Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak istilah yang dipakai dalam menyatakan suatu trauma atau cedera pada

kepala di Indonesia. Beberapa rumah sakit ada yang memakai istilah cidera

kepala dan cedera otak sebgai suatu diagnosis medis untuk suatu trauma pada

kepala, walaupun secara harafiah kedua istiah tersebut sama karena memakai

gradasi respons Glasgow Coma Scale (GCS) sebagai tingkat gangguan yang

terjadi akibat suatu cedera di kepala. Dalam melaksanakan asuhan

keperawatan pada klien dengan gangguan akibat trauma yang mencederai

kepala, maka perawat perlu mengenal Neuroanatomi, Neurofisiologi serta

Neuropatofisiologi dengan baik agar kelainan dari masalah yang dikeluhkan

atau kelainan dari pengkajian fisik yang didapat bisa sekomprehensif

mungkin ditanggapi perawat yang melakukan asuhan pada klien dengan

cedera kepala.

Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Secara

anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang

dan tentorium ( helm ) yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak

akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu sekali

neuron rusak, tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan

malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat

langsung dari cedera dan banyak lainnya timbul sekunder dari cedera.

1
Efek-efek ini harus dihindari dan ditemukan secepatnya oleh perawat untuk

menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan

fisik, bahkan kematian. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologis

yang serius diantara penyakit neurologis, dan merupakan proporsi epidemik

sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan 2/3 korban dari kasus ini

berusia dibawah 30 tahun, dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita.

Lebih dari setengan dari semua klien cedera kepala berat mempunyai

signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya syok hipovolemik

pada klien cedera kepala biasanya karena cedera bagian tubuh lainnya. Resiko

utama klien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat

pendarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan

menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Pada klien yang tidak dapat

dilakukan pemeriksaan misalnya oleh karena afasia, maka reksi verbal diberi

tanda “X” , atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat

dinilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai

“X” , sedangkan jika klien dilakukan trakeostomi atau dilakukan intubasi

maka reaksi verbal diberi nilai “T”. Penyebab dari cedera kepala adalah

adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh benda / serpihan tulang yang

menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke

otak dan efek percepatan dan perlambatan ( akselerasi-deselerasi ) pada otak.

2
B. Tujuan

1.  Tujuan Umum

Mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif pada klien

dengan Cedera Kepala.

2.  Tujuan Khusus

a.  Dapat melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan Cedera

Kepala dari aspek bio, psikososial dan spiritual.

b.  Dapat merumuskan diagnosis keperawatan dan menentukan prioritas

masalah pada klien dengan Cedera Kepala.

c.   Merencanakan tindakan keperawatan berdasarkan diagnosis keperawatan

serta dapat melaksanakan rencana tindakan pada klien dengan Cedera

Kepala.

d.  Dapat mengevaluasi hasil akhir terhadap tindakan keperawatan yang telah

diberikan pada klien dengan Cedera Kepala.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A.  Definisi Cedera Kepala


Cidera kepala (Head Injury) adalah jejas atau trauma yang terjadi pada kepala

yang dikarenakan suatu sebab secara mekanik maupun non-mekanik. Cedera

kepala adalah penyakit neurologis yang paling sering terjadi diantara penyakit

neurologis lainnya yang biasa disebabkan oleh kecelakaan, meliputi: otak,

tengkorak ataupun kulit kepala saja. (Brunner & Suddart, 2003).

Jadi, cedera kepala (head Injury) atau trauma atau jejas yang terjadi pada

kepala bisa oleh mekanik ataupun non-mekanik yang meliputi kulit kepala,

otak ataupun tengkorak saja dan merupakan penyakit neurologis yang paling

sering terjadi, biasanya dikarenakan oleh kecelakaan (lalu lintas). atau Ada

berbagai klasifikasi yang di pakai dalam penentuan derajat kepala. The

Traumatic Coma Data Bank mendefinisakan berdasarkan skor Skala Koma

Glasgow (Lewis, 2015).

B. Klasifikasi
 Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)

 Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)

 Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)

 Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang

 Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

 Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala

 Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.

4
 Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)

 Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)

 Konkusi, Amnesia pasca trauma, Muntah

Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun,

hemotimpanum, otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).

 Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)

  Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)

  Penurunan derajat kesadaran secara progresif

  Tanda neurologis fokal

  Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.

C.  Etiologi

Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :

1.    Benda Tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat.

2.    Benda Tumpul, dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika

energi/ kekuatan diteruskan kepada otak.

Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada :

1.    Lokasi, Kekuatan, Fraktur infeksi/ kompresi

2.    Rotasi, Delarasi dan deselarasi

Mekanisme cedera kepala:

1.   Akselerasi, ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang

diam. Contoh : akibat pukulan lemparan.

5
2.   Deselerasi. Contoh : kepala membentur aspal.

3.   Deformitas dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan integritas

bagan tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.

D.  Patofisiologi

Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis

bergantung pada :

1.    Besar dan kekuatan benturan

2.    Arah dan tempat benturan

3.    Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan

Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka dapat

mengakibatkan lesi otak berupa :

1.   Lesi bentur (Coup)

2.   Lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx

dengan otak, peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain = lesi

media)

3.    Lesi kontra (counter coup)

Lesi benturan otak menimbulkan beberapa kejadian berupa :

1.   Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok depolarisasi pada

sistem ARAS (Ascending Reticular Activating System yang bermula dari

brain stem)

2.    Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian

3.    Peninggian tekanan intra kranial ( + edema serebri)

4.    Perdarahan petechiae parenchym ataupun perdarahan besar

6
5.   Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang bisa merupakan

peregangan ataupun sampai robeknya akson di substansia alba yang bisa

meluas secara difus ke hemisfer sampai ke batang otak

6.   Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang meninggi dan

komplikasi sistemik hipotensi, hipoksemia dan asidosis

PATHWAY

Trauma

Metabolisme otak meningkat

Kebutuhan O2 meningkat

Pola nafas tidak Hipoksia Aliran darah ke otak tergangu


efektif

Metabolisme anaerob Peningkatan TIK Nyeri

Dilatasi pembuluh darah Gangguan fungsi otak

Penimbunan asam laktat Disfungsi serebral

Asidosis metabolik
Penurunan Perfusi jaringan
kesadaran serebral tidak efektif

Penumpukan sekret

Bersihan jalan nafas


tidak efektif

7
D.  Manifestasi Klinik

Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama

(Hoffman, dkk, 1996):

1.    Tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus

2.   Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan

berfikir kompleks

3.    Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas

Gambaran klinis secara umum pada trauma kapitis :

1.    Pada kontusio segera terjadi kehilangan kesadaran.

2.    Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal

3.    Respon pupil mungkn lenyap.

4.   Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap seiring dengan peningkatan

TIK.

5.    Dapat timbul mual-muntah akibat peningkatan tekanan intrakranial.

6.   Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan

motorik dapat timbul segera atau secara lambat.

E.  Pemeriksaan Penunjang

1.   CT –Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran

ventrikel pergeseran cairan otak.

2.    MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.

3.   Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti

pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.

4.    EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.

8
5.    Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran

struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen

tulang).

6.   BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan

batang otak..

7.   PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme

pada otak.

8.    Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.

9.   Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh

dalam peningkatan TIK.

10.    GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau

oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.

11.    Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung

jawab terhadap penurunan kesadaran.

12.    Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat

terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

F.   Komplikasi

1.  Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat

sinus frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.

2.  Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama

dini, minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).

3.   Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai

hipofisis meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiupetik.

9
G. Penatalaksaan Medik

Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya

cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik

seperti hipotesis atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak

(Tunner, 2000). Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada

pendertia cedera kepala (Turner, 2000).

Penatalaksanaan umum adalah sebagai berikut :

      Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi.

      Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma.

      Berikan oksigenasi.

      Awasi tekanan darah

      Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neuregenik

      Atasi shock

      Awasi kemungkinan munculnya kejang.

Penatalaksanaan lainnya:

      Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis

sesuai dengan berat ringannya trauma.

     Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi

vasodilatasi.

      Pemberian analgetika

      Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau

glukosa 40 % atau gliserol 10 %

      Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).

10
      Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak

dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin,

aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian

diberikana makanan lunak.

      Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan.

Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan

dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran

rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein

tergantung nilai urea N.

Tindakan terhadap peningktatan TIK:

     Pemantauan TIK dengan ketat, Oksigenisasi adekuat, Pemberian manitol,

Penggunaan steroid, Peningkatan kepala tempat tidur, Bedah neuro.

Tindakan pendukung lain:

     Dukungan ventilasi, Pencegahan kejang, Pemeliharaan cairan, elektrolit dan

keseimbangan nutrisi, Terapi anti konvulsan, Klorpromazin untuk

menenangkan pasien.

      Pemasangan selang nasogastrik.

H.  Pengkajian Keperawatan

Data tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin

diperlukan oleh cedera tambahan pada organ-organ vital.

11
 Aktivitas/ Istirahat

 Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.

 Tanda : Perubahan kesehatan, letargi, Hemiparase, quadrepelgia, Ataksia

cara berjalan tak tegap, Masalah dalam keseimbangan, Cedera (trauma)

ortopedi, Kehilangan tonus otot, otot spastic

 Sirkulasi

 Gejala : Perubahan darah atau normal (hipertensi), Perubahan frekuensi

jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia).

 Integritas Ego

 Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)

 Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung depresi dan

impulsif.

 Eliminasi

 Gejala : Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami gngguan

fungsi.

 Makanan/ cairan

 Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.

 Tanda : Muntah (mungkin proyektil), Gangguan menelan (batuk, air liur

keluar, disfagia).

12
 Neurosensoris

 Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,

vertigo, sinkope, tinitus kehilangan pendengaran, fingking, baal pada

ekstremitas.

 Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, Perubahan status mental,

Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), Wajah tidak simetris,

Genggaman lemah, tidak seimbang, Refleks tendon dalam tidak ada atau

lemah, Apraksia, hemiparese, Quadreplegia.

 Nyeri/ Kenyamanan

 Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya

koma.

 Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri yang

hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.

 Pernapasan

 Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi).

Nafas berbunyi stridor, terdesak, Ronki, mengi positif.

 Keamanan

 Gejala : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan

 Tanda : Fraktur/ dislokasi, Gangguan penglihatan, Gangguan kognitif,

Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum mengalami

paralisis, Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh

13
 Interaksi Sosial
 Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-
ulang.

I.    Diagnosa Keperawatan

1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d akumulasi cairan

2. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan pusat pernapasan di medula oblongata

3. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d hiposksia

J. Intervensi Keperawatan

No TUJUAN INTERVENSI RASIONAL


.
1. Setelah dilakukan 1.  1. Kaji kepatenen jalan napas -  1. Ronki, mengi
asuhan keperawatan 2.  Beri posisi semifowler. menunjukan aktivitas
selama 3 x 24 jam, 3.  Lakukan penghisapan lendir sekret yang dapat
diharapkan klien dapat dengan hati-hati selama 10-15 menimbulkan
mempertahanakan menit. Catat sifat-sifat, warna penggunaan otot-otot
patensi napas dengan dan bau sekret. Lakukan bila asesoris dan
kriteria hasil : tidak ada retak pada tulang meningkatkan kerja
a. - Bunyi napas basal dan robekan dural. pernapasan.
b. vesikuler
b.   - Tidak ada spuntum 4.  2. Berikan posisi semi fowler - 2. Membantu
c.   - Masukan cairan P memaksimalkan
adekuat. ekspansi paru dan
menurunkan upaya
pernapasan.

6. 3. Berikan bronkodilator IV dan -  3. Membantu


aerosol sesuai indikasi. mengencerkan sekret,
meningkatkan
pengeluaran sekret dan
meningkatkan ventilasi
dan membuang sekret
serta relaksasi otot
halus/spsponsne
bronkus.

2. Setelah dilakukan 1 1. Pantau frekuensi, irama dan -  1. Perubahan dapat


asuhan keperawatan kedalaman pernapasan. menandakan awitan
selama 3 x 24 jam, komplikasi pulmo atau
diharapkan klien menandakan luasnya
mempunyai pola keterlibatan otak.
pernapasan yang .
efektif dengan kriteria -  2. Kemampuan mobilisasi
hasil: 2. Tinggikan kepala tempat tidur penting untuk
1. Pola napas nomal sesuai indikasi. pemeliharaaan jalan
(irama teratur, RR = napas

14
16-24 x/menit).
a. 3. Kehilangan reflek batuk
B 2. Tidak ada 3. Anjurkan kllien untuk menandakan perlunya
pernapasan cuping bernapas dalam dan batuk Jalan napas
hidung. efektif. buatan/intubasi.

c.   3. Pergerakan dada - 4. Untuk memudahkan


simetris. 4. Beri terapi O2 tambahan. ekspansi paru dan
menurunkan adanya
d.  4. Nilai GDA normal. kemugkinan lidah jatuh
PH darah = 7,35- menutupi jalan napas.
7,45. 6
PaO2 = 80-100 5. Pantau analisa gas darah, -5. Mencegah atau
mmHg. tekanan oksimetri. menurunkan atelektasis.
PaCO2 = 35-45 -   Memaksimalkan O2 pada
mmHg. darah arteri dan
HCO3- = 22-26 membantu dalam
m.Eq/L mencegah hipoksia.
-   Menentukan kecukupan
pernapasan,
keseimbangan asam basa.

