Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA

Pandangan Agama Agama Tentang Aborsi Dari Daerah Masing Masing

Disusun Oleh :

Nama : Giovani Rambu Nura Makaruy


NIM : 33120025
Dosen PA : Rere Paulina Bibiana SE.,M.Si

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA
2020
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
D. Manfaat Penulisan Makalah
Pribadi
Masyarakat
Pemerintah
E. Metode Penulisan Makalah
Sifat Studi Pustaka Dari Pengamatan
Teknik Penulisan Deskriptif
 Deduksi
 Induksi

BAB II : TINJUAN PUSTAKA

A. Pemahaman Etimologi
B. Pendapat Para Ahli
Hukum
Etika
Agama
C. Pendapat Kamu tentang Judul Di Atas

BAB III : PEMBAHASAN / ANALISA MASALAH

BAB IV : PENUTUP

A. Simpulan
B. Saran-Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aborsi atau bahasa ilmiahnya adalah Abortus Provocatus, merupakan


cara yang paling sering digunakan mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan,
meskipun merupakan cara yang paling berbahaya. Abortus Provocatus dibagi
dalam dua jenis, yaitu Abortus Provocatus Therapeuticus dan Abortus
Provocatus Criminalis. Abortus Provocatus Therapeuticus merupakan Abortus
Provocatus yang dilakukan atas dasar pertimbangan kedokteran dan dilakukan
oleh tenaga yang mendapat pendidikan khusus serta dapat bertindak secara
profesional. Sementara Abortus Provocatus Criminalis adalah Abortus
Provokatus yang secara sembunyi-sembunyi dan biasanya oleh tenaga yang
tidak terdidik secara khusus, termasuk ibu hamil yang menginginkan perbuatan
Abortus Provocatus tersebut.Abortus Provocatus Criminalis merupakan salah
satu penyebab kematian wanita dalam masa subur di negara-negara
berkembang1 . 1 Dadang Hawari. 2006. Aborsi Dimensi Psikoreligi. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. Halaman 60. 2
Membahas permasalahan aborsi, sudah merupakan rahasia umum.Hal ini
dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa ini sudah menjadi hal yang aktual, dapat
terjadi dimana-mana dan bisa saja dilakukan oleh berbagai kalangan, khususnya
mereka yang belum terikat oleh perkawinan yang mengalami kehamilan di luar
nikah. Hal ini merupakan dampak pergaulan yang semakin bebas antara laki-
laki dan perempuan. Awalnya mereka hanya berpacaran seperti gaya pacaran
yang bisa, namun setelah lama menjalin hubungan pacaran, pasangan tersebut
juga melakukan hubungan yang bisa dilakukan oleh pasangan suami istri, yang
akhirnya mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan yang
tidak diinginkan tersebut memiliki korelasi dengan kasus aborsi, artinya aborsi
itu dilakukan karena kondisi kehamilan yang diproduk melalui kegiatan
pergaulan bebas. Dengan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan tersebut,
maka para pelaku mencari jalan agar janin tersebut tidak terlahir, jalan yang
ditempuh tentunya adalah aborsi. Masalah aborsi, keberadaannya merupakan
suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri dan bahkan menjadi bahan kajian yang
menarik serta saat ini menjadi fenomena sosial. Fenomena ini berkaitan erat
dengan persoalan 3 kesehatan reproduksi perempuan. Salah satu penyebab
tingginya angka kematian ibu adalah karena praktek aborsi terutama bagi ibu
pada usia belia sebagaiakibat salah pergaulan ataupun belum siap memiliki
anak. Selain hal tersebut, yang juga menjadi fenomena sosial adalah perdebatan
pro dan kontra mengenai aborsi.Bagi yang pro-aborsi berpandangan bahwa
perempuan mempunyai hak penuh atas tubuhnya. Perempuan berhak untuk
menentukan sendiri mau hamil atau tidak, mau meneruskan kehamilannya atau
menghentikannya. Bagi yang kontra aborsi, wacana hak ini dikaitkan dengan
janin yang merupakan makhluk hidup yang mempunyai hak asasi untuk hidup.
Bagi mereka aborsi adalah pembunuhan kejam terhadap janin.2 Pertentangan
antara moral dan kemasyarakatan, serta antara agama dan hukum, membuat
aborsi menjadi suatu permasalahan yang mengandung kontoroversi. Dari sisi
moral dan kemasyarakatan, sulit untuk membiarkan seorang ibu yang harus
merawat kehamilan yang tidak diinginkan terutama karena hasil perkosaan,
hasil hubungan seks komersial (dengan pekerja sekskomersial) maupun ibu
yang mengetahui bahwa janin yang dikandungnya mempunyai cacat fisik yang
berat. Di samping itu, banyak perempuan merasa 2 Dadang Hawari. 2006.
Aborsi Dimensi Psikoreligi. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : Jakarta. Halaman 61. 4 mempunyai hak atas mengontrol tubuhnya
sendiri. Di sisi lain, dari segi ajaran agama, agama manapun tidak akan
memperbolehkan manusia melakukan tindakan penghentian kehamilan dengan
alasan apapun. Dalam sistem hukum di Negara Indonesia sendiri, juga terdapat
aturan hukum yang pro dan kontra mengenai aborsi tersebut.Dalam pasal 15
UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan bahwa
dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau
janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Keberadaan praktek aborsi
kembali mendapat perhatian dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Meski demikian Undang-Undang ini
menimbulkan kontroversi diberbagai lapisan masyarakat karena adanya
pasalpasal yang mengatur mengenai aborsi dalam praktek medis. Pasal 75 dan
Pasal 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kembali
menegaskanbahwa pada dasarnya undang-undang melarang adanya praktik
aborsi (Pasal 75ayat 1). Meski demikian larangan tersebut dikecualikan apabila
ada: 1. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan,
baikyang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita 5
penyakitgenetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat
diperbaikisehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau 2.
Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan (Pasal 75 ayat 2) Sementara, dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) secara umum pengaturan mengenai aborsi tersebut
terdapat dalam Pasal 299, Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, dan Pasal 349
KUHP. Pasal-pasal ini secara jelas dan tegas mengatur larangan melakukan
aborsi denganalasan apapun, termasuk aborsi karena alasan darurat (terpaksa)
yaitu sebagai akibat perkosaan, baik bagi pelaku ataupun yang membantu
melakukan aborsi. Bahkan dengan hukuman yang dilipatgandakan, apabila yang
membantu melakukan adalah ahli medis. Namun demikian, meskipun terdapat
pro dan kontra tentang aborsi, serta secara jelas dan tegas Undang-Undang
menyatakan bahwa pada dasarnya aborsi adalah perbuatan yang dilarang, tetap
saja dalam kenyataan sekarang ini, aborsi tetap marak dengan berbagai cara dan
alasan yang mendasarinya, misalnya pasangan kekasih atau orang tua yang
sepakat untuk melakukan 6 aborsi dengan alasan agar mereka tidak mendapat
aib pada saat melahirkan bayi tersebut, ada yang melakukan aborsi karena
paksaan dari pihak laki-laki atau yang lebih menarik lagi adalah kasus yang
akan diteliti oleh Penulis, dimana dalam proses aborsi berasal dari kehendak
perempuan yang hamil karena belum siap menikah karena masih punya anak
kecil. Dengan desakan terus menerus dari perempuan itu sendiri,akhirnya
membuat pihak laki-laki menyetujui dan membantu perempuan tersebut
melakukan aborsi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka Penulis memberikan
rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan hukum pidana materiil oleh Hakim terhadap pelaku


penyertaan dalam tindak pidana aborsi ?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap


pelaku penyertaan dalam tindak pidana aborsi ?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Tujuan penelitian yang ingin dicapai pada penulisan ini, yaitu :

Tujuan Pribadi
Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materiil terhadap pelaku
penyertaan dalam tindak pidana aborsi.

Tujuan Umum
Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan
putusan terhadap pelaku penyertaan dalam tindak pidana aborsi.

D. Manfaat Penulisan Makalah

PRIBADI
Saya bisa mengetahui dan belajar lebih mendalam tentang aborsi
MASYARAKAT
Menambah bahan referensi tentang ilmu hukum kususnya tentang
tindak pidana aborsi dan menjadi salah satu 8 bahan informasi atau
masukan bagi proses pembinaan kesadaran hukum bagi masyarakat
untuk mencegah terulangnya peristiwa yang serupa.
PEMERINTAH
Memberikan sumbangsih terhadap perkembangan hukum di
Indonesia, khususnya di bidang kesehatan dan menjadi salah satu
bahan pertimbangan bagi pemerintah agar lebih memperhatikan
penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana aborsi

E. Metode Penulisan Makalah


Sifat studi Pustaka dan Pengamatan
Studi pustaka mencari literatur yang mendukung penulisan makalah
ini dan mengumpulkan data-data yang relevan terhadap topik dengan
mempelajari buku-buku, karya ilmiah, informasi mengenai
permasalahan pada topik ini. Adapun jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian kepuastakaan atau library
research, yakni penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data
atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan objek penelitian, atau
pengumpulan data yang bersifat kepustakaan, atau telah dilaksanakan
untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya bertumpu pada
penelahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang
relevan
Teknik Penulisan Deskriptif
Penulisan makalah ini menggunakan teknik penulisan deskriptif.
Penulisan deskriptif adalah penelitian yang mengungkapkan suatu
kejadian ataupun fakta,. Fenomena, dan keadaan yang terjadi saat
penelitian sedang berlangsung dengan menyuguhkan apa yang
sebenarnya terjadi. Penelitian ini akan menggambarkan suatu data
yang berupa fakta-fakta lisan maupun tertulis yang ditemui. Penelitian
ini menggunakan pendekatan deskriptif dikarenakan tujuan penelitian
ini untuk mengetahui dan menganalisis pandangan agama terhadap
aborsi di daerah masing-masing. Penelitian ini menggunakan
deskriptif analitik dengan cara berpikir deduksi dan induksi .Deduksi
ialah proses penarikan kesimpulan dari keadaan yang umum terlebih
dahulu kemudian dihubungkan ke keadaan yang khusus. Sedangkan
Induksi ialah proses penarikan kesimpulan dari hal-hal khusus
kemudian dihubungkan dengan hal-hal umum
 Deduksi : aborsi juga merupakan penyebab kematian ibu,
hanya saja muncul dalam bentuk komplikasi pendarahan dan
sepsis
 Induksi : Alasan medis, wanita dengan kondisi jantung yang
rentan terhadap komplikasi dan bisa mati saat melahirkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemahaman Etimologi
Pengguguran kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus)
adalah berakhirnya kehamilan dengan dikeluarkannya janin (fetus)
atau embrio sebelum memiliki kemampuan untuk bertahan hidup
di luar rahim, sehingga mengakibatkan kematiannya.[note 1] Aborsi
yang terjadi secara spontan disebut juga "keguguran". Aborsi yang
dilakukan secara sengaja sering kali disebut "aborsi induksi" atau
"abortus provokatus". Kata abor si umumnya hanya digunakan
dalam pengertian abortus provokatus. Prosedur serupa yang
dilakukan setelah janin berpotensi untuk bertahan hidup di luar
rahim juga dikenal dengan sebutan "aborsi tahap akhir"

B. Pendapat Para Ahli


Hukum.
Menurut KUHP, aborsi merupakan: Pengeluaran hasil konsepsi pada
setiap stadium perkembangannya sebelum masa kehamilan yang
lengkap tercapai (38-40 minggu). Pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan (berat kurang dari 500 gram atau
kurang dari 20 minggu).
Etika
Secara etika aborsi merupakan pengeluaran janin dari dalam tubuh
maka hal itu sangat tidak termasuk etika karena sangat melanggar rasa
kemanusiaan dan rasa peduli sesama manusia
Agama
kalangan Kristen awal memandang aborsi sebagai dosa pada setiap
tahapan kehamilan; meski terdapat perbedaan pendapat mengenai
jenis dosanya dan seberapa serius dosa tersebut, tetapi bobot minimal
keseriusan atau beratnya sama dengan amoralitas seksual.
BAB III
PEMBAHASAN / ANALISA MASALAH

Pengguguran Kandungan Atau Aborsi (Bahasa Latin: Abortus) Adalah


Berakhirnya Kehamilan Dengan Dikeluarkannya Janin (Fetus)
Atau Embrio Sebelum Memiliki Kemampuan Untuk Bertahan Hidup Di Luar
Rahim, Sehingga Mengakibatkan Kematiannya.[Note 1] Aborsi Yang Terjadi
Secara Spontan Disebut Juga "Keguguran". Aborsi Yang Dilakukan Secara
Sengaja Sering Kali Disebut "Aborsi Induksi" Atau "Abortus Provokatus".
Kata Aborsi Umumnya Hanya Digunakan Dalam Pengertian Abortus
Provokatus. Prosedur Serupa Yang Dilakukan Setelah Janin Berpotensi Untuk
Bertahan Hidup Di Luar Rahim Juga Dikenal Dengan Sebutan "Aborsi Tahap
Akhir".
Dikatakan Bahwa Aborsi Di Negara-Negara Maju, Yang
Mengizinkannya Merupakan Salah Satu Prosedur Medis Yang Paling Aman
Dalam Bidang Kedokteran. Metode-Metode Modern Memanfaatkan Obat Atau
Bedah Dalam Pelaksanaan Aborsi. Obat Mifepriston Dikombinasikan
Dengan Prostaglandin Kemungkinan Sama Aman Dan Efektifnya Dengan
Bedah Selama Trimester Pertama Dan Kedua Kehamilan. Pengaturan
Kelahiran, Seperti Pil Atau Alat Intrauterin, Mungkin Saja Digunakan Segera
Setelah Aborsi. Dilaporkan Bahwa Abortus Provokatus, Jika Dilakukan Secara
Aman Dan Legal, Tidak Meningkatkan Risiko Terkait Masalah Fisik
Ataupun Mental Pada Jangka Panjang. Sebaliknya, Aborsi Yang Tidak Aman
Mengakibatkan 47.000 Kematian Dan 5 Juta Kasus Perawatan Di Rumah Sakit
Setiap Tahunnya. Organisasi Kesehatan Dunia Merekomendasikan Tersedianya
Aborsi Yang Aman Dan Legal Bagi Semua Wanita.
Sekitar 56 Juta Aborsi Terjadi Setiap Tahunnya Di Seluruh Dunia,
[9]
 Dengan Hampir Setengahnya Dilakukan Secara Tidak Aman. Angka Atau
Tingkat Aborsi Hanya Berubah Sedikit Antara Tahun 2003 Dan 2008, Setelah
Sebelumnya Mengalami Penurunan Selama Setidaknya Dua Dasawarsa Karena
Meningkatnya Akses Atas Pengendalian Kelahiran Dan Keluarga Berencana.
[11]
 Pada Tahun 2008, 40% Wanita Di Seluruh Dunia Memiliki Akses Untuk
Melakukan Aborsi Secara Legal Tanpa Batasan Tertentu Sebagai Alasan.
[12]
 Setiap Negara Yang Mengizinkan Aborsi Memiliki Batasan Berbeda
Mengenai Seberapa Terlambat Aborsi Kehamilan Diperbolehkan.
Sejak Zaman Kuno, Aborsi Telah Dilakukan Dengan Menggunakan
Obat-Obatan Herbal, Benda-Benda Tajam, Dengan Paksaan, Atau Juga Metode-
Metode Tradisional Lainnya. Terdapat Perbedaan Hukum
Aborsi Dan Pandangan Agama Ataupun Budaya Di Seluruh Dunia. Di
Beberapa Wilayah Hukum, Aborsi Dilegalkan Dalam Kasus Tertentu Seperti
Pemerkosaan, Masalah Pada Janin, Kemiskinan, Risiko Pada Kesehatan Sang
Ibu, Ataupun Inses. Di Berbagai Daerah Di Dunia Terjadi
Banyak Perdebatan Terkait Isu Moral, Etika, Dan Hukum Dalam Hal Aborsi.
Mereka Yang Menentang Aborsi Umumnya Bersikukuh Bahwa Embrio
Ataupun Janin Adalah Seorang Pribadi Manusia Dengan Hak Untuk Hidup Dan
Mereka Menyamakan Aborsi Dengan Pembunuhan. Sedangkan Mereka Yang
Mendukung Legalitas Aborsi Umumnya Berpandangan Bahwa Seorang Wanita
Memiliki Hak Untuk Mengambil Keputusan Atas Tubuhnya Sendiri.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai bagaimana pandangan kalangan


