net/publication/329139743
CITATIONS READS
0 1,673
2 authors, including:
Jati - Fatmawiyati
Airlangga University
15 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Jati - Fatmawiyati on 23 November 2018.
MODUL
PELATIHAN GURU
MENGENAI PENDIDIKAN INKLUSI
Disusun Oleh :
Jati Fatmawiyati
MAGISTER PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Daftar Isi
Hal
Daftar Isi ……………………………………………………………………… 1
Penjelasan Modul Pelatihan …………………………………………………… 2
Sesi Pembukaan ……………………………………………………………… 4
Sesi 1 Mengenal Pendidikan Inklusi ………………………………………….
Sesi 2 Mengenal Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus dan Saran Praktis 22
Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus ……. ……………………………
Sesi 3 Mengenal Program Pembelajaran Individual (PPI) …………………….. 51
Sesi Penutupan ………………………………………………………………….. 69
Daftar Pustaka …………………………………………………………………. 76
1
MODUL PELATIHAN
TOPIK
“PELATIHAN GURU MENGENAI PENDIDIKAN INKLUSI”
Tujuan:
1. Meningkatkan pengetahuan peserta tentang layanan pendidikan inklusi
2. Meningkatkan pengetahuan peserta tentang karakteristik masing-
masing jenis ABK dan saran praktis mengajar anak berkebutuhan
khusus
3. Meningkatkan pengetahuan peserta tentang Program Pembelajaran
Individual (PPI)
Sasaran :
Guru SMP Negeri 29 Surabaya
MATERI
Materi 1 : Mengenal Pendidikan Inklusi
Materi 2 : Mengenal Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus dan
Saran Praktis Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus
Materi 3 : Mengenal Program Pembelajaran Individual (PPI)
ACUAN
Bahan Bacaan
PERLENGKAPAN (perlu disesuaikan lagi)
Wireless Microphone
LCD
Komputer
Meja dan kursi
Bola tenis
Lembar Kerja
Lembar Evaluasi Pelaksanaan Pelatihan (Level 1-Reaksi)
Lembar Post-test dan Pre-test (Level 2 – Learning)
Lembar Evaluasi Hasil Pelatihan (Level 3- Behavior)
2
KEGIATAN
Jadwal Pelaksanaan
No Waktu Kegiatan
1 07.30-08.00 Registrasi
2 08.00-08.15 Pembukaan oleh Koordinator GPK
Pembukaan oleh Trainer
3 08.15-08.30 Ice Breaking “Lempar Bola”
4 08.30-10.00 Sesi 1 :
1. Pengisian Lembar Pre-test
2. Materi 1 : Mengenal Layanan Pendidikan Inklusi
3. Tanya Jawab
5 10.00-10.10 Coffe break
7 10.10-12.10 Sesi 2 :
1. Materi 2: Mengenal Karakteristik Anak Berkebutuhan
Khusus dan Penanganan Praktis di Kelas
2. Diskusi dan presentasi kasus
8 12.10-13.00 Ishoma
9 13.00-14.30 Lanjutan Sesi 2:
Diskusi dan presentasi kasus
10 14.30-15.30 Sesi 3:
1. Materi 3: Mengenal Program Pembelajaran Individual (PPI)
2. Tanya Jawab
11 15.30–16.00 Ishoma
12 16.00.16.30 Pengisian Lembar Post-test
13 16.30-17.00 Pengisian Lembar Evaluasi Pelatihan dan penutupan
3
SESI PEMBUKAAN
4
Posisi/tempat
Peserta
Trainer
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Peralatan
- Wireless microphone
- Bola tenis
5
SESI 1
Trainer
Peserta Peserta
Peralatan
- Komputer
- LCD
- Wireless Microphone
- Meja dan kursi
- Lembar Pre-test
- Bahan Bacaan
6
LEMBAR PRE-TEST PELATIHAN
(LEVEL 2 – LEARNING)
Nama Guru :
Matapelajaran :
7
8. Apa yang dimaksud dengan Program Pembelajaran Individual (PPI) dan siapa saja
pihak yang terlibat dalam penyusunannya?
_________________________________________________________________
_________________________________________________________________
9. Apa saja yang perlu dipersiapkan untuk menyusun PPI?
_________________________________________________________________
_________________________________________________________________
10. Komponen baku apa saja yang termuat dalam PPI?
________________________________________________________________
________________________________________________________________
Bahan Bacaan
PENDIDIKAN INKLUSI
8
untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Berdasarkan batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai
sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus
belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan
tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah
memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan
individu peserta didik tanpa diskriminasi.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan
penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana parasarana pendidikan, maupun
sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik.
Untuk itu proses identifikasi dan asesmen yang akurat perlu dilakukan oleh
tenaga yang terlatih dan/atau profesional di bidangnya untuk dapat menyusun
program pendidikan yang sesuai dan obyektif.
9
reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana
prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan
dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial
anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.
10
c. Sekolah inklusif
Sekolah inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu.
Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya,
semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai
modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana,
tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem
penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak
sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu
peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem
persekolahan. Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan
khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai
dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan
pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing.
Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah
dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai
pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa
diskriminasi.
11
c. Tujuan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan :
1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk
anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai
dengan kebutuhannya.
2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar
3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan
menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah
4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak
diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran
5. Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps. 32 ayat 1
yang berbunyi ‟setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan‟,
dan ayat 2 yang berbunyi ‟setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya‟. UU no. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, khususnya Ps. 5 ayat 1 yang berbunyi ‟setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu‟. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Ps. 51
yang berbunyi ‟anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental
diberikana kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh
pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
12
Sekolah reguler yang menerapkan program pendidikan inklusif akan
berimplikasi secara manajerial di sekolah tersebut. Diantaranya adalah:
a. Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima
keanekaragaman dan menghargai perbedaan.
b. Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan
menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual.
c. Guru di kelas reguler harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.
d. Guru pada sekolah inklusif dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi
atau sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
e. Guru pada sekolah inklusif dituntut melibatkan orangtua secara bermakna
dalam proses pendidikan.
13
emosional/tingkah laku) dalam rangka pemberian layanan pendidikan
yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak
berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus
melalui program inklusi. Tujuan identifikasi anak berkebutuhan khusus
dilakukan untuk lima keperluan, yaitu: penjaringan (screning),
pengalihtanganan (referal), klasifikasi, perencanaan pembelajaran, dan
pemantauan kemajuan belajar.
2. Asesmen
Asesmen merupakan proses pengumpulan informasi sebelum disusun
program pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus. Asesmen ini
dimaksudkan untuk memahami keunggulan dan hambatan belajar siswa,
sehingga diharapkan program yang disusun benar-benar sesuai dengan
kebutuhan belajarnya. Fungsi asesmen :
a. Fungsi screening/ penyaringan, pada tahap ini asesmen diuntukkan
untuk keperluan screening/penyaringan. Screening ini dilakukan
untuk mengidentifikasi siswa yang mungkin mempunyai problem
belajar
b. Fungsi pengalihtanganan/ referal, adalah sebagai alat untuk
pengalihtanganan kasus dari kasus pendidikan menjadi kasus
kesehatan, kejiwaan ataupun kasus sosial ekonomi. Ada bagian yang
tidak mungkin ditangani oleh guru sendiri, sehingga memerlukan
keterlibatan profesional lain.
c. Fungsi perencanaan pembelajaran individual (PPI), dengan berbekal
data yang diperoleh dalam kegiatan asesmen, maka akan tergambar
berbagai potensi maupun hambatan yang dialami anak. Misalnya
keterbelakangan mental, gangguan motorik, persepsi, memori,
komunikasi, adaptasi sosial,
d. Fungsi monitoring kemajuan belajar, adalah untuk memonitor
kemajuan belajar yang dicapai siswa.
e. Fungsi evaluasi program, adalah untuk mengevaluasi program
pembelajaran yang telah dilaksanakan.
14
2. Kurikulum
1. Jenis Kurikulum
Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada
dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum.
Namun demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didik
berkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan,
sedang sampai yang berat, maka dalam implementasinya, kurikulum reguler
perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kebutuhan peserta didik.
Modifikasi (penyelarasan) kurikulum dilakukan oleh tim pengembang
kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari:
kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pembimbing khusus,
konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait.
15
Pada model kurikulum ini guru mempersiapkan program pendidikan
individual (PPI) yang dikembangkan bersama tim pengembang yang
melibatkan guru kelas, guru pembimbing khusus, kepala sekolah, orang
tua, dan tenaga ahli lain yang terkait.
Model ini diperuntukan pada siswa yang mempunyai hambatan belajar
yang tidak memungkinkan untuk mengikuti proses belajar berdasarkan
kurikulum reguler. Siswa berkebutuhan khusus seperti ini dapat
dikembangkan potensi belajarnya dengan menggunakan PPI dalam
setiing kelas reguler, sehingga mereka bisa mengikuti proses belajar
sesuai dengan fase perkembangan dan kebutuhannya.
3. Tenaga Pendidik
1. Pengertian
Tenaga pendidik adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu
yang melaksanakan program pendidikan inklusi. Tenaga pendidik
meliputi: guru kelas, guru mata pelajaran (Pendidikan Agama serta
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan guru pembimbing khusus
(GPK).
2. Tugas
a. Tugas Guru Kelas antara lain sebagai berikut :
(1) Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga anak-anak
merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.
(2) Menyusun dan melaksanakan asesmen pada semua anak untuk
mengetahui kemampuan dan kebutuhannya
(3) Menyusun program pembelajaran individual (PPI) bersama-sama
dengan guru pembimbing khusus (GPK).
(4) Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dan mengadakan
penilaian untuk semua mata pelajaran (kecuali Pendidikan
Agama dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan ) yang menjadi
tanggung jawabnya.
16
(5) Memberikan program remedi pengajaran (remedial teaching),
pengayaan/percepatan bagi peserta didik yang membutuhkan.
(6) Melaksanakan administrasi kelas sesuai dengan bidang tugasnya.
17
mengikuti kegiatan pembelajaran, yang dapat dipahami jika
terjadi pergantian guru.
(6) Memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada guru kelas
dan/atau guru mata pelajaran agar mereka dapat memberikan
pelayanan pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus.
4. Kegiatan Pembelajaran
a. Model Kelas Inklusi
1. Kelas reguler (inklusi penuh)
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal)
sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum
yang sama.
2. Kelas reguler dengan cluster
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler dalam kelompok khusus
3. Kelas reguler dengan pull out.
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas
reguler ke ruangan sumber untuk belajar dengan guru pembimbing
khusus.
