Anda di halaman 1dari 146

BAB I

KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

Standar Kompetensi: Memahami Kedudukan dan Fungsi


Bahasa Indonesian
Kompetensi dasar : a. Memahami hakikat kedudukan
Bahasa Indonesia b. Memahami fungsi Bahasa Indonesia

Indikator:
1, Memahami bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
2. Memahami bahasa Indonesia sebagai bahasa negara
3. Menjelaskan bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggan
ansional
4. Memahami bahasa Indonesia sebagai lambang identitas nasional
5. Menjelaskan bahwa bahasa Indonesia sebagai pemersatu
berbagai suku bangsa di Indonesia
6.Memahami bahasa Indonesia sebagai alat penghubung antar
daerah dan budaya

Tujuan
1. Melalui membaca intensif, mahasiswa dapat memahami bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional dengan benar
2. Melalui diskusi, mahasiswa dapat memahami fungsi bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara dengan tepat
3. Setelah mendengarkanpenjelasan pengajar, mahasiswa dapat
bahwa bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan nasional
4. Melalui diskusi, mahasiswa dapat menjelaskan bahwa bahasa
Indonesia sebagai lambang identitas nasional dengan tepat
5. Setelah melakukan diskusi, mahasiswa dapat menjelaskan
bahasa Indonesia sebagai pemersatu berbagai suku bangsa di
Indonesia.

1
6. Setelah diskusi dan tanya jawab, mahasiswa dapat memahami
bahasa Indonesia sebagai alat penghubung antar daerah dan
budaya dengan benar.,

1.1 Kedudukan Bahasa Indonesia


Bahasa adalah alat komuniksi yang memungkinkan terjadinya
komunikasi dua arah. Di Indonesia banyak bahasa, yang kemudian
dikenal sebagai bahasa daerah seperti bahasa Jawa, bahasa Madura,
bahasa bali, bahasa Sunda, Bahasa Bugis dan sebagainya. Bahasa-
bahasa itu merupakan alat komunikasi etnis. Bahasa Jawa merupakan
alat komunikasi etnis Jawa, bahasa Madura merupakan alat
komunikasi etnis Madura, bahasa Sunda merupakan alat komunikasi
etnis Sunda, demikian juga bahasa-bahasa daerah yang lain. Nama
bahasa itu diambil dari nama etnis pemakainya. Namun dekian sampai
pertengahan tahun 1928 tidak pernah dikenal dan muncul istilah
“bahasa Indonesia”.
Istilah bahasa Indonesia itu sendiri baru muncul menjelang
lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Pada tanggal 28 Oktober
1928 berbagai organisasi pemuda berikrar bahwa “Kami poetera dan
poeteri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean bahasa Indonesia” .
Sejak itu bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu mulai
dikenal dan berkembang dengan pesta. Hal itu dapat ditandai dengan
perkembangan sastra Indonesia. Sebelum tahun 1928 pengarang sastra
Indonesia terbatas orang-orang yang berasal dari Sumatra, seperti
Marah Rusli, AbdulMuis, Muhammad Yamin, Rostam Effendi, Merari
Siregar dan lain-lain. Bagi pengarang-pengarang itu bahasa Melayu
adalah bahasa Ibu. Sedang bagi orang di luar Sumatra (Melayu),
bahasa Melayu mrupakan bahasa asing. Pengaruh Sumpah Pemuda
terhadap perkembangan bahasa Indonesia dapat ditandai dengan
munculnya pengarang-pengarang dari luar Sumatra pasca Sumpah
Pemuda, seperti kehadiran I Gusti Nyoman Panji Tisna, Y.E.
Tatengkeng dan pengarang lainnya.

2
Kedudukan bahasa Indonesia dengan jelas dinyatakan dalam
UUD ’45 Bab XV Pasal 36 yang menyatakan bahwa “Bahasa negara
ialah bahasa Indonesia”. Dalam kondisi masyarakat yang multi etnis,
dan multi bahasa etnis, memang diperlukan bahasa yang dapat menjadi
alat komunikasi dan mempersatukan multi etnis itu. Dalam hal ini
sesuai dengan Bab XV pasal 36 bahasa Indonesia media komunikasi
dan pemersatu antar etnis tersebut. Ketiadaan bahasa yang dapat
menjadi media komunikasi antar etnis di suau negara dapat
menimbulkan kestabilan negara itu sendiri. Menurut Samsuri
(1985:27-28) banyak negara yang telah merdeka secara polisitik
bertahun-tahun, tetapi masih belum dapat mengatasi ahasa
nasionalnya. Di Philipina, meskipun secara resmi telah dinyatakan
ahwa ahasa tagalog sebagai bahasa nasional,banyak orang yang
memakai bahasa Inggrsis sebagai bahasa resmi. Di Malaysia meskipun
sejak tahun 1967 telah dinyatakana bahasa melayu seagai bahasa
resmi, justru ahasa Inggris yang mendapat tempat lebih baik. Di
Kenya, masyarakat tidak mau membaca literatur yang ditulis bukan
bahasa dialeknya.
Istilah ”bahasa Indonesia” itu sendiri sebenarnya belum lama
muncul di Indonessia, bahkan di dunia. Dibanding dengan bahasa lain
seperti bahasa Jawa, bahasa Inggris, bahasa Sansekerta. Keberadaan
bahasa Indonesia baru muncul sekitartahun 1928, saat
dikumandangkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda
Tahun 1928 yang berisi pengakuan bahwa bahasa Indonesia adalah
bahasa nasional kita, merupakan langkah pertama yang menentukan di
dalam garis kebijaksanan mengenai bahasa nasional kita. Demikian
juga Undang-Undang Dasar1945, Bab XV, Pasal 36 yang menyatakan
bahwa ”Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia”, memberikan dasar
yang kuat bagi pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa
penghubung pada tingkat nasional, dan bahasa resmi kenegaraan
(Halim, 1984:15-16). Bahasa Indonesia mempunyai peran yang
sangat penting di dalam negara Kesatuan Republik Indonesia, karena
bahasa Indonesia telah mempersatukan bangsa di wilayah negara
kesatuan Republik Indonesia. Pada kenyataannya. Bahasa Indonesia

3
dipakai di seluruh Indonesia, di daerah-yang berbeda-beda latar
belakang kebahasaan, keudayaan dan kesukuannya, dan di dalam
lapisan masyarakat yang berbeda-beda pula latar belakang pendidikan
serta kepentingannya (Halim, 1979:39). Sesuai dengan isi Undang-
Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36, dan kenyataan yang ada,
bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan ahasa
negara. Sesuai dengan Bab XV Pasal 36 UUD ’45 yang menyatakan
bahwa “bahasa negara adalah bahasa Indonesia”, dengan sendirinya
bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa
negara. Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai etnis yang
tersebar di seluruh wilayah Indonesia memerlukan bahasa nasional
sebagai alat komunikasi antar etnis, dan perlu bahasa untuk
menjalankan pemerintahan sehari-hari.yaitu bahasa negara.

1.2 Fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional


Sesuai dengan isi Sumpah Pemuda 28 Oktiober 1928 dan UUD
1945 Bab XV Pasal 36, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai
bahasa nasional. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional,
bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan
kebangsaan, (2) lambang identitas nasional, (3) alat yang
memungkinkan penyatuan berbagai-bagai suku bangsa dengan latar
belakang social budaya dan bahasanya masing-masing ke dalam
kesatuan kebangsan Indonesia, dan (4) alat perhubungan antardaerah
dan antarbudaya.
Bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan kebangsaan
hendaknya disadari oleh setiap bangsa Indonesia. Tidak setiap bangsa
mempunyai bahasa yang dapat mempersatukan penduduknya.
Philipina misalnya, meskipun secara resmi bahasa Tagalog
dinyatakan sebagai bahasa nasional, dalam praktiknya masyarakatnya
justru memakai bahasa asing, bahasa Inggris untuk berkomunikasi
dalam tingkat nasional. Bahasa Indonesia menjadi kebanggaan bangsa
karena bahasa Indonesia merupakan produk budaya bangsa.
Bahasa Indonesia sabagai lambang identitas nasional
hendaknya disadari oleh bangsa Indonesia. Setiap bangsa memerlukan

4
identitas diri yang bernilai positif. Identitas yang positif akan
menimbulkan citra positif pula di mata dunia. Sebaliknya, identitas
negatif meinmbulkan citra yang negatif pula. Identitas negara penjajah
bagi beberapa negara Barat menimbulkan kesan yang negatif. Bahasa
Indonesia sebagai identitas nasional bagi bangsa Indonesia
menimbulkan citra positif bagi bangsa Indonesia. Dengan fungsi
bahasa Indonesia sebagai lambang identitas nasional, bangsa
Indonesia dapat dikenal oleh bangsa asing salah satunya dari identitas
bahasa yang dipakai.
Bahasa Indonesia sebagai alat yang memungkinkan penyatuan
berbagai-bagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya
dan bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan
Indonesia. Indonesia adalah negara yang luas dengan penduduknya
yang multi suku bangsa. Setiap suku bangsa mempunyai bahasa dan
budaya yang berbeda dengan suku bangsa yang lain. Dari segi ragam
budaya, hal itu merupakan suatu keunggulan tersendiri. Tetapi dengan
bahasa yang berbeda-beda dapat menimbulkan masalah dalam
berkomunikasi, karena antar suku bangsa tidak saling memahami
bahasa suku bangsa yang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu bahasa
yang dapat menyatukan seluruh suka bangsa di Indonesia ini. Bahasa
yang dapat menyatukan suku bangsa di Indonesia adalah bahasa
Indonesia. Hal itu berarti bahwa bahasa daerah tidak diperlukan lagi.
Bahasa daerah sebagai kekayaan budaya suku bangsa harus tetap
dipertahankan.
Bahasa Indonesia sebagai alat perhubungan antar budaya dan
antar daerah mempunyai peranan penting. Latar belakang sosial
budaya dan latar belakang kebahasaan nyang berbeda-beda itu tidak
pula menghambat adanya perhubungan antar daerah dan antar budaya
(Halim, 1979:51). Berkat adanya bahasa nasional, kesalahpahaman
akibat perbedaan latar belakang sosial budaya dan bahasa tidak perlu
terjadi.

Secara umum, fungsi bahasa adalah sebagai alat


komunikasi. Namun secara politis bahasa mempunyai kedudukan

5
yang vital dalam suatu negara, karena bahasa itu mempunyai
beberapa fungsi di samping fungsi komunikasi. Bahasa Indonesia
seagai bahasa nasional mempunyai beberapa fungsi sebagai
berikut:
(1) Sebagai lambang kebanggaan nasional
(2) Sebagai lambang identitas nasional
(3) Sebagai alat yang memungkinkan penyatuan berbagai
suku bangsa dengan latar belakang sosial, budaya, dan
bahasa ke dalam kesatuan bangsa Indonesia
(4) Alat penghubung antar daerah dan antar budaya

1.2.1 Bahasa Indonesia Sebagai Lambang Kebanggaan Nasional


Apabila kita bandingkan dengan kondisi beberapa negara
seperti Malaysia, Philipina, India, Kenya kita pantas berbangga
mempunyai bahasa nasional bahasa Indonesia. Akibat banyaknya
bahasa daerah di Indonesia, sering kita tinggal di tempat yang hanya
dipisahkan selat atau gunung, bahasanya sudah berbeda dan saling
tidak mengerti bahasa yang dipakai kedua daerah yang dibatasi oleh
gunung atau selat itu. Jawa dan Madura serta Jawa an bali hanya
dibatasi oleh selat, namun masing-masing memiliki ahasa yang
berbeda. Jawa dan Sunda merpakan daerah yang hampir tanpa
pembatas laut atau gunung, namun memiliki bahasa yang bereda pula.
Sudah sepantasnyalah kita bangga dengan bahasa Indonesia.
Beberapa negara besar di dunia ini, meskipun negara adikuasa, ada
yang tidak mempunyai bahasa sendiri. Amerka dan Australia yang
mendiami dua benau besar itu hingga sekarang masih memakai bahasa
Inggris. Di masyarakat dunia tidak dikenal bahasa Amerika atau
bahasa Australia.

1.2.2 Bahasa Indonesia sebagai Lambang Identitas Nasional


Bangsa yang besar adalah bangsa yang mempunyai identitas
yang kuat. Identitas itu dapat berupa bahasa, teknologi, agama,
ataupun budaya yang lain. Bangsa yang besar dapat ditandai pula
dengan pengaruh bahasanya yang besar terhadap bangsa lain. Bahasa

6
Inggris, bahasa Arab, bahasa Perancis, bahasa Jerman, merupakan
identitas bagi masing-masing bangsa pemilik bahasa itu. Mereka
semua dadalah bangsa yang besar yang bahasanya banyak dipelajari
oleh bangsa lain.
Dengan semakin berkembangnya bahasa Indonesia akan
memperkuat identitas nasional. Oleh karena itu apabila bahasa
Indonesia sebagai lambang identitas nasional, harus disertai upaya
untuk pengembangan bahasa Indonesia bagi semua warga negara
Indonesia.

1.2.3 Bahasa Indonesia Sebagai Alat Penyatuan Bangsa


Indonesia termasuk negara yang unik, terdiri atas ribuan pulau
besar dan kecil, bermacam etnis, dan agama, dan bahasa. Keberadaan
selat, laut, dan gunung-gunung mengisolasi daerah-daerah tertentu,
sehingga memungkinkan daerah itu mengalami perkembangan
tersendiri, yang terpisah dengan daerah luar. Demikian pula
perkembangan bahasa yang mereka miliki. Dengan bahasa yang
berbeda-beda bangsa ini akan sulit bersatu, karena untuk bersatu
memerlukan kesamaan paham. Kesamaan paham itu akan dapat
tercapai apabila ada satu bahasa yang dapat mewakili bahasa-bahasa
daerah itu. Hadirnya beragai macam bahasa yang dimiliki masing-
masing etnis memerlukan satu bahasa yang dapat menjembatani
komunikasi antar etnis itu. Dalam hal ini bahasa Indonesia-lah yang
mampu menjembatani dan mewakili keberadaan berbgai macam
bahasa daerah di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri masih banyak masyarakat, terutama
masyarakat pedalaman yang buta bahasa Indonesia. Namun harus
diakui bahwa dewasa ini bahasa Indonesia berkembang dengan pesat,
bahkan ada gejala yang tidak diinginkan, yaitu menggeser kedudukan
bahasa daerah. Idealnya, bahasa daerah dan bahasa Indonesia
berkembang bersama berdampingan menjalankan fungsinya masing-
masing. Namun dominasi bahasa Indonesia terhadap bahasa daerah
sulit dihindari. Dengan semakin majunya dunia pendidikan, Iptek, dan
media massa maka masyarakat pedalaman akan semakin memahami

7
bahasa Indonesia, karena hal itu akan merupakan kebutuhan. Bahasa
Indonesia akan menjadi penyatu berbagai suku bangsa dengan latar
belakang sosial, budaya, agama, dan bahasa daerah yang berbeda.

1.2.4 Bahasa Indonesia Menjadi Alat Penghubung antar Daerah


dan antar Budaya
Fungsi bahasa Indonesia sebagai penyatu berbagai suku
bangsa dengan sendirinya bahasa Indonesia menjadi alat pnghubung
antar daerah dan antar budaya. Bab XV pasal 36 UUD ’45 menjadi
dasar hukum fungsi bahasa Indonesia. Negara Indonesia wilayahnya
yang terpisah-pisah oleh laut. Hal itu menjadikan hambatan untuk
bernteraksi. Akibatnya tiap-tiap daerah mengembangkan
kebudayaannya sendiri (termasuk bahasa) sesuai dengan geografis
daerah mereka. Oleh karena itu Indonesia mempunyai beraneka ragam
budaya. Dengan keragaman budaya dan daerah-daerah yang terpisah
oleh laut, diperlukan alat penghubung antar daerah dan antar budaya.
Bahasa Indonesia-lah satu-satunya bahasa di Indonesia yang dapat
menjadi alat penghubung antar daerah dan antar budaya itu.

1.3 Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara


Di dalam kedudukannya seebagai bahasa negara, bahasa
Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa
pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, (3) alat perhubungan pada
tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan serta pemerintahan, dan (4) alat pengembangan
kebudayaan dan pemanfaatan illmu pengetahuan serta teknologi
modern.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan menjadi


bahasa yang dipakai dalam situasi resmi kenegaraan baik bahasa lisan
maupuin bahasa tulis. Dalam kegiatan yang bersifat kenegaraan seperti
dalam pidato, upacara, surat-menyurat dan dokumen negara memakai
bahasa Indonesia. Halim (1979:53) menyatakan bahwa untuk
melaksanakan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan dengan
sebaik-baiknya, pemakaian bahasa Indonesia di dalam pelaksanaan

8
administrasi pemerintahan perlu senantiasa dibina dan
dikembangkan, penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah
satu faktor yang menentukandi dalam pengembangan ketenagaan
seperti penerimaan karyawan baru, kenaikan pangkat baik sipil
maupun militer, dam pemberian tugas-tugas khusus baik di dalam
maupun di luar negeri.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga-
lembaga pendidikan telah diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan
seluruh wilayah Indonesia. Di daewra-daerah yang penguasaan bahasa
daerah dominan, sampai tahun ketiga pada pendidikan dasar
diperkenankan memakai bahasa daerah. Pada usia sampai tahun ketiga
pendidikan dasar, anak-anak di daerah, terutama daerah pedalaman,
kebanyakan anak hanya menguasai bahasa ibu.
Bahasa Indonesia sebagai alat perhubungan pada tingkat
nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan serta pemerintahan, mempunyai peranan penting dalam
kehidupan bernegara, mengingat bangsa Indonesia terdiri atas
berbagai suku bangsa dengan bahasa yangberagam pula. Negara
Indonesia memerlukan bahasa yang dapat menjembatani berbagai
suku bangsa di Indonesia. Peran itu dapat dilakukan oleh bahasa
Indonesia.
Bahasa Indonesia sebagai alat pengembangan kebudayaan dan
pemanfaatan Ilmu Pengetahuan serta Teknologi Modern. Bahasa
Indonesia bahasa resmi dalam dunia pendidikan. Dengan demikian
bahasa Indonesia mampu berperan sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Bahasa Indonesiasebagai bahasa yang mampu berperan sebagai
bahasailmu pengetahuan dengan sendirinya juga mampu dipakai
sebagai alat pengembangan kebudayaan. Dengan demikian bangsa
Indonesia tidak sepenuhnya terganrtung pada bahasa asing untuk
mengembangkan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Bahasa
Indonesia telah mampu berperansebagai bahasa ilmu pengetaguan,
terbukti banyak buku ilmu pengetahuan yang telah diterjemahkan ke
dalambahasa Indonesia. Karya ilmiah anak bangsa sebagai karya akhir

9
di perguruan tinggi seperti skripsi, tesis, disertasi, dapat diwadahi
dalam bahasa Indonesia.

Perlatihan:
1. Berdasarkan Sumpah Pemuda 1928 dan
UUD 1945, bahasa Indonesia berkedudukan penting, yakni sebagai
bahasa nasional dan bahasa negara. Sebutkan dan jelaskan
kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara!

2. Bahasa Indonesia sebagai lambang


kebanggaan nasional. Buatlah kelompok yang terdiri atas empat
orang! Diskusikan mengapa bahasa Indonesia sebagai lambang
kebanggaan nasional!

3. Bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai


lambang identitas nasional. Apakah yang dimaksud dengan bahasa
Indonesia sebagai lambang identitas nasional? Jelaskan! Anda
dapat mendiskusikan dengan kelompok Anda!

4. Jelaskan pula yang dimaksud bahas Indonesia sebagai alat


penyatuan bangsa dan sebagai alat penghubung antar daerah dan
antar budaya!

10
BAB II
EJAAN BAHASA INDONESIA YANG DISEMPURNAKAN

Standar Kompetensi: Memahami Ejaan dan Unsur Serapan


dalam Bahasa Indonesia
Kompetensi dasar : a. Memahami pemenggalan kata dalam
bahasa Indonesia
b. Menerapkan EYD dalam bahasa tulis
sehari-hari
c. Menguasai penulisn unsur serapan
dalam bahasa Indonesia

Indikator:
1, Memahami kaidah pemenggalan kata dalam bahasa Indonesia
2. Menguasai penulisan huruf kapital dalam bahasa Indonesia.
3. Memahami penulisan huruf miring dan penulisan kata gabung
dalam bahasa Indonesia.
4. Menerapkan penulisan partikel dan akronim dalam bahasa
Indonesia.
5. Menguasai penulisan lambang bilangan dan tanda baca dalam
bahasa Indonesia.
6.Memahami penulisan unsur serpan dalam bahasa Indonesia.

Tujuan
1. Melalui membaca intensif, mahasiswa dapat memahami kaidah
pemenggalan bahasa Indonesia dengan benar
2. Melalui diskusi, mahasiswa dapat memahami penulisan huruf
kapital bahasa Indonesia dengan tepat
3. Melalui diskusi, mahasiswa dapat menjelaskan penulisan huruf
miring dan penulisan kata gabung dalam bahasa Indonesia
dengan tepat

11
4. Setelah melakukan diskusi, mahasiswa dapat menjelaskan
penulisan partikel dan akronim dalam bahasa Indonesia dengan
tepat.
5. Setelah diskusi dan tanya jawab, mahasiswa dapat memahami
lambang bilangan dalam bahasa Indonesia dengan benar.
6. Melalui diskusi, nahasiswa mampu menerapkan penulisan unsur
serapan dengan benar.

2.1 Dasar Pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang


Disempurnakan
Bahasa yang baik, adalah bahasa yang mempunyai huruf.
Suatu bahasa paling tepat ditulis dengan huruf yang dimilikinya.
Apabila suatu bahasa ditulis dengan huruf yang ukan huruf
miliknya, maka akan timbul masalah. Bahasa Arab hanya tepat
ditulis dengan huruf Arab. Bahasa Jawa hanya tepat ditulis dengan
huruf Jawa. Bahasa Cina hanya tepat ditulis dengan huruf Cina.
Adanya perbedaan karakter suatu bahasa dengan huruf bahasa yang
lain dapat menimbulkan masalah penulisan.
Berbeda dengan bahasa Jawa, bahasa Indonesia termasuk
bahasa yang tidak mempunyai huruf. Ejaan bahasa Indonesia bukan
ejaan yang khusus diciptakan untuk bahasa Indonesia. Ejaan
(huruf) dalam bahasa Indonesia ejaan yang dipakai oleh banyak
bahasa asing yang lain seperti bahasa Inggris, Perancis, Rusia dan
lain-lain. . Ejaan itu memakai sistem ejaan fonemik. Artinya
setiap bunyi bahasa (fonem) dalam bahasa Indonesia
dilambangkan dalam satu huruf. Namun ternyata tidak semua
fonem dalam bahasa Indonesia tertampung dalam huruf latin. Ada
beberapa bunyi yang tidak dapat diwakili oleh satu huruf.
Akibatnya ada beberapa bunyi konsonan yang sebenarnya terdiri
atas satu huruf terpaksa ditulis dalam dua huruf. Bunyi konsonan
itu seperti berikut ini.

12
Konsonan dua
huruf Contoh Pemakaian dalam Kata
Di Awal Di Tengah Di Akhir
Kh Khayal Akhlak Tarikh

Ng Ngarai Bunga Barang


Ny Nyiru Banyak -
Sy Syair Isyarat Arasy

Pemerintah telah menyusun Pedoman Umum Ejaan Bahasa


Indonesia yang Disempurnakan berdasarkan Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
0543a/U/1987, tanggal 9 Septemer 1987, dicermatkan pada Rapat
Kerja Ke-30 Panitia Kerja Sama Kebahasaan di Tugu, tanggal
19-20 Desember 1990 dan diterima pada sidang ke-30 Majelis
Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia di Bandar Seri
Begawan , tangga 4-6 Maret 1991.

2.1.1 Pemenggalan Kata


Pemenggalan kata dimaksudkan untuk memenggal atau
memotong kata apabila kita tidak cukup menuliskan dalam satu
larik. Pemenggalan kata berkaitan dengan penulisan, bukan
pengucapan (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1999: 1179). Pemenggalan kata tidak
sama dengan penyukuan kata. Prinsip yang dipergunakan dalam
pemenggalan kata adalah prinsip gramatikal dan prinsip ortografis.
Pedoman Pemengalan Kata telah disahkan dalam Rapat Kerja
Panitia Kerja Sama Kebahasaan di Tugu, Tanggal 16–20 Desember
1991 dan Sidang ke-30 Majelis Bahasa Brunei Darussalam-
Indonesia-Malaysia di Bandar Seri Begawan, tanggal 4-6 Maret
1991.

13
Pemenggalan kata dibedakan antara pemenggalan kata
dasar, kata jadian, dan kata gabung. Kesalahan yang sering
dilakukan oleh pemakai bahasa Indonesia tulis karena mereka
menyamakan pemenggalan kata dasar, kata jadian, dan kata
gabung. Keslahan itu juga disebabkan mereka tidak tahu bahwa
kata yang dipenggal adalah kata dasar atau kata gabung.

2.1.1.1 Pemenggalan Kata Dasar


Pemenggalan kata dasar harus dilihat pola kata dasar itu.
Di dalam bahasa Indonesia ada kata dasar yang di tengahnya
terdapat satu vokal yang diapit konsonan, dan ada pula kata dasar
yang di tengah kata terdapat dua vokal yang diapit oleh konsonan.
Apabila di tengah kata ada satu vokal yang diapit konsonan,
pemenggalan dilakukan sebelum konsonan yang mengapit
pertama. Apabila di tengah kata ada dua vokal yang diapit
konsonan, pemenggalan dilakukan di antara kedua vokal.
Perhatikan contoh berikut ini!

Se.pak (vokal a diapit oleh konsonan p dan k)


KV.KVK
Bu.at (vokal u dan a diapit oleh konsonan b dan t)
Di dalam bahasa Idonesia, baik bahasa Indonesia asli
maupun unsur serapan yang di tengah kata ada dua konsonan atau
lebih yang diapit oleh vokal, pemenggalan kata dasar selalu
dilakukan di antara konsonan pertama dan kedua. Di dalam bahasa
Indonesia terdapat 1, 2, 3, dan 4 konsonan yang diapit oleh vokal.
Bentuk pemenggalan itu seperti berikut ini.

Pemenggalan Kata Dasar


Satu konsonan Dua konsonan Tiga konsonan Empat
diapit vokal diapit vokal diapit vokal konsonan
diapit vokal
bu.ku lan.car kom.plek ek.strak
la.ri ob.ral as.tral in.struk.si

14
ti.ba put.ra ban.drek tran.skrip

2.1.1..2 Pemenggalan Kata Jadian


Pemenggalan kata jadian berbeda dengan kata dasar.
Pemenggalan kata jadian dibedakan antara pemenggalan kata
berimbuhan dan pemenggalan bentuk gabungan.

2.1.1.2.1 Pemenggalan kata berimbuhan


Di dalam pemenggalan kata berimbuhan awalan dan
akhiran diperlakukan segai satuan terpisah. Untuk memenggal kata
berimbuhan harus diketahui dahulu bentuk dasarnya, karena pola
yang sama dalam sebuah kata jadian mungkin mempunyai bentuk
dasar dengan pola yang berbeda. Hal itu tampak dalam contoh
berikut ini.

Kata Jadian Bentuk Dasar Pemenggalan


mengajarkan Ajar meng-a-jar-kan
mengirimkan kirim me-ngi-rim-kan

2.1.1.2.2 Pemenggalan Bentuk Gabungan


Pemenggalan bentuk gabungan dipenggal lebih dahulu atas
satuan-satuannya, kemudian alternatif pemenggalan pada satuan-
satuan itu. Di dalam penulisan, pemenggalan dilakukan dapat
didasarkan pada tempat yang tersedian pada bagian larik akhir.

Bentuk Gabungan Satuan-Satuannya Pemenggalan


ekstrakurikuler ekstra-kurikuler eks.tra-ku.ri.ku.ler
bagaimana bagai-mana ba.gai-ma.na
bioskop bio-skop bi-o-skop

15
2.1.1.2.3 Pemenggalan bentuk trans an eks
Bentuk pemenggalan yang sering membingungkan pemakai
bahasa Indonesia adalah pemenggalan kata-kata bentuk trans dan
eks. Kedua bentuk itu ada yang diperlakukan sebagai bentuk dasar
dan ada yang diperlakukan sebagai bentuk kata gabung. Jika trans
diikuti dengan bentuk terikat (diperlakukan sebagai bentuk dasar),
pemenggalan dilakukan dengan mengikuti pola kata dasar. Jika
trans diikuti bentuk bebas (diperlakukan sebagai kata gabung)
pemenggalan dilakukan dengan memisahkan trans sebagai bentuk
utuh. Berbeda dengan pemenggalan bentuk eks, bentuk trans sulit
dibedakan antara trans yang diikuti bentuk terikat dengan trans
yang diikuti bentuk bebas. Berikut ini contoh pemenggalan bentuk
trans yang diikuti bentuk terikatdan trans yang diikuti bentuk
bebas,

Trans diikuti bentuk Trans diikuti bentuk


terikat bebas
tran-sfer Trans-ak-si
tran-skrip trans-mig-ra-si
tran-sla-si trans-fu-si
tran-si-si trans-por

Untuk mengetahui trans diikuti bentuk terikat ata bebas,


memang tidak mudah. Untuk itu sebaiknya jika akan memenggal
bentuk trans, perlu diperhatikan bentuk penggalannya, dapat
berdiri sendiri ataukah tidak. Apabila dapat berdiri sendiri dapat
diidentifikasi bahwa bentuk trans itu diikuti bentuk bebas. Sebagai
contoh kata transmigrasi dapat dipisah antara trans dan
migrasi.Migrasi ternyata dapat beriri sendiri, misalnya dalam
kalimat “Banyak petani yang tidak mempunyai lahan trensmigrasi
ke luar Jawa”.
Pemenggalan bentuk eks tidak begitu rumit. Bentuk eks
dapat disejajarkan dengan bentik in atau im. Apabila unsur ek

16
dapat disejajarkan dengan bentuk in atau im, pemenggalan
dilakukan antara eks dan unsur berikutnya. Berikut ini contoh
pemenggalan bentuk eks.

ek tidak mempunyai Ek mempunyai bentuk


bentuk sepadan in atau im sepadan in atau im
ek.spres eks.tern/in.tern
ek.strak eks.tra/in.tra
ek.strem eks.pre.sif/im.pre-.sif
ek.spe.ri.men eks.trin.sik/in.trin.sik

2.1.1.2.4 Pemenggalan Unsur Serapan Asing Berakhir –isme


Pemenggalan unsur serapan asing berakhir -isme dapat
dibedakan antara isme yang didahului oleh huruf vokal dan -isme
yang didahului huruf konsonan. Pemenggalan unsur serapan asing
yang berakhir –isme yang didahului huruf vokal, dilakukan setelah
huruf vokal. Pemenggalan unsur serapan asing yang berakhir -isme
dan didahului huruf konsonan dilakukan sebelum huruf konsonan
itu, seperti contoh berikut ini.

-isme didahului oleh vocal -isme didahului oleh konsonan


Unsur serapan Pemenggalan Unsur Pemenggalan
Serapan
Hinduisme Hin.du.is.me Patriotisme pat.ri.o.tis.me
heroisme he.ro.is.me animisme a.ni.mis.me
egoisme e.go.is.me jurnalisme jur.na.lis.me

2.1.2 Pemakaian Huruf Kapital


Ada beberapa jenis kesalahan yang sering dijumpai dalam
pemakaian huruf kapital. Kesalahan itu pada (1) penulisan huruf
pertama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti
nama orang; (2) Penulisan huruf pertama unsur jabatan dan

17
pangkat; (3) Penulisan huruf pertama nama geografi; (4) Penulisan
huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna pada nama
badan, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan,serta dokumen
resmi; (5) Penulisan kata penunjuk hubungan kekerabatan; (6)
Huruf pertama kata ganti Anda; dan (7) Penulian akronim.
Di dalam Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan dinyatakan bahwa huruf kapital dipakai sebagai
huruf pertama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang
diikuti nama orang. Hal itu berarti tidak berlaku bagi penulisan
gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang tidak diikuti
nama orang. Berikut ini contoh penulisan gelar kehormatan,
keturunan, dan keagamaan.
Contoh:
Setahun yang lalu Mahaputra Yamin mendapat gelar
kehormatan mahaputra.
Setelah Sultan Hamengkubuwono IX wafat, kedudukan
sultan digantikan sultan yang baru
Seorang haji seperti Haji Tabrani yang suka beramal itu perlu
diteladani.
Penulisan huruf pertama unsur jabatan dan pangkat perlu
mendapat perhatian. Penulisan huruf pertama unsur jabatan dan
pangkat ditulis huruf kapital bila diikuti ama orang.
Contoh:
Baru satu bulan Gubernur Soekarwo dilantik menjadi
gubernur.
Di Indonesia, pangkat jendral yang pertama kali disandang
oleh Jendral Sudirman.

Penulisan huruf pertama nama geografi, penulisan huruf


pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna pada nama badan,
lembaga pemerintah dan ketatanegaraan,serta dokumen resmi,
penulisan kata penunjuk hubungan kekerabatan, huruf pertama kata
ganti Anda, dan penulian akronim perlu mendapat perhatian.
Banyak kesalahan yang dijumpai pada penulisan unsur-unsur

18
itu.Berikut ini contoh penulisan yang benar dan contoh penulisan
yang salah.

Salah Benar
Ia menyeberangi selat Madura Ia menyeberangi Selat Madura
Ia menyeberangi Selat Iamenyeberangi selat
Undang-undang Dasar ‘45 Undang-Undang Dasar ‘45
Silakan bapak dan ibu duduk! Silakan Bapak dan Ibu duduk!
Siapakah nama anda? Siapakah nama Anda?
Ia seorang taruna AKABRI Ia seorang taruna Akabri.

