum dan
Hazewinkel-Suriga, terdapat dua penulis Belanda yaitu Van
Dijck dan Pompe, yang mengatakan bahwa dengan hanya
ada keinsyafan kemungkinan, tidak ada kesengajaan, tetapi
hanya mungkin ada culpa atau kurang berhati-hati. Kalau
masih dapat dikatakan bahwa kesengajaan secara
keinsyafan kepastian praktis sama atau hampir sama
dengan kesengajaan sebagai tujuan (Oogmerk), Maka sudah
                                                            
31
Ibid., h. 67-68.

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  22

terang kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan tidaklah


sama dengan dua macam kesengajaan yang lain itu, tetapi
hanya disamakan atau dianggap seolah-olah sama.32

b) “Culpa” atau ketidaksengajaan


Menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro, arti kata culpa adalah
“kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan
hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan
sipelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajan,
yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja
terjadi.
Seperti di atas telah dikatakan, biasanya tindak pidana
berunsur kesengajaan. Akan tetapi ada kalanya suatu akibat
dari suatu tindak pidana begitu berat merugikan kepentingan
seseorang seperti kematian seorang manusia, sehingga
dirasakan tidak adil terutama oleh keluarga yang meninggal
bahwa si pelaku yang dengan kurang hati-hati menyebabkan
kematian itu tidak diapa-apakan.33

E. Perihal Tindak Pidana Perikanan.


1. Definisi Dan Pengaturan Tindak Pidana Perikanan.
Istilah tindak pidana perikanan seringkali disebut dengan
istilah Illegal, Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing. Merujuk
pada pengertian yang dikeluarkan oleh International Plan of Action
(IPOA) – Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing yang
diprakarsai oleh FAO dalam konteks implementasi Code of Conduct
for Responsible Fisheries (CCRF), pengertian istilah Illegal,
Unreported dan Unregulated Fishing adalah kegiatan perikanan
yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh

                                                            
32
Ibid., h. 69.
33
Ibid., h. 72.

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  23

peraturan yang ada, atau kegiatan perikanan yang tidak


dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola
perikanan yang berwenang menurut Undang-Undang.34
Adapun penangkapan ikan secara ilegal atau Illegal fishing
dapat dilakukan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut :35
1. Penangkapan yang dilakukan oleh orang atau kapal asing
pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara
tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Penangkapan yang bertentangan dengan peraturan nasional
yang berlaku atau kewajiban internasional.
3. Penangkapan yang dilakukan oleh kapal yang mengibarkan
bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi
pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi tidak sesuai
dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang
diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum
internasional yang berlaku.
Selain itu, penangkapan ikan secara ilegal atau Illegal fishing,
dapat diartikan sebagai kegiatan penangkapan ikan secara ilegal
di perairan wilayah atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu
Negara. Artinya kegiatan penangkapan yang tidak memiliki izin
melakukan penangkapan ikan dari Negara bersangkutan.
Praktek terbesar dalam IUU Fishing, pada dasarnya adalah
poaching atau pirate fishing, yaitu penangkapan ikan oleh negara
lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan, atau dengan kata
lain pencurian ikan oleh pihak asing.
Sedangkan pengertian unreported fishing atau kegiatan
perikanan yang tidak dilaporkan adalah kegiatan penangkapan
ikan yang dlakukan di area yang menjadi kompetensi institusi
                                                            
34
Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana Dan Hukum Pidana Di Bidang Perikanan
(Jakarta: Rineka Cipta, 2011), hal.151.
35
Ibid