4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out
anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu
tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar
dengan guru pembimbing khusus.
5. Kelas khusus dgn berbagai pengintergrasian
anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada
sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar
bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
6. Kelas khusus penuh
18
anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada
sekolah reguler.
b. Perencanaan Pembelajaran
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan
pembelajarann pada kelas inklusif antara lain seperti di bawah ini.
1.Merencanakan pengelolaan kelas
2.Merencanakan pengorganisasian bahan
3.Merencanakan strategi pendekatan kegiatan belajar mengajar
4.Merencanakan prosedur kegiatan belajar mengajar
5.Merencanakan penggunaan sumber dan media belajar
6.Merencanakan penilaian
c. Pelaksanaan Pembelajaran
1. Melasanakan apersepsi
2. Menyajikan materi/bahan pelajaran
3. Mengimplementasikan metode, sumber/media belajar, dan bahan
latihan yang sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa,
serta sesuai dengan tujuan pembelajaran
4. Mendorong siswa untuk terlibat secara aktif
5. Mendemontrasikan penguasaan materi pelajaran dan relevansinya
dalam kehidupan
6. Membina hubungan antar pribadi, antara lain: (1) Bersikap terbuka,
toleran, dan simpati terhadap siswa; (2) Menampilkan kegairahan dan
kesungguhan; (3) Mengelola interaksi antar pribadi.
d. Prinsip-Prinsip Pembelajaran
1. Prinsip motivasi : guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada
siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam
mengikuti kegiatan belajar-mengajar.
2. Prinsip latar/ konteks : guru perlu mengenal siswa secara mendalam,
menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di
lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari
19
pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak
terlalu perlu bagi anak.
3. Prinsip keterarahan : setiap akan melakukan kegiatan pembalajaran,
guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menyiapkan bahan dan
alat yang sesuai, serta mengembangkan strategi pembelajaran yang
tepat
4. Prinsip hubungan sosial : dalam kegiatan belajar-mengajar, guru
perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu
mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan
siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, searta interaksi banyak
arah.
5. Prinsip belajar sambil bekerja: dalam kegiatan pembelajaran, guru
harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan
praktek atau percobaan, atau menemukan sesuatu melalui
pengamatan, penelitian, dan sebagainya.
6. Prinsip individulisasi : guru perlu mengenal kemampuan awal dan
karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari seagi
kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi
pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan
perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing
anak meandapat perhatian dan paerlakuan yang sesuai.
7. Prinsip menemukan : guru perlu mengembangkan strategi
pembelajaran yang mampu memancing anak untuk terlibat seacara
aktif, baik fisik, mental, sosial, dan/atau emosional.
8. Prinsip pemecahan masalah : guru hendaknya sering mengajukan
berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar, dan anak
dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan
memecahkannya seasuai dengan kemampuannnya.
20
5. Penilaian dan Sertifikasi
a. Penilaian
Penilaian dalam setting inklusi ini mengacu pada model pengembangan
kurikulum yang dipergunakan, yaitu:
a. Apabila menggunakan model kurikulum reguler penuh, maka
penialiannya menggunakan sistem penilaian berlaku pada sekolah
reguler.
b. Jika menggunakan model kurikulum reguler dengan modifikasi,
maka penilaiannya menggunakan sistem penilaian reguler yang telah
dimodifikasi sekolah disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan
kebutuhan siswa.
c. Apabila menggunakan kurikulum PPI, maka penilaiannya bersifat
individu dan didasarkan pada kemampuan dasar (base line).
b. Sistem Kenaikan Kelas dan Laporan Hasil Belajar
a. Sistem Kenaikan kelas
a. Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum reguler penuh,
sistem kenaikan kelasnya menggunakan acuan yang berlaku pada
sekolah reguler penuh yang sedang berlaku.
b. Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum reguler yang
dimodifikasi, maka sistem kenaikan kelasnya dapat menggunakan
alternatif berikut: (1) menggunakan model kenaikan kelas yang
didasarkan pada usia kronologis; (2) menggunakan sistem
kenaikan kelas reguler.
c. Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum PPI, sistem
kenaikannya didasarkan pada usia kronologis.
b. Sistem Laporan Hasil Belajar
a. Bagi siswa yang menggunakan kurikulum reguler penuh, maka
model laporan hasil belajarnya (raport) menggunakan model
raport reguler yang sedang berlaku.
b. Bagi siswa yang menggunakan kurikulum reguler yang
dimodifikasi, model raport yang dipergunakan adalah raport
21
reguler yang dilengkapi dengan diskripsi (narasi) yang
menggambarkan kualitas kemajuan belajarnya.
c. Bagi siswa yang menggunakan kurikulum PPI, maka
menggunakan model raport kuantitatif yang dilengkapi dengan
diskripsi (narasi). Penentuan nilai kuantitatif didasarkan pada
kemampuan dasar (base line anak).
c. Sertifikasi
Sertifikasi adalah suatu bentuk penghargaan yang berupa surat
keterangan yang diberikan kepasi siswa yang telah berhasil mencapai
prestasi dalam bidang akademik maupun non akademik. Sertifikasi
bidang akademik adalah suatu bentuk penghargaan yang diberikan
kepada siswa yang telah berhasil mencapai kompetensi pembelajaran
pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan standar penilaian yang
berlaku. Sedangkan sertifikasi non akademik adalah suatu bentuk
penghargaan yang diberikan kepada siswa yang telah mampu mencapai
prestasi tertentu, seperti bidang, seni, budaya, olah raga, mekanik,
otomotif, dan jenis keterampilan lainnya.
22
SESI 2
Trainer Trainer
5 1 10 6
4 2 9 7
3
8
Peralatan
- LCD
- Komputer
23
- Wireless Microphone
- Meja dan kursi
- Lembar kerja tugas kelompok
- Bahan bacaan
Bahan Bacaan
24
normal pada umumnya hal ini terlihat dalam aktivitas mobilitas dan respon
motorik yang merupakan umpan balik dari stimuli visual.
b. Segi Motorik
Hilangnya indera penglihatan sebenarnya tidak berpengaruh secara langsung
terhadap keadaan motorik anak tunanetra, tetapi dengan hilangnya
pengalaman visual menyebabkan tunanetra kurang mampu melakukan
orientasi lingkungan. Sehingga tidak seperti anak-anak normal, anak
tunanetra harus belajar bagaimana berjalan dengan aman dan efisien dalam
suatu lingkungan dengan berbagai keterampilan orientasi dan mobilitas.
c. Perilaku
Kondisi tunanetra tidak secara langsung menimbulkan masalah atau
penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun demikian hal tersebut
berpengaruh pada perilakunya. Anak tunanetra sering menunjukkan perilaku
stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak semestinya.
Manifestasi perilaku tersebut dapat berupa sering menekan matanya,
membuat suara dengan jarinya, menggoyang-goyangkan kepala dan badan,
atau berputar-putar. Ada beberapa teori yang mengungkap mengapa
tunanetra kadang-kadang mengembangkan perilaku stereotipnya. Hal itu
terjadi mungkin sebagai akibat dari tidak adanya rangsangan sensoris,
terbatasnya aktifitas dan gerak di dalam lingkungan, serta keterbatasan
sosial. Untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku tersebut dengan
membantu mereka memperbanyak aktifitas, atau dengan mempergunakan
strategi perilaku tertentu, seperti memberikan pujian atau alternatif
pengajaran, perilaku yang lebih positif, dan sebagainya.
d. Akademik
Secara umum kemampuan akademik, anak-anak tunanetra sama seperti
anak-anak normal pada umumnya. Keadaan ketunanetraan berpengaruh pada
perkembangan keterampilan akademis, khususnya dalam bidang membaca
dan menulis. Dengan kondisi yang demikian maka tunanetra
mempergunakan berbagai alternatif media atau alat untuk membaca dan
menulis, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Mereka mungkin
25
mempergunakan huruf braille atau huruf cetak dengan berbagai alternatif
ukuran. Dengan asesmen dan pembelajaran yang sesuai, tunanetra dapat
mengembangkan kemampuan membaca dan menulisnya seperti temanteman
lainnya yang dapat melihat.
e. Pribadi dan Sosial
Mengingat tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui
pengamatan dan menirukan, maka anak tunananetra sering mempunyai
kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar. Sebagai akibat dari
ketunanetraannya yang berpengaruh terhadap keterampilan sosial, anak
tunanetra perlu mendapatkan latihan langsung dalam bidang pengembangan
persahabatan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan postur
tubuh yang baik, mempergunakan gerakan tubuh dan ekspresi wajah,
mempergunakan intonasi suara atau wicara dalam mengekspresikan
perasaan, menyampaikan pesan yang tepat pada waktu melakukan
komunikasi. Penglihatan memungkinkan kita untuk bergerak dengan leluasa
dalam suatu lingkungan, tetapi tunanetra mempunyai keterbatasan dalam
melakukan gerakan tersebut. Keterbatasan tersebut mengakibatkan
keterbatasan dalam memperoleh pengalaman dan juga berpengaruh pada
hubungan sosial. Dari keadaan tersebut mengakibatkan tunanetra lebih
terlihat memiliki sikap:
1. Curiga yang berlebihan pada orang lain, ini disebabkan oleh
kekurangmampuannya dalam berorientasi terhadap lingkungannya
2. Mudah tersinggung. Akibat pengalaman-pengalaman yang kurang
menyenangkan atau mengecewakan yang sering dialami, menjadikan
anak-anak tunanetra mudah tersinggung.
3. Ketergantungan pada orang lain. Anak-anak tunanetra umumnya
memilki sikap ketergantungan yang kuat pada oranglain dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari. Kondisi yang demikian umumnya wajar terjadi
pada anak-anak tunanetra berkenaan dengan keterbatasan yang ada pada
dirinya.
26
Saran Praktis untuk Mengajar Anak-anak Tunanetra
1. Atur tempat duduk anak-anak tunanetra agar mereka dapat mendengar
dengan baik karena dalam pembelajaran mereka lebih bergantung pada
pendengaran dibandingkan dengan kebanyakan anak-anak lain.
2. Jika beberapa ruang kelas di sekolah lebih berisik/bising daripada kelas
yang lain - (kebisingan karena padatnya jalan raya, lalu lintas kereta api,
bandara atau pabrik), sekolah harus fleksibel dan memindahkan kelas
yang terdapat anak tunanetra (serta kelas yang memiliki anak tunarungu
atau dengan disabilitas lainnya) ke ruang kelas yang tidak berisik atau
lebih tenang.
