Anda di halaman 1dari 32

Refarat

VERTIGO

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan


Klinik Senior
Fakultas Kedokteran Abulyatama Aceh Pada Bagian Ilmu Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa
Kota Banda Aceh

Oleh :

Muzdalifa Aziz
19174024

Pembimbing :

dr. Cut Diana Maya, Sp.S

SMF ILMU SARAF


BLUD RSUD MEURAXA KOTA BANDA ACEH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
ACEH BESAR
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa


Ta’ala, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulisan Refarat ini dapat
diselesaikan. Selanjutnya shalawat dan salam penulis panjatkan kepangkuan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah membimbing umat manusia
dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Adapun refarat dengan judul “ Vertigo ” ini diajukan sebagai salah
satu tugas dalam menjalani Kurikulum Pendidikan Kepaniteraan Klinik Senior
( coass ) pada bagian SMF Ilmu Saraf Fakultas Kedokteran Universitas
Abulyatama / Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Kota Banda Aceh.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada pembimbing refarat
saya, dr. Cut Diana Maya, Sp.S yang telah bersedia meluangkan waktu
membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan tugas ini. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah
memberikan dorongan moral dan materil sehingga tugas ini dapat selesai pada
waktunya. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam refarat ini,
untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari
pembaca sekalian demi kesempurnaan refarat ini.

Banda Aceh, 25 November 2020

Muzdalifa Aziz

2
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... iii

DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 7

1.1 Latar Belakang .................................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 8

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Keseimbangan Perifer ........ 8


2.2 Vertigo ................................................................................. 11
2.2.1 Definisi .................................................................... 11
2.2.2 Klasifikasi ................................................................ 11
2.2.3 Epidemiologi ........................................................... 13
2.2.4 Etiologi .................................................................... 13
2.2.5 Patofisiologi ............................................................. 14
1. Teori Overstimulation .......................................... 15
2. Teori Konflik Sensorik ........................................ 15
3. Teori Neural Mismatch ........................................ 15
4. Teori Otonomik ................................................... 15
5. Teori Sinaps ......................................................... 16
2.2.6 Diagnosis ................................................................. 16
2.2.7 Penatalaksanaan ....................................................... 22

3
1. Non-farmakologi ................................................. 22
2. Farmakologi ......................................................... 26
BAB III KESIMPULAN ........................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA

4
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Anatomi Sistem Keseimbangan Perifer ................................. 8

Gambar 2. Romberg Test ......................................................................... 17

Gambar 3. Stepping Test ......................................................................... 18

Gambar 4. Dix-Hallpite Manuever .......................................................... 20

Gambar5. Supine Roll Test .................................................................... 21

Gambar 6. Manuever Epley ..................................................................... 23

Gambar 7. Manuever Semont .................................................................. 24

Gambar 8. Manuever Lempert ................................................................. 25

Gambar 9. Brandt Daroff Exercise .......................................................... 25

5
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbedaan Vertigo Sentral dan Perifer ................................ 22

6
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Vertigo merupakan keluhan yang umum dijumpai pada praktek
klinik dimana pasien menggambarkan sebagai rasa berputar, rasa oleng, tak stabil
(giddiness, unsteadiness) atau rasa pusing (dizziness). Berbeda dengan
vertigo, dizziness atau pusing merupakan suatu keluhan yang umum terjadi akibat
perasaan disorientasi, biasanya dipengaruhi oleh persepsi posisi terhadap
lingkungan. Dizziness sendiri mempunyai empat subtipe, yaitu vertigo,
disekuilibrium tanpa vertigo, presinkop, dan pusing psikofisiologis. 1 Secara
keseluruhan, insiden pusing, vertigo dan ketidakstabilan (imbalance) mencapai 5-
10% dan meningkat menjadi 40% pada usia lebih 40 tahun. Dari keempat subtipe
dizziness, vertigo terjadi pada sekitar 32% kasus, dan sampai dengan 56,4% pada
populasi orang tua.2 Sementara itu, angka kejadian vertigo pada anak-anak tidak
diketahui, tetapi dari studi yang lebih baru pada populasi anak sekolah di
Skotlandia, dilaporkan sekitar 15% anak paling tidak pernah merasakan sekali
serangan pusing dalam periode satu tahun.3 Sebagian besar (hampir 50%)
diketahui sebagai “paroxysmal vertigo” yang disertai dengan gejala-gejala migren
(pucat, mual, fonofobia, dan fotofobia).1
Secara etiologis, vertigo disebabkan oleh adanya abnormalitas organ - organ
vestibuler, visual, ataupun sistem propioseptif. Secara umum vertigo dibagi
menjadi dua kategori berdasarkan yaitu vertigo vestibular dan non vestibular.
Vertigo non vestibular mencakup vertigo karena gangguan pada visual dan sistem
proprioseptif. Sementara vertigo vestibular dibagi menjadi dua yaitu vertigo
sentral dan perifer.1
Lesi vertigo sentral dapat terjadi pada daerah pons, medulla, maupun
serebelum. Kasus vertigo jenis ini hanya sekitar 20% - 25% dari seluruh kasus
vertigo, tetapi gejala gangguan keseimbangan (disekulibrium) dapat terjadi pada
50% kasus vertigo. Sementara vertigo perifer kelainan atau gangguan ini