2.1.3 Penulisan Kata


Penulisan kata dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan sudah diatur demikian rupa, namun masih sering
dijumpai beberapa kesalahan yang dilakukan oleh pemakai bahasa
Indonesia. Penulisan kata dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan dibedakan antara penulisan kata dasar, kata
turunan, bentuk ulang, gabungan kata, kata ganti -ku, -kau, -mu,
dan –nya. Penulisan kata si dan sang, partikel. Kata yang berupa
kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan. Jika bentuk dasar berupa
gabungankata, awalan atau akhiran ditulis serangkai dengan kata
yang langsung mengikuti atau mendahuluinya. Bentuk dasar yang
berupa gabungan kata mendapat awalan danakhiran sekaligus,
unsur gabungankata itu ditulis serangkai.Jika salah satu unsur
gabungan kata hanya dipakai sebagai kombinasi, gabungan kata itu
ditulis serangkai. Jika kata maha sebagai unsur gabungan diikuti
oleh kata esa dan kata yang bukan kata dasar, gabungan itu ditulis
terpisah.
Aturan selanjutnya ialah bentuk ulang ditulis secara lengkap
dengan menggunakan tanda hubung. Gabungan kata yang lazim
disebut kata majemuk, termasuk istilah khusus, unsur-unsurnya
ditulis terpisah. Gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang

19
mungkin menimbulkan kesalahan pengertian, dapat ditulis dengan
tanda hubung untuk menegaskan pertalian di antara unsur yang
bersangkutan.

Berikut ini bentuk yang sering ditulis secara salah..

Bentuk Kata Salah Benar


Kata turunan antar kota Antarkota
ekstra kurikuler ekstrakurikuler
Tuhan Maha Kuasa. Tuhan Mahakuasa
Tuhan Mahaesa Tuhan Maha Esa
Gabungan Dutabesar Duta besar
kata
Kata ganti Jangan kau ambil Jangan kauambil
milikku. milikku.
Kata depan Baik disana maupun Baik di sana maupun di
disini sama saja sini sama saja.
Kemana ia pergi? Ke mana ia pergi
Partikel pun Apapun yang terjadi, Apa pun yang terjadi,
biar pun berbahaya, biarpun berbahaya,
kendatipun dilarang, ia kendatipun dilarang, ia
tetap melakukan. tetap melakukan.
Partikel per Satu persatu karyawan Satu per satu karyawan
itu menghadap itu menghadap
pimpinan. pimpinan.
Kuliah per31 Agustus Kuliah per 31 Agustus
2009. 2009.
Beasiswa dierikan Beasiswa diberikan per
perbulan. bulan.

2.1.4 Penulisan Angka


Angka dipakai untuk menyatakan lambang ilangan atau
nomor. Ada dua macam angka yang dipakai dalam bahasa
Indonesia, yaitu angka Arab dan angka Romawi. Pemakaian angka

20
Romawi tidak seproduktif pemakaian angka Arab. Pemakaian
angka Romawi didasarkan pada huruf, dan hanya lazim digunakan
untuk penomoran halaman depan buku, dan untuk bilangan tingkat.
Angka Arab : 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
Angka Romawi: I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X
Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penulisan lambang bilangan.

Jenis lambang Salah Benar


bilangan
Nilai Uang Rp 1.000.000,00 Rp1.000.000,00
Satuan waktu Pukul 18. 30:15 Pukul 18.30.15
Bilangan tingkat Anak ke 5 Anak ke-5
Anak ke-V Anak V
Lambang bilangan Jumlah siswa 110 Jumlah siswa seratus
yang dapat orang. sepuluh orang.
dinyataan dengan Jumlah siswa 50 laki-
sau atau dua kata Jumlah siswa lima laki, dan 60
puluh laki-laki, dan perempuan.
enam puluh
perempuan.
Pada awal kalimat 10 0rang mahasiswa Sepuluh orang
berprestasi mahasiswa berprestasi
mendapat mendapat
penghargaan. penghargan.
Dua puluh lima Mahasiswa
mahasiswa berprestasi yang
berprestasi mendapat mendapat
penghargaan. penghargaan 25
orang.

2.1.5 Tanda Baca


Tanda baca harus dipakai secara cermat.Ketidak cermatan
pemakaian tanda aca dapat mengubah makna. Hal itu dapat kita

21
lihat pada penulisan nama Sunarno S.H. dan Sunarno, S.H.
Penulisan yang pertama tidak memakai tanda baca koma, sedang
peulisan yang kedua memakai tanda baca koma. Panda penulisan
yang pertama singkatan S.H. berarti singkatan nama orang, sedang
S.H. yang kedua berarti singkatan dari Sarjana Hukum.Tanda koma
pada penulisan itu membedakan antara singkatan nama orang dan
gelar akademik. Bentuk kesalahan pada pemakaian tanda baca yang
seringdijumpai seperti berikut ini.

Tanda Salah Benar


baca
Tanda titik Ikhtisar atau daftar
(.) 1.1. 1.1
1.2. 1.2
Nama orang
SB Yudoyono S.B. Yudoyono
Gelar
SH (Sarjana Hukum) S.H.
a/n (atas nama) a.n. (atas nama)
an. (atas nama
d/a d.a.
Tanda Gelar akademik
koma Prasetyo Utomo M.Pd. Prasetyo Utomo, M.Pd.
Tanda seru Pergilah ! Pergilah!

2.2 Pembentukan istilah


Yang dimaksud dengan istilah ialah kata atau gabungan
kata yang dengan cermat mengungkapkan konsep, proses, keadaan
atau siat yang khas dalam bidang tertentu. Istilah dapat dibedakan
antara istilah khusus dan istilah umum. Menurut Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa istilah khusus
ialah istilah yang pemakaiannya dan/atau maknanya terbatas pada
suatu bidang tertentu, sedangkan istilah umum adalah istilah yang
menjadi unsur bahasa yang digunakan secara umum.

22
Misalnya:
Istilah Khusus Istilah Umum
vonis ekstra
prasmanan global
debet agenda

Ada beberapa sumber yang dapat dijadikan istilah dalam


bahasa Indonesia, yaitu kosakata bahasa Indonesia, kosa kata
bahasa serumpun, dan kosa kata bahasa asing. Syarat kata
Indonesia yang dapat dijadikan istilah ialah kata umum baik yang
lazim maupun yang tidak lazim, yang memenuhi salah satu syarat
yang telah ditentukan. Syarat-syarat itu ialah: (a) Kata yang
dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau
sifat yang dimaksudkan; (b) Kata yang lebih singkat daripada yang
lain yang berujukan sama seperti gulma dan tumbuhan
penggangggu. (c) Kata yang tidak bernilai rasa (berkonotasi) buruk
dan sedap didengar, seperti tuna rungu jika dibandingkan dengan
tuli.
Istilah dapat dibentuk dari kosakata bahasa serumpun.
Kosakata bahasa serumpun dijadikan sumber istilah apabila di
dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan istilah yang dengan tepat
dapat mengungangkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang
dimaksudkan. Bahasa serumpun yang dijadikan sumber istilah baik
yang lazim maupun yang tidak lazim.
Misalnya:
gambut (Banjar) peat (Inggris)
nyeri (Sunda) pain (Inggris)
Bahasa asing dapat dijadikan sumber peristilahan Indonesia
apabila tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa

serumpun. Pembentukan istilah baru itu dengan jalan


menerjemahkan, menyerap, dan menyerap sekaligus
menerjemahkan istilah asing.
Menerjemahkan:

23
Samenwerking - kerjasama
Penyerapan:
Energy - energi

Penyerapan dan penerjemahan sekaligus


Subdevision - subbagian
Tidak semua istilah asing yang dijadikanistilah baru dalam
bahasa Indonesia dengan jalan diterjemahkan, diserap, dan diserap
sekaligus diterjemahkan. Istilah asing yang ejaannya betahan dalam
banak bahasa juga dipakai dalamahasa Indonesia dengan syarat
diberi garis bawah arau dicetak miring. Misalnya kata allegro
moderato yang berarti kecepatan sedang (dalam musik)

Perlatihan
I. Penggallah kata-kata berikut ini sesuai dengan ketentuan
Pedoman Pemenggalan Kata!
1. eksperimen 6. fotografi 11. ekspansi
16. halalbihalal
2. eksponen 7. putra 12. pulau
17. infrastruktur
3. eksklusif 8. bioskop 13. survei
18. patriotisme
4. atmosfer 9. transplantasi 14. aerobik
19. ekstrem
5. transmigrasi 10. transaksi 15. audiovisual
20. transliterasi

II. Penulisan akronim ada yang ditulis dengan huruf besar semua,
huruf pertama saja yang ditulis dengan huruf besar, dan ada
yang ditulis dengan huruf kecil semua?. Bagaimanakah aturan
penulisan akronim tersebut? Jelaskan!

24
III.Tulis kembali kalimat-kalimat berikut ini dengan ejaan yang
benar.!
a. Ia membaca buku yang bejudul Pengaruh Bulan
Romadhon Terhadap Perekonomian Rakyat dari hari
ke hari.
b. Masihkah anda mempunyai Bapak dan Ibu?
c. Sejak dilantik menjadi Presiden, Presiden Megawati
tinggal diistana.
d. Jangan kau perhatikan kejadian ditempat itu.
e. Ia mengendarai mobil dengan kecepatan 2 km permenit
f. Nama ilmiah buah manggis ialah Caicinia
mangortama.
g. Bambang Prakosa S.T. (sarjana teknik) ditempat itu
digaji 2 juta rupiah perbulan.
h. Tuhan Maha Esa, Maha Kasih, dan Maha
Mengetahui.
i. Tepat pukul 12:30.10 W.I.B. acara itu dibuka.
j. Dua puluh lima mahasiswa mengadakan bakti sosial ke
daerah terpencil.

IV.Istilah-istilah asing tidak dapat begitu saja masuk ke dalam


istilah bahasa Indonesia. Bagaimanakah prosedur pemasukan
istilah asing ke dalam bahasa Indonesia? Jelaskan!

25
BAB III
BAHASA BAKU BAHASA INDONESIA

Standar Kompetensi: Memahami Kaidah Bahasa Baku


Bahasa Indonesia
Kompetensi dasar : a. Memahami ciri-ciri gramatikal
kalimat baku Bahasa Indonesia
b. Memahami sebab-sebab ketidak
bakuan bahasa Indonesia

Indikator:
1, Memahami pengertian bahasa Indonesia baku
2. Mengidentifikasi ciri-ciri kalimat baku bahasa Indonesia
3. Menjelaskan kontaminasi dalam bahasa Indonesia
4. Memahami interferensi yang terjadi dalam bahasa Indonesia
5. Memahami lafal yang benar dalam bahasa Indonesia baku.

Tujuan
1. Melalui ceramah dan tanya jawab, mahasiswa dapat memahami
pengertian bahasa Indonesia baku.
2. Melalui membaca intensif, mahasiswa dapat mengidentifikasi
ciri-ciri kalimat baku bahasa Indonesia.
3. Melalui diskusi, mahasiswa dapat menjelaskan peristiwa
kontaminasi dalam bahasa Indonesia.
4. Setelah melakukan diskusi, mahasiswa dapat memahami
interferensi dalam bahasa Indonesia dengan enar.
5. Setelah melakukan diskusi, mahasiswa dapat memahami lafal
yang benar dalam bahasa Indonesia baku.

26
3.1 Pendahuluan
Bahasa Indonesia baku berbeda dengan bahasa Indonesia tak
baku. Menurut Susilo (1990:1) bahasa Indonesia baku sama
dengan bahasa Indonesia resmi. Bahasa Indonesia baku
mempunyai beberapa keunggulan. Salah satu keunggulan bahasa
Indonesia baku ialah seragam untuk seluruh Indonesia. Dengan
demikian bahasa Indonesia tak baku tidak seragam untuk seluruh
bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tak baku sama dengan bahasa
Indonesia tak resmi. Bahasa Indonesia tak resmi sama dengan
bahasa Indonesia ragam dialek.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di Indonesia
mempunyai kedudukan yang paling tinggi di antara bahasa-bahasa
yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang
dipakai oleh hampir seluruh bangsa Indonesia mendominasi
pemakaian bahasa-bahasa di Indonesia. Bahasa-bahasa di Indonesia
dapat dibedakan antara bahasa Indonesia dan bahasa “yang bukan
bahasa Indonesia”. Bahasa selain bahasa Indonesia jumlahnya
banyak sekali di Indonesia. Bahasa-bahasa ini disebut bahasa
daerah, dan dipakai oleh etnis-etnis sesuai dengan nama bahasa itu.
Misalnya bahasa Jawa dipakai oleh sebagian besar etnis Jawa,
bahasa Sunda dipakai oleh sebagian besar etnis Sunda, bahasa
Bugis dipakai oleh mayoritas etnis Bugis. Pemakaian ini tidak
berarti bahwa bahasa daerah hanya dipakai sebagai alat komunikasi
etnis dari bahasa itu, tetapi biasanya juga dipakai etnis lain yang
bersosialisasi dengan etnis pemakai bahasa itu. Misalnya bahasa
Jawa di Pulau Jawa juga dipakai sebagai alat komunikasi oleh etnis
di luar Jawa yang telah lama tinggal di Pulau Jawa.
Bahasa Indonesia mempunyai posisi yang paling tinggi di
antara bahasa-bahasa lain di Indonesia, karena kedudukan bahasa
Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Dasar ’45. Di dalam
UUD ’45 bab XV Pasal 36 dinyatakan bahwa Bahasa negara adalah
bahasa Indonesia. Kedudukan bahasa daerah tidak diatur secara
eksplisit di dalam UUD ’45. Bahasa daerah hanya diatur dalam
Penjelasan Tentang Undang-Undang dasar Negara Indonesia. Di

27
dalam penjelasan tentang Bab XV Pasal 36 UUD ’45 dinyatakan
“Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara
oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda,
Madura dsb.) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga
oleh negara. Bahasa-bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan
Indonesia”.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dipakai oleh
mayoritas bangsa Indonesia terdiri atas beberapa dialek, seperti
bahasa Indonesia dialek Betawi, bahasa Indonesia di alek Medan,
bahasa Indonesia dialek Ambon dan sebagainya. Gatot Susilo
membedakan antara bahasa Indonesia resmi dan bahasa Indonesia
tak resmi. Menurut Gatot Susilo (1990:1) bahasa Indonesia baku
bertolak dari bahasa Indonesia resmi. Bahasa Indonesia resmi
adalah bahasa Indonesia yang dipakai dalam situasi resmi.
Pemakaian bahasa Indonesia dapat dibedakan antra bahasa
resmi dan bahasa tidak resmi. Bahasa Indonesia resmi dipakai
dalam situasi resmi seperti di dalam upacara-upacara, rapat, dalam
lembaga pensdidikan dan lain-lain. Bahasa Indonesia tak resmi
dipakai dalam situasi non-formal, atau situasi tak resmi. Di dalam
situasi tak resmi masyarakat sering memakai bahasa Indonesia
dialek. Pemakaian dialek ini cenderung dipengaruhi oleh geografis
etnis masyarakat pemakainya. Masyarakat Betawi cenderung
memakai bahasa Indonesia dialek Betawi. Masyarakat Batak
cenderung memakai bahasa Indonesia dialek Batak, dan masyarakat
Minangkabau cenderung memakai bahasa Indonesia dialek
Minangkabau. Moeliono (1988: 3) menyatakan bahwa dialek atau
logat dikenal sebagai ragam daerah. Pernyataan Moeliono ini
menyiratkan bahwa pengertian dialek cenderung pada pemakaian
ragam bahasa pada tempat tertentu.
Dialek berasal dari bahasa Yunani, dialektos. Menurut
Meilet dalam Ayatrohaedi (1979:2) xiri utama dialek ialah adanye
perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan.
Harimurti Kridalaksana memberikan batasan dialek sebagai berikut.

28
Variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai; variasi
bahasa yang dipakai oleh kelompok bahasawan di tempat
tertentu (=dialek regional), atau oleh golongan tertentu dari
suatu kelompok bahasawan (=dialek sosial); atau oleh
kelompok bahasawan yang hidup dalam waktu tertentu
(dialek temporal)” (Kridalaksana, 1982:34).

Selanjutnya Kridalaksana membagi dialek menjadi empat


macam (1982:34), yaitu dialek regional, dialek sosial, dialek
temporal, dan dialek tinggi. Dialek regional adalah dialek yang
dipakai oleh masyarakat dalam suatu tempat tertentu, seperti dialek
Betawi. Dialek sosial adalah suatu dialek dalam kelompok sosial
tertentu. Dialek temporal adalah dialek yang dipakai dalam waktu
tertentu, seperti bahasa Jawa kuno. Dialek tinggi adalah variasi
suatu bahasa yang dianggap sebagai standar, dan merupakan dialek
yang dianggap lebih tinggi dari dialek-dialek lain.
Robins (1992: 60) memberi batasan tentang dialek, yaitu
kesamaan jenis abstraksi seperti bahasa. Tetapi cakupan dialek
lebih sedikit penutur, dan lebih mendekati bahasa sebenarnya yang
digunakan oleh penuturnya. Jadi dialek merupakan bagian dari
suatu bahasa yang luas, dengan ciri-ciri tertentu sesuai dengan ciri
yang disepakati oleh kelompok regional, sosial, dan temporal.
Bahasa Indonesia dialek Betawi adalah bahasa yang terdapat dalam
wilayah Betawi, yang secara arbriter kekhasannya disepakati oleh
masyarakat Betawi. Demikian juga bahasa Jawa kuna adalah
bahasa Jawa yang secara temporal pemakaiannya disepakati oleh
masyarakat Jawa pada saat tertentu, yaitu pada zaman Majapahit.

3.2 Bahasa Baku


Di samping dialek dikenal pula bahasa baku. Bahasa baku
merupakan bahasa yang dianggap mempunyai tempat lebih tinggi
daripada dialek. Di dalam bahasa Indonesia sering terdengar
imbauan agar memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia

29
yang berada di luar dialek regional, maupun sosial, bahasa
Indonesia yang baik dan benar mencakup daerah yang sangat luas
pemakaiannya, yang dapat menembus daerah dialek regional
maupun wilayah dialek sosial. Bahasa Indonesia yang baik dan
benar merupakan bahasa Indonesia yang standar.
Indonesia sebagai negara yang mempunyai banyak bahasa
memang memerlukan bahasa persatuan. Di samping bahasa
Indonesia, di Indonesia terdapat banyak bahasa daerah. Masyarakat
Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis biasanya tidak saling
memahami bahasa daerah yang satu dengan bahasa daerah yang
lain, kecuali bagi yang sudah lama berinteraksi dengan bahasa
daerah tertentu. Di samping bahasa daerah, masih terdapat banyak
dialek di dalam bahasa Indonesia. Pemakaian berbagai macam
dialek dalam perundang-undangan dan surat menyurat resmi akan
dapat menimbulkan kesalahpahaman, karena ada kemungkinan
suatu dialek tertentu tidak dipahami oleh pemakai dialek yang lain.
Oleh karena itu penting mempunyai bahasa persatuan dalam
masyarakat bahasa yang mempunyai banyak bahasa seperti di
Indonesia.
Pengertian bahasa baku menurut Kridalaksana mengacu
pada bahasa standar. Selanjutnya Kridalaksana memberi batasan
bahasa standar (standard language) sebagai berikut.: 1. ragam
bahasa atau dialek yang diterima untuk dipakai dalam situasi
resmi, seperti dalam perundang-undangan, surat-menyurat resmi,
berbicara di depan umum, dsb.; 2. Bahasa persatuan dalam
masyarakat bahasa yang mempunyai banyak bahasa (Kridalaksana,
1982: 21).
Sesuai dengan pendapat Kridalaksana, sebenarnya bahasa
baku juga merupakan dialek. Bahasa baku merupakan dialek yang
mempunyai posisi lebih penting daripada dialek-dialek yang lain,
karena diterima untuk dipakai dalam situasi resmi. Di samping itu
bahasa baku dipakai juga dalam perundang-undangan, surat-
menyurat resmi, dan berbicara di depan umum. Dialek yang lain (di
luar bahasa baku) kedudukannya tidak seperti dalam bahasa baku,

30
karena tidak dapat dipakai dalam situasi resmi, perundang-
undangan, surat-menyurat resmi dan berbicara di depan umum.
Pernyataan Kridalaksana tentang bahasa baku tersebut sesuai
dengan pendapat Robins.
Menurut Robins (1992: 67) yang dimaksud dengan bahasa
baku ialah “sebuah dialek atau suatu kelompok dialek yang banyak
persamaannya, yang mempunyai martabat tinggi sebagai bahasa
orang terpelajar di ibu kota atau sebagai suatu kelompok
masyarakat terhormat.

Bahasa Indonesia yang mempunyai berbagai macam dialek


memerlukan sebuah dialek yang diakui oleh semua penutur
berbagai macam dialek tersebut. Dialek ini yang disepakati sebagai
alat komunikasi antar penutur berbagai macam dialek tersebut.
Bahasa baku dipakai sebagai alat komunikasi lintas dialek, karena
dialek yang khas dari suatu daerah sering tidak dimengerti oleh
penutur dialek lain.
Robin mengatakan untuk mewakili bahasa baku menurut
tradisi dan kebiasaan diambil dari bahasa kalangan terpelajar di ibu
kota sebuah negara (1992: 60). Bahasa kaum terpelajar
memungkinkan untuk diambil menjadi bahasa baku, karena
kalangan terpelajar tersebar di seluruh wilayah negara. Bahasa
kalangan terpelajar memungkinkan untuk menjadi bahasa ilmu
pengetahuan. Di samping itu antara ragam dialek yang satu dengan
dialek yang lain kadang-kadang mempunyai arti yang bertolak
belakang. Kata sing bahasa Jawa standar mempunyai arti yang
bertolak belakang dengan sing bahasa Jawa dialek Banyuwangi.
Sing dalam bahasa Jawa standar berarti “yang”, sedang sing dalam
bahasa Jawa dialek Banyuwangi berarti “tidak”. Kalimat Aku sing
nulis dalam bahasa Jawa standar berarti ‘Saya yang menulis’ tetapi
di dalam bahasa Jawa dialek Using berarti ‘Saya tidak menulis’.
Oleh karena itu bahasa baku sebagai bahasa standar sangat
diperlukan.

31
Kelompok-kelompok masyarakat tertentu, waktu, dan
geografi memang cenderung menimbulkan terbentuknya dialek
suatu bahasa. Oleh karena itu perlu adanya suatu dialek yang diakui
oleh semua kelompok masyarakat. Dialek inilah yang disebut
bahasa baku. Bahasa baku menurut Moeliono (1988: 14)
mempunyai empat fungsi, yaitu: fungsi pemersatu, fungsi pemberi
khasan, fungsi pembawa kewibawaan, dan fungsi sebagai kerangka
acuan.
Bahasa baku diharapkan dapat mempersatukan masyarakat
yang terdiri dari berbagaimacam etnis dan bahasa ataupun
masyarakat-masyarakat yang memakai berbagai macam dialek. Di
negara-negara tertentu bahasa sering menimbulkan masalah yang
dapat mengganggu stabilitas politik maupun keamanan suatu
negara. Di Philipina, pemakaian bahasa Tagalok sebagai bahasa
nasional ternyata menimbulkan kecemburuan bagi masyarakat di
luar suku Tagalok (Samsuri, 1985: 27). Di Philipina bahasa
Tagalok justru tidak mempersatukan berbagai macam suku dengan
berbagai macam bahasa. Hal ini berbeda dengan di Indonesia.
Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia, diakui
oleh semua etnis di Indonesia untuk diangkat sebagai bahasa resmi,
bahasa yang menjadi alat komunikasi berbagai macam etnis. Oleh
karena itu bahasa Indonesia dapat berperan sebagai pemersatu.
Bahasa baku berfungsi pemberi khasan, berarti bahwa
bahasa baku sebagai suatu dialek yang diakui oleh pemakai
berbagai macam dialek mempunyai ciri khas tersendiri dibanding
dialek-dialek yang lain. Kekhasan bahasa baku ini dapat diterima
oleh pemakai dialek di luar bahasa baku. Bahasa baku berfungsi
pembawa kewibawaan, karena adanya suatu dialek yang diakui
oleh seluruh masyarakat di suatu negara dapat menimbulkan
kewibawan di hadapan negara lain. Bahasa Indonesia baku berbeda
dengan bahasa melayu Sdingapura maupun bahasa Melayu
malaysia. Bahasa Indonesia baku khas bahasa Indonesia yang
dipakai oleh masyarakat terpelajar di Indonesia. Bahasa baku
menjadi kerangka acuan, karena bahasa baku mempunyai kaidah

32
dan gramatika yang jelas. Bahasa baku adalah bahasa yang standar,
bahasa yang menjadi pedoman.

3.3 Bahasa Indonesia Baku


Telah dikemukakan oleh Robins (1992: 67) bahwa bahasa
baku adalah sebuah dialek orang-orang terpelajar di ibukota yang
banyak persamaannya sebagai bahasa kelompok masyarakat
terhormat. Bertitik tolak dari pendapat Robins dapat dikemukakan
bahwa bahasa Indonesia baku adalah bahasa Indonesia ragam
dialek yang mempunyai martabat tinggi, yang menjadi bahasa
orang terpelajar sebagai bahasa kelompok masyarakat terhormat di
Indonesia .
Gatot susilo (1990: 1) memberi batasan bahasa Indonesia
baku seperti berikut: “Bahasa Indonesia baku ialah bahasa
Indonesia yang baik dan benar, bahasa Indonesia yang serius,
bahasa Indonesia yang tertib, bahasa Indonesia yang sangkil,
bahasa Indonesia yang resmi, bahasa Indonesia yang menjadi
ukuran (patokan)”.
Bahasa Indonesia baku tidak hanya baik, tetapi harus benar,
bahasa yang baik seperti bahasa yang dipakai dalam karya sastra
belum tentu benar. Bahasa Indonesia baku merupakan perpaduan
antara bahasa yang baik dan benar. Pengertian benar dalam bahasa
Indonesia baku terutama harus memenuhi kaidah gramatika dalam
bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia yang tertib harus taat asas, harus
konsisten. Bahasa Indonesia yang tidak tertib merupakan hasil
pelanggaran dari pemakai bahasa. Unsur interferensi merupakan
contoh ketidaktertiban dalam bahasa Indonesia. Ragam bahasa yang
dipakai penyiar siaran lagu-lagu dalam siaran radio swasta seperti
“Terima kasih atas atensinya” merupakan contoh ketidaktertiban
bahasa Indonesia. Di dalam bahasa Indonesia sudah ada kata
‘perhatian’, oleh karena itu tidak perlu memakai kata ‘atensi’.
Bahasa Indonesia yang sangkil adalah bahasa Indonesia
yang tepat guna. Setiap unsur yang ada di dalam bahasa itu harus

33
mempunyai fungsi, sesuai dengan fungsi yang dikehendaki oleh
penutur. Pemakaian unsur-unsur yang tidak tepat di dalam suatu
kalimat dapat menimbulkan kesalahpahaman. Unsur-unsur itu dapat
berupa gramatika, pemakaian kosa kata, dan pemakaian ejaan di
dalam bahasa tulis, serta ketepatan lafal di dalam bahasa lisan.
Bahasa Indonesia resmi adalah bahasa Indonesia yang
dipakai dalam situasi resmi. Yang dimaksud situasi resmi menurut
Susilo (1990: 1) bahwa bahasa itu mempunyai taraf reasional,
mempunyai sifat kenegaraan, menyangkut kepentingan bangsa
(masyarakat, umum), serius, dipenuhi gagasan (ide, pikiran).
Dengan syarat-syarat yang dikemukakan oleh Gatot Susilo di atas,
bahasa Indonesia resmi memungkinkan untuk dapat dipakai oleh
seluruh masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai macam
etnis dan bahasa daerah. Dalam situasi tidak resmi, bahasa daerah
ataupun ragam dialek di luar ragam dialek baku dapat dipakai oleh
masyarakat Indonesia. Pemakaian bahasa daerah atau ragam dialek
non-baku tersebut justru akan lebih menimbulkan situasi akrab dan
kekeluargaan, karena ragam dialek non-baku dan bahasa daerah
mengandung unsur-unsur budaya setempat, dan tidak terkesan
formal. Di dalam bahasa Jawa misalnya, pemakaian bahasa Jawa di
dalam situasi tidak resmi mengandung unsur budaya unggah-
ungguh masyarakat Jawa, karena bahasa Jawa ragam ngoko,
krama, dan krama inggil tidak dapat diterapkan pada semua orang.
Bahasa Indonesia mempunyai berbagai macam ragam
dialek. Adanya berbagai ragam dialek di dalam bahasa Indonesia,
perlu adanya satu dialek yang dapat dijadikan patokan bagi dialek-
dialek yang lain. Sebagai bahasa orang terpelajar, bahasa Indonesia
baku memungkinkan untuk dijadikan patokan (ukuran) bagi dialek-
dialek yang ada di dalam bahasa Indonsia.

3.4 Ciri-Ciri kalimat baku Bahasa Indonesia


Kalimat menurut Alwi dkk.. (2000: 311) “bagian terkecil
ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh
secara ketatabahasaan”. Susilo (1990: 2) mengemukakan lima ciri

34
kalimat bahasa Indonesia. Kelima ciri tersebut ialah: bermakna,
bersistem urutan frase, dapat berdiri sendiri dalam hubungannya
dengan kalimat yang lain, berjeda, dan berakhir dengan berhentinya
intonasi (berintonasi selesai). Kelima ciri tersebut adalah ciri umum
sebuah kalimat. Kalimat yang memenuhi kelima ciri tersebut
merupakan kalimat bahasa Indonesia, namun belum menjamin
bahwa kalimat itu kalimat baku. Sebagai contoh kalimat “Di tempat
itu dijadikan pertemuan bagi pihak yang bertikai di Poso.”
Kalimat ini bukan kalimat baku meskipun memenuhi kelima ciri
kalimat di atas. Unsur subyek tidak tampak dalam kalimat itu.
Ciri-ciri kalimat baku menurut Susilo (1990: 4) yaitu:
gramatikal, masuk akal, bebas dari unsur yang mubazir, bebas dari
kontaminasi, bebas dari interferensi, sesuai dengan ejaan yang
berlaku, dan sesuai dengan lafal bahasa Indonesia.

