Anda di halaman 1dari 31

Sumarni DW

Dept. Psikiatri FKKMK UGM

Disampaikan dalam Seminar dan Workshop I


AKESWARI YOGYAKARTA
Yogyakarta, 7 Maret 2020
Latar Belakang

Di Indonesia, jumlah anak autism terus mengalami peningkatan


drastis setiap tahun:
• 1:1.000 menjadi 8:1000
• Anak GSA menjadi 150.000-200.000
(Labola Y, 2018)

Tahun 2015, jumlah anak penyandang autisme di Indonesia


diperkirakan lebih dari 12.800 jiwa dengan pertambahan 500
anak pertahun.
(Kemen P3A RI, 2018)

02
Latar Belakang
Anak-anak dengan autisme menurut Lubetsky et al (2011) menunjukkan
beberapa gejala yaitu :
1) gangguan dalam bidang interaksi sosial
2) gangguan dalam bidang komunikasi verbal maupun non verbal
3) gangguan dalam bidang perilaku dan bermain
4) gangguan dalam bidang perasaan/emosi
5) gangguan dalam persepsi sensori.
Gangguan tersebut meningkatkan beban perawatan bagi orang tua,
khususnya ibu dari anak autis.
03
Beban Ibu dengan Anak Autism
Ibu dengan anak autis akan
membawa beban fisik, psikologi,
sosial yang berat, finansial dan
beban waktu atas:
• Pengasuhan, perawatan, terapi,
pengobatan dan Sekolah anak
• Beban mendampingi, merawat dan
mengarahkan saat anak menginjak
dewasa, mengalami pubertas
(menstruasi, masturbasi) 04
Beban Ibu dengan Anak Autism
• Kurangnya dukungan suami
meningkatkan konflik perkawinan dan
ancaman perceraian sampai betul-betul
diceraikan oleh suami.
• Ancaman kekerasan dan keamanan dari
lingkungan, fasilitas umum, fasilitas
rekreasi. Kekhawatiran dalam
menghadapi masa depan anaknya
setelah usia 21 th.
• Adanya stigma keluarga, stigma
masyarakat, yang mengucilkan anak, ibu
dan keluarga yang memiliki anak autis. 05
Beban pengasuhan
• Stigma yang dirasakan oleh ibu, membuat ibu cenderung melakukan isolasi
sosial, psikis dan emosional, menjadi beban berat dalam membesarkan anak.
• Bila berlangsung terus-menerus, tidak mendapatkan pendampingan dan
penangananan yang tepat, akan berujung pada kemungkinan terjadinya
gangguan jiwa dan menurunnya kualitas hidup ibu.
• Ibu dengan anak autism mendapatkan bebanpsikologis yang berdampak pada
stress, depresi dan kecemasan (Al-Farisi, 2016).
• Ibu anak autism mengalami gangguan kecemasan dan psikosomatis (Sumarni,
2019).
• Stres yang berkepanjangan  berisiko keinginan bunuh diri. Ada yang putus asa,
kalau Allaah mengijinkan ingin mati bersama putranya yang mengalami autis
(Sumarni, 2019).
06
Mempengaruhi pola asuh dan keharmonisan pada anak
Upaya Penanggulangan

• Dukungan sosial yang tinggi dapat menurunkan kecemasan pada


ibu dengan anak autis (Sari, 2013).
• Dukungan sosial dapat menurunkan dampak buruk stress,
kecemasan, dan depresi orang tua yang mempunyai anak autis
dan memiliki manfaat untuk proteksi kesehatan mental (Aliaj,
2016) 07
Upaya Penanggulangan
• Permainan kearifan budaya lokal, meningkatkan
kebersamaan, keharmonisan, rasa senang, aman, rasa
percaya diri, dan perasaan dihargai (Sumarni, 2019).
• Pelatihan permainan kearifan budaya lokal dapat
meningkatkan keharmonisan orang tua terhadap anak
dan mengurangi kekerasan dan kecenderungan
depresi pada anak (Sumarni, 2015).
• Tertawa merupakan respon fisiologi dan psikologi terhadap humor yang dapat
mengakibatkan perubahan positif kondisi psikologis (Bennet HJ, et al., 2006).
• Tertawa bersama-sama dapat meningkatkan lonjakan endorphin dan
meningkatkan imunitas (Dezeache, 2012) menurunkan kecemasan dan depresi
(Sumarni, 2013). 08
Metode
Penelitian ini dilaksanakan dalam jenis penelitian eksperimental
semu dengan menggunakan rancangan pre-test and post-test
control design. Untuk pelaksanaanya dibagi menjadi 3 kelompok.
Kelompok Kelompok dengan
intervensi dukungan
dengan
sosial dan permainan
intervensi berbasis kearifan
dukungan sosial. budaya lokal

