Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN TUTORIAL

BLOK 2

“GATAL DAN MERAH SETELAH MEMAKAN OBAT”

Dosen Pembimbing : dr Maruatas Silalahi

Ketua : Kenzo Sanohugo Daeli (20000025)

Sekretaris : Santa Riviera Filia (20000038)

Anggota :

 Robinson Josua Lase (20000022)


 Welni Ratna Sari Halawa (20000041)
 Olivia Dyskrisen Br Damanik (20000035)
 E. Tito Julianda Sinaga (20000029)
 Deviani Jaya Ester Marbun (20000044)
 Roito corry Aurora (20000047)
 Laura Fernadia Purba (20000050)
 Eka Permata sari br. Sihombing (20000053)

Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen 2020


I. Skenario

Seorang perempuan berusia 24 tahun, datang berobat dengan keluhan bercak-bercak


kemerahan disertai rasa gatal pada seluruh bagian tubuh, meliputi badan , lengan, tangan dan
kaki. Pemeriksaan tanda vital diperoleh tekanan darah 100/70 mm Hg. Denyut nadi 110x/i
frekuensi nafas 20x/i. Dari hasil anamnesis diketahui bahwa keluhan yang diderita pasien
dialami setelah mengkonsumsi obat contramoksazole pada 2 jam sebelumnya.

Apa dan mengapa bisa terjadi kondisi pasien tersebut?

II. Unfamiliar Terms


1. Obat cotrimoksazole
2. mm Hg
3. Tanda vital
4. Bercak-bercak
5. Denyut nadi

III. Problems
1.Apa saja kandungan dari obat cotrimoksazole?
2. Adakah hubungan bercak-bercak kemerahan setelah mengkonsumsi obat cotrimoksazole?
3. Tekanan darah 100/70 mm Hg, termasuk tinggi atau rendah?
4. Tanda vital yang normal, untuk denyut nadi dan tekanan darah
5. Mengapa setelah mengkonsumsi obat cotrimoksazole, si ibu mengalami reaksi imun
tubuh yang berlebihan,apa yang memicu hal tersebut?
6.Apakah tanda vital yang normal dipengaruhi oleh umur juga?
7.Apakah resiko dari penyakit tersebut jika dibiarkan?

IV. Kerangka Konsep

ALERGI OBAT

Tanda & Tipe-tipe Penyebab


Gejala alergi
V. Learning Issue
1. Mampu menjelaskan mekanisme kerja reaksi alergi obat.
2. Mampu mengetahui tatalaksana yang dapat dilakukan terhadap alergi obat.
3. Mampu mengetahui tipe-tipe reaksi hipersensitivitas dan contoh penyakitnya.

VI. Hasil Pencarian Learning Issue

LEARNING ISSUE 1

Konsep mekanisme alergi obat yang umum diterima saat ini adalah konsep hapten,
konsep pro-hapten dan konsep p-i.

 Obat dengan molekul yang tidak cukup besar seperti penisilin,


sulfonamide,sefalosporin pelemas otot, tiopental,antituberkolosis, sisplatin dan
kuinidin perlu terlebih dahulu berikatan dengan protein pembawa agar dapat
menginduksi respon imun spesifik yang disebut konsep hapten. Obat bekerja sebagai
hapten, yaitu berikatan dengan protein (albumin, integrin, atau enzim), kemudian
ikatan tersebut mengirimkan danger signal yang mengakibatkan stimulasi sistem
imun innate Selain itu, hapten pula dapat menstimulasi sistem imun spesifik, dengan
membentuk kompleks hapten-carrier, membentuk struktur neoantigen. Komplek ini
akan berikatan dengan protein major histocompatibility complex (MHC) atau peptida
pada permukaan antigen presenting cell (APC) menginduksi respon imu humoral dan
seluler.
 Sementara konsep pro hapten sendiri menggambarkan bahwa ada sebagian obat yang
bersifat tidak reaktif dan perlu mengalami konversi dahulu melalui proses metabolik,
baik dengan enzim ataupun non-enzim untuk menjadi bentuk yang reaktif. Contoh
konsep pro hapten yaitu pada alergi obat sulfametoksazole. Obat sebagai prohapten
sehingga membutuhkan aktivasi metabolik agar dapat menjadi hapten.
 Berdasarkan konsep p-i sendiri, ditemukan bahwa sebagian obat dapat memiliki
interaksi direksi farmakologik dengan reseptor sel T atau molekul Major
Histocompatibility Complex (MHC) dalam bentuk ikatan reversibel selain ikatan
kovalen, yang dapat mengaktifkan sel T.1Konsep interaksi farmakologi dengan
reseptor imun (p-i concept). Pada p-i konsep, obat dapat berikatan secara spesifik dan
reversibel dengan reseptornya yang sesuai. Obat dapat berikatan dengan MHC-
kompleks peptida atau T-cell receptor (TCR), sehingga dapat mengaktifkan sel T dan
memberikan efek sitotoksik pada sel target.
LEARNING ISSUE 2

PENANGANAN ALERGI OBAT

Penanganan alergi obat dimulai dengan mengenali reaksi obat berdasarkan mekanisme yang
terbagi menjadi 3 kelompok seperti pada Tabel 1.Berdasarkan Tabel 1, maka prioritas
tatalaksana obat mengarah kepada daftar obat-obatan terutama yang terbukti kuat
menimbulkan reaksi alergi yang diperoleh dari data anamnesis. Tiga hal yang menjadi dasar
tatalaksana alergi obat adalah menghindari faktor yang menimbulkan gejala, pengobatan
reaksi yang benar dan cara-cara khusus.

Menghindari faktor yang menimbulkan gejala

Beberapa faktor risiko membuat seseorang cenderung lebih mudah mengalami alergi obat, yaitu:

- Adanya riwayat alergi, misalnya alergi makanan

- Riwayat alergi obat dalam keluarga (faktor keturunan)

- Penggunaan obat dalam jangka waktu lama, dosis tinggi, atau penggunaan berulang-ulang

- Adanya penyakit tertentu yang berkaitan dengan alergi obat, misalnya HIV

Penjelasan dari masing-masing poin :

- Adanya riwayat alergi, misalnya alergi makanan

Alergi makanan didefinisikan sebagai efek kesehatan yang merugikan, timbul dari respon
imun spesifik yang terjadi secara reproduktif pada paparan makanan tertentu. Alergi makanan
didefinisikan sebagai komponen tertentu di dalam makanan (biasanya protein, tetapi kadang-kadang
juga kimiawi haptens) yang dikenali oleh sel-sel imun spesifik alergen dan menimbulkan reaksi
imunologik spesifik, yang menghasilkan gejala-gejala. Beberapa sumber alergi paling sering dari
buah dan sayuran yang menyebabkan reaksi alergi terutama jika dimakan ketika mentah. Namun,
sebagian besar alergen makanan masih dapat menyebabkan reaksi bahkan setelah matang atau telah
mengalami pencernaan di lambung dan usus.

Sebuah fenomena yang disebut reaktivitas silang dapat terjadi ketika antibodi bereaksi tidak
hanya dengan alergen asli, tetapi juga dengan alergen yang mirip. Pada alergi makanan, reaktivitas
silang terjadi ketika alergen makanan mempunyai kesamaan struktural atau sekuens dengan alergen
makanan atau aeroalergen yang berbeda, yang kemudian dapat memicu reaksi buruk yang serupa
seperti dipicu oleh alergen makanan asli. Reaktivitas silang umum terjadi, misalnya, di antara kerang
yang berbeda dan kacang pohon yang berbeda.

- Riwayat alergi obat dalam keluarga


Adanya riwayat keluarga yang memiliki alergi obat, terutama orangtua, dapat membuat anak
lebih berisiko terkena alergi obat juga. Jika hanya salah satu orangtua yang memiliki alergi, risiko
anak mewarisi alergi diperkirakan sebesar 30-50%. Sementara, jika kedua orangtua memiliki alergi,
risiko anak mewarisi alergi mencapai 60-80%. Tidak hanya alergi obat, alergi lain juga bisa
dikembangkan.

- Penggunaan obat dalam jangka waktu lama, dosis tinggi, atau penggunaan berulang-ulang

Ketika mengonsumsi obat-obatan dalam jangka panjang akan timbul suatu fenomena yang disebut
dengan toleransi obat. Ada tiga jenis toleransi obat, yakni toleransi farmakokinetika, farmakodinamik,
dan toleransi yang dipelajari.

• Toleransi farmakokinetika adalah metabolisme suatu obat setelah pemberian berulang, yang
membuat dosis obat yang diberikan menghasilkan kadar dalam darah yang semakin berkurang
dibandingkan dengan dosis yang sama pada pemberian pertama kali. Mekanisme yang paling umum
adalah peningkatan kecepatan metabolisme obat tersebut. Contohnya yaitu penggunaan stimultan
untuk menambah efek dari obat.

• Toleransi farmakodinamik merupakan perubahan adaptif yang terjadi di dalam sistem tubuh yang
dipengaruhi oleh obat, sehingga respons tubuh terhadap obat berkurang pada pemberian berulang.
"Hal ini misalnya terjadi pada penggunaan antibiotik. Dalam penggunaan jangka panjang, tubuh akan
menjadi resisten terhadap antibiotik sehingga membutuhkan penambahan dosis," katanya.

• Toleransi yang dipelajari yaitu pengurangan efek obat dengan mekanisme yang diperoleh karena
adanya pengalaman terakhir. Misalnya orang yang sudah mempelajari efek alkohol terhadap tubuhnya
masih dapat mengendalikan tubuh untuk tidak mabuk. Sehingga ketika dites berjalan lurus, ia masih
sanggup. Kebutuhan dosis obat yang makin meningkat dapat menyebabkan ketergantungan fisik, di
mana tubuh telah beradaptasi dengan adanya obat, dan akan menunjukkan gejala putus obat
(withdrawal symptom) jika penggunaan obat dihentikan. Di samping toleransi, ada pula variabel lain
yang dapat memicu adiksi. Antara lain obat yang terdiri dari ketersediaan obat dan kemurnian obat,
dan lingkungan.

- Adanya penyakit tertentu yang berkaitan dengan alergi obat, misalnya HIV

HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Virus HIV menyerang sistem
kekebalan tubuh yang selanjutnya melemahkan kemampuan tubuh melawan infeksi dan penyakit
sehingga tubuh mudah terkena alergi. Penyakit kulit sering dijumpai pada penyandang HIV ketika
mengalami berbagai infeksi. Terdapat beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
alergi obat, misalnya faktor usia, jenis kelamin, jumlah CD4, akibat dari defisiensi imun atau efek
samping pengobatan.5,6,7.

Prinsip Umum
Jika memungkinkan, maka pencegahan pemberian obat merupakan pilihan utama.
Perlu diingat sebisa mungkin menghindari obat yang telah diketahui menimbulkan reaksi
alergi dan obat yang tidak memiliki efek klinis yang penting. Penapisan melalui uji tusuk
diperlukan terutama jika akan memberikan pengobatan anti serum asing seperti globulin anti-
timosit. Rute pemberian obat yang diketahui dapat menimbulkan reaksi paling berat adalah
rute intravena.Oleh karena itu, jika memungkinkan rute ini dihindari terutama pada pasien
dengan riwayat reaksi alergi obat yang berat. Perhatian khusus harus diberikan pada
antibiotik terutama penisilin karena sering menimbulkan reaksi anafilaksis. Ketika pernah
terjadi reaksi obat, maka pasien dan orang yang bertanggung jawab atas pasien wajib
dinformasikan dan dilakukan pencatatan di rekam medik.

Pengobatan reaksi cepat pada alergi obat prinsip nya adalah pemberian epinefrin,
pengehentian obat yang diberikan, pemberian antihistamin (jika terdapat urtikaria,
angioedema dan pruritus) dan pertimbangan untuk pemberian kortikosteroid oral. Sedangkan
untuk reaksi lambat, pada dasarnya sama dengan pada reaksi alergi obat cepat kecuali
pemberian epinefrin.Namun, reaksi alergi obat lambat dapat berlanjut meskipun obat
penyebab sudah dihentikan.

Cara-Cara Khusus

Tiga hal yang menjadi dasar tatalaksana alergi obat adalah menghindari faktor yang
menimbulkan gejala, pengobatan reaksi yang benar dan cara-cara khusus. Cara-cara khusus
yang penting dalam tatalaksana alergi obat diantaranya adalah threating through, tes
dosing, desensitisasi dan pramedikasi terhadap obat-obat tertentu.

 Dalam keadaan ekstrim, yaitu saat obat kausal sangat diperlukan, maka pilihan yang
dapat diambil adalah obat diteruskan bersamaan pemberian anthistamin dan
kortikosteroid untuk menekan alergi. Hal ini disebut treating through, namun
berisiko potensial mengakibatkan reaksi berkembang menjadi eksfoliatif atau sindrom
SJS(kelainan serius pd kulit) dan memicu keterlibatan organ internal.
 tes dosing. Tes ini tidak mengubah respon sistem imun. Prinsip dasar tes ini adalah
pemberian obat secara hati-hati dan bertahap, sehingga reaksi ringan yang diketahui
mungkin terjadi akan segera diketahui dan dapat dengan mudah diatasi. Tes ini dapat
dipakai sebagai satu-satunya cara absolut untuk menyatakan ada tidaknya hubungan
etiologi antara obat, sehingga bila penderita menunjukkan toleransi terhadap obat
yang diberikan, berarti tidak ada alergi.
 Desensitisasi adalah pilihan tatalaksana pada kondisi yang sudah dipastikan terdapat
alergi obat.Namun dmeikian, tidak ada pilihan obat yang lain. Desensitisasi sendiri
dapat dikerjakan pada reaksi IgE, pada reaksi yang tidak terjadi melalui IgE,
desensitisasi cepat pada anafilaksis dan desensitisasi lambat. desensitisasi dikerjakan
dengan tujuan memperoleh reaksi yang ringan melalui eliminasi IgE. Terapi ini
dilakukan dengan cara induksi toleransi pada renderita yang mengalami reaksi alergi
(melalui IgE), cepat dan sistemik terhadap obat yang dapat dipastikan dengan tes kulit
misalnya pada penisilin. Teknik desenstisasi menggunakan protokol yang prinsip
dasarnya adalah pemberian bertahap dosis obat yang ditingkatkan secara perlahan,
mulai dari dosis subalergenik dan diteruskan sampai dosis penuh. Pada saat dilakukan
desensitisasi, jika terapi dihentikan, pada 50% penderita anafilaksis dapat terjadi
kembali.
 Pramedikasi atau profilaksis (dalah prosedur kesehatan masyarakat untuk mencegah
daripada mengobati penyak) dengan pemberian antihistamin dan kortikosteroid saja
atau dalam kombinasi dengan β-adrenergik bertujuan menurunkan insidens dan reaksi
berat misalnya reaksi anafilaksis yang ditimbulkan zat kontras.1

LEARNING ISSUE 3

 TIPE I

Hipersensitivitas Tipe Segera (Tipe I)

Hipersensitivitas tipe segera adalah reaksi jaringan yang terjadi secara cepat (dalam
hitungan menit) sesudah interaksi antigen dengan antibodi IgE yang terikat pada permukaaan
sel-sel mast. Reaksi ini diawali oleh masuknya antigen yang disebut allergen, karena memicu
alergi. Sel-sel Th2 dan IgE merupakan penyebab dari manifestasi klinis dan reaksi patologis.
Hipersensitivitas ini dapat terjadi lokal yang sedikit mengganggu (rinitis musiman, hay
fever), atau sangat melemahkan (asma) bahkan dapat fatal.

Urutan Peristiwa pada Hipersensitivitas Segera

1. Aktivasi sel Th2 dan produksi antibodi IgE. Antigen dapat masuk melalui hirupan, tertelan,
atau suntikan. Hipersensitivitas tipe segera merupakan prototipe reaksi yang diperantarai Th2.
Th2 yang diinduksi akan menghasilkan beberapa sitokin termasuk IL-4,IL-3, dan IL-13. IL-4
merangsang sel B yang spesifik terhadap alergen dan mengalami perubahan kelas rantai berat
menjadi IgE.

2. Sensitisasi sel mast oleh antibodi IgE. Sel mast mengekspresikan reseptor berafinitas tinggi
terhadap Fc dari rantai berat e dari IgE, yang disebut FceRI.
3. Aktivasi sel mast dan pelepasan mediator-mediator. Jika seseorang yang sudah disentisasi
dengan pajanan alergen kemudian terpajan ulang dengan alergen tersebut, maka alergen akan
terikat pada molekul IgE spesifik pada sel mast, biasanya terletak pada atau dekat lokasi
masuknya alergen. Ikatan silang dari biokimiawi yang berujung pada pelepasan berbagai
mediator-mediator dari sel mast.

Dua kelompok mediator yang penting dalam reaksi hipersensitivitas tipe segera yang berbeda
:

1. Amina vasoaktif yang dilepas dari granula penyimpanan. Granula-granula sel mast
mengandung histamin, yangt dilepaskan dalam hitungan detik atau menit sesudah
aktivasi. Histamin mengakibatkan vasodilatasi,peningkatan permeabilitas
vascular,kontraksi otot polos, dan peningkatan sekresi lendir. Mediator-mediator lain
yang dilepaqskan dengan cepat termasuk factor kemoktaktik untuk neutrophil dan
eosinophil, serta protease (misalnya tryptase) yang dapat merusak jaringan dan
menghasilkan kinin serta memecah unsur komplemen untuk membentuk factor
kemotaktik dan inflamasi tambahan (misalnya C5a). jaringan yang rusak juga
menghasilkan kinin dan memecah komplemen sert membentuk factor-faktor
kemotaktik dan inflamatori tambahan (misal C5a).

2. Sitokin. Aktivasi sel mast menyebabkan sintesis dan pelepasan beberapa sitokin yang
penting untuk reaksi fase lambat. Termasuk dalam hal ini, TNF dan kemokin yang
merekrut dan mengaktifkan leukosit, IL-4, IL-5 yang meningkatkan reaksi yang
diinisiasi TH2.2
Contoh-contoh kelainan yang disebabkan oleh hipersensitivitas tipe segera:

 TIPE II

Reaksi Alergi tipe II


Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan kerusakan pada sel tubuh oleh
karena antibodi melawan/menyerang secara langsung antigen yang berada pada permukaan
sel. Antibodi yang berperan biasanya Ig G.

Tipe ini melibatkan K cell atau makrofag. Alergen akan diikat antibody yang berada di
permukaan sel makrofag/K cell membentuk antigen antibody kompleks. Kompleks ini
menyebabkan aktifnya komplemen (C2 –C9) yang berakibat kerusakan.

Reaksi hipersensitivitas tipe II juga terjadi karena dibentuknya IgG dan IgM terhadap antigen
yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi ini dapat disebut juga sebagai reaksi
sitotoksik atau reaksi sitolitik.

Reaksi ini terdiri dari 3 jenis mekanisme,

1. reaksi yang bergantung pada komplemen


2. reaksi yang bergantung ADCC
3. diperantarai oleh antibodi.

Mekanisme singkat dari reaksi tipe II ini sebagai berikut : IgG dan IgM berikatan dengan
antigen di permukaan sel. Fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen, ADCC
dan atau antibody. Pengeluaran mediator kimiawi. Timbul manifestasi berupa anemia
hemolitik autoimun, eritroblastosis fetalis, sindrom Good Pasture, atau pemvigus vulgaris .
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan
imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang secara langsung
berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi
dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada
target sel. Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang
berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:

1). Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal

2). Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel
pada permukaan sel darah merah dan berperan. seperti hapten untuk produksi antibodi
kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah
merah).

3). Sindrom Goodpasture. IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal.

Contoh penyakit-penyakit :

• Goodpasture (perdarahan paru, anemia)

• Myasthenia gravis (MG)

• Immune hemolytic (anemia Hemolitik)

• Immune thrombocytopenia purpura

• Thyrotoxicosis (Graves' disease)

Terapi yang dapat diberikan pada alegi tipe II: immunosupresant


cortikosteroidsprednisolone).2
 TIPE III

Reaksi Alergi Tipe III (Immune Complex Disorders)

Merupakan reaksi alegi yang dapat terjadi karena deposit yang berasal dari

kompleks antigen antibody berada di jaringan. Gambar berikut ini


menunjukkan mekanisme respons alergi tipe III.

Keterangan Mekanisme Reaksi Alergi tipe III:

Adanya antigen antibody kompleks di jaringan, menyebabkan aktifnya komplemen.


Kompleks ini mengatifkan basofil sel mast aktif dan merelease histamine, leukotrines
dan menyebabkan inflamasi.

Keterangan Reaksi Alergi tipe III :

Alergen (makanan) yang terikat pada antibody pada netrofil (yang berada dalam
darah) dan antibody yang berada pada jaringan, mengaktifkan

komplemen. Kompleks tersebut menyebabkan kerusakan pada jaringan.

Penyakit :

•the protozoans that cause malaria

•the worms that cause schistosomiasis and

filariasis

•the virus that causes hepatitis B, demam

berdarah.

•Systemic lupus erythematosus (SLE)


•"Farmer's Lung“ (batuk, sesak nafas)

Kasus lain dari reaksi alergi tipe III

yang perlu diketahui menyebutkan bahwa

imunisasi/vaksinasi yang menyebabkan alergi

sering disebabkan serum (imunisasi) terhadap

Dipteri atau tetanus.

Gejalanya disebut dgn:

Syndroma sickness,

yaitu :

•fever

•Hives/urticaria

•arthritis

•protein in the urine 4.

 TIPE IV

Hipersensitivitas Tipe Lambat ( Tipe IV)

Di perantarai Sel T :
• Sel T CD4+
• Sel T CD8+
Dua jenis sel T yang mampu mengakibatkan cedera jaringan dan penyakit adalah :

1. Inflamasi yang diperantarai sitokin, dimana sitokin dibentuk oleh sel T CD4+ dan
2. Sitotoksisitas sel langsung yang diperantarai oleh sel T CD8+

Urutan Peristiwa pada Hipersensitivitas Tipe lambat

A. Inflamasi yang diperantarai Sel T CD4 +

Pada reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh sel T CD4+, sitokinin yang dibentuk
sel T memicu inflamasi yang kronis dan destruktif. Prototipe dari inflamasi yang diperantarai
oleh sel T adalah hipersensitivitas tipe lambat, yaitu suatu reaksi jaringan terhadap antigen
yang dipajankan pada individu yang telah imun. Dalam reaksi ini antigen diberikan kedalam
kulit individu yang telah diiumunisasi dan menunjukan reaksi kulit yang muncul setelah 24
hingga 48 jam (oleh sebab itu disebut lambat, berlawananan dengan hipersensitivitas tipe
segera).

Contoh klinis reaksi Inflamasi yang diperantarai sel T CD4+


Contoh klasik dari DTH adalah reaksi tuberculin, yang ditimbulkan melalui suntikan
intrakutan purified protein derivative (PPD yang disebut juga tubekulin) suatu protein yang
mengandung antigen basil mikrobakterium tuberculosis. Pada individu yang pernah terpajan,
indurasi dan kemerahan akan tampak pada tempat suntikan 8-12 jam sesudahnya dan
mencapai puncaknya dalam 24-72 jam, dan akan berangsur menghilang.

B. Sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel T CD8+


Pada jenis reaksi yang diperantarai oleh sel T, CTL CD8+ membunuh sel target yang
mengekspresikan antigen.
Pengrusakan jaringan oleh CTL mungkin merupakan unsur penting pada beberapa penyakit-
penyakit yang diperantarai oleh sel T, misalnya diabetes tipe 1. CTL terhadap antigen
histokompatibilitas pada permukaan sel berperang penting dalam penolakan jaringan
cangkok. Reaksi ini juga berperan terhadap virus. Pada sel yang terinfeksi virus, peptida-
peptida virus ditampilkan oleh molekul MHC kelas I dan kompleks ini dikenal oleh reseptor
sel T (TCR).2

Penyakit akibat hipersensitivitas tipe Lambat (Tipe 4)

 Artritis Reumatroid
 Sklerosis Multipel
 Diabetes Militus Tipe 1
 Penyakit Radang Usus
 Psoriasis
 Sensitivitas otak
DAFTAR PUSTAKA

1. Pandapotan RA, Rengganis I. Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Alergi


ObatApproach to Diagnosis and Treatment of Drug AllergI. Garuda. 2016;3(1).

2. Mitchell RN. Penyakit-penyakit sistem imun. In: Buku ajar patalogi dasar Robbins. 10
ed. singapore: Elsevier; 2020. hal. 5.

3. Riwayati. REAKSI HIPERSENSITIVITAS ATAU ALERGI. Kel sehat Sejah


[Internet]. 2015;13:23–5. Available from: file:///C:/Users/Hp/Downloads/3593-6787-
1-SM (3).pdf

4. Hikmah N, Dewanti IDAR. Seputar reaksi hipersensitivitas. J Kedokt Gigi


[Internet]. 2010;7(2):110–1. Tersedia pada:
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/STOMA/article/view/2063/1669

5. Pandapotan RA, Rengganis I. Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Obat Approach
to Diagnosis and Treatment of Drug Allergy. Penyakit Dalam Indones. 2016;3(1):45–52.

6. Tanukusumah M, Kurniati N, C NA. Prevalensi Alergi Makanan pada Anak Usia Kurang dari
3 Tahun di Jakarta Berbasis Survei dalam Jaringan / Online. Sari Pediatr. 2016;16(5):365.

7. Nababan KA, Faiz M. Erupsi Obat Alergi Pada Pasien HIV-AIDS Di RSUP H. Adam Malik
Medan Tahun 2010-2012. 2015;(17):2010–3.

Anda mungkin juga menyukai