3.4.1 Ciri Gramatikal


Kalimat baku harus gramatikal, yaitu kalimat baku harus
memenuhi kaidah yang ada. Kalimat baku bahasa Indonesia harus
memenuhi kaidah yang berlaku di dalam bahasa Indonesia. Kaidah-
kaidah tersebut menurut Susilo (1990: 4) harus memenuhi tata
kalimat (sintaksis), tata frase (frasiologi), tata morfem (morfologi,
dan tata fonem (fonemik, fonologi).
Kalimat bahasa Indonesia secara gramatika paling tidak
harus terdiri atas subjek dan predikat. Kedua unsur tersebut harus
dipenuhi. Sebuah kalimat mungkin tanpa objek atau keterangan,
tetapi unsur subjek dan predikat tidak dapat ditinggalkan. Unsur
subjek dan predikat merupakan dua unsur yang mempunyai sifat
saling ketergantungan. Unsur subjek tidak akan bermakna tanpa
predikat, demikian juga unsur predikat. Kalimat George W. Bush
kehilangan akal untuk menemukan keberadaan Usamah terdiri atas
unsur subjek George Bush, unsur predikat kehilangan akal, dan
unsur keterangan untuk menemukan keberadaan Usamah. Apabila
unsur keterangan dalam kalimat tersebut dihilangkan, kalimat

35
tersebut masih berterima. Namun apabila salah satu unsur subjek
atau predikat dihilangkan, akan kehilangan makna.
Moeliono (1988: 260) menyatakan bahwa kalimat tunggal
yang terdiri atas dua konstituen, dilihat dari aspek sintaktisnya
selalu berupa subjek dan predikat. Kalimat Di tempat itu sering
dilanda banjir secara gramatika tidaklah baku. Unsur subjek dalam
kalimat tersebut tidak jelas. Kalimat itu terdiri atas dua konstituen,
yaitu di tempat itu dan sering dilanda banjir. Konstituen-konstituen
itu masing-masing di tempat itu menduduki jabatan keterangan ,
sering dilanda predikat, dan banjir sebagai objek. Unsur predikat
dan objek merupakan satu frasa, karena kedua unsur itu mempunyai
hubungan yang sangat erat. Kalimat Di tempat itu sering dilanda
banjir bukanlah kalimat baku, karena unsur subjeknya tidak ada.
Pemakaian kata depan yang tidak terkontrol sering mengaburkan
fungsi jabatan frase dalam suatu kalimat. Pemakaian kata depan
“di” pada kalimat itu justru mengaburkan fungsi subjek. Karena
subyek diawali dengan kata depan “di”, maka fungsi subyek pada
kalimat tersebut berubah menjadi keterangan tempat.
Di dalam sebuah kalimat, unsur subjek dan predikat bersifat
tunggal. Unsur keterangan di dalam sebuah kalimat dapat terdiri
atas dua atau lebih, tetapi unsur subjek dan predikat harus tunggal.
Menurut Susilo (1990: 5) kalimat yang mempunyai subyek ganda
menjadikan suatu kalimat menjadi tidak baku.
Kalimat Tanah ini akan dibangun kampus Unesa secara
gramatika tidak dapat dikatakan baku. Unsur subjek dalam kalimat
tersebut tidak jelas, karena kalimat itu dapat di ubah susunannya
menjadi Kampus Unesa akan dibangun tempat ini. Apabila ada
pertanyaan “Apa yang akan dibangun?” Jawabannya dapat tempat
ini atau kampus unesa. Dengan demikian kalimat tersebut memiliki
subjek ganda. Timbulnya subjek ganda pada kalimat ini akibat
ketidakcermatan pemakaian kata depan. Apabila frase tempat ini
diawali dengan kata depan di, frase di tempat ini akan berfungsi
sebagai keterangan tempat. Oleh karena itu kalimat itu akan

36
menjadi baku jika menjadi Kampus Unesa akan dibangun di
tempat ini.
Ciri gramatikal kalimat bahasa Indonesia baku yang lain
subjek tidak diawali kata depan (Susilo, 1990: 6). Pemakaian kata
depan yang mengawali subjek justru akan mengubah fungsi subjek
itu sendiri. Kalimat Dalam rapat itu membicarakan kenaikan SPP
merupakan kalimat bahasa Indonesia yang tidak baku. Unsur
subyek tidak jelas dalam kalimat itu. Frase membicarakan
memenuhi ciri sebagai predikat, tetapi frase Dalam rapat itu tidak
dapat dikatakan sebagai subjek. Dalam rapat itu lebih tepat
berfungsi sebagai keterangan. Pemakaian kata depan dalam justru
mengaburkan fungsi subjek. Kalimat itu menjadi baku apabila
dihilangkan kata dalam. Rapat itu membicarakan kenaikan SPP.
Unsur subjek diduduki oleh frase Rapat itu.
Di dalam sebuah kalimat unsur subjek dan predikat bersifat
tunggal. Subjek atau predikat yang ganda membuat sebuah kalimat
tidak baku. Menurut Moeliono (1988: 260-261) subjek mudah
dikenali karena tidak mengkin berupa kata ganti tanya. Kalimat
Siapa pulang? Bukanlah kalimat baku. Kata pulang tidak dapat
menduduki fungsi subjek. Demikian juga siapa sebagai kata ganti
tanya tidak mungkin menduduki jabatan subjek. Kalimat Siapa
pulang? Merupakan kalimat yang berpredikat ganda. Untuk
menjadikan kalimat itu baku, maka salah satu predikat harus
dikembalikan fungsinya sebagai subjek. Kalimat itu menjadi baku
apabila menjadi Siapa yang pulang?. Kalimat ini dapat diubah
susunannya menjadi Yang pulang siapa? Frase yang pulang
sebagai subjek, dan siapa sebagai predikat.
Menurut Cook (1971) dan Elson (1969) (dalam Tarigan,
1993: 8) kalimat adalah satuan bahasa yang secara relaif dapat
berdiri sendiri, mempunyai pola akhir dan yang terdiri dari klausa.
Pendapat Cook dan Elson ini mengandung tiga syarat untuk sebuah
kalimat. Pertama sebuah kalimat harus dapat berdiri sendiri. Karena
kalimat harus dapat berdiri sendiri, kalimat itu harus bermakna
tanpa dihubungkan dengan kalimat yang lain. Sebagai contoh dua

37
kalimat berikut ini. Pencuri itu tewas dibakar massa. Sehingga
identitasnya sulit dikenali. Kalimat pertama dapat kita pahami
maknanya meskipun tanpa kehadiran kalimat kedua. Tetapi kalimat
kedua Sehingga identitasnya sulit dikenali tidak dapat kita pahami
secara sempurna makna kalimat tersebut, tanpa kehadiran kalimat
pertama. Kalimat kedua bukanlah kalimat baku karena tidak dapat
berdiri sendiri . Di samping itu kalimat kedua juga bukan klausa,
karena klausa paling tidak harus terdiri atas subjek dan predikat.
Ciri kalimat baku bahasa Indonesia yang lain adalah ciri
permutasi. Menurut Susilo (1990: 8) kalimat baku tidak mengalami
kejanggalan setelah mengalami perpindahan letak frase (permutasi).
Kalimat bahasa Indonesia terdiri atas urutan frase, bukan urutan
kata. Frase-frase di dalam sebuah kalimat dapat kita ubah
susunannya tanpa terjadi perubahan makna, dan mengalami
kejanggalan. Apabila sebuah kalimat mengalami kejanggalan
setelah mengalami perubahan letak frase menunjukkan bahwa
kalimat tersebut bukan kalimat baku. Sebagai contoh kalimat,
Tempat ini akan dibangun kampus Unesa bila dipermutasikan
sebagai berikut.
Permutasi kalimat tidak baku:
Tempat ini akan dibangun kampus Unesa.
Tempat ini kampus Unesa akan dibangun.
Akan dibangun kampus Unesa tempat ini.
Akan dibangun tempat ini kampus Unesa.
Kampus Unesa tempat ini akan dibangun.
Kampus Unesa akan dibangun tempat ini.

Kejanggalan kalimat-kalimat hasil permutasi di atas akan


semakin jelas jika dibandingkan dengan hasil permutasi kalimat
yang baku berikut ini.
Permutasi kalimat baku:
Di tempat ini akan dibangun kampus Unesa.
Di tempat ini kampus Unesa akan dibangun.
Akan dibangun kampus Unesa di tempat ini.

38
Akan dibangun di tempat ini kampus Unesa.
Di tempat ini akan dibangun kampus Unesa.
Di tempat ini kampus Unesa akan dibangun.

Kalimat baku bahasa Indonesia dapat ditandai dari ciri-ciri


sintaksisnya. Menurut Sumowijoto (1980b: 12) ciri-ciri sintaksis
kalimat baku bahasa Indonesia dapat ditandai dari ciri inversi, ciri
fungsi, dan ciri rekonstruksi (permutasi). Ciri inversi adalah
perubahan pola subjek-predikat menjadi predikat-subjek. Ciri
fungsi merupakan peran tiap-tiap kata dalam suatu kalimat. Apabila
sebuah kata dapat dihilangkan tanpa mengubah makna suatu
kalimat, merupakan indikasi bahwa suatu kata tidak memunyai
fungsi. Ciri rekonstruksi (permutasi) adalah ketidakjanggalan suatu
kalimat bila dipermutasikan atas frase-frasenya.
Hubungan predikat verbal transitif dengan objek penderita
dalam kalimat baku perlu mendapatkan perhatian. Predikat verbal
transitif mempunyai hubungan yang erat dengan objek. Kalimat
baku menurut Susilo (1990: 8) hubungan predikat transitif dengan
obyek penderita tidak boleh “terganggu” oleh kata depan.Antara
predikat verbal transitif dengan objek merupakan satu kesatuan
yang membentuk frasa. Oleh karena itu antara predikat verbal
transitif dengan objek penderita tidak dapat disisipi oleh kata depan.
Penyisipan kata depan akan mengacaukan fungsi objek. Kalimat
Narkoba membahayakan bagi masyarakat berpredikat verbal
transirif. Karena berpredikat vercal transirif, kalimat tersebut perlu
dilengkapi dengan objek. Yang menjadi pertanyaan yang manakah
objek dalam kalimat tersebut? Hubungan antara predikat dan objek
sangat erat, tidak bisa dipisahkan. Kalau frasa bagi masyarakat
dianggap sebagai objek, hal itu tidak mungkin, karena frase itu
dapat dipisahkan dengan predikat. Apabila dipermutasikan menjadi
Bagi masyarakat Narkoba membahayakan. Dari kemampuan
unrtuk permutasi tersebut frase bagi masyarakat lebih tepat
menduduki fungsi sebagai keterangan. Namun karena kalimat
tersebut kalimat verbal transirif, objek mutlak diperlukan.

39
Ketidakbakuan kalimat Narkoba membahayakan bagi masyarakat
sebenarnya terletak pada kesalahan menempatkan kata depan antara
predikat verbal transitif dengan objek pebnderita. Apa bila kata
depan “bagi” dihilangkan, kalimat ini menjadi baku.
Pemakaian bentuk pasif aspek, agens, dan verba perlu
mendapat perhatian dalam kalimat. Aspek merupakan kategori
gramatikal verba yang menunjukkan lama dan jenis perbuatan
seperti (Kridalaksana, 1982: 16). Agens adalah pelaku, nomina
yang menampilkan perbuatan atau memulai suatu kejadian.
Pemakaian bentuk pasif “aspek + agens + verba” harus dipakai
secara taat asas (Susilo, 1990: 9).
Hubungan antara “aspek, agens, dan verba” bentuk pasif di
dalam bahasa Indonesia bersifat baku. Urutan antara aspek, agens,
dan verba tidak dapat diubah-ubah. Perubahan urutan aspek, agens,
dan verba apabila diubah menimbulkan kalimat yang tidak baku.
Kalimat Masalah itu kami sudah laporkan kepada pimpinan
merupakan contoh pemakaian bentuk pasif “aspek+agens+verba”
yang tidak konsisten, karena susunannya diubah menjadi
“agens+aspek+verba”. Untuk menjadikannya kalimat baku
susunannya harus dikembalikan menjadi “aspek+agens+verba”,
sehingga menjadi Masalah itu sudah kami laporkan kepada
pimpinan.
Ketidakbakuan kalimat bahasa Indonesia juga dapat
diakibatkan oleh pemakaian morfem terikat yang tidak tepat. Kata
dirubah dan merubah merupakan contoh pemakaian morfem terikat
yang tidak tepat. Kata rubah di dalam bahasa Indonesia berarti
anjing yang bermoncong panjang. Bentuk kata dirubah dan
merubah merupakan bentuk kata kerja. Kata dirubah dan merubah
merupakan merupakan bentuk yang tidak baku. Seharusnya kata itu
diubah” dan “mengubah” karena berasal dari kata dasar “ubah”.
Pemakaian morfem yang tidak tepat akan tampak lebih jelas
apabila berada dalam konteks kalimat. Penutup surat Atas
perhatiannya saya ucapkan terima kasih menampakkan gejala
pemakaian morfem terikat yang tidak tepat. Morfem –nya pada kata

40
perhatiannya bermakna sebagai kata ganti orang ketiga. Padahal di
dalam surat kita berkomunikasi dengan orang kedua. Seharusnya
ucapan terima kasih tersebut ditujukan kepada orang kedua sebagai
orang yang dituju dalam kalimat tersebut.
Ketidak bakuan dalam pemakaian awalan me- seperti terjadi
pada pemakaian bentuk kait-mengkait, mengetrapkan, menyintai,
menyontoh, menyubit (Badudu, 1981: 53-54). Konsonan “k” di
dalam bahasa Indonesia apabila didahului awaalan me- maka
konsonan ‘k” akan luluh, kemudian muncul bentuk “meng-“. Jadi
bentuk yang benar adalah kait-mengait, bukan kait-mengkait. Kata
mengetrapkan sebenarnya berasal dari kata terap. Kata itu apabila
mendapat imbuhan me-kan, seharusnya menjadi menerapkan,
bukan mengetrapkan. Kata menyintai, menyontoh, menyubit berasal
dari kata dasar cinta, contoh, dan cubit. Konsonan “c” jika
didahului awalan me-, bentuk me- akan berubah menjadi men-
sedang “c” tidak luluh. Oleh karena itu bentuk yang benar adalam
mencintai, mencontoh, dan mencubit.

3.4.2 Kata-Kata Mubazir dalam Bahasa Indoneasia


Pemakaian kata-kata di dalam sebuah kalimat harus
diperhitungkan fungsinya. Apabila ada unsur kata yang tidak
berfungsi di dalam sebuah kalimat, akan menimbulkan kalimat
yang tidak baku. Kata-kata mubazir tersebut dapat ditandai, apabila
unsur kalimat tersebut dihilangkan, tidak akan mengubah makna
kalimat. Menurut Susilo (1990: 10) kata-kata mubazir ialah kata-
kata yang tidak berarti dan berfungsi. Karena kata-kata mubazir
tidak berfungsi dan berarti, maka kata-kata itu tidak diperlukan.
Unsur mubazir dalam sebuah kalimat dapat disebabkan oleh
pengaruh bahasa asing. Misalnya kata adalah dalam kalimat Gadis
itu adalah mahasiswa Unesa. Kata adalah merupakan pengaruh to
be (is) dalam bahasa Inggris. The girl is Unesa student. Kata kopula
is dalam bahasa Inggris merupakan sendi kalimat, dan tidak boleh
ditinggalkan (Badudu, 1980: 132). Struktur bahasa Indonesia
berbeda dengan struktur bahasa Ingris. Pemakaian kata adalah

41
dalam konteks kalimat Gadis itu adalah mahasiswa Unesa tidak
diperlukan dalam bahasa Indonesia.
Pemakaian dua kata yang bermakna sama dalam sebuah
kalimat merupakan unsur yang mubazir, seperti pemakaian kata
demi untuk, agar supaya, amat sangat, mulai dari, sejak dari.
Seharusnya cukup salah satu saja yang dipakai, demi atau untuk,
agar atau supaya, amat atau sangat, mulai atau dari, sejak atau
dari. Tidak perlu kedua-duanya dipakai.

3.4.3 Kontaminasi
Kontaminasi berarti rancu atau kacau. Kontaminasi di dalam
bahasa Indonesia berarti kerancuan akibat munculnya dua bentuk
yang sama, yang kemudian dicampur adukkan. Karena kontaminasi
merupakan kerancuan, maka kontaminasi kalimat merupakan unsur
yang tidak baku. Gatot Susilo menyatakan kontaminasi perancuan
dua makna, dua unsur, atau dua struktur (1990: 10). Karena
kontaminasi merupakan perancuan dua makna, dua unsur, atau dua
struktur, biasanya dapat dikembalikan pada bentuk asalnya.
Perancuan di dalam bahasa Indonesia oleh Badudu (1980:
16) dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: kontaminasi bentuk kata,
kontaminasi bentuk frasa, dan kontaminasi bentuk kalimat.
Kontaminasi bentuk kata merupakan perancuan yang diakibatkan
oleh pembentukan kata-kata baru. Pembentukan kata-kata baru itu
didasarkan pada bentuk kata yang sudah ada, paling tidak berasal
dari dua bentuk yang dipadukan menjadi satu. Kata dipelajarkan
merupakan unsur kontaminasi yang berasal dari dua bentuk, yaitu
dipelajari dan diajarkan. Penggabungan dua kata ini menimbulkan
bentuk kontaminasi dipelajarkan. Bentuk mengenyampingkan juga
merupakan bentukan yang rancu. Kata ini berasal dari kata dasar
samping kemudian diikuti kata depan ke, menjadi ke samping. Kata
ke samping ini kemudian mendapat imbuhan me-kan, menjadi
mengesampingkan. Namun di samping itu juga ada bentuk samping
yang mendapat imbuhan me-kan, menjadi menyampingkan. Antara

42
mengesampingkan dan menyampingkan kemudian dirancukan
menjadi mengenyampingkan.
Kalimat bahasa Indonesia terdiri atas frasa-frasa. Frasa
adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif
(Kridalaksana, 1982: 46). Kalimat Berulang kali ia telah dinasihati
terdiri atas tiga frasa, yaitu berulang kali, ia dan telah dinasihati.
Bentuk frasa berulang kali menurut Badudu (1980: 23) merupakan
bentuk frasa yang rancu. Berulang kali berasal dari kata berulang-
ulang dan berkali-kali. Kedua frasa itu kemudian dirancukan
menjadi berulang kali.
Kontaminasi kalimat tampak dalam kalimat Mahasiswa
dilarang tidak boleh memalsu tanda tanga daftar hadir. Apabila
dikemukakan pertanyaan terhadap kalimat tersebut apa yang
dilarang? Jawabnya adalah Tidak boleh memalsu tanda tangan
daftar hadir (tidak memalsu tanda tangan daftar hadir). Makna
kalimat ini justru bertolak belakang dengan maksud sebenarnya.
Tidak boleh memalsu tanda tangan daftar hadir (tidak memalsu
tanda tangan daftar hadir) justru dilarang. Berarti boleh, atau harus.
Kerancuan kalimat tersebut dapat dikembalikan pada bentuk
aslinay sebagai berikut.
-Mahasiswa dilarang memalsu tanda tangan dsftsr hadir.
-Mahasiswa tidak boleh memalsu tanda tangan daftar hadir.

3.4.4 Interferensi

43
Bahasa Indonesia dalam perkembangannya mendapat
banyak masukan dari unsur-unsur bahasa daerah maupun dari
bahasa asing. Unsur bahasa daerah yang masuk ke dalam bahasa
Indonesia seperti masuknya kosa kata bahasa daerah seperti
mantan, nyeri, gambut, timbel dan sebagainya. Kosa kata bahasa
asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia dari berbagai macam
bahasa. Kosa kata yang berasal dari bahasa Belanda seperti kata
lapor, polisi, kantor. Kosa kata dari bahasa inggris seperti pada kata
ekonomi, biografi, remidi dan sebagainya. Kosa kata dari bahasa
Arab seperti pada kata pasal, wakaf, wajib, wahyu dan sebagainya.
Kosa kata dari bahasa Portugis seperti pada kata nona, permen,
jendela dan sebagainya.
Masuknya unsur bahasa daerah dan bahasa asing ke dalam
bahasa Indonesia dapat menguntungkan dan merugikan bahasa
Indonesia. Menurut gatot Susilo (1990: 11) unsur yang
memperkaya bahasa Indonesia dapat diterima sebagai unsur
serapan. Sedangkan unsur yang memiskinkan ditolak karena
merugikan bahasa Indonesia.
Interferensi bahasa daerah dan bahasa asing ke dalam
bahasa Indonesia diseababkan penguasaan bahasa daerah dan
bahasa asing masyarakat pemakai bahasa Indonesia. Penguasaan
beberapa bahasa akan saling mempengaruhi. Interferensi tidak
hanya terjadi di dalam bahasa Indonesia saja. Bahasa daerah pun
sering mendapat interferensi dari bahasa Indonesia dan bahasa
asing.
Pada uraian tentang kata mubazir di atas telah disebutkan
bahwa pemakaian kata adalah yang tidak berfungsi dalam suatu
kalimat merupakan pengaruh dari to be dalam bahasa Inggris, yaitu
is. Dipandang dari sudut pengaruh dari bahasa Inggris pemakaian
adalah merupakan interferensi dari bahasa asing, yaitu bahasa
Inggris.

44
Interferensi dari bahasa daerah seperti tampak pada kata
sekolahan dalam konteks kalimat Saya akan berangkat ke
sekolahan. Kata sekolahan interferensi dari bahasa Jawa. Di dalam
bahasa Jawa kalimat itu seharusnya berbunyi Saya akan berangkat
ke sekolah. Interferensi dari bahasa Jawa yang lain seperti
pemakaian kata latihan pada konteks kalimat Anak-anak sedang
latihan drama. Di dalam bahasa Indonesia akhiran –an berfungsi
untuk membentuk kata benda, sedangkan kata latihan berfungsi
sebagai kata kerja.

3.4.5 Lafal Bahasa Indonesia Baku


Pemakaian lafal sebagai ujaran dalam bahasa Indonesia
masih sering dipakai secara tidak konsisten oleh masyarakat.
Indonesia mempunyai bahasa daerah yang ratusan
jumlahnya. Di samping itu bahasa Indonesia mempunyai berbagai
macam ragam dialek. Pengaruh bahasa daerah dan dialek dalam
lafal bahasa Indonesia baku sangat besar. Lafal bahasa Indonesia
baku menurut Badudu (1980: 115) lafal yang tidak
memperdengarkan “warna” bahasa daerah, dialek, dan warna lafal
bahasa asing.
Ketidakbakuan dalam bidang lafal bahasa Indonesia akibat
pengaruh bahasa daerah seperti lafal t yang dilafalkan oleh penutur
bahasa bali. Lafal t pada kata kota bagi etnis Bali akan diucapkan
seperti th bahasa Jawa pada bunyi bathi (untung). Ketidakbakuan
dalam bidang lafal sering kita jumpai akibat pengaruh bahasa
daerah.
Ketidakbakuan akibat pengaruh bahasa asing dalam bidang
lafal seperti pada pelafalan kata pasca. Kata pasca pada suku kata
ca seharusnya dilafalkan ca seperti pada kata beca. Namun sering
dilafalkan dengan ka seperti pada kata suka. Kata pasca berasal dari
bahasa Sansekerta yang berarti sesudah. Kata pasca sering
dikacaukan dengan kata paskah, yaitu peringatan wafat dan
kebangkitan Isa Almasih. Ketidak bakuan lafal akibat pengaruh
bahasa asing yang lain seperti pelafalan kata unit seperti pada kata

45
Koperasi Unit Desa. Seharusnya kata itu kita lafalkan apa adanya
seperti yang tertulis, tetapi sering orang melafalkan dengan yunit,
seperti lafal aslinya dalam bahasa Inggris. Karena kata unit sudah
menjadi unsur serapan, seharusnya diperlakukan seperti pelafalan
dalam bahasa Indonesia.

3.5 Rangkuman
Bahasa baku adalah bahasa standar, yaitu suatu dialek
bahasa orang terpelajar, dan dipakai dalam situasi resmi. Bahasa
baku mempunyai kedudukan yang lebih penting daripada dialek
yang lain. Bahasa baku berfungsi sebagai pemersatu, pemberi
khasan, pembawa kewibawaan, dan sebagai kerangka acuan.
Bahasa Indonesia baku merupakan bahasa Indonesia ragam
dialek yang mempunyai martabat tinggi, menjadi bahasa orang
terpelajar sebagai bahasa kelompok masyarakat terhormat di
Indonesia. Bahasa Indonesia baku juga bahasa yang baik dan benar,
serius, tertib, sangkil. Bahasa ini dipakai dalam situasi resmi, dan
menjadi patokan bagi bahasa Indonesia ragam dialek yang lain.
Bahasa Indonesia baku sebagai bahasa Indonesia yang
menjadi patokan bagi berbagai macam dialek mempunyai beberapa
ciri. Ciri-ciri bahasa Indonesia baku ialah gramatikal, tidak terdapat
kata-kata mubazir, tidak mengandung kontaminasi, dan tidak ada
interferensi dari bahasa daerah maupun bahasa asing.
Kalimat baku bahasa Indonesia harus gramatikal. Kalimat
baku harus memenuhi kaidah yang ada. Kaidah-kaidah itu ialah tata
kalimat, tata frase, tata morfem, dan tata fonem. Di dalam tata
kalimat, unsur subyek dan predikat bersifat tunggal.Kalimat yang
mempunyai subjek atau predikat ganda bukanlah kalimat baku.
Pemakaian kata depan yang mengawali subjek membuat
kalimat menjadi tidak baku, karena kata depan itu dapat mengubah
fungsi subjek menjadi keterangan. Kalimat baku juga tidak
mengalami kejanggalan apabila mengalami perubahan letak frase.
Ciri gramatikal yang lain hubungan predikat verbal transitif dengan
objek penderita tidak boleh disisipi kata depan. Penyisipan kata

46
depan akan mengacaukan fungsi objek untuik predikat verbal
transitif.
Pemakaian bentuk pasif aspek+agens+verba yang taat asas
juga menunjukkan ciri kalimat baku. Urutan anatara
aspek+agens+verba bentuk pasif dalam bahasa Indonesia tidak
dapat diubah-ubah. Perubahan urutan antara aspek, agens, dan
verba menjadikan kalimat tidak baku.
Ketidakbakuan juga dapat disebabkan oleh pemakaian
morfem terikat yang tidak tepat. Pemakaian kata ganti orang ketiga
–nya dalam penutup surat merupakan contoh pemakaian morfem
yang tidak tepat. Penutup surat ditujukan kepada orang kedua,
bukan kepada orang ketiga. Oleh karena itu tidak baku bila
menutup dengan kalimat Atas perhatiannya kami ucapkan terima
kasih.
Jika sebuah kalimat ada unsur yang dihilangkan tidak
mengubah makna dan fungsi masing-masing frasa, kalimat itu tidak
baku karena ada unsur yang mubazir. Kata-kata mubazir ialah kata-
kata yang tidak berarti dan tidak berfungsi di dalam sebuah kalimat.
Pemakaian kata mubazir dalam sebuah kalimat dapat diakibatkan
oleh pengaruh bahasa asing seperti is di dalam bahasa Inggris.
Kontaminasi adalah kerancuan akibat perpaduan dua
bentuk, dua struktur yang bermakna sama. Kontaminasi di dalam
bahasa Indonesia dibedakan menjadi tiga macam: kontaminasi
bentuk kata, kontaminasi bentuk frasa, dan kontaminasi bentuk
kalimat. Akibat adanya kontaminasi kalimat, dapat membuat makna
kalimat menjadi bertolak belakang dengan makna yang
dimaksudkan oleh penulis atau pembicara.
Bahasa Indonesia dalam perkembangannya mendapat
banyak masukan dari bahasa daerah maupun bahasa asing.
Masuknya unsur bahasa daerah dan bahasa asing ke dalam bahasa
Indonesia dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan bahasa
Indonesia. Unsur yang memperkaya bahasa Indonesia dapat
diterima sebagai unsur serapan, sedang unsur yang memiskinkan
harus ditolak karena merugikan perkembangan bahasa Indonesia.

47
Unsur bahasa daerah dan bahasa asing yang merugikan dan
memiskinkan bahasa Indonesia membuat kalimat tidak baku.

Perlatihan
1. Bahasa Indonesia baku harus obyektif, ringkas, dan padat.
Ubahlah kalimat-kalimat berikut ini menjadi kalimat baku!
a. Banyaknya jumlah sampah yang menyumbat
gorong-gorong itu saya kira merupakan bukti rendahnya
kesadaran masyarakat untuk menanggulangi bahaya banjir.
b. Berlarut-larutnya penanganan lumpur Lapindo
kiranya merupakan bukti betapa sulitnya mengatasi
musibah itu.
c. Pendidikan agama di sekolah dasar tidak akan
terlaksana dengan baik tanpa adanya dukungan dari orang
tua dalam keluarga.
d. Nilai etis tersebut di atas menjadi pedoman dan
dasar pegangan hidup bagi setiap warga negara Indonesia.
e. Banjir yang melanda kota itu membuktikan
alangkah sulitnya mengatasi banjir di perkotaan.

2. Kata-kata berikut ini merupakan kata-kata berciri baku dan kata-


kata tidakbaku. Carilah sepuluh kata berciri baku dari kata-kata
berikut ini!
Jadwal nasihat jadual atmosfir nasehat kwalitas
varietas analisis apotek definisi kwitansi karir
aktivitas aktifitas kuitansi karier konkrit
atlit
konkret membikin lantaran ketimbang kondite varitas

3. Pilih sepuluh bentukan kata berciri baku dari bentukan kata


berikut ini!

48
Berkuliah mengkikis mengikis mentaati
menyubit melola menerjemahkan kekecilan
terlalu kecil menerapkan menterapkan menaati
ketabrak tertabrak memperlebar mencubit
memperlebarkan. mengelola

4. Kalimat berikut ini berciri tidak bakul, karena ketidakjelasan


fungsi subyek atau predikat.Jadikanlah kalimat yang berciri
baku!
a. Kegagalan panen itu karena kemarau terlalu panjang.
b. Di tempat itu sering dilanda banjir pada waktu
musim penghujan.
c. Untuk mencapai prestasi, memerlukan kerja keras.
d. Kepada para undangan diharap hadir tepat waktu.
e. Kesulitan itu karena tingkah lakunya sendiri.
***

49
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 2000. Tata Bahasa baku Bahasa Indonesia.


Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Kamus Besar


ahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Halim, Amran. 1979. Pembinaan Bahasa Nasional. Jakarta: Pusat


Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. 1984.


Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.

Sumowijoyo, Gatot Susilo. 1990. “Kalimat Baku Bahasa


Indonesia” Makalah Penataran Bahasa Indonesia untuk
karyawan PMDU Jawa Timur. Surabaya: IKIP Surabaya..

Sumowijoyo, Gatot Susilo.2000. Pos Jaga Bahasa Indonesia.


Surabaya: Unipress Universitas Negeri Surabaya.

Yonohudiyono, E. Dan Jack Parmin (Penyunting). 2007. Bahasa


Indonesia Keilmuan: Mata Kuliah Pengemangan
Kepribadian. Surabaya: Unesa University Press.

Yulianto, Bambang. 2007. Mengembangkan Menulis Teknis.


Surabya. Unesa University Press.

50
BAB IV

PENULISAN KARYA ILMIAH

Standar Kompetensi: Memahami sistematika penulisankarya


ilmiah
Kompetensi dasar : a. Memahami ciri-ciri karya ilmiah
b. Memahami sistematika karya
ilmiah

Indikator:
1, Memahami pengertian karya ilmiah
2. Mengidentifikasi jenis karya ilmiah
3. Memahami cara pembatasan topik dengan diagram pohon
dandiagram jam
4. Memahami tatacara pengutipan dalamkarya ilmiah
5. Memahami tatacara penulisan daftar rujukan dalam karya ilmiah.

51
Tujuan
1. Melalui ceramah dan tanya jawab, mahasiswa dapat memahami
pengertian karya ilmiah denghan benar
2. Melalui membaca intensif, mahasiswa mengidentifikasi jenis
karya ilmiah dengan tepat
3. Melalui diskusi, mahasiswa melakukan pembatasan topik dengan
diagram pohon dengan tepat
4. Setelah melakukan diskusi, mahasiswa dapat memahami
tatacara pengutipan dengan benar
5. Setelah melakukan diskusi, mahasiswa dapat memahami
penulisan daftar rujukan dengan benar

4.1 Pendahuluan
Dalam kegiatan sehari-hari, manusia selalu dihadapkan
pada empat keterampilan berbahasa: menyimak, wicara, membaca
dan menulis. Empat keterampilan berbahasa itu mempunyai
kuantitas yang bereda-beda. Kegiatan menyimak mempunyai
kuantitas yang paling tinggi, disusul wicara, membaca dan menulis.
Keempat keterampilan berbahasa itu dapat dibedakan menjadi
keterampilan reseptif, yaitu menyimak dan membaca, dan
keterampilan produktif, yaitu wicara dan menulis. Keempat
keterampilan berbahasa itu daqpat menunjukkan tahapan tingkat
intelektualitas seseorang. Manusia sejak lahir, bahkan nada yang
berpendapat sejak di dalam kandungan telah melakukan kegiatan
menyimak, kegiatan yang paling dasar. Seseorang dapat duduk
berjam-jam untuk mendengarkan sesuatu. Sejak nenek moyang kita
dulu, telah mempunyai tradisi menyimak. Orang dapat melihat
pagelaran wayang kulit semalam suntuk, namun tidak akan tahan

52
duduk membaca dalam waktu satu jam saja. Tingkat beriktunya
adalah wicara. Keterampilan berbicara erada satu tingkat di atas
menyimak. Kemampuan berbicara dulu dimiliki oleh para filsof.
Mereka berorasi di pasar-pasar dan di tempat keramaian. Dengan
berpidato mereka dapat menyebarkan ajaran filsafatnya.
Kegiatan membaca dan menulis mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi. Dengan membaca ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat diserap.Untuk menyerap ilmu pengetahuan dan
teknologi orang perlu membaca. Ilmu pengetahuan dan teknologi
diharapkan dapat membuat manusia sejahtera. Oleh karena itu ilmu
pengetahuan dan teknologi harus diamalkan. Untuk itu ilmu
pengetahuan dan teknologi harus ditulis agar dibaca orang. Ilmu
pengetahuan dan teknologi akan punah jika tidak ditulis. Nenek
moyang kita mempunyai kemampuan yang tinggi dalam bidang
kontruksi, hal itu dapat dibuktikan dengan berdirinya candi
Borobudur, Candi Prambanan, perahu phinisi, dan lain sebagainya.
Namun kemampuan itu tidak didokumentasi dalam bentuk tulis,
sehingga menjadi punah. Itulah pentingnya karya tulis agi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu
tradisi penulisan, khususnya penulisan karya ilmiah perlu dimiliki
oleh orang-orang terpelajar.

4.2 Karya Ilmiah


Karya ilmiah adalah suatu karya yang memuat dan
mengkaji suatu masalah tertentu dengan menggunakan kaidah-
kaidah keilmuan (Prayitno dkk., 14-15). Sesuai dengan definisi itu,
esensi dari karya ilmiah adalah mengkaji suatu masalah. Selajutnya
dalam mengkaji masalah itu menggunakan kaidah-kaidah
pengetahuan. Brotowijoyo (1985:8-9) menyatakan bahwa karya
ilmiah adalah karya berdasarkan ilmu pengetahuan yang
menyajikan fakta umum dan ditulis menurut metodologi penulisan
yang baik dan benar.
Menilik isi yang terkandung di dalamnya, karya ilmiah
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu karya ilmiah subresmi

53
dan karya ilmiah (Yonohudiyono dan Suyono, 2001:31). Karya
ilmiah subresmi ialah karya ilmiah yang model penulisannya tidak
ditentukan secara lengkap, misalnya cukup judul, pendahuluan, isi,
penutup, dan bahan pustaka. Yang termasuk ke dalam karya ilmiah
subresmi adalah makalah, artikel, jurnal dan sebagainya. Karya
Ilmiah resmi ialah karya ilmiah yang model penulisan dan urut-
urutannya sudah ditentukan secara lengkap. Dalam karya ilmiah
ini mempunyai sistematika yang baku, seperti : Judul, kata
pengantar, daftar isi, pendahuluan, latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, metodologi


penelitian, analisis, daftar pustaka, dan lampiran.

