Anda di halaman 1dari 8

FORMAT LOGBOOK DISKUSI TUTORIAL

Nama mahasiswa :Muhammad Rizky S Modul :SKV


NIM : 19083 Kelompok : 2B
Tanggal : 4 april
Kasus :1 Sesi : II

KRITERIA URAIAN
1. Hasil (Catatan penting tentang hasil penelusuran literatur terhadap
penelusuran learning issue yang telah ditentukan sebelumnya).
literatur Target ideal dari terapi tekanan darah tergantung dari
populasi pasien, tetapi guideline harus merekomendasikan
terhadap populasi secara umum. Sampai saat ini target tekanan
darah adalah kurang dari 140per90 mmHg untuk hipertensi
uncomplicated dan target yang lebih rendah

Prinsip Penatalaksanaan Hipertensi


Berdasarkan analisis dari berbagai penelitian didapatkan
beberapa hal yang penting dalam penatalaksanaan hipertensi.
1. Penurunan tekanan darah sangat penting dalam menurunkan
risiko mayor kejadian kardiovaskuler pada pasien hipertensi,
jadi prioritas utama dalam terapi hipertensi adalah mengontrol
tekanan darah
2. Penelitian pendahuluan memfokuskan pada pengobatan
tekanan darah diastolik tetapi tekanan darah sistolik lebih sulit
dikontrol dan lebih berpengaruh pada outcome kardiovaskuler.
3. Monoterapi jarang bisa mengontrol tekanan darah, dan
banyak pasien memerlukan lebih dari 1 obat anti hipertensi
4. Respon terhadap berbagai klas anti hipertensi adalah
heterogen, beberapa pasien mungkin akan berespon lebih baik
dari pasien yang lain.
5. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa penyakit
komorbiditas seperti diabetes, dan kerusakan target organ
seperti LVH dan CKD mengindikasikan pemilihan klas obat yang
spesifik dalam terapi hipertensi tetapi hal ini jangan sampai
menyampingkan pentingnya kontrol tekanan darah.
6. Penurunan tekanan darah 20 per 10 mmHg pada pasien
hipertensi akan menurunkan 50persen risiko kejadian
kardiovaskuler.

Pilihan Terapi Inisial


Terapi farmakologi hipertensi diawali dengan pemakaian obat
tunggal. Tergantung level TD awal, rata-rata monoterapi
menurunkan TD sistole sekitar 7-13 mm Hg dan diastole sekitar
4-8 mmHg Terdapat beberapa variasi dalam pemilihan terapi
awal pada hipertensi primer. Sebelumnya guideline JNC VII
merekomendasikan thiazide dosis rendah. JNC VIII saat ini
merekomendasikan ACE-inhibitor, ARB, diuretic thiazide dosis
rendah, atau CCB untuk pasien yang bukan ras kulit hitam.
Terapi awal untuk ras kulit hitam yang direkomendasikan adalah
diuretic thiazide dosis rendah atau CCB. Di lain pihak guideline
Eropa terbaru merekomendasikan 5 golongan obat sebagai
terapi awal yaitu ACE-inhibitor, ARB, diuretic thiazide dosis
rendah, CCB atau beta-blocker berdasarkan indikasi khusus
Guideline UK NICE memakai pendekatan berbeda, menekankan
etnik dan ras merupakan faktor determinan penting dalam
menentukan pilihan obat awal pada hipertensi. Hal ini
selanjutnya diadaptasi oleh guideline JNC VIII. Rasionalisasi
dari konsep ini adalah RAAS bersifat lebih aktif pada usia
muda jika dibandingkan pada usia tua dan ras kulit hitam. Jadi
guidelina UK. NICE merekomendasikan ACE-inhibitor atau ARB
pada usia 55 tahun dan ras kulit hitam dengan semua rentang
usia. Batasan untuk rekomendasi ini adalah: 1. diuretics thiazide
lebih dipilih dibandingkan CCB untuk kondisi gagal jantung atau
pasien dengan risiko tinggi untuk mengalami gagal jantung; 2.
ACE inhibitor atau ARB tidak digunakan pada wanita hamil,
dalam kondisi ini beta-blocker lebih dipilih. Guideline UK. NICE
dan JNC VIII membatasi pemakaian beta-blocker sebagai terapi
awal dengan pengecualian adanya indikasi spesifik seperti
pasien gagal jantung kronik, angina simtomatik, atau pasca
infark miokard. Alasan dibatasinya pemakaian beta-blocker
sebagai terapi awal adalah:
1. Kurang efektif dalam menurunkan risiko stroke dan penyakit
jantung iskemik jika dibandingkan dengan golongan obat lain
2. meningkatkan risiko diabetes terutama jika dibandingkan
dengan terapi diuretik
3. lebih mahal dari segi pembiayaan jika dipakai sebagai terapi
awal. Pengobatan antihipertensi dengan terapi farmakologis
dimulai saat seseorang dengan hipertensi tingkat 1 tanpa faktor
risiko, belum mencapai target TD yang diinginkan dengan
pendekatan nonfarmakologi.

