Muhamad Rifqi
Istilah kalam, secara harfiah berarti “ucapan” atau “kata”, digunakan dalam terjemahan bahasa
arab dari karya-karya filsuf Yunani yang merupakan alih bahasa dari kata logos dalam berbagai
arti harfiahnya, seperti word (kata), reason (akal) dan argument (pembuktian logika) (Harry
Austryn Wolfson, 1976:1).
Kalam sebagai kata, bisa mengandung arti perkataan manusia (kalam al-nas) atau perkataan
Allah (kalam Allah) (M. Yunan Yusuf, 2016:1). Kalam Allah atau al-Qur’an pernah menjadi
pembahasan yang sangat serius di kalangan Mutakallimin (ahli kalam). Mereka berusaha
menyodorkan penjelasan tentang apakah kalam Allah qodim atau jadid ? Apakah kalam Allah
diciptakan atau tidak diciptakan?, sementara itu kalangan Mutakallimin (ahli kalam) berbeda-
beda pandangan terhadap doktrin-doktrin dasar dan akidah-akidah pokok Islam, seperti antara
lain tentang mukmin dan kafir, dzat dan sifat Allah, kenabian, surga dan neraka, kehendak bebas,
kekuasaan Allah dan sebagainya.
2. Apa ruang lingkup kajian dan studi ilmu kalam? Bagaimana hubungan ilmu kalam dengan
filsafat?
Secara umum, ruang lingkup studi ilmu kalam adalah doktrin-doktrin dasar dan akidah-akidah
pokok Islam. Misalnya, antara lain soal takdir, dzat dan sifat allah, surga dan neraka, dan
seterusnya. Ilmu kalam dan filsafat memiliki kesamaan dalam hal epistemologis, pengetahuan
tentang Wujud Mutlak atau Dzat mesti dapat dijelaskan secara rasional. Agar dapat dimengerti
dan dipahami sehingga diharapkan membuahkan bertambahnya keimanan dan kesalehan yang
bersifat keislaman.
3. Bagaimakah latar belakang lahirnya mazhab kalam Mu’tazilah ? Siapa saja tokoh-tokohnya?
Mengapa mereka mendirikan Mu’tazilah?
Latar belakang lahirnya Mazhab Kalam Mu’tazilah salah satunya berangkat dari kisah Abu
Huzaifah Washil ibn Atha al Gazzal al Altsag (80-131 H). Hasan Bashri, salah satu tabiin yang
terkemuka ini memiliki kecenderungan berfikir dualistik terhadap doktrin-doktrin dasar dan
akidah-akidah pokok dalam Islam. Berbeda dengan muridnya yang masih muda, al-Washil gemar
membaca buku-buku filsafat dan karenanya kritis serta cenderung rasional. Dalam kegiatan
kelompok majelis, Guru dan murid itu selalu berbeda pendapat mulai dari soal sifat-sifat dan dzat
allah hingga tentang takdir. Namun suatu hari, Asy-Syahrastani (2006:40-41) menceritakan: al-
Washil ibn Atha datang menemui Hasan Bashri dan berkata “wahai pemuka agama telah lahir
dizaman kita ini sekolompok manusia yang mengkafirkan setiap orang yang melakukan dosa
besar. Dosa besar menurut kelompok itu (Khawarij) menyebabkan kekafiran. Ada lagi
sekelompok manusia yang menyerahkan urusannya kepada Allah tentang orang yang berbuat
dosa besar. Menurut mereka (Murji’ah) dosa besar tidak mempengaruhi iman, karena perbuatan
menurut mereka bukan merupakan rukun (unsur) iman. Iman tidak akan rusak karena berbuat,
demikian juga dosa besar, ketaatan tidak dipengaruhi oleh kekafiran. Karena itu bagaimanakah
pendapatmu tentang pendirian dua kelompok ini? Hasan Bashri berfikir sejenak sebelum
memberikan jawaban pertanyaan itu. Namun al Washil ibn Atha lebih dulu menjawab
pertanyaannya sendiri, katanya: kukatakan orang yang melakukan dosa besar masih dianggap
beriman dan juga bukan kafir. Setelah mengucapkan ucapan itu ia keluar dari masjid dan
memisahkan diri dari kelompok Hasan Bashri. Ia mempertahankan pendiriannya dihadapan
murid-murid Hasan Bashri. Hasan Bashri berkata: telah memisahkan diri (‘itizal) Washil dari
kelompok kita. Karena itu Washil dan rekan-rekannya yang sama pendiriannya dinamakan
“Mu’tazilah”.
Pandangan al-Washil diatas dapat dimengerti dengan analogi misalnya, ketika seseorang
menanam kebaikan maka akan menuai kebaikan pula. Sebaliknya, ketika manusia menanam
keburukan dan kejahatan maka akan menuai keburukan dan kejahatan pula. Dalam pengertian itu,
tolak ukur keadilan tuhan versi al-Washil nampaknya tertuju pada kehendaknya atas ciptaanya,
yaitu menghendaki manusia untuk berkehendak yang secara a priori memiliki konsekuensi
sebagai buah atas perbuatan manusia itu sendiri.
5. Bandingkan doktrin kalam Mu’tazilah dengan aliran-aliran lain (Asy’ariyah dan Syi’im)?
Doktrin pokok ajaran Mu’tazilah dikenal dengan sebutan al Ushulul Khomsah, yaitu sebagai
berikut:
a. at-tauhid
Mu’tazilah memiliki keyakinan bahwa allah hanya memiliki Dzat. Allah tidak mempunyai
sifat-sifat dan sifat-sifat tidak ada pada Dzat.
Asy'ariyyah dihadapkan pada dua pandangan yang ekstream, pada satu pihak, kelompok sifatiah (pemberi
sifat), kelompok mujassimah (antropomorfis), dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa
Allah mempunyai sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah bahwa sifat-sifat itu harus dipahami
menurut harfiahnya. Pada pihak lain, berhadapan dengan kelompok Mu'tazilah yang berpendapat bahwa
sifat-sifat Allah tidak lain selain ensensi-Nya. Al Asy'ariyyah berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-
sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, sifat-sifat Allah itu unik
dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
Dari dua pendapat yang ekstream, yaitu jabariyah yang fasilistik dan menganut paham pra-determinisme
semata-mata, dan mu'tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak berpendapat bahwa manusia
menciptakan perbuatannya sendiri. Al-Asy'ari khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta
(khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah
yang mapu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
Walaupun Asy'ari dan orang-orang mu'tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda
dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy'ari
mengutamakan wahyu, sementara mu'tazilah mengutamakan akal.
Qadimnya Al-Qur'an
Mu'tazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan
mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan
tidak diciptakan). Bahkan zahiriah berpendapat bahwa semua huruf, kata-kata, dan bunyi Al-Qur'an
adalah qadim.Al-Asy'ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi,
tetapi hal itu tidak melekat pada esensi Allah dan tidak qadim.
Melihat Allah
Al-Asy'ari tidak sependapat dengan kelompok ekstream, terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa
Allah dapat dilihat diakhirat dan memercayai bahwa Allah bersemayam di'Arsy. Al-Asy'ari yakin bahwa
Allah dapat dilihat diakhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan dapat terjadi ketika Allah
yang menyebabkan dapat dilihat atau menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy'ari dan Mu'tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Namun mereka berbeda dalam
memaknai keadilan. Al-Asy'ari tidak sependapat dengan ajaran mu'tazilah yang mengharuskan Allah
berbuat adil sehingga harus menyiksa orang yang salah dan member pahala pada orang yang berbuat baik.
Al-Asy'ari berpendapat bahwa Allah tidak memiliki keharusan apa pun karena allah penguasa mutlak.
Al-Asy'ari menolak ajaran Mu'tazilah yang menyatakan bahwa iman merupakan lawan kufur, jika tidak
mukmin, berarti kafir. Sehingga Al Asy'ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosabesar adalah
mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.
Sementara itu, doktrin-doktrin pokok ajaran Syiim sama-sama membahas at tauhid dan keadilan allah.
Yang membuat berbeda adalah soal imamah, ma’ad dan nubuwah, yang menurut Silfiatus Sholeha
sebagai berikut:
Nubuwwah
Setiap makhluk sekalipun telah diberi insting,masih membutuhkan petunjuk,baik petunjuk dari
tuhan maupun dari manusia.Dalam kenyakinan syi'ah itsna Asyariyah ,tuhan telah mengutus
124.000 rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia.
Ma'ad
Imamah
Imamah adalah institusi yang diinagurasikan tuhan untuk memberikan petunjuk manusia yang
dipilih dari keturunan ibrahim dan dielegasikan kepada keturunan Muhammad sebagai Nabi dan
Rasul terakhir.
Referensi
Silfiatus Sholeha, Pengertian Syiah, Macam-macam Sekte, dan Doktrinya. Dalam Kompasiana, 4 oktober
2018.
Lailatulfitriah, Sejarah dan Doktrin-doktrin dalam Teologi Asy’ariyah dan Al Maturidiyah, dalam
Kompasiana 8 Oktober 2018.
Toipin Al Ahbab, Doktrin-doktrin Mu’tazilah, dalam Kompasiana 26 Juli 2016.
Murtadha Muthahhari, 2002. Mengenal Ilmu Kalam. Penerj: Ilyas Hasan. Jakarta: Pustaka Zahra.
M. Yunan Yusuf. 2016. Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam. Jakarta: Prenadamedia Group, cet-II.
Harry Austryn Wolfson. 1976. The Philosophy of The Kalam. (Harvard University Press Cambridge,
Massachusetts).
Asy-Syarastani. 2006. Al Milal Wa Nihal. Penerj: Aswadie Syukur. Surabaya: PT Bina Ilmu.