3. Kita harus mengatur tempat duduk anak-anak low vision agar mereka
dapat memaksimalkan sisa penglihatan mereka serta mencegah
penurunan sisa penglihatan akibat pantulan dari sinar matahari dan
sumber cahaya lain yang dapat menyebabkan kebutaan. Sebagian anak
tunanetra dengan sisa persepsi cahaya merasa terganggu apabila terpapar
oleh cahaya secara langsung, sebagian lagi justru memanfaatkan cahaya
karena mereka dapat menggunakan persepsi cahaya untuk tujuan
mobilitas. Pengaturan tempat duduk harus tetap atau setidaknya tidak
berubah terlalu sering, agar anak tunanetra dapat mengorientasikan diri
mereka sendiri dan menemukan jalan menuju kursi mereka secara
mandiri, serta tahu tempat duduk semua teman-teman mereka.
4. Tata dan bersihkan kelas, terutama lantai, agar tidak berantakan untuk
memudahkan mobilitas anak-anak tunanetra tersebut terhindar dari
kecelakaan dan cedera.
5. Begitu pula dengan benda dan media penting di dalam kelas (buku,
bahan, dan alat belajar) tidak boleh dipindah-pindahkan terlalu sering.
Dengan tempat yang tetap anak-anak tunanetra dapat menemukan benda-
benda tersebut secara lebih mudah dan mandiri.
6. Pertimbangkan “target” pembelajaran yang harus ditetapkan bagi anak-
anak tunanetra (hal-hal yang harus dipelajari sepanjang tahun ajaran),
dan cobalah untuk menemukan cara dan strategi dalam membantu anak
27
mencapai target ini. Hal ini akan membantu Anda dalam merencanakan
pembelajaran terutama jika Anda memerlukan dukungan eksternal dari
guru kunjung atau asisten guru (jika ada), menemukan cara agar anak-
anak lain di kelas dapat membantu, jenis pengajaran yang disesuaikan,
dan materi pembelajaran yang dibutuhkan. Ingatlah, mungkin Anda
memerlukan waktu lebih banyak untuk mendapatkan buku Braille,
abakus atau media pendukung lainnya.
7. Luangkan waktu untuk menjelaskan kepada anak tunanetra tentang
proses pembelajaran di kelas di awal pembelajaran, terutama dalam mata
pelajaran yang membutuhkan serangkaian kegiatan yang berbeda-beda,
misalnya dalam pelajaran IPA yang membutuhkan eksperimen,
pendidikan jasmani, memasak dan kerajinan/keterampilan. Penjelasan
tersebut juga ditujukan untuk menunjukan perbedaan fungsi antara alat-
alat atau media yang digunakan karena anak-anak tunanetra mungkin
tidak dapat mengikuti petunjuk umum.
8. Bacalah dengan nyaring dan perlahan-lahan segala informasi dan materi
yang tertulis di papan tulis.
9. Cobalah untuk berbicara sambil menghadap anak-anak (tidak jauh dari
mereka) karena anak-anak tunanetra sangat tergantung pada pendengaran
dalam menerima informasi, dan mereka perlu mendengarkan Anda
dengan jelas.
10. Libatkan anak-anak lain di kelas dalam menjelaskan konsep visual bagi
anak tunanetra. Hal ini merupakan tantangan yang menarik bagi anak-
anak awas pada umumnya (dan orang dewasa). Lebih lanjut kegiatan ini
dapat membantu mereka untuk melihat sesuatu dari perspektif yang
berbeda dan memperdalam pemahaman mereka tentang bentuk, warna
dan fungsi. Kegiatan membantu teman-teman mereka yang menyandang
tunanetra juga berkontribusi besar pada pengembangan sosial, emosional
dan akademis, serta saling memperkaya satu sama lain. Motivasi anak-
anak lain di kelas untuk berpikir tentang cara melibatkan teman sebaya
mereka yang menyandang tunanetra ke dalam kegiatan program
28
pendidikan jasmani. Inklusi bukan hanya tanggung jawab guru, tetapi
juga siswa. Melalui pendidikan jasmani dan kegiatan ekstrakurikuler
sekolah lainnya anakanak dapat belajar bagaiman melibatkan teman
sebaya mereka yang menyandang disabilitas. Ini adalah salah satu poin
yang paling penting dalam pendidikan inklusif karena anak-anak
tunanetra cenderung dikucilkan dari berbagai kegiatan ekstrakurikuler,
dan bahkan dalam kegiatan pembelajaran reguler.
11. Persiapkan bahan belajar taktil/praktis sebagai bagian dari “proyek
kelas.” Mintalah anak-anak untuk membuat peta timbul yang dapat
diraba oleh tunanetra. Peta tersebut membantu semua anak untuk belajar
geografi dengan lebih baik, terutama anak-anak yang bergantung pada
informasi lisan dan taktil untuk belajar.
12. Utamakan penggunaan benda nyata yang dapat disentuh dan dirasakan
oleh anak daripada hanya bekerja secara abstrak dengan pena dan kertas.
Strategi ini penting bagi semua anak, terutama bagi anak-anak cacat.
13. Anak tunanetra mengalami kesulitan dalam memahami konsep suatu
“benda,” terutama jika benda tersebut sangat besar atau sangat kecil.
Oleh karena itu, berikan kesempatan sebanyak mungkin agar anak-anak
dapat menyentuh berbagai “benda” yang berbeda. Jika sebuah pohon
besar jatuh atau dipotong di dekat sekolah, bawa anak-anak ke sana
untuk melihat dan menyentuhnya. Hal ini akan memberikan pemahaman
yang lebih baik tentang ukuran, tinggi dan panjang bagi semua anak di
kelas, tidak “hanya” bagi anak tunanetra.
14. Ingatlah bahwa diperlukan waktu lebih banyak waktu untuk menulis
huruf dengan karakter Braille dibandingkan menulis huruf cetak biasa
yang ditulis dengan tinta. Satu karakter Braille dapat terdiri satu hingga
lima titik. Dengan penggunaan riglet dan stylus maka titik-titik tersebut
akan timbul secara terpisah.
2. Anak Tunarungu
29
Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian organ
pendengaran atau telinga seseorang anak. Kondisi ini menyebabkan mereka
memiliki karakteristik yang khas, berbeda dari anak-anak normal pada
umumnya. Beberapa karakteristik anak tunarungu, diantaranya adalah:
a. Segi Fisik
1. Cara berjalannya kaku dan agak membungkuk. Akibat terjadinya
permasalahan pada organ keseimbangan pada telinga, menyebabkan
anak-anak tunarungu mengalami kekurangseimbangan dalam aktivitas
fisiknya.
2. Pernapasannya pendek, dan tidak teratur. Anak-anak tunarungu tidak
pernah mendengarkan suara-suara dalam kehidupan sehari-hari,
bagaimana bersuara atau mengucapkan kata-kata dengan intonasi yang
baik, sehingga mereka juga tidak terbiasa mengatur pernapasannya
dengan baik, khususnya dalam berbicara.
3. Cara melihatnya agak beringas. Penglihatan merupakan salah satu indra
yang paling dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu, dimana
karena itu anak-anak tunarungu juga dikenal sebagai anak visual,
sehingga cara melihatpun selalu menunjukkan keingintahuan yang besar
dan terlihat beringas.
b. Segi Bahasa
1. Miskin akan kosa kata
2. Sulit mengartikan kata-kata yang mengandung ungkapan, atau idiomatic
3. Tatabahasanya kurang teratur
c. Intelektual
1. Kemampuan intelektualnya normal. Pada dasarnya anak-anak tunarungu
tidak mengalami permasalahan dalam segi intelektual. Namun akibat
keterbatasan dalam berkomunikasi dan berbahasa, perkembangan
intelektual menjadi lamban
2. Perkembangan akademiknya lamban akibat keterbatasan bahasa. Seiring
terjadinya kelambanan dalam perkembangan intelektualnya akibat
30
adanya hambatan dalam berkomunikasi, maka dalam segi akademiknya
juga mengalami keterlambatan.
d. Sosial-emosional
1. Sering merasa curiga dan syak wasangka. Sikap seperti ini terjadi akibat
adanya kelainan fungsi pendengarannya. Mereka tidak dapat memahami
apa yang dibicarakan oranglain, sehingga anak-anak tunarungu menjadi
mudah merasa curiga.
2. Sering bersikap agresif
31
anak untuk menggunakan sisa pendengarannya sampai batas
maksimum yang memungkinkan walaupun anak tersebut lebih
menyukai metode bahasa isyarat (komunikasi manual).
12. Kurangi semua kebisingan yang tidak perlu, karena berbagai suara
akan membuat anak lebih sulit menggunakan sisa pendengarannya. Hal
ini juga penting jika anak menggunakan alat bantu dengar
(Amplifikasi).
13. Jika beberapa ruang kelas di sekolah lebih bising dari ruang lain
(kebisingan dari jalan yang padat, kereta api, bandara atau pabrik),
maka sekolah harus fleksibel dan memindahkan kelas yang terdapat
anak-anak tunarungu (serta kelas yang memiliki anak-anak tunanetra
atau kecacatan lainnya) ke kelas yang tidak bising.
14. Fleksibel dengan waktu, karena kebanyakan anak-anak tunarungu
(total dan sebagian) kemungkinan menemukan kesulitan dan
memerlukan usaha yang lebih keras dalam memahami segala sesuatu
yang terjadi di kelas (karena mereka memiliki gangguan pendengaran).
15. Ketika menilai tugas anak tekankan pada isi materi daripada tata
bahasa
terutama bagi anak-anak yang menggunakan bahasa isyarat dalam
berkomunikasi. Karena tata bahasa bahasa isyarat sangat berbeda
dengan bahasa tertulis maka pada dasarnya ketika anak-anak tersebut
menulis maka mereka akan menulis dalam bahasa „kedua‟ mereka.
32
mempengaruhi kemampuan anak-anak tunarungu dalam membaca
bibir dan memahami mimik muka.
3. Mayoritas anak-anak tunarungu total (gangguan pendengaran sangat
berat) dilahirkan dari orang tua yang mendengar. Oleh karena itu,
sekolah juga harus berupaya memberikan instruksi/petunjuk bagi
orangtua tentang implikasi ketunarunguan dalam keluarga.
4. Anak tunarungu memerlukan waktu lebih untuk belajar dibandingkan
dengan anak-anak lain. Hal ini dikarenakan mereka harus belajar untuk
membaca danmenulis dalam bahasa „kedua‟nya – suatu bahasa yang
sangat berbeda dari bahasa pertamanya.
5. Seorang anak yang kesulitan mendengar mungkin memerlukan lebih
banyak waktu untuk belajar dari pada anak-anak lain, karena dia tidak
akan selalu dapat mendengar suara guru dan hal-hal yang dibicarakan
anak-anak lain di kelas. Oleh karena itu, banyak informasi yang
diberikan selama pelajaran akan hilang.
3. Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, atau cacat
tubuh, yang mencakup kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami
kelainan anggota gerak dan kelumpuhan yang disebabkan karena kelainan yang
ada di syaraf pusat atau otak, disebut sebagai cerebral palcsy (CP), dengan
karakteristik sebagai berikut:
a. Gangguan Motorik
Gangguan motoriknya berupa kekakuan, kelumpuhan, gerakan-gerakan yang
tidak dapat dikendalikan, gerakan ritmis dan gangguan keseimbangan.
Gangguan motorik ini meliputi motorik kasar dan motorik halus.
b. Gangguan Sensorik
Pusat sensoris pada manusia terleak otak, mengingat anak cerebral palsy
adalah anak yang mengalami kelainan di otak, maka sering anak cerebral
palsy disertai gangguan sensorik, beberapa gangguan sensorik antara lain
penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan perasa. Gangguan
33
penglihatan pada cerebral palsy terjadi karena ketidakseimbangan otot-otot
mata sebagai akibat kerusakan otak. Gangguan pendengaran pada anak
cerebral palsy sering dijumpai pada jenis athetoid.
c. Gangguan Tingkat Kecerdasan
Walaupun anak cerebral palsy disebabkan karena kelainan otaknya tetapi
keadaan kecerdasan anak cerebral palsy bervariasi, tingkat kecerdasan anak
cerebral palsy mulai dari tingkat yang paling rendah sampai gifted. Sekitar
45% mengalami keterbelakangan mental, dan 35% lagi mempunyai tingkat
kecerdasan normal dan diatas rata-rata. Sedangkan sisanya cenderung
dibawah rata-rata (Hardman, 1990).
d. Kemampuan Berbicara
Anak cerebral palsy mengalami gangguan wicara yang disebabkan oleh
kelainan motorik otot-otot wicara terutama pada organ artikulasi seperti
lidah, bibir, dan rahang bawah, dan ada pula yang terjadi karena kurang dan
tidak terjadi proses interaksi dengan lingkungan. Dengan keadaan yang
demikian maka bicara anak-anak cerebral palsy menjadi tidak jelas dan sulit
diterima orang lain.
e. Emosi dan Penyesuaian Sosial
Respon dan sikap masyarakat terhadap kelainan pada anak cerebral palsy,
mempengaruhi pembentukan pribadi anak secara umum. Emosi anak sangat
bervariasi, tergantung rangsang yang diterimanya. Secara umum tidak terlalu
berbeda dengan anak–anak normal, kecuali beberapa kebutuhan yang tidak
terpenuhi yang dapat menimbulkan emosi yang tidak terkendali. Sikap atau
penerimaan masyarakat terhadap anak cerebral palsy dapat memunculkan
keadaan anak yang merasa rendah diri atau kepercayaan dirinya kurang,
mudah tersinggung, dan suka menyendiri, serta kurang dapat menyesuaiakan
diri dan bergaul dengan lingkungan.
Sedangkan anak anak yang mengalami kelumpuhan yang dikarenakan
kerusakan pada otot motorik yang sering diderita oleh anak-anak pasca polio
dan muscle dystrophy lain mengakibatkan gangguan motorik terutama
gerakan lokomosi, gerakan ditempat, dan mobilisasi. Ada sebagian anak
34
dengan gangguan gerak yang berat, ringan, dan sedang. Untuk berpindah
tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu dalam memenuhi
kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak. Dalam kehidupan sehari-
hari anak perlu bantuan dan alat yang sesuai. Keadaan kapasitas kemampuan
intelektual anak gangguan gerak otot ini tidak berbeda dengan anak normal.
35
6. Anak-anak yang memiliki kelainan motorik atau anak-anak tanpa salah
satu atau kedua lengan/tangan terkadang perlu menggunakan tape
recorder (alat perekam) atau alat pencatat elektronik selama di kelas.
Mereka juga harus memiliki pilihan untuk merekam/mengcopy PR
mereka pada pita kaset atau dicetak dari komputer dengan perangkat
lunak pengenal suara.
7. Banyak anak disabilitas fisik membutuhkan waktu tambahan untuk
membaca, menulis, atau membuat catatan. Tentunya hal ini dapat
mempengaruhi partisipasi mereka di kelas serta waktu yang mereka
butuhkan dalam menyelesaikan tugas. Guru dan administrator sekolah
(serta pengawas dan penilik sekolah) harus memastikan bahwa anak
yang bersangkutan mendapatkan waktu yang mereka butuhkan untuk
menunjukkan hal-hal yang telah mereka pelajari di sekolah. Hal ini
penting bagi semua anak, dengan atau tanpa disabilitas. Waktu tambahan
sangat penting untuk diberikan terutama pada saat ujian.
8. Beberapa anak tunadaksa mungkin perlu perpanjangan tenggang waktu
untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dan kegiatan di kelas lainnya
yang memerlukan pencarian dan penggunaan sumber belajar yang
terdapat di perpustakaan. Oleh karena itu guru seharusnya menyediakan
daftar bacaan, daftar hal yang harus dilakukan, dan bahan belajar dengan
baik sebelum memulai kegiatan, sehingga anak-anak tersebut dapat
mempersiapkan dengan baik dan memulai lebih awal.
9. Kegiatan yang berlangsung di luar sekolah (seperti kunjungan ke
museum, galeri, dan kegiatan olah raga), harus direncanakan dan
dilaksanakan agar semua anak dapat ikut serta dan mendapatkan manfaat
dari kegiatan tersebut. Jika kelas mengunjungi suatu museum atau
pameran pastikan bahwa lingkungan fisik lokasi tersebut dapat diakses.
Jika Anda merencanakan kegiatan olahraga maka Anda harus
mempertimbangkan strategi agar semua anak merasa “tertantang” secara
fisik menurut potensi dan kemampuan individunya.
36
10. Anak-anak lain di kelas harus didorong untuk membantu dan
mendampingi teman-teman sekelas mereka yang mengalami disabilitas.
Kegiatan ini merupakan bagian dari pengembangan sosial, emosional
dan akademis mereka sendiri, yang tentunya dapat bermanfaat bagi
semua anak, dengan atau tanpa disabilitas.
4. Anak Tunagrahita
Untuk memahami karakteristik anak tunagrahita maka perlu disesuaikan
dengan klasifikasinya karena setiap kelompok tunagrahita memiliki karakteristik
yang berbeda-beda. Sesuai dengan bidang bahasan pada materi ini akan dibahas
pada karakteristik akademik tunagrahita sebagai berikut: karakteristik anak
tunagrahita secara umum menurut James D. Page (Amin, 1995) dicirikan dalam
hal: kecerdasan, sosial, fungsi mental, dorongan dan emosi, kepribadian serta
organisme. Masing-masing hal itu sebagai aspek diantara tunagrahita dengan
dijelaskan sebagai berikut:
a. Intelektual
Dalam pencapaian tingkat kecerdasan bagi tunagrahita selalu dibawah rata-
rata dengan anak yang seusia sama, demikian juga perkembangan
kecerdasan sangat terbatas. Mereka hanya mampu mencapai tingkat usia
mental setingkat usia mental anak usia mental anak Sekolah Dasar kelas IV,
atau kelas II, bahkan ada yang mampu mencapai tingkat usia mental
setingkat usia mental anak pra sekolah. Dalam hal belajar, sukar memahami
masalah. Masalah yang bersifat abstrak dan cara belajarnya banyak secara
membeo (rote learning) bukan dengan pengertian.
b. Segi sosial.
Dalam kemampuan bidang sosial juga mengalami kelambatan kalau
dibandingkan dengan anak normal sebaya. Hal ini ditunjukkan dengan
pergaulan mereka tidak dapat mengurus, memelihara, dan memimpin diri.
Waktu masih kanak-kanak mereka harus dibantu terus menerus, disuapi
makanan, dipasangkan dan ditanggalkan pakaiannya, diawasi terus menerus,
setelah dewasa kepentingan ekonominya sangat tergantung pada bantuan
37
orang lain. Kemampuan sosial mereka ditunjukkan dengan Social Age (SA)
yang sangat kecil dibandingkan dengan Cronological Age (CA). Sehingga
skor sosial Social Quotient (SQ)nya rendah.
c. Ciri pada fungsi mental lainnya.
Mereka mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian, jangkauan
perhatiannya sangat sempit dan cepat beralih sehingga kurang tangguh
dalam menghadapi tugas. Pelupa dan mengalami kesukaran mengungkapkan
kembali suatu ingatan, kurang mampu membuat asosiasi serta sukar
membuat kreasi baru.
d. Ciri dorongan dan emosi
Perkembangan dorongan emosi anak tunagrahita berbeda-beda sesuai
dengan tingkat ketunagrahitaannya masing-masing. Anak yang berat dan
sangat berat ketunagrahitaannya hampir tidak memperlihatkan dorongan
untuk mempertahankan diri, dalam keadaan haus dan lapar tidak
menunjukkan tanda-tandanya, mendapat perangsang yang menyakitkan tidak
mampu menjauhkan diri dari perangsang tersebut. Kehidupan emosinya
lemah, dorongan biologisnya dapat berkembang tetapi penghayatannya
terbatas pada perasaan senang, takut, marah, dan benci. Anak yang tidak
terlalu berat ketunagrahitaannya mempunyai kehidupan emosi yang hampir
sama dengan anak normal tetapi kurang kaya, kurang kuat, kurang beragam,
kurang mampu menghayati perasaan bangga, tanggung jawab dan hak sosial.
e. Ciri kemampuan dalam bahasa
Kemampuan bahasa sangat terbatas perbendaraaan kata terutama kata yang
abstrak. Pada anak yang ketunagrahitaannnya semakin berat banyak yang
mengalami gangguan bicara disebabkan cacat artikulasi dan problem dalam
pembentukan bunyi.
f. Ciri kemampuan dalam bidang akademis
Mereka sulit mencapai bidang akademis membaca dan kemampuan
menghitung yang problematis, tetapi dapat dilatih dalam menghitung yang
bersifat perhitungan.
g. Ciri kepribadian
38
Kepribadian anak tunagrahita dari berbagai penelitian oleh Leahy, Balla, dan
Zigler (Hallahan & Kauffman, 1988:69) bahwa anak yang merasa retarded
tidak percaya terhadap kemampuannya, tidak mampu mengontrol dan
mengarahkan dirinya sehingga lebih banyak bergantung pada pihak luar
(external locus of control). Mereka tidak mampu untuk mengarahkan diri
sehingga segala sesuatu yang terjadi pada dirinya bergantung pengarahan
dari luar.
h. Ciri kemampuan dalam organisme.