Patogenesis Hipertensi
Pada dasarnya hipertensi merupakan penyakit multifaktorial
yang timbul akibat berbagai interaksi faktor-faktor resiko
tertentu. Faktor-faktor resiko yang mendorong timbulnya
kenaikan.
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari
pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang
berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna
medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls
yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia
simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion
ke pembuluh darah kapiler, dimana dengan dilepaskannya
norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah kapiler.
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang
vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif
terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan
dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi.
Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan
vasokontriksi.
Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang
dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah.
Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke
ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang
pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor
tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi. Perubahan
struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer
bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang
terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi
aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang
pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya
regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri
besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume
darah yang dipompa oleh jantung volume sekuncup,
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan
tahanan perifer.
Strategi tatalaksana Farmakologis Hipertensi Esensial

Strategi tatalaksana hipertensi sebelumnya difokuskan pada


penggunaan berbagai jenis monoterapi, peningkatan dosis, atau
penggantian monoterapi. Namun, peningkatan dosis monoterapi
hanya sedikit menurunkan tekanan darah dan meningkatkan efek
samping.4,7 Strategi yang sedang dikembangkan menganjurkan
terapi kombinasi, single pill combination therapy untuk
meningkatkan ketaatan, dan penggunaan SPC sebagai terapi
awal kebanyakan penderita hipertensi, kecuali pada lanjut usia
dan tekanan darah normal-tinggi. Terapi kombinasi awal lebih
efektif daripada monoterapi dosis maksimal. Kombinasi obat
juga telah terbukti aman dan dapat ditoleransi. Pada
hipertensi yang tidak dapat terkontrol dengan kombinasi 2
obat dapat ditambahkan obat ketiga; namun kombinasi 3 obat
tidak direkomendasikan sebagai terapi awal. Kombinasi 2 obat
yang direkomendasikanadalah penghambat angiotensin
converting enzyme angiotensin II receptor blockers dengan
calcium channel blockers diuretik, penyekat beta dengan
diuretik atau obat jenis lain merupakan alternatif jika terdapat
indikasi penggunaan penyekat beta seperti angina, pasca-infark
miokard, gagal jantung, dan pengontrolan denyut jantung.
Monoterapi diberikan pada penderita hipertensi stadium 1
dengan sistolik kurang dari 150 mmHg, pasien risiko sangat tinggi
dengan tekanan darah normal-tinggi, atau pasien lansia. Pada
hipertensi resisten, dapat ditambahkan spironolakton.
Tahapan Pemeriksaan Thorax dan Perkiraan Diagnosis
Pemeriksaan thorax meliputi empat tahapan, yaitu mengamati,
meraba, mengetuk, dan mendengarkan suara jantung serta
paru-paru dengan stetoskop. Berikut ini adalah penjelasan
mengenai keempat tahapan tersebut:

1. Inspeksi
Pada tahapan ini, pemeriksaan bisa dilakukan dengan melihat
bentuk dan ukuran dada, warna kulit di area dada, serta cara
bernapas dan penggunaan otot-otot dada.
Pada pemeriksaan ini, dapat dinilai adanya kelainan tulang dada,
baik cekung maupun menonjol, serta kelainan tulang belakang.
Dapat dinilai juga posisi dan penggunaan otot bantu
pernapasan yang khas pada pasien asma dan pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronis.

