Anda di halaman 1dari 12

Lampiran 1 : Jurnal Penelitian

Jurnal Keperawatan
Volume 13 Nomor 1, Maret 2021
e-ISSN 2549-8118; p-ISSN 2085-1049
http://journal.stikeskendal.ac.id/index.php/Keperawatan

MODEL “AKSI” UNTUK MEWUJUDKAN GERAKAN SEHAT


MENTAL DALAM MENGATASI KECEMASAN REMAJA

Ni Komang Ayu Marini Permata Cahyanthi*, Komang Ayu Henny


Achjar, I Dewa Putu Gede Putra Yasa, I Made Sukarja
Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Denpasar, Jl. Sanitasi No.1,
Sidakarya, Kec. Denpasar Sel., Kota Denpasar, Bali, Indonesia 80224
*permatacahyanthi@gmail.com

ABSTRAK
Kecemasan merupakan perasaan merasa terancam terhadap situasi tertentu
yang merupakan respon terhadap bahaya. Dampak pandemi Covid-19
membuat remaja yang terbiasa hidup produktif tiba-tiba harus menyesuaikan
diri dengan keadaan. Kecenderungan tidak produktif dan tidak berinteraksi
dengan orang lain membuat perasaan merasa sendiri menimbulkan
kecemasan. “AKSI” sebagai gerakan sehat mental yang merupakan upaya
menurunkan kecemasan pada remaja ini merupakan akronim dari A=aktif
bergerak, K=kurangi pikiran negatif, S=selektif terhadap informasi dan
I=interaksi yang berarti yang diterapkan pada remaja yang mengalami
kecemasan di masa pandemi Covid-19. Penelitian ini bertujuan adalah
menunjukkan pengaruh penerapan model “AKSI” terhadap tingkat
kecemasan terutama pada remaja di masa pandemi Covid-19. Menggunakan
desain penelitian one group pre-post test. Populasi penelitian ini adalah
remaja dengan tingkat kecemasan ringan hingga berat di wilayah Denpasar,
menggunakan purposive sampling 15 orang responden dengan rentang usia
15 – 24 tahun. Variabel bebas dan terikat adalah model “AKSI” dan tingkat
kecemasan. Instrument yang digunakan untuk mengkaji kecemasan adalah
kuisioner HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anxiety) dengan hasil uji
validasi r = 0.93 dan uji reliabilitas = 0.97. Rata-rata tingkat kecemasan
sebelum dan setelah perlakuan adalah 22.8 (kecemasan sedang) menjadi 19.1
(kecemasan ringan). Hasil tes dengan paired t-test menunjukkan p value =
0.000 yaitu adanya pengaruh penerapan model “AKSI” untuk menurunkan
tingkat kecemasan.

Kata kunci: kecemasan; model “AKSI”; pandemi covid-19; remaja


MODEL OF “AKSI” TO ACTUALIZE MENTAL HEALTH
MOVEMENTS IN OVERCOMING ADOLESCENT ANXIETY

ABSTRACT
Anxiety is a feeling of feeling threatened in a certain situation which is a
response to danger. The impact of the Covid-19 pandemic has made
teenagers who are accustomed to productive lives suddenly have to adjust to
the situation. The tendency to be unproductive and not interact with other
people makes feeling alone creates anxiety. "AKSI" as a mental health
movement which is an effort to reduce anxiety in adolescents is an acronym
for A = Aktif bergerak, K = Kurangi pikiran negatif, S = Selektif terhadap
informasi and I = Interaksi yang berarti which is applied to adolescents who
experience anxiety during the pandemic. Covid-19. This study aims to show
the effect of implementing the "AKSI" model on anxiety levels, especially
among adolescents during the Covid-19 pandemic. Using a one group pre-
post test research design. The study population was adolescents with mild to
severe anxiety levels in the Denpasar area, using purposive sampling 15
respondents with an age range of 15-24 years. The independent and
dependent variables are the "AKSI" model and the level of anxiety. The
instrument used to assess anxiety was the HRS-A (Hamilton Rating Scale for
Anxiety) questionnaire with the results of the validation test r = 0.93 and the
reliability test = 0.97. The average level of anxiety before and after
treatment was 22.8 (moderate anxiety) to 19.1 (mild anxiety). The test results
with paired t-test showed p value = 0.000, namely the effect of the
application of the "AKSI" model to reduce anxiety levels.
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 81 - 90, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Keywords: adolescent, anxiety, covid-19 pandemic, model of “AKSI”

PENDAHULUAN
Data dari John Hopkins University pada 25 Juni 2020 menunjukkan lebih
dari sembilan juta kasus positif Covid-19 terkonfirmasi di 216 kawasan di
seluruh dunia. Pandemi ini menyebabkan tekanan dari beberapa sektor
kehidupan. Selama pandemi Covid-19 38.7% remaja di China yang berusia
18 tahun keatas mengalami tekanan psikologi dan 37.9% mengalami cemas
dan panik. Laporan dari Express Scripts di Amerika Serikat pada Maret 2020
mencatat terjadi kenaikan resep obat anti-kecemasan hingga mencapai 34%
dan survei Kaiser Family Foundation menunjukkan sekitar 45% orang
mengaku khawatir atau stres karena virus korona (Express & Report, 2020).

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (2018), di Indonesia prevalensi


gangguan mental emosional tahun 2018 pada usia 15 tahun ke atas sebesar
9.8%, meningkat dari yang sebelumnya pada tahun 2013 sebesar 6%
(Riskesdas, 2018). Dan data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
Jiwa Indonesia (PDSKJI) yang melakukan swaperiksa 1.522 orang terkait
masalah psikologis selama pandemi Covid-19 di Indonesia dan ditemukan
data 64.3% memiliki masalah psikologis cemas atau depresi dengan
persentase cemas sebesar 63% dan masalah ini dimulai dari usia 14 tahun.

Di Provinsi Bali tersendiri prevalensi usia diatas 15 tahun menunjukkan


angka 4.4% memiliki gangguan mental emosional, dan jika diakumulasikan,
remaja usia 15-24 tahun sebesar 6.1% memiliki gangguan mental emosional
dengan salah satu gejalanya yakni kecemasan (Riskesdas, 2018). Di masa
pandemi Covid-19 ini, selama masa karantina ini terjadi penurunan
produktivitas, adanya ancaman tertular penyakit beserta beragam informasi
yang membingungkan, menyebabkan potensi gangguan mental tidak dapat
disepelekan lagi khususnya pada remaja berdasarakan menurut Fatmawaty
(2017) perkembangan emosi pada masa remaja ini cenderung lebih tinggi
dari masa anak-anak. Hal tersebut dapat terjadi karena remaja berada di
bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi yang baru (Fatmawaty, 2017).
Menurut WHO (World Health Organization) batasan usia remaja adalah 12
sampai 24 tahun. Penutupan sekolah selama masa pandemi mau tidak mau
membuat remaja belajar di rumah. Remaja yang kesehariannya hidup
produktif dengan kegiatan, kini hanya dapat berdiam diri di rumah
dikarenakan masa karantina yang mengharuskan tetap berada di rumah. Jika
dalam keadaan normal untuk menghilangkan kepenatan, remaja biasa pergi
rekreasi bersama teman sebayanya dan menikmati waktu di luar rumah, tetapi
dengan kondisi sekarang kegiatan itu belum dapat dilakukan sampai waktu
yang belum ditentukan.

Hal tersebut jelas menyebabkan remaja memiliki kecenderungan menjadi


cemas dan tertekan. Dampak dari pandemi virus ini tidak hanya dirasakan
secara fisik namun hal ini tentu saja mempengaruhi secara mental. Dampak
virus Covid-19 yang membuat orang bertahan di rumah, kehilangan

83
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 81 - 90, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

pekerjaan, dan sekolah yang ditutup membuat masyarakat merasa tertekan


terutama remaja yang terbiasa hidup produktif dengan kegiatan padat tiba-
tiba harus menyesuaikan diri dengan keadaan dimana belajar dan bekerja
dilakukan di rumah saja. Menjadi tidak produktif dan tidak berinteraksi
dengan orang lain seperti sebelumnya membuat perasaan merasa sendiri
menimbulkan kekhawatiran
Kecemasan merupakan perasaan takut terhadap sesuatu yang akan terjadi,
atau merasa terancam dan stres terhadap situasi tertentu. Itu merupakan
respon yang normal ketika dihadapkan dengan bahaya, tetapi jika perasaan
tersebut terus berlanjut dapat dikatakan sebagai gangguan kecemasan (Dean,
2016). Kecemasan mengacu pada respon otak terhadap bahaya, rangsangan
otak yang akan aktif akan mencoba untuk menghindari. Kecemasan dapat
menjadi maladaptif bila sudah mengganggu fungsi, ini dapat terjadi
dikarenakan kecemasan yang sebagian besar dirasakan secara lebih sering,
parah dan persisten (Beesdo et al., 2009).

