Sifilis
Sifilis
Yth:
Dipresentasikan pada :
Hari/tanggal :
Jam :
Oleh :
Pembimbing :
BAB I
PENDAHULUAN
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri
1,2
Treponema pallidum. Sifilis juga disebut sebagai “the great imitator” dimana
infeksi ini dapat menyerang semua organ tubuh serta memberikan gambaran klinis
yang menyerupai banyak penyakit. Sifilis dapat ditularkan melalui hubungan
seksual, transfusi darah serta ditularkan dari ibu ke janin.
Pada ibu hamil yang menderita sifilis, bakteri Treponema pallidum tersebut
dapat ditransmisikan dari ibu ke fetus melalui pembuluh darah kapiler plasenta.
Akibatnya, muncul berbagai manifestasi klinis yang berupa Adverse Pregnancy
Outcomes (APOs), terdiri dari stillbirth, kematian dini pada fetus, bayi berat lahir
rendah, prematur, kematian neonatal, infeksi atau penyakit pada bayi baru lahir
(bayi dengan serologi reaktif).3,4
Paradigma lampau menyatakan bahwa transmisi sifilis dari ibu ke anak
akan bermanifestasi sebagai sifilis kongenital yang tidak dapat dihindari. Namun
seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, berbagai tes skrining dan
pengobatan sifilis dilaporkan semakin efektif untuk mencegah transimisi
penyakit.5 Diagnosis dan pencegahan transmisi sifilis dilaporkan layak, murah dan
hemat biaya. Walaupun demikian, sifilis kehamilan tetap dilaporkan sebagai
masalah kesehatan publik.6
Secara global, setidaknya hampir 1,4 juta ibu hamil telah terinfeksi sifilis
aktif pada tahun 2008 dan berisiko menularkan penyakit tersebut kepada janin
yang dikandungnya. Angka tersebut ditemukan lebih rendah jika dibandingkan
dengan laporan WHO pada periode sebelumnya (tahun 1997-2003), dimana
diperkirakan pada periode tersebut ada sekitar 2 juta ibu hamil yang terinfeksi
sifilis dan tidak terobati per tahunnya. Walaupun demikian, WHO tetap
menyatakan bahwa sifilis merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang
penting pada masa kehamilan. Sedangkan enurut Survei Terpadu Biologi dan
Perilaku (STBP) tahun 2011, prevalensi sifilis masih cukup tinggi di Indonesia.
Pada populasi waria, prevalensi sifilis sebesar 25%, wanita penjaja seks komersial
10%, lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki 9%, dan pengguna narkoba
suntik 3%.4 Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah pada tahun 2014, tercatat 20 kasus
baru, 3 orang sifilis primer, 11 orang sifilis sekunder dan 6 orang sifilis laten
2
dini.3,6,31
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1 Sifilis
2.1.1 Definisi Sifilis
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri
Treponema pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik, selama
perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh. Terdapat masa laten
tanpa manifestasi lesi di tubuh, dan dapat ditularkan kepada bayi di dalam
kandungan.
2.1.2 Mikrobiologi Treponema pallidum
Treponema merupakan anggota dari famili Spirochaetaceae dalam orde
Spirochaetales. Walaupun Treponema pallidum merupakan agen infeksi penting,
hanya sedikit dipahami mengenai mekanisme aksi atau virulensinya.19,20
Treponema pallidum adalah organisme yang berbentuk spiral dan sangat
motil dengan ujung yang meruncing dan memiliki 6 sampai 14 spiral. Dari
bentuknya yang silinder, panjang bakteri mencapai sekitar 6 sampai 15 mm dan
lebar mencapai 0,25 mm. T. pallidum adalah organisme yang memiliki
metabolisme yang lambat. 7,8 Bakteri T. pallidum memiliki beberapa karakteristik,
seperti:20,21,22
4
permukaan sehingga permukaan sel bakteri T. pallidum hanya dapat
dipresentasikan pada beberapa target untuk respon imun host. Dengan
demikian bakteri T. pallidum dapat menghindari kliren imunologis.
d. Organisme T. pallidum bereplikasi secara lambat, waktu untuk membelah diri
dikalkulasikan mencapai 30-33 jam pada tahap awal penyakit. Atas dasar
tersebut, maka untuk mencapai pengobatan sifilis dini yang efektif sangat
diperlukan pemeliharaan konsentrasi serum minimal selama 7-10 hari tanpa
interupsi. Selain itu, keterbatasan biosintesis T. pallidum juga tercermin dari
tidak adanya fakta mengenai strain T. pallidum yang resisten terhadap
penisilin.
5
2.1.3 Gejala Klinis
Manifestasi awal penyakit sifilis dapat berupa makula kecil, yang kemudian
menjadi papul dan mengalami ulserasi. Ulkus biasanya tunggal, tidak nyeri, dasar
bersih dan relatif tidak memiiki pembuluh darah, meskipun kaang dapat multipel.
Dapat terjadi limfadenopati inguinal bilateral. Pada pria, lesi umumnya ditemukan
di sulkus koronal pada glan penis atau batang penis, sedangkan pada wanita lesi
ditemukan pada vulva, dinding vagina, atau pada servik. Lesi ekstragenital jarang
terjadi. Apabila tidak diobati, ulkus akan menghilang secara spontan dalam waktu
3-8 minggu tanpa meninggalkan bekas luka.10
Pada pasien yang tidak mendapat pengobatan, onset tahap sekunder
penyakit dapat terjadi pada 6 minggu hingga 6 bulan setelah infeksi awal. Lesi
primer mungkin masih tetap ada ketika lesi sekunder secara klinis terjadi. Bentuk
utama dari sifilis sekunder adalah ruam kulit dapat berbentuk makula, papular atau
papulo-skuamosa yang terlihat pada telapak tangan dan telapak kaki, namun dapat
tersebar pada seluruh tubuh. Ruam bisa disertai dengan limfadenopati generalisata
dan demam, sakit kepala, serta malaise. Pada sifilis sekunder juga dapat
ditemukan kondilomata lata. Gejala tersebut dapat mengalami remisi spontan dan
menghilang dalam 2 – 6 miggu.10
Apabila sifilis sekunder tetap tidak terdiagnosis dan tidak mendapat
pengobatan, seluruh manifestasi yang terlihat dari penyakit sembuh secara spontan
dan pasien akan masuk ke periode laten yang dapat berlangsung selama beberapa
tahun. Sifilis laten dibagi menjadi infeksi laten awal dan laten akhir, dengan garis
pembagi yaitu 1 tahun setelah terjadinya infeksi. Selama tahap laten dari penyakit,
tidak ada lesi kulit atau selaput lendir untuk sampel. Oleh karena itu, diagnosis
harus berdasarkan hasil pengujian serologis dan tidak adanya tanda-tanda dan
gejala sifilis tersier.10
Sifilis tersier secara umum dipertimbangkan sebagai tahap destruktif dari
penyakit. Gejala dapat muncul beberapa tahun setelah infeksi awal, meskipun
proses penyakit dapat berlanjut lebih cepat pada pasien yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Manifestasi sifilis tersier dapat berupa lesi
noduloulseratif destruktif yang disebut gumma, osteomielitis, osteitis, kekakuan
6
dan nyeri gerak dengan disertai berbagai tanda akan terjadinya meningitis, kejang,
penurunan kesadaran, berbagai penyakit kardiovaskuler dan neurosiphilis.10
7
obliterasi dan trombosis pembuluh darah yang menyebabkan nekrosis. Pada sifilis
sekunder dapat ditemukan spirochaetes pada sayatan yang diberi pewarnaan
Levaditi. Sedangkan pada sifilis tersier yang berbentuk gumma dapat dijumpai
vaskulitis granulomatosa.9
8
Perubahan ini sangat penting untuk membantu ibu dalam beradaptasi dengan
keadaan hamil serta untuk membantu pertumbuhan dan kelangsungan hidup
janin.12
9
2.2.1.2 Volume Sel Darah Merah
Volume sel darah merah akan menurun selama 8 minggu pertama kehamilan,
peningkatan kembali seperti saat tidak hamil terjadi pada usia kehamilan 16
minggu dan kemudian meningkat hingga 30 % lebih tinggi dari saat tidak hamil
ketika kehamilan matur. Peningkatan sel darah merah yang relatif lebih kecil
dibandingkan dengan plasma menyebabkan terjadinya hemodilusi dan anemia
fisiologis kehamilan.12,13
2.2.1.4 Platelet
Trombositopenia merupakan kondisi yang relatif sering terjadi dalam kehamilan.
Jumlah platelet <150 g/l telah dilaporkan terjadi pada 6% sampai 15% pada ibu
hamil and 1% dari ibu hamil memiliki platelet <100 g/l. Pada sebagian besar
kasus, penurunan platelet terjadi semala trimester ketiga.14
2.2.1.5 Jantung
Murmur pada ejeksi sistolik merupakan kondisi yang normal pada ibu hamil. Hal
ini disebabkan karena adanya turbulensi sekunder terhadap peningkatan aliran
darah melalui katup jantung yang normal. Murmur diastolik dapat terdengar
sesekali. Curah jantung dapat meningkat akibat dari peningkatan denyut jantung,
penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan peningkatan stroke volume.
Denyut jantung meningkat 15% lebih tinggi dari kondisi tidak hamil pada akhir
trimester pertama. Denyut jantung dapat meningkat sampai 25% pada akhir
trimester kedua, namun tidak ada perubahan lebih lanjut pada trimester ketiga.
10
Stroke volume meningkat sekitar 20% pada usia 8 minggu kehamilan dan
meningkat hingga 30% pada akhir trimester kedua, dan kemudian menetap hingga
kehamilan matur.12
Pada kehamilan normal, terdapat peningkatan pada volume diastolik akhir
pada ventrikel kiri yang terjadi pada usia kehamilan 10 minggu dan puncaknya
terjadi selama trimester ketiga. Selain itu, dimensi atrium kiri dan kanan serta
diastolik ventrikel kanan juga mengalami peningkatan. Beban awal dipengaruhi
oleh posisi maternal, posisi supine menyebabkan kompresi pada vena cava inferior
dan menyebabkan obstruksi dari aliran balik vena serta penurunan curah jantung.13
11
menyebabkan terjadinya kompensasi metabolic sehingga terjadi penurunan serum
bikarbonat dan kelebihan basa.12
12
konsentrasi total serum T3 dan T4. Meskipun demikian tidak terjadi perubahan
dalