BIOF
BIOF
RINGKASAN
Indonesia mengalami krisi bahan bakar dikarenakan terlalu banyakanya
konsumsi bahan bakar oleh masyarakat Indonesia tanpa adanya pembaharuan.
Peningkatan PDB (Produk Domestik Bruto) dan jumlah penduduk yang meningkat
mengakibatkan adanya konsumsi BBM yang meningkat pula. Konsumsi BBM yang
meningkat tidak berjalan secara seimbang dengan produksi minyak mentah yang
mengakibatkan akan adanya krisis BBM. Krisis bahan bakar tersebut mengakibatkan
pemerintah harus mengimpor bahan bakar dari luar negeri, sehingga pemerintah
mengalami defisit bahan bakar. Tidak dipungkiri kenaikan harga BBM berimbas pada
semua bidang yang dapat mencekik masyarakat Indonesia. Namun, saat ini belum ada
pengganti dari bahan bakar yang secara efektif dapat menjadi pengganti BBM yang
dapat dijangkau oleh masyarakat dan bahan bakunya melimpah diIndonesia.
Berdasarkan permasalahn diatas, dalam menyelesaikan masalah krisis BBM
ditawarkan salah satu bahan baar pengganti BBM yang bahannya melimpah di
Indonesia dan mudah diperoleh sehingga bahan bakar tersebut sesuai dengan kondisi
terkinian yaitu bahan bakar dari limbah bonggol pisang.
Limbah bonggol pisang memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan bahan
bakar bioetanol. Bonggol pisang digunakan karena mengandung karbohidrat.
Karbohidrat tersebut diurai terlebih dahulu melalui proses hidrolisis kemudian di
fermentasi dengan menggunakan Saccharomyces cereviseae menjadi alkohol.
Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan dari fermentasi gula dari sumber karbohidrat
menggunakan bantuan mikroorganisme.Limbah bonggol pisang belum digunakan
secara maksimal.Pemanfaatan bahan limbah bonggol pisang untuk produksi bioetanol
dapat menjadi pertimbangan karena tidak bersaing dengan kebutuhan untuk pangan.
Mengingat komponen bahan limbah bonggol pisang sangat kompleks, maka
penanganan untuk produksi bioethanol harus melalui beberapa tahapan. Secara umum
proses pembuatan bioetanol meliputi persiapan bahan baku, sakarifikasi ,fermentasi
danpemurnian
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak persoalan krisis energi, salah
satunya adalah krisis bahan bakar minyak (BBM). Persoalaan krisis BBM ini merupakan
persoalan yang sulit terselesaikan dengan baik dan tuntas. Krisis bahan bakar minyak tidak
hanya berdampak pada satu aspek sosial, tetapi juga akan menyebabkan masalah di berbagai
aspek sosial seperti nilai rupiah turun, volume konsumsi minyak akan naik, harga bahan
pokok akan naik, belanja subsidi akan membengkak sehingga memebebani anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN). Pada akhirnya pemerintah akan kembali
mengeluarkan biaya yang tidak seharusnya ataupun berhutang untuk menambahkan beban
subsidi (Said dan Saragih 2009).
BP migas pada tahun 2013 mencatat bahwa Indoensia mampu memproduksi minyak
mentah sekitar 44.6 juta ton pada tahun 2012 dan menempati posisi ke 24 sebagai negara
produksi minyak mentah terbesar dari 53 negara di dunia. Di ASIA Pasifik , Indonesia
menempati posisi kedua terbesar setelah Cina. Namun pada beberapa tahun terkahir produksi
minyak mentah Indonesia menurun di kisaran 900 ribu BPD. Penurunan ini merupakan suatu
kenyataan yang harus dihadapi Indonesia bahwa minyak merupakan sumber daya alam yang
tidak dapat diperbaharui. Di samping itu, produksi minyak total keseluruhannya bukanlah
milik negara tetapi pemerintah harus berbagi dengan kontraktor kontrak kerjasama (K3S)
dengan sebelumnya hasil produksi harus digunakan terlebih dahulu sebagai pengganti biaya
eksplorasi yang dikeluarkan sebagai cost recovery.