Kecemasan (Anxiety) memiliki tingkatan, Gail W. Stuart (2006: 144)


mengemukakan tingkat ansietas, diantaranya: Ansietas ringan yakni
berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari, ansietas ini
menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang
persepsinya. Ansietas ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan
pertumbuhan serta kreativitas. Ansietas sedang Memungkinkan individu
untuk berfokus pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain.
Ansietas ini mempersempit lapang persepsi individu. Dengan demikian,
individu mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat berfokus pada
lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya.

Ansietas berat sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu


cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir
tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan.
Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain.
Tingkat panik Berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Hal
yang rinci terpecah dari proporsinya karena mengalami kehilangan kendali,
individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun
dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan menimbulkan
peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan
dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran
yang rasional (Gail. W. Stuart, 2006).

Stres yang berkelanjutan akibat dari kecemasan yang tidak mendapat


penanganan akan memperburuk kondisi individu yang akhirnya
menyebabkan depresi. Sejumlah penelitian melaporkan bahwa stres dan
kehidupan yang penuh stres merupakan peristiwa yang sangat terkait dengan
gejala depresi, yang kemudian meningkatkan risiko bunuh diri (Zhang et al.,
2012). Maka dari itu guna menurunkan tingkat kecemasan pada remaja,
model “AKSI” sebagai gerakan sehat mental ini memiliki bagian antara lain:
“A” adalah aktif bergerak, yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi
informasi zoom meeting. Hasil penelitian Jumrotin dkk (2018) menunjukkan

84
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 81 - 90, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

bahwa relaksasi otot progresif terbukti dapat menurunkan tingkat kecemasan


dalam menghadapi menarche (Jumrotin et al., 2018). Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan Anggraini & Retnaningsih (2018),
disimpulkan bahwa teknik relaksasi progresif cukup efektif dalam
mengurangi stres pada subjek yang menderita penyakit henoch schonlein
purpura kronis. (Anggraini & Retnaningsih, 2018). Kegiatan aktif bergerak
yang dipandu oleh peniliti menggunakan sistem latihan otot progresif yang
diikuti oleh 15 responden selama 25 menit dengan urutan langkah yang runut
sesuai standar operasional prosedur.