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  24

pengelolaan perikanan regional, namun tidak pernah dilaporkan


atau dilaporkan secara tidak benar, atau tidak sesuai dengan
ketentuan pelaporan yang telah ditetapkan oleh institusi tersebut.
Kegiatan unreported fishing yang umum terjadi di Indonesia
diantaranya; penangkapan ikan yang tidak melaporkan hasil
tangkapan yang sesungguhnya atau pemalsuan data hasil
tangkapan, hasil tangkapan ikan yang langsung dibawa ke
negara lain dengan cara melakukan transhipment di tengah laut.
Secara historis, pengaturan tentang perikanan khususnya
yang mengatur tentang tindak pidana perikanan berpedoman
pada adanya ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on
The Law of the Sea 1982. Berdasarkan hal tersebut maka dibentuk
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sebagai
regulasi pertama yang mengatur tentang perikanan.
Seiring dengan perkembangan pembangunan perikanan maka
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan diganti
dengan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan. Pada tahun 2009, Selanjutnya, Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tersebut telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Secara khusus, pengaturan tentang tindak pidana baik dalam
bentuk kejahatan maupun pelanggaran diatur mulai dari
ketentuan Pasal 84 sampai dengan Pasal 104.
Dari ketentuan pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 92
dan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  25

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang


Perikanan tersebut dapat digolongkan sebagai berikut:36
1. Tindak pidana yang berkaitan dengan melakukan usaha
perikanan tanpa Surat izin Usaha Perikanan (SIUP).
Semua perusahaan wajib memiliki Izin Usaha sesuai
dengan bidang usahanya. Untuk usaha Perikanan
perusahaan wajib memiliki Surat Izin Usaha Perikanan
(SIUP). Pejabat yang berwenang menerbitkan SIUP adalah
Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian KP, Gubernur,
Bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya masing-
masing. Kewajiban memiliki SIUP diatur dalam Pasal 26 Ayat
(1) Undang-Undang Perikanan. Yang melanggar dikenakan
sanksi pidana diatur di dalam Pasal 92 Undang-Undang
Perikanan.
Pasal 92 :

“Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah


pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan
usaha perikanan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, penangkutan, pengelolaan dan
pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda
paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima
ratus juta rupiah)”

Adapun unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 92


Undang-undang Perikanan adalah sebagai berikut :
a. Unsur Subjektif
1) Setiap orang
Unsur ini merupakan subjek hukum dalam tindak
pidana perikanan yang dapat dikenakan atau
ditunjukan kepada siapa saja, baik secara orang
                                                            
36
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), h.38.

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  26

perseorangan maupun korporasi baik badan hukum


maupun bukan badan hukum.
Bahwa dalam rumusan delik, pengertian orang sebagai
pelaku tidak disyaratkan adanya sifat tertentu yang
dimiliki dari seorang pelaku sehingga pelaku dapat
meliputi siapa saja sebagai pendukung hak dan
kewajiban yang apabila melakukan suatu perbuatan
kepada orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan
menurut hukum.
2) Dengan sengaja
Yang dimaksud dengan sengaja adalah kemauan
untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-
perbuatan yang dilarang atau diperintahkan undang-
undang. Dalam hal kesengajaan, akibat yang muncul
memang dikehendaki oleh pelaku.
b. Unsur objektif
1) Melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, penangkutan, pengelolaan dan
pemasaran ikan.
2) Tidak memiliki SIUP
Berkaitan dengan unsur obyektif yang pertama yaitu yang
melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, penangkutan, pengelolaan dan
pemasaran ikan, adalah dengan melakukan usaha
tersebut tanpa memiliki SIUP yang diharuskan dimiliki oleh
setiap orang/badan hukum. Sedangkan unsur obyektif
yang kedua yaitu tidak memiliki SIUP adalah suatu
tindakan yang bersifat melawan hukum. Dengan kata lain
bersifat melawan hukum harus berarti dapat dirasakan
sebagai hal yang tidak boleh terjadi dan bertentangan
dengan kepatututan yang terdapat di dalam masyarakat.