7
dapat terjadi pada end-organ (utrikulus maupun kanalis semisirkularis) maupun
saraf perifer.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Keseimbangan Perifer

Gambar 1. Anatomi Sistem Keseimbangan Perifer

Alat vestibuler terletak di telinga dalam (labirin), terlindung oleh tulang


yang paling keras yang dimiliki oleh tubuh. Labirin secara umum adalah telinga
dalam, tetapi secara khusus dapat diartikan sebagai alat keseimbangan. Labirin
terdiri atas labirin tulang dan labirin membrane. Labirin membrane terletak dalam
labirin tulang dan bentuknya hampir menurut bentuk labirin tulang. Antara labirin
membrane dan labirin tulang terdapat perilimf, sedang endolimf terdapat didalam
labirin membrane.4 Berat jenis endolimfe lebih tinggi daripada cairan perilimf.
Ujung saraf vestibuler berada dalam labirin membran yang terapung dalam
perilimf, yang berada pada labirin tulang. Setiap labirin terdiri dari tiga kanalis

8
semisirkularis, yaitu horizontal (lateral), anterior (superior), posterior (inferior).
Selain ke tiga kanalis ini terdapat pula utrikulus dan sakulus.2

Labirin juga dapat dibagi kedalam dua bagian yang saling berhubungan, yaitu:4
1. Labirin anterior yang terdiri atas kokhlea yang berperan dalam
pendengaran.
2. Labirin posterior, yang mengandung tiga kanalis semisirkularis, sakulus
dan utrikulus. Berperan dalam mengatur keseimbangan. (di utrikulus dan
sakulus sel sensoriknya berada di makula, sedangkan di kanalis sel
sensoriknya berada di krista ampulanya).
Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan
disekitarnya tergantung kepada input sensorik dari reseptor vestibuler di labirin,
organ visial dan proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik
tersebut akan diolah di SSP, sehingga menggambarkan keadaan posisi tubuh pada
saat itu. 2,5
Reseptor sistem ini adalah sel rambut yang terletak dalam krista kanalis
semisirkularis dan makula dari organ otolit. Secara fungsional terdapat dua jenis
sel. Sel-sel pada kanalis semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terhadap
percepatan sudut, sedangkan sel-sel pada organ otolit peka terhadap gerak linier,
khususnya percepatan inier dan terhadap perubahan posisi kepala relatif terhadap
gravitasi. Perbedaan kepekaan terhadap percepatan sudut dan percepatan linier ini
disebabkan oleh geometridari kanalis dan organ otolit serta ciri-ciri fisik dari
struktur-struktur yang menutupi sel rambut.1,6
 Sel rambut
Secara morfologi sel rambut pada kanalis sangat serupa dengan sel rambut
pada organ otolit. Masing-masing sel rambut memiliki polarisasi struktural yang
dijelaskan oleh posisi dari stereosilia relatif terhadap kinosilim. Jika suatu gerakan
menyebabkan stereosilia membengkok kearah kinosilium, maka sel-sel rambut
akan tereksitasi. Jika gerakan dalam arah yang berlawanan sehingga stereosilia
menjauh dari kinosilium maka sel-sel rambut akan terinhibisi. 3,7
 Kanalis semisirkularis

9
Polarisasi adalah sama pada seluruh sel rambut pada tiap kanalis, dan pada
rotasi sel-sel dapat tereksitasi ataupun terinhibisi. Ketiga kanalis hampir tegak
lurus satu dengan yang lainnya, dan masing-masing kanalis dari satu telinga
terletak hampir satu bidang yang sama dengan kanalis telinga satunya. 8 Pada
waktu rotasi, salah satu dari pasangan kanalis akan tereksitasi sementara yang
satunya akan terinhibisi. Misalnya, bila kepala pada posisi lurus normal dan
terdapat percepatan dalam bidang horizontal yang menimbulkan rotasi ke kanan,
maka serabut-serabut aferen dari kanalis hirizontalis kanan akan tereksitasi,
sementara serabut-serabut yang kiri akan terinhibisi. Jika rotasi pada bidang
vertikal misalnya rotasi kedepan, maka kanalis anterior kiri dan kanan kedua sisi
akan tereksitasi, sementara kanalis posterior akan terinhibisi. 2,5
 Organ otolit
Ada dua organ otolit, utrikulus yang terletak pada bidang kepala yang
hampir horizontal, dan sakulus yang terletak pada bidang hampir vertikal.
Berbeda dengan sel rambut kanalis semisirkularis, maka polarisasi sel rambut
pada organ otolit tidak semuanya sama. Pada makula utrikulus, kinosilium terletak
di bagian samping sel rambut yang terdekat dengan daerah sentral yaitu striola.
Maka pada saat kepala miring atau mengalami percepatan linier, sebagian serabut
aferen akan tereksitasi sementara yang lainnya terinhibisi. Dengan adanya
polarisasi yang berbeda dari tiap makula, maka SSP mendapat informasi tentang
gerak linier dalam tiga dimensi, walaupun sesungguhnya hanya ada dua makula. 1,2
Hubungan-hubungan langsung antara inti vestibularis dengan motoneuron
ekstraokularis merupakan suatu jaras penting yang mengendalikan gerakan mata
dan refleks vestibulo-okularis (RVO). RVO adalah gerakan mata yang
mempunyai suatu komponen lambat berlawanan arah dengan putaran kepala dan
suatu komponen cepat yang searah dengan putaran kepala. Komponen lambat
mengkompensasi gerakan kepal dan berfungsi menstabilkan suatu bayangan pada
retina. Komponen cepat berfungsi untuk kembali mengarahkan tatapan ke bagian
lain dari lapangan pandang. Perubahan arah gerakan mata selama rangsangan
vestibularis merupakan suatu contoh dari nistagmus normal.1

10
.2 Vertigo
2.2.1 Definisi
Vertigo adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Latin, vertere, yang
berarti memutar. Secara umum, vertigo dikenal sebagai ilusi bergerak atau
halusinasi gerakan. Vertigo merupakan keluhan yang umum dijumpai pada
praktek klinik dimana pasien menggambarkan sebagai rasa berputar, rasa oleng,
tak stabil (giddiness, unsteadiness) atau rasa pusing (dizziness).5,8
Vertigo bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan kumpulan
gejala atau sindrom yang terjadi akibat gangguan keseimbangan pada sistem
vestibular ataupun gangguan pada sistem saraf pusat. Selain itu, vertigo dapat pula
terjadi akibat gangguan pada alat keseimbangan tubuh yang terdiri dari reseptor
pada visual (retina), vestibulum (kanalis semisirkularis) dan proprioseptif (tendon,
sendi dan sensibilitas dalam).7
2.2.2 Klasifikasi
Berdasar gejala klinis yang menonjol, vertigo dibagi 3 kelompok, yaitu :
vertigo paroksismal, vertigo kronis, dan vertigo dengan serangan akut berangsur
berkurang tanpa bebas keluhan.4
1. Vertigo paroksismal
Ciri khas berupa serangan mendadak, berlangsung selama beberapa menit
hingga hari, menghilang sempurna, suatu ketika muncul lagi, dan diantara
serangan penderita bebas dari keluhan.8
Berdasar gejala penyertanya dibagi :8
a) Dengan keluhan telinga : tuli atau telinga berdenging: sindrom
Meniere, arachnoiditis pontoserebelaris, TIA vertebrobasilar,
kelainan odontogen, serta tumor fossa posterior.
b) Tanpa keluhan telinga : TIA vertebrobasilar, epilepsi, migraine,
vertigo anak, dan labirin picu.
c) Timbul dipengaruhi perubahan posisi : vertigo posisional
paroksismal benigna.

11
2. Vertigo kronis
Ciri khas berupa serangan vertigo menetap lama, keluhan konstan tidak
membentuk serangan-serangan akut. Berdasar gejala penyerta dibagi :8
a) Dengan keluhan telinga : OMC, tumor serebelopontin, meningitis
TB, labirinitis kronik serta lues serebri.
b) Tanpa keluhan telinga : kontusio serebri, hipoglikemia, ensefalitis
pontis, kelainan okuler, kardiovaskuler dan psikologis, post
traumatik sindrom, intoksikasi, serta kelainan endokrin.
c) Timbul dipengaruhi perubahan posisi : hipotensi orthostatik dan
vertigo servikalis.
3. Vertigo serangan akut berangsur-angsur berkurang tapi tidak pernah
bebas serangan. Berdasarkan gejala penyertanya dibagi :8
a) Dengan keluhan telinga : neuritis N.VIII, trauma labirin,
perdarahan labirin, herpes zooster.
b) Tanpa keluhan telinga : neuritis vestibularis, multipel sklerosis,
oklusi arteri serebeli inferior posterior, ensefalitis vestibularis,
serta hematobulbi.

Berdasarkan etiologi dibedakan tipe perifer dan sentral. Vertigo perifer jika
terdapat lesi pada labirin dan nervus vestibularis sedangkan sentral jika lesi pada
batang otak sampai ke korteks.6

a. Sentral diakibatkan oleh kelainan pada batang otak atau cerebellum


b. Perifer disebabkan oleh kelainan pada telinga dalam atau nervus
cranialis vestibulocochlear (N. VIII).
c. Medical vertigo dapat diakibatkan oleh penurunan tekanan darah,
gula darah yang rendah, atau gangguan metabolic karena pengobatan
atau infeksi sistemik.3

12
1. VERTIGO PERIFER
Vertigo perifer adalah rasa pusing berputar, oleng atau tak stabil yang
disebabkan karena adanya gangguan pada organ keseimbangan di telinga. Gejala-
gejala vertigo meliputi: pusing, rasa terayun, mual, keringat dingin, muntah,
sempoyongan sewaktu berdiri atau berjalan, nistagmus. Gejala tersebut dapat
diperhebat dengan berubahnya posisi kepala.3

2. VERTIGO SENTRAL
Penyebab vertigo jenis sentral biasanya ada gangguan di batang otak atau di
serebelum. Untuk menentukan gangguan di batang otak, apakah terdapat gejala
lain yang khas misalnya diplopia, parestesia, perubahan sensibilitas dan fungsi
motorik, rasa lemah.3