Kristen awal mengenai aborsi, dan tidak ada larangan secara eksplisit dalam
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru Alkitab Kristen. Beberapa akademisi
menyimpulkan bahwa kalangan Kristen awal mengambil sikap yang bervariasi
tentang isu yang sekarang disebut aborsi ini, serta bahwa pada saat-saat
berlainan dan tempat-tempat terpisah kalangan Kristen awal mengambil sikap
yang berbeda. Akademisi lainnya menyimpulkan bahwa kalangan Kristen awal
memandang aborsi sebagai dosa pada setiap tahapan kehamilan; meski terdapat
perbedaan pendapat mengenai jenis dosanya  dan seberapa serius dosa tersebut,
tetapi bobot minimal keseriusan atau beratnya sama dengan amoralitas
seksual. Dikatakan bahwa beberapa orang Kristen awal meyakini
kalau embrio belum memiliki jiwa pada saat konsepsi atau pembuahan, dan
karenanya ketika itu terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah aborsi pada
tahap awal kehamilan merupakan pembunuhan atau secara etika setara dengan
pembunuhan.
Beberapa konsili awal Gereja menghukum wanita pelaku aborsi yang
juga melakukan kejahatan seksual lainnya, dan para pembuat obat
abortifasien, tetapi, sebagaimana posisi para Bapa Gereja awal seperti Basilius
Agung, tidak membedakan antara janin yang "berbentuk" dan "belum
berbentuk". Gregorius dari Nyssa dan Maximus sang Pengaku
Iman berkeyakinan bahwa kehidupan manusia telah dimulai sejak saat
pembuahan, sementara Agustinus dari Hippo meyakini konsep Aristoteles
tentang pemerolehan jiwa yang terjadi dalam kurun waktu tertentu setelah
pembuahan, yang setelah titik tersebut aborsi harus dipandang sebagai
pembunuhan, meski tetap mengutuk aborsi pada tahapan apapun sejak
pembuahan. Thomas Aquinas mengulangi kembali pandangan Aristoteles
tentang tahapan perkembangan jiwa: vegetatif, sensitif/animalia, dan rasional.
Ini dikatakan menjadi posisi Gereja Katolik sampai tahun 1869,
ketika ekskomunikasi otomatis tidak lagi terbatas hanya pada tindakan aborsi
janin berbentuk, suatu perubahan yang diinterpretasikan sebagai pernyataan
implisit bahwa pembuahan adalah momen pemerolehan jiwa.[15] Kebanyakan
aturan penitensial awal mengenakan silih yang setara atas tindakan aborsi fase-
awal maupun fase-akhir, tetapi penitensi-penitensi setelah itu pada Abad
Pertengahan biasanya membedakan keduanya, memberlakukan silih yang lebih
berat atas tindakan aborsi fase-akhir dan silih yang lebih ringan diberlakukan
atas dosa aborsi "sebelum [fetus] memiliki hidup".
Denominasi Kristen masa kini memiliki beragam posisi, pemikiran, dan
ajaran mengenai aborsi, terutama dalam keadaan-keadaan khusus. Gereja
Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Ortodoksi Oriental, dan kebanyakan Protestan
Injili menentang aborsi yang disengaja sebagai perbuatan tak bermoral, meski
juga mengizinkan apa yang terkadang disebut aborsi tidak langsung, yaitu
tindakan yang tidak menghendaki kematian janin sebagai suatu tujuan ataupun
sarana tetapi tindakan itu mengakibatkan kematian janin sebagai efek
samping. Beberapa denominasi Protestan garis utama seperti Gereja
Metodis, Gereja Kristus Bersatu, dan Gereja Evangelis Lutheran di
Amerika lebih bersikap liberal dalam hal aborsi. Secara lebih umum, sejumlah
denominasi Kristen dapat dipandang sebagai pro-kehidupan sementara yang
lainnya mungkin dipandang sebagai pro-pilihan. Selain itu, dalam beberapa
denominasi, terdapat kelompok minoritas yang tidak setuju dengan sikap
denominasi mereka mengenai aborsi.

1. Bagaimana penerapan hukum pidana materiil oleh Hakim terhadap pelaku


penyertaan dalam tindak pidana aborsi ?

Sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan


yang berbunyi; "setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak
Rp1 miliar.

Aborsi dalam Hukum

Aborsi Menurut Hukum Positif Indonesia


Aborsi telah diatur dalam Pasal 75, Pasal 77, dan Pasal 194 Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). UU Kesehatan
memberikan ruang untuk aborsi dengan alasan tertentu.
 
Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan memberikan dua alasan untuk dapat
dilakukannya aborsi, yaitu:
1. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan;
2. bagi korban pemerkosaan.
 
Selain terpenuhinya alasan dalam Pasal 75 UU Kesehatan, untuk dapat
dilakukan aborsi juga harus terpenuhi syarat-syarat yang tertuang di Pasal 76
UU Kesehatan yang menegaskan bahwa aborsi hanya dapat dilakukan:

a. sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid


terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang kesehatan;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban pemerkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.
 
Kemudian, Pasal 194 UU Kesehatan menerangkan bahwa setiap orang yang
dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1
miliar.
 
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), seperti dalam Pasal
299, Pasal 346, Pasal 348, Pasal 349 KUHP, abortus provocatus
criminalis dilarang dan diancam hukuman pidana tanpa memandang latar
belakang perbuatannya dan orang yang melakukannya, yaitu semua orang baik
pelaku maupun penolong aborsi, seperti dokter atau bidan.

Aborsi merupakan berakhirnya suatu kehamilan. Terdapat dua jenis aborsi


berdasarkan penyebabnya, yaitu aborsi yang disengaja (induced abortion) dan
aborsi yang tidak disengaja (spontaneous abortion). 
Spontaneous abortion ini sama seperti keguguran, di mana kematian janin
terjadi dengan sendirinya dan biasanya diakibatkan oleh masalah medis.
Sedangkan, aborsi yang disengaja masih menjadi kontroversi baik dari segi
medis maupun moral.
Di Indonesia sendiri, aborsi yang disengaja merupakan sebuah tindakan yang
ilegal dan melanggar hukum. Aborsi yang dilakukan secara ilegal dapat dijatuhi
hukuman pidana sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab
XIX tentang kejahatan terhadap nyawa. 
Ibu yang melakukan aborsi, orang, atau tenaga medis yang membantu ibu
melakukan aborsi, serta orang yang mendukung tindakan ini dapat dikenai
hukuman.
Syarat aborsi yang dibolehkan di Indonesia
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi, aborsi merupakan tindakan yang dilarang dan hanya diperbolehkan
dalam kondisi tertentu, seperti:
 Indikasi kedaruratan medis, seperti kehamilan yang mengancam nyawa
dan kesehatan ibu dan janin
 Kehamilan akibat pemerkosaan (hanya dapat dilakukan apabila usia
kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir)
PP ini mengatur bagaimana seharusnya aborsi dilakukan dengan semestinya
karena hal-hal tertentu, dan bagaimana aborsi dilakukan secara aman dengan
bantuan dokter. Dengan adanya PP ini, diharapkan aborsi tidak lagi dilakukan
sembarangan dan juga dapat menekan angka kehamilan di luar pernikahan atau
kehamilan yang tidak diinginkan.
Sebanyak 30% kematian ibu adalah karena aborsi
Kebanyakan aborsi di Indonesia disebabkan oleh kehamilan yang tidak
diinginkan atau kehamilan yang terjadi di luar pernikahan, sehingga aborsi
dilakukan secara ilegal. 
Banyak praktik aborsi ilegal di Indonesia menggunakan peralatan seadanya dan
dengan metode yang bukan seharusnya. Imbasnya, kebanyakan aborsi ilegal
menyebabkan dampak buruk pada kesehatan wanita, bahkan bisa menyebabkan
kematian. 
Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada
2008, kematian akibat aborsi mencapai 30% dari 228 per 100 ribu kelahiran
hidup angka kematian ibu (AKI).
Hal ini berbeda dengan negara yang melegalkan aborsi, seperti Amerika Serikat,
di mana aborsi dilakukan dengan aman dan dengan bantuan dokter, sehingga
komplikasi sangat jarang ditemukan.
Bagaimana aborsi di negara yang melegalkan aborsi?
Di negara yang melegalkan aborsi, aborsi dilakukan dengan bantuan medis.
Terdapat dua cara untuk melakukan aborsi, yaitu dengan obat dan dengan
operasi, seperti vacuum aspiration atau dilasi dan evaluasi (D&E). 
Hal ini tergantung dari usia kandungan Anda. Jika kandungan Anda sudah
berusia lebih dari 9 minggu, aborsi dengan cara operasi merupakan satu-satunya
pilihan. Operasi ini dilakukan dengan dokter yang bersertifikat, sehingga aman
untuk dilakukan dan bukan merupakan hal yang dilakukan sembarangan.
Apa saja dampak yang mungkin muncul akibat aborsi?
Risiko untuk menjalani aborsi pada kehamilan trimester kedua lebih tinggi
daripada di usia kehamilan trimester pertama. Beberapa risiko utama dari aborsi
adalah:
 Infeksi rahim, bisa terjadi setiap 1 dari 10 aborsi yang dilakukan. Infeksi
ini biasanya dapat diobati dengan antibiotik.
 Kehamilan yang tersisa di dalam rahim, biasanya terjadi karena aborsi
bukan ditangani oleh tenaga medis yang bersertifikat, misalnya pada aborsi
yang dilakukan secara ilegal oleh dukun atau orang yang mengaku sebagai
tenaga medis, atau bisa juga karena aborsi dilakukan dengan menggunakan
obat. Hal ini bisa terjadi setiap 1 dari 20 kejadian aborsi. Perawatan lebih lanjut
perlu dilakukan untuk menangani hal ini.
 Kehamilan tetap berlanjut, bisa terjadi kurang dari 1 dari setiap 100 kasus
aborsi.
 Pendarahan hebat, bisa terjadi setiap 1 dari 1.000 kejadian aborsi.
Perdarahan parah mungkin memerlukan transfusi darah.
 Kerusakan mulut rahim (serviks), bisa terjadi setiap 1 dari 100 kejadian
aborsi yang dilakukan dengan cara operasi.
 Kerusakan rahim, terjadi setiap 1 dari 250 sampai 1.000 aborsi yang
dilakukan dengan cara operasi dan juga terjadi kurang dari 1 dari setiap 1.000
aborsi yang dilakukan dengan menggunakan obat pada usia kehamilan 12-24
minggu.
 Serta, berbagai dampak psikologis pada wanita yang melakukan aborsi.
Dari berbagai risiko di atas, bisa dilihat bahwa aborsi yang dilakukan secara
ilegal maupun legal (dengan menggunakan obat atau operasi), keduanya sama-
sama dapat menimbulkan risiko kesehatan bagi ibu. 

Pandangan agama agama tentang aborsi


 Buddha
Artikel utama: Buddhisme dan aborsi
Tidak terdapat satu pandangan Buddhis mengenai aborsi. Beberapa
sumber dalam tradisinya, termasuk sejumlah peraturan monastik Buddhis,
berpegang pada keyakinan bahwa kehidupan dimulai sejak saat
pembuahan dan bahwa aborsi, yang sesungguhnya melibatkan
pemusnahan hidup secara sengaja, harus ditolak. Yang menjadikan isu ini
kompleks adalah keyakinan Buddhis bahwa "kehidupan merupakan suatu
rangkaian kesatuan tanpa titik awal yang dapat dipahami". Di antara
kalangan Buddhis, tidak terdapat sudut pandang resmi atau yang lebih
diutamakan berkenaan dengan aborsi.
Dalai Lama ke-14 mengatakan bahwa aborsi adalah "negatif", tetapi ada
pengecualian-pengecualian. Ia mengatakan, "Saya pikir aborsi seharusnya
disetujui ataupun ditolak berdasarkan keadaan masing-masing."
Menginduksi atau cara lain yang mengakibatkan aborsi dipandang
sebagai suatu hal serius dalam peraturan membiara (monastik) yang
dianut oleh para rahib Theravāda maupun Wajrayana; para rahib dan
rubiah tidak diperkenankan untuk membantu seorang wanita dalam
melakukan aborsi. Sumber-sumber dalam tradisi Buddhis tidak mengenal
perbedaan antara aborsi fase-awal dan fase-akhir, tetapi, di Sri
Lanka dan Thailand, "stigma moral" terkait aborsi bertambah seiring
dengan perkembangan fetus atau janin. Sementara sumber-sumber dalam
tradisi tampaknya tidak melihat kemungkinan keterkaitan aborsi dengan
kesehatan sang ibu, para guru Buddhis modern dari banyak tradisi – dan
hukum aborsi di banyak negara Buddhis – mengakui kalau ancaman bagi
kehidupan atau kesehatan fisik sang ibu dapat dijadikan suatu
pembenaran yang dapat diterima untuk melakukan aborsi sebagai suatu
hal praktis, kendati hal itu dapat dipandang sebagai suatu perbuatan
dengan konsekuensi karma atau moral negatif.