4.2.1 Karya Ilmiah Subresmi


Makalah adalah tulisan ilmiah yang membahas pokok
masalah tertentu. Tanjung dan Ardial (2007:7) menyatakan bahwa
makalah adalah karya tulis yang memuat pemikiran tentang suatu
masalah atau topik tertentu yang ditulis secara sistematis dan runtut
dengan disertai analisis yang logis dan obyektif. Makalah sebagai
tulisan ilmiah, penulisannya mengikuti langkah-langkah tertentu.
Langkah-langkah itu ialah menentukan topik, masalah, dan tujuan.
Topik berbeda dengan tema. Tema adalah pikiran atau gagasan
sentral yang mendasari sebuah karya ilmiah, sedangkan topik
adalah hal pokok ang diungkapkan atau dituliskan dalam
karangan. Tema merupakan gagasan dasar yang mendasari sebuah
karya ilmiah (Suparno dan Yunus, 2007:3.3). Tema merupakan
gagasan yang memayungi topik. Di dalam karya ilmiah, tema
tentang “Korupsi di Indonesia” dapat diwujudkan dalam topik
karangan ilmiah “Upaya pencegahan korupsi sejak dini”.
Sumber topik dapat digali dari berbagai sumber, baik
sumber tertulis maupun sumber tidak tertulis. Sumber tertulis dapat
dari buku, surat kabar, jurnal. Sumber tidak tertulis dapat berasal
dari radio, televisi, hasil diskusi dengan teman, dan kejadian-

54
kejadian yang ada di masyarakat. Topik juga dapat berasal dari
permintaan perorangan, instansi, atau lembaga tertentu apabila
makalah itu memenuhi permintaan seminar.
Yonohudyono dan Parmin (2007:28) mengemukakan tiga
alternatif untuk menemukan topik. Ketiga alternatif itu ialah
brainstorming, perenungan, formula jurnalistik, pertanyaan klasik.
Brainstorming adalah proses berfikir untuk mengungkapkan semua
ide yang terlintas di dalam benak penulis. Perenungan merupakan
upaya untuk berfikir analisis-logis dengan berkonsentrasi pada
masalah tertentu. Formula jurnalistik tentu sudah tidak asing bagi
para siswa SMA, yaitu formula 5 W dan 1 H (who, what, when,
where, why, dan how). Pertanyaan klasik dapat dipakai untuk
menemukan topik yang baru. Pertanyaan klasik itu: Apakah topik
ini menghasilkan seperangkat definisi? Apa perbedaan dan
persamaan topik ini dengan topik yang lain? Apa yang dikatakan
orang tentang topik ini?
Topik yang terlalu luas akan membuat tulisan menjadi
dangkal, di samping dapat merembet ke mana-mana. Untuk itu
topik harus dibatasi. Untuk membatasi topik dapat dilakukan
dengan diagram pohon seperti berikut ini.

Korupsi

diberantas dicegah dihentikan

sejak dini sejak awal sejak munculnya gejala


korupsi

pembelajaran budi pekerti Pembelajaran anti korupsi kantin kejujuran

55
di pasar di sekolah di supermaket

Dari diagram pohon di atas dapat ditentukan topik makalah, yaitu


“Korupsi dapat dicegah sejak dini melalui Kantin Kejujuran di
sekolah-sekolah”.

Judul makalah hendaknya dapat mencerminkan dengan


tepat masalah yang dibahas. Judul hendaknya sesuai dengan topik,
singkat, bentuk frasa dan lugas. Judul hendaknya dapat memiliki
daya tarik bagi pembaca. Misalnya “Kantin Kejujuran Upaya
Mencegah Korupsi Sejak Dini”.
Langkah selanjutnya adalah menyusun kerangka karangan.
Makalah yang tidak terlalu panjang, bisa jadi tidak perlu disusun
krangka karangan. Sistematika makalah terdiri atas pendahuluan
termasuk permasalahan, pembahasan, dan penutup. Namun apabila
penulis merasa perlu, ada baiknya menyusun kerangka karangan.
Bentuk kerangka karangan itu seperti berikut:
Topik : Korupsi dapat dicegah sejak dini melalui
kantin kejujuran di sekolah-sekolah
Judul : Kantin Kejujuran Upaya Mencegah Korupsi
Sejak Dini
A. Pendahuluan
B. Pembahasan
1. Akibat Korupsi Bagi Negara dan Bangsa
2. Kantin Kejujuran Upaya untuk Mencegah Korupsi
a. Pengelolaan Kantin Kejujuran
b. Kelebihan Kantin Kejujuran
c. Kelemahan Kantin Kejujuran
3. Upaya Untuk Mengatasi Ketidakjujuran
a. Penyadaran oleh teman dekat
b. Penyadaran Melalui Guru Agama
c. Melalui Slogan-Slogan/Imbauan yang Dipasang di
Dinding kantin
C. Simpulan

56
(1) Bagian Pendahuluan
Bagian Pendahuluan berisi latar belakang pemilihan topik,
masalah, dan tujuan. Bagian pendahuluan adalah bagian yang
paling awal dicermati oleh pemaca. Oleh karena itu dalam bagian
awal harus diupayakan dapat menarik minat pembaca. Dalam latar
belakang hendaknya dijelaskan mengapa penulis memilih topik itu.
Penulis menunjukkan penti gnya topik itu diangkat menjadi
makalah. Masalah apa yang timbul dalam topik itu, dan apa tujuan
penulisan itu.

(2) Bagian Pembahasan


Bagian pembahasan merupakan bagian utama, atau bagian isi.
Bagian ini memuat uraian-uraian pokok masalah yang telah
disebutkan pada pendahuluan. Pada bagian ini. Dalam pembahasan
penulis dapat memakai teknik deduktif atau induktif. Dalam
makalah deduktif pembahasan dimulai dengan penyajian teori yang
relevan, kemudian dilanjutkan dengan penyajian fakta yang
mendukung teori (E. Yonohudyono dan Jack Parmin, 2007: 45).
Dalam makalah deduktif teori digunakan langsung pada bagian
pembahasan terpadu dengan interpretasi dan relevansi teori. Dalam
makalah induktif, jawaban pemecahan masalah berdasarkan
pengamatan empiris. Analisis dimulai dari penyajian fakta,data,
diikuti dengan penarikan simpulan.

(3) Bagian Penutup


Bagian penutup berisi simpulan dan saran. Penyimpulan
berisi hasil pembahasan sesuai dengan permasalahan dan tujuan
penulisan makalah pada bagian pendahuluan. Dengan demikian
simpulan merupakan jawaban dari permasalahan. Simpulan juga
harus sesuai dengan tujuan penulisan.Hubungan antara masalah,
tujuan, dan simpulan harus sinkron. Saran disampaikan oleh
penulis berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam makalah.
Apabila topik makalah berkenaan dengan “Kantin Kejujuran”, aran

57
dapat berisi: “Kantin Kejujuran efektif untuk melatih dan
membentuk siswa berlaku jujur, tidak melakukan korupsi dalam
skala kecil meskipun tidak diawasi. Oleh karena itu Kantin
Kejujuran perlu diselenggarakan di sekolah-sekolah sebagai upaya
penanggulangan korupsi bagi generasi muda sebagai calon penerus
bangsa.”

(4). Kutipan
Apabila kita perhatikan makalah ini, penulis
mengemukakan pendapat orang lain yang berasal dari buku yang
ditulis. Pendapat orang lain itu ditandai dengan adanya keterangan
dalam tanda kurung, seperti (Yonohudyono dan Jack Parmin,
2007:45), (Suparno dan Yunus, 2007:3.3). Pendapat orang lain itu
memperkuat pendapat yang dikemukakan oleh penulis. Pendapat
itu dapat diambil dari buku, majalah, atau dari hasil wawancara.
Pendapat yang dikutip itu biasa disebut kutipan. Prabawa
(2000:185) menyatakan bahwa kutipan adalah pinjaman kalimat
atau pendapat seorang pengarang, atau ucapan orang terkenal yang
terdapat dalam buku, majalah, jurnal, surat kabar, antologi,
hasilpenelitian, dan penerbitan-penerbitan lain. Praawa (2000)
menyatakan bahwa tujuan membuat kutipan: (a) Sebagai barang
buktgi untuk menunjang pendapat penulis; (b) Sebagai bahan bukti
untuk membedakan dengan endapat penulis; (c) sebagai bahan
bukti untuk perbandingan dengan pendapat penulis; dan (d) sebagai
bahan bukti yang disanggah penulis.
Kutipan dibedakan antara kutipan langsung dan kutipan
tidak langsung. Kutipan langsung adalah kutipan yang langsung
mengambil dari sumber asli, tanpa mengubah bahasanya. Kutipan
tidak langsung adalah kutipan yang hanya mengambil inti sarinya
saja, sedang bahasa yang dituangkan dalam kutipan memakai
bahasanya penulis sendiri.

(a) Kutipan Langsung

58
Contoh kutipan langsung:
Ratih Sang (El-Shirazy, 2008) dalam cover belakang novel
Ayat-Ayat Cinta (2008) menyatakan “ Membaca Ayat-Ayat Cinta
ini membuat angan-angan kita melayang-layang ke negeri seribu
menara dan merasakan ‘pelangi’ akhlak yang menghiasi pesona-
pesonanya”.
Kurtipan di atas langsung mengutip pendapat Ratih Sang
sesuai dengan kalimat yang tertulis dalam teks, tanpa mengubah
kalimatnya. Apabila kutipan di atas dijadikan kutipan tak langsung
seperti berikut ini. Ratih Sang (El-Shirazy, 2008) menyatakan
bahwa angan-angannya dibawa melayang-layang ke negeri seribu
menara dan merasakan gambaran berbagai akhlak dengan pesona-
pesonanya setelah membaca Ayat-Ayat Cinta.
Kutipan langsung yang lebih empat puluh kata ditulis
tanpa tanda kutip dan terpisah dari kata yang mendahului.
Penulisan berjarak satu spasi, dan jarak dari margin kiri dan margin
kanan tujuh ketukan. Kutipan langsung itu seperti berikut ini.
\El –Shirazy (2008:378) menggambarkan ketegasan Aisha agar
suaminya menikahi Maria seperti berikut ini.
“Ini jadikan mahar untuk Maria. Waktunya sangat
mendesak. Sebelum Maghrib kau harus sampai di
penjara. Jadi kau harus segera menikah dan melakukan
petunjuk dokter untuk menyadarkan Maria”. Kata-
kata Aisha begitu tegas tanpa ada keraguan, setegas
perempuan-perempuan Palestina ketika menyuruh
suaminya berangkat ke medan jihad.

(b) Kutipan Tidak Langsung


Kutipan tidak langsung, apabila keterangan kutipan
mendahului teks, nama pengarang ditempatkan di luar tanda
kurung, tetapi apabila keterangan kutipan diletakkan sesudah teks,
nama pengarang diletakkan dalam tanda kurung. Berikut ini contoh
kedua kutipan itu.

59
Keterangan kutipan mendahului teks.
Menurut Sugito (2009, 225) apabila Ujian Nasional
dihapuskan, sulit mengukur mutu standar pendidikan nasional.

Keterangan kutipan diletakkan sesudah teks


Apabila ujian nasional dihapuskan, sulit mengukur mutu
standar pendidikan nasional (Sugito, 2009:225).

Kutipan Tidak Langsung Ditulis Dua Orang


Kutipan langsung yang ditulis oleh dua orang penulisan
sumber kutipan sebagai berikut.
Nasution dan Tarigan (2008: 120) menyatakan ..................
Atau
.........................................(Nasution dan Tarigan, 2008: 120)

Kutipan Tidak Langsung Ditulis Tiga Orang atau Lebih


Kutipan tidak langsung yang ditulis oleh tiga orang atau
lebih cukup ditulis nama akhir pengarang pertama dengan diikuti
kata “dan kawan-kawan” dengan disingkat dkk. Misalnya apabila
penulis mengutip sebuah buku yang ditulis oleh tiga orang yang
bernama Bambang Suseno, Cahya Sudarta, dan Mulyadi Idris,
penulisannnya sebagai berikut.
Suseno dkk. (2001: 25) berpendapat bahwa .........................
Atau
...........................................................(Suseno dkk., 2001:25)

Kutipan Tidak Langsung Bila Kutipan Bersumber dari


Kutipan Lain
Kutipan tidak langsung bila kutipan bersumber dari kutipan
lain ditulis sebagai berikut.
Mawardi (dalam Sutrisno, 2009:260) menyatakan
bahwa ..........
Atau

60
.............................................(Mawardi dalam Sutrino, 2009: 260).
Tanda di atas berarti pengutip mengutip pendapat Mawardi
yang sumbernya berasal dari buku Sutrisno yang mengutip
pendapat Mawardi.

(5) Daftar Rujukan (Daftar Pustaka)


Daftar Rujukan atau Daftar Pustaka adalah daftar yang
berisi identits buku-buku, artikel-artikel, dan bahan penerbitan
lainnya yang mempunyai relevansi dengan tulisan yang sedang
dikerjakan (Prayitno dkk., 2000:196). Daftar Pustaka merpakan
kelengkapan dari kutipan. Di bagian kutipan, pembaca hanya
dapat melihat sumber kutipan berupa pengarang, tahun terbit, dan
halaman buku yang dikutip. Judul buku, penerbit, dan kota terbit
tidak disebutkan dalam kutipan. Hal itu dapat dimaklumi, karena
kalau ditulis sumbernya secara lengkap akan memakan tempat, dan
kemungkinan sebuah rujukan akan ditulis berulang-ulang. Oleh
karena itu dalam kutipan cukup ditulis nama pengarang, tahun
terbit, dan halaman. Data lain dapat dilihat pada Daftar Pustaka,
atau Daftar Rujukan. Daftar Pustaka berisi data seperti berikut.
 Nama pengarang, dengan nama akhir diletakkan di
bagian depan, dipisahkan tanda koma. Gelar akademik
tidak ditulis.
 Tahun terbit
 Judul
 Tempat terbit
 Nama penerbit
Contoh:
Lindsay, David. 1986. Penuntun Penulisan Ilmiah: A Guide To
Scientific Writing. Penerjemah Suminar Setiati Achnadi.
Jakarta: Universitas Indonesia.

61
Prinsip-Prinsip Penyusunan Daftar Pustaka
 Urutan Daftar Pustaka disusun secara alfabet sesuai huruf
awal nama pengarang
 Jarak antar baris dalam satu rujukan adalah satu spasi.
 Jarak antar rujukan dengan rujukan lain dua spasi
 Baris pertama setiap rujukan dimulai dari margin kiri, baris
kedua dan seterusnya dimasukkan ke dalam 3 – 7 ketukan.

Penulisan Nama
 Nama pengarang bila lebih satu kata, bagian akhir diletakkan
di depan, dipisahkan tanda koma.
 Nama Tionghoa tidak dibalik, karena unsur pertama nama
tionghoa berupa nama keluarga.
 Jika pengarang dua orang, keduanya ditulis dihubungkan kata
dana.
Purwo, Bambang Kaswanti dan Rahayu, Endang Sulistyo.
 Jika pengarang tiga orang atau lebih cukup nama pengarang
pertama saja yang ditulis, diikuti kata dan kawan-kawan yang
disingkat (dkk.) Jika sebuah buku ditulis oleh tiga orang: Cahyo
Kumolo, Sucipto, dan Gunawan, dalam penulisan daftar
rujukan cukup ditulis Kumolo, Cahyo dkk.

Tahun Terbit
Jika beberapa rujukan berasal dari buu yang erbeda, ditulis
oleh pengarang yang sama dan tahun terbit yang sama, urutannya
didasarkan pada abjad huruf pertama judul buku, dengan ciri
pembeda huruf sesuai abjad.
Contoh:
Arifin, Zainal. 1990a. Pedoman urat-Menyurat Indonesia. Jakarta:
Penyear Ilmu.
Arifin, Zainal. 1990b. Surat-Menyurat Resmi. Jakarta: Dinamika
Swadaya.

Judul

62
Judul buku dicetak miring, ditulis setelah tahun terbit, dan
diakhiri tanda titik. Apabila ditulis tangan atau diketik dengan
mesin ketik manual, judul buku diberi garis bawah, sebagai ganti
cetak miring, seperti pada contoh di atas. Judul artikel atau
makalah ditulis di antara tanda petik.
Contoh penulisan judul artikel:
Utomo, Andi. 18 Januari 2009. “Pandemi Virus Flu Burung
H5N1”. Surya, hal. 4.

Rujukan dari Internet


Dalam rujukan dari internet berupa karya individual nama
penulis ditulis seperti rujukan bahan cetak. Setelah penuliwan
judul, rujukan diberi keterangan (online), diakhiri dengan alamat
sumber rujukan disertai keterangan waktu diakses di antara tanda
kurung.
Contoh:
Hithcock, S. Carr, L. & Hall, W. 2008. A. Survey of STM Onlines
Journals, 1990-1995. The Calm before the Storm. (Online),
(http:/journal.ecs.soton.ac.uk/survey/survey html, diakses
27 November 2009).
Dalam penulisan rujukan dari internet berupa artikel dari
jurnal, nama penulis ditulis seperti rujukan bahan cetak (buku),
diikuti tahun, judul artikel, nama journal dicetak miring, dengan
diberi keterangan (online) dalam tanda kurung, diikuti volume dan
nomor, diakhiri dengan alamat sumber rujukan, dan diberi
keterangan waktu pengaksesan di dalam tanda kurung.
Contoh:
Basuki, Sulistyo. 2008. “Dampak Penghapusan Ujian Nasional
Terhadap Mutu Pendidikan di Indonesia”. Jurnal Ilmu Pendidikan,
(Online), Vol. 3 No. 4 (http//www.malang.ac.id, diakses 28
November 2009)

b. Artikel Ilmiah

63
Penulisan artikel ilmiah pada prinsipnya sama dengan
penulisan makalah. Artikel ilmiah biasanya dimuat dalam majalah
ilmiah atau jurnal. Ada lima langkah dalam menulis artikel ilmiah.
Kelima langkah itu ialah: (1) Pengembangan gagasan; (2)
Perencanaan naskah; (3) Pengembangan paragraf; (4) penulisan
draf; (5) Finalisasi
Pengembangan gagasan dalam penulisan artikel ilmiah
adalah pengembangan gagasan dalam berpikir ilmiah. Gagasan
dalam berpikir ilmiah dapat berupa hasil berpikir konseptual,
misalnya “Pembelajaran Anti Korupsi Melalui Kantin Kejujuran”,
atau hasil penelitian seperti “Pengaruh Situasi Keluarga Terhadap
Prestasi Siswa”. Bagian-bagian sistematika artikel ilmiah seperti
berikut.
Judul
Nama Penulis
Abstrak
Kata kunci
Pendahuluan
Isi
Penutup
Daftar Pustaka

judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, pendahuluan, isi,


penutup, dan daftar rujukan.

Judul
Judul artikel harus diusahakan menarik pembaca,
informatif, Judul hendaknya memberi gambaran yang jelan
tentang materi dan ruang lingkup masalah yangakan dibahas. Judul
jangan terlalu panjang. Judul dan anak judul (kalau ada) ditu;is
pada baris paling atas, dengan jarak dari atas kurang lebih 3
cm.Judul dan anak judul ditulis dengan huruf kapital semua. Judul
dengan anak judul (kalau ada) dipisahkan dengan tanda titik dua.

64
Nama Penulis
Nama penulis ditulis di bawah judul, dengan tanpa
mencantumkan gelar akademik. Nama lembaga dapat ditulis di
bawah nama penulis, atau ditempatkan di bagian bawah sebagai
catatan kaki. Apabila artikel ilmiah ditulis dua orang, nama penulis
ditulis sejajar, di bawah judul.

Abstrak
Abstrak adalah seperangkat pernyataan yang ditulis secara
ringkas dan padat bagian-bagian penting dari artikel yang ditulis.
Abstrak hendaknya ditulis dalam 50 sampai 200 kata, berisi
tentang topik, masalah, tujuan, dan hasil penelitian. Abstrak ditulis
dalam satu paragraf, apabila artikel ditulis dalam bahasa Indonesia,
abstrak sebaiknya ditulis dalam bahasa Inggris, dan apabila artikel
ditulis dalam bahasa Inggris, abstrak sebaiknya ditulis dalam
bahasa Indonesia.

Kata Kunci
Kata kunci ialah kata pokok yang menggambarkan wilayah
yang diteliti, menggambarkan ranah wilayah yang dibahas. Jumlah
kata kunci antara 3 sampai lima kata. Kata kunci tidak harus
diambil dari kata-kata yang tercantum dalam judul karya ilmiah.

Pendahuluan
Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, dan
tujuan. Apabila dalam karya ilmiah resmi rumusan masalah dan
tujuan menjadi subbab tersendiri, dalam artikel ilmiah latar
belakang, rumusan masalah, dan tujuan diintergrasikan menjadi
satu. Dalam bagian ini juga berisi kajian teori, yang dalam karya
ilmiah resmi menjadi bab tersendiri.

Isi

65
Isi merupakan bagian inti dari penulisan artikel ilmiah.
Bagian ini merupakan bagian yang terpenting bagi artikel ilmiah
konseptual maupun artikel ilmiah penelitian. Isi berisi kupasan,
analisis, argumentasi, keputusan, dan pendirian atau sikap penulis
mengenai masalah yang dibicarakan. Yang perlu ditampilkan
dalamm penelitian ini ialah kupasan argumentatik, analitik, dan
kritis dengan sistematika yang runtut dan logis.

Penutup
Penutup berisi simpulan dan saran. Simpulan berarti hasil
dari pembahasan. Bagian ini menyampaikan ringkasan hasil
penelitian atau pemikiran. Simpulan harus sesuai dengan rumusan
masalah dan tujuan. Simpulan dalam sistematika penulisan artikel
ilmiah dikemukakan dalam rangka membulatkan argumen, hasil
analisis, sintesis, dan interpretasi atas hasil suatu penelitian.
Impulan pada dasarnya mencerminkan butir-butir penting dari
penelitian yang dilakukan dan dikembangkan pada pembahasan.

4.2.2. Karya Ilmiah Resmi


Karya ilmiah resmi mempunyai sistematika yang lebih
rinci dibandingkan karya ilmiah subresmi. Yang termasuk karya
ilmiah resmi ialah laporan penelitian termasuk skripsi, tesis,
disertasi, buku teks. Karya ilmiah resmi secara umum mempunyai
sistematika seperti karya ilmiah subresmi, yaitu Pembuka, Isi, dan
Penutup. Namun tiap-tiap bagian itu dirinci lagi lebih detil.
Sistematika karya ilmiah resmi sebagai berikut.
PENDAHULUAN
1. Halaman judul
2. Halaman pengesahan
3. Halaman persembahan dan moto
4. Kata Pengantar
5. Daftar Isi

66
6. Daftar Tabel/Bagan/Gambar
7. Daftar Singkatan
8. Abstrak

BAGIAN ISI
1. Bab Pendahuluan
a. Latar Belakang
b. Rumusan masalah
c. Tujuan Penelitian
d. Manfaat Penelitian
2. Landasan Teori
3. Metode Penelitian
a. Pendekatan Penelitian
b. Sumber data dan Data Penelitian
c. Teknik Pengumpulan Data
d. Teknik Analisis Data
4. Hasil dan Pembahasan
5. Simpulan

BAGIAN PENUTUP
1. Daftar Pustaka
2. Lampiran

Halaman Judul
Halaman judul adalah halaman setelah cover laporan
penelitian. Halaman itu memuat judul, ditulis dibagian atas dengan
huruf kapital yang relatif besar. Di bawahnya ditulis penyataan
keperluan, misalnya: “Diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam menyelesaikan program Sarjana Sastra
Inggris”. Di bawah pernyataan itu tempat logo instansi yang
menaunginya. Nama penulis ditulis di bawah logo. Bagian
lembaga penyelenggara. Paling bawah tahun penyusunan.

Halaman Persetujuan

67
Halaman persetujuan berisi persetujuan dari pembimbing
bahwa karya ilmiah itu telah sampai pada suatu tahap tertentu.
Kalau karya ilmiah itu berupa skripsi, tesis, atau disertasi
pembimbing telah menyetujui bahwa penulis karya ilmiah itu dapat
maju ujian untuk mempertanggungjawabkan karya ilmiahnya.
Halaman persetujuan itu terdiri atas: nama penulis, judul tulisan,
tanggal persetujuan, dan tanda tangan pembimbing.

Halaman Pengesahan
Halaman pengesahan biasa terdapat pada karya ilmiah
resmi yang dihasilkan oleh mahasiswa , yang karya ilmiah itu harus
dipertanggungjawabkan isinya di depan penguji. Halaman
pengesahan itu berisi pernyataan bahwa penguji mengesahkan
karya ilmiah itu telah memenuhi persyaratan, penulisnya
mencapai gelar akademik tertentu. Karya ilmiah itu
ditandatangani penguji dan diketahui pimpinan jurusan dan
pimpinan fakultas.

Motto/Persembahan
Halaman motto/Persembahan biasanya berisi motto atau
persembahan. Halaman motto biasanya berisa kata-kata mutiara
yang dapat menjadi sikap hidup atau sumber semangat bagi
penulis. Motto dapat diambil dari berbagai sumber seperti kitab
suci, pendapat para filsuf, kata-kata mutiara, atau berasal dari
penulis sendiri. Persembahan diberikan penulis kepada seseorang
yang sangat berarti di dalam hidup penulis. Sosok yang dapat
persembahan bisa orang tua, nenek, kakak, adik, pacar, suami,
isteri, anak, bahkan bisa kepada Tuhan.

Kata Pengantar

Kata Pengantar dimaksudkan sebagai pengantar pada karya


ilmiah yang telah ditulis oleh penulis. Yonohudyono dan Suhartono

68
(2005:58) berpendapat bahwa hal-hal yang perlu diungkapkan
pada Kata Pengantar adalah:
(1) puji syukur kepada Tuhan
(2) judul
(3) garis besar isi
(4) hambatan dalam proses penyusunan
(5) ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
memantu
(6) saran dan kritik
(7) harapan
(8) penyebutan tempat, tanggal, bulan, dan tahun

Abstrak
Abstrak sudah dibicarakan pada bagian penulisan karya
ilmiah subresmi. Namun ada perbedaan sedikit antara penulisan
abstrak karya ilmiah subresmi dan karya ilmiah resmi. Dalam karya
ilmiah subresmi abstrak cukup satu paragraf, dalam jarak satu
spasi. Dalam karya ilmiah resmi karena lebih luas dibanding karya
ilmiah subresmi, abstrak paling banyak satu halaman kertas A4.
Bagian Isi dan seterusnya akan dipelajari lebih lanjut di
tingkat perguruan tinggi . Untuk tahap pertama yang perlu
dipelajari, adalah penulisam makalah dan penulisan artikel. Da
baiknya di sekolah-sekolah menerbitkan majalah yang
menyediakan ruangan untuk penulisan karya ilmiah, sabagai bahan
latihan para siswa.

C. Penutup
Agar terampil menulis karya ilmiah, seseorang harus
menguasai beberapa hal. Pertama, ia harus banyak membaca,
terutama bacaan karya ilmiah. Kedua, Harus menguasai teori
menulis karya ilmiah. Ketiga, , ia harus banyak berlatih menulis
karya ilmiah. Hanya dengan banyak berlatih seorang penulis akan
mencapai sukses.

69
Karya ilmiah dibedakan antara karya ilmiah subresmi dan
karya ilmiah rsmi. Yang termasuk karya ilmiah subresmi yaitu
makalah dan artikel jurnal. Sistematika karya ilmiah subresmi lebih
sederhana dibanding dengan karya ilmiah resmi. Untuk menulis
karya ilmiah subresmi penulis harus menguasai sistematika
penulisan karya ilmiah itu, termasuk penguasaan menyusun
abstrak kata kunci, kutipan dan daftar pustaka. Karya ilmiah resmi
sistematikanya lebih rumit daripada karya ilmiah subresmi.
Karya Ilmiah berbeda dengan karya kreatif. Penulisan karya
ilmiah mempunyai sistematika yang harus ditaati oleh penulis.
Kreatifitas penulisan tidak diperlukan dalam penulisan karya
ilmiah. Oleh karena itu sistematika, teknik pengutipan, teknik
penulisan daftar pustaka harus dikuasai oleh penulis.

\DAFTAR PUSTAKA

Lindsay, David. 1986. Penuntun Penulisan Ilmiah: A Guide To


Scientific Writing. Penerjemah Suminar Setiati Achnadi.
Jakarta: Universitas Indonesia.

Prayitno, Harun Joko dkk. (Ed). 2000. Pembudayaan Penulisan


Karya Ilmiah. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Suparno. 2000. Langkah-Langkah Penulisan Ilmiah: Dalam


Menulis Artikel Ilmiah untuk Jurnal. Malang: Universitas
Negeri Malang.

Suparno dan Mohamad Yunus. 2007. Keterampilan Dasar


Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka.

70
Tanjung, H. Bahdin Nur dan H. Ardial. 2.007. Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Proposal, Skripsi, dan Tesis): Dan
Mempersiapkan Diri Menjadi Penulis Artikel Ilmiah. Jakarta:
Kencana.

Yonohudyono dan Suhartono. 2005. Bahasa Indonesia Keilmuan:


Mata Kuliah Pengembang Kepribadian. Surabaya: Unesa
University Press.

Yonohudiyono, E dan Jack Parmin. 2007. Bahasa Indonesia


Kilmuan. Surabaya: Unesa University Press.
BAB V
PENELITIAN TINDAKAN KELAS

Standar Kompetensi : Memahami Penelitian Tindakan Kelas


Kompetensi dasar : Memahami hakikat Penelitian Tindakan
Kelas
Melaksanakan Penelitian Tindakan
Kelas untuk perbaikan pembelajaran

Indikator:
1, Menjelaskan konsep penelitian tindakan kelas
2. Tujuan penelitian tindakan kelas
3. Manfaat penelitian tindakan kelas
4. Mengidentifikasi karakteristik penelitian tindakan kelas
5. Prosedur pelaksanaan penelitian tindakan kelas

Tujuan
1. Setelah mempelajari materi dalam buku pelatihan, peserta dapat
menjelaskan konsep penelitian tindakan kelas dengan tepat.
2. Setelah mempelajari materi dalam modul pelatihan, peserta
dapat memahami tujuan penelitian tindakan kelas dengan benar.

71
3. Setelah mempelajari materi dalam modul pelatihan, peserta
dapat mengidentifikasi karakteristik penelitian tindakan kelas
dengan tepat.
4. Setelah mempelajari materi dalam modul pelatihan, peserta
dapat memahami manfaat penelitian tindakan kelas dengan tepat.
5. Setelah mempelajari materi dalam modul pelatihan, peserta
dapat memahami prosedur penelitian tindakan kelas

5.1. Pendahuluan
Bagi seorang guru untuk dapat mengajar secara profesional
tidak cukup hanya dibekali oleh penguasaan materi saja. Guru
dalam proses belajar-mengajar menghadapi murid dalam satu kelas
yang mempunyai eragam karakteristik. Padahal dalam prktik
seorang guru dalam satu hari dapat menghadapi beberapa kelas
murid. Seorang prajurit yang baik, dalam berperang harus
menguasai medan perang. Demikian pula guru, seorang guru harus
memahami berbagai macam karakter murid, karena keberhasilan
proses belajar-mengajar tidak ditentukan oleh penguasaan materi
saja.
Dalam proses belajar mengajar, guru yang baik adalah guru
yang kreatif dan inovatif. Segala potensi yang ada hendaknya
dimanfaatkan untuk menunjang keberhasilan proses belajar-
mengajar. Guru yang baik harus mencoba dan mencoba
mengembangkan potensi yang dimiliki demi keberhasilan proses
belajar mengajar. Seiring dengan kemajuan teknologi, model
pembelajaran dan media pembelajaran pun sudah berkembang
dengan pesat. Guru yang kreatif dan inovatif jika ditunjang dengan
media dan model pembelajaran yang sesuai akan mendorong murid
khususnya dan sekolah pada umumnya memperoleh prestasi yang
maksimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh guru yang
kreatif dan inovatif dalam mencapai proses belajar-mengajar
dengan hasil yang maksimal adalah melakukan eksperimen.

72
Eksperimen itu dapat dilakukan dengan penelitian tindakan kelas
(PTK).

5.1.1 Pengertian PTK


Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia
sudah lama dilakukan. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu
pendidikan itu ialah adanya perubahan kurikulum pendidikan dari
waktu-ke waktu. Namun harus disadari pula bahwa kurikulum
bukannya satu-satunya penunjang mutu pendidikan. Banyak faktor
yang dapat menunjang keberhasilan mutu pendidikan seperti sarana
dan prasarana, adanya guru yang berkualitas, dan kesiapan mental
murid dalam belajar. PTK merupakan salah satu upaya untuk
menuju peningkatan mutu pendidikan.
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sudah berkembang sejak
Perang Dunia II (Ardiana dan Kisyani, 2004:6). Namun di
Indonesia baru akhir-akhir ini saja mendapat perhatian yang serius.
Namun bukan berarti sebelumnya tidak pernah diadakan Penelitian
Tindakan Kelas. PTK merupakan terjemahan dari Classroom
Action Research, yaitu action research yang dilakukan di kelas.
Penelitian Tindakan Kelas di Indonesia sebenarnya sudah lama
dilakukan. Skripsi mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan, atau
mahasiswa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan dulu banyak
yang mengangkat penelitian tindakan kelas. Hanya bentuk
penelitian pada masa itu belum mendapatkan bentuk yang baku,
dan belum mendapakan perhatian seperti sekarang.
Penelitian Tindakan Kelas adalah suatu bentuk penelitian
yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan-tindakan
tertentu agar dapat memperbaiki dan atau meningkatkan praktik-
praktik pembelajaran di kelas secara profesional (Suyanto dalam
Ardiana dan Kisyani Laksono, 2004:6). Sesuai dengan pendapat
Suyanto tersebut, ciri penelitian tindakan kelas adalah bersifat
reflektif. Artinya tahap refleksi merupakan dasar untuk
menentukan langkah-langkah penelitian tindakan kelas.