2.2.3 Epidemiologi
Vertigo merupakan gejala yang sering didapatkan pada individu dengan
prevalensi sebesar 7%. Beberapa studi telah mencoba untuk menyelidiki
epidemiologi dizziness, yang meliputi vertigo dan non vestibular dizziness .
Dizziness telah ditemukan menjadi keluhan yang paling sering diutarakan oleh
pasien, yaitu sebesar 20-30% dari populasi umum. Dari keempat jenis
dizziness vertigo merupakan yang paling sering yaitu sekitar 54%. Pada sebuah
studi mengemukakan vertigo lebih banyak ditemukan pada wanita disbanding pria
(2:1), sekitar 88% pasien mengalami episode rekuren.1,4

2.2.4 Etiologi
Beberapa hal yang dapat menyebabkan vertigo yaitu :3
- Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) : menyebabkan
serangan pusing transien (berlangsung beberapa detik) yang rekuren.
Vertigo terjadi karena perubahan posisi kepala yang menyebabkan
kristal kalsium karbonat dari otolit yang lepas ke dalam kanalis
semisirkularis akibat gerakan kepala atau perubahan posisi. Serangan
biasanya menetap selama berminggu-minggu sebelum akhirnya sembuh
sendiri.

13
- Infeksi : Neuritis vestibular akut atau labirinitis.
- Ototoksik
- Vaskuler : oklusi dari arteri vestibular yang merupakan cabang dari
arteri auditori internal dari arteri cerebelar inferior anterior.
- Struktural : Fistula perilimfatik baik spontan maupun akibat trauma.
- Metabolik : Meniere sindrom ditandai dengan vertigo yang intermiten
diikuti dengan keluhan pendengaran. Gangguan pendengaran berupa
tinnitus (nada rendah), dan tuli sensoris pada fluktuasi frekuensi yang
rendah, dan sensasi penuh pada telinga. Ménière’s disease  merupakan
akibat dari hipertensi endolimfatik. Hal ini terjadi karena dilatasi dari
membrane labirin bersamaan dengan kanalis semisirularis telinga dalam
dengan peningkatan volume endolimfe. Hal ini dapat terjadi idiopatik
atau sekunder akibat infeksi virus atau bakteri telinga atau gangguan
metabolic.
- Tumor : Neuroma akustik

2.2.5 Patofisiologi
Pada telinga dalam terdapat 3 kanalis semisirkularis. Ketiga kanalis
semisirkularis tersebut terletak pada bidang yang saling tegak lurus satu sama lain.
Pada pangkal setiap kanalis semisirkularis terdapat bagian yang melebar yakni
ampula. Di dalam ampula terdapat kupula, yakni alat untuk mendeteksi gerakan
cairan dalam kanalis semisirkularis akibat gerakan kepala. Sebagai contoh, bila
seseorang menolehkan kepalanya ke arah kanan, maka cairan dalam kanalis
semisirkularis kanan akan tertinggal sehingga kupula akan mengalami defleksi ke
arah ampula. Defleksi ini diterjemahkan dalam sinyal yang diteruskan ke otak
sehingga timbul sensasi kepala menoleh ke kanan. Adanya partikel atau debris
dalam kanalis semisirkularis akan mengurangi atau bahkan menimbulkan defleksi
kupula ke arah sebaliknya dari arah gerakan kepala yang sebenarnya. Hal ini
menimbulkan sinyal yang tidak sesuai dengan arah gerakan kepala, sehingga
timbul sensasi berupa vertigo.4,7,8

14
Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan
tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya
dengan apayang dipersepsi oleh susunan saraf pusat.1
Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut :1,2
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya
terganggu, akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.
2. Teori konflik sensorik
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal
dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan
proprioceptif, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang
berasal dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan
kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat
berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan
(gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal
dari sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini
lebih menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.
3. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori
ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu,
sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai
dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan
saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang
-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak
lagi timbulgejala.
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai
usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim
simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai
berperan.

15
5. Teori Sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada
proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan
stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor),
peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf
simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa
meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat
meneangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat
di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang
menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat
dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.

2.2.6 Diagnosis
Diagnosis vertigo perifer dapat ditegakkan dengan :4
1. Anamnesis
Pasien biasanya mengeluh pusing berputar dengan onset akut kurang dari
10-20 detik akibat perubahan posisi kepala. Kebanyakan pasien menyadari saat
bangun tidur, ketika berubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Pasien
merasakan pusing berputar yang lama kelamaan berkurang dan hilang. Terdapat
jeda waktu antara perubahan posisi kepala dengan timbulnya perasaan pusing
berputar. Pada umumnya perasaan pusing berputar timbul sangat kuat pada
awalnya dan menghilang setelah 30 detik sedangkan serangan berulang sifatnya
menjadi lebih ringan. Gejala ini dirasakan berhari-hari hingga berbulan-bulan.4
Pada banyak kasus, BPPV dapat mereda sendiri namun berulang di
kemudian hari. Bersamaan dengan perasaan pusing berputar, pasien dapat
mengalami mual dan muntah. Sensasi ini dapat timbul lagi bila kepala
dikembalikan ke posisi semula, namun arah nistagmus yang timbul adalah
sebaliknya.2,3

16
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum diarahkan pada kemungkinan adanya penyebab
sistemik. Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan perhatian khusus pada fungsi
vestibuler/ serebeler. Pada vertigo, baik sentral maupun perifer, dilakukan
pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi. Pemeriksaan keseimbangan seperti
Romberg test, Stepping gait dan Tandem gait. Untuk pemeriksaan koordinasi
dilakukan finger to finger test, finger to nose, pronasi-supinasi test dan heel to toe
test.2
3. Tes Keseimbangan
Pemeriksaan klinis, baik yang dilakukan unit gawat darurat maupun di
ruang pemeriksaan lainnya, mungkin akan memberikan banyak informasi tentang
keluhan vertigo. Beberapa pemeriksaan klinis yang mudah dilakukan untuk
melihat dan menilai gangguan keseimbangan diantaranya adalah: Tes Romberg.
Pada tes ini, penderita berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lain,
tumit yang satu berada di depan jari-jari kaki yang lain (tandem). Orang yang
normal mampu berdiri dalam sikap Romberg ini selama 30 detik atau lebih.
Berdiri dengan satu kaki dengan mata terbuka dankemudian dengan mata tertutup
merupakan skrining yang sensitif untuk kelainan keseimbangan. Bila pasien
mampu berdiri dengan satu kaki dalam keadaan mata tertutup, dianggap normal.2,6

Gambar 2. Romberg Test

Tandem Gait

17
Penderita berjalan dengan tumit kaki kiri kanan diletakkan pada ujung jari
kaki kanan kiri ganti bergantin. Pada kelainan vestibuler, perjalanannya akan
menyimpang dan pada kelainan serebeler penderita akan cenderung jatuh.2,8

Tes Melangkah Di Tempat (Stepping Test)


Penderita harus berjalan di tempat dengan mata tertutup sebanyak 50
langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa dan tidak diperbolehkan beranjak
dari tempat semula. Tes ini dapat mendeteksi ada tidaknya gangguan sistem
vestibuler. Bila penderita beranjak lebih dari 1 meter dari tempat semula atau
badannya berputar lebih dari 30 derajat dari keadaan semula, dapat diperkirakan
penderita mengalami gangguan sistem vestibuler.2,3

Gambar 3. Stepping Test

Tes Salah Tunjuk (Past-Pointing)


Penderita diperintahkan untuk merentangkan lengannya dan telunjuk
penderita diperintahkan menyentuh telunjuk pemeriksa. Selanjutnya, penderita
diminta untuk menutup mata, mengangkat lengannya tinggi tinggi (vertikal) dan
kemudian kembali pada posisi semula. Pada gangguan vestibuler, akan didapatkan
salah tunjuk.2

Manuver Nylen-Barany atau Hallpike


Merupakan pemeriksaan klinis standar untuk pasien BPPV. Dix-Hallpike

18
manuever secara garis besar terdiri dari dua gerakan yaitu Dix-Hallpike manuever
kanan pada bidang kanal anterior kiri dan kanal posterior kanan dan Dix- Hallpike
manuever kiri pada bidang posterior kiri. Cara melakukannya sebagai berikut :2,3

1. Pertama-tama jelaskan pada penderita mengenai prosedur pemeriksaan,


dan vertigo mungkin akan timbul namun menghilang setelah beberapa
detik.
2. Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa, sehingga ketika
posisi terlentang kepala ekstensi ke belakang 300-400, penderita diminta
tetap membuka mata untuk melihat nistagmus yang muncul.
3. Kepala diputar menengok ke kanan 450 (kalau kanalis semisirkularis
posterior yang terlibat). Ini akan menghasilkan kemungkinan bagi otolith
untuk bergerak, kalau ia memang sedang berada di kanalis semisirkularis
posterior.
4. Dengan tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala penderita, penderita
direbahkan sampai kepala tergantung pada ujung tempat periksa.
5. Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut
dipertahankan selama 10-15 detik.
6. Komponen cepat nistagmus harusnya “up-bet‟ (ke arah dahi) dan
ipsilateral.
7. Kembalikan ke posisi duduk, nistagmus bisa terlihat dalam arahyang
berlawanan dan penderita mengeluhkan kamar berputar kearah
berlawanan.
8. Berikutnya manuver tersebut diulang dengan kepala menoleh ke sisi kiri
450 dan seterusnya.

Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke
belakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus.
Pada pasien BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya
lambat, 40 detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari satu menit bila
sebabnya kanalitiasis, pada kupulolitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari satu

19
menit, biasanya serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus.3
Dix dan Hallpike mendeskripsikan tanda dan gejala BPPV sebagai berikut :4
1) Terdapat posisi kepala yang mencetuskan serangan
2) Nistagmus yang khas
3) Adanya masa laten
4) Lamanya serangan terbatas
5) Arah nistagmus berubah bila posisi kepala dikembalikan ke posisi awal
6) Adanya fenomena kelelahan/fatique nistagmus bila stimulus diulang

Dix-hallpike manuver lebih sering digunakan karena pada manuver tersebut


posisi kepala sangat sempurna untuk canalith repositioning treatment. Pada pasien
BPPV, Dix-Hallpike manuver akan mencetuskan vertigo dan nistagmus.2,5