Kemampuan anak tunagrahita untuk mengorganisasi keadaan dirinya sangat
jelek, terutama pada anak tunagrahita yang kategori berat. Hal ini ditunjukan
dengan baru dapat berjalan dan berbicara pada usia dewasa, sikap gerak
langkahnya kurang serasi, pendengaran dan penglihatannya tidak dapat
difungsikan, kurang rentan terhadap perasaan sakit, bau yang tidak enak,
serta makanan yang tidak enak.
39
dikenal dengan terbelakang mental 6 jam, hal ini dikarenakan anak terlihat
terbelakang mental sewaktu mengikuti pelajaran akademik di sekolah saja,
yang mana jam sekolah adalah 6 jam setiap hari.
b. Mampulatih
Tunagrahita mampulatih secara fisik sering memiliki atau disertai dengan
kelinan fisik baik sensori mapupun motoris, bahkan hampir semua anak yang
memiliki kelainan dengan tipe klinik masuk pada kelompok mampu latih
sehingga sangat mudah untuk mendeteksi anak mampu latih, karena
penampilan fisiknya (kesan lahiriah) berbeda dengan anak normal sebaya.
Anak mampulatih memiliki kapasitas inteligensi (IQ) berkisar antara 30 –
50, kemampuan tertingginya setara dengan anak normal usia 8 tahun atau
kelas 2 SD. Kemampuan akademik anak mampulatih tidak dapat mengikuti
pelajaran yang bersifat akademik walaupun secara sederhana seperti
membaca, menulis dan berhitung. Anak mampulatih hanya mampu dilatih
dalam keterampilan mengurus diri sendiri dan aktivitas kehidupan sehari-
hari.
c. Perlurawat
Anak perlu rawat adalah klasifikasi anak tunagrahita yang paling berat, jika
pada istilah kedokteran disebut dengan idiot. Anak perlu rawat memiliki
kapasitas inteligensi di bawah 25 dan sudah tidak mampu dilatih
keterampilan. Anak ini hanya mampu dilatih pembiasaan (conditioning)
dalam kehidupan sehari-hari. Seumur hidupnya tidak dapat lepas dari orang
lain.
40
kertas. Hal ini bermanfaat bagi semua anak, terutama bagi anak-anak
disabilitas.
3. Lakukan kegiatan secara satu per satu dengan anak. Jelaskan kepada
anak ketika menyelesaikan dan memulai suatu kegiatan.
4. Bagi tugas ke dalam langkah-langkah atau dalam beberapa tujuan belajar
yang sederhana. Kegiatan harus dimulai dari kegiatan yang dapat
dilakukan oleh anak sebelum melakukan kegiatan lebih sulit. Kembali
satu langkah/ulangi langkah sebelumnya jika anak masih mengalami
kesulitan.
5. Cobalah untuk menghubungkan tugas dengan pengalaman anak dan
kehidupan sehari-harinya (strategi ini penting untuk semua anak).
Berikan praktik ekstra dengan mengulangi tugas beberapa kali guna
memastikan anak menguasai keterampilan/pelajaran yang diberikan.
Kegiatan ini akan membantu meningkatkan percaya diri anak, namun
sebaiknya pengulangan tidak dilakukan secara berlebihan.
6. Ulangi beberapa tugas utama dengan jangka waktu tertentu sehingga
menjadi “kebiasaan” bagi anak dan mencegah terlupakannya
keterampilan tersebut.
7. Minta anak-anak lain (yang berprestasi baik secara akademis) untuk
membantu dan mendampingi teman-teman sekelas mereka yang
mengalami hambatan dalam perkembangan. Kegiatan ini merupakan
bagian dari perkembangan sosial, emosional, dan akademis yang
bermanfaat baik bagi anak penyandang disabilitas maupun anak-anak
lain.
8. Sebisa mungkin berilah mereka pujian (secara tulus dan jujur) pada
setiap keberhasilan yang dicapai oleh anak dan setiap usaha yang telah
mereka lakukan. Hal ini dapat mendorong anak untuk menjadi lebih baik
dan mempelajari keterampilan/pelajaran baru lainnya.
9. Motivasilah anak-anak lain di kelas untuk melibatkan anak tunagrahita
dalam kegiatan bermain di luar kelas dan olahraga, yang juga akan
bermanfaat baik bagi anak tunagrahita maupun anak-anak lain.
41
10. Abaikan perilaku negatif anak yang ia lakukan untuk mendapatkan
perhatian Anda (jika perilaku tersebut tidak menimbulkan masalah
berarti). Berikan pujian dan perhatian saat anak berperilaku baik.
5. Anak Berbakat
Anak berbakat dalam konteks ini adalah anak-anak yang mengalami
kelainan intelektual di atas rata-rata. Berkenaan dengan kemampuan intelektual
ini Cony Semiawan (1997:24) mengemukakan, bahwa diperkirakan satu persen
dari populasi total penduduk Indonesia yang rentangan IQ sekitar 137 ke atas,
merupakan manusia berbakat tinggi (highly gifted), sedangkan mereka yang
rentangannya berkisar 120-137 yaitu yang mencakup rentangan 10 persen di
bawah yang satu persen itu disebut moderately gifted. Mereka semua memiliki
talen akademik (academic talented) atau keberbakatan intelektual.
Beberapa karakteristik yang menonjol dari anak-anak berbakat
sebagaimana diungkapkan Kitato dan Kirby, dalam Mulyono (1994), dalam ini
adalah sebagai berikut:
a. Karakteristik Intelektual
1. Proses belajarnya sangat cepat
2. Tekun dan rasa ingin tahu yang besar
3. Rajin membaca
4. Memiliki perhatian yang lama dalam suatu bidang khusus
5. Memiliki pemahaman yang sangat maju terhadap suatu konsep
6. Memiliki sifat kompetitif yang tinggi dalam suatu bidang akademik
b. Karakteristik Sosial-emosional
42
1. Mudah diterima teman-teman sebaya dan orang dewasa
2. Melibatkan diri dalam berbagai kegiatan sosial, dan memberikan
sumbangan pemikiran yang konstruktif
3. Kecenderungan sebagai pemisah dalam suatu pertengkaran
4. Memiliki kepercayaan tentang persamaan derajat semua orang, dan jujur
5. Perilakunya tidak defensif, dan memiliki tenggang rasa
6. Bebas dari tekanan emosi, dan mampu mengontrol emosinya sesuai
situasi, dan merangsang perilaku produktif bagi oranglain.
7. Memiliki kapasitas yang luar biasa dalam menanggulangi masalah
sosial.
c. Karakteristik Fisik-kesehatan
1. Berpenampilan rapi dan menarik
2. Kesehatannya berada lebih baik di atas rata-rata
43
a. Disfungsi pada susunan syaraf pusat (otak)
b. Kesenjangan (discrepancy) antara potensi dan prestasi
c. Keterbatasan proses psikologis
d. Kesulitan pada tugas akademik dan belajar
44
6. Tempatkan siswa jauh dari jendela, pintu atau hal lain yang menarik
perhatiannya karena anak cepat sekali berubah perhatiannya
7. Kurangi gangguan visual (benda2 bergerak, dll)
8. Selalu melibatkan anak secara aktif dalam proses pembelajaran
45
8. Anak Autistic Spectrum Disorder (ASD)
Istilah Kelainan Spektrum Autistik (ASD) adalah istilah umum yang
mencakup istilah autisme, sindrom Asperger (juga dikenal sebagai autisme
dengan keberfungsian tinggi), gangguan autis dan autis klasik (juga dikenal
sebagai autisme Kanner). Semua anak (dan orang dewasa) dengan kelainan
Spektrum Autistik memiliki kesulitan dalam tiga bidang utama. Namun, gejala
dari 3 gangguan tersebut sangat bervariasi dari satu anak ke anak yang lainnya.
Tiga bidang utama kesulitan yang dialami anak (dan orang dewasa) dengan
kelainan Spektrum Autistik yaitu :
46
Saran Praktis Mengajar Anak-anak yang Mengalami Kelainan Spektrum
Autistik dan Cara Mengembangkan Sekolah yang Ramah
1. Semua guru harus melihatnya sebagai tanggung jawab mereka untuk
mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan semua anak, terutama
kebutuhan anak-anak dengan disabilitas - termasuk kebutuhan anak-anak
yang mengalami kelainan spektrum autistik.
2. Seorang guru harus menjadi sukarelawan untuk menjadi nara
sumber/konsultan di sekolah
3. Tunjuk salah satu guru (idealnya ia harus mengajukan diri secara sukarela)
untuk menjadi Focal Point (sumber informasi dan pengarah) dalam
penanganan kelainan spektrum autistik. Guru tersebut harus dilatih dan
kemudian memberikan bimbingan kepada rekan-rekannya yang
berhubungan dengan dan/ atau mengajar anak-anak dengan kelainan
spektrum autistik.
4. Doronglah guru yang telah memiliki pengetahuan dan berpengalaman
dalam mengajar dan bekerja dengan anak-anak yang mengalami spektrum
autistik untuk berbagi dengan pihak lain di dalam dan di luar sekolah,
termasuk dengan komunitas pemberdayaan serta dengan dinas pendidikan
dan dengan sekolah-sekolah lain di sekitarnya.
5. Teruslah memperbarui “kumpulan informasi” sekolah tentang
perkembangan terbaru terkait kelainan spektrum autistik untuk digunakan
oleh guru, administrator sekolah dan orangtua.
6. Berkonsultasilah dengan para ahli/spesialis - guru yang berpengalaman
dari unit pendukung atau pusat sumber. Doronglah terciptanya sebuah
sistem dukungan yang dinamis.
7. Pastikan bahwa anak-anak yang mengalami kelainan spektrum autistik
memiliki rencana pembelajaran individu yang dirancang untuk memenuhi
kebutuhan mereka.
8. Berikan kesempatan bagi anak-anak yang mengalami kelainan spektrum
autistik untuk menerapkan suatu keterampilan yang dipelajari dalam satu
seting ke dalam situasi/seting lain.
47
9. Anak Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
ADHD adalah kondisi neurologis yang sebagian terkait pada kimiawi
dan anatomi otak. ADHD menunjukan suatu pola gigih dalam mencari perhatian
dan/ atau hiperaktif/ impulsif yang terjadi lebih sering dan lebih hebat daripada
yang biasanya teramati pada orang-orang dengan tingkat perkembangan setaraf.