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  27

2. Tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki


Surat izin penangkapan ikan (SIPI).
Tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa
memiliki Surat izin penangkapan ikan (SIPI) diatur dalam
Pasal 93 dalam hal ini terkait keharusan bahwa orang
perserorangan atau perusahaan dalam hal melakukan
penangkapan ikan harus memiliki SIPI. Peraturannya juga
melarang perbuatan tersebut bila dilakukan oleh
perseorangan atau perusahaan yang berbendera asing
sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (2) yaitu :

(2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan


kapal penangkap ikan berbendara asing melakukan
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia, yang tidak memiliki SIPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling banyak Rp. 20.000.000.000,00
(dua puluh milyar)

Adapun unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 93


ayat (2) Undang-undang Perikanan adalah sebagai berikut :
a. Unsur Subjektif
1) Setiap orang
Unsur ini merupakan subjek hukum dalam tindak
pidana perikanan yang dapat dikenakan atau
ditunjukan kepada siapa saja, baik secara orang
perseorangan maupun korporasi baik badan hukum
maupun bukan badan hukum.
Bahwa dalam rumusan delik, pengertian orang sebagai
pelaku tidak disyaratkan adanya sifat tertentu yang
dimiliki dari seorang pelaku sehingga pelaku dapat
meliputi siapa saja sebagai pendukung hak dan
kewajiban yang apabila melakukan suatu perbuatan

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  28

kepada orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan


menurut hukum.
2) Dengan sengaja
Yang dimaksud dengan sengaja adalah kemauan
untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-
perbuatan yang dilarang atau diperintahkan undang-
undang. Dalam hal kesengajaan, akibat yang muncul
memang dikehendaki oleh pelaku.
3) Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendara asing
Yang dimaksud adalah kapal yang berbendera asing
yang masuk ke wilayah perairan Republik Indonesia
tanpa memiliki izin
b. Unsur Objektif
1) Melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia
Yang dimaksud adalah apabila kapal asing yang
melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia tanpa memiliki SIPI.
2) Tidak memiliki SIPI
Yang dimaksud dengan tidak memiliki SIPI adalah
suatu tindakan yang bersifat melawan hukum. Dengan
kata lain bersifat melawan hukum harus berarti dapat
dirasakan sebagai hal yang tidak boleh terjadi dan
bertentangan dengan kepatututan yang terdapat di
dalam masyarakat.

2. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Perikanan.


Ketentuan perbuatan pidana yang dilarang dan sanksi
terhadap pelanggaran penangkapan ikan secara illegal tersebut

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  29

diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang


Perikanan, yaitu :
Pasal 84 :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah


pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan
penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang
dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian
sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling banyak Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus
juta rupiah).
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli
penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan
sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alai dan/atau cara, dan/atau bangunan yang
dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian
sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus
juta rupiah).
(3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan,
penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau
operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan
usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan
kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara,
dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian somber daya ikan dan/atau
lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik
perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung
jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan
sengaja melakukan usaha' pembudidayaan ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  30

peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang


dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian
sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 85 :

“Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan


perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai,
membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan
dan/atau slat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal
penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang
ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan
persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe slat
tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.

Pasal 86 :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah


pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia
membudidayakan ikan yang dapat membahayakan
sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya
ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima
rates juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia
membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang
dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  31

lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan


manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling banyak Rp
1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia
menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan
yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan
manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling banyak Rp
1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 87 :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah


pengelolaan perikanan Republik Indonesia merusak
plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya di wilayah
pengelolaan perikanan, Republik Indonesia
mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan
dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 88 :

“Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan,


mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau
memelihara ikan yang merugikan masyarakat,
pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau
lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah)”.

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  32

Pasal 89 :

“Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan


ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan
persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan
mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”.

Pasal 90 :

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan


atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau
ke wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat
kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, dipidana dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah)”.

Pasal 91 :

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan


baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau
alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau
lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan
pengolahan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah)”.

Pasal 92

“Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan


periikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan
di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan,
pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan
denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah)”.

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  33

Pasal 93 :

(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan


kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak
memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia, yang tidak memiliki SIPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling banyak Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh
miliar rupiah).

Pasal 94 :

“Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal


pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan
yang terkait yang tidak memiliki SIKPI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 95 :

“Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau


memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat
persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.