73
Proyek PGSM (1999) menyatakan bahwa penelitian
tindakan kelas sebagai suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif
oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan
kemantapan rasional dari tindakan mereka dalam melaksanakan
tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang
dilakukan itu, serta memperbaiki kondisi di mana praktik
pembelajaran tersebut dilakukan. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa konsentrasi penelitian tindakan kelas adalah pada praktik
pembelajaran. Dalam hal ini pelaku pembelajarann (guru) harus
aktif meefleksi diri tentang kekurangan dalam proses belajar-
mengajar, yang menyebabkan kurang berhasilnya hasil belajar itu
sendiri. Ketidak berhasilan proses belajar-mengajar dapat berasal
dari berbagai pihak, daeri guru, dari murid, dari lingkungan
sekolah, dari masyarakat sekitar, atau disebabkan oleh orang tua
murid itu sendiri. Dalam penelitian tindakan kelas refleksi yang
dilakukan oleh guru akan menemukan masalah itu. Tindakan
selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan prestasi murid
dengan adanya kendala yang ditemukan dalam refleksi.
Wardani (2008: 1.4) menyatakan bahwa penelitian
tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di
dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan tujuan untuk
memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa
menjadi meningkat. Pernyataan Wardani itu menyiratkan bahwa
penelitian tindakan kelas dilakkan oleh guru di dalam kelasnya
sendiri. Jadi tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Penelitian itu
berkaitan dengan kinerja guru yang bersangkutan. Di samping itu
penelitian tindakan kelas dilakukan di dalam kelas, bukan di luar
kelas.
Penelitian tindakan kelas berbeda dengan penelitian kelas.
Penelitian tindakan kelas dilakukan oleh guru kelas tersebut,
sedang penelitian kelas dilakukan oleh orang luar. Berarti semua
orang dapat melakukan penelitian kelas, sedang penelitian tindakan
kelas hanya dilakkan oleh guru kelas tersebut. Dalam penelitian

74
tindakan kelas bisa saja orang luar berperan sbagai peneliti, tetapi
perannya hanyalah sebatas membantu penelitian guru kelas.
Di dalam penelitian tindakan kelas terutama dirasakan oleh
guru yang bersangkutan. Permasalahan itu biasanya timbul akibat
kegiatan refleksi yang dilakukan oleh guru tersebut. Hal itu
berbeda dengan penelitian kelas non PTK. Di dalam penelitian
kelas non PTK masalah justru dirasakan oleh orang luar, bukan
guru yang bersangkutan.
Di dalam penelitian tindakan kelas hasil penelitian
dijadikan dasar untuk tindakan perbaikan oleh guru. Hal itu
memang merupakan tujuan utama bagi guru yang melakukan
penelitian tindakan kelas. Di dalam penelitian kelas non-PTK hasil
penelitian belum tentu ditindaklanjuti. Hal itu bergantung pada
kebutuhan dan tujuan peneliti dalam melakukan penelitiannya. Di
dalam penelitian kelas non-PTK cakupannya pun sangat luas, tidak
hanya masalah proses belajar-mengajar saja.
Proses pengumpulan data di dalam penelitian tindakan kelas
dilakukan sendiri oleh guru sebagai peneliti, bisa dengan bantuan
orang lain, sedang pengumpulan data penelitian kelas non-PTK
dilakukan oleh peneliti. Di dalam penelitian tindakan kelas guru di
samping peneliti juga bertindak sebagai pengajar. Dalam hal ini
guru mempunyai dua peran. Oleh karena itu ketika sedang
melakukan proses belajar-mengajaru guru mungkin tidak dapat
melaksanakan tugasnya sebagai peneliti. Dalam kondisi seperti itu
bantuan orang lain sangat diperlukan. Bantuan itu dapat diperoleh
guru dari teman sejawat.
Kelebihan PTK dibanding penelitian non-PTK yaitu dalam
penelitian non-PTK hasil penelitian menjadi milik peneliti, belum
tentu dimanfaatkan oleh guru. Dalam penelitian PTK hasil
penelitian langsung dimanfaatkan oleh guru untuk meningkat hasil
pembelajaran. Hal itu merupakan tujuan akhir PTK, Di alam
penelitian PTK harus selalu diusahakan untuk menemukan model
pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas hasil belajar.

75
Tabel berikut ini merupakan gambaran perbandingan antara PTK
dan penelitian non-PTK.

Tabel
Perbandingan PTK dan Penenelitian Kelas Non-PTK
No Aspek Penelitian Penelitian Kelas
Tindakan Kelas Non-PTK
1. Peneliti Guru Orang luar

2. Rencana Oleh guru, bisa Oleh peneliti


penelitian dibantu teman
sejawat
3. Munculnya Dirasakan oleh guru Dirasakan oleh
masalah orang luar

4. Ciri utama Ada tindakan untuk


peraikan yang Belum tentu ada
berulang

5. Peran guru Sebagai guru dan Guru sebagai objek


peneliti penelitian
6, Tempat
penelitian Kelas Kelas

7. Proses
Pengumpulan Oleh guru dapat Oleh peneliti
data dibantu orang lain

8. Hasil Dimanfaatkan oleh Menjadi pemilik


penelitian guru dalam proses peneliti, belum tentu
belajar-mengajar dimanfaatkan oleh
guru

76
5.1.2 Tujuan PTK
Penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan
oleh guru berkaitan dengan proses elajar mengajar yang dijalaninya
dan dilakukan di dalam kelas. Secara praktis penelitian tindakan
kelas untuk memperbaiki proses belajar-mengajar. Hasil penelitian
itu kemudian dimanfaatkan oleh guru dalam memperbaiki proses
belajar-mengajar agar tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan
sempurna.
Dasar utama dilaksanakannya penelitian tindakan kelas
menurut Ardiana dan Kisyani-Laksono (2004:130) adalah untuk
tujuan perbaikan praktis pembelajaran, khususnya dan perbaikan
program sekolah pada umumnya. PTK juga merupakan sebuah
upaya untuk meningkatkan keterampilan untuk menanggulangi
berbagai masalah yang muncul di kelas atau di sekolah dengan
atau tanpa masukan khusus berupa berbagai program pelatihan
yang eksplisit.

5.1.3 Manfaat PTK


PTK adalah penelitian dengan objek siswa di kelas dan
guru sebagai pengajar. Peneliti dalam kegiatan itu adalah guru itu
sendiri. Dengan demikian dapat dipahami apabila PTK adalah
penelitian dengan objek murid dan guru, agar bermanfaat bagi
murid dan guru itu sendiri dalam pembelajaran yang akan datang.
Apabila pewnelitian itu bermanfaat bagi murid dan guru, secara
tidak langsung juga bermanfaat bagi sekolah. Wardani (2008)
menyatakan manfaat penelitian tindakan kelas dapat dipilah
menjadi tiga, yaitu manfaat bagi guru,manfaat bagi murid, dan
manfaat bagi sekolah. Ketiga manfaat itu seperti berikut ini.

5.1.3.1 Bagi Guru


(a) Untuk memperbaiki pembelajaran yang dikelola
Munculnya penelitian tindakan kelas disebabkan oleh adanya
permasalahan dalam proses belajar-mengajar yang dirasakan oleh
guru. Untuk mendapatkan pemecahan masalah yang dihadapi, guru
perlu meneliti permasalahan itu. Aabila guru dalam penelitiannya

77
dapat menemukan pemecahan masalah, tentu saja hasil
penelitiannya akan bermanfaat memperbaiki pembelajaran yang
dikelola. Namun perlu diingat,hasil penelitian itu hanya tepat
diterapkan pada siswa-siswa atau kelas yang diteliti. Meskipun
mempunyai permasalahan yang sama dalam kelas yang berbeda
mempunyai karakteristik yang berbeda pula, sehingga hasil
penelitian tindakan kelas di suatu ke las tertentu belum tentu dapat
diterapkan untuk memperbaiki kelas lain.

(b) Guru dapat berkembang secara profesional karena mampu


memperbaiki dan menilai pembelajaran yang dikelolanya.
Guru yang baik adalah guru yang kreatif dan inovatif. Guru
yang kreatif dan inovatif adalah guru yang selalu berusaha
memperbaiki diri dalam proses belajar-mengajar. Salah satu upaya
untuk memperbaiki proses belajar-mengajar adalah melakukan
penelitian tindakan kelas. Hasil penelitian itu menjadi dasar dalam
kegiatan proses belajar-mengajar selanjutnya. Dengan demikian
guru akan dapat berkembang secara profesional, karena mampu
memperbaiki dan menilai pembelajaran yang dikelolanya.

(c) Membuat guru lebih percaya diri


Penelitian tindakan keras dapat membuat guru lebih percaya
diri. Rasa percaya diri itu disebabkan guru telah menguasai
permasalahan dan tindakan pemecahan masalah itu dengan tepat.
Guru yang sedang menghadapi murid dapat diibaratkan dengan
seorang dokter yang sedang menghadapi pasien yang sedang sakit.
Seorang dokter jika sudah menemukan jenis penyakit pasien, dan
obat penangkal yang mujarab, dokter akan lebih percaya diri.
Guru pun bila telah menemukan masalah dalam proses belajar-
mengajar, dan telah menemukan pemecahan masalah itu, guru akan
lebih percaya diri.

(d) Guru mendapat kesempatan untuk berperan aktif dalam


mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya sendiri.

78
Mengajar adalah suatu profesi. Pekerjaan mengajar
dilakukan oleh guru dengan materi yang itu-itu saja. Perubahan
materi pembelajaran baru terjadi apabila terjadi perubahan
kurikulum. Dengan demikian, guru bisa terjebak pada rutinitas.
Pola pembelajaran dan materi pembelajaran hanya itu-itu saja.
Guru dapat terjebak pada rutinitas yang monoton.
Apabila guru mendapat kesempatan mengadakan penelitian
tindakan kelas, guru akan menjadi lebih kreatif. Guru mendapat
kesmpatan untuk berperan aktif dalam mengembangkan
pengetahuan dan keterampilannya sendiri. Guru dapat merefleksi,
mengoreksi, dan mengevaluasi proses pembelajaran yang telah
dilakukan. Kesempatan untuk berperan aktif dalam
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan itu akan
berdampak luas terhadap dunia pendidikan, terutama pada siswa
yang terlibat dalam proses belajar-mengajar yang dasuhnya.
Keberhasilan siswa dalam belajar berarti memberikan masa depan
yang baik bagi siswa.

5.1.3.2 Bagi siswa


Objek penelitian tindakan kelas adalah perbaikan proses
belajar-mengajar, sebagai tindak lanjut hasil refleksi. Hasil
penelitian tindakan kelas harus menemukan pemecahan masalah
berkaitan dengan kekurangberhasilannya dalam proses belajar-
mengajar. Dengan demikian manfaat yang dapat dirasakan oleh
siswa adalah dapat meningkatnya hasil belajar siswa.
Manfaat lain dari penelitian tindakan kelas adalah siswa
menemukan model pengajar yang baik dalam proses belajar-
mengajar. Model ini sangat diperlukan oleh siswa, karena model
guru yang baik adalah guru yang kreatif dan inovatif, yang dapat
menjadi motivator dan fasilitator.

5.1.4 Karakteristik PTK


Penelitian tindakan kelas merupakan terjemahan dari
bahasa Inggris Classroom Action Reseaerch. Penelitian ini

79
merupakan penelitian bentuk inkuiri yang dilakukan melalui
refleksi diri. Refleksi diri merupakan titik pangkal dalam penelitian
ini. Penelitian tindakan kelas atau Classromm Action Research
berbeda dengan Action Resarch (Penelitian Tindakan). Di dalam
Penelitian Tindakan Kelas harus melibatkan peserta yang terlibat
dalam situasi yang diteliti, sedang dalam penelitian tindakan tidak
harus melibatkan peserta yang terlibat dalam situasi. Penelitian
Tindakan Kelas dilakukan dalam situasi sosial, dengan tujuan
untuk memperbaiki.
Wardani (2008:1.5) menyatakan karakteristik Penelitian
Tindakan Kelas sebagai berikut>
(1) Adanya masalah dalam PTK dipicu oleh munculnya
kesadaran pada diri guru bahwa praktik yang dilakukannya
selama ini di kelas mempunyai maslah yang perlu
diselesaikan.
(2) Penelitian melalui refleksi diri merupakan ciri PTK yang
paling esensial.
(3) Penelitian Tindakan Kelas dilakukan dalam kelas.
(4) Penelitian Tindakan Kelas bertujuan untuk memperbaiki
pembelajaran.
Suyanto (dalam Ardiana dan Kisyani-Laksono, 2004:9)
menyebutkan bahwa karakteristik PTK sebagai berikut. Pertama,
permaslahana diangkat dari dalam kelas tempat guru mengajar
yang benar-benar dihayati oleh guru sebagai masalah yang harus
dihayati. Masalah itu timbul justru dari dalam guru itu sendiri,
sebagai hasil refleksi. Kedua, PTK penelitian yang bersifat
kolaboratif. Dalam meneliti guru tidak harus melakukannya sendiri,
melainkan dapat bekerja sama dengan dosen LPTK, kepala
sekolah, atau teman sejawat. Ketiga, PTK adalah jenis penelitian
yang memunculkan adanya tindakan tertentu untuk memperbaiki
proses belajar-mengajar di kelas.
Hopkins (1992) menyatakan bahwa PTK mempunyai
karakteristik sebagai berikut. (1) Perbaikan praktis pembelajaran
dari dalam. (2) Usaha kolaboratif antara guru dan dosen. (3)

80
Bersifat reflektif. Perlu ditekankan, bahwa PTK tidak boleh
mengganggu kegiatan guru mengajar di kelas.Pengumpulan data
yang digunakan tidak menuntuk waktu yang berlebihan, sehingga
mengganggu proses pembelajaran.

5.2 Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas


Penelitian Tindakan Kelas penelitian yang diawali dengan
refleksi diri. Dalam hal ini permasalahan muncul dari dalam diri
guru (peneliti) yang didasari adanya kekurangberhasilan proses
belajar-mengajar yang dirasakan oleh guru. Dalam hal ini guru
harus berusaha menemukan pemecahan masalah guna perbaikan
proses belajar-mengajar. Pemecahan masalah itu apat dilakukan
dengan refleksi diri. Guru dapat mengajukan beberapa pertanyaan
kepada dirinya sendiri.
(1) Apa yang sedang terjadi di kelas tempat saya mengajar?
(2) Masalah apa yang ditimbulkan dalam kejadian itu?
(3) Apa pengaruh masalah itu bagi kelas tempat saya
mengajar?
(4) Apa yang terjadi jika masalah tersebut saya biarkan?
(5) Apa yang dapat saya lakukan untuk mengatasi masalah itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu perlu direnungkan oleh guru. Guru
harus jujur dan objektif dalam melakukan refleksi. Guru merasakan
adanya masalah, dan tidak puas terhadap pembelajaran yang telah
dilakukan. Hasil refleksi itu dapat dipakai dasar dalam
merumuskan masalah.

5.2.1 Rumusan Masalah


Hopkins (dalam Ardiana dan Kisyani-Laksono, 2004: 21)
untuk menentukan fokus penelitian, dapat bertolak dari gagasan-
gagasan umum mengenai keadaan yang perlu diperbaiki. Untuk
mengembangkan fokus PTK, dapat bertanya pada diri sendiri: Apa
yang terjadi sekarang? Apakah yang terjadi itu mengandung
permasalahan? Apa yang bisa saya lakukan untuk mengatasinya?
(Hopkins, dalam Ardiana dan Kisyani-Laksono, 2004: 21).

81
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, dapat
dilakukan dengan mendiskusikan dengan sesama guru, dengan
dosen, atau dengan mengkaji sumber pustaka. Setelah melakukan
identifikasi maslah, harus ditentukan permasalahan yang sangat
mendesak untuk diatasi. Untuk menentukan permasalahan itu
Abimanyu (1995) menyatakan perlu memperhatikan hal-hal
sebagai berikut.
(1) Pilih permasalahan yang dirasa penting oleh guru sendiri
dan muridnya, atau topik yang melibatkan guru dalam
serangkaian aktivitas yang memang diprogramkan oleh
sekolah.
(2) Jangan memilih masalah yang di luar kemampuan dan/aau
kekuasaan guru untuk mengatasinya.
(3) Pilih dan tetapkan permasalahan yang skalanya cukup kecil
dan terbatas.
(4) Usahakan untuk bekerja secara kolaboratif dalam
pengembangan fokus penelitian.
(5) Kaitkan PTK yang akan dilakukan dengan prioritas-
prioritas yang ditetapkan dalam rencana pengembangan
sekolah
Untuk mendapat kan rumusan masalah yang baik, guru
perlu menganalisis hal-hal yang berkaitan dengan proses
pembelajaran sehari-hari: daftar hadir siswa, daftar nilai siswa,
tugas-tugas yang diberikan kepada siswa, feedback yang diberikan
guru terhadap pekerjaan siswa. Dari analisis ini guru dapat
menemukan fokos PTK. Misalnya fokus penelitian sebagai
berikut:
Apakah model pembelajaran STAD dapat meningkatkan
pemahaman unsur intrinsik cerita pendek?
Agar rencana perbaikan menjadi terarah, permasalahan di
atas dapat dijabarkan. Rumusan masalah dalam PTK dapat
dinyatakan dengan kalimat tanya atau kalimat deklaratif . Contoh
penjabaran rumusan masalah di atas seperti beriktu ini.

82
Rumusan masalah
1) Bagaimanakah proses model pembelajaran STAD dalam
pembelajaran unsur intrinsik cerpen di kelas 2 B SMP
Taruna Bakti?
2) Apakah model pembelajaran STAD dapat meningkatkan
pemahaman unsur intrinsik cerita pendek Siswa kelas 2 B
SMP Taruna Bakti?
Atau
1) Proses model pembelajaran STAD dalam pembelajaran
unsur intrinsik cerpen di kelas 2 B SMP Taruna Bakti.
2) Model pembelajaran STAD dapat meningkatkan
pemahaman unsur intrinsik cerita pendek siwa SMP Taruna
Bakti.

5.2.2 Tjuan Penelitian


Tujuan penelitian hendaknya ditulis dengan singkat dan
jelas dengan berlandaskan pada permasalahan dan cara pemecahan
masalah yang dikemukakan. Contoh tujuan penelitian seperti
berikut ini,
Meneraapkan pemebelajaran model STAD untuk meningkatkan
pemahaman unsur instrinsik cerita pendek siswa klas 2 b SMP
Taruna Bakti.

5.2.3 Hipotesis Tindakan


Hipotesis tindakan adalah dugaan guru tentang cara terbaik
untuk mengatasi masalah. Hipotesis tindakan dalam PTK berbeda
dengan hipotesis dalam penelitian formal. Hipotesis dalam
penelitian formal menyatakan adanya hubungan antara dua
variabel atau lebih, atau adanya perbedaan dua kelompok atau
lebih. Hipotesis tindakan menyatakan bahwa tindakan itu akan
merupakan sollusi yang dapat memecahkan permasalahan yang
diteliti.
Hipotesis masih perlu dikaji kelayakannya berkaitan dengan
kemunkinan pelaksanaannya. Sudarsono (1997) menyatakan bahwa

83
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengkaji kelaikan
hipotesis tindakan.
(1) Implementasi PTK akan berhasil apabila didukung oleh
kemampuan dan komitmen guru.
(2) Kemampuan siswa perlu diperhitungkan baik dari segi
fisik, psikologis, dan sosial budaya maupun etik.
(3) Fasilitas dan sarana pendukung yang tersedia di kelas atau
di sekolah juga perlu diperhitungkan.
(4) Keberhasilan PTK sangat bergantung pada iklim belajar di
kelas atau di sekolah.
(5) Iklim kerja di sekolah juga ikut menentukan keberhasilan
PTK.
Contoh Hipotesis Tindakan

Dengan menggunakan model pembelajaran Student Teams-


Achievement Division kemampuan siswa dalam berpidato akan
berkembang dengan baik

5.2.4 Pelaksanaan Tindakan


Sebelum melaksanakan PTK, guru hendaknya
mempersiapkan rencana pelaksanaan. Pelaksanaan dilakukan
setelah persiapan dirasakan mantap. Adapun langkah-langkah
yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pelaksanaan adalah
sebagai berikut ini. (a) Membuat rencana pembelajaran beserta
skenario. (b). Menyiapkan fasilitas dan sarana pendukung yang
diperlukan. Hopkin (1993) mengemukakan beberapa kriteria PTK
yang perlu dilakukan oleh guru. Kriteria itu sebagai berikut.
(1) Pekerjaan guru adalah mengajar. Oleh karena itu
metodologi penelitian yang dilaksanakannya tidak boleh
menggangggu komitmen guru dalam mengajar. Guru
tidak boleh mengorbankan siswa untuk penelitian yang
sedang dilaksanakannya.
(2) Dalam mengumpulkan data atau perekaman data
jangan sampai menyita waktu.

84
(3) Metodologi yang diterapkan hendaknya handal,
sehingga guru memungkinkan pengembangan strategi
pembelajaran yang sesuai dengan kmondisi kelas.
(4) Masalah yang ditangani guru hendaknya sesuai
dengan kemampuan dan komitmen guru.
(5) Guru harus memperhatikan etika dan aturan yang
terkait dengan tugas-tugasnya.
(6) PTK harus mendapat dukungan dari masyarakat
sekolah.

5.2.5 Observasi dan Interpretasi


Kegiatan pelaksanaan perbaikan merupakan tindakan pokok
dalam siklus PTK. Pada saat kegiatan pelaksanaan, juga diikuti
oleh kegiatan observasi dan interpretasi serta diikuti dengan
kegiatan refleksi. Penggabungan pelaksanaan tindakan dengan
kegiatan observasi-interpretasi perlu dicermati, karena hal itu
merupakan ciri khas PTK. Observadi dibedakan antara observasi
yang berinferensi rendah yaitu observasi yang tidak perlu disertai
interpretasi. Ada pula observasi yang justu perlu delakukan secara
bersamaan dengan interpretasi, yaitu obseryasi yang berinferensi
tingggi. Perlu dirancang mekanisme perekaman hasil observasi
yang tidak mencampuradukkan fakta dengan interpretasi. Ada lima
prinsip dasar atau karakteristik kunci observasi, yaitu: (1)
Perencanaan bersana; (2) Fokus; (3) Membangun kriteria; (4)
Keterampilan observasi; (5) Balikan.
Dilihat dari cara melakukannya, observasi dapat dibedakan
menjadi (1) Observasi terbuka, yaitu pengamat tidak
menggunakan lembar observasi, melainkan hanya menggunakan
kertas kosong untuk merekam pelajaran yang diamati. (2)
Observasi terfokus, secara khusus ditujukan untuk mengamati
aspek-aspek tertentu dari pembelajaran. (3) Observasi terstruktur,
yaitu observasi yang menggunakan instrumen observasi yang
terstruktur dan siap pakai, sehingga pengamat hanya tinggal
membubuhkan tanda (V) pada tempat yang disediakan. (Observasi

85
sistematik, observasi yang lebih rinci dari obseravasi terstruktur
dalam kategori data yang diamati.

5.2.6 Diskusi Balikan


Diskusi balikan dilakukan setelah pertemuan berakhir.
Diskusi balikan sebaiknya diselenggarakan sesegera mungkin,
lebih cepat lebih baik, tidak lewat 24 jam. Kegiatan yang dilakukan
dalam diskusi balikan adalah guru dan pengamat berbagi segala
informasi yang dapat dikumpulkan pada saat melakukan
pengamatan. Bahkan jika dipandang perlu peneliti dapat
mengambil tindakan lebih lanjut. Dalam diskusi balikan perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Dilakukan sebelum 24 jam setelah observasi.
2) Digelar dalam suasana yang saling membantu dan tidak
menimbulkan ancaman.
3) Bertolak dari rekaman data yang diuat oleh pengamat.
4) Diinterpretasikan bersama-sama oleh aktor tindakan
perbaikan dan pengamat dengan kerangka pikir tindakan
perbaikan yang tengah digelar.
5) Pembahasan mengacu pada penetapan sasaran dan
penegmbangan strategi perbaikan untuk menentukan
perencanaan berikutnya.
Hopkins (1993) menyatakan bahwa dalam diskusi balikan
perlu memperhatikan beberapa prinsip berikut. Pertama, hubungan
antar guru dengan pengamat harus didasari rasa saling percaya.
Kedua, fokus kegiatan pengamatan harus sesuai dengan tujuan
perbaikan an mendorong strategi yang diterapkan, bukan pada
kritik pada perilaku guru yang dianggap tidak sesuai. Ketiga,
proses didasarkan pada pengumpulan dan pemanfaatan data
observasi, bukan pada kegagalan atau kritik terhadap perilaku
guru yang dianggap tidak sesuai. Keempat, guru hendaknya
didorong untuk menarik kesimpulan tentang pembelajaran yang
dikelolanya dari data yang dikumpulkan. Kelima, Setiap tahap
opservasi merupakan proses yang berlanjut, yang satu selalu

86
bertumpu pada yang lain. Keenam, guru dan pengamat bersama-
sama terlibat dalam proses pertumuhan profesional yang saling
menguntungkan.

5.2.7 Analisis Data dan Refleksi


Analisis data hendaknya dilakukan secara bertahap, Tahap-
tahap analisis data itu ialah pertama menyeleksi dan
mengelompokkan, kedua dengan memaparkan atau
mendeskripsikan data, dan terakhir menyimpulkan atau memberi
makna. Dalam menyeleksi atau mengelompokkan data sering juga
diseut dengan reduksi data. Reduksi data adalah proses
penyederhanaan yang dilakukan melalui seleksi, pemfokusan dan
pengabstraksian data mentah menjadi informasi yang bermakna.
Paparan atau deskripsi data adalah bentuk paparan naratif,
representasi tabuler termasuk dalam format matriks, representasi
grafis, tabel dan sebagainya. Penyimpulan adalah proses
pengambilan intisari dan sajian data dalam bentuk pernyataan
kalimat atau formula yang singkat dan padat, tetapi mengandung
pengertian luas.
Refleksi dalam penlitian tindakan kelas adalah upaya untuk
mengkaji aapa yang telah terjadi, atau apa yang tidak terjadi dalam
proses pembelajaran yang telah dituntaskan atau yang belum
dituntaskan oleh tindakan perbaikan yang telah dilakukan. Hsil
refleksi digunakan untuk menetapkan langkah lebih lanjut dalam
penelitian tindakan kelas unuk mencapai tujuan PTK. Refleksi
merupakan pengkajian atau kegagalan dalam mencapai tujuan
sementara dan untuk menentukan tindak lanjut dalam rangka
mencapai tujuan akhir yang mungkin ditetapkan dalam
pencapaian tujuan sementara lainnya.
Proses refleksi melalui analisis dan sintesis, serta induksi
dan deduksi. Analisis dilakukan dengan cara merenungkan
kembali kejadian-kejadian atau peristiwa yang menyebabkan
sesuatu yang diharapkan atau idak diharapkan oleh peneliti. PTK
yang dilakukan secara kolaboratif dalam refleksi hendaknya

87
dilakukan secara kolaboratif pula. Kerja sama yang baik dengan
sejawat dalam PTK sangat diperlukan, karena dengan adanya kerja
sama akan saling mengisi, saling belajar untuk kemajuan
pembelajaran.

5.2.8 Perencanaan Tindak Lanjut


Tujuan PTK adalah untuk melakukan perbaikan dalam
pembelajaran. Melalui analisis dan refleksi dapat ditentukan proses
belajar-mengajar itu telah berhasil atau belum. Hasil analisis data
dan refleksi menentukan tindak lanjut dalam PTK. Jika hasil PTK
belum memberikan perbaikan, maka PTK harus dilanjutkan pada
siklus berikutnya. Jumlah siklus dalam PTK tidak dapat ditentukan
sebelumnya, karena dalam tujuannya mengadakan perbaikan.
Perbaikan tidak dapat diprediksi sebelumnya, dapat tercapai pada
siklus berapa.
Dalam suatu PTK mungkin dalam satu siklus sudah dapat
menemukan tindakan perbaikan.Aapabila terjadi seperti itu
penelitian dapat dilakukan dalam satu siklus. Namun apabila
masalah dalam PTK belum ditemukan, harus dilanjutkan pada
siklus-siklus berikutnya, dengan langkah-langkah yang sama, yaitu
perumusan masalah, perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan,
observasi dan interpretasi, serta analisis data dan refleksi. Siklus
PTK berakhir jika tindakan perbaikan telah dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ardiana, Leo Idra dan Kisyani-Laksono. 2004. Penelitian


Tindakan Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Direktorat Ketenagaan. 2006. Pedoman Penyusunan Usulan dan


Laporan Pengembangan dan Peningkatan Kualitas

88
Pembelajaran dei LPTK (PPKP) untuk Tahun Anggaran
2007. Jakarta: Depdiknas.

Hopkins, David. 1993. A Teachers’s Guide to Classroom


Research. Buckingham: Open University.

Joni,T. Raka. (ed). 1998. Penelitian Tindakan Kelas. Nagian


Kedua: Prosedur Pelaksanaan. Jakarta: Proyek
Pengemabangan Guru Sekolah Menengah, Dirjen Dikti.

Nur, Muhammad. (2001). “Penelitian Tindakan Kelas”. Kumpulan


Makalah Teori Pembelajaran MIPA. Surabaya: PSMS
Universitas Negeri Surabaya.

Nur, Muhammad. (2001). “Penelitian Tindakan Kelas (Konsep


Dasar dan Langkah-Langkah PTK)”. Kumpulan Makalah
Teori Pembelajaran MIPA. Surabaya: PSMS Universitas
Negeri Surabaya.

Wardani, I.G.A.K. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta:


Universitas Terbuka.

89
Contoh Karya Ilmiah

STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA


SISWA TUNARUNGU (SLB-B)

A. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri.
Manusia hidup berkelompok, dan saling berinteraksi di antara
anggota kelompok, dengan kelompok lain. Untuk berinteraksi
manusia memerlukan bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa
tulis. Dalam berkomunikasi dan berinteraksi unsur pancaindera
mempunyai peranan yang penting, terutama penglihatan dan
pendengar. Unsur di luar pancaindera yang juga memegang peran
penting adalah alat ucap manusia. Dalam bahasa lisan ketiga
unsure itu tidak dapat ditinggalkan.
Hambatan penguasaan unsur bahasa akan mengganggu
proses berinteraksi. Hambatan dalam bahasa tulis adalah buta
huruf, dan buta dalam hal penglihatan. Untuk kedua hambatan itu
harus dapat diatasi oleh manusia, agar dapat berinteraksi secara

90
baik.. Masalah buta huruf dapat diatasi dengan mendirikan kursus-
kursus membaca, dan dapat pula melalui lembaga
pendidikan.Untuk mengatasi buta dalam hal penglihatan, telah
diciptakan huruf braille. Namun untuk mengatasi hambatan dalam
hal alat ucap (tuna wicara) dan pendengaran (tuna rungu) lebih
rumit dibanding dengan hambatan dalam penglihatan. Oleh karena
itu di lembaga pendidikan umum, khususnya perguruan tinggi,
dapat dijumpai mahasiswa tuna netra, tetapi tidak pernah dijumpai
mahasiswa tuna rungu dan wicara. Berkomunikasi dengan tuna
rungu dan tuna wicara lebih sulit dibanding berkomunikasi dengan
tuna netra.
Pada umumnya, penderita tuna rungu (termasuk tuna
wicara) mengalami keterlambatan penanganan, terutama oleh
orang tua. Kebanyakan orang tua, tidak siap menghadapi
kenyataan ketika anak mereka mengalami cacat dalam
pendengaran, atau mengalami kelainan alat ucap. Di samping itu,
lembaga pendidikan yang menangani penderita tunarungu dan
bentuk tuna yang lain jumlahnya sangat sedikit. Tidak di setiap
daerah ada. Bagi masyarakat yang kurang mampu, memasukkan
penderita ke SLB yang tempatnya cukup jauh merupakan beban
yang cukup berat. Akibatnya anak mereka tidak tertangani secara
wajar. Mereka berkomunikasi dengan simbol-simbol yang
diciptakan oleh orang tua itu sendiri. Akibat lebih lanjut, penderita
tuna rungu miskin kosa kata, dan miskin imajinasi. Padahal apabila
sejak dini mereka ditangani, mereka dapat hidup mandiri seperti
manusia normal.
Menurut Deadon (dalam Bintoro, 200:26) ada dua situasi
yang dialami tuli prabahasa semasa kecilnya. Pertama,
terhalangnya komuniksi dua arah antara anak dan orang tua.
Kedua, reaksi orang tua setelah mendapat kepastian bahwa anak
kandungnya menderita tuna rungu. Kebanyakan orang tua akan
menunjukkan reaksi sedih, kaget, marah, malu, dan bersalah.
Situasi seperti itu akan mengganggu perkembangan jiwa, dan
perkembangan kepribadian anak. Tunarungu menyebabkan

91
keterasingan, distansi dan berkurangnya kontak dengan keadaan
sekeliling. A. Van Uden (dalam Bintoro, 200:27) menyatakan
bahwa karena dunia penghayatannya yang lebih sempit, anak
tunarungu lebih terarah pada dirinya sendiri. Mereka sukar
menempatkan diri pada cara berpikir dan perasaan orang lain, dan
kurang peduli terhadap efek perilakunya terhadap orang lain. Anak
tunarungu dalam tindakannya dikuasai perasaan dan pikirannya
secara berlebihan. Mereka juga sukar menyesuaikan diri.
Bahasa yang dimiliki anak berawal dari dirinya sendiri,
berkisar pada akunya sendiri (Uden, dalam Bintoro, 200:27).
Akibat dari cacat pendengarannya, perkembangan bahasa anak tuna
rungu sangat lamban, bahasa yang dikuasai lebih lama berkisar
pada dirinya sendiri. Plato menyatakan bahwa segala yang ada di
dunia ini merupakan kenyataan tertinggi yang ada di dunia
gagasan. Untuk memahami sesuatu, seseorang harus punya konsep
di dunia gagasannya. Konsep yang dimiliki oleh seseorang
berkaitan dengan penguasaan kosa kata, karena pada hakikatnya
berpikir pun memakai bahasa. Akibat kemisikinannya pada kosa
kata, anak-anak tuna rungu menjadi miskin konsep, fantasi, dan
imajinasi. Oleh karena itu pemahaman dunia sekitar pun menjadi
terbatas.
Tujuan pengajaran wicara bagi anak tunarungu adalah
membina anak didik agar memiliki kemampuan atau keterampilan
menerima, mengolah, menyimpan, dan mengekspresikan bahasa
dalam bentuk wicara sehingga mereka dapat mencapai taraf hidup
yang lebih tinggi, dapat berdialog dengan dirinya sendiri, dengan
masyarakat, dan dengan masalah yang dihadapinya (Depdikbud,
2000:37). Untuk berdialog dengan masyarakat, penderita
tunarungu tidak dapat memanfaatkan SIBI (Sistem Isyarat bahasa
Indonesia) yang banyak dikuasai oleh tunarungu yang mengenyam
pendidiakn formal, karena hanya orang-orang tertentu saja yang
memahami SIBI. Satu-satunya cara untuk dapat berinteraksi
dengan masyarakat, penderita tunarungu menggunakan sistem
komunikasi yang dipakai oleh masyarakat itu sendiri.