ADHD adalah suatu kondisi yang terlihat jelas pada beberapa anak pada masa
prasekolah dan pada tahun-tahun awal masa sekolah. Anak-anak yang
mengalami ADHD akan berkesulitan dalam mengendalikan perilaku dan/atau
memusatkan perhatian. Diperkirakan bahwa 3% - 5% anak-anak mengalami
ADHD. Dengan demikian, diperkirakan setidaknya 1 dari 30 siswa di kelas
mengalami ADHD. Karakteristik utama ADHD adalah: kurangnya perhatian,
hiperaktif dan impulsif.
Gejala ini muncul pada awal kehidupan anak. Banyak anak-anak yang
tidak positif ADHD memiliki gejala-gejala yang sama (tapi pada tingkat rendah)
atau yang disebabkan oleh gangguan lain. Karenanya penting bagi seorang anak
untuk mendapatkan pemeriksaan menyeluruh dan diagnosa yang tepat dari ahli
atau penyedia layanan yang berkualifikasi baik. Akan sulit bagi orang tua dan
guru untuk membedakan antara anak yang kurang perhatian dan anak yang
gelisah. Banyak anak kecil berkesulitan untuk duduk diam, memperhatikan dan
berkonsentrasi pada tugas-tugas yang bersifat teoritis – namun tidak berarti
bahwa mereka serta merta mengalami ADHD. Pola makan anak juga dapat
mempengaruhi perkembangan ADHD. Beberapa anak yang mengalami ADHD
harus menghindari pengawet buatan, bahan kimia, gluten dan produk susu dalam
pola makan mereka.
Anak-anak yang mengalami ADHD cenderung kreatif dan penuh dengan
ide-ide menarik. Mereka pandai mengambil inisiatif, dan tingkat aktivitas
mereka yang tinggi sering membantu mereka dalam menyelesaikan sesuatu,
yang terkadang bagi anakanak lain sulit dilakukan. Sejumlah besar orang yang
mengalami ADHD mudah mengenal dan berteman dengan orang lain.
48
Saran Praktis untuk Mengajar Anak-anak dengan ADHD:
1. Biarkan anak-anak yang mengalami ADHD bergerak sambil belajar.
Banyak anak yang mengalami ADHD harus bergerak saat mendengarkan.
Jika kita meminta mereka untuk duduk diam sambil belajar maka mereka
akan menggunakan semua konsentrasi mereka untuk duduk diam sehingga
akan sangat sedikit sisa konsentrasi (jika ada) yang digunakan untuk
belajar. Namun, jika kita membiarkan mereka untuk memilih gerakan
mereka sendiri, hampir pasti hal tersebut akan mengganggu para guru dan
anak-anak lain di kelas. Oleh karena itu penting bagi kita untuk
memilihkan kegiatan yang disukai dan nyaman untuk dilakukan oleh anak.
2. Berikan kesempatan bagi anak-anak yang mengalami ADHD untuk
memberi tanggapan/pendapat secara lisan. Menulis merupakan kegiatan
yang sangat menyiksa bagi sebagian besar anak yang mengalami ADHD.
Mengerjakan matematika dengan berbagai kegiatan dalam satu waktu
seperti mengatur sebagian otak untuk “berhitung” dan sebagian lagi untuk
“menuangkan” pikiran secara tertulis merupakan hal yang mustahil bagi
kebanyakan anak-anak ini. Anak-anak ini dapat mengambil sesi menulis
dan menyalin kembali tulisan tersebut tanpa masalah. Lebih lanjut, mereka
bisa mendikte setiap langkah dari soal matematika yang rumit dengan
sangat mudah. Namun menggabungkan keduanya akan sangat sulit dan
sebuah tugas yang seharusnya selesai dalam waktu 5 menit baru bisa
diselesaikan oleh mereka dalam waktu 45 menit.
3. Padukan gerak ke dalam setiap kegiatan pembelajaran. Ketika belajar
mengeja dan matematika misalnya, anak-anak bisa melakukan permainan
dengan cara berbaris di kelas sesuai dengan panjangnya nama mereka:
TAUFIK akan berdiri di depan BUDI dan IIS karena namanya terdiri dari
6 huruf, tapi MUHAMMAD akan berdiri di depan TAUFIK karena
namanya terdiri dari 8 huruf, KARTINI harus berdiri di antara
MUHAMMAD dan TAUFIK karena namanya terdiri dari 7 huruf, dan
seterusnya. Permainan ini sangat efektif dalam mengajarkan anakanak
untuk mengeja dan berhitung, dan pada saat yang bersamaan, anak juga
49
dapat mengaktifkan fisik mereka. Permainan dapat dilakukan di dalam
kelas dan juga di halaman sekolah.
4. Berikan pada siswa daftar hal-hal yang harus dilakukan setiap hari. Hal ini
akan membantu anak-anak yang mengalami ADHD untuk bertanggung
jawab dan mengembangkan rasa tanggung jawab mereka. Banyak anak
yang mengalami ADHD merasa ingin tahu apa yang akan terjadi
selanjutnya. Mereka tidak selalu suka kejutan sedangkan menconteng
setiap tugas yang sudah dilakukan merupakan kepuasan tersendiri serta
membuat anak merasa sempurna sehabis menyelesaikan satu persatu tugas
yang didaftarkan.
Tugas Kelompok
Peserta telah mendapatkan materi terkait jenis dan karakteristik anak berkebutuhan
khusus serta saran praktis mengajar siswa berkebutuhan khusus. Berikut terdapat
beberapa tugas yang harus diselesaikan terkait dengan materi yang telah dipelajari.
Tugas ini dikerjakan secara berkelompok yang beranggotakan 4-5 orang . Hasil diskusi
kemudian dipresentasikan di depan kelas.
1. Pilihlah dua orang siswa ABK yang Bapak/ Ibu ajar di dalam kelas
2. Jelaskan deskripsi siswa ABK tersebut berdasarkan hasil pengamatan yang
telah Bapak/ Ibu lakukan selama mengajar. Deskripsi ini juga dapat dilengkapi
dengan informasi-informasi lain yang relevan.
3. Analisa hasil deskripsi tersebut berdasarkan kajian teori yang ada untuk
mengetahui jenis dan karakteristik anak berkebutuhan khusus pada siswa
terkait.
4. Jelaskan kendala atau permasalahan yang Bapak/ Ibu hadapi terkait dengan
mengajar siswa ABK tersebut.
5. Lakukan analisa permasalahan dan tentukan solusi untuk mengatasi
permasalahan terkait mengajar siswa ABK tersebut.
50
SESI 3
Metode
- Ceramah
- Diskusi
Posisi/tempat
Trainer
Peserta
Peralatan
- LCD
- Microphone
- Laptop
- Meja dan kursi
- Bahan bacaan
51
Bahan Bacaan
2. Unsur Pelaksana
Sesuai dengan kebutuhan dan karakteristiknya, peserta didik
berkebutuhan khusus memerlukan banyak program pendukung untuk
52
perkembangannya. Program pendukung ini dilakukan oleh banyak pihak yang
terkait secara multi disipliner, yaitu
1. Bidang edukasi (kepala sekolah, guru kelas, guru PLB, co-teacher)
2. Bidang kedokteran (dokter anak, neurolog, psikiater, ahli fisioterapi, sensory
therapy, okupasi terapi, bina bicara dan lainnya)
3. Bidang psikologi (psikolog perkembangan, klinis anak, pendidikan)
3. Komponen
Dalam satu tahun pelajaran pelaksanaan program pembelajaran
individual (PPI) dibagi dalam beberapa periode. Periode ini bisa dibuat sesuai
dengan kebutuhan, misalnya tiga (3) bulan sekali atau satu (1) semester dua (2)
kali. Periode ini sifatnya fleksibel sehingga apabila memungkinkan adanya
perubahan terhadap pelaksanaan program pembelajaran individual (PPI), maka
guru dapat melakukan perubahan sehingga dapat membantu peserta didik
berkebutuhan khusus walaupun periode tersebut belum berakhir. Untuk
mengetahui apakah pelaksanaan program program pembelajaran individual
(PPI) telah berhasil atau belum, maka perlu diadakan evaluasi.
Format program pembelajaran individual (PPI) dapat disesuaikan
dengan kebutuhan, dan pelaksanaan kegiatan tersebut di sekolah masing-masing,
namun ada komponen baku yang harus ada dalam suatu program pembelajaran
individual (PPI). Komponen baku terdiri dari : informasi data siswa dan tingkat
kemampuan siswa.
Sebelum program pembelajaran individual (PPI) disusun oleh guru dan
tim, maka diperlukan informasi yang holistik mengenai perkembangan peserta
didik, terutama pada awal lima (5) tahun pertama kehidupannya. Informasi ini
diperoleh melalui proses identifikasi awal dan asesmen, kemudian dianalisis
dalam suatu data tertulis. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat menyusun suatu
profil peserta didik. Profil peserta didik itu berisi tentang biodata peserta didik.
Asesmen merupakan suatu proses identifikasi untuk mengenali
karakteristik peserta didik. Identifikasi ini perlu dilakukan untuk menentukan
penyelenggaraan yang tepat dan sesuai dengan karakteristik peserta didik.
Tahap-tahap yang dilakukan untuk melakukan asesmen pada anak terdiri dari :
53
1) Observasi adalah merupakan proses pengamatan guru yang meliputi
observasi secara fisik dan observasi kemampuan peserta didik yang
menunjang proses belajarnya di sekolah.
2) Check List berisi suatu daftar pertanyaan tentang keadaan diri siswa yang
perlu diisi oleh orangtua siswa seperti: (a) pengetahuan umum, (b)
kemampuan akademik, (c) bina komunikasi dan interaksi sosial, (d)
Masalah-masalah yang dihadapi peserta didik, (e) perilaku peserta didik, (f)
kemampuan bina diri, dan kemampuan senso-motorik.
3) Screening adalah suatu proses yang dilakukan oleh guru untuk mengenali
gejala yang menunjukkan adanya kecenderungan pada kategori kebutuhan
khusus tertentu.
54
4) Perkembangan siswa di usia 5 tahun, gambaran
perkembangannya selama di Taman Kanak-kanak (misalnya
rapor TK)
5) Hasil asesmen dan identifikasi yang dilakukan oleh profesi ahli,
misalnya psikolog, dokter anak, psikiater.
6) Informasi tambahan dari orang tua.