Pasal 96 :

“Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di


wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang
tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  34

perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36


ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah)”.

Pasal 97 :

(1) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan


berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan
ikan, yang selama berada di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat
penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(2) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan
ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu
pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat
penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan
ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di
dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan
ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 ayat (3), dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 98 :

“Nakhoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar


kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling lama I (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.

Pasal 99 :

“Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di


wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  35

tidak memiliki izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 55 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Pasal 100 :

“Setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah)”.

Pasal 101 :

“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88,
Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94,
Pasal 95, dan Pasal 96 dilakukan oleh korporasi, tuntutan
dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan
pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang
dijatuhkan”.

F. Penyertaan Dalam Tindak Pidana.


Menurut Prof. Satochid Kartanegara mengartikan deelneming
apabila dalam suatu delik tersangkut beberapa orang atau lebih
dari satu orang.37
Menurut doktrin, deelneming menurut sifatnya terdiri atas : 38
1. Deelneming yang berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban
dari tiap peserta dihargai sendiri-sendiri;
2. Deelneming yang tidak berdiri sendiri, yakni
pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada
perbuatan peserta yang lain.
                                                            
37
Satochid,Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, (Jakarta : Balai Lektur
Mahasiswa), h. 497
38
Ibid, h. 498

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  36

KUHP tidak menganut pembagian deelneming menurut sifatnya.


Deelneming diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Untuk
jelasnya, perlu dicermati Pasal-Pasal tersebut.
Pasal 55 KUHP berbunyi ;

“(1) Dihukum sebagai pelaku suatu tindak pidana:


1. Mereka melakukan, menyuruh melakukan, atau turut
melakukan perbuatan itu;
2. Mereka yang memberi, menjanjikan sesuatu, salah
memakai kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,
paksaan atau ancaman atau penyesatan atau dengan
memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, sengaja
membujuk supaya perbuatan itu dilakukan.
(2) Tentang orang-orang yang disebutkan belakangan, hanyalah
perbuatan yang dibujuk dengan sengaja yang diperhitungan,
beserta akibat-akibatnya.”
Pasal 56 KUHP berbunyi ;

“Sebagai pembantu melakukan kejahatan dihukum :


1. Mereka yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan
dilakukan ;
2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar
atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.”

Adapun unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 55, terdiri


dari :39
1. Mereka melakukan (pleger),
adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi
rumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas
kejahatan.40
2. menyuruh melakukan (doen pleger)
adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan
orang lain, sedang perantara ini hanya diumpamakan sebagai
alat.41

                                                            
39
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010) h. 135.
40
Ibid.
41
Satochid,Kartanegara, op.cit., h 219-220

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  37

Syarat terpenting untuk dapat mempertanggungjawabkan


orang yang menyuruh lakukan, adalah bahwa orang yang disuruh
itu harus orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
terhadap perbuatan pidana yang dilakukannya.42
Menurut Simons, ”doen plegen” atau ”menyuruh lakukan” itu
dapat terjadi di dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Bilamana pelaku dari materiele handeling atau perbuatan yang
nyata yang dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat
dihukum itu tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya berdasarkan salah satu sebab.
b. Bilamana seseorang itu telah melakukan sesuatu perbuatan
disebabkan karena sesuatu overmacht atau karena
melaksanakan suatu perintah yang telah diberikan oleh
kekuasaan yang tidak berwenang.
c. Bilamana orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalah-fahaman mengenai salah satu unsur dari perbuatan
yang dapat dihukum, tidak mempunyai opzet seperti yang
disyaratkan oleh undang-undang bagi perbuatan tersebut,
ataupun pada dirinya tidak terdapat schuld seperti yang
disyaratkan pada umumnya bagi perbuatan yang dapat
dihukum itu.
d. Bilamana kejahatan itu mensyaratkan suatu oogmerk atau
seseuatu tujuan tertentu, dan oogmerk ini tidak terdapat pada
orang yang telah melakukan kejahatan tersebut.
e. Bilamana pada orang yang telah melakukan perbuatan itu
tidak terdapat sifat atau hoedanigheid seperti yang disyaratkan
untuk dapat melakukan perbuatan yang terdapat dihukum
yang bersangkutan.43