92
Agar penderita tunarungu dapat berperan aktif di tengah
masyarakat, penguasaan bahasa perlu mendapat prioritas utama.
Sesuai dengan keterbatasan yang dimiliki, penguasaan bahasa lisan
tidak dapat diharapkan sepenuhnya pada penderita tunarungu. Oleh
karena itu harus ditunjang dengan penguasaan lain yang
mendukung penguasaan bahasa. Kekurangmampuan dalam bahasa
lisan dapat diimbangi dengan kelebihan dalam bahasa tulis. Oleh
karena itu penguasaan kosa kata dan bahasa tulis bagi anak
tunarungu perlu mendapat perhatian. Yang menjadi masalah
bagaimanakah cara meningkatkan kemampuan berbahasa bagi
penderita tunarungu? Peningkatan kemampuan berbahasa inilah
yang menjadi fokus dalam pembahasan ini.

B. Kondisi Anak Tunarungu


Tunarungu adalah istilah yang menggambarkan keadaan
kemampuan dengar yang kurang atau tidak berfungsi secara
normal, sehingga tidak mungkin lagi diandalkan untuk belajar
bahasa dan wicara tanpa dibantu dengan metode dan peralatan
khusus (Depdikbud, 2000: 3). Akibatnya tunarungu akan
mengalami kemiskinan bahasa, terutama tunarungu prabahasa..
Kemiskinan yang dialami anak tunarungu di bidang
bahasa, di samping kemiskinan kosakata juga kemiskinan
gramatika. Pola S + P dalam kalimat bahasa Indonesia dalam
praktiknya jarang ditaati oleh mereka. Bentuk sapaan ”Bapak
Shoim!” atau ”Ibu Darni!”, dalam praktik penderita tunarungu
dapat berubah menjadi ”Shoim Bapak!” dan ”Darni Ibu!”. Kalimat
”Kucing makan tikus.” dapat berubah ”Tikus makan kucing.”. Bagi
penderita tunarungu, unsur S+P dalam kalimat bahasa Indonesia itu
tidak begitu dipahami. Bagi mereka yang mendapat porioritas
utama dalam menyusun kalimat adalah bagian yang berkaitan
langsung dengan pokok pembicaraan. Kebanyakan mereka
menganggap kalimat berupa urutan kata-kata, bukan urutan frasa,
sehingga mereka sering mengabaikan kaidah gramatika.. Jika

93
mereka lapar dan ingin makan, yang berkaitan langsung dengan
dirinya adalah lapar, maka dia akan mengucapkan ”Lapar saya.”,
bukan ”saya lapar.”.
Apabila diperhatikan, penderita tunarungu mempunyai
beberapa tingkatan. Boothroyd (1982 membedakan tunarungu
menjadi Kehilangan Pendengaran dan Gangguan Proses
Pendengaran seperti bagan 1 berikut:

BAGAN
KETUNARUNGUAN
(Hearing Impairment)

KEHILANGAN PENDENGARAAN GANGGUAN PROSES


PENDENGARAN
Hearing Lost Auditory Process Disorder
(Gangguan mendeteksi bunyi) (Gangguan menafsirkan pola-pola bunyi)

Total Nyata/Sangat berat Berat*) Sedang Ringan


Total Profound Severe Moderate Mild

Tuli
kurang dengar

94
Pembagian Total, Nyata, Berat, Sedang, Ringan berdasarkan
pengukuran ambang pendengaran deciBell
*) Tingkat kehilangan Berat bisa digolongkan tuli dan kurang
dengar tergantung pemakaiamABM (alat bantu mendengar)
**) Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat di lampiran 1

Sesuai dengan bagan di atas, tunarungu dibedakan


menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Kehilangan Daya Dengar
dan kelompok Gangguan Proses Pendengaran. Kelompok
kehilangan daya dengar mengacu pada gangguan dalam deteksi
bunyi. Gangguan itu dinyatakan dalam deciBell. Kelompok
Gangguan Proses Pendengaran adalah mereka yang mengalami
gangguan dalam menafsirkan bunyi.
Boothroyd (dalam Bintoro dan santosa, 2000:5) membagi
tunarungu menjadi dua kelompok: Kehilangan daya dengar
(hearing loss) dan kelompok Gangguan Proses Pendengaran
(Auditory Processing Disorder). Berdasarkan sejauh orang dapat
memanfaatkan (sisa) pendengarannya dengan/tanpa bantuan
amplikasi oleh ABM dapat dibedakan menjadi: Kurang Dengar
(Hard of Hearing), Tuli (Deaf), tuli total (totally Deaf).
Kurang dengar (Hard of Hearing) adalah mereka
yangmengalami gangguan dengar, namun masih dapat
menggunakannya sebagai sarana/modalitas utama untuk
menyimak suara cakapan seseorang dan mengembangkan
kemampuan bicaranya. Tuli (deaf) adalah mereka yang
pendengarannya sudah tidak dapat digunakan sebagai sarana
utama guna mengembangkan kemampuan bicara, namun masih
dapat difungsikan sebagai suplemen (bantuan) pada penglihatan
dan perabaan. Tuli total (Totally Deaf) adalah mereka yang sama
sekali tidak memiliki pendengaran sehingga tidak dapat digunakan
untuk menyimak dan mengembangkan bicara.

95
Berdasar tingkat kehilangan kemampuan dasar, tunarungu
dapat dibagi atas tuli dan kurang dengar atau pekak. Tuli adalah
mereka yang kehilangan kemampuan dengar 90 dB atau lebih.
Kurang dengar atau pekak adalah mereka yang kehilangan
kemampuan dengar kurang daro 90 dB. Golongan kurang dengar
dibedakan: (a) kurang dengar ringan, yaitu mereka yang kehilangan
kemampuan dengar antara 30-50 dB; (b) kurang dengar sedang
bagi mereka yang kehilangan kemampuan dengar 50 – 70 dB;
dan kurangdengar berat bagi mereka yang kehilangan kemampuan
dengar 70 – 90 Db (Depdikbud, 2000:4). Pembagian itu
merupakan pembagian secara Global. Pembagian A. van Uden
lebih rinci dibanding pembagian Depdikbud. Menurut van Uden
(dalam Bintoro, 2000: 8) kurang dengar ringan mereka yang
kehilangan 15 – 30 dB, kurang dengar sedang kehilangan 31 – 60
dB, kurang dengar berat kehilangan kemampuan dengar 61 – 90
dB, kurang dengar berat kehilangan 91 – 120dB, total kehilangan
121 atau lebih. Pembagian tunarungu menurut van Uden yang lebih
rinci dapat dilihat pada bagan 2
Berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan, A. van Uden
membagi menjadi Tuli Pra-Bahasa (Prelingually Deaf) dan Tuli
Purna-Bahasa (Postlingually Deaf). Tuli Pra-bahasa yaitu
penderita tuli yang menderita tuli sebelum menguasai bahasa (usia
di bawah 1, 6 tahun). Tuli Purna Bahasa yaitu penderita tuli
setelah menguasai suatu bahasa, telah menerapkan dan memahami
sistem lambang di lingkungannya.

1. Proses Bicara Balita


Balita untuk dapat berbicara melalui beberapa tahap. Berry
dan Eisenson (dalam Depdikbud, 2000: 26-27) menyatakan bahwa
ada beberapa tahap perkembangan wicara bayi. Pada saat bayi
baru lahir, semua aktivitasnya termasuk menangis, menggerakkan
kaki dan tangan tanpa disadari oleh bayi itu sendiri. Tahap ini
disebut tahap refeleksi vokalisasi. Gerakan dan aktivitas yang
dilakukannya berdasarkan naluri dan refleksi. Ia tidak menyadari

96
bahwa ia punya tangan dan kaki. Ia juga tidak menyadari
gerakannya itu untuk apa. Perkembangan berikutnya tampak pada
akhir minggu ketiga. Pada saat ini tangisan bayi sudah dapat
dibedakan, antara tangisan lapar, ngompol, atau kesakitan. Ibu bayi
biasanya mengenali lebih dulubentuk tangisan itu. Namun bentuk
tangisan itu masih bersifat releks.
Pada umur dua bulan bayi sudah mulai meraban. Ia
membuat berbagai bunyi. Ia bermain-main dengan bunyi yang
dibuatnya sendiri. Bunyi-bunyi yang dibuat lebih dulu adalah bunyi
vokal. Bunyi vokal lebih mudah dibuat, karena posisi vokal tidak
begitu sulit dalam menempatkan posisi alat ucap. Tahap ini disebut
tahap Babbling. Tahapini Pada tahap lalling, yaitu bayi sudah
berumur sekitar tujuh bulan, ia sudah menyadari suara-suara yang
dibuat. Pendengaran bayi pun sudah mulai berperan. Fungsi
sensoris dalam hal ini pendengaran, dan fungsi motoris
(mengeluarkan suara) mulai berkembang secara terpadu. Bunyi-
bunyi yang dibuat didengarnya kembali. Ia merasakan kepuasan.
Oleh karena itu ia mengulanginya kembali dan menirukan suaranya
sendiri. Setelah memiliki kemampuan menirukan suaranya sendiri,
bayi mulai mempersiapkan diri menirukan suara yang didengar dari
lingkungannya. Untuk bayi tuna rungu hal itu tidak dapat terjadi.
Fungsi sensorisnya tidak berfungsi. Fungsi motorisnya pun menjadi
timpang. Ia tidak mendapatkan kepuasan karena tidak mendengar
suaranya sendiri. Oleh karena itu fungsi motorisnya menjadi pasif.
Perkembangan bayi normal berikutnya adalah
mempersiapkan diri menirukan suara yang didengarnya dari
lingkungan. Akibat sensorisnya yang tidak berfungsi, bayi
tunarungu tidak mendapatkan rangsangan suara dari
lingkungannya. Hal itu membuat bayi yang biasanya peka
terhadap suara itu tidak pernah dapat bereaksi dengan lingkungan.
Ia tidak dapat merasakan nyamannya suara lembut dan merdu
dari ibu yang meninabobokannya, dalam hal ini bayi akan
mengalami dua kerugian. Pertama, iaakan mengalami
”kemiskinan” kosakata. Kedua perasaan bayi tidak pernah diasah

97
oleh kata-kata lembut, mesra, dan rasa sayang. Hal itu akan
berpengaruh ketika bayi menjadi dewasa.Bayi mulai meniru suara
yang didengarnya dari lingkungan ketika menginjak umur
sembilan atau sepuluh bulan, dan mulai bicara pada usia antara 12
sampai 18 bulan. Namun hal itu tentu tidak akan terjadi pada anak
tunarungu

2. Perkembangan Kejiwaan Anak Tunarungu


Kemiskinan bahasa berpengaruh terhadap perkembangan
kejiwaan anak tunarungu. Bagi anak yang mempunyai pendengaran
normal, dapat merasakan kasih sayang ibu melalui kontak visual,
taktil, dan pendengaran. Menurut Marschark (dalam Bintoro, 1993)
kontak bayi melalaui pendengaran terhadap ibunya sudah dimulai
sejak bayi dalam kandungan. Sejak dalam kandungan, bayi yang
berpendengaran normal mampu mendengar suara ibu, dan terjadi
relasi antara ibu dan anak. Ketika bayi lahir, suara ibu telah dikenal
dan dapat menenteramkan dan menyejukkan hatinya. Hal ini tidak
terjadi pada bayi tunarungu. Seharusnya, kalau orang tua tahu
bayinya tunarungu sejak bayi, dapat diimbangi dengan bentuk
kasih sayang yang lain, seperti perabaan dan pandangan mata.
A.van Uden (dalam Bintoro, 2000:27) menyatakan bahwa
anak tunarungu mempunyai sifat ego-sentris yang lebih besar
daripada anak mendengar. Hal itu disebabkan dunia penghayatan
mereka lebih sempit, penghayatan lebih terarah pada dirinya
sendiri. Mereka sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan
perasaan orang lain, kurang menyadari efek perilakunya terhadap
orang lain. Tindakannya dikuasai perasaannya dan pikirannya
secara berlebihan. Mereka juga sukar menyesuaikan diri.
Kemampuan bahasa yang terbatas membatasi kemampuan mereka
dalam mengintegrasikan pengalaman, dan makin memperkuat sifat
egosentris mereka.
Penderita tunarungu juga memiliki sifat impulsif.
Tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan yang hati-hati dan
jelas. Mereka tidak mengantisipasi akibat yang dapat ditimbulkan

98
oleh tindakannya. Apa yang diinginkan, segera harus dipenuhi.
Mereka sulit menunda pemuasan untuk jangka panjang. Menurut
van Uden (2000) hal itu disebabkan oleh kemampuan bahasa
mereka yang terbatas. Mereka kurang mempunyai konsep tentang
relasi (hubungan). Segala sesuatu yang mengandung pengertian
relasi seperti hubungan waktu dan keluarga kurang dimengerti
oleh mereka. Kemiskinan bahasa yang menyebabkan mereka
kurang mengerti tentang relasi. Bunyi (bahasa) yang
menghubungkan antara benda dan manusia tidak mereka miliki.
Akibat lain dari kemiskinan anak tunarungu mereka
bersifat kaku, kurang luwes. Di samping itu juga lekas marah dan
mudah tersinggung akibat kurang dapat memahami perkataan
orang lain. Mereka juga memiliki sifat ragu-ragu dan khawatir,
sikap ketergantungan, polos, dan mengalami perkembangan fantasi
yang lamban.

C. Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia Anak Tunarungu


Strategi adalah metode spesifik dari pendekatan masalah
atau tugas mode operasi untuk meraih fakta-fakta, merancang
disain untuk mengontrol dan memanipulasi informasi tertentu
(Brown,2000:111). Strategi berbeda denagn gaya. Gaya mengarah
pada konsisten dan kecenderungan yang berlangsung terus, atau
pilihan dalam individu. Gaya adalah karakteristik umum dari
fungsi intelektual sebagai individu, yang membedakan dengan
orang lain.
Apabila dibanding dengan nanak-anak normal, rata-rata
kemampuan intelektual anak tunarungu berada di nawah anak-anak
normal. Beberapa guru di SLB-B Karya Mulia dan SLB-B Diknas
menyatakan bahwa secara teori, kemampuan anak-anak tunarungu
berada dua tahun di bawah anak normal. Anak-anak kelas 3
SMALB-B, setingkat dengan anak-anak kelas 1 di sekolah umum
(normal). Namun dalam kenyataannya kemampuan anak kelas 3
SMA menurut mereka sejajar dengan anak kelas 2 sekolah umum
(normal).

99
Untuk belajar bahasa yang baik, kebanyakan anak
tunarungu baru bisa mendapatkannya di sekolah. Hal itu berbeda
dengan anak normal yang telah belajar berkomunikasi dengan
ibunya sejak dalam kandungan. Kondisi semacam itu membuat
anak tunarungu kehilangan banyak kesempatan dalam membangun
kosakata, imajinasi, dan adaptasi dengan lingkungan. Di rumah,
orang tua yang tidak paham dan tidak siap menangani penderita
tunarungu mendidik penderita dengan kemampuannya yang
terbatas. Tidak mustahil mereka menciptakan sistem isyarat sendiri
yang tidak sesuai dengan Sistem Isyarat bahasa Indonesia (SIBI)
Berbeda dengan anak-anak normal pembelajaran wicara
anak rungu diawali dengan cara menciptakan suara. Munculnya
suara disebabkan oleh adanya getaran udara. Agar anak tunarungu
sadar bahwa ada suara yang diakibatkan oleh getaran udara,
mereka dilatih pernapasan. Di samping itu ada pula latihan
membantu kesadaran letak titik artikulasi, dan latihan
mengembangkan feed back visual. (Dikbud, 2000:67). Latihan
pernapasan biasanya dilakukan dengan meniup baling-baling
kertas, bola pingpong, terompet, harmonika pianika. Spatel (alat
untuk penekan lidah) dipakai untuk membantu kesadaran letak
titik artikulasi, sedang latihan untuk mengembangkan feed back
visual memakai cermin. Untuk latihan wicara, perlu adanya ruang
khusus.
Evaluasi terdiri atas evaluasi awal, dan evaluasi hasil
belajar. Evaluasi awal dilakukan untuk mendiagnosa keadaan awal
kesulitan-kesulitan dalam belajar sehingga dapat menentukan
sikap yang tepat untuk memulai latihan dan melakukan tindakan
terapi secara tepat pula. (Dikbud, 2000:57). Sasaran evaluasi awal
adalah anatomi dan fisiologi alat-alat wicara yang meliputi: (10
keadaan bibir dan pergerakannya; (2) keadaan rahang dan gigi serta
pergerakan rahang; (3) keadaan lidah dan pergerakannya;
(4)keadaan langit-langit keras dan pelatum; (5) keadaan langit-
langit lunak atau velum dan pergerakannya.

100
Sistem komunikasi tunarungu adalah komunikasi oral
(lisan), manual (isyarat), dan komunikasi total (komtal). Sistem
lisan bisa digunakan komunikasi tunarungu dengan masyarakat,
meskipun masih kurang efektif. Sistem isyarat lebih cocok
digunakan oleh sesama penderita tunarungu, karena tidak banyak
masyarakat di luar tunarungu yang memahami sistem isyarat
tersebut. Yang paling efektif untuk berkomunikasi dengan
masyarakat bagi penderita tunarungu adalah komunikasi total.
Dalam komunikasi total, semua anggota tubuh dapat menunjang
komunikasi.
Pembelajaran bahasa bagi anak tunarungu dapat dilakukan
di lembaga formal dan nonformal. Lembaga formal dapat
dilakukan di sekolah-sekolah, sedang pembelajaran pemerolehan
bahasa non formal dapat dilakukan di rumah dan di lembaga non-
sekolah.

Pembelajaran formal bagi anak tunarungu adalah


pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan formal seperti
sekolah. Pembelajaran dengan media film/TV dapat dimasukkan ke
dalam pembelajaran formal dan non formal. Termasuk
pembelajaran formal apabila media itu dipakai guru untuk
mengajar di dalam kelas. Termasuk pembelajaran nonformal
apabila pembelajaran itu ditayangkan di media TV seperti yang
sering ditayangkan di TVRI pada pagi hari (TV-E). Berikut ini
gambaran kemampuan anak-anak kelas IV SDLB dalam
mengarang berdasarkan gambar.
sampah jatuh kotor
sapi makan mencari ikan
anak-anak sampah harus rajin
anak-anak mengambil sampah
Bapak marah-marah boleh sampah anak-anak malas
pemepaan sapu sampah Bau kotor
laki-laki membawa sampah
anak-anak cepat Bapak marah-marah
anak-anak membaca belajar rajin

101
teman bermain senang makan dan minum
laki-laki sombong kamu mengapa Bapak laki-laki bermain
bola
(Yuliati, 2001:106).

1. Strategi Pembelajaran Perolehan Bahasa Kelas Awal


Pembelajaran untuk kelas awal pada siswa tunarungu
diarahkan pada pembentukan fonem. Untuk menyadarkan kepada
siswa bahwa ada suara yang diakibatkan oleh udara yang bergetar,
siswa dilatih pernapasan dengan meniup balon, baling-baling,
terompet, harmonika, lilin dan sebagainya. Setelah itu siswa dilatih
melafalkan fonem. Sadjaah dan Sukarja (1995:67) menyusun
sistematika pembelajaran wicara siswa tunarungu sebagai berikut.
1. Dasar ucapan fonem
2. Pembentukan
3. Cara melatih:
a. Titik tolak
b. Cara melatih
(1) secara visual
(2) secara auditoris
(3) suara haptik
c. Penilaian dan tindak lanjut
d. Kesalahan yang sering terjadidan cara
memperbaikinya

Penerapan
Fonem t
1. Dasar Ucapan: lengkung kaki gigi atas dan ujung lidah
2. Pembentukan : Ujung lidah menekan lengkung kaki gigi
atas, pinggir lidah menekan alur kaki gigi atas sehingga
aliran nafas pada rongga mulut tertahan. Bibir terbuka
sedikit, gigi-gigi hampir tertutup, rongga mulut menyempit,
lidah tegak.
3. Cara melatih:

102
a. Titik tolak
 Adakan percakapan mengenai kejadian hari itu, gambar,
atau apa saja yang dapat menjadikan anak rileks, dan
menemukan fonem t, misal pada kata: tas, tikus, takut,
tujuh, tua. Tuliskan kata-kata tersebut pada sebuah
kertas. Beri garis suku kata yang terdapat fonem t.
 Ucapkan secara global ”tas”. Suruh anak menirukannya!
 Amati ucapan anak.
b. Cara melatih
(1) Secara Visual
 Ajak anak memperhatikan lidah dan bentuk bibir guru
pada cewrmin, kemudian suruh anak menirukannya
 Ucapkan ”tas” kemudian anak suruh meniru.
 Tulis suku kata ta,ti, tu, te, to’ kemudian ajak anak
meraban:
ta ta ta ta taaaaaaaaaa taaaaaaaaaaa taaaaaaaa
to to to to toooooooo toooooooooo
toooooooo
ti ti ti ti tiiiiiiiiiiiiiii tiiiiiiiiiiiiiiiiii
tiiiiiiiiiiiiii
(2) Secara auditoris
 Gunakan suara keras dan lebih keras lagi, gunakan
speech trainer, ABM anak.
 Ajak anak merasakan getaran sambil meraban
 Bila sudah ada reaksi terhadap bunyi, lalu ucapkan kata
secara global, anak menirukannya
(3) Secara Haptik
 Ajaklah anak merasakan udara meletup yang keluar dari
mulut denagn ujung jarinya.
 Beri kesempatan anak untuk mencoba,
sambilmelakukan guru menyilangkan tangan ke mulut
anak, tangan anak ke mulut guru untuk mengontrol
letupan
 Lakukan latihan pernapasan

103
c Penilaian dan tindak lanjut
 Penilian dilakukan selama proses KBM berlangsung
 Suruh anak mengucapkan kembali kata-kata yang dilatih
 Suruh anak banyak mengucapkan kata yang mengandung
fonem t

Pembelajaran pemerolehan bahasa dapat mempergunakan


berbagai macam strategi. Strategi pembelajaran adalah proses
mental yang digunakan pembelajar untuk mempelajari dan
menggunakan bahasa sasaran (Nunan dalam Azies dan Alwasilah,
2000:33). Strategi pembelajaran bersifat pribadi, berbeda dari satu
individu dengan individu lainnya, karena merupakan proses mental
yang tidak tampak. Purbaningrum dan Yuliati (2006:72) membuat
strategi menulis bagi siswa tunarungu yaitu strategi pada tahap
pramenulis dan strategi pengajaran pada saat menulis. Strategi
yang dimanfaatkan dalam tahap menulis yaitu: curah pendapat,
pengamatan, dan pemetaan.

Curah pendapat merupakan salah satu cara yang baik dalam


membangkitkan skemata siswa, yaitu strategi yang memasukkan
tahapan:1) memilih topik, (2) mendaftar dengan cepat kata dan
frase, (3) menemukan hubungan ide-ide dalam daftar dan tidak
memberikan penilaian salah satu benar pada ide tersebut
(Tompkins dalam Purbaningrum dan Yuliati,2006:72). Strategi
pengamatan adalah strategi yang dipakai untuk mendapatkan
informasi melalui panca indera yang meliputi pendengaran,
penglihatan, penciuman, pencecapan, dan perabaan. Namun dengan
keterbatasan penderita tunarungu, unsur pendengaran tidak bisa
memanfaatkan dengan efektif

2. Strategi Pengklusteran

Strategi yang lain dalam pembelajaran menulis adalah


Pengklusteran Pemetaan. Ide-ide dalam kluster disusun dalam
bentuk lingkaran dan dihubungkan dengan garis penghubung.

104
Strategi Pengklusteran Pemetaan melalui beberapa tahap:
pemilihan topik, menuliskan topik di tengah, melingkari topik dan
menambahkan ide pokok di sekitar topik dalam bentuk lingkaran,
menambahkan rincian pada tiap-tiap ide utama. Pengklusteran
mirip dengan kerangka karangan, namun aktivitas pengklusteran
lebih menyenangkan dan bermakna. Berikut ini contoh
pengklusteran pemetaan:

Kluster Pertanyaan
Siapa Apa

Kapan
Topik

Bagaimanana Dimana

Mengapa

Kluster Cerita

Awal Inti
CERITA

Akhir
Dimana
Apa yang nampak hidupnya
Kluster Reportase

105
BINATANG

Apa Makanannya

Apa kekhususannya
Bagaimana mereka
Melindungi diri

Kluster Panca Indera

Mengamati Merasakan

Meraba
Mencium TOPIK

Mendengar

Strategi pengajaran pada tahap saat menulis dapat menerapkan


strategi permodelan dan strategi konferen individu. Strategi
permodelan dapat memberikan contoh positif tentang gaya dan
contoh teks yang tepat. Jenis model dapat berupa model teks dan
model proses. Strategi model proses dimulai dari tahap
pramenulis. Guru sharing dengan siswa tentang topik dan minat
pribadi siswa, selanjutnya mendaftar dan memilih sesuai atau

106
mendekati pilihan siswa (Purbaningrum dan Yuliati, 2006:74).
Guru mendemonstrasikan permodelan secara operasional,
menunjukkan ide-ide, kerangka karangan, pola-pola kalimat yang
tepat. Kemudian guru meninjau kembali modelnya dan merevisi
strategi pembelajarannya.
Strategi konferen memberi kesempatan kepada siswa
mengembangkan sikap positif, kritis, dan saling percaya antara
siswa yang satu dengan siswa yang lain. Selama konferen guru
sebagai kolaborator, memberikn petunjuk dan mengarahkan
kepada siswa sesuatu yang harus dilakukan. Strategi konferen dapat
dibedakan menjadi empattipe: konveren individu, konveren
kelompok, konferen kelompok kecil, dan konferen publikasi.

D. Strategi Pembelajaran Bahasa Melalui Televisi


Menurut sebuah sumber (Totok Warsito) staf pengajar di
SMALB-B Karya Mulia Surabaya, ada kontroversial pemakaian
bahasa tunarungu. Paham Belanda menyatakan bahwa anak
tunarungu bukanlah tunawicara, oleh karena itu siswa tunarungu
harus dilatih berbicara seperti orang normal. Paham ini sampai
sekarang masih dianut oleh sekolah tunarungu di Wonosobo Jawa
Tengah. Siswa-siswa di tempat itu dilatih komunikasi oral dan juga
dilatih menari dengan memanfaatkan indera taktil untuk
menangkap suara. Suara musik yang mengiringi gerak tari berusaha
ditangkap melalu indera perabaan (taktil). Paham Amerika
menyatakan bahwa penderita tunarungu pada kenyataannya
mengalami kesulitan untuk berkomunikasi seperti orang normal,
oleh karena itu jangan dipaksakan, karea dipandang kurang
manusiawi, Untuk mengganti komunikasi oral, kemudian
diciptakan bahasa isyarat yang di Indonesia dikenal dengan
komunikasi SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia). Di samping
komunikasi oral dan SIBI, tunarungu yang terpelajar menggunakan
sistem komunikasi Komtal (Komunikasi Total) untuk berinterakdi
dengan masyarakat. Komuniasi model Komtal merupakan
gabungan dari oral, SIBI, dan gerak tubuh. Prinsip Komtal semua

107
anggota tubuh yang dimiliki seseorang dapat dimanfaatkan untuk
menunjang dalam berkomunikasi dengan masyarakat..
Televisi sebagai media pembelajaran mempunyai beberapa
keunggulan dibanding dengan media lain.Televisi dalam sekali
tayang dapat disaksikan oleh ribuan, bahkan jutaan pelajar. Sedang
pembelajaran dengan media lain biasanya hanya dapat diterapkan
dalam kelas dengan jumlah siswa terbatas. Pembelajaran dengan
media televisi dapat menampilkan contoh-contoh yang lebih alami
dibanding media lain. Misalnya pembelajar dapat menampilkan
harimau, buaya, seperti aslinya. Pembelajar tidak mungkin
menghadirkan binatang seperti itu ke dalam kelas. Televisi juga
bisa menghadirkan bentuk mikro menjadi makro ribuan kali
besarnya. Seekor semut atau nyamuk dapat dihadirkan dengan
bentuk yang jauh lebih besar. Demikian pula seekor gajah dapat
dihadirkan dalam bentuk sebesar kucing. Hal itu dapat membantu
pembelajaran, terutama dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam. Hardjono (1988:101) menyatakan bahwa keuntungan
pengajaran melalaui televisi: (1) pengajaran dapat menjangkau
jumlah yang sangat luas. (2) Bahasa sebagai alat komunikasi dapat
dipakai dalam situasi dan lingkungan nyang nyata.
Selanjutnya Hardjono (1988) menyatakan bahwa
berdasarkan konsepsinya, pembelaaran melalui televisi dapat
dibedakan menjadi tiga tipe: (1) Pengajaran melalui televisi yang
merupakan kursus tersendiri. (2) Pengajaran melalui televisi
sebagai materi pengajaran di sekolah. (3) Pengajaran melalui
televisi yang diintegrasikan dalam pengajaran sekolah dan
merupakan bagian dari pelajaran bahasa yang diajarkan di sekolah.
Penderita tunarungu di samping miskin kosakata juga
miskin imajinasi. Untuk menghadirkan imajinasi pada penderita
tunarungu sebaiknya menghadirkan bentuk naturalnya. Apa bila
bentuk itu tidak dapat dihadirkan, dapat ditempuh dengan
memberikan gambar atau film. Dalam hal ini kehadiran televisi
akan membantu pembentukan imajinasi itu. Misalnya ada kalimat:
”Gajah merusak kebun kelapa sawit.”

108
Apa yang dimaksud dengan gajah? Apabila anak tunarungu
belum pernah melihat gajah, untuk menerangkan seekor gajah,
tidak cukup dengan sejumlah kalimat. Penderita tunarungu akan
manggut-manggut jika diterangkan bahwa gajah adalah binatang
mamalia yang besar, lebih besar daripada kerbau, dan berbelalai
panjang di hidungnya. Namun jika sesudah itu ditanya lagi apakah
gajah? Ia akan menggelengkan kepala. Iamajinasi tentang gajah itu
akan terbentuk jika disertai dengan gambar, apalagi kalau gambar
itu dalam bentuk asli seperti dalam film. Media audio visual dapat
pula diputar berulang-ulang.
Balai Pengembangan Media Televisi Depdiknas telah
menghasilkan lima skenario pelajaran Bahasa Indonesia untuk
pembelajaran di televisi untuk tunarungu. Kelima skenario itu
masing-masing tentang: Penulisan Paragraf Deskripsi, Membaca
Berita dengan Lafal dan Sikap yang Benar, Mengungkapkan
Tanggapan dan Gagasan dalam Diskusi, Menulis Surat Dinas, dan
Memahami informasi dari berbagai laporan. Setiap topik berdurasi
24 menit, dibagi menjadi tiga segmen. Masing-masing segmen
berdurasi delapan menit, dan diakhiri dengan evaluasi.

1. Strategi Kluster Pertanyaan.


Pembelajaran dengan audiovisual bukan sekedar
memindahkan materi dalam buku ke dalam media audio-visual.
Strategi Kluster Pertaanyaan dalam pembelajaran melalui televisi
dimanfaatkan dalam memahami pokok-pokok berita. Strategi
pengklusteran untuk memahami pokok berita dilaksanakan dalam
tiga langkah: (1) Memahami topik, (2) menulis topik atau inti di
tengah kertas, (3) Membuat pertanyaan dengan rumur 5W + 1H.
Pelaksanaan pengklusteran untuk memahami pokok berita itu
seperti berikut.

Kluster Reportase Apa (what)


Mengapa
(Why)

109
Topik
Peristiwa
Di mana
(where)

Siapa Kapan
(Who) (When)

Hasil pengklusteran reportasi seperti kutipan skenario berikut ini:


AVIA : Peristiwa apa yang disampaikan dalam berita itu?
TIARA : Peristiwa tentang penyebaran virus flu burung
Kak.
AVIA : Di mana peristiwa tersebut terjadi?
TIARA : Di Indonesia Kak, terutama di Jakarta.
AVIA : Kapan peristiwa tersebut terjadi?
TIARA : Sekarang ini Kak. Berita tersebut selain ada di
koran, juga ada di televisi aku tadi melihatnya.
AVIA : Siapa yang mengungkapkan peristiwa itu?
TIARA : Yang mengungkapkan Koordinator Komnas
Pengendalian Flu Burung dan Kesiap siagaan
Menghadapi Pandemi Influenza.
O ya Kak, Indonesia dianggap sebagai negara
dengan jumlah kasus flu burung terbesar di dunia.
AVIA : Mengapa Indonesia dianggap sebagai negara
dengan jumlah kasus flu burung terbesar di dunia?
TIARA : Sebab telah merenggut 107 jiwa. Apa itu tidak
termasuk besar.