55
didik tertentu, dan tidak dihitung sebagai beban belajar. Hasil
kemampuan akademis merupakan data penunjang hasil
observasi dan Checklist Identifikasi awal. Data ini didapat dari
hasil Ulangan Harian dan Ulangan Akhir,
(2) Kemampuan Non-Akademis:
Program Khusus sesuai jenis kelainan peserta didik meliputi
sebagai berikut. (a) Orientasi dan Mobilitas untuk peserta didik
Tunanetra, (b) Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi dan Irama
untuk peserta didik Tunarungu, (c) Bina Diri untuk peserta
didik Tunagrahita Ringan dan Sedang, (d) Bina Gerak untuk
peserta didik Tunadaksa Ringan, (e) Bina Pribadi dan Sosial
untuk peserta didik Tunalaras, (f) Bina Diri dan Bina Gerak
untuk peserta didik Tunadaksa Sedang, dan Tunaganda, dan (g)
Untuk peserta didik dengan identifikasi dan klasifikasi Gifted
potensi kecerdasan istimewa), Talented Bakat istimewa
(multiple intelegence), Kesulitan belajar, Lambat belajar,
Autis, Indigo membutuhkan kegiatan yang bervariasi seperti:
bina diri, bina pribadi dan sosial, bina komunikasi, dan persepsi
bunyi.
56
emosi, sosialisasi, perilaku, komunikasi, dan pembinaan diri. Kedua area
pembelajaran tersebut dipilih sesuai dengan kebutuhan dan tingkat
perkembangan peserta didik.
2. Unsur Pelaksana
Penunjukan suatu pihak yang terlibat langsung dalam pembuatan
program pembelajaran individual (PPI), seperti guru kelas, guru bidang
studi, guru pembimbing khusus, guru pendamping, orangtua, psikolog,
terapis, dan ahli lain.
3. Periode
Mencantumkan waktu pelaksanaan PPI dalam suatu tahun ajaran
minimal dilakukan setiap tiga bulan atau disesuaikan dengan kebutuhan
peserta didik berkebutuhan khusus, dan kebijakan sekolah yang
bersangkutan
4. Tujuan Umum
Membantu peserta didik untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang
diperlukan, dan dapat menyusun suatu program tertentu sehingga peserta
didik dapat berhasil dengan baik, dan dapat mempertahankan hasil yang
dicapainya.
5. Sasaran Belajar
Merupakan kemampuan tertentu yang harus diharapkan diicapai oleh
peserta didik
6. Aktivitas pembelajaran
Merupakan cara-cara yang digunakan sebagai acuan dalam
melaksanakan program
7. Tanggal selesai
Merupakan tanggal berakhirnya program yang telah dijalankan sesuai
dengan perencanaan.
8. Evaluasi
Berbagai macam pelaksanaan evaluasi dapat berbentuk, secara tertulis,
secara lisan, ataupun menilai secara praktek. Evaluasi dilakukan untuk
mengukur kemampuan peserta didik terhadap proses hasil pembelajaran.
57
4. Model
Bagian ini memaparkan contoh model profil peserta didik dan program
pembelajaran individual (PPI) untuk anak berkebutuhan khusus: (Contoh 1 dan
contoh 2.).
Contoh 1 :
2. Data Orangtua
a. Nama Bapak : Rochmad Zaeni
b. Nama Ibu : Retno Pujiastuti
c. Alamat : Jl. Ibu Pertiwi V no.11
d. Telepon : 021-7872019
58
Kesibukan Ibu yang cukup menyita waktu membuatnya tidak terlalu
memperhatikan gejala-gejala yang dianggap mengganggu. Pada bulan ke-2
dan bulan ke-7 sempat mengalami keluar darah dalam bentuk flek, tapi bisa
diantisipasi dengan obat karena langsung berkonsentrasi ke dokter.
b. Sejarah kelahiran
Lahir pada jam 3 dini hari setelah mengalami kontraksi selama 17 jam.
Proses kelahiran normal dengan induksi karena tidak mengalami kemajuan
pembukaan. Setelah itu proses persalinan berjalan lancar, bayi lahir dengan
berat 2,8 kg dan tinggi 45 cm.
c. Sejarah kesehatan
Ananda harus dirawat di rumah sakit ketika Ananda berumur 5 hari
karena ada gejala kulit berwana kuning. Kulit kuning ini merupakan
indikasi fungsi hati yang belum berkembang optimal. Hal ini ditandai
dengan hasil pemeriksaan laboratorium dengan kadar bilirubin
mencapai 13, batas normal adalah dibawah 10.
Ananda mengkonsumsi Air Susu Ibu (ASI) sampai usia 2 bulan.
Setelah mencoba beberapa macam susu formula diketahui ternyata
Ananda alergi terhadap susu biasa. Hal itu terlihat dari munculnya
bercak-bercak merah di seluruh badan. Ananda harus mengkonsumsi
susu khusus dengan dengan peptida rantai pendek selama 7 bulan.
Setelah itu mulai sedikit demi sedikit diganti dengan susu hypo-
allergenic yang merupakan susu untuk anak yang mengalami alergi
sampai usia 1 tahun. Secara bertahap diganti juga dengan susu biasa.
Karena adanya masalah kesehatan, imunisasi yang dijalani terhambat.
Ananda mendapat seluruh imunisasi yang diwajibkan dan yang
disarankan. Walaupun pelaksanaannya terlambat 2-3 bulan.
d. Sejarah mengenai tugas-tugas yang sesuai dengan tugas perkembangan
siswa dari 0 sampai 4 tahun.
Ananda tumbuh dengan berat badan normal. Mulai berguling umur 4
bulan. Duduk di usia 8 bulan. Langsung berjalan pada usia 9 bulan
59
sehingga tidak melalui proses merangkak. Usia 1 tahun sudah bisa
berjalan walaupun jinjit dan kurang seimbang. Dapat lompat-lompat
dengan 2 kaki di usia 1.5 tahun. Sampai saat ini belum dapat melompat 1
kaki secara berganti-gantian.
Perkembangan menyusui, ketika baru lahir di rumah sakit, Ananda
minum susu formula menggunakan sendok, tidak dengan dot bayi.
Ananda mulai belajar menyusu pada ibu sejak usia 2 hari. Untuk
pelatihan minum menggunakan dot, sempat mencoba 3 merek dot yang
berbeda-beda sampai akhirnya menemukan dot yang bisa digunakan
untuk menyusu. Kekuatan otot mulut Ananda cenderung lemah,
hisapannya tidak kuat sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk
menghabiskan susu. Ananda juga sering mengeluarkan air liur sampai
usia 1 tahun. Otot mulut Ananda masih lemah sampai sekarang. Hal ini
terlihat dari waktu makan yang lama.
Perkembangan bicara: Ananda belum bisa bicara sampai usia 3 tahun.
Awalnya di usia 2 tahun mulai bisa mengeluarkan 1 suku kata untuk
tujuan-tujuan tertentu, namun artikulasinya tidak jelas. Ananda menjalani
Speech Therapy jampai usia 5 tahun. Kemajuannya setelah menjalani
Speech Therapy sekarang ini Ananda bisa berbicara dengan lancar
walaupun bunyi r dan s kurang jelas.
Ananda tidak suka berada di dekat orang lain, ia lebih suka menyendiri.
Ananda cenderung rewel apabila di lingkungan yang tidak ia sukai.
Perilaku Ananda yang sering muncul apabila merasa tidak nyaman adalah
berteriak sambil menutup telinga dan berputar-putar keliling ruangan.
e. Perkembangan siswa di usia 5 tahun
Ananda masuk TK usia 5 tahun. Setiap hari sekolah Ibu Ananda harus
mendampingi di luar kelas karena apabila sewaktu-waktu ada laporan dari
guru, Ibu Ananda merasa berkewajiban untuk membantu. Sesekali ibu
Ananda menemani Ananda di dalam kelas apabila Ananda memunculkan
perilaku yang membuat keadaan kelas tidak kondusif.
60
Hasil asesmen dan identifikasi yang dilakukan oleh profesi ahli, misalnya
psikolog, dokter anak, psikiater.
Pada usia 3.5 tahun Ananda melalui proses asesmen psikologis, yang
meliputi observasi dan tes intelegensi, psikolog menyatakan bahwa
Ananda mengalami Autisme (hasil asesmen psikologis terlampir*).
Ananda juga menjalani tes EEG oleh neurolog anak hasil terlampir*) dan
tes alergi makanan (hasil terlampir**).
Sejak itu Ananda menjalani diet, Sensory Integration Therapy dan
Behavior Therapy.
f. Informasi tambahan dari orang tua.
Orangtua merasa Ananda memerlukan latihan di bidang kegiatan hidup
sehari-hari, pelajaran-pelajaran akademis bisa diberikan kepada Ananda
sepanjang Ananda bisa mengikuti. Apabila Ananda kesulitan untuk
mengikuti pelajaran akademis, sebaiknya materi ajaran dimodifikasi sesuai
dengan kebutuhan si A.
Contoh 2 :
Nama :Ananda
Kelas :Kelas 1
Tahun Ajaran :2006-2007
Diagnosa :Autistik
Periode :Juli –Agustus 2006
61
a. Unsur Pelaksana
b. Tingkat Kemampuan
1. Akademik
Membaca: si A mengenal huruf alfabet tapi belum bisa merangkainya
dalam 1 suku kata atau bacaan tertentu.
Berhitung : si A bisa mengucapkan hitungan 1 – 10 dan menunjukkan
angka apabila disebutkan. Si A masih melakukan kesalahan hitung
pada benda-benda sehingga ada benda yang terlewat dan jumlah yang
disebutkan tidak tepat sesuai dengan jumlahnya.
2. Non-Akademik
Perilaku berteriak-teriak sambil menutup telinga dan berputar-putar
keliling ruangan masih muncul setiap hari sedikitnya 2 kali. Hal ini
terjadi apabila Ananda merasa tugas terlalu sulit, ada perubahan guru
yang mengajar, atau harus berpindah ruangan untuk pelajaran seni.
Belum terbiasa dengan rutinitas kelas, terutama yang berkaitan dengan
menyimpan tas, meletakkan buku komunikasi di meja guru, kemudian
duduk di karpet. Si A cenderung berjalan-jalan keliling kelas,
melakukan hal-hal tersebut setelah diingatkan oleh guru kelas atau co-
teacher.
62
Untuk interaksi sosial, si A cenderung menghindari kontak mata.
Belum menjawab pertanyaan sapaan dengan spontan.
5. Laporan Perkembangan
Merupakan penjabaran mengenai kondisi peserta didik selama
pelaksanaan program, kendala yang dihadapi, kesesuaian metode yang
digunakan, keberhasilan ataupun kegagalan program yang dialami.
Laporan perkembangan PPI dilaksanakan dalam periode program
tertentu (paling sedikit 3 bulan sekali) yang tujuannya adalah untuk melihat
sejauh mana perkembangan peserta didik, efektivitas perencanaan, dan
pelaksanaan program.