                                                            
42
Ibid.
43
Ibid, h. 224-225.

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  38

3. turut melakukan perbuatan (medepleger)


medepleger adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat
atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu.44 Syarat adanya
medepleger adalah :
a. Adanya kerjasama secara sadar
Artinya antara beberapa peserta yang bersama-sama
melakukan suatu perbuatan yang dilarang itu harus ada
kesadaran bahwa mereka bekerja sama. Para peserta
sebelumnya itu tidak harus melakukan musyawarah/mufakat
terlebih dahulu, tetapi cukup kesadaran ada pada saat mereka
melakukan suatu delik, bahwa mereka melakukan perbuatan
yang dilarang.45
b. Ada pelaksanaan bersama secara fisik.
Artinya para peserta itu harus melakukan suatu perbuatan
yang dilakukan dan diancam dengan pidana oleh undang-
undang dengan mempergunakan kekuatan tenaga badan
sendiri.46
4. membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken)
uitlokker adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk
melakukan suatu tindak pidana..
Sebagaimana halnya dalam bentuk menyuruh lakukan (doen
plegen) juga dalam hal uitlokken (penganjuran) terdapat dua
orang atau lebih yang masing-masing berkedudukan sebagai:
a. orang yang menganjurkan disebut : Auctor Intellectualis atau
Intellectuelo dader.
Adalah orang yang menggunakan orang lain melakukan suatu
tindakan yang dilarang oleh undang-undang dengan bantuan
sarana.47

                                                            
44
Ibid, h. 229-230
45
Ibid.
46
Ibid.
47
Jan Rammalink, op.cit., h 329.

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  39

b. Orang yang dianjurkan disebut : Auctor Materialis atau De


Materiale dader.
Adalah orang yang tergerak mewujudkan rencana yang
ditanamkan oleh penganjur untuk melakukan tindak pidana.48
Dalam Pasal 55 ayat 1 ke-2 KUHP, ditentukan secara limitatif
daya upaya untuk terjadinya penganjuran, sebab apabila
dipergunakan daya upaya yang lain, tidak merupakan uitlokking,
misalnya mengejek dan lain-lain tidak termasuk uitlokking.
Daya upaya yang ditentukan secara limitatif sebagaimana
diatur dalam Pasal 55 ayat 1 ke-2 KUHP itu adalah :
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu.
b. Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat.
c. Dengan kekerasan.
d. Memakai ancaman atau penyesatan.
e. Memberi kesempatan, sarana atau keterangan.49
Sedangkan unsur yang terkandung di dalam Pasal 56 adalah
mengenai perbuatan-perbuatan membantu melakukan kejahatan
dan membantu untuk melakukan kejahatan. Adapun sifat dari
pembantuan tersebut adalah accessoir (terkait/terikat).
Syarat dari pembantuan (madeplichtige) adalah :50
1. Pembantu harus mengetahui macam kejahatan yang dikehendaki
oleh petindak (pelaku utama),
2. Bantuan yang diberikan oleh pembantu adalah untuk membantu
petindak untuk mewujudkan kejahatan tersebut.
3. Kesengajaan pembantu ditujukan untuk memudahkan atau
memperlancar petindak melakukan kejahatan yang dikehendaki
petindak. Dengan perkataan lain kesengajaan pembantu bukan

                                                            
48
Ibid., h. 333.
49
Satochid,Kartanegara, op.cit., h.235-236.
50
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 1997), h. 647.