2. Palpasi
Palpasi adalah metode pemeriksaan fisik yang dilakukan dokter
dengan melakukan perabaan pada permukaan tubuh dengan
tangan dan jari. Pada palpasi dada, dokter akan menilai
tekstur, pergerakan, serta getaran dan aliran udara pada
dinding dada.
Pada pemeriksaan ini, dokter akan merasakan perbedaan
tekstur di area dada. Misalnya bila tulang dada teraba lunak,
cekung, atau menonjol, dokter bisa mencurigai adanya patah
tulang iga. Dokter juga bisa merasakan tekstur seperti busa
pada dinding dada, yang dikenal dengan istilah krepitasi. Ini
menandakan adanya udara di bawah kulit.
Selain itu, dokter mungkin akan meletakkan telapak tangan pada
permukaan dada, kemudian meminta Anda untuk bernapas,
berhitung, atau mengucapkan kata-kata tertentu. Tujuannya
adalah untuk merasakan getaran dari aliran udara pada paru-
paru.

3. Perkusi
Perkusi dada dapat dilakukan oleh dokter dengan mengetuk jari
pada sejumlah area di permukaan dada maupun punggung atas.
Bunyi dari ketukan ini bisa menandakan kondisi organ di
bawahnya.
Bunyi ketukan akan lebih kencang dan bergaung pada bagian
tubuh yang berisi udara, dan akan lebih lemah dan redup pada
bagian tubuh yang padat atau berisi air. Dengan pemeriksaan
ini, dapat terdeteksi gangguan paru-paru, seperti efusi
pleura dan pneumothoraks, serta kelainan jantung,
seperti kardiomegali.

4. Auskultasi
Auskultasi adalah metode pemeriksaan untuk mendengarkan
bunyi dari dalam tubuh dengan menempelkan stetoskop di area
tertentu. Pemeriksaan bunyi jantung dilakukan pada dada
sebelah kiri, sedangkan pemeriksaan bunyi paru-paru dilakukan
pada seluruh bagian dada.
Bunyi jantung sehat memiliki irama yang teratur, dan tidak ada
bunyi tambahan. Sementara pada paru-paru yang sehat, akan
terdengar suara napas yang normal, tanpa ada mengi, stridor,
atau suara napas abnormal lainnya.
Pemeriksaan fisik thorax seperti yang telah dijelaskan di atas
akan membantu dokter dalam menilai kondisi organ-organ di
dalam rongga dada, sehingga diagnosis dapat ditegakkan. Bila
masih ragu atau mencurigai adanya kondisi tertentu, dokter
dapat merekomendasikan pemeriksaan lanjutan, seperti Rontgen
dada dan elektrokardiogram , untuk memastikan diagnosis.
Pemeriksaan Penunjang
1. Riwayat dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh
2. Pemeriksaan retina
3. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kerusakan organ
seperti ginjal dan jantung
4. EKG untuk mengetahui hipertropi ventrikel kiri
5. Urinalisa untuk mengetahui protein dalam urin, darah, glukosa
6. Pemeriksaan : renogram, pielogram intravena arteriogram
renal, pemeriksaan fungsi ginjal terpisah dan penentuan kadar
urin.

2. Referensi yang (Tuliskan sumber referensi yang digunakan atau dibaca)


digunakan 1. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
Loscalzo J, et al. Hypertension treatment. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 19th ed. McGraw-Hill
Co,Inc.; 2015 .p. 1622-7
2. Krisnanda, Y.M. Hipertensi. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. 2017
3. James, P.A. Evidence Based Guideline for the
Management of High Blood Pressure in Adults. Report
from the Panel Members Appointed to the Eight Joint
National Committee
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
Panduan Praktis Klinis dan Clinical
5. Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. 2016
Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia.
Penatalaksanaan Hipertensi. 2019

Nilai
Nama Fasilitator :
Tanda tangan fasilitator:

Anda mungkin juga menyukai