3. Setelah dilakukan 1. 1. Kaji status neurologis yang -  1. Hasil dari pengkajian
asuhan keperawatan 2. berhubungan dengan tanda- dapat diketahui secara
selama 3 x 24 jam, 3. tanda peningkatan TIK, dini adanya tanda-
diharapkan klien 4. terutama GCS. tanda peningkatan TIK
mempunyai perfusi sehingga dapat
jaringan adekuat menentukn arah
dengan kriteria hasil : tindakan selanjutnya 
a.  serta manfaat untuk
1. Tingkat kesadaran menentukan lokasi,
normal perluasan dan
(compos mentis). perkembangan
2. TTV Normal. keruskan SSP.
(TD: 120/80 mmHg,
suhu: 36,5-37,50C, -  
Nadi: 80-100 x/menit, 2. Monitor TTV; TD, denyut 2. Dapat mendeteksi secara
RR: 16-24 x/m) nadi, suhu, minimal setiap dini tanda-anda
jam sampai klien stabil. peningkatan TIK,
misalnya hilangnya
autoregulasidapat
mengikuti kerusakan
vaskularisasi selenral
lokal. Napas yang tidak
teratur dapat
menunjukkan lokasi
adanya gangguan
serebral.

3. Tingggikan posisi kepala 3. Posisi kepala dengan


dengan sudut 15-45o tanpa sudut 15-45o  dari kaki
bantal dan posisi netral. akan meningkatkan
dan memperlancar
aliran balik vena
kepala sehingga
mengurangi kongesti
cerebrum, dan

15
mencegah penekanan
pada saraf medula
spinalis yang
menambah TIK.

4.  4. Monitor suhu dan atur suhu -  4. Deman menandakan


lingkungan sesuai indikasi. adanya gangguan
Batasi  pemakaian selimut hipotalamus: peningkatan
dan kompres bila de mam. kebutuhan metabolik akan
5.  meningkatkan TIK.

5. Monitor asupan dan keluaran 5. Mencegah kelibahan


setiap delapan jam  sekali. cairan yang dapat
menambah edema
serebri sehingga terjadi
peningkatan TIK.\

6.  6. Berikan O2 tambahan sesuai -   6. Mengurangi


indikasi. hipokremia yang dapat
meningkatkan
vasoditoksi cerebri,
volume darah dan TIK.
\
7. Berikan obat-obatan anti 7. Manitol/gliserol
-edema seperti manitol, merupakan  cairan
gliserol dan lasix sesuai hipertonis yang
indikasi. berguna untuk menarik
cairan dari intreseluler
dan ekstraseluler.
Lasix untuk
meningkatkan ekskresi
natrium dan air yang
berguna untuk
mengurangi edema
otak.

16
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN DIAGNOSA MEDIS
CEDERA KEPALA BERAT DI RUANG ISNTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT H. ABDUL MOELOEK

A. Pengkajian
A. Identitas Klien
Nama : Tn. S
Usia : 44 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Masuk RS : 02 Oktober 2017
No MR : 00.52.16.95
Diagnosa Medik : Cedera Kepala Berat

B. Keluhan Utama/Alasan Masuk RS

Klien mengalami penurunan kesadaran.

C. Pengkajian Primer

Airway

Klien tidak sadarkan diri, dilakukan pemasangan OPA, ETT, dan klien

mengalami cedera cervikal c1 dan c2 dan terpasang neck collar.

Breathing

Klien tampak sesak, tampak penggunaan otot bantu pernafasan dengan

frekuensi 34 x / menit, irama teratur dengan kedalaman dangkal, tidak ada

bunyi nafas tambahan.

17
Sirkulasi

Klien mengalami koma, sirkulasi perifer an anemis, nadi 56 x / menit, irama

teratur, denyut nadi lemah, tekanan darah 100/80 mmHg, ekstremitas

hangat, warna kulit kemerahan, pengisian kapiler < 3 detik, terdapat edema

pada mata dan pipi sebelah kiri.