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  40

merupakan unsur dari kejahatan tersebut. Justru kesengajaan


petindak yang merupakan unsur dari kejahatan tersebut.
Pembantuan di bagi menjadi 2 jenis, yakni :51
1. Pembantuan saat melakukan suatu kejahatan
Menurut Pasal 56 ayat ke-1, waktu pemberian bantuan harus
berbarengan dengan terjadinya suatu kejahatan. Artinya bantuan
yang diberikan sebelum atau sesudah kejahatan terjadi, tidak
termasuk dalam pembantuan saat melakukan suatu kejahatan.52
Adapun cirinya meliputi :53
a. Bantuan diberikan berbarengan atau pada saat kejahatan
dilakukan;
b. Daya upaya yang merupakan bantuan yang tidak
dibatasi,(dapat berupa apa saja, berwujud ataupun tidak)
2. Pembantuan sebelum melakukan kejahatan
Menurut Pasal 56 ayat ke-2 adalah pemberian daya upaya
tertentu dan waktunya harus sebelum terjadinya kejahatan
tersebut. Dengan perkataan lain jika waktu pemberian bantuan
itu berbarengan dengan atau sesudah kejahatan terjadi, tidak
termasuk kedalam pembantuan sebelum melakukan kejahatan.54
Adapun cirinya meliputi:55
a. Bantuan diberikan sebelum kejahatan dilakukan
b. Daya upaya (yang merupakan bantuan) dibatasi atau tertentu,
yaitu kesempatan, sarana atau keterangan.
Yang dimaksud dengan kesempatan adalah memberikan
peluang untuk melakukan suatu kejahatan.56
Yang dimaksud dengan sarana atau keterangan adalah
memberikan fasilitas atau informasi yang dapat
                                                            
51
Ibid.
52
Ibid.
53
Ibid., h. 648
54
Ibid.
55
Ibid., h. 649.
56
Ibid.

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  41

mempermudah atau mendukung dilakukannya suatu


kejahatan.
Bila seseorang bermaksud untuk membantu orang lain
dengan memberikan daya upaya atau keterangan, tetapi tidak
terwujud suatu kejahatan atau percobaan untuk melakukan
kejahatan, maka menurut hukum pidana kita tidak terjadi
pembantuan yang diancam pidana, dengan kata lain, percobaan
untuk pembantuan menurut hukum pidana kita tidak dapat
dipidana pelakunya.57
Pembantuan harus diberikan dengan sengaja. Kesengajaan
harus ditujukan untuk mewujudkan suatu kejahatan tertentu. Ini
tidak berarti bahwa pembantu harus mengetahui pula cara
bagaimana bantuan yang diberikan dimanfaatkan, kapan dan
dimana dimanfaatkan atau siapa yang dirugikan oleh pelaku.
Ditegaskan pula bahwa tindakan yang sedang atau akan
dilakukan harus merupakan kejahatan, bukan pelanggaran,
sebab kalau itu pelanggaran, maka tidak dapat dipidana.58
Pembantuan juga dapat dibedakan menjadi pembantuan pasif
dan pembantuan aktif.
a. Pembantuan Aktif
Yang dimaksud dengan pembantuan aktif (active
madeplichtigheid) yaitu sesuai dengan penafsiran secara tata
bahasa, yaitu benar-benar terjadi suatu gerakan untuk
melakukan sesuatu tindakan (bantuan).59
b. Pembantuan Pasif
Sedangkan pembantuan pasif (passive medeplichtigheid)
adalah tidak melakukan sesuatu gerekan atau tindakan,
namun dengan kepassifannya ia telah dengan sengaja

                                                            
57
Ibid., h. 648
58
Ibid.
59
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 1997), h. 649.

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
  42

memberikan bantuan. Misalnya doni melihat suatu kejahatan


terjadi, tetapi ia tidak berbuat apa-apa.60

                                                            
60
Ibid.

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MENGENAI USAHA PERIKANAN TANPA IZIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS
NOMOR 83/PID.SUS/2012/PN.BKS JUNCTO PUTUSAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 91/PID.SUS/2012/PTR JUNCTO PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA 1236K/PID.SUS/2012), Muhamad Alman
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2014, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.

Anda mungkin juga menyukai