 Hindu
Teks-teks Hindu klasik sangat mengutuk aborsi. BBC menuliskan, "Saat
mempertimbangkan aborsi, cara Hindu adalah memilih tindakan yang
akan memberikan kerugian paling sedikit bagi semua yang terlibat: sang
ibu dan ayah, sang janin dan masyarakat." Lebih lanjut BBC menyatakan,
"Dalam praktiknya, bagaimanapun, aborsi dipraktikkan dalam kultur
Hindu di India, karena larangan keagamaan atas aborsi terkadang
dikesampingkan oleh preferensi kultural demi anak laki-laki. Hal ini
dapat menyebabkan aborsi untuk menghindari kelahiran bayi perempuan,
yang disebut 'fetisida wanita'."[30] Para akademisi Hindu dan pembela hak-
hak wanita telah mendukung larangan atas aborsi selektif-seks. Beberapa
umat Hindu mendukung aborsi dalam kasus kehidupan sang ibu terancam
bahaya atau ketika janinnya memiliki anomali perkembangan yang
mengancam nyawa
Beberapa teolog Hindu dan Brahma Kumaris meyakini bahwa
keberadaan pribadi manusia dimulai dalam periode tiga bulan kehamilan
dan berkembang dalam periode lima bulan, yang mungkin menyiratkan
diizinkannya aborsi hingga bulan ketiga dan menganggap aborsi setelah
bulan ketiga sebagai penghancuran tubuh yang sedang menjelma yang
dimiliki sang jiwa

 Islam
Kendati terdapat perbedaan pendapat di antara akademisi Islam mengenai
kapan kehidupan dimulai dan kapan aborsi diperbolehkan, sebagian besar
setuju bahwa penghentian kehamilan tidak diizinkan setelah 120 hari –
suatu titik di mana, dalam Islam, janin diperkirakan menjadi jiwa yang
hidup.Sejumlah pemikir Islam berpendapat bahwa dalam kasus sebelum
empat bulan kehamilan, aborsi seharusnya hanya diizinkan dalam kasus
kehidupan sang ibu terancam bahaya atau dalam kasus pemerkosaan.
Menurut BBC, beberapa mazhab hukum Muslim mengizinkan aborsi
dalam periode enam belas minggu pertama kehamilan, sementara yang
lain hanya mengizinkannya dalam periode tujuh minggu pertama
kehamilan. Semakin jauh perkembangan janin dalam kehamilan, semakin
besar kesalahannya. Al-Qur'an tidak secara khusus membahas tentang
aborsi, tetapi melingkupi isu ini dengan mengutuk pembunuhan yang
disengaja. BBC juga menuliskan bahwa semua mazhab memperbolehkan
aborsi sebagai sarana untuk menyelamatkan kehidupan sang ibu
 Kekristenan
Terdapat perbedaan pendapat mengenai bagaimana pandangan kalangan
Kristen awal mengenai aborsi, dan tidak ada larangan secara eksplisit
dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru Alkitab Kristen.
Beberapa akademisi menyimpulkan bahwa kalangan Kristen awal
mengambil sikap yang bervariasi tentang isu yang sekarang disebut
aborsi ini, serta bahwa pada saat-saat berlainan dan tempat-tempat
terpisah kalangan Kristen awal mengambil sikap yang berbeda.[8][9]
[10]
 Akademisi lainnya menyimpulkan bahwa kalangan Kristen awal
memandang aborsi sebagai dosa pada setiap tahapan kehamilan; meski
terdapat perbedaan pendapat mengenai jenis dosanya[11][12][13]
[14]
 dan seberapa serius dosa tersebut, tetapi bobot minimal keseriusan
atau beratnya sama dengan amoralitas seksual.[11][13] Dikatakan bahwa
beberapa orang Kristen awal meyakini kalau embrio belum memiliki jiwa
pada saat konsepsi atau pembuahan,[8][15][16][17] dan karenanya ketika itu
terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah aborsi pada tahap awal
kehamilan merupakan pembunuhan atau secara etika setara dengan
pembunuhan.[10][14]
Beberapa konsili awal Gereja menghukum wanita pelaku aborsi yang
juga melakukan kejahatan seksual lainnya, dan para pembuat obat
abortifasien,[10] tetapi, sebagaimana posisi para Bapa Gereja awal
seperti Basilius Agung, tidak membedakan antara janin yang "berbentuk"
dan "belum berbentuk".[18][19] Gregorius dari Nyssa dan Maximus sang
Pengaku Iman berkeyakinan bahwa kehidupan manusia telah dimulai
sejak saat pembuahan,[19] sementara Agustinus dari Hippo meyakini
konsep Aristoteles tentang pemerolehan jiwa yang terjadi dalam kurun
waktu tertentu setelah pembuahan, yang setelah titik tersebut aborsi harus
dipandang sebagai pembunuhan, meski tetap mengutuk aborsi pada
tahapan apapun sejak pembuahan. Thomas Aquinas mengulangi kembali
pandangan Aristoteles tentang tahapan perkembangan jiwa: vegetatif,
sensitif/animalia, dan rasional. Ini dikatakan menjadi posisi Gereja
Katolik sampai tahun 1869, ketika ekskomunikasi otomatis tidak lagi
terbatas hanya pada tindakan aborsi janin berbentuk, suatu perubahan
yang diinterpretasikan sebagai pernyataan implisit bahwa pembuahan
adalah momen pemerolehan jiwa. Kebanyakan aturan penitensial awal
mengenakan silih yang setara atas tindakan aborsi fase-awal maupun
fase-akhir, tetapi penitensi-penitensi setelah itu pada Abad Pertengahan
biasanya membedakan keduanya, memberlakukan silih yang lebih berat
atas tindakan aborsi fase-akhir dan silih yang lebih ringan diberlakukan
atas dosa aborsi "sebelum [fetus] memiliki hidup".
 Denominasi Kristen masa kini memiliki beragam posisi, pemikiran, dan
ajaran mengenai aborsi, terutama dalam keadaan-keadaan khusus. Gereja
Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Ortodoksi Oriental, dan
kebanyakan Protestan Injili menentang aborsi yang disengaja sebagai
perbuatan tak bermoral, meski juga mengizinkan apa yang terkadang
disebut aborsi tidak langsung, yaitu tindakan yang tidak menghendaki
kematian janin sebagai suatu tujuan ataupun sarana tetapi tindakan itu
mengakibatkan kematian janin sebagai efek samping. Beberapa
denominasi Protestan garis utama seperti Gereja Metodis, Gereja Kristus
Bersatu, dan Gereja Evangelis Lutheran di Amerika lebih bersikap liberal
dalam hal aborsi. Secara lebih umum, sejumlah denominasi Kristen dapat
dipandang sebagai pro-kehidupan sementara yang lainnya mungkin
dipandang sebagai pro-pilihan. Selain itu, dalam beberapa denominasi,
terdapat kelompok minoritas yang tidak setuju dengan sikap denominasi
mereka mengenai aborsi

BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Terdapat perbedaan pendapat mengenai bagaimana pandangan kalangan
Kristen awal mengenai aborsi, dan tidak ada larangan secara eksplisit
dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru Alkitab Kristen.
Beberapa akademisi menyimpulkan bahwa kalangan Kristen awal
mengambil sikap yang bervariasi tentang isu yang sekarang disebut
aborsi ini, serta bahwa pada saat-saat berlainan dan tempat-tempat
terpisah kalangan Kristen awal mengambil sikap yang
berbeda. Akademisi lainnya menyimpulkan bahwa kalangan Kristen awal
memandang aborsi sebagai dosa pada setiap tahapan kehamilan; meski
terdapat perbedaan pendapat mengenai jenis dosanya dan seberapa serius
dosa tersebut, tetapi bobot minimal keseriusan atau beratnya sama dengan
amoralitas seksual. Dikatakan bahwa beberapa orang Kristen awal
meyakini kalau embrio belum memiliki jiwa pada saat konsepsi atau
pembuahan, dan karenanya ketika itu terdapat perbedaan pendapat
mengenai apakah aborsi pada tahap awal kehamilan merupakan
pembunuhan atau secara etika setara dengan pembunuhan.[10][14]
Beberapa konsili awal Gereja menghukum wanita pelaku aborsi yang
juga melakukan kejahatan seksual lainnya, dan para pembuat obat
abortifasien, tetapi, sebagaimana posisi para Bapa Gereja awal
seperti Basilius Agung, tidak membedakan antara janin yang "berbentuk"
dan "belum berbentuk". Gregorius dari Nyssa dan Maximus sang
Pengaku Iman berkeyakinan bahwa kehidupan manusia telah dimulai
sejak saat pembuahan, sementara Agustinus dari Hippo meyakini konsep
Aristoteles tentang pemerolehan jiwa yang terjadi dalam kurun waktu
tertentu setelah pembuahan, yang setelah titik tersebut aborsi harus
dipandang sebagai pembunuhan,[20] meski tetap mengutuk aborsi pada
tahapan apapun sejak pembuahan. Thomas Aquinas mengulangi kembali
pandangan Aristoteles tentang tahapan perkembangan jiwa: vegetatif,
sensitif/animalia, dan rasional. Ini dikatakan menjadi posisi Gereja
Katolik sampai tahun 1869, ketika ekskomunikasi otomatis tidak lagi
terbatas hanya pada tindakan aborsi janin berbentuk, suatu perubahan
yang diinterpretasikan sebagai pernyataan implisit bahwa pembuahan
adalah momen pemerolehan jiwa. Kebanyakan aturan penitensial awal
mengenakan silih yang setara atas tindakan aborsi fase-awal maupun
fase-akhir, tetapi penitensi-penitensi setelah itu pada Abad Pertengahan
biasanya membedakan keduanya, memberlakukan silih yang lebih berat
atas tindakan aborsi fase-akhir dan silih yang lebih ringan diberlakukan
atas dosa aborsi "sebelum [fetus] memiliki hidup".
Denominasi Kristen masa kini memiliki beragam posisi, pemikiran, dan
ajaran mengenai aborsi, terutama dalam keadaan-keadaan khusus. Gereja
Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Ortodoksi Oriental, dan
kebanyakan Protestan Injili menentang aborsi yang disengaja sebagai
perbuatan tak bermoral, meski juga mengizinkan apa yang terkadang
disebut aborsi tidak langsung, yaitu tindakan yang tidak menghendaki
kematian janin sebagai suatu tujuan ataupun sarana tetapi tindakan itu
mengakibatkan kematian janin sebagai efek samping. Beberapa
denominasi Protestan garis utama seperti Gereja Metodis, Gereja Kristus
Bersatu, dan Gereja Evangelis Lutheran di Amerika lebih bersikap liberal
dalam hal aborsi. Secara lebih umum, sejumlah denominasi Kristen dapat
dipandang sebagai pro-kehidupan sementara yang lainnya mungkin
dipandang sebagai pro-pilihan. Selain itu, dalam beberapa denominasi,
terdapat kelompok minoritas yang tidak setuju dengan sikap denominasi
mereka mengenai aborsi.

B. Saran-saran
Terdapat perbedaan pendapat mengenai bagaimana pandangan kalangan
Kristen awal mengenai aborsi, dan tidak ada larangan secara eksplisit
dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru Alkitab Kristen.
Beberapa akademisi menyimpulkan bahwa kalangan Kristen awal
mengambil sikap yang bervariasi tentang isu yang sekarang disebut
aborsi ini, serta bahwa pada saat-saat berlainan dan tempat-tempat
terpisah kalangan Kristen awal mengambil sikap yang
berbeda. Akademisi lainnya menyimpulkan bahwa kalangan Kristen awal
memandang aborsi sebagai dosa pada setiap tahapan kehamilan; meski
terdapat perbedaan pendapat mengenai jenis dosanya dan seberapa serius
dosa tersebut, tetapi bobot minimal keseriusan atau beratnya sama dengan
amoralitas seksual. Dikatakan bahwa beberapa orang Kristen awal
meyakini kalau embrio belum memiliki jiwa pada saat konsepsi atau
pembuahan, dan karenanya ketika itu terdapat perbedaan pendapat
mengenai apakah aborsi pada tahap awal kehamilan merupakan
pembunuhan atau secara etika setara dengan pembunuhan
Beberapa konsili awal Gereja menghukum wanita pelaku aborsi yang
juga melakukan kejahatan seksual lainnya, dan para pembuat obat
abortifasien, tetapi, sebagaimana posisi para Bapa Gereja awal
seperti Basilius Agung, tidak membedakan antara janin yang "berbentuk"
dan "belum berbentuk". Gregorius dari Nyssa dan Maximus sang
Pengaku Iman berkeyakinan bahwa kehidupan manusia telah dimulai
sejak saat pembuahan,[19] sementara Agustinus dari Hippo meyakini
konsep Aristoteles tentang pemerolehan jiwa yang terjadi dalam kurun
waktu tertentu setelah pembuahan, yang setelah titik tersebut aborsi harus
dipandang sebagai pembunuhan,[20] meski tetap mengutuk aborsi pada
tahapan apapun sejak pembuahan.[21] Thomas Aquinas mengulangi
kembali pandangan Aristoteles tentang tahapan perkembangan jiwa:
vegetatif, sensitif/animalia, dan rasional. Ini dikatakan menjadi posisi
Gereja Katolik sampai tahun 1869, ketika ekskomunikasi otomatis tidak
lagi terbatas hanya pada tindakan aborsi janin berbentuk, suatu perubahan
yang diinterpretasikan sebagai pernyataan implisit bahwa pembuahan
adalah momen pemerolehan jiwa.[15] Kebanyakan aturan penitensial awal
mengenakan silih yang setara atas tindakan aborsi fase-awal maupun
fase-akhir, tetapi penitensi-penitensi setelah itu pada Abad Pertengahan
biasanya membedakan keduanya, memberlakukan silih yang lebih berat
atas tindakan aborsi fase-akhir dan silih yang lebih ringan diberlakukan
atas dosa aborsi "sebelum [fetus] memiliki hidup"
Denominasi Kristen masa kini memiliki beragam posisi, pemikiran, dan
ajaran mengenai aborsi, terutama dalam keadaan-keadaan khusus. Gereja
Katolik, Gereja Ortodoks Timur,[27][28] Ortodoksi Oriental, dan
kebanyakan Protestan Injili menentang aborsi yang disengaja sebagai
perbuatan tak bermoral, meski juga mengizinkan apa yang terkadang
disebut aborsi tidak langsung, yaitu tindakan yang tidak menghendaki
kematian janin sebagai suatu tujuan ataupun sarana tetapi tindakan itu
mengakibatkan kematian janin sebagai efek samping Beberapa
denominasi Protestan garis utama seperti Gereja Metodis, Gereja Kristus
Bersatu, dan Gereja Evangelis Lutheran di Amerika lebih bersikap liberal
dalam hal aborsi. Secara lebih umum, sejumlah denominasi Kristen dapat
dipandang sebagai pro-kehidupan sementara yang lainnya mungkin
dipandang sebagai pro-pilihan. Selain itu, dalam beberapa denominasi,
terdapat kelompok minoritas yang tidak setuju dengan sikap denominasi
mereka mengenai aborsi

3
DAFTAR PUSTAKA
Suryono Ekotama dkk, 2001, Abortus provocatus bagi korban perkosaan, Andi Offset
Yogyakarta, hlm 34-35. 2 http://jheelicious.blogspot.co.id/, diakses pada tanggal 08 april
2016 pada jam 22:15.

Charisdiono.M. Achadiat, 2007, Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran, Buku Kedokteran,
Jakarta, hlm. 12.

Wiwik Afifah, 2013, Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Perkosaan Yang
Melakukan Aborsi, Jurnal Ilmu Hukum, Vol-9/ No-18/febuari/2013, hlm 95.

1 Jurnal Hukum Justissica, 2010 , vol.6, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah


Surakarta, hal. 60 2 Sudaryono dan Natangsa Surbakti, 2005, Buku Pegangan Kuliah Hukum
Pidana, Surakarta : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal. 21

3 Rien K.Kartasapoetra, 1988, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Jakarta: Bina Aksara, hal. 49
4 Lihat konsiderans Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

5 Sulistyowati Irianto, 2008, Perempuan dan Hukum (Menuju Hukum yang Berspekstif
Kesetaraan dan Keadilan), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 521-522
4

Anda mungkin juga menyukai