110
AVIA: : Kalau begitu bagaimana cara menjaga diri agar
terhindar dari virus flu burung?
TIARA : Dalam berita tadi dijelaskan kita harus
membiasakan hidup bersih dan sehat.
PRESENTER:
Apa kabar adik-adik, kita jumpa lagi dalam
program pembelajaran bahasa Indonesia. Kalian
sudah menyaksikan percakapan antara Tiara dan
Avia kan? Nah apa yang bisa kita ambil pelajaran
dari percakapan mereka?

Kluster Panca Indera


Pengklusteran panca indera dalam penyusunan skenario
BPMTV diterapkan untuk menyusun paragraf deskriptif, dengan
mengambil setting di Kebun Raya Purwodadi. Pelaku dalam
skenario tersebut adalah empat siswa SMA-B (tuna rungu).
Dealam adegan itu digambarkan empat siswa SLB berekreasi ke
Kebun Raya Purwodadi, menikmati indahnya pemandangan alam.
Keempat siswa itu di Kebun Raya Purwodadi mencatat keadaan
kebun raya berkaitan hal-hal yang dapat ditangkap indera mereka,
kecuali indera pendengar.

Mengamati

Merasakan

Mencium TOPIK
Meraba

111
Mendengar

Perdasarkan pengamatan terhadap Kebun Raya Purwodadi,


setelah melalui tahap penyuntingan, di antara keempat siswa
menghasilkan paragraf deskripsi sebagai berikut.
Kebun Raya Purwodadi sangat indah. Berbagai macam
tanaman ada di tempat itu. Tempatnya yang berada di daerah yang
tingggi dengan pepohonan yang rindang membuat udaranya
dingin. Berbagai macam bunga juga ada di situ. Bunga-bunga yang
sedang mekar menyebarkan bau yang harum.

E. Simpulan
Pembelajaran bahasa sangat penting bagi penderita
tunarungu, karena akibat kemiskinan bahasa dapat berpengaruh
pada perkembangan jiwa mereaka. Akibat kemiskinan bahasa,
anak tunarungu cenderung bersifat egosentris, berpusat pada
dirinya sendiri karena penghayatan mereka terhadap lingkungan
sangat sempit. Mereaka sukar menempatkan diri pada cara berpikir
dan perasaan orang lain, dan kurang menyadari efek perilakunya
terhadap orang lain. Mereka juga sukar menyesuaikan diri.
Pembelajaran bahjasa untuk penderita tunarungu perlu
ditunjang oleh strategi yang tepat, agar pembelajaran yang
dilakukan dapat sangkil dan mangkus (tepat guna dan berhasil
guna). Untuk mencapai keberhasilan pembelajaran bahasa,
berbagai strategi dapat dimanfaatkan. Semua strategi pembelajaran
baik, tergantung pada pelaksana, situasi, dan kondisi proses
pembelajaran. Strategi yang dapat dimanfaatkan dalam
pembelajaran pemerolehan bahasa bagi penderita tunarungu

112
diantaranya adalah strategi curah pendapat dan strategi
pengklusteran.
Untuk pemerolehan lafal yang baik, anak tunarungu dapat
diajarkan melalui pernafasan lebih dahulu, meraban kemudian
mengucapkan dengan lafalyang benar. Untuk dapat mengucapkan
lafal yang benar, guru perlu memperhatikan anatomi dan fisiologi
yang benar, seperti: (1) keadaan bibir dan pergerakannya, (2)
keadaan rahang dan gigi serta pergerakan rahang, (3) keadaan
lidah dan pergerakannya, (4) keadaan langit-langit keras atau
palatum, (5) dan keadaan palatum atau langit-langit lunak dan
pergerakannya. Tujuan pembelajaran bahasa bagi tunarungu agar
mereka bisa berinteraksi dengan masyarakat seperti masyarakat
normal yang lain. Untuk itu peran orang tua sangat penting.
Apabila penderita tunarungu dapat ditangani dengan baik, tidak
menutup kemungkinan mereka dapat berprestasi seperti manusia
normal. Di Indonesia, ada penderita tunarungu yang berhasil
menempuh pendidikan kedokteran di Amerika.

DAFTAR PUSTAKA

Azies, Furqanul dan Alwasilah, A. Chaedar. 2000. Pengajaran


bahasa Komunikatif: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Boothroyd, Arthur. 1982. Hearing Impairments in Young Children.


Prentice Hall, Inc Englewood Cliffs.

Brown, H. Doglas. 2000. Teaching by Principles. San Francisco:


Longman.

113
Bunawan, Lani dan Cecilia Susila Yuwati. 2000. Penguasaan
bahasa Anak Tuna Rungu. Penyunting Totok Bintoro dan
Tonny Santosa. Jakarta: Santi Rama.

Depdikbud. 2000. Pedoman Guru Pengajaran Wicara untuk Anak


Tuna Rungu. Jakarta.

Depdiknas. 2001. Kamus Sistem Isyarat Bahasa Indonesia. Jakarta.

Hardjono, Sartinah. 1988. Prinsip-Prinsip Pengajaran Bahasa dan


Sastra. Jakarta: Depdikbud.

Leutke-Stahlman, Barbara dan Luckner, John. 1991. Effectively


Educating Students with Hearing Impairments. Longman
Publishing Group.

Purbaningrum, Endang dan Yuliati. 2006. ”Pengaruh Pembelajaran


Menulis Proses Terhadap Performansi Menulis Siswa Tuna
Rungu”. Laporan Penelitian. Surabaya: FIP Unesa.

Sadjaah, Edja dan Sukarja, Darjo. 1995. Bina Bicara, Persepsi


Bunyi dan Irama. Jakarta: Sepdikbud.

Yuliati. 2001. ”Pembelajaran Menulis dengan Strategi Menulis


Proses dan Metode Maternal Refektif (MMR) Siswa Kelas IV
Sekolah Luar Biasa Tunarungu Karya Mul;ia I Surabaya”.
Tesis. Malang: Universitas Negeri Malang.

114
Contoh karya ilmiah untuk jurnal
MAKNA , FUNGSI, DAN NILAI EDUKATIF TEMBANG DOLANAN
BOCAH : SEBUAH KAJIAN FILOLOGI LISAN

Suharmono K.
Staf Pengajar FBS Unesa

Javanese song Dolanan Bocah is folk song for children. This


Javanese song is including genre folklore consisted of words (idyll)
and song, circulates verbally among certain collective member, in
the form of traditional, and haves a lot variant. Javanese song
Dolanan Bocah is including folklore. Formerly Javanese song
Dolanan Bocah hardly is taken a fancy to children, and sing
accompanied by game in house yard, especially when full moon.
But form of this song and game starts leaved by children, though
the Javanese song has meaning, function, and value educative
which good to development of child. For the agenda of inculcating
morals and loves culture itself to avoid foreigners culture which
inappropriate to nation culture, Javanese song Dolanan Bocah need
to be taught again in region which the resident use Javanese
language. Study of Javanese song Dolanan Bocah can pass artistry
Iesson ( sing and dance),or through local contain of Javanese
Lesson.

Kata kunci: tembang dolanan bocah, sastra, budaya

115
A. Pendahuluan
Usia anak-anak adalah usia bermain. Mereka membutuhkan
berbagai macam mainan sesuai dengan tingkat usia, budaya, dan
geografis Indonesia.. Alam Indonesia yang tropik memungkinkan
anak-anak untuk berinteraksi dalam waktu-waktu yang sesuai
untuk bermain, seperti sore dan malam hari pada waktu bulan
purnama. Salah satu bentuk permainan anak-anak di Jawa adalah
tembang dolanan atau nyanyian permainan . Di Jawa Timur
khususnya “nyanyian permainan anak-anak” ini disebut tembang
dolanan bocah. Tembang dolanan bocah ini termasuk nyanyian
rakyat. Menurut Brunvand (dalam Danandjaja 1994:141) nyanyian
rakyat merupakan genre atau bentuk foklor yang terdiri dari kata-
kata dan lagu, dan beredar secara lisan di antara anggota kolektif
tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian. Di
dalam tembang dolanan bocah varian ini seperti pada tembang
dolanan bocah “Lindri” dan “Cublak-Cublak Suweng” berikut ini.
Lindri:
lindri adang telung kati lawuhe semayi
(lindri masak nasi tiga kati lauknya semayi)
lindri adang telung kati lawuhe bothok teri
(lindri masak nasi tiga kati lauknya bothok teri)
Semayi adalah lauk yang terbuat dari ampas kelapa dengan
cara dimasak dengan bumbu-umbu tertentu, kemudian dibungkus
memanjang. Sedang bothok teri adalah lauk yang dibuat dari ikan
teri dicampur kelapa muda dengan bumbu tertentu, kemudian
dibungkus daun pisang.
Cublak-Cublak Suweng:
sir-sirpong dhele gosong (sir-sirpong kedelai gosong)
sir-sirpong ‘dele bodong (sir-sirpong pusarnya bodong)
Seperti halnya kata teri dan semayi, kata dhele (kedelai)
hangus dan ’dele/udele (pusarnya) menonjol keluar berbeda
maknanya. Namun kata-kata tersebut agaknya lebih mementingkan
persajakan.

116
Munculnya varian tersebut juga disebabkan oleh adanya
dialek, seperti yang terdapat pada lagu dolanan bocah “Pitik
Kate”. Kata “tembolok” dalam lagu itu ada yang menyebut telih,
dan ada pula yang menyebut dengan teleh. Lagu Dolanan Bocah
sebagai kajian filologi sulit untuk ditelusuri aslinya, karena tiap-
tiap daerah di Jawa mempunyai dialek regional, dan lagu dolanan
tersebut selalu disesuaikan dengan daerah setempat, seperti kasus
lagu Lindri, suatu daerah dapat saja merasa asing dengan lauk
semayi, dan akrab dengan bothok teri. Yang perlu dicatat antara
semayi dan bothok teri mempunyai rima akhir yang sama. Unsur
rima atau guru lagu semacam ini sangat diutamakan dalam
tembang Jawa.
Tembang dolanan bocah adalah bagian dari foklor. Menurut
Balys (dalam Supanto 1986:424) foklor menampung kreasi-kreasi
masyarakat baik yang primitif maupun yang modern dengan
menggunakan bunyi dan kata-kata dalam bentuk puisi dan prosa
meliputi juga kepercayaan dan ketakhayulan, adat kebiasaan serta
pertunjukan-pertunjukan, tari-tarian dan drama-drama rakyat.
Andre Welsh dalam Hutomo (1996:20) menyatakan bahwa puisi
modern mempunyai hubungan yang erat dengan puisi primirif.
Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa antara foklor dan
filologi lisan mempunyai kaitan yang erat. Tembang dolanan
bocah di samping dapat menjadi bahan kajian filologi lisan juga
dapat dijadikan bahan kajian foklor. Filologi adalah ilmu yang
menyelidiki kebudayaan yang berdasarkan bahasa dan
kesusasteraan (Hutomo,1991:140). Filologi biasanya berpegang
pada teks-teks kuna yang tertulis. Namun teks-teks sastra lisan
sesuai dengan pendapat Suripan Sadi Hutomo tersebut juga
mengandung kekunaan di samping kekinian
Seiring dengan perkembangan zaman, tembang dolanan
bocah saat ini sudah asing di telinga anak-anak, terutama anak-
anak perkotaan. Dengan kemajuan teknologi juga ikut mendorong
semakin dilupakannya lagu anak-anak. Dengan perkembangan
teknologi audio visual membuat anak-anak tidak merasa perlu

117
bermain-main di halaman rumah lagi pada saat bulan purnama.
Siang dan malam anak-anak terpaku di depan televisi menikmati
siaran televisi, menyaksikan vcd, atau bermain video game. Materi
permainan maupun tontonan yang dilihat merupakan materi impor
yang belum tentu cocok dengan budaya Indonesia, khususnya
budaya anak-anak. Padahal di negara kita sudah tersedia sarana
mainan yang sesuai bagi anak-anak.
Lagu dolanan bocah dulu sering dimainkan oleh anak-anak
di waktu senggang, di malam hari waktu bulan purnama, atau
ketika anak-anak sedang menggembalakan kambing, sapi, atau
kerbau. Di waktu bulan purnama mereka bermain berlari-lari dan
bernyanyi-nyanyi. Atau mereka juga dapat bermain layang-layang
sambil menyanyikan lagu mengundang angin, sementara binatang
piaraannya asik makan di padang gembalaan. Seiring dengan
perkembangan zaman, sebenarnya bukan lagu dolanan bocah saja
yang mulai ditinggalkan, tetapi juga pola permainan mereka. Pada
saat ini sudah jarang dijumpai anak-anak perempuan memainkan
permainan sumbar garit (permainan dengan biji sawo), engkle dan
sebagainya. Permainan semacam ini dulu sangat disukai oleh anak-
anak perempuan.
Penyebab hampir punahnya lagu dolanan bocah sebenarnya
bukan hanya ditinggalkan oleh anak-anak. Dulu lagu dolanan itu
juga diajarkan di sekolah-sekolah TK sampai dengan SD, namun
sekarang sudah tidak diajarkan lagi. . Apakah makna dan fungsi
lagu dolanan bocah hanya sekedar hiburan belaka? Ataukah lagu
dolanan bocah mempunyai nilai-nilai edukatif. Apabila tembang
dolanan bocah mempunyai nilai edukatif, nilai edukatif apakah
yang terkandung di dalam tembang dolanan bocah tersebut?
Perlukah tembang dolanan bocah dilestarikan. Bagaimanakah
pelestariannya? Hal inilah yang melatarbelakangi kajian ini.
Sosok anak-anak adalah sosok dalam usia bermain. Mereka
membutuhkan santapan rokhani untuk membentuk jiwa mereka di
samping kebutuhan fisik untuk perkembangan tubuhnya. Antara
kebutuhan jasmani dan rokhani harus ada kesiambangan, ketidak

118
seimbangan perkembangan antara jasmani dan rokhani dapat
menimbulkan masalah jika anak-anak tersebut telah menginjak
dewasa. Kebutuhan rokhani yang diperlukan anak-anak adalah
sarana hiburan dan pendidikan untuk mengisi jiwa mereka yang
masih belum tercemar oleh lingkungannya. Dalam hal ini tembang
atau nyanyian dapat dijadikan sarana untuk mengisi jiwa anak-
anak. Tembang atau nyanyian untuk anak dapat berfungsi untuk
membentuk karakter dan jiwa anak apabila tembang tersebut
mengandung nilai-nilai luhur sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan jiwa anak.
Tembang dolanan bocah adalah suatu nyanyian untuk
konsumsi anak-anak. Menurut Hutomo (1996:20) tembang
dolanan bocah atau nyanyian permainan anak-anak termasuk puisi
primitif, yaitu puisi-puisi yang dilisankan dan bentuknya sederhana
sekali. Namun demikian maknanya sulit dipahami oleh orang
awam. Akibatnya, menimbulkan banyak tafsiran. Supratno
(1998:5) menyatakan bahwa untuk menelaah karya sastra tidak
dapat dilepaskan dari lingkungan atu kebudayaan yang telah
menghasilkannya. Oleh karena itu analisis tembang dolanan bocah
ini tidak dapat dipisahkan dari lingkugan dan kebudayaan Jawa.
Pada zaman penjajahan Belanda sudah ada usaha untuk
mendokumentasikan tembang dolanan bocah. Buku tentang
tembang dolanan bocah yang pernah terbit ialah Serat Lagu
Bocah-Bocah, terbitan tahun 1912 dengan huruf Jawa, oleh Raden
Sukardi alias Prawirawinarsa, diterbitkan H.A. Benyamin
Semarang. Buku ini memuat 189 judul nyanyian. Hans Overbeck
telah menghimpun tembang dolanan bocah dengan judul
Javaansche Meisjesspelen en Kinderliedjes, 1935, terbitan Java-
Instituut, Yogyakarta. Buku ini memuat 690 nyanyian.
Filologi lisan berkaitan erat dengan sastra lisan. Filologi
adalah ilmu yang menyelidiki perkembangan krokhanian sesuatu
bangsa dan kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayan
berdasarkan bahasa dan kesusasteraan (Hutomo,1991:14).
Sudjiman (1986:29) memberikan batasan filologi adalah ilmu yang

119
menyelidiki perkembangan kerokhanian suatu bangsa dan
kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan
bahasa dan kesusastraannya. Dalam arti sempit filologi berarti studi
tentang naskah lama untuk menetapkan bentuk keasliannya, bentuk
semula, serta makna isinya. Bertitik tolak dari pendapat filologi
lisan menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraan
lisan. Ternyata filologi lisan berkaitan erat dengan sastra lisan.
Sastra lisan juga menjadi objek bidang studi ilmu folklor
(Hutomo,1991:9). Dengan demikian sastra lisan dan filologi lisan
merupakan bagian dari folklor.
Foklor menurut Danandjaja (1994:2) sebagian kebudayaan
suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di
antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam sistem
yang berbeda, baik dalam bentiuk lisan maupun contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Foklor dibedakan menjadi tiga macam, yaitu folklor lisan,
folklor setengah lisan, dan folklor bukan lisan. Yang termasuk
folklor lisan adalah ugkapan tradisional, nyanyian rakyat, bahasa
rakyat, teka-teki, cerita rakyat. Yang termasuk folklor setengah
lisan ialah drama rakyat, tari, kepercayaan dan takhayul, upacara-
upacara, permainan rakyat dan hiburan rakyat, adat kebiasaan, dan
pesta-pesta rakyat. Foklor bukan lisan dibedakan menjadi dua,
yaitu yang berupa material seperti mainan, makanan dan minuman,
peralatan dan senjata, alat-alat musik, pakaian dan perhiasan, obat-
obatan, seni kerajinan tangan, arsitektur rakyat. Yang berupa bukan
material adalah musik, bahasa isyarat. Tembang dolanan bocah
adalah bagian dari nyanyian rakyat. Nyanyian rakyat juga dapat
digolongkan ke dalam tradisi lisan yang menggunakan bahasa.
Tradisi lisan mempunyai ci-ciri tertentu. Menurut Hutomo
(1988:233) ciri-ciri itu ialah: (1) tidak diketaui penciptanya, (2)
tradisi lisan milik kolektip, (3) tradisi lisan mempunyai fungsi di
dalam masyarakat, (4) materi tradisi lisan sudah ada sejak masa
lampau, (5) materi tradisi lisan mempunyai bentuk tertentu yang
bervariasi, (6) materi yang berkaitan dengan kepercayaan biasanya

120
materi tersebut berlandaskan pemikiran logika tersendiri, (7) tradisi
lisan hidup dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan.

Konsep Tembang Dolanan Bocah


Tembang dolanan bocah adalah nyanyian rakyat untuk anak-
anak. Nyanyian rakyat ini termasuk sastra lisan, dan bagian dari
foklor. Tembang dolanan bocah yang termasuk dalam kajian
filologi lisan adalah nyanyian rakyat yang mempunyai ciri
kekunaan. Hutomo (1999:4) menyatakan bahwa ilmu filologi yang
pada dasarnya mempelajari kebudayaan suatu bangsa melalui
bahasa bangsa yang bersangkutan dan bukan sekedar perbandingan
teks untuk mencari asal-usul teks (babon teks) maka setiap versi
teks mempunyai fungsi yang berbeda-beda di setiap tempat dan
waktu yang berbeda pula. Oleh karena itu versi lisan pun perlu
diteliti secara filologis. Hutomo (1996;20) menyatakan bahwa
bentuk nyanyian rakyat yang berupa tembang dolanan bocah
bentuknya sederhana, namun naknanya sulit dimengerti karena
penuh lambang dan misteri.

Konsep Pendidikan Tradisional


Pendidikan tradisional adalah sistem pendidikan yang
diwariskan secara turun-menurun. Sistem pendiddikan ini tidak
didasarkan pada teori tertentu, tetapi dari kebiasaan-kebiasaan
generasi sebelumnya. Harjawiyana (1986:487) menyatakan bahwa
nyanyian rakyat termasuk tembang dolanan bocah mempunyai
bermacam-macamn aspek. Salah satu dari aspek itu adalah aspek
pendidikan.
Pendidikan tradisional di dalam tembang dolanan bocah
dapat diketahui dari isi tembang dolanan tersebut. Memang tidak
semua tembang dolanan bocah mengandung unsur-unsur
pendidikan, namun unsur pendidikan di dalam tembang dolanan
bocah cukup dominan.

Teori Fungsi

121
Teori fungsi dalam kajian ini memadukan antara teori
William R. Bascom, teori Alan Dundes, dan teori yang
dikemukakan oleh Suripan Sadi Hutomo. Menurut Bascom sastra
lisan termasuk nyanyian rakyat mempunyai empat fungsi, sedang
Dundes menyatakan bahwa sastra lisan mempunyai enam fungsi
(Sudikan,2001:162). Hutomo dalam Mutiara yang Terlupakan
(1991:69) membagi fungsi sastra lisan menjadi enam fungsi. Jika
ketiga teori tersebut dipadukan akan menghasilkan teori fungsi: (1)
Sebagai sistem proyeksi; (2) untuk pengesahan kebudayaan; (3)
Alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial; (4) sebagai alat
pendidikan anak; (5) Sebagai sarana kritik sosial; (6) sebagai
sebuah bentuk hiburan; (7) meningkatkan solidaritas suatu
kelompok; (9) Mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi
permainan.

Konsep Semiotik
Untuk menganalisis makna tembang dolanan anak dipakai
teori semiotik. Semiotika menurut Sudjiman (1991:5) adalah studi
tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya. Tanda-
tanda bahasa merupakan sebuah simbol. Simbol-simbol tersebut
meskipun bersifat arbriter diciptakan berdasarkan konvensi.
Tembang dolanan bocah sarat mengandung makna simbolis.
Makna simbolis tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga sulit
dicerna maknanya. Karena sulitnya mencerna makna, maka timbul
banyak tafsiran. Unsur simbolis dalam tembang dolanan seperti
pada tembang “Ilir-Ilir”, “Sluku-Sluku Bathok”, “Jago Kate” dan
sebagainya.
Berkaitan dengan semiotika, variasi memegang peranan
penting dalam sastra lisan yang biasanya tidak diselamatkan dalam
bentuk tulisan (Teeuw,1988;64). Dinyatakan oleh Teeuw bahwa
karya sastra lisan. Karya sastra di Indonesia sangat penting. Sejarah
sastra Indonesia tidak dapat dituliskan tanpa mengikutkan sastra
lisan.

122
Kajian semiotika adalah kajian tentang simbol. Menurut
Wellek dan Warren (1990:239-240) di dalam teori sastra simbol
adalah objek yang mengacu pada objek lain, tetapi juga menuntut
perhatian pada dirinya sendiri sebagai suatu perwujudan. Simbol
selalu terus menerus menampilkan dirinya. Hal ini berbeda dengan
citra. Citra dibangkitkan melalui sebuah metafora.

B. Makna, Fungsi, dan Nilai Edukatif Tembang Dolanan


Bocah
Kajian tembang dolanan bocah ini dipusatkan pada dua
pembahasan, yaitu tentang makna, fungsi, dan nilai edukatif
tembang dolanan bocah. Makna tembang dolanan bocah dianalisis
dengan teori semiotik, sedang fungsi tembang dolanan bocah
dianalisis dengan perpaduan teori fungsi Bascom dan Dundes.

1. Makna Tembang Dolanan Bocah


Tembang dolanan bocah adalah tembang untuk konsumsi
anak-anak. Tembang dolanan bocah seharusnya dikemas dalam
bahasa dan makna yang sederhana. Nyanyian rakyat ini banyak
yang dikemas dengan memasukkan unsur-unsur simbolis.
Meskipun anak-anak sering tidak dapat ,memahami maknanya,
namun tembang dolanan bocah sangat komunikatif dengan anak-
anak. Hal ini disebabkan tembang dolanan bocah dikemas dengan
lagu yang menarik. Bagi anak-anak kekuatan tembang dolanan
bocah terletak pada lagu yang diciptakan, sedang bagi orang
dewasa terletak pada syairnya. Dengan demikian tembang dolanan
bocah dapat dinikmati oleh anak-anak maupun orang dewasa
.
a. Makna Religius dalam Tembang “Ilir-Ilir”
Makna religius adalah makna yang bersifat religi. Religi
menurut kamus Besar bahasa Indonesia berarti kepercayaan akan
adanya kekuatan adikodrati di atas manusia (1999:830). Makna
relegius ini juga mencakup kepercayaan pada agama yang dipeluk
seseorang.

123
Di antara tembang dolanan bocah yang paling banyak
mendapatkan tafsiran sebagai tembang yang mengandung makna
relegius adalah tembang “Ilir-Ilir”. Orang-orang yang pernah
menafsirkan tembang “Ilir-Ilir”: Parwatri Wahjono, Suripan Sadi
Hutomo, Karjono, Pak Ton, Rerep Sugoto, Gunawan, Ki
Suryahatmodjo, Tinjo Mojo, M. Sumardjo, Bakti, N. Asri, Umar
Hasyim. Tafsiran mereka bermacam-macam.
Menurut Hutomo (1988:129) Tafsiran tembang “Ilir-Ilir”
kalau dikumpulkan terdapat tiga jalur tradisi, yaitu agama Islam,
kebatinan, dan politik..Penafsiran Tinjo Mojo lebih mengarah
kepada kebatinan Jawa bahwa manusia hidup harus hati-hati, harus
berani menghadapi kesulitan dan tidak menganggap remeh pada
hal-hal yang mudah. Manusia harus suci hatinya, ketika muda
harus melatih diri pada tingkah laku utama (Hutomo,1988:124-
125). Penafsiran ini hampir sama dengan penafsiran
Suryohatmodjo. Menurut Suryohatmodjo (1979:13) lagu “Ilir-Ilir”
mempunyai makna bahwa manusia sejak lahir hingga meninggal
dunia penuh cobaan, berbuat dosa antara sesama manusia dan dosa
kepada Tuhan.
Makna relegius tembang “Ilir-Ilir” juga dikemukakan oleh
Karjono (1993:3). Menurut Karjono manusia yang telah menyadari
kehidupannya di dunia selalu ingin dekat dengan Tuhan. Berbakti
kepada Tuhan harus didasari pada tingkah laku utama sesuai
dengan yang digariskan Tuhan. Tingkah laku utama itu adalah
rila (rela) nrima (menerima apa adanya), sabar (sabar), temen
(jujur), budi luhur (berbudi luhur).
Tafsiran sesuai dengan religi Islam dikemukan dengan jelas
oleh S. Wardi. Menurut S. Wardi (Hutomo, 1988:129) ajaran
Islam yang disyiarkan oleh para wali sudah mulai berkembang.
Pada waktu itu para wali berpakaian hijau. Orang-orang yang
belum memeluk agama Islam agar segera memeluk agama itu
(menek blimbing). Walaupun licin hendaknya dipetik, sebab untuk
membersihkan jasmani rokhani. Jasmani dan rokhani yang rusak
hendaknya diperbaiki dengan jalan masuk agama Islam agar

124
diterima di haribaan Tuhan. Kesempatan masih banyk hendaknya
dipergunakan sebaik-baiknya. Tafsiran ini sama dengan tafsiran
Umar Hasyim dalam buku dalam bukunya yang berjudul Sunan
Kalijaga.
Di dalam tembang “Ilir-Ilir” memang tidak ada sepatah kata
pun yang mengacu pada Tuhan atau agama. Kata-kata di dalam
tembang “Ilir-Ilir” sangat umum, oleh karena itu menimbulkan
banyak ketaksaan. Dalam menafsirkan tembang “Ilir-Ilir”
seharusnya juga perlu dipehatikan bahwa tembang ini juga untuk
konsumsi anak-anak. Apabila tembang “Ilir-Ilir” dimaknai seperti
makna di atas tentu saja tidak akan dimengerti olehanak-anak.
Religi Islam dalam tembang dolanan bocah terdapat dalam
tembang dolanan bocah yang menceritakan selama bulan puasa.
Tembang ini tidak jelas judulnya, dan syairnya seperti berikut ini.

Suka-suka siswa pamulangan Jawa


saben sasi pasa libure selapan dina
dasar bisa pada netepi agama 2x
wayah bengi gumarenggeng padha ngaji
maca ngaji Quran wayah awan cegah mangan
cegah ngombe bukane ing wayah sore 2x
dina bakda uwis leren nggone pasa
padha ariaya seneng-seneng ati raga
bingar-bingar mangan enak kongsi mlekar

Terjemahan:
Suka-suka siswa sekolah Jawa
setiap bulan puasa libur tiga puluh lima hari
dasar bisa menjalani perintah agama 2x
weaktu malam bergeremang semua mengaji
membaca mengaji Quran waktu siang mencegah makan
mencegah minum berbuka di waktu sore 2x
hari lebaran sudah selesai berpuasa

125
semua berhari raya bersenang-senang jiwa raga
bersenang-senang makan enak sampai kekenyangan

Tembang di atas menceritakan saat bulan puasa bagi anak-


anak yang beragama Islam. Di dalam tembang tersebut anak-anak
diajak untuk dapat menjalankan perintah agama dengan baik.
Anak-anak diajak menjalankan salah satu rukun Islam, yang wajib
dilakukan di bulan Romadhan, yaitu ibadah puasa. Di dalam ibadah
puasa harus mencegah makan dan minum di siang hari. Di bulan
puasa anak-anak harus banyak beribadah. Salah satu bentuk ibadah
itu ialah membaca Al Quran di malam hari.
Apabila lebaran tiba, maka selesailah berpuasa. Tradisi di
hari lebaran anak-anak dan masyarakat Islam selalu memakai baju
baru. Mereka bersenang-senang setelah sebulan berpuasa,
bersenang-senang jiwa dan raganya. Ini merupakan salah satu
bentuk kegembiraan dan tradisi umat Islam setelah selama sebulan
berpuasa. Mereka makan sehingga kekenyangan. Nyanyian di atas
dinyanyikan dengan nada gembira. Nyanyian rakyat itu menjadi
indah dan merdu dengan adanya rima akhir pada setiap baris.
Berbeda dengan tembang “Ilir-Ilir”, tembang di atas banyak
mengandung kata-kata khusus, yaitu peristilahan di dalam Islam
seperti pada kata bakda, pasa, riyaya, ngaji, Quran, ariaya. Kata-
kata itu sudahmengarah kepada agama Islam, oleh karena itu tidak
sulit mencernanya. Di dalam “Ilir-Ilir” kata-kata yang dipakai
semuanya kata-kata umum, sehingga menimbulkan banyak
tafsiran.
Parwatri Wahjono memberikan makna tembang “Ilir Ilir”
yang mengandung unsur Hindu. Interpretasi yang dilakukan
Parwatri Wahjono didasarkan pada interptretasi semiotis, linguistis,
dan filologis. Menurut Parwatri (1997:18) makna tembang “Ilir
Ilir” adalah supaya dapat mempergunakan waktu dengan baik, pada
saat seperti pengantin baru karena berkah dari Tuhan, seperti
manusia yang telah bersatu dengan Tuhan, dalam istilah kebatinan
manunggaling kawula gusti, sepertibersatunya laki-laki dengan

126
permpuan, seperti bersatunya keris dan sarungnya, yang
dilambangkan dengan lingga dan yoni. Untuk bermasyarakat harus
dapat menunjukkan wibawa pemimpin, sesuai dengan paham yang
diakui pada saat diciptakan tembang “Ilir Ilir”.
Paham yang dianut masyarakat pada saat itu yaitu paham
yang berupa konsep-konsep pikiran kejawen, yaitu kebudayaan asli
pra Hindu, animisme, dinamisme, Hinduisme dan Budaisme.
Menurut Parwatri, setelah masuknya Islam tembang “Ilir Ilir”
diberi makna baru.
Karyono memberikan makna lagu “Ilir Ilir” sesuai dengan
konsep kebatinan Jawa, yaitu manunggaling kawula gusti. Menurut
karjono (1993:23) makna tembang “Ilir Ilir” orang yang sudah
merasa sebagai makhluk Tuhan merasa cinta yang sangat kepada
Tuhan, selalu ingindekat dengan-Nya. Untuk mencapai hal itu
harus melalui tingkah laku utama. Tingkah laku utama itu rila,
nrima, sabar, temen, budi luhur (rela, menerima, sabar, jujur,
berbudi luhur).

b. Mantra dalam Tembang Dolanan Bocah


Mantra di dalam masyarakat masih dapat dijumpai hingga
saat ini. Mantra dapat dimasukkan ke dalam unsur religius, karena
pada hakekatnya mantra adalah sarana untuk menghubungkan
dengan kekuatana yang tertinggi. Mantra diucapkan karna adanya
suatu peintaan atau keinginan untuk tejadinya sesuatu, terjadinya
suatu perubahan pada sesuatu, seperti dari seorang sakit menjadi
sembuh, atau orang yang sehat menjadi sakit. Di Indonesia mantra
dipakai untuk multifungsi, seperti supaya dikasihi atau dibenci,
agar laris dagangannya, agar tidak terjadi atau agar terjadi hujan,
agar tanamannya tumbuh subur, supaya selamat dalam perjalanan.
Menurut Umar Junus ( 1985:133) mantra diharapkan mesti efektif,
mempunyai akibat. Untuk menjadi efektif mantra mempunyai
unsur sebagai berikut:
a. Terdiri dari rayuan dan perintah. Sesudah dirayu, yang
gaibitu diperintah untuk melayani.

127
b. Dibentuk secara puitis dengan tak menggunakan
kesatuan kalimat, tapi suatu expression unit, (kesatuan
pengucapan) seperti dalam kaba, yang terdiri dari dua
bagian yang seimbang.
c. Yang dipentingkan “keindahan bunyi”, sehingga yang
penting di dalamnya ialah unsur bahasa yang kongkret,
bunyi.

