Elisabet Pangabean
Elisabet Pangabean
KELAS : C3 AKUNTANSI
NIM : 20061104152
NO.URUT : 51
Sam Ratulangi lahir pada tanggal 5 November 1890 di Tondano, Minahasa yang pada saat
itu merupakan bagian dari Hindia Belanda. Ia adalah putra dari Jozias Ratulangi dan
Augustina Gerungan. Jozias adalah seorang guru di Hoofden School (sekolah menengah
untuk anak-anak dari kepala-kepala desa) di Tondano. Ia menerima pelatihan guru
di Haarlem, Belanda sekitar tahun 1880. Augustina adalah putri dari Jacob Gerungan, Kepala
Distrik (Mayoor ) Tondano-Touliang.
Pada tahun 1911, Ratulangi kembali ke Minahasa, karena ibunya sakit parah. Ibunya
meninggal pada tanggal 19 November 1911. Ayahnya sudah meninggal waktu ia berada di
Jawa. Setelah kematian ibu mereka, Ratulangi dan kedua saudara perempuannya membagi
warisan orang tua mereka. Ratulangi berencana menggunakan uang yang dia terima untuk
membiayai pendidikannya di Eropa. Dia tiba di Amsterdam pada tahun 1912 dan
melanjutkan studinya yang dimulainya di Jawa, tetapi tidak selesai karena sakit ibunya. Pada
tahun 1913, ia menerima sertifikat untuk mengajar matematika untuk tingkat sekolah
menengah (Middelbare Acte Wiskunde en Paedagogiek).
Ratulangi melanjutkan studinya di universitas di Amsterdam selama dua tahun lagi. Namun,
ia tidak dapat menyelesaikan studinya, karena ia tidak diperbolehkan mengikuti ujian. Aturan
dari universitas mengharuskan ia memiliki sertifikat tingkat SMA. Sertifikat tersebut tidak
dimiliki Ratulangi, karena ia tidak pernah menyelesaikan studinya di Hogere
Burgerschool (HBS) atau Algemene Middelbare School (AMS) Atas saran Mr. Abendanon,
seorang Belanda yang bersimpati kepada orang-orang dari Indonesia (yang disebut Hindia
pada waktu itu), Ratulangi mendaftarkan diri dan diterima di Universitas Zurich di Swiss.
[10] Pada tahun 1919, ia memperoleh gelar Doktor der Natur-Philosophie (Dr. Phil.) untuk Ilmu
Pasti dan Ilmu Alam dari universitas tersebut.
Aktivisme nasional
Selama berada di Amsterdam, Ratulangi sering bertemu dengan Sosro
Kartono (saudara RA Kartini) dan tiga pendiri National Indische Partij, Ernest Douwes
Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat. Ratulangi juga aktif
dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging). Dia terpilih sebagai
ketua Perhimpunan Indonesia pada tahun 1914. Pada masa kepemimpinannya,
Ratulangi mengundang pembicara-pembicara yang bersimpati pada perjuangan
Indonesia, seperti Conrad Theodore van Deventer dan Jacques Henrij Abendanon. Di
Swiss, ia aktif di Asosiasi Mahasiswa Asia (Associations d'étudiants asiatiques) di mana ia
bertemu Jawaharlal Nehru dari India.
Ratulangi juga aktif dalam menulis artikel-artikel. Dalam satu artikel berjudul "Sarekat
Islam" yang diterbitkan di Onze Kolonien (1913), Ratulangi menulis tentang
pertumbuhan koperasi pedagang lokal Sarekat Islam dan juga memuji gerakan Boedi
Oetomo di Indonesia. Menjelang akhir artikel tersebut, Ratulangi menulis:
Sejarah tidak memiliki catatan tentang bangsa yang dijajah selamanya. Diharapkan
bahwa pemisahan yang tak terelakkan (Hindia dan Belanda) akan berlangsung secara
damai, yang seharusnya akan memungkinkan interaksi yang baik dari unsur-unsur
budaya antara Hindia dan Belanda, yang telah terjalin selama berabad-abad dalam
sejarah, bisa dilanjutkan.
Anggota Volksraad
Ratulangi diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1927
untuk mewakili rakyat di Minahasa. Ia terus mengusik hak-hak rakyat dan
mendukung nasionalisme Indonesia dengan menjadi anggota Fraksi Kebangsaan
yang dimulai oleh Mohammad Husni Thamrin. Dia adalah salah satu sponsor dari Petisi
Soetardjo yang menyatakan keinginan untuk sebuah negara merdeka melalui
reformasi bertahap dalam waktu sepuluh tahun. Petisi ini melewati Volksraad, tetapi
tidak diterima oleh pemerintah kolonial. Tanggapan terhadap petisi inilah yang
memprakarsai pembentukan GAPI (yang telah dijelaskan sebelumnya). [24]Ratulangi
tidak ragu untuk mengkritik pemerintah kolonial dan akhirnya dianggap sebagai
risiko bagi mereka. Dia terus melayani di Volksraad sampai 1937, ketika dia
ditangkap karena pandangan politiknya. Dia dipenjarakan selama beberapa bulan
di Sukamiskin di Bandung.
Pada tahun 1932, Ratulangi adalah salah satu pendiri Persatuan Cendekiwan
Indonesia (Vereniging van Indonesische Academici). Ia juga termasuk dalam kelompok
pemimpin gereja dan nasionalis (termasuk di antaranya BW Lapian dan AA Maramis)
yang menginginkan sebuah denominasi gereja yang bebas dan terpisah dari
lembaga gereja resmi Hindia Belanda yang disebut Protestantsche Kerk di
Nederlandsch-Indie atau Indische Kerk. Pada bulan Maret 1933, Kerapatan Gereja
Protestan Minahasa (KGPM) didirikan.[27]
Pada bulan Juni 1937, buku Ratulangi "Indonesia in de Pacific" diterbitkan. [28] Buku
itu dianggap visioner dalam isinya, di mana Sam Ratulangi memperingatkan
terhadap militerisasi Jepang dan meramalkan kemungkinan bahwa Jepang mungkin
menyerang kepulauan Indonesia karena sumber daya alamnya yang tidak dimiliki
Jepang. Dia menggambarkan peran utama Indonesia dan negara-negara lain di Asia
Tenggara di sekitar Lingkar Pasifik dapat bermain di mana Samudra Pasifik bisa
menyamai pentingnya Samudra Atlantik.
Setelah dibebaskan dari penjara pada tahun 1938, Ratulangi menjadi editor Nationale
Commentaren, sebuah majalah berita berbahasa Belanda. Ia menggunakan majalah
ini untuk menulis pendapat-pendapat yang menentang tindakan tidak adil
pemerintah kolonial dan juga untuk membuat sesama orang Indonesia sadar akan
keadaan pada saat itu. Pelanggan majalah itu termasuk kantor Perdana Menteri
Belanda, Kementerian Kolonial Belanda, dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Pendudukan Jepang
Setelah Belanda menyerah kepada Jepang, pada 20 Maret 1942, pihak Jepang
melarang segala jenis kegiatan politik di Indonesia. Karena semua organisasi politik
dibubarkan, Ratulangi berpartisipasi dalam upaya bantuan keluarga tentara kolonial
Belanda (KNIL). Pada tahun 1943, Ratulangi ditugaskan sebagai penasihat untuk
pemerintah militer pendudukan. Pada tahun 1944, ia dipindahkan ke Sulawesi
Selatan untuk menjadi penasihat pemerintah militer di Makassar, yang termasuk
wilayah timur yang dikendalikan oleh Angkatan Laut Jepang. Pada bulan Juni 1945,
Ratulangi mendirikan sebuah organisasi bernama Sumber Darah Rakyat (SUDARA). Ia
menggunakan organisasi ini untuk membangkitkan sentimen nasionalis di Sulawesi
dalam mengantisipasi kemungkinan kemerdekaan dalam waktu dekat.
Gubernur Sulawesi
Pengasingan di Serui
Ratulangi diasingkan ke Serui bersama enam stafnya dan keluarga mereka: Josef
Latumahina, Lanto Daeng Pasewang, Willem Sumampouw Tanod 'Wim' Pondaag,
Suwarno, IP Lumban Tobing, dan Intje Saleh Daeng Tompo. Di Serui, mereka
berinteraksi dengan masyarakat setempat dengan mendirikan sekolah lokal dan
organisasi sosial untuk membantu para wanita dalam komunitas. Secara politik,
Ratulangi terlibat dalam pembentukan Partai Kemerdekaan Irian Indonesia yang
dipimpin oleh Silas Papare dengan Ratulangi sebagai penasihat.
Bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Republik Indonesia tidak hanya mengenai
kepentingan lahir dan batin bagi bangsa Indonesia, yang tergabung dalam Republik
Indonesia, akan tetapi juga meliputi kemerdekaan dan kehormatan bangsa Indonesia
seluruhnya, serta pengakuan hak dasar rakyat itu untuk hidup bebas dan merdeka atas
bumi, bagian dari dunia ini yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada
mereka.
Pada waktu Agresi Militer Belanda II, Yogyakarta dikuasai Belanda dan para pemimpin
Indonesia termasuk Soekarno dan Hatta ditangkap dan diasingkan ke Bangka.
Ratulangi ditangkap oleh Belanda pada tanggal 25 Desember 1948. Dia dipindahkan
ke Jakarta pada tanggal 12 Januari 1949 untuk kemudian dipindahkan ke Bangka.
Namun, karena masalah kesehatannya, ia diizinkan tinggal di Jakarta sebagai tahanan
rumah. Ratulangi meninggal pada tanggal 30 Juni 1949. Ratulangi dimakamkan
sementara di Tanah Abang. Pada tanggal 23 Juli 1949, jenazahnya diangkut ke
Manado dengan kapal KPM Swartenhondt. Kapal itu sampai di Manado pada tanggal
1 Agustus 1949. Pada hari berikutnya, jenazah Ratulangi dibawah dan dimakamkan di
kampung halamannya di Tondano.
Ratulangi menikah dua kali. Ia menikah dengan Emilie Suzanne Houtman dan
memiliki dua anak, Corneille Jose Albert 'Odie' Ratulangi dan Emilia Augustina 'Zus'
Ratulangi. Ratulangi dan Houtman bercerai pada tahun 1926. Ratulangi menikah
dengan Maria Catharina Josephine 'Tjen' Tambajong pada tahun 1928. Mereka
memiliki tiga anak, Milia Maria Matulanda 'Milly' Ratulangi, Everdina Augustina 'Lani'
Ratulangi, dan Wularingan Manampira 'Uki' Ratulangi.
Kedua saudara perempuan Ratulangi, Wulan Kayes Rachel Wilhelmina dan Wulan
Rachel Wilhelmina Maria, mencapai prestasi tinggi. Wulan Kayes adalah wanita
Indonesia pertama yang lulus ujian klein-ambtenaars untuk pekerjaan pemerintah
tingkat rendah pada tahun 1898. Nilai ujiannya lebih tinggi daripada laki-laki yang
mengikuti ujian yang sama. Wulan Rachel adalah wanita Indonesia pertama yang
menerima sertifikat dasar hulpacte untuk pendidikan dasar di Belanda pada tahun
1912.
Pada bulan Agustus 1961, Ratulangi secara anumerta dianugerahi gelar Pahlawan
Nasional Indonesia oleh Soekarno.[58] Ia juga menerima secara anumerta Bintang
Gerilya pada tahun 1958, Bintang Mahaputra Adipradana pada tahun 1960, dan Bintang
Satyalancana pada tahun 1961.[59]
Ratulangi sangat terkenal di Minahasa. Jalan-jalan besar atau utama di semua kota di
Minahasa (Bitung, Manado, Tomohon, dan Tondano) diberi nama Jalan Sam Ratulangi.
Namanya juga dipakai untuk bandar udara internasional Manado seperti
halnya universitas negeri di Manado. Patung-patung tentang Ratulangi terdapat di
persimpangan antara Jalan Sam Ratulangi dan Jalan Bethesda di Manado, di kampus
Universitas Sam Ratulangi, di samping makam Ratulangi di Tondano, di Jakarta dan
Serui, dan bahkan di sebuah taman kota di Davao[60] (Filipina) yang terletak di utara
pulau Sulawesi. Pada tahun 2016, Kementerian Keuangan mengeluarkan uang baru seri
2016 di mana pecahan Rp. 20.000 menggambarkan Ratulangi di bagian depan. [61]