Gambar 4. Dix-Hallpike Manuever

Tes Kalori
Tes kalori baru boleh dilakukan setelah dipastikan tidak ada perforasi
membran timpani maupun serumen. Cara melakukan tes ini adalah dengan
memasukkan air bersuhu 30° C sebanyak 1 mL. Tes ini berguna untuk
mengevaluasi nistagmus, keluhan pusing, dan gangguan fiksasi bola mata.
Pemeriksaan lain dapat juga dilakukan, dan selain pemeriksaan fungsi vestibuler,
perlu dikerjakan pula pemeriksaan penunjang lain jika diperlukan. Beberapa

20
pemeriksaan penunjang dalam hal ini di antaranya adalah pemeriksaan
laboratorium (darah lengkap, tes toleransi glukosa, elektrolit darah, kalsium,
fosfor, magnesium) dan pemeriksaan fungsi tiroid. Pemeriksaan penunjang
dengan CT-scan, MRI, atau angiografi dilakukan untuk menilai struktur organ dan
ada tidaknya gangguan aliran darah, misalnya pada vertigo sentral. Pemeriksaan
fisis standar untuk BPPV adalah Dix-Hallpike dengan cara: Penderita didudukkan
dekat bagian ujung tempat periksa, sehingga ketika posisi terlentang kepala
ekstensi ke belakang 300 – 400, penderita diminta tetap membuka mata untuk
melihat nistagmus yang muncul.3,6,7
Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke
belakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus.
Pada pasien BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya
lambat, ± 40 detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari satu menit bila
sebabnya kanalitiasis, pada kupulolitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari satu
menit, biasanya serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus.1,2

Tes Supine Roll


Jika pasien memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV dan hasil tes Dix-
Hallpike negatif, dokter harus melakukan supine roll test untuk memeriksa ada
tidaknya BPPV kanal lateral. BPPV kanal lateral atau disebut juga BPPV kanal
horisontal adalah BPPV terbanyak kedua. Pasien yang memiliki riwayat yang
sesuai dengan BPPV, yakni adanya vertigo yang diakibatkan perubahan posisi
kepala, tetapi tidak memenuhi kriteria diagnosis BPPV kanal posterior harus
diperiksa ada tidaknya BPPV kanal lateral.2,5

21
Gambar 5. Supine roll test

Dokter harus menginformasikan pada pasien bahwa manuver ini bersifat


provokatif dan dapat menyebabkan pasien mengalami pusing yang berat selama
beberapa saat. Tes ini dilakukan dengan memposisikan pasien dalam posisi
supinasi atau berbaring terlentang dengan kepala pada posisi netral diikuti dengan
rotasi kepala 90 derajat dengan cepat ke satu sisi dan dokter mengamati mata
pasien untuk memeriksa ada tidaknya nistagmus. Setelah nistagmus mereda (atau
jika tidak ada nistagmus), kepala kembali menghadap ke atas dalam posisi
supinasi. Setelah nistagmus lain mereda, kepala kemudian diputar/ dimiringkan 90
derajat ke sisi yang berlawanan, dan mata pasien diamati lagi untuk memeriksa
ada tidaknya nistagmus.3,5
 

22
Tabel 1. Perbedaan Vertigo Sentral dan Perifer

2.2.7 Penatalaksanaan
 Non-Farmakologi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo dikatakan adalah suatu penyakit
yang ringan dan dapat sembuh secara spontan dalam beberapa bulan. Namun telah
banyak penelitian yang membuktikan dengan pemberian terapi dengan manuver
reposisi partikel/ Particle Repositioning Maneuver (PRM) dapat secara efektif
menghilangkan vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan
mengurangi risiko jatuh pada pasien.7 Keefektifan dari manuver-manuver yang
ada bervariasi mulai dari 70%-100%. Beberapa efek samping dari melakukan
manuver seperti mual, muntah, vertigo, dan nistagmus dapat terjadi, hal ini terjadi
karena adanya debris otolitith yang tersumbat saat berpindah ke segmen yang
lebih sempit misalnya saat berpindah dari ampula ke kanal bifurcasio. Setelah
melakukan manuver, hendaknya pasien tetap berada pada posisi duduk minimal
10 menit untuk menghindari risiko jatuh. Tujuan dari manuver yang dilakukan
adalah untuk mengembalikan partikel ke posisi awalnya yaitu pada makula
utrikulus.2,7
Ada lima manuver yang dapat dilakukan :

23
1) Manuver Epley
Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada kanal vertikal.
Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 450, lalu
pasien berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Lalu
kepala ditolehkan 900 ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi
lateral dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Setelah itu pasien
mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan kembali ke posisi duduk secara
perlahan.3

Gambar 6. Manuver Epley

2) Manuver Semont
Manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis kanan posterior.
Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu kepala
dimiringkan 450 ke sisi yang sehat, lalu secara cepat bergerak ke posisi
berbaring dan dipertahankan selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan vertigo
dapat diobservasi. Setelah itu pasien pindah ke posisi berbaring di sisi yang
berlawanan tanpa kembali ke posisi duduk lagi.3,8

24
Gambar 7. Manuver Semont

3) Manuver Lempert
Manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe kanal lateral.
Pasien berguling 3600, yang dimulai dari posisi supinasi lalu pasien
menolehkan kepala 900 ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan tubuh
ke posisi lateral dekubitus. Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh
mengikuti ke posisi ventral dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 90 0 dan
tubuh kembali ke posisi lateral dekubitus lalu kembali ke posisi supinasi.
Masing-masing gerakan dipertahankan selama 15 detik untuk migrasi lambat
dari partikel-partikel sebagai respon terhadap gravitasi.2,5