Konsumsi BBM di Indonesia dari periode 1970 s.d. 2012 terus meningkat dikisaran
6.1% per tahun. Kondisi yang bertolak belakang antara kinerja produksi dan konsumsi
minyak, pada akhirnya membuat Indonesia mengalami defisit minyak. Hal ini mulai terjadi
pada tahun 2004, dimana Indonesia mengalami defisit minyak sekitar 5 juta ton, kemudian
terus merangkak naik hingga tahun 2013 yang mengalami defisit 27 juta ton. Konsekuensi
defisit mengakibatkan Indonesia harus impor baik dalam bentuk minyak mentah atau hasil
3
olahan yang berdampak pada neraca perdagangan Indonesia yang naik pula. Kebutuhan
energi Indonesia saat ini sebagian besar masih bertumpu pada bahan bakar fosil. Kebutuhan
energi nasional ditopang minyak bumi sekitar 51,66 persen, gas alam 28,57 persen dan
batubara 15,34 persen. Persediaan bahan bakar tersebut kian waktu semakin berkurang.
Cadangan minyak bumi akan habis sekitar 12 tahun lagi. Ketergantungan terhadap bahan
bakar minyak ini menjadi masalah besar dan perlu solusi yang mendesak. Salah satu langkah
solusinya adalah memanfatkan limbah bonggol pisang untuk dijadikan bahan baku bioetanol
sebagai alternatif pengganti.
Peneliti Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2 Kimia-LIPI), Agus
Haryono mengatakan, pada tahun 2025 pemenuhan kebutuhan energi Indonesia diharapkan
17 % nya berasal dari energi baru terbarukan. Salah satunya dengan memanfaatkan etanol
sebagai alternatif, khususnya bioetanol berasal dari limbah bonggol pisang. Penggunaan
etanol sebagai bahan bakar mempunyai beberapa keunggulan yaitu kandungan oksigen etanol
tinggi (35 persen) sehingga menghasilkan bahan bakar yang bersih; kedua, hasil bersih ini
ramah bagi lingkungan karena emisi gas karbon monoksida lebih rendah 19-25 persen
dibanding BBM. Energi terbarukan ini tidak memberikan kontribusi pada akumulasi karbon
dioksida di atmosfer; ketiga, daya hasil etanol lebih stabil. Angka oktan etanol tergolong
tinggi sekitar 129 sehingga menghasilkan proses pembakaran yang stabil. Proses pembakaran
dengan daya yang lebih baik ini akan mengurangi emisi gas karbon monoksida; keempat,
campuran bioetanol 3% saja mampu menurunkan emisi karbonmonoksida menjadi hanya
1,3%.
Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan diatas perlu solusi untuk
mengurangi ketergantungan masyarakat dalam penggunaan BBM. Solusi yang tepat dalam
mengatasi ketrgantungan masyarakat Indonesia terhadap penggunaan BBM adalah sebuah
energi bahan bakar terbarukan. Bahan bakar terbarukan yang memiliki potensi untuk
diterapkan di Indonesia yaitu bahan bakar bioetanol dari limbah bonggol pisang.
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
BAB 2
GAGASAN
Indonesia merupakan negara yang kaya akan hasil alam termasuk minyak bumi.
Indonesia sendiri termasuk dalama negara produsen minyak yang pernah menjadi salah satu
anggota organisasi produsen minyak mentah dunia yaitu OPEC. Hal tersebut tak lantas
membuat Indonesia menjadi negara yang bebas akan permasalahan akibat kelangkaan minyak
bumi. Indonesia memiliki permasalahan yang sulit diatasi dalam hal minyak terutama dalam
hal BBM. Kini produksi minyak mentah di Indonesia semakin menurun. Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir, dari tahun 2007 s.d. 2012, produksi minyak mentah Indonesia di
kisaran 900 ribu BPD dengan produksi sebelumnya sekitar 44,6 juta ton (BP, 2013). Hal ini
merupakan suatu bukti bahwa minyak bumi merupakan sumber daya yang tidak dapat
diperbarui. Selain itu, hasil minyak mentah yang diperoleh bukanlah sepenuhnya milik
negara. Pemerintah harus berbagi dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) dengan
persentasi 15 % untuk K3S dan 85% untuk pemerintah dengan hasil pemerintah dikurangi
terlebih dahulu untuk cost recovery (Hartono 2011).