Disability

Pemeriksaan neurologis singkat

- Alert/Perhatian : Klien tidak sadar

- Voice respon terhadap suara : Tidak berespon

- Pain respon terhadap nyeri : Tidak berespon

- Unresponsive / tidak berespon : Klien tidak sadar

- Reaksi pupil : Midriasis

E. Pemeriksaan Sekunder

- Riwayat Kesehatan Sekarang

Klien masuk rumah sakit pada tanggal 02 oktober 2017 pada pukul 12.08

WIB. Pasien rujukan dari Rumah Sakit Cokrodipo, klien mengalami

kecelakaan lalu lintas. Klien tidak sadarkan diri dengan GCS = 3, E 1V1M1,

terdapat racoon eyes, fraktur cervikal c1 dan c2, fraktur os radius ulna,

dilakukan pemasangan bidai, lalu dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital

TD : 100/80 mmHg, N : 56 x / menit, suhu : 37,2 o C , pernafasan 34 x /

menit, terpasang OPA, ETT, infus RL, dower kateter, terpasang ventilator

bipap dengan O2: 80, Pinp: 17, Ti: 1, RR: 34x/menit, Peep: 5, Ap Sup: 12

18
- Riwayat Kesehatan Lalu

Istri klien mengatakan bahwa suaminya tidak mempunyai riwayat penyakit

berat. Istri klien mengatakan bahwa suaminya baru kali ini mengalami

kecelakaan. istri klien mengatakan bahwa klien tidak pernah mempunyai

rowayat operasi.

- Riwayat Kesehatan Keluarga

Istri klien mengatakan di dalam anggota keluarganya tidak ada yang

mempunyai riwayat penyakit menurun seperti Hipertensi, Diabetes

Mellitus, maupun Asma.

Anamnesa Singkat ( AMPLE)

Alergi : Klien tidak ada alergi.

Medikasi : Klien tidak ada alergi obat

Pain / Nyeri : Klien tidak sadar GCS : E1V1M1 = 3

Terakhir kali makan : Pada pukul 08.15 sebelum klien berangkat kerja.

Event of injury : Penyebab injury kecelakaan lalu lintas.

Pemeriksaan Head to Toe

- Kepala

Wajah : Tidak simetris terdapat edema pada palpebra dan pipi sisnistra

Rambut : Hitam, tekstur tengkorak / kulit kepala : Fraktur basis cranii regio

temporal

Sensori : Klien tidak sadar

- Mata : Konjungtiva an anemis, sklera an ikterik, pupil : isokor

19
- Telinga : Simetris, serumen berupa darah.

- Hidung : Perdarahan dari hidung

- Mulut : Mukosa bibir kering

Leher

Terdapat cedera cervikal c1 dan c2, klien terpasang neck collar

Dada

I : Simetris, terdapat penggunaan otot bantu pernafasan

P : Tidak ada massa, tidak ada nyeri tekan

P : Suara paru sonor

A : Suara nafas snoring

Abdomen

I : Tidak ada asites

P : Tidak ada benjolan/massa, tidak ada nyeri tekan

P : Suara Timpani

A : Bising usus 12 x / menit

Ekstremitas / Muskuloskeletal

Rentang gerak tidak aktif, kekuatan otot tidak baik, terdapat fraktur os

radius ulna dextra dan terdapat edema dibagian fraktur.

Kulit / Integumen

Turgor kulit elastis < 1 detik.

Mukosa kering

20
Kulit : Terdapat lesi pada wajah yaitu di palpebra dan pipi sinistra

suhu : 37, 2oC

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan Laboratorium 02 Oktober 2017
Pemeriksaan Result Satuan Nilai Referensi
Gula darah sewaktu 147 Mg/dl <140
Creatinine 1,25 Mg/dl 0,72-1,18
CT 9 Menit 9-15
BT 2 Menit 1-3
SGOT 51 U/L <37
SGPT 36 U/L <41
Ureum 25 Mg/dl 13-43
Calsium 6,2 Mg/dl 8,6-10,0
Hemoglobin 13,9 g/dl 14,0-18,0 p: 12,0-li
Leukosit 15.000 /µl 4,800-10.800
Eritrosit 4,3 Juta/µl 4,7-6,1 op, 4,2-5,4
Hemaktokrit 38 % L42-52 op : 37-47