Kelompok dengan
intervensi permainan
berbasis kearifan
budaya lokal 09
Hasil Penelitian
Responden pada semua kelompok:
• berusia >40 tahun sebanyak 22 orang (68,7%).
• Responden berpendidikan terakhir perguruan tinggi sebanyak
19 orang (59,4%).
• Responden yang tidak bekerja sebanyak 23 orang (70,80%).
 Sebagian besar tidak bekerja harus pindah ke Yogyakarta
karena prioritas mendampingi anaknya sekolah, terapi putra-
putrinya yang sangat membutuhkan waktu yang sangat banyak.

10
Hasil Penelitian
Setelah pemberian intervensi dukungan sosial (DS), permainan kearifan
budaya lokal (PKBL), atau gabungan antara dukungan sosial dan
permainan kearifan budaya lokal (DS+PKBL), terjadi penurunan rata-rata
skor kecemasan pada semua kelompok responden.
• Pada KR-DS, rata-rata skor kecemasan menurun dari 24,8 menjadi 20,9
(menurun 15,7%).
• Pada KR-PKBL, rata-rata skor kecemasan berkurang dari 25,2 menjadi
20,4 (berkurang 19,0%).
• Pada KR-DS+PKBL, rata-rata skor kecemasan berkurang dari 25,2
menjadi 19,7 (berkurang 21,8%).
11
Hasil Penelitian
• Analisis statistik perbandingan skor kecemasan antara sebelum
pemberian intervensi dengan sesudah pemberian intervensi,
memberikan hasil bahwa:
1. Terjadi penurunan skor kecemasan yang signifikan pada KR-
DS yakni dari 24,8 sebelum intervensi menjadi 20,9 setelah
intervensi (Fh = 4,8608; Ft = 4,3009; p = 0,0382 < 0,05);
2. Terjadi penurunan skor kecemasan yang signifikan pada KR-
PKBL yakni dari 25,2 sebelum intervensi menjadi 20,4 setelah
intervensi (Fh = 5,6043; Ft = 4,4139; p = 0,0293 < 0,05);
12
Hasil Penelitian
3. Terjadi penurunan skor kecemasan yang signifikan pada KR-
DS+PKBL yakni dari 25,2 sebelum intervensi menjadi 19,7
setelah intervensi (Fh = 5,7301; Ft = 4,4139; p = 0,0216 < 0,05).
4. Secara keseluruhan (untuk semua responden), terjadi
penurunan skor kecemasan yang signifikan dari 25,1 sebelum
intervensi menjadi 20,3 setelah intervensi (Fh = 18,5446; Ft =
3,9959; p = 6,0195E-05 < 0,05).
13
Diskusi
Dukungan sosial
• Dukungan sosial secara neurobiologis dapat
mengurangi stres, karena produksi oksitosin
meningkat pada saat terjadi dukungan sosial yang
baik dari orang lain (Miyazaki, et.al.,2013; Ditzen,
2008).
• Oksitosin yang dikeluarkan pada amygdala memiliki
efek positif terhadap efek transimisi dopamin di
nukleus akumben dimana terjadi ikatan sosial atau
social bounding (Miyazaki, et.al.,2013). 14
Diskusi
• Boonsochart (2005) yang menyatakan
bahwa setelah mendapatkan intervensi
konseling grup menunjukkan penurunan
kecemasan yang pada orang tua dengan
anak autis.
• Setelah mendapatkan dukungan sosial
secara kelompok pada orang tua anak autis
merasa tenang, puas, aman, karena bisa
berbagi pengalaman, bisa mengekspresikan
perasaan, saling memberikan dukungan dan
semangat.
15
Diskusi
• Merasa tidak sendirian dalam menghadapi masalah-
masalah, bisa saling memperbaiki dan menambah
pengetahuan dalam mendampingi putra-putrinya.
• Berbagi pengalaman, belajar dari anggota grup dan
memberi suport serta membantu anggota yang lain.
• Berbagi pengalaman dalam mendampingi putra-
putrinya waktu pubertas, melakukan masturbasi,
menstruasi.
• Berbagi pengalaman dalam memberikan pengertian
kepada saudara sekandung, teman-teman, dan
tetangga tentang kondisi anak.
• Merasa percaya diri, dihargai, tenang  menurunkan
kecemasan. 16
Diskusi
• Beberapa orang tua anak autis menyatakan
bahwa sesudah mendapat dukungan sosial
secara individual dari para dokter
merasa puas
lega
tenang
percaya diri
merasa bebannya lebih ringan setelah
menyalurkan perasaanya dengan bercerita
kepada dokter.
17
Diskusi
• Para dokter memberikan :
pujian
penghargaan akan semua keberhasilannya
dalam mendampingi putra-putrinya yang
sampai saat ini yang sudah menunjukkan
peningkatan perkembangan kemandiriannya
dan keterampilannya.
diberi pujian bahwa mama–mama
“merupakan mama-mama yang hebat”.
18
Diskusi
• Para dokter juga memberikan dukungan
religius bahwa putra-putrinya yang
mengalami autis merupakan anak-anak
istimewa dan suci yang dititipkan Allah,
karena “mama-mama adalah pilihan
Allah”.
• Hasil ini didukung oleh penelitian
Susilowati (2006) yang menyatakan
bahwa semakin tinggi dukungan sosial
yang diterima akan semakin rendah stres
yang dirasakan oleh orangtua dengan
anak autis.
19
Diskusi
• Permainan kearifan budaya lokal yang dikemas
dalam tarian diiringi dengan lagu-lagu dan
musik, akan memberikan rasa senang, tertawa
bersama meningkatkan semangat.
• Permainan dan menari, bersentuhan dan
bergandeng tangan, meningkatkan konsentrasi,
kebersamaan, ikatan interaksi sosial, ikatan
emosi, rasa senang, rasa percaya diri, dan
merasa diakui dalam kelompok.
20
Diskusi
• Hasil penelitian ini sesuai dengaan penelitian Sumarni (2012) yang
menyatakan bahwa kegiatan menari dan menyanyi dalam permainan kearifan
budaya lokal dapat meningkatkan interaksi sosial, fungsi kognitif, dapat
menurunkan depresi dan memperbaiki kualitas tidur.

21
Diskusi
Kegembiraan disertai tertawa lepas dapat
mempengaruhi kadar neurotransmiter dan hormon-
hormon di otak.
• Neurotransmiter tersebut adalah dopamine dan
serotonine, serta hormon oksitosin dan endorfin.
• Dopamin berhubungan dengan kadar kepuasan dan
kadarnya akan meningkat bila seseorang sebagai
individu merasa penting atau dibutuhkan orang lain.
22
Diskusi

• Oksitosin kadarnya meningkat bila


seseorang saling mempercayai satu sama
lain.
• Endorfin kadarnya meningkat bila
seseorang merasa bahagia dan rileks
(Ditzen, 2008) pada gilirannya menurunkan
kecemasan (Sumarni, 2013).
23
Diskusi

• Setelah pemberian permainan ibu merasa sangat senang bisa


menari, menyanyi dan tertawa lepas bersama melihat kelucuan-
kelucuan temannya. Ibu merasa ada ikatan keharmonisan dan
kekeluargaan.

24
Diskusi

• Ibu merasa lebih tenang dan


aman tidak sendirian setelah
bergandeng tangan bekerjasama
dalam bermain. Merasa lebih
bahagia, percaya diri,
kebersamaan, dan menambah
keharmonisan bisa bermain
dengan anak-anak
25
Diskusi
• Adanya peningkatan untuk sering meluangkan waktu sebentar, bercanda
bersama setelah mengantar, menunggu, dan menjemput anak.
• Merasa lebih sehat, keluhan-keluhan pusing, berdebar-debar, gangguan
menstruasi menjadi banyak berkurang

26
Kesimpulan

• Dukungan sosial berpengaruh efektif terhadap penurunan skor


kecemasan
• Permainan kearifan budaya lokal berpengaruh terhadap penurunan
derajat kecemasan

27
Kesimpulan

• Dukungan sosial yang dikombinasikan permainan kearifan


budaya lokal berpengaruh paling efektif terhadap penurunan
kecemasan pada Ibu dengan anak autis yang bersekolah di
Sekolah Autis di Yogyakarta.

28
Mama-mama dengan anak autism sedang
menceritakan masalah yang dihadapi

29
Ekspresi mama-mama dengan anak autism
setelah melakukan permainan

30
MATUR NUWUN

31

Anda mungkin juga menyukai