Bentuk mantra di dalam tembang dolanan bocah terdapat di


dalam tembang untuk medatangkan angin dan agar laron (kelekatu)
dapat terbang rendah seperti berikut ini.
cempe cempe undangna barat gedhe
tak opahi duduh tape
nek kurang njupuka dhewe

Cempa-cempa undangna barat dawa


Tak opahi duduh tela
Nek kurang njupuka kana

Terjemahan
cempe cempe panggilkan angin besar
kuberi upah kuah tape
jika kurang ambil sendiri

cempa cempa panggilkan angin panjang


kuberu upah kuah ketela
jika kurang ambil di sana

Cempe adalah nama untuk anak kambing. Mantra di atas


adalah mantra untuk mendatangkan angin. Mantra itu biasa
dinyanyikan oleh anak-anak yang bermain layang-layang. Jika
tidak ada angin yang dapat membantu menaikan layang-layangnya,
biasanya anak-anak menyanyikan tembang itu. Bentuk di atas
memenuhi persyaratan mantra seperti yang dikemukakan oleh

128
Umar Junus. Tembang mantra yang lain yang biasa dinyanyikan
anak-anak seperti berikut ini.

ndhek erek dhuwur kencur


aku endhek kowe dhuwur

Terjemahan:
ndhek erek tinggi kencur
aku pendek engkau tinggi

Di awal musim penghujan, biasanya kelekatu keluar


beterbangan. Di Pagi hari anak-anak berlarian di tanah basah
mengejar kelekatu (laron) yang beterbangan. Apabila ada kelekatu
yang terbang tinggi, anak-anak menyanyikan mantra itu dengan
harapan menjadi terbang rendah dan dapat ditangkap. Mantra yang
biasa dinyanyikan anak-anak yang lain seperti berikut ini.

gok gok ling gok gok ling


gok gok ling gok gok ling munia kaya suling
gok gok bang gok gok bang munia kaya trebang
Terjemahan:
gok-gok ling gok gok ling
gok gok ling gok gok ling berbunyilah seperti seruling
gok gok bang gok gok bang berbunyilah seperti rebana

Mantram di atas ditembangkan ketika seorang anak membuat


serunai dari batang padi. Sebelum ditemukan varietas unggul dulu
tanaman padi usianya cukup panjang, mencapai hampir enam
bulan. Batang padi lebih tinggi dan lebih besar, sehingga dapat
dibuat dremenan atau terompet dari batang padi. Serunai itu dibuat
seperti terompet dengan ditambah daun kelapa yang dibentuk
seperti terompet. Terompet itu jika ditiup dapat mengeluarkan
suara yang keras dan merdu. Permainan terompet ini biasanya
dilakukan anak-anak sambil menjaga padi dari hama burung dan

129
ayam. Berikut ini mantra untuk bulan yang tertutup awan agar
segera bersinar terang. Mantra ini dinyanyikan oleh anak-anak saat
bulan purnama, ketika sinar bulan menjadi suram karena tertutup
awan.
nya lenga nya uceng
nya lenga nya uceng
damarmu ndang sumeten

Terjemahan:
inilah minyak inilah sumbu
inilah minyak inilah sumbu
minyakmu cepat nyalakan

Tembang dolanan di atas memang sesuai dengan unsur


mantra yang dikemukakan oleh Umar junus. Umar Junus (1985:
135) menyatakan hakikat mantra sebagai berikut.
a. Ada bagian rayuan dan perintah
b. Menggunakan kesatuan pengucapan
c. Mementingkan keindahan bunyi dan permainan bunyi
d. ia sesuatu yang utuh, tak dapat dipahami melalui
pemahaman unsur-unsurnya
e. Ia sesuatu yang tak dapat dipahami oleh manusia, sesuatu
yang misterius
f. Ada kecenderungan esetoris dari kata-katanya, atau ada
hubungan yang esetoris
g. Terasa sebagai permainan bunyi belaka.

Unsur rayuan dapat dilihat dalam bentuk pengulangan-


pengulangan. Unsur rayuan dengan pola repetisi ini dapat dijumpai
pada kata: cempe cempe, cempa cempa; dhuwur, gok gok ling, nya
lenga nya uceng dan sebagainya. Mantra tersebut meskipun
maknanya sulit dipahami, mengandung kesatuan sintaksis,
kesatuan pengucapan. Keindahan bunyi terdapat pada rima dan
irama yang dibentuk.

130
Yang unik dalam mantra adalah bahwa mantra di dalam
sebuah kalimat tidak mempunyai hubungan makna, tetapi
mempunyai hubungan sintaksis. Hal itu seperti pada kaimat cempe
cempe undangna barat gedhe. Cempe adalah anak kambing.
Antara cempe dan angin tidak ada hubungan makna. Artinya secara
logika anak kambing tidak dapat memanggil angin. Tetapi seperti
kata Umar Junus, mantra adalah sesuatu yang utuh yang tidak dapat
dipahami unsur-unsurnya. Mantra tidak dapat dipahami oleh
manusia, sesuatu yang misterius. Seperti pada kata gok gok ling
gogok ling terasa sebagai permainan bunyi belaka. Yang penting
dari mantra adalah akibatnya, bukan makna dari mantra itu.
Tembang “ilir Ilir” juga ada yang memaknai sebagai mantra.
Dalam Serat Damarwulan (Wahjono,1994:18) ketika Damarwulan
menjadi mayat karena gada besi kuning Minakjingga, dinyanyikan
mantra oleh Dewi Sasmitaningrum dan Dewi Susilawati. Dalam
naskah itu diceritakan setelah tembang kedua putri itu sampai pada
penutup, surak. Damarwulan mulai bernafas lagi.

c. Makna Politik dalam Tembang Dolanan Bocah


Di dalam perkembangannya, tembang dolanan bocah tidak
hanya dimaknai dari makna yang sesuai dengan pola pikir bocah
dan makna religi, tetapi juga ada yang menghubungkan dengan
masalah politik. Hal ini seperti yang dilakukan oleh N. Asri
terhadap tembang “Ilir Ilir”. N. Asri (Hutomo,1988:27)
menyatakan bahwa ilir-ilir tandure wis sumilir mempunyai makna
bahwa bangsa Indonesia telah merdeka pada 17 Agutus 1945.; tak
ijo royo-royo negara Indonesia masih muda; dak sengguh
penganten anyar = dikira menemukan kebahagiaan. Larik-larik
selanjutnya dimaknai supaya diutamakan pewrsatuan untuk
mengabdi kepada Ibu Pertiwi
Majalah Djaka Lodang (Hutomo, 1988:27) juga pernah
memberikan penafsiran seperti penafsiran yang dikemukakan oleh
N. Asri. Di dalam majalah ini tembang “Ilir Ilir” ini dimaknai
abadilah proklamasi 17 Agustuas 1945. Negara Indonesia masih

131
seperti pengantin baru, supaya diusahakan agar lebih sempurna,
supaya diusahakan tercapainya adil makmur. Masih ada korupsi
dan berebut kursi, harus diusahakan adanya persatuan dari sabang
sampai Merauke untuk Ibu Pertiwi. Bangunlah, maju Indonesia
untuk selamanya.
Dua penafsiran di atas sebenarnya terlalu mengada-ada,
karena tembang “Ilir Ilir” sudah ada pada naskah kuna. Parwatri
Wahjono (1994:18) mengutip bbait “Ilir Ilir” dari naskah kuna
Serat Damarwulan seperti berikut.
ilir-ilir tandurira,
ing wong sumilir mulya,
ijo royo-royo ingsun sengguh,
penganten anyar paduka

bocah angon-angon sami,


peneken balimbing ika,
sun karya musuh kampuhe,
umitir ing manah radyan
bedhah pepinggirira,
mumpung gedhe wulanipun,
mumpung jembar kalangannya

Dilihat dari kosa kata yang dipakai tembang di atas, terdapat


beberapa kata yang cenderung memakai bahasa Jawa tengahan,
seperti kata tandurira, ingsun, sun, karya. Hal ini membuktikan
bahwa tembang “Ilir Ilir” merupakan tembang kuna. Tembang itu
kemudian bahasanya disesuaikan dengan bahasa Jawa sekarang,
karena masyarakat masih menyukai tembang itu. Suripan Sadi
Hutomo (1988:123) menyatakan keraguannya bahwa tembang “Ilir
Ilir” merupakan ciptaan pada zaman para wali, karena bahasa yang
dipakai bahasa Jawa baru. Dengan kenyataan seperti kutipan di atas
keragu-raguan Suripan Sadi Hutomo di atas tidak terbukti, karena
ternyata ada tembang “Ilir Ilir” yang bahasanya memakai bahasa
Jawa tengahan pada naskah kuna.

132
Tembang dolanan bocah yang lain yang dimaknai politik
terdapat pada lagu “Dhungkul Sedhola-dhalu dhembleng”. Lagu ini
mempunyai banyak variasi . Variasi twersebut misalnya pada larik
pertama berbunyi: Dhungkul sedhola dhalu dhembleng; Dhungkul
sedhola dhalu dhambleng; Dhungkul dhalu dhembleng; Dhempul
talu tameng. Nama tokoh dalam tembang ini juga bervariasi, yaitu:
Nalajaya, Anggajaya, Trunajaya. Versi Suripan sadi Hutomo
adalah Trunajaya, sehingga syairnya menjadi seperti berikut.
Dhungkul sedhela dhalu dhambleng
Trunajaya numpak celeng
Trunajaya ditelikung
Ciyet ciyet Trunajaya dibebencet.

Terjemahan:
Dhungkul sebentar dhalu dhambleng
Trunajaya numpak celeng
Trunajaya ditelikung
Ciyet Ciyet Trunajaya dibebencet

Suripan Sadi Hutomo memberikan makna sindiran tentang


pemberontakan Trunajaya pada tembang di atas
(Hutomo,1988:134). Apabila syairnya seperti di atas, memang
sesuai dengan kondisi Trunajaya. Menurut Babad Tanah Jawi
(Anonim,1987:196) Trunajaya setelah menyerah kepada
Mangkoerat, kemudian dibunuh. Apabila nama tokoh dalam
tembang itu Anggajaya atau Nalajaya maka tentu ada legenda lain
yang berkaitan dengan kedua tokoh itu.

d. Makna Filosofis Tembang Dolanan Bocah


Filosofis berasal dari kata filsafat. Filsafat adalah
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat
segala yang ada, sebab, asal, hukumnya (Tim Penyusun Kamus
Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa,1999:277). Makna
filosofis di sini bersifat umum, terlepas dari makna religi. Makna

133
filosofis dalam tembang dolanan bocah seperti terdapat dalam
syair berikut ini.
Enthik enthik si temunggul patenana
Gek dosane apa
Aja dhi, aja dhi, wong tuwa ala-ala malati

Terjemahan:
Entik entik si temunggul bunuhlah
Dosanya apa
Jangan dhik, jangan dhik orang tua meskipun jelek
menimbulkan dosa

Tembang tersebut mengajarkan bahwa kepada orang tua


harus selalu hormat. Tembang itu dinyanyikan dengan cara
menjadikan tokoh pada jemari kita, ibu jari, telunjuk, dan jari
kelingking. Telunjuk memberi perintah kepada kelingking supaya
membunuh jari tengah, namun ibu jari melarangnya sambil
menngingatkan bahwa membunuh orang tua dapat menimbulkan
dosa.
Makna filosofis tembang “E Dhayohe Teka” telah dikupas
oleh Suwardi Endraswara. Syair tembang tersebut seperti berikut
ini.
E dhayohe teka/ e gelarna klasa/e klasane bedhah/ e
tambalen jadah/ e jadahe mambu/ e pakakna asu/ e
asune mati/ e buwangen kali/ e kaline banjir/ e
buwangen pinggir/ e pinggire lunyu/ e ayo dha mlaku
Menurut Endraswara (1999:9) makna filosofis tembang di
atas bahwa bayi yang lahir harus dididik. Di dunia tidak selalu
enak, kadang-kadang mendapat masalah. Oleh karena itu orang tua
harus menjaga agar anak menjadi bahagia. Di dalam menjaga dunia
(mamayu ayuning bawana) harus memakai falsafah rukundan
manunggal, manunggalnya cipta, rasa, karsa.

2. Fungsi Tembang Dolanan Bocah

134
Tembang dolanan bocah adalah sastra lisan. Ada sembilan
fungsi sastra lisan, yaitu (1) sebagai sistem proyeksi, (2) sebagai
pengesahan kebudayaan, (3) sebagai alat pemaksa berlakunya
norma sosial, (4) sebagai alat pendidikan anak, (5) untuk mencela
orang lain, (6) sebagai bentuk hiburan, (7) untuk meningkatkan
solidaritas kelompok, (8) sarana kritik sosial, (9) mengubah
pekerjaan menjadi permainan. Berikut ini fungsi tembang dolanan
bocah sebagai salah satu genre sastra Jawa.

a. Fungsi Hiburan
Semua tembang dolanan bocah mempunyai fungsi
menghibur, di samping fungsi yang lain. Hal itu disebabkan usia
anak adalah usia bermain, sehingga dengan bentuk hiburan
danpermainan dapat menjaga perkembanganjiwa anak dapat
tumbuh wajar. Oleh karena itu banyak tembang dolanan yang
menggambarkan keindahan, kecantikan, dan kemuliaan hati, seperti
tembang tentang bunga, bulan, kupu-kupu, dan keindahan
lingkungan. Untuk menimang anak balita, biasanya dinyanyikan
tembang “Bulan Gedhe” dengan syair seperti berikut.
Mbulan-mbulan gedhe,
ana santri menek jambe,
ceblokna salining bae,
sur teplok tiba bathuk melok-melok

Pada saat sampai penutup, biasanya orang yang menimang


kemudian menggelitik anak balita di pangkuannya, sehingga
tertawa tergelak-gelak. Tembang ini dinyanyikan pada malam hari
di halaman ruumah saat bulan purnama. Seorang anak balita yang
ditimang dengan nyanyianini berada di pangkuan.
Agar dapat dihayati dengan baik, seseorang menyanyikan
tembang dolanan bocah dengan memanfaatkan anggota tubuhnya.
Misalnya tembang “Kidang Talun” seperrti berikut ini.
Kidang talun
mangan kacang talun

135
mil kethemil mil kethemil
si kidang mangan lembayung

Terjemahan:
kijang talun
makan kacang alun
mil kethemik mil kethemil
si kijang makan lembayung

Untuk mendukung suasana dan penghayatan dalam


menyanyikan tembang ini disertai kedua tangan yang
ditangkupkan, membuat bayang-bayang di tembok seperti kepala
seekor kijang. Dengan menggerak-gerakkan jari kelingking,
bayang-bayang kijang itu seperti sedang makan.
Sebagai bentuk hiburan, beberapa tembang dinyanyikan
unrtuk mengiringi sebuah permainan, seperti tembang “Sluku-
Sluku Bathok”, “Cublak-Cublak Suweng”, “Jamuran”. Tembang
“Sluku-Sluku Bathok” dinyanyikan sambil duduk berselonjor kaki,
ketika bernyanyi tangan digosok-gosokkan dari ujung hingga
pangkal kaki. Tembang “Cublak-Cublak Suweng” dinyanyikan
dengan cara salah seorang setengah tiduran menghadap ke bawah
dikelilingi oleh teman-temannya. Dengan bernyannyi, anak-anak
duduk mengelilingi temannya yang menelungkup. Anak-anak itu
meletakkan tangannya yang menggenggam. Salah seorang
mengedarkan sebuah benda pada genggaman tangan itu. Pada akhir
nyanyian, orang yang tertelungkup harus menebak siapa yang
menggenggam benda itu. Apabila salah, kembali telungkup lagi
dan permainan dilanjutkan. Bila dapat menebak, orang yang
tertebak harus menelungkup. Begitu seterusnya. Tembang
“jamuran” memerlukan tempat yang lebih luas, karena tembang ini
memakai permainan kejar-mengejar.

b. Sebagai Sarana Kritik Sosial dan Sindiran

136
Seperti yang telah disebutkan pada Kajian Pustaka, di antara
fungsi Sastra Lisan menurut Dundes adalah untuk sarana kritik
sosial. Di dalam tembang dolanan bocah kritik sosial ini dapat
sebagai peringatan untuk orang lain, untuk mencela, atau agar
orang yang dikritik dapat memperbaiki kesalahannya. . Jenis kritik
sosial di dalam tembang dolanan bocah seperti pada tembang
“Menthok-Menthok” berikut ini.
menthok-menthok tak kandhani/Mung lakumu angisin-
isini/mbokya aja ngetok/ana kandhang wae/enak-enak ngorok ora
nyambut gawe/menthok menthok/mung lakumu megal-megol gawe
guyu

Terjemahan:
entok-entok kuberitahu/caramu berjalan memalukan/jangan
menampakkan diri/di dalam kandangasyik mengorok tidak
bekerja/Entok-entok/hanya jalanmu megal-megol membuat tertawa

Tembang di atas merupakan kritik buat orang yang tidak


tahu diri, dan suka bertingkah supaya diperhatikan orang lain.
Padahal tingkah lakunya membuat orang lain tertawa. Tembang
berikut ini juga merupakan sindiran.
Gandho lio them/gondhel anting-anting/dijak ora
gelem/ditinggal gulung koming Terjemahannya: Gandho lio
them /gondhel adalah anting-anting/diajak tidak mau/ditinggal
berguling-guling
Tembang di atas merupakan sindiran terhadap anak yang
manja. Sikap seorang anak manja memang sering merepotkan,
diajak tidak mau, ditinggal juga tidak mau. Tembang dolanan
anak berikut ini senada dengan tembang di atas.

KEMBANG PELEM
Bok awi kembang pelem kuntul biru saba dalem
Ya bapak, ya ndara
Mesam mesem mesam mesem

137
Dijak gemang dipondhong gelem

Terjemahan:
BUNGA MANGGA
Bok awi bunga mangga burung kuntul biru berkeliaran di
rumah
Ya bapak, ya ndara
Tersenyum senyum tersenyum senyum
Diajak tidak maudigendhong mau

Apabila kita perhatikan semua uraian di atas, tembang


dolanan bocah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tembang
dolanan bocah yang memang murni untuk anak-anak dan tembang
dolanan bocah yang juga menjadi konsumsi batin orang tua.
Tembang dolanan bocah yangmurni untuk anak-anak bahasanya
sangat sederhana, dan tidak banyak menimbulkan tafsiran seperti
tembang “Bulan Gedhe”, “Kidang Talun”, “Sasi Pasa”, “Padang
Bulan” dan sebagainya. Tembang dolanan bocah yang juga
menjadi konsumsi orang tua bahasanya cukup rumit, dan banyak
menimbulkan tafsiran atau menimbulkan ketaksaan. Contoh
tembangsemacam ini seperti “Ilir-Ilir”, “Dempo”, “Cempa” dan
sebagainya. Tembang dolanan bocah sebagai warisan budaya
bermanfaat bagi perkembangan jiwa anak-anak, oleh karena itu
perlu diupayakan untuk melestarikan tembang dolanan ini.

3. Nilai Edukatif Tembang Dolanan Bocah


Pendidkan anak dapat ditempuh dengan dua cara, pendidikan
formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal dilakukan di
sekolah-sekolah, sedang pendidikan non formal dilakukan di
tengah keluarga dan di tengah masyarakat. Pendidikan di tengah
keluarga dan di tengah masyarakat biasanya dilakukan secara tidak
langsung, dan melalui perilaku anak sehari-hari. Apabila seorang
anak berperilaku tidak baik, biasanya orang tua atau masyarakat
langsung menegur dan mengarahkannya. Atau memberi sanksi

138
deduai dengan sanksi yang berlaku di tengah masyarakat tersebut.
Misalnya seorang anak yang sering berbuat tidak baik kepada
teman-temannya akan dikucilkan oleh teman-temannya. Dari
pengalaman itu, anak-anak dapat belajar ke arah hal-hal yang
positif.
Pendidikan anak dapat juga dilakukan melalui media
tembang dolanan. Hal itu disesuaikan dengan usia anak-anak yang
masih suka bermain. Dengan bermain, secara tidak langsung anak-
anak dapat menyerap unsur-unsur pendidikan. Salah satu bentuk
permainan aanak-anak adalah tembang dolanan. Pentingnya
tembang dolanan sebagai sarana pendidikan disadari oleh
Gubernur Jawa Timur pada zaman Belanda. Menurut Trimo S.M.
(1984:19) Ch. O van der Plas pada saat menjadi Gubernur Jawa
Timur memberi instruksi kepada semua sekolah Angka II (2e
Inlandschool) supaya mengajarkan tembang dolanan kuna dengan
cara menggali dari daerahnya sendiri-sendiri. Di samping itu
pemerintah Belanda (Dep O&E) juga mengeluarkan buku metode
lelagon.
Tembang Enthik-enthik si penunggul patenana seperti telah
dikutip di atas juga mengandung nolai edukatif di samping unsur
filosofis. Contoh lain tembang dolanan bocah yang mengandung
unsur pendidikan seperti berikut ini.
PRING CELUMPRING
prawane nini Saridin
cilik-cilik njaluk kawin
gedhe-gedhe njaluk pegat
utange kebo sajagat
nyaur siji tinggal minggat

Tembang di atas di samping mangandung unsur kritik sosial


juga mengandung unsur pndidikan, supaya perempuan tidak
menikah di usia dini. Demikian juga di dalam menyelenggarakan
perhelatan perkawinan tidak perlu diselenggarakan secara besar-
besaran dengan cara berhutang ke sana-sini. Akibat pernikahan

139
terlalu dini dan perhelatan besar-besaran dengan cara berhutang
akibatnya seperti keluarga Nini Saridin. Oleh karena itu masyarakat
diharapkan jangan menirunya.
Unsur pendidikan dalam tembang dolanan yang lain seperti
terdapat dalam tembang “Tatanya”. Tembang ini merupakan
bagian dari cerita rakyat Bawang Merah Bawang Putih, yaitu
ketika Bawang Putih mencari popok dan beruk yang hanyut saat
mencici di kali. Tembang ini berbentuk dialog dengan syair seperti
berikut ini.
TATANYA
kang kakang sing ngguyang jaran
sampeyan wau napa sumerep popok beruk keli
ora ndhuk, takona sing ngguyang sapi
kang kakang sing ngguyang sapi
sampeyan wau napa sumerep popok beruk keli
popoke limaran nggih punika
ora ndhuk, takona Nyai Buta Ijo.
Terjemahan:
BERTANYA
kang kakang yang memandikan kuda
sampeyan tadi apa tau popok beruk hanyut
tidak nak, tanyalah yang memandikan sapi
kang kakang yang memandikan sapi
sampeyan tadi apa melihat popok beruk hanyut
popoknya yaitu limaran
tidak nak, tanyalah nyai Buta Ijo.

Untuk memahami isi tembang dolanan di atas tidak akan


dapat dilakukan tanpa memahami cerita Bawang Merah Bawang
Putih. Pada intinya dalam tembang itu terkandung ajaran bahwa
seorang gadis harus berani menderita dulu demi kebahagiaan yang
akan datang. Bawang putih yang hidup menderita tersia-sia
akhirnya hidup bahagia setelah mendapat hadiah harta benda dari
Nyai Buta Ijo.

140
Selain “Bawang Merah Bawang Putih” cerita rakyat lain
yang disertai dengan nyanyian ialah dongeng “Andhe-Andhe
Lumut”. Larik awal tembang ini berbunyi seperti berikut: Ndhe
Andhe Si Andhe_Andhe Andhe Lumut/Tumuruna ana putri kang
ngunggah-unggahi (Ndhe Andhe Si Andhe Andhe Andhe
Lumut/Tumrunlah ada putri yang sedang melamar) Menurut
Danandjaja (1986:471) dongeng “Andhe-Andhe Lumut” bertipe
Cinderella dan tersebar di Nusantara. Tembang dolanan dari
cerita “Andhe-Andhe Lumut” ini di samping mengajarkan agar
wanita brani menderita telebih dahulu, juga mengajarkan agar
wanita dapat menjaga keperawanannya. Kleting Abang dan Kleting
Ijo tidak diterima oleh Andhe-Andhe Lumut karena sudah dixcium
oleh Yuyu Kangkang.
Untuk mendidik anak agar rendah hati, tidak sombong dngan
tembang dolanan bocah “Jago Kate”. Tembang ini menceritakan
seekor ayam jantan kate yang sombong, tetpi ketika dilempar batu
berlali dan menyembunyikan diri, tidak berani sombong lagi. Di
dalam masyarakat Jawa ada ungkapan “jago kate wanine neng
omahe dhewe” (ayam jantan kate beraninya di rumah sendiri)
untuk orang yang sombong tetapi sebnarnya penakut. Berani
dengan siapa saja di rumahnya sendiri, tetapi di luar rumah
penakut.Ayam kate adalah jenis ayam yang lebih kecil dari ayam
kebanyakan, yang jantan sangat aktif dan suka berkokok, tetapi
tidak dapat dijadikan ayam aduan. “Jago Kate” mendidik anak
agar tidak sombong dan penakut. Dibalang watu bocah gundul/
keok kena telihe/jranthal pelayune/mari umuk mari ngece/si akte
katon yen liwung (dilempar batu anak gundul/keok kena
temboloknya/jranthal larinya/ tidak berani lagi sombong tidak
berani lagi mengejek/si kate kelihatan bingung).
Tembang “Kembang Jagung” juga berfungsi sebagai sarana
pendidikan anak. Tembang ini mengajarkan kepada anak untuk
berani, dan bersikap satriya. Kutipan dari tembang ini sebagai
berikut:

141
Kembang jagung omah kampung pinggir lurung/jejer
telu sing tengah bakal omahku/cempa munggah
guwa/medhun nyang bonraja/methik kembang slaka
dicaosna kanjeng rama/maju kowe tatu/mundur kowe
ajur/tokna sabalamu ora wedi sudukanmu/iki lo dhadha
satriya/iki lo dhadha Janaka

Terjemahan:
Kembang jagung rumah kampung pinggir jalan/berjajar
tiga yang tengah calon rumahku/cempa naik goa/turun ke
kebunraja/memetik bunga slaka diserahkan ayah/maju
engkau luka/mundur engkau hancur/keluarkan semua
teman-temanmu tidak takut tusukanmu/ ini lo dasda
satria/ini lo dada Janaka

Pulau Jawa yang agraris menimbulkan tembang dolanan


tentang petani. Syair tembang itu sebagai berikut: Paman-paman
tani utun den emut/aja age-age nyebar srantekna den sabar/yen
udan tumurun/sebaren den thukul mesthi babar/becik banget
thukulane 2x.
Terjemahan bebas tembang di atas: Paman-paman petani
ingatlah/jangan segera menyebar/tunggu dengan sabar/ jika hujan
sudah turun/sebarlah pasti tumbuh dengan baik/baik sekali
tumbuhnya 2x
Meskipun tembang di atas ditujukan kepada petani, namun
sebenarnya tembang itu lebih tepat sebagai pendidikan untuk anak-
anak tentang bekajar bertani. Kalau tembang itu oleh anak-anak
ditujukan pada orang tua, hal itu tidak mungkin karena para orang
tua pasti sudah tahu kapan menyemai benih.

IV. Simpulan/Penutup
Tembang Dolanan bocah bukan sekedar sarana untuk
hiburan anak-anak, tetapi mempunyai fungsi dan makna. Meskipun
tembang dolanan bocah merupakan konsumsi anak-anak, namun

142
ternyata tembang itu sebenarnya tidak hanya ditujukan kepada
anak-anak.Tembang dolanan bocah juga dapat dinikmati orang tua.
Dari segi bahasa, tembang dolanan bocah dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu tembang dolanan bocah yang memakai bahasa
yang lugas dan tidak memerlukan penafsiran yang dalam. Tembang
seperti ini adalah tembang yang diciptakan khusus untuk anak-
anak. Kedua adalah tembang dolanan bocah yang bahasanya
simbolis, penuh ketaksaan dan sulit dicerna maknanya.
Tembang dolanan bocah mengandung makna relegius,
makna mantra, makna politik, dan makna filoosofis. Unsur religi
yang terdapat dalam tembang dolanan bocah adalah religi Pra-
Hindu, Hindu dan Buda, serta religi Islam. Di samping itu masih
ada lagi tembang dolanan bocah yang mempunyai makna mantra.
Tembang semacam ini seperti pada tembang “Cempe” dan “Ndhek
Erek Dhuwur Kencur”. Unsur politik seperti yang terdapat pada
tembang “Dhungkul Sedhela Dhalu Dhembleng”.
Di samping makna religi, mantra, dan politik tembang
dolanan bocah juga mempunai makna filosofis seperti pada
tembang “Enthik Enthik Si Temunggul Patenan” dan “E Dhayohe
Teka”. Makna filosofis tersebut diantaranya bahwa seorang anak
harus menghormati orang tua padha tembang “Enthik Enthik…”,
dan manusia harus mamayu ayuning bawana pada tembang “E
Dhayohe Teka”.
Fungsi tembang dolanan bocah di samping sebagai sarana
hiburan anak juga sebagai sarana pendidikan anak serta sarana
kritik sosial dan sindiran. Sebagai bentuk hiburan, beberapa
tembang dolanan dipakai untuk mengiringi permainan atau tari-
tarian.
Sebagai sarana pendidikan, tembang dolanan anak dapat
untuk menanamkan sikap pada anak agar berani, bersikap jujur,
dan berjiwa satriya, serta hemat tidak boros, tidak takut menderita..
Tembang Dolanan Bocah sebagai sarana kritik sosial dan sindiran
bertujuan untuk mencela orang lain, sebagai peringatan, atau agar
orang agar orang yang dikritik dapat memperbaiki kealahannya.

143
Hal itu muncul dalam tembang "Menthok-Menthok. "Gandolio
Them"” dan "Kembang Pelem”
Tembang dolanan bocah penting untuk sarana pendidikan
anak serta masyarakat. namun pada zaman penjajahan,
Pemerintah Belanda sebagai penjajah merasakan betapa perlunya
tembang dolanan bocah diajarkan di tingkat SD, sehingga Ch. O.
van der Plas sebagai Gubernur Jawa Timur memberikan instruksi
agar tembang dolanan diajarkan di tengkat Sekolah Angka Loro
(SD) pada waktu itu. Tetapi saat ini masyarakat Jawa sendiri
justru melupakannya. Mengingat pentingnya fungsi dan makna
Tembang Dolanan Bocah, materi itu perlu diajarkan lagi dalam
pelajaran sastra atau kesenian untuk muatan lokal bahasa daerah
(Jawa).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1987. Babad Tanah Jawi: De Prozaversie van Ng.


Kertapradja ingeleid door J.J. Ras. Dordrecht-Holland; Foris
Publication.

Danandjaja, James. 1986. “Andhe-Andhe Lumut: Dongeng


Sinderela Jawa yang Mempunyai Nilai Pedagogis”. Dalam
Kesenian, Bahasa dan Foklor Jawa. Yogyakarta: Dirjen
Kebudayaan Depdikbud.

______________. 1994. Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng,


dan Lain-Lain. Jakarta: Grafiti.

144
Endraswara, Suwardi. 1999. Lagu Dolanan: Wewadining Uripe
Wong Jawa?. Dalam Jaya Baya. Surabaya, 1 Agustus 1999.

Harjawiyana, Haryana. 1986. “Bentuk Ulang dalam Nyanyian


rakyat Jawa”. Dalam Kesenian, Bahasa dan Foklor Jawa.
Editor Sudarsono. Yogyakarta: Dirjen kebudayaan
Depdikbud.

Hutomo, Suripan Sadi dan Setyo Yuwono Sudikan. 1988.


Problematik sastra Jawa: Sejumlah Esei Sastra Jawa
Modern. Surabaya: IKIP Surabaya.

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan:


Pengantar Studi sastra Lisan. Surabaya: Hiski Jawa Timur.

______________. 1996. “Tembang Dolanan Bocah Saka Blora”.


Dalam Jaya Baya. Surabaya 2/LI, 8 September 1996.

______________. 1998. Kentrung Warisan Tradisi Lisan. Malang.


Mitra Alam Sejati.

______________. 1999. Filologi Lisan: Telaah Teks Kentrung.


Lautan Rezeki.

Junus, Umar. 1985. Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan


Budaya Indonesia. JaKARTA: Gramedia.

Karjono. 1993. “Werdining Tembang Ilir-Ilir”. Dalam Jaya Baya.


Surabaya, 3 Oktober 1993.

Keluarga Karawitan Studio RRI Surakarta. Tanpa Tahun. Kupu


Kuwi. Kaset Rekaman. Surakarta: Lokananta Recording.

145
Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest. 1992. Serba-Serbi Semiotika.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Supanto. 1986. “Foklor sebagai Sumber Informasi Kebudayaan


Daerah”. Dalam Kesenian, Bahasa dan Foklor. Editor
Sudarsono. Yogyakarta: Dirjen Kebudayaan Depdikbud.

Supratno, Haris. 1998. “Transformasi Cerita Dewi Rengganis


dalam Naskah ke dalam Pertunjukan Wayang sasak: Sebuajh
Kajian sastra Bandingan””Laporan Penelitian. Surabaya:
IKIP Surabaya.

Suryohatmodjo. 1979. “Ngudi Dolanan Ilir-Ilir”. Dalam Jaya Baya.


Surabaya, 6 Agustus 1979.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra.


Jakarta: Pustaka Jaya.

Trimo S.M. 1984. “Lelagon Dolanan” Dalam Jaya Baya. Surabaya,


12 Februari 1984.

Wahjono, Parwatri. 1994. Ilir-Ilir Satunggaling Folklor Jawi.


Dalam Jaya Baya, 10 Juli 1994.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan.


Jakarta: Gramedia.

146

Anda mungkin juga menyukai