- Pemeriksaan CT Scan Tgl 2 Oktober 2017

Hasil : - Tampak edema pada subaraknoit pada ganglia basalis kiri

- Tampak fraktur basis cranii regio temporal

- Pemeriksaan Rontgen

Hasil : - Tampak fraktur cervikal c1 dan c2

G. PENATALAKSANAAN MEDIS

21
- Manitol 200 cc IFVD

- Kalnex 3 x 1 Amp IV

- Ceftriaxone 2 x 1 gr IV

- Ranitidine 2 x 1 Amp IV

- Ringer Laktat IFVD

- Anti tetanus serum 1.500 I.U IM

- Ketorolac 3 x 1 Amp IV

B. ANALISA DATA
NO MASALAH ETIOLOGI
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif dibuktikan Sputum berlebih
dengan batuk tidak efektif, tidak mampu batuk,
sputum berlebih, suara nafas ronkhi kering
2. Pola nafas tidak efektif dibuktikan dengan Kerusakan pusat
pernasafan dimedia
oblongata / cedera
jaringan otak.
3 Resiko Aspirasi dibuktikan dengan klien tidak Penurunan tingkat
sadar GCS : 3 E1V1M1, klien terpasang OPA kesadaran

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
No. Tanggal / Jam Diagnosa Sesuai Prioritas
1. 02-10-2017 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
13.15 berhubungan dengan sputum berlebih
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan
dengan kerusakan pusat pernafasan di
medula oblongata/ cedera jaringan
otak.
3. Resiko aspirasi berhubungan dengan
penurunan kesadaran

22
D. RENCANA KEPERAWATAN
No Dx. Kep Tujuan (SMART) Inervensi Rasional
1. Bersihan jalan Setelah dilakukan 1. Buka jalan 1. Membantu buka
nafas tidak efektif asuhan keperawatan nafas dengan jalan nafas
berhubungan 3 x 24 jam lakukan
dengan sputum diharapkan masalah pemasangan
berlebih bersihan jalan nafas OPA
tidak efektif dapat
teratasi dengan 2. Lakukan 2. Membersihkan
Kriteria hasil : perawatan OPA sekret yang
1. Tidak ada suara menyumbat jalan
nafas nafas nafas
tambahan
3. Observasi suara
2. Tidak ada 3. Bunyi nafas
nafas, pola nafas,
sianosis ronkhi
kemampuan
3. Tidak ada menunjukkan
mengeluarkan
penggunaan aliran udara
sekret, batuk RR,
otot bantu melalui jalan
dan tidak adanya
pernapasan nafas yang
dispnea
dipenuhi oleh
sekret
2. Pola nafas tidak Setelah dilakukan 1. Kaji status 1. Melihat status
efektif asuhan keperawatan pernafasan klien pernafasan apakah
berhubungan 3 x 24 jan 2. Kaji penyebab ada peningkatan
dengan kerusakan diharapkan klien ketidakefektifan atau tidak
pusat pernafasan menunjukan pola pola nafas 2. Mengetahui apa
dimedula nafas efektif dengan 3. Monitor penyebab pola
oblongata atau Kriteria hasil : perubahan tingkat nafas tidak efektif
cedera jaringan 1. Pernafasan 16- kesadarn 3. Mengetahui
otak 24 x / menit 4. Berikan oksigen adakah peningkatan
2. Pernafasan sesuai anjuran kesadaran
vesikuler medik 4. Membantu agar
3. Status O2 5. Kolaborasi pola nafas efektif
adekuat dengan dokter 5. Untuk memberikan
untuk terapi dan intervensi
tindakan selanjutnya
pemeriksaan 6. Agar jalan nafas
6. Melakukan efektif
suction

23
3. Resiko Aspirasi Setelah dilakukan 1. Monitor tingkat 1. Mengetahui
berhubungan asuhan keperawatan kesadaran penurunan dan
dengan penurunan selama 3 x 24 jam kenaikan kesadaran
kesadaran diharapkan masalah klien
resiko aspirasi
dapat teratasi 2. Pertahankan jalan 2. Mencegah
dengan kriteria nafas terjadinya apnea
hasil :
1. Irama nafas 3. Lakukan suction 3. Membersihkan
teratur jalan nafas dari
2. RR : 12 -24 x / sumbatan
menit
3. Ekspansi dada 4. Cek posisi NGT 4. Mencegah
Simetris sebelum terjadinya aspirasi
4. Tidak ada memberikan
retraksi dinding makanan dan cek
dada residu
5. Tidak ada
sianosis

E. IMPLEMENTASI
No Tanggal Implementasi Paraf
1 02/10/2017 1. Mengobservasi tanda-tanda vital
12.15 TD : 100/80 mmHg
N : 56 x / menit