Apabila hasil laporan perkembangan program pembelajaran individual
(PPI) menunjukkan peserta didik tidak mencapai target yang direncanakan maka
dilakukan hal-hal seperti berikut :
1. Menentukan faktor penyebab tidak tercapainya target yang direncanakan
(faktor metode, faktor peserta didik atau alokasi waktu yang tidak sesuai).
2. Menyusun program pembelajaran individual (PPI) baru berdasarkan faktor
penyebab yang sudah diketahui.
Apabila hasil laporan perkembangan program pembelajaran individual
(PPI) menunjukkan peserta didik mencapai target yang direncanakan maka
disusun program pembelajaran individual (PPI) dengan target baru sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik
Pihak yang bertanggung jawab melaksanakan laporan perkembangan
program pembelajaran individual (PPI) adalah pihak-pihak yang menyusun PPI,
yaitu guru kelas, guru bidang studi, guru pembimbing khusus, guru pendamping,
orangrtua, psikolog, terapis, dan pihak ahli lain yang terlibat.
63
B. Pelaksanaan Program Pembelajaran Individual
1. Hasil Yang Diharapkan
Dari kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, perlu adanya
penyesuaian di berbagai bidang sesuai dengan kekhususan yang disandang oleh
peserta didik berkebutuhan khusus. Bagi peserta didik berkebutuhan khusus,
materi pengajaran juga mengacu pada kurikulum yang ditetapkan oleh
pemerintah yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat
perkembangan siswa secara individual. Oleh karena itu, setiap siswa anak
berkebutuhan khusus mempunyai program pembelajaran individual (PPI) yang
disesuaikan dengan kebutuhan siswa per individu.
Dengan adanya program pembelajaran individual (PPI) diharapkan
peserta didik dapat belajar optimal dengan materi belajar yang lebih sesuai
dengan kebutuhan dan
2. Contoh Pelaksanaan
Di sekolah inklusif, penerapan konsep pembelajaran dapat
mengakomodasi kebutuhan peserta didik sesuai dengan karakteristik dan
kemampuannya.
Pada bagan di bawah ini, dapat dilihat bahwa ada perbedaan dalam
konsep belajar siswa biasa dengan siswa berkebutuhan khusus dan siswa yang
mempunyai kemampuan akademik di atas rata-rata (gifted). Kesamaannya
adalah, semua siswa tetap mempunyai kesempatan untuk belajar bersama di
dalam kelas dengan metode klasikal
64
Group teaching
Individual teaching
Siswa Special Needs
One to One
65
Sementara itu, untuk memberikan konsep serta pendalaman materi pelajaran,
siswa berkebutuhan khusus akan menjalani proses belajar individual di ruang belajar
khusus bersama seorang guru pembimbing khusus, yang biasa disebut dengan guru
Learning Support Department (LSD).
Dalam proses belajar individual, siswa berkebutuhan khusus akan disupervisi
oleh seorang guru Learning Support Department (LSD). Biasanya, guru
pendamping tidak menemani siswa pada saat belajar individual (one to one
teaching), kecuali bila dibutuhkan pada kondisi tertentu. Materi pembelajran pada
sesi one to one ini disesuaikan dengan area pembelajaran serta metode yang
dituangkan dalam program pembelajaran individual (PPI) masing-masing siswa.
Selain belajar secara individual dan klasikal, anak berkebutuhan khusus juga
menjalani proses belajar dalam kelompok kecil. Tema yang diberikan biasanya
berkaitan dengan keterampilan bina diri, sosialisasi, perkembangan motorik,
pendidikan vokasional, atau hal-hal lain yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa.
Biasanya, metode belajar berupa bermain peran dan permainan, dan disupervisi oleh
beberapa guru Learning Support Department (LSD) dan guru pendamping siswa.
c. Konsep Belajar Siswa Gifted/Talented
Siswa yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata (gifted) menjalani proses
belajar secara klasikal di dalam kelas bersama siswa lain. Biasanya mereka dapat
menguasai konsep pelajaran lebih cepat dan komprehensif dibandingkan dengan
siswa lain.
Berkaitan dengan hal tersebut, sekolah memberikan kebijaksanaan bagi
masing-masing guru kelas atau bidang studi, untuk memberikan pekerjaan
‟tambahan‟ (extended work) bagi para siswa gifted tersebut. Biasanya, extended
work tersebut dapat berupa penambahan jumlah soal atau penambahan bobot soal.
Bakat dan potensi seluruh siswa, termasuk siswa berkebutuhan khusus, dalam
bidang non-akademis, diakomodasi oleh sekolah melalui kegiatan Musik, Seni,
Teater, dan Olah Raga. Sebagai bentuk perwujudan dari perpaduan berbagai talenta
dan potensi siswa dalam bidang seni, musik, dan teater
66
d. Program Belajar
Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang ditetapkan oleh
pemerintah. Namun dalam penyelenggraan pendidikan, terutama dalam
memperkaya metode pengajaran, dilakukan inmprovisasi sesuai dengan situasi dan
kondisi sekolah Namun materi pembelajaran tetap mengacu dan berdasar pada
ketetapan pemerintah.
Bagi siswa berkebutuhan khusus, materi pengajaran juga mengacu pada yang
ditetapkan pemerintah, yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat
perkembangan siswa secara individual. Oleh karena itu, setiap siswa berkebutuhan
khusus mempunyai program pembelajaran individual (PPI) yang disesuaikan dengan
kebutuhan siswa per individu. Bentuk dan pelaksanaan program pembelajaran
individual (PPI) dapat dilihat di lampiran
Masing-masing siswa mempunyai program pembelajaran individual (PPI)
yang bersifat indvidual disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan
anak pada saat program pembelajaran individual (PPI) disusun.
Program pembelajaran individual (PPI) disusun oleh pihak-pihak yang terkait
dengan proses belajar-mengajar siswa. Pihak-pihak tersebut adalah: guru kelas, guru
bidang studi, psikolog/psikiatris, orangtua siswa, co-teacher, terapis, dan pihak lain
yang ikut menunjang program belajar-mengajar siswa yang bersangkutan.
Penyusunan program pembelajaran individual (PPI) dilakukan di awal setiap
catur wulan dan dievaluasi pada saat program berakhir, di mana waktu evaluasi
disesuaikan dengan kebutuhan siswa, sehingga bisa dilakukan setiap satu bulan atau
tiga bulan setelah program berjalan, atau sesuai kebutuhan. Program pembelajaran
individual (PPI) bersifat progresif dan fleksibel dengan memperhatikan penanganan
yang paling sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa.
e. One to One Teaching (Belajar Individual)
Sebagai salah satu metode pembelajaran yang dituangkan dalam program
pembelajaran individual (PPI), selain belajar secara klasikal siswa juga belajar
secara individual, yang disebut One to One Teaching. Sesi belajar one to one
dilakukan di ruang belajar khusus individual, yang berada di ruang Learning
Support Develeopment (LSD). Satu siswa akan belajar dengan seorang guru (yang
67
mensupervisi siswa bersangkutan secara tetap dalam kurun waktu yang telah
ditentukan).
Ruang dan fasilitas belajar individual akan disetting sesuai dengan ergonomis
dan kebutuhan siswa. Sementara materi, metode serta cara penanganan siswa
mengacu dan sesuai dengan program pembelajaran individual (PPI).
Belajar individual di Learning Support Develeopment (LSD) juga harus
ditunjang dengan terapi yang dibutuhkan oleh siswa berdasarkan saran psikolog.
Terapi dilakukan di luar sekolah oleh terapis/ ahli. Kerjasama antara pihak-pihak
terkait sangat dibutuhkan, sehingga guru dan orangtua pun mengetahui cara
penanganan siswa oleh terapis yang bisa diaplikasikan sewaktu-waktu di sekolah
dan rumah, bila dibutuhkan.
68
SESI PENUTUPAN
Trainer
Peralatan
- Wireless Microphone
- LCD
- Komputer
- Meja dan kursi
- Lembar Post-test
- Lembar Evaluasi Pelaksanaan Pelatihan
69
LEMBAR POST-TEST PELATIHAN
(LEVEL 2 – LEARNING)
Nama Guru :
Matapelajaran :
70
18. Apa yang dimaksud dengan Program Pembelajaran Individual (PPI) dan siapa saja
pihak yang terlibat dalam penyusunannya?
_________________________________________________________________
_________________________________________________________________
19. Apa saja yang perlu dipersiapkan untuk menyusun PPI?
_________________________________________________________________
_________________________________________________________________
20. Komponen baku apa saja yang termuat dalam PPI?
________________________________________________________________
________________________________________________________________
71
LEMBAR EVALUASI PELAKSANAAN PELATIHAN
(LEVEL 1 – REAKSI)
Nama :
Guru Matapelajaran :
A. PELAKSANAAN KEGIATAN
Tema Pelatihan 1 2 3 4 5
Kelengkapan Materi 1 2 3 4 5
Fasilitas 1 2 3 4 5
B. PEMATERI
Penguasaan materi 1 2 3 4 5
Cara penyajian 1 2 3 4 5
72
Interaksi dengan peserta 1 2 3 4 5
Sikap Pemateri 1 2 3 4 5
C. LAIN-LAIN
Konsumsi 1 2 3 4 5
Tempat Penyelenggaraan 1 2 3 4 5
73
Evaluasi Pelatihan (Level III-Behavior)
Nama Pengamat :
Nama Guru yang Diamati :
Tanggal Pengamatan :
Dalam proses pelatihan dan belajar mengajar di kelas, amati apakah guru melakukan
perilaku berikut ini. Beri tanda centang (√) dalam kotak yang sesuai.
Tidak
Perilaku Dilaksanakan
Dilaksanakan
74
Keterangan:
75
Daftar Pustaka
Amin, M., 1995. Ortopedagogik Tunagrahita. Jakarta: Depdikbud, Ditjen Dikti, Proyek
Pendidikan Guru.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. (2009). Model Program Pembelajaran
Individual. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah Departemen Pendidikan Nasional.
Indianto, R. (2013). Materi Workshop Sekolah Inklusi : Implementasi Pendidikan
Inklusif. Surakarta : Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret.
Stubbs, Sue. (2002). Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber. The Atlas
Aliance.
Suparno. 2007. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Unesco. (2009). Merangkul Perbedaan: Perangkat untuk Mengembangkan Lingkungan
Inklusif Ramah terhadap Pembelajaran-Buku khusus 3: Mengajar Anak-anak dengan
Disabilitas dalam Seting Inklusif. Jakarta: IDPN Indonesia, Arbeiter-Samariter-
Bund, Handicap International, Plan International.
76