Peningkatan PDB dan jumlah penduduk yang meningkat mengakibatkan adanya
konsumsi BBM yang meningkat pula. Konsumsi BBM yang meningkat ini tidak berjalan
secara seimbang dengan produksi minyak mentah yang mengakibatkan akan adanya krisis
BBM. Hal ini terlihat dari perkembangan konsumsi minyak mentah yang terjadi selama
ini sebagaimana digambarkan dalam Grafik 1. Di era tahun 70-an, konsumsi minyak hanya
dikisaran 100 ribu s.d. 350 ribu BPD. Namun, dari tahun ke tahun konsumsi terus meningkat
atau tumbuh di kisaran 6,1% per tahun selama periode 1970 s. d. 2012. Keadaan konsumsi
BBM yang tumbuh sangat cepat yang tidak diiringi dengan produksi minyak mentah yang
cepat pula mengakibatkan Indonesia mengalami deficit BBM. Keadaan Ini sangat terlihat
pada tahun 2004 dimana Indonesia mengalami deficit minyak sebesar 5 juta ton dan
bertambah naik sampai tahun 2012 dengan deficit 27 juta ton. Akibatanya Indonesia harus
6
mengimpor minyak mentah maupun olahan dari negara lain yang berakibat pula pada neraca
perekonomian Indonesia (BP Statitical 2013)
Gambar 2 Grafik Neraca Minyak dan BBM Gambar 3 Grafik Ekspor – Impor
Minyak dan BBM (JT KL) (US$ Juta)
Dari grafik 3 terlihat Volume minyak impor semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Tahun 2008, volume impor mencapai 24,6 juta kiloliter (KL), meningkat 56,9% menjadi 38,6
juta KL pada tahun 2012. Akibatnya pada segi nominal terjadi defisit perdagangan Pada
tahun 2003, terjadi defisit neraca perdagangan sekitar US$414,8 juta, kemudian pada tahun
2011 periode Januari - November menjadi US$19,0 miliar. Keadaan semakin lama aakan
mengakibatkan pemerintah akan kesulitan mencukupi kebutuhan akan minyak dalam negeri
7
yang mengakibatkan adanya krisis BBM. Tidak dipungkiri kenaikan harga BBM berimbas
pada semua bidang yang dapat mencekik masyarakat Indonesia. Ketika harga minyak naik,
nilai rupiah turun, dan volume konsumsi naik, belanja subsidi akan membengkak sehingga
membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Ujung-ujungnya pemerintah
mengorbankan belanja modal dengan mengurangi alokasi anggarannya atau menumpuk utang
untuk menambah kekurangan beban subsidi ( BPS 2012)
Produksi minyak bumi di Indonesia semakin menurun dari tahun ke tahun (Jamilatun
2010). Menanggapi hal itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan energi dalam Bab II Pasal 2
PP No. 5 Tahun 2006 bahwa target konsumsi energi dari biofuel sebesar 5 % dari total
konsumsi energi. Selain itu, Indonesia menempati peringkat ketiga penyumbang emisi gas
rumah kaca setelah Amerika dan Cina (Ahmad et.al 2013). Bioetanol yang terbukti memiliki
banyak kelebihan daripada bahan bakar fosil diharapkan mampu menyelesaikan masalah
tersebut. Beberapa kelebihan bioetanol adalah konsentrasi O2 dan nilai oktan yang tinggi serta
emisi karbon dan hidrokarbon yang rendah (Jamilatun 2010).
Bioetanol sebagai bahan bakar telah diuji coba di Indonesia, khususnya di Jakarta dan
Surabaya. Akan tetapi, kurangnya pasokan bahan baku menjadi kendala utama dalam
menjalankannya (Ahmad et.al 2013). Bahan yang umum digunakan dalam pembuatan
bioetanol adalah ubi kayu dan aren, sedangkan penggunaan bahan baku tersebut berbenturan
dengan kebutuhan pangan (Daud dan Syamsul 2012) dan keuntungan dari nilai ekspor bahan
baku tersebut yang lebih tinggi daripada penjualan di dalam negeri (Ahmad et.al 2013).
Dilihat dari permasalahan di atas, bahan baku lain yang memiliki kandungan lignoselulosa
berpotensi dalam pengembangan bioetanol di Indonesia. Bahan baku berlignoselulosa banyak
terdapat dalam limbah kayu (Daud et.al 2012), limbah pertanian, perkebunan, industri, dan
limbah rumah tangga. Contoh limbah yang dapat digunakan adalah dedak padi, tandan
kosong sawit, tongkol jagung, bagas sorgum manis, dan bagas tebu (Octavia et.al 2011).
Solusi yang telah diterapkan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar
fosil, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.5 Tahun 2006 Tentang
Kebijakan Energi Nasional untuk mendorong pengembangan sumber energi alternatif sebagai
pengganti bahan bakar minyak. Kebijakan ini menitikberatkan pada penggunaan sumber daya
alam yang dapat diperbaharui sebagai sumber energi alternatif pengganti minyak.
Berdasarkan Peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI, pada tahun 2025 pemenuhan kebutuhan
energi Indonesia diharapkan 17%nya berasal dari energi baru dan terbarukan, khususnya
dengan pemanfaatan etanol. Selain itu, kebijakan pemerintah dalam memberikan subsidi
BBM juga mengakibatkan ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan BBM.
2007). Bioetanol diartikan juga sebagai bahan kimia yang diproduksi dari bahan pangan yang
mengandung pati, seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung,dan sagu. Bioetanol merupakan bahan
bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai minyak premium (Khairani, 2007).
Mengingat akan hal tersebut dan prospek yang baik di masa yang akan datang, maka
penyusun mencoba mencari peluang untuk memanfaatkan kulit pisang sebagai bahan baku
dalam pembuatan bioethanol (Prescott and Dunn,1959).Bonggol pisang memiliki komposisi
76% pati, 20% air, sisanya adalah protein dan vitamin. Kandungan korbohidrat bonggol
pisang tersebut sangat berpotensi sebagai sumber bahan bakar nabati yaitu bioetanol.
nya pada suhu 78,4°C, untuk mendapatkan kadar etanol di atas 95% sebagai sumber
bahan bakar alternatif.
Produksi bioetanol dari limbah bonggol pisang dapat diimplementasikan secara luas
di masyarakat, dibutuhkan kerjasama dari beberapa pihak, diantaranya:
1. Pemerintah
Pemerintah bersama kementerian terkait (ESDM) berperan dengan membantu
mengawasi pembuatan bioetanol di masyarakat, melakukan sosialisasi ke daerah-
daerah mengenai penggunaan bioetanol, pembuatan peraturan dan regulasi mengenai
pembatasan penggunaan bahan bakar fosil yaitu dengan mengurangi subsidi BBM,
11
serta memberikan perlindungan hak cipta atau hak paten agar produksinya terjamin
secara hukum.
2. Media massa dan lembaga social
Lembaga sosial dan media massa berperan dalam hal sosialisasi dan penyampaian
informasi mengenai bioetanol dari limbah bonggol pisang.
3. Lembaga riset dan penelitian
Peran lembaga riset dan penelitian dalam pembuatan bioetanol ini adalah untuk
melakukan penelitian lebih lanjut untuk memperbaiki kekurangan yang terdapat saat
ini, menyempurnakan produksi bioetanol, dan mencari proses produksi yang lebih
efektif dan efisien.
4. Masyarakat
Masyarakat adalah sasaran utama dalam pengimplementasian bioetanol dari limbaah
bonggol pisang. Masyarakat diharapkan bisa menerima bahwa bioetanol adalah suatu
solusi terkini energi alternatif yang bisa digunakan sebagai pengganti bahan bakar
minyak dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya.
5. Industri Bahan Kimia dan industri pupuk
Industri bahan kimia berperan dalam penyediaan bahan baku tambahan seperti NaOH,
HCl, dan Ca(OH)2. Sedagkan industri pupuk berperan dalam penyediaan bahan baku
tambahan seperti urea dan NPK yang akan digunakan pada proses fermentasi.
6. Industri bioetanol kecil dan menengah
Industri bioetanol kecil dan menengah berperan sebagai mitra kerja dalam pembuatan
bioetanol. Indutri bioetanol kecil dan menengah diharapkan mau beralih
menggunakan bahan baku limbah bonggol pisang, tidak lagi menggunakan bahan
komoditi pangan.
12
BAB 3
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bioetanol dari limbah bonggol pisang
sebagai bahan bakar alternatif merupakan salah satu solusi bahan bakar di Indonesia.
Tujuannya adalah untuk menggantikan bahan bakar minyak yang kian menipis,
memanfaatkan limbah bonggol pisang. Penggunaan bioethanol dari limbah bonggol pisang
juga dapat menjaga stabilitas komoditi pangan karena yang digunakan sebagai bahan baku
pembuatan bioethanol berasal dari limbah tanaman pangan. Bioetanol adalah bahan bakar
yang ramah lingkungan dibanding bahan bakar fosil karena hasil pembakarannya lebih
bersih. Kandungan limbah Bonggol pisang memiliki komposisi 76% pati, 20% air, sisanya
adalah protein dan vitamin. Kandungan korbohidrat bonggol pisang tersebut sangat
berpotensi sebagai sumber bahan bakar nabati yaitu bioetanol.Pembuatan bioetanol ini
dilakukan dengan melalui beberapa tahapan, yaitu tahapan pretreatment,
sakarifikasi(hidrolisis), fermentasi alcohol dan pemurnian dengan distilasi, stillage,
metagenic fermentation, dan bio gas. Diharapkan dengan penggunaan bioetanol dari
lignoselulosa ini dapat mengurangi ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap bahan
bakar minyak (BBM).
13
DAFTAR PUSTAKA
Said M, Saragih YR. 2009. Pengaruh ratio reaktan dan waktu reaksi terhadap konversi
minyak jarak pagar. Jurnal Teknik Kimia. 16(3):32-39
14