25
Gambar 8. Manuver Lempert

4) Forced Prolonged Position


Manuver ini digunakan pada BPPV tipe kanal lateral. Tujuannya adalah untuk
mempertahankan kekuatan dari posisi lateral dekubitus pada sisi telinga yang
sakit dan dipertahankan selama 12 jam.3
5) Brandt-Daroff exercise
Manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di rumah dan dapat
dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada pasien yang tetap
simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan ini juga dapat
membantu pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat menjadi
kebiasaan.3

Gambar 9. Brandt-Daroff exercise


 Farmakologi
Secara umum, penatalaksanaan medika- mentosa mempunyai tujuan utama:6
(i) mengeliminasi keluhan vertigo,
(ii) memperbaiki proses-proses kompensasi vestibuler, dan
(iii) mengurangi gejala-gejala neurovegetatif ataupun psikoafektif.

Beberapa golongan obat yang dapat digunakan untuk penanganan vertigo di


antaranya adalah : 2

 Antikolinergik

26
Antikolinergik merupakan obat pertama yang digunakan untuk
penanganan vertigo, yang paling banyak dipakai adalah skopolamin dan
homatropin. Kedua preparat tersebut dapat juga dikombinasikan dalam satu
sediaan antivertigo. Antikolinergik berperan sebagai supresan vestibuler melalui
reseptor muskarinik. Pemberian antikolinergik per oral memberikan efek rata-rata
4 jam, sedangkan gejala efek samping yang timbul terutama berupa gejala-gejala
penghambatan reseptor muskarinik sentral, seperti gangguan memori dan
kebingungan (terutama pada populasi lanjut usia), ataupun gejala-gejala
penghambatan muskarinik perifer, seperti gangguan visual, mulut kering,
konstipasi, dan gangguan berkemih.2

 Antihistamin
Penghambat reseptor histamin-1 (H-1 blocker) saat ini merupakan
antivertigo yang paling banyak diresepkan untuk kasus vertigo,dan termasuk di
antaranya adalah difenhidramin, siklizin, dimenhidrinat, meklozin, dan pro-
metazin. Mekanisme antihistamin sebagai supresan vestibuler tidak banyak
diketahui, tetapi diperkirakan juga mempunyai efek ter- hadap reseptor histamin
sentral. Antihistamin mungkin juga mempunyai potensi dalam
mencegahdanmemperbaiki“motionsickness”. Efek sedasi merupakan efek
samping utama dari pemberian penghambat histamin-1. Obat ini biasanya
diberikan per oral, dengan lama kerja bervariasi mulai dari 4 jam (misalnya, sikl-
izin) sampai 12 jam (misalnya, meklozin).1

 Histaminergik
Obat kelas ini diwakili oleh betahistin yang digunakan sebagai antivertigo
di beberapa negara Eropa, tetapi tidak di Amerika. Betahistin sendiri merupakan
prekrusor histamin. Efek antivertigo betahistin diperkirakan berasal dari efek
vasodilatasi, perbaikan aliran darah pada mikrosirkulasi di daerah telinga tengah
dan sistem vestibuler. Pada pemberian per oral, betahistin diserap dengan baik,
dengan kadar puncak tercapai dalam waktu sekitar 4 jam. efek samping relatif
jarang, termasuk di antaranya keluhan nyeri kepala dan mual.1

27
 Antidopaminergik
Antidopaminergik biasanya digunakan untuk mengontrol keluhan mual
pada pasien dengan gejala mirip-vertigo. Sebagian besar antidopaminergik
merupakan neuroleptik. Efek antidopaminergik pada vestibuler tidak diketahui
dengan pasti, tetapi diperkirakan bahwa antikolinergik dan antihistaminik (H1)
berpengaruh pada sistem vestibuler perifer. Lama kerja neuroleptik ini bervariasi
mulai dari 4 sampai 12 jam. Beberapa antagonis dopamin digunakan sebagai
antiemetik, seperti domperidon dan metoklopramid. Efek samping dari antagonis
dopamin ini terutama adalah hipotensi ortostatik, somnolen, serta beberapa
keluhan yang berhubungan dengan gejala ekstrapiramidal, seperti diskinesia
tardif, parkinsonisme, distonia akut, dan sebagainya.1,8

 Benzodiazepin
Benzodiazepin merupakan modulator GABA, yang akan berikatan di
tempat khusus pada reseptor GABA. Efek sebagai supresan vesti- buler
diperkirakan terjadi melalui mekanisme sentral. Namun, seperti halnya obat-obat
sedatif, akan memengaruhi kompensasi ves- tibuler. Efek farmakologis utama dari
benzo- diazepin adalah sedasi, hipnosis, penurunan kecemasan, relaksasi otot,
amnesia antero- grad, serta antikonvulsan. Beberapa obat go- longan ini yang
sering digunakan adalah lora- zepam, diazepam, dan klonazepam.3

 Antagonis kalsium
Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat kanal kalsium di
dalam sistem vestibuler, sehingga akan mengurangi jum- lah ion kalsium intrasel.
Penghambat kanal kalsium ini berfungsi sebagai supresan ves- tibuler. Flunarizin
dan sinarizin merupakan penghambat kanal kalsium yang diindikasi- kan untuk
penatalaksanaan vertigo; kedua obat ini juga digunakan sebagai obat migren.
Selain sebagai penghambat kanal kalsium, ternyata unarizin dan sinarizin
mempunyai efek sedatif, antidopaminergik, serta antihis- tamin-1. Flunarizin dan
sinarizin dikonsumsi per oral. Flunarizin mempunyai waktu paruh yang panjang,
dengan kadar mantap tercapai setelah 2 bulan, tetapi kadar obat dalam darah
masih dapat terdeteksi dalam waktu 2-4 bulan setelah pengobatan dihentikan.