24
RR : 34 x / menit
S : 37,2 C
12.20 2. Monitor kesadaran klien
Respon : -
Hasil : GCS : E1V1M1
1. Kaji status pernafasan
Respon : -
Hasil : Klien tampak sesak nafas
dengan frekuensi 34x/menit
12.22 2. Kaji penyebab ketidakefektifan pola
nafas
Respon : -
Hasil : Terdapat fraktur servikal c1 dan
c2
12.30 3. berikan O2 sesuai intruksi
Respon : -
Hasil : Terpasang OPA, ETT dan
terpasang ventilator mode Bipap dengan
O2 80, Pinp : 17, TI : 1,0 RR : 34 x /
menit, peep : 5, AP SUP : 12
12.45 4. Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian obat-obatan sesuai indikasi
Respon : -
Hasil : IVFD RL 20 tpm
Infus Manitol 200 ml / 8 jam
2. 03/10/2017 1. Monitor tanda-tanda vital
14.10 Respon : -
Hasil : Tekanan darah : 90/60 mmhg
Nadi : 44 x/menit
Suhu : 35,2 c
Pernafasan : 28 x / menit
14.15 2. Monitor Kesadaran klien
Respon : -
Hasil : GCS= 3 E1V1M1
15.10 3. Membantu personal hygiene klien

25
(membersihkan /mengelap badan klien
dengan air hangat
Respon : -
Hasil : Klien tampak bersih dan badan
tidak lengket
16.05 4. Melakukan Suction
Respon : -
Hasil : Darah yang ada pada mulut
sudah di bersihkan.

BAB IV
ANALISIS JURNAL

A. Judul Penelitian

Pengaruh stimulasi sensori terhadap nilai Glasglow Coma Scale pada pasien

Cedera Kepala di Ruang Neurosurgical Critical Care Unit Unit RSUP DR.

Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015.

26
B. Identitas Peneliti

Vlentina B. M. Lumbantobing sebagai penulis pertama, dan Anastasia Anna

sebagai penulis kedua dari Universitas Padjajaran.

Email valentina@unpad.ac.id , ninatobink@gmail.com

C. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Quasi Experimental Design. Populasi pada

penelitian ini adalah pasien cedera kepala dengan nilai GCS 3-13 yang

dirawat di Ruang Neurosurgical Critical Care Unit (NCCU) RSUP dr. Hasan

Sadikin Bandung. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 30 responden

yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok kontrol (15 responden)

dan perlakuan (15 responden). Pengambilan sampel dilakukan dengan

menggunakan non probability sampling jenis consecutive sampling.

D. Hasil dan Pembahasan

Uji independent T-Test yang dilakukan menunjukan P < 0.05 (P value =

0,041), ini menunjukan Ho ditolak dan Ha diterima, dengan demikian

terdapat pengaruh stimulasi sensori terhadap nilai GCS pada pasien dengan

cedera kepala. Tingginya peningkatan rerata nilai GCS pada kelompok

perlakuan, selain dari efek neuroprotektif terapi standar, juga didukung oleh

efek neuroprotektif stimulasi sensori sendiri. Stimulasi yang diberikan pada

pasien berupa situlasi pada pendengaran, sensasi pada kulit, penciuman dan

pengecapan yang diberikan secara simultan selama tiga hari menjadi faktor

yang dapat meningkatkan nilai GCS pada pasien. Pengeluaran hormon

kortisol pada cedera kepala yang memicu vasospasme kapiler serebral

27
merupakan petunjuk adanya kerusakan pada sel-sel otak. Selain kortisol,

rangsangan terhadap sistem saraf simpatis juga memicu kelenjar adrenal

mengeluarkan epinefrin dan produksi glukagon oleh pankreas. Pengeluaran

kedua hormon ini memicu peningkatan katabolisme otak yang pada Penelitian

Pang.J, dkk (2003) stimulasi sensori dapat menghambat terajadinya hiperemia

dan pengeluaran glutamat, sehingga dapat mencegah kerusakan sel-sel saraf

akibat iskemi.

Dengan demikian, kontribusi stimulasi sensori dalam meningkatkan nilai

GCS pasien cedera kepala, selain dengan membantu mengoptimalkan efek

terapeutik dari terapi standar dengan mengatasi efek samping yang

ditimbulkannya, juga melalui beberapa mekanisme neuroprotektif dari

stimulasi sensori. Stimulasi sensori merupakan bagian dari terapi

komplementer yang terbukti memberikan keuntungan dalam proses

pemulihan pasien cedera kepala. Selain memberikan rangsangan pada sistem

RAS dan area kortek otak, ia juga memiliki berbagai mekanisme

neuroprotektif yang mencegah kerusakan sel otak akibat iskemi. Oleh karena

itu stimulasi sensori dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif intervensi

keperawatan dalam upaya meningkatkan proses pemulihan pasien cedera

kepala yang ditandai dengan kenaikan nilai GCS.

E. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan

bahwa Stimulasi sensori dapat mempengaruhi nilai GCS pada pasien cedera

kepala di ruang Neurosurgical Critical Care Unit (NCCU) RSUP dr. Hasan

28
Sadikin Bandung. Manajer pelayanan keperawatan diharapkan dapat

mensosialisasikan stimulasi sensori sebagai salah satu terapi komplementer

dalam meningkatkan nilai GCS pada pasien cedera kepala di ruang NCCU

RSUP. dr. Hasan Sadikin Bandung, yang akan berpengaruh pada kepuasan

pasien dan keluarga, kemungkinan besar dapat menurunkan ALOS dan

pencapaian cost yang efektif dan menjadi pertimbangan dalam membuat

suatu Standard Operating Procedure (SOP) mengenai stimulasi sensori dan

bagi peneliti selanjutnya dapat meneliti dan mengukur keefektifan masing-

masing jenis stimulasi sensori terhadapat nilai GCS yang dapat diukur

melalui potensial aksi yang dihasilkan oleh masing-masing stimulasi tersebut.

Stimulasi sensori diberikan pada kelompok perlakuan dengan melakukan

perangsangan pada indera pendengaran (audiotory), indera penciuman

(olfaktory), indera peraba (taktil) dan indera perasa (gustatory), dengan

menggunakan bahan-bahan yang digunakan pasien sehari-hari, dimana

stimulasi diberikan secara bergantian. Pemberian stimulasi diberikan pada

kondisi pasien sedang tidak dilakukan intervensi medis maupun intervensi

keperawatan lainnya atau setelah aktivitas yang berat. Jarak pemberian

stimulasi satu dengan lainnya diberikan ± 2-3 jam.

F. Aplikasi pada Bidang Keperawatan

Terapi stimulasi sensori dapat digunakan dalam bidang keperawatan sebagai

bentuk aplikasi bidang keperawatan dalam bentuk terapi komplementer untuk

membantu meningkatkan nilai GCS pada klien tidak sadar dengan cedera

kepala. Beberapa penelitian menunjukan bahwa stimulasi sensori mampu

29
memberikan efek neuroprotektif yang mencegah kerusakan sel-sel otak dari

iskemik yang ditimbulkan cedera kepala

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari

fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm

substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin,

2008, hal 270-271)

30
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi

trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari

kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan

perlambatan (ekselerasi-deselarasi) pada otak.

Setelah pembuatan makalah ini selesai diharapkan agar mahasiswa giat

membaca makalah ini, dan mencari ilmu yang lebih banyak diluar dari makalah

ini terkait tentang meteri dalam pembahasan, dan tidak hanya berpatokan

dengan satu sumber ilmu (materi terkait), sehingga dalam tindakan

keperawatan dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan cedera

kepala.

B. Saran

Saran yang disampaikan kepada Mahasiswa Keperawatan adalah :

1. Dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan cedera kepala.

2. Dapat menilai batasan GCS.

3. Lebih teliti dalam memberikan intervensi keperawatan kepada klien dengan

cedera kepala.

4. Dapat memberikan pendidikan kesehatan terhadap keluarga maupun klien,

baik di rumah sakit maupun di rumah

31
DAFTAR PUSTAKA

Alexander (2013). Care of the patient in Surgery. (10 th ed.), St Louis ; Mosby.
P : 855 – 930.
Brunner & Sudart (2003). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Ed.8 Vol 3,
Jakarta : EGC.
Lemone & burke. (2015). Medical-Surgical Nursing ; critical thinking in client
care. California : Addison-Wesley. p : 1720 - 1728

32
Lewis, Heitkemper & Dirkssen (2015). Medical –Surgical Mursing ; Assessment
and management ofg clinical problems. St.louis : Mosby. P : 1720 –
171624 – 1630.
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesi (2016). Definisi dan Indikator
Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: PPNI.

33

Anda mungkin juga menyukai