Selanjutnya yakni “K” adalah kurangi pikiran negatif, menggunakan teknik


relaksasi musik instrumental yang sering didengar masyarakat Bali salah satu
contohnya yakni Hero dari Gus Teja yang dapat ditemukan di aplikasi
youtube dengan tautan berikut https://youtu.be/HGpI5718rp4. Berdasarkan
penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa musik sebagai sumber suara dapat
mempengaruhi hipofisis di otak untuk melepaskan endorfin, yang mana kita
tahu endorfin merupakan hormon bahagia yang menjauhkan individu dari
stres dan kecemasan (Sartika et al., 2017) dan temuan hasil penelitian
Kholidah dkk, secara signifikan menyatakan pelatihan berpikir positif efektif
dapat menurunkan tingkat stres (Kholidah & Alsa, 2012). Kegiatan interaksi
yang berarti ini berlangsung selama 15 menit yang akan membuat responden
menjadi rileks sebagai salah satu tindakan komplementer non- farmakologis
yang dapat dilakukan untuk mengatasi kecemasan.
Selanjutnya “S” adalah selektif terhadap informasi, menggunakan media
zoom meeting, Penerapan selektif terhadap informasi ini menggunakan sistem
terapi aktivitas kelompok dengan membagi responden menjadi 3 kelompok
yang berisi masing-masing 5 orang, saling berbagi sumber-sumber informasi
terpercaya yang dapat diakses dan berbagi pengalaman mengenai berita
bohong atau hoax yang pernah didapat selama pandemi Covid-19 melalui
sosial media untuk mencegah dan akan ditanggapi oleh responden lain sesuai
dengan pengalaman masing-masing yang dilakukan selama 20 menit
berdasarkan penelitian dari Szabo (2007) menunjukkan bahwa berita yang
disiarkan atau disebarkan dapat memicu peningkatan emosi negatif yang
dimunculkan dalam bentuk kecemasan yang tinggi (Szabo & Hopkinson,
2007).
Terakhir “I” adalah interaksi yang berarti, masih dengan sistem terapi
aktivitas kelompok yang terbagi dalam 3 kelompok dengan 15 orang,
kegiatan dilakukan responden saling berinteraksi satu sama lain mengenai
perasaan mereka selama di rumah, saling menghargai dan menerima satu
sama lain. Berdasarkan penelitian Asrori (2015) yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa terapi kognitif perilaku berhasil menurunkan tingkat
kecemasan kedua subjek dengan mengubah pemikiran negatif menjadi
alternatif pemikiran yang lebih positif dan rasional, salah satu tindakan yang
dapat dilakukan yakni dengan berbincang- bincang dan berinteraksi (Asrori,
2015). Semua responden mendapat kesempatan yang sama dalam
mengeluarkan pendapat serta pengalaman yang dirasakannya. Kegiatan ini
berlangsung selama 30 menit melalui zoom meeting.

85
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 81 - 90, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Mekanisme kerja “AKSI” memungkinkan individu untuk menjadi produktif


dengan aktif bergerak, menjadi rileks dengan mendengarkan musik sebagai
pengalihan dari pikiran negatif, tidak termakan berita bohong karena selektif
terhadap informasi dan tidak merasa sendirian karena ada teman berbagi
dalam langkah perwujudan interaksi yang berarti. Penerapan sosialisasi pun
masih bisa dilakukan melalui media teknologi zoom meeting. Sebagai wadah
kegiatan positif yang dapat dilakukan para remaja agar tetap bersosialisasi
dan berinteraksi dengan sebayanya walau dengan media komunikasi tknologi
informasi tidak mengurangi keefektifan komunikasi dan interaksi yang
dilakukan. Penelitian ini penting dilakukan mengingat masyarakat terutama
remaja akan hidup berdampingan dan berusaha beradaptasi dengan kondisi
selama pandemi Covid-19. Model “AKSI” digunakan sebagai upaya untuk
menurunkan dan mencegah kecemasan yang dialami remaja saat ini. Semua
tindakan peneliti lakukan dengan penerapan komunikasi terpeutik dengan
karakteristik empati terhadap orang lain, kehangatan untuk mendorong
responden saling mengekspresikan ide dan perasaan tanpa rasa takut dan juga
dengan prinsip-prinsip komunikasi terapeutik seperti saling menerima, saling
percaya, dan saling menghargai.

METODE
Penelitian dilaksanakan dengan metode pre-eksperimental, jenis penelitian
one-group pre- post-test design. Penelitian melibatkan 15 orang responden di
wilayah Denpasar. Penentuan responden menggunakan metode purposive
sampling yang mengacu pada kriteria inklusi yaitu remaja dengan usia 15
sampai 24 tahun dengan tingkat kecemasan ringan hingga berat yang belum
mendapat perlakuan apapun, eksklusi yaitu tidak bersedia menjadi responden.
Dalam proses implementasi, penelitian ini telah melalui proses uji lolos etik
dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Poltekkes Kemenkes
Denpasar dengan Nomor. LB.02.03/EA/KEPK/0309/2020.

Pengkajian data dilakukan dengan mengkaji tingkat kecemasan dengan


menggunakan kuisioner HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anxiety)
mengadopsi hasil uji validitas dan reliabilitas dari penelitian Norman (2005)
yaitu r = 0.97 dan 0.93. Berisi 14 indikator dengan hasil akhir klasifikasi
yakni total skor kurang dari 14 tidak ada kecemasan, 14-20 kecemasan
ringan, 21-27 kecemasan sedang, 28-41 kecemasan berat, 42-56 kecemasan
berat sekali. Selanjutnya responden dengan tingkat kecemasan ringan hingga
berat sekali yang bersedia menjadi responden, mengikuti model “AKSI’
sebagai upaya penurunan tingkat kecemasan yang dialami. Proses dilanjutkan
dengan tabulasi data dan ditempatkan pada tabel frekuensi yang selanjutnya
akan dianalisis. Analisis data dilakukan untuk mengetahui rerata tingkat
kecemasan sebelum dan setelah implementasi model “AKSI” serta menguji
pengaruh model “AKSI” bagi penderita kecemasan, data dianalisis dengan
paired t-test.

