Anda di halaman 1dari 4

SEPENGGAL KISAH DARI PALESTINA

Hai, aku adalah seorang anak yang hidup di Palestina. Seperti


yang kalian tau, kami hidup di tengah peperangan. Keluar
rumah adalah hal yang menakutkan bagi kami. Kami tidak bisa
bebas bersekolah seperti kalian. Kami harus sangat hati-hati,
jangan sampai bom-bom tentara Israel mengenai kami. Aku
hanya tinggal berdua dengan ibuku. Ayahku telah
menghembuskan nafas terakhirnya 3 bulan yang lalu akibat
terkena serangan udara Israel. Kami tinggal di tenda
pengungsian. Kami tak bisa tidur dengan tenang akibat suara-
suara bom yang selalu mengejutkan kami. Walau sekolah
adalah hal sulit, aku dan teman-temanku tetap belajar pada
seorang guru, yaitu Mr. Habib, seorang warga negara Mesir.
Kami belajar di sebuah tenda pengungsian.

“Ahmad! Ayo kita berangkat.” Ujar salah satu temanku,


Husein.
Aku, Husein, Fatimah, Ali, dan teman-teman lainnya begegas
masuk ke sebuah tenda. Lalu kami duduk berbaris.
“Assalamualaikum. Apa kabar?” tanya Mr. Habib.
“Waalaikumsalam, baik!” ujar kami bersemangat.
“Mister, kita belajar apa hari ini?” tanya Fatimah.
“Kita akan belajar sejarah” jawab Mr. Habib.
BUUUUUUM!! DAAAAARRR!!!
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang menakutkan. Kami
semua terkejut. Humaira mulai menangis ketakutan. Fatimah
mencoba menenangkannya.
“Allahu akbar! Anak-anak tenang!” ujar Mr. Habib.
“Mister, sepertinya tentara Israel menyerang lagi!” seru Ali.
“Anak-anak, jangan ribut! Tenangkan diri kalian!” ujar Mr.
Habib lagi.
Anak-anak perempuan menggenggam erat tangan Mr. Habib.
Kami, anak laki-laki saling berpegangan tangan.
“Keluar!!!” seru tentara Israel sambil memaksa masuk ke tenda
kami.
“Baik..”jawab kami. Kami semua keluar dari tenda.
“Nah, kalian pulang ke orangtua masing-masing, ya. Jangan
berkeliaran di luar lagi” perintah Mr. Habib pada kami.
Kami pun berlarian masuk ke tenda-tenda pengungsian.

Seminggu kemudian…
“Ahmad, ibu akan ke pos sembako sebentar, ya. Kamu tinggal
di tenda saja, jangan kemana-mana.” Pesan ibu siang itu.
“Baik, bu. Ibu, hati-hati, ya!” jawabku.
Lalu ibu keluar dari tenda pangungsian. Aku memandangi
kepergian ibu sambil berharap dalam hati, ibu akan kembali
dengan selamat dan tidak apa-apa.
“Hei, ayo kita ke pojok sana.” Ajak Ali mengagetkanku.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Kita meminta sedikit makanan pada relawan itu. Aku lapar
sekali.” Ali menjelaskan.
“Ayolah, aku juga sangat lapar dan belum makan dari kemarin
siang.” Jawabku.
Aku dan Ali menghampiri dua orang relawan yang sedang
memasak mie instan.

Hari sudah malam. Tapi, ibu belum juga kembali. Aku mulai
gelisah. Kulihat teman-temanku sudah tertidur. Hanya
Humaira saja yang belum. Walaupun tidur, kami tidak tertidur
pulas. Karena, kami harus segera bangun jika ada serangan
mendadak.
“Humaira, belum tidur?” tanyaku pelan.
“Belum Ahmad. Belum mengantuk. Kamu?”
“Aku tak bisa tidur. Aku gelisah karena ibu tak kunjung
kembali sejak tadi siang.”
“Memangnya Umi Khadijah kemana?”
“Tadi, ibu bilang akan ke pos sembako sebentar.”
“Sabar, ya. Kita berdoa saja agar Umi Khadijah tidak apa-apa.”
Hibur Humaira.
“Iya.”
“Sudahlah, ayo tidur.”
“Tapi, perasaanku tak enak.”
“Ahmad, aku tidur duluan ya.” Ujar Humaira.
Aku mengangguk pelan. Aku masih tak mengantuk sama
sekali. Ya Allah, apa yang telah terjadi? Mengapa perasaanku
tak enak? Ya Allah, aku mohon selamatkan ibu. Jangan ambil
ibuku sekarang. Aku berdoa dalam hati.

Pagi pun datang. Matahari telah menampakkan dirinya di ufuk


timur. Tapi ibu tak juga kunjung kembali. Akhirnya, aku
sarapan bersama Ali daan Humaira. Sarapan kami hanya
seperempat bungkus mie instan dan segelas kecil air putih.
Kami tak punya susu segar di pagi hari seperti yang biasa
kalian minum.
Usai sarapan, kami duduk-duduk di dalam tenda. Hingga
akhirnya..
“Ahmad!” seru Ismail tiba-tiba. Ia tampak tergesa-gesa. Ismail
menyerobot masuk ke tenda.
“Ada apa?” tanyaku was-was.
“Ada kabar buruk. Pos sembako hancur. Bukankah kemarin
ibumu kesana?”
“Ya Allah. Ayo kita kesana.” Aku berlari menuju pos sembako.
“Di sana terlihat beberapa korban yang tergeletak dijalanan.
Aku menghampirinya satu-persatu. Aku sangat shock begitu
mengetahui salah satunya adalah ibu. Hatiku rasanya hancur.
Aku memeluk jasad ibu. Tapi, kutahan tangisku. Karena, kata
Mr. Habib, jika kita menangisi orang yang sudah meninggal,
orang itu tidak akan tenang.
“Ahmad sabar, ya..” hibur Fatimah yang tiba-tiba saja sudah
ada dibelakangku.
“Ahmad, kami selalu ada disini untukmu.” Ujar Ali.
“Kamu harus kuat..” Ismail duduk disampingku.
“Tapi, aku sudah sudah tak punya siapa-siapa lagi.” Aku
berkata lirih.
“Siapa bilang? Kamu masih punya kami, teman-temanmu.”
Humaira merangkulku.
Aku tersenyum pilu. Kupandangi wajah teman-tamanku satu-
persatu. Aku harus kuat. Aku tak boleh putus asa. Aku harus
bisa hidup tanpa ibu, tekadku. Mereka benar, aku masih punya
teman-teman yang bisa mengertiku. Aku memeluk teman-
temanku. Ibu, aku berjanji akan membahagiakanmu.

Anda mungkin juga menyukai