28
Efek samping jangka pendek dari penggunaan obat ini teru- tama adalah efek
sedasi dan peningkatan be- rat badan. Efek jangka panjang yang pernah
dilaporkan ialah depresi dan gejala parkinso-nisme, tetapi efek samping ini lebih
banyak terjadi pada populasi lanjut usia.3

 Simpatomimetik
Simpatomimetik, termasuk efedrin dan amfetamin, harus digunakan secara
hati-hati karena adanya efek adiksi.3

 Asetilleusin
Obat ini banyak digunakan di Prancis. Meka- nisme kerja obat ini sebagai
antivertigo tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan bekerja sebagai
prekrusor neuromediator yang memengaruhi aktivasi vestibuler aferen, serta
diperkirakan mempunyai efek sebagai “antikalsium” pada neurotransmisi.
Beberapa efek samping penggunaan asetilleusin ini di antaranya adalah gastritis
(terutama pada do- sis tinggi) dan nyeri di tempat injeksi.2

 Lain-lain
Beberapa preparat ataupun bahan yang diperkirakan mempunyai efek
antivertigo di antaranya adalah ginkgo biloba, piribedil (ago- nis dopaminergik),
dan ondansetron.2

29
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Vertigo adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Latin, vertere, yang
berarti memutar. Secara umum, vertigo dikenal sebagai ilusi bergerak atau
halusinasi gerakan. Vertigo merupakan keluhan yang umum dijumpai pada
praktek klinik dimana pasien menggambarkan sebagai rasa berputar, rasa oleng,
tak stabil (giddiness, unsteadiness) atau rasa pusing (dizziness).
Secara etiologis, vertigo disebabkan oleh adanya abnormalitas organ-organ
vestibuler, visual, ataupun sistem propioseptif. Secara umum vertigo dibagi
menjadi dua kategori berdasarkan yaitu vertigo vestibular dan non vestibular.
Vertigo non vestibular mencakup vertigo karena gangguan pada visual dan sistem
proprioseptif. Seacara etiologi dibedakan menjadi :
a. Sentral diakibatkan oleh kelainan pada batang otak atau cerebellum

30
b. Perifer disebabkan oleh kelainan pada telinga dalam atau nervus
cranialis vestibulocochlear (N. VIII).
c. Medical vertigo dapat diakibatkan oleh penurunan tekanan darah, gula
darah yang rendah, atau gangguan metabolic karena pengobatan atau
infeksi sistemik.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis vertigo baik perifer
maupun sentral adalah pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi. Pemeriksaan
keseimbangan seperti Romberg Test, Stepping Gait dan Tandem Gait. Untuk
pemeriksaan koordinasi dilakukan Finger to finger test, Finger to nose, Pronasi-
supinasi Test dan Heel to Toe Test.
Penatalaksanaan BPPV meliputi non- farmakologis, farmakologis, dan
operasi. Penatalaksanaan BPPV yang sering digunakan adalah non-farmakologis
yaitu terapi manuver reposisi partikel (PRM) dapat secara efektif menghilangkan
vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko jatuh
pada pasien. Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk mengembalikan
partikel ke posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wahyudi, Kupiya Timbul. 2012. “Tinjauan Pustaka: Vertigo”. CDK-198/


vol. 39 no. 10. Jakarta: Fakultas Kedokteran universitas Indonesia
2. Lumbantobing, S.M. 2007. “Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan
Mental”. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. hal 66-78
3. Purnamasari, Putu Prida. 2013. “Diagnosis dan Tatalaksana Benign
Paroxysmal Positional Vertigo (BPPH)”. Diakses pada 15 September
2020. http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article /viewFile/5625/4269
4. Edward, Yan. 2015. “Diagnosis dan Tatalaksana Benign paroxysmal
Position Vertigo (BPPH)”. Diakses pada 15 September 2020.
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/31/26
5. Setiawati, Melly dan Susianti. 2016. “Diagnosis dan Tatalaksana Vertigo”.
Majority. Vol 5. No 4. Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas
lampung.

31
6. Purnamasari. 2015. “Diagnosis dan Tatalaksana BPPH”. Tesis. Denpasar:
Universitas Udayana.
7. Sudira, Putu Gede. 2016. “Vertigo sebagai Manifestasi Stroke”. Tesis.
Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
8. Arifia, Intan et all. 2019. “Manajemen Fisioterapi Komprehensif Vertigo”.
Sulawesi: Universitas Hassanuddin.

32

Anda mungkin juga menyukai