Semua kegiatan dilakukan melalui online, yakni mulai dari pengisian


kuisioner HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anxiety) hingga
pengimplementasian model “AKSI” yang dilakukan melalui zoom meeting

86
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 81 - 90, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

sebagai pemanfaatan teknologi yang mempermudah kegiatan selama pandemi


Covid-19 karena harus diterapkannya pembatasan jarak. Namun untuk
kedepannya tidak mennutupi kemungkinan bahwa model “AKSI” ini dapat
digunakan secara fisik dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan yang
berlaku sebagai penerapan alternatif untuk mengatasi kecemasan berlebih
atau sebagai model kegiatan untuk menyalurkan ide serta pendapat remaja
dalam mengatasi kecemasan.

HASIL
Model “AKSI” dalam perwujudan gerakan sehat mental pada remaja di masa
pandemi Covid-19 telah diimplementasikan kepada 15 orang responden, yang
diawali dengan pengisian kuisioner HRS-A (Hamilton Rating Scale for
Anxiety) untuk mengetahui tingkat kecemasan sebelum diberikannya terapi
dan dilanjutkan dengan pengimplementasian model “AKSI” melalui zoom
meeting dengan karakteristik sebagai berikut:

Tabel 1
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Tingkat
Kecemasan Sebelum dan Sesudah Pengimplementasian Model “AKSI”
(n=15)
Kategori f %
Jenis Kelamin
Laki-laki 3 20
Perempuan 12 80
Usia
12-15 tahun 1 6,67
16-19 tahun 5 33.33
20-24 tahun 9 60
Tingkat kecemasan sebelum pengimplementasian model
“AKSI”
Kecemasan ringan (14-20) 4 26.67
Kecemasan sedang (21-27) 9 60
Kecemasan berat (28-41) 2 13.33
Kecemasan berat sekali (42-56) 0
Tingkat kecemasan setelah pengimplementasian model
“AKSI”
Kecemasan ringan (14-20) 11 73.33
Kecemasan sedang (21-27) 3 20
Kecemasan berat (28-41) 1 6.67
Kecemasan berat sekali (42-56) 0

87
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 81 - 90, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Tabel 2.
Rata- rata Tingkat Kecemasan Sebelum dan Sesudah Pengimplementasian
Model “AKSI” (n=15)
Variabel Mean Min - Maks
Tingkat kecemasan pre-test 22.8 17 - 33
Tingkat kecemasan post-test 19.1 13 - 30

Tabel 1 menggambarkan responden didominasi oleh perempuan, usia


terbanyak yaitu 20-24 tahun. Tabel 2 hasil menggambarkan perubahan rata-
rata tingkat kecemasan yang dialami subjek saat sebelum dan setelah
pengimplementasian model “AKSI”. Sebelum pengimplementasian
ditemukan rata-rata kecemasan berada pada skor 22.8 yang tergolong dalam
kecemasan sedang. Setelah pengimplemtasian model “AKSI” tingkat
kecemasan subjek berapa pada skor 19.1 yang tergolong dalam kecemasan
ringan. Tabel 3 menyatakan nilai signifikansi atau p-value dari hasil uji
pengaruh model “AKSI” sebelum dan sesudah perlakuan terhadap tingkat
kecemasan responden yaitu 0.000.

Untuk menguji model “AKSI” bagi penurunan tingkat kecemasan remaja,


dilakukannya pertemuan dengan zoom meeting sebagai media dalam
penerapan kegiatan yang ada dalam model “AKSI”, penting dilakukan
pengkajian tingkat kecemasan sebelum & sesudah dilaksanakannya prosedur
“AKSI”. Tingkat kecemasan sebelumnya yaitu terendah 17 dan tertinggi 33
dengan rata-rata 22.8. Sedangkan tingkat kecemasan setelah terapi yaitu
terendah 13 dan tertinggi 30 dengan rata-rata 19.1.

Setelah memperoleh data, penulis melakukan uji normalitas untuk


mengetahui apakah sebaran data telah terdistribusi normal atau tidak. Dengan
bantuan SPPS, didapatkan data terdistribusi normal. Data tersebut selanjutnya
dianalisis dengan melakukan pengujian Paired Samples T- Test dan
didapatkanlah hasil uji sebagai berikut:

Tabel 3.
Analisis Perbedaan Tingkat Kecemasan Sebelum dan Setelah Perlakuan
(n=15)
Tingkat Kecemasan Mean SD t P
Pre-test 22.80 4.127 2.390 0.000
Post-test 19.13 4.274
Selisih 3.67

Berdasarkan hasil pengujian, didapatkan nilai signifikansi (2-tailed) sebesar


.000. Nilai tersebut berada di bawah 0.05 yang menunjukkan terdapat
pengaruh bermakna terhadap perlakuan yang telah diberikan kepada
responden menggunakan model “AKSI” untuk mewujudkan gerakan sehat
mental.

88
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 81 - 90, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

PEMBAHASAN
Tingkat Kecemasan Remaja Sebelum Pengimplementasian Model “AKSI”
Penelitian ini dilakukan pada responden dengan rentang usia 15 – 24 tahun.
Dengan presentase peremuan lebih besar daripada laki-laki ini berbanding
lurus pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Saputro (2007)
menyimpulkan bahwa subyek siswa perempuan memiliki tingkat kecemasan
yang lebih tinggi dari siswa laki-laki. Pernyataan ini terlihat dari angka yang
diperoleh pada penilitiannya yakni, terdapat 21 orang siswa perempuan yang
masuk dalam kategorisasi memiliki tingkat kecemasan tinggi dengan
persentase sebesar 36.2
%. Sedangkan siswa laki-laki hanya terdapat 8 orang siswa yang memiliki
tingkat kecemasan tinggi, dengan persentase sebesar 19% (Saputro, 2007).
Sebelum pengimplementasian model “AKSI” sebagai gerakan sehat mental
selama pandemi Covid-19, pengalaman kecemasan terbanyak terjadi pada
usia 20 - 24 tahun sebesar 60%. Berbanding lurus dengan penelitian
Tamiselavan (2016) mengenai usia onset gangguan panik dalam
penelitiannya, usia onset gangguan panik pada pria adalah 23.07 tahun dan
pada wanita 20,35 tahun dan rerata usia saat onset gejala gangguan panik
adalah 21,3 tahun dengan rentang 16 hingga 35 tahun dan standar deviasi
4.63. Pasien wanita mengalami onset yang cukup dini dengan rerata 20,35
tahun dibandingakan pria (23.07 tahun) (Tamiselavan, 2016), ini menunjukan
usia gangguan kecemasan didominasi usia 20-an. Penelitian ini berdasarkan
pada tingkat kecemasan responden sebelum diimplementasikan model
“AKSI” ditemukan rata-rata tingkat kecemasan berada pada 22,8 yang
merupakan tingkat kecemasan sedang dengan skor paling rendah 17 yang
tergolong kecemasan ringan dan skor tertinggi 33 yang tergolong kecemasan
berat.

Tingkat Kecemasan Remaja Setelah Pengimplementasian Model “AKSI”


Pada penelitian ini berdasarkan pada tingkat kecemasan setelah
pengimplementasian model “AKSI”, tingkat kecemasan berada pada rata-rata
19.1 (kecemasan ringan). Skor kecemasan terendah yakni 13 (tidak ada
kecemasan) dan tertinggi 30 (kecemasan berat). Hasil tersebut menunjukkan
bahwa terjadi penurunan rerata tingkat kecemsan sebelum dan sesudah
diimplementasikannya model “AKSI”. Hal ini menunjukan bahwa
pengimplementasian aktif bergerak, kurangi pikiran negatif, selektif terhadap
informasi dan interaksi yang berarti memiliki pengaruh terhadap tingkat
kecemasan.

Pengaruh Model “AKSI” Terhadap Tingkat Kecemasan Remaja


Berdasarkan variabel penelitian, rata-rata skor kecemasan berada pada 22.8
yang berarti tingkat kecemasan sedang. Berbeda dengan nilai rata-rata
kecemasan setelah pengimplementasian model “AKSI” yaitu 19.1 yang
berarti tingkat kecemasan rendah. Rata- rata responden mengatakan setelah
dilakukannya model “AKSI” melalui pertemuan dengan aplikasi zoom,
responden merasa rileks setelah beberapa menit mendengar lagu
instrumental, dan dengan obrolan dan pertanyaan-pertanyaan dari semua
responden, sebagian besar dari responden mengatakan menjadi lebih percaya

89
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 81 - 90, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

bahwa kesulitan yang responden lalui ini ternyata tidak dirasakannya sendiri,
bahwa semua sektor kehidupan mendapat dampak dari pandemi ini yang
menyadarkan bahwa sesama harus saling merangkul untuk mengatasi ini
bersama.

Berdasarkan pengujian dengan Paired Samples T-Test yang dilakukan


menggunakan SPSS, didapatkan nilai signifikansi (2-tailed) sebesar .000 (p
value = 0.00). Nilai tersebut berada di bawah batas yaitu 0.05 sehingga
menandakan bahwa terdapat pengaruh signifikan terhadap tingkat kecemasan
sebelum dan sesudah dilakukannya model “AKSI” sebagai gerakan sehat
mental dalam mengatasi kecemasan remaja. Penurunan tingkat kecemasan
tersebut dipengaruhi berbagai faktor seperti otot yang rileks akibat dari
latihan relaksasi otot progresif, menjadi rileks dengan mendengar musik,
memperoleh sumber terpercaya sebagai sumber informasi utama, dan suasana
kehangatan saat interaksi yang berarti. Hal ini sangat mendukung terjadinya
proses perbaikan kualitas hidup seseorang sehingga mereka mampu
beraktivitas seperti semula dan menjalani kehidupannya secara optimal dan
juga menjaga daya tahan tubuh tetap terjaga karena sehat fisik juga harus
diimbangi dengan kesehatan mental emosional agar terhindar dari berbagai
kemungkinan penyakit selama pandemi Covid- 19.
SIMPULAN
Model “AKSI” untuk mewujudkan gerakan sehat mental dalam mengatasi
kecemasan remaja merupakan gagasan untuk menjadi sehat secara mental
emosional pada remaja yang menjadi kurang produktif semenjak masa
pandemi Covid-19. Dilakukannya latihan relaksasi otot progresif, terapi
musik, dan terapi aktivitas kelompok dengan pendekatan komunikasi
terapeutik merupakan penerapan dari model “AKSI” ini. Dalam
pengimplementasiannya didapatkan hasil yang berbeda antara skor tingkat
kecemasan sebelum dan sesudah diberikannya terapi. Skor tingkat kecemasan
sebelum terapi berada pada kisaran 17 sampai 33 dengan rata-rata 22.8
(kecemasan berat). Responden mengeluhkan kurangnya motivasi untuk
menjadi produktif selama di rumah dan tekanan yang dirasakan yang
membuat perasaan cemas seringkali tidak dapat dikendalikan.

Setelah diimplementasikannya model “AKSI” untuk mewujudkan gerakan


sehat mental , skor tingkat kecemasan berada pada rentang 13 sampai 30
dengan rata-rata 19.1 (kecemasan sedang). Responden mengatakan merasa
lebih rileks setelah melakukan pergerakan, tenang setelah mendengar musik
instrumental bersama dengan responden lain, mengetahui fakta bahwa
mereka tidak sendiran dan merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya
setelah berbagi ide dan perasaan tanpa ada rasa takut dihakimi. Hal tersebut
menggambarkan penurunan intensitas nyeri yang signifikan dan telah
dibuktikan dengan nilai signifikansi sebesar .000 (p value = .000). Penurunan
tingkat kecemasan terjadi pada pengaplikasian model “AKSI” benar-benar
telah dirasakan oleh responden. Skor tingkat kecemasan yang berada pada
rata-rata kecemasan berat, setelah diberikan terapi intensitas kecemasan
tersebut menurun menjadi rata-rata kecemasan sedang. Kejadian seperti ini
sangat membantu proses keberlangsungan hidup individu yang merasakan

90
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 81 - 90, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

kecemasan sehingga mereka mampu dalam menjalani kehidupan sehari-hari.


Evaluasi dampak dari “AKSI” adalah penurunan penurunan tingkat
kecemasan yang paten dan instan tidak dapat terjadi dalam sekali periode
terapi, namun harus dilakukan secara rutin. Serta terdapat kemungkinan
kecemasan akan timbul kembali jika terapi tidak dilakukan secara rutin.

DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, R., & Retnaningsih. (2018). Efektivitas Relaksasi Progresif Untuk
Mengurangi Stres pada Penderita Purpura Henoch Sconlein (Phs)
Kronis. 81–94. https://doi.org/doi.org/10.35760/psi.2018.v11i1.2076
Asrori, A. (2015). Terapi Kognitif Perilaku untuk Mengatasi Kecemasan
Sosial. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 03(01), 89–107.
Beesdo, K., Knappe, S., & Pine, D. S. (2009). Anxiety a nd Anxiety Disorder
s in Children and Adolescents : Development al Issues and I mplic
ations for DSM - V. 32, 483–524.
https://doi.org/10.1016/j.psc.2009.06.002
Dean, E. (2016). Anxiety. Nursing Journal,
30(46), 2016.
https://doi.org/10.1002/brb3.497/full
Express, A. N., & Report, S. (2020). AMERICA ’ S STATE OF MIND (Issue
April). https://corporate-site-labs-prod.s3.us-east-
2.amazonaws.com/2020-04/Express Scripts America%27s State of
Mind Report April 2020 FINAL_1.pdf
Fatmawaty, R. (2017). Memahami Psikologi Remaja. Jurnal Reforma, 2(1),
55–65. https://doi.org/10.30736/rfma.v6i2.33
Gail W. Stuart. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Alih Bahasa: Ramona P.
Kapoh & Egi Komara Yudha. Jakarta: EGC.
Jumrotin, Suroso, & Meiyuntariningsih, T. (2018). Terapi Relaksasi Progresif
Untuk Menurunkan Kecemasan Siswi Dalam Menghadapi Menarche.
Jurnal Psikologi Indonesia, 7(1), 79–92. http://jurnal.untag-
sby.ac.id/index.php/persona%0AVolume
Kholidah, E., & Alsa, a. (2012). Berpikir Positif untuk Menurunkan Stres
Psikologis. Jurnal Psikologi, 39(1), 67–75.
http://jurnal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/view/180
Norman, M. (2005). Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) Report.
Atlanta: Psychiatric Associates of Atlanta, LLC. (Online) tersedia
dalam http://atlantapsychiatry.com.pdf.
Riskesdas. (2018). HASIL UTAMA RISKESDAS 2018. Laporan
Nasional 2018. https://doi.org/doi: 10.3406/arch.1977.1322.
Saputro, D. R. E. (2007). PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN ANTARA

91
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 81 - 90, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

SISWA LAKI- LAKI DAN SISWA PEREMPUAN SMA NEGERI I


SEWON-BANTUL YOGYAKARTA.
Sartika, D., Wibisono, G., & Wardani, N. (2017). Pengaruh Pemberian Musik
Terhadap Perubahan Tekanan Darah Dan Denyut Nadi Sebelum Dan
Sesudah Odontektomi Pada Pasien Gigi Impaksi. Jurnal
Kedokteran Diponegoro, 6(2), 451–459
https://media.neliti.com/media/publications/111213-ID-pengaruh-
pemberian-musik- terhadap-peruba.pdf
Szabo, A., & Hopkinson, K. L. (2007). Negative psychological effects of
watching the news in the television: Relaxation or another intervention
may be needed to buffer them! International Journal of Behavioral
Medicine, 14(2), 57–62. https://doi.org/10.1007/BF03004169
Tamiselavan, S. (2016). Penilaian Keparahan Serta Komorbiditas Gangguan
Panik. 4(1), 42–50. https://isainsmedis.id/index.php/ism/article/view/48
Zhang, X., Wang, H., Xia, Y., Liu, X., & Jung, E. (2012). Stress , coping and
suicide ideation in Chinese college students. Journal of Adolescence,
35(3), 683–690. https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2011.10.003

92

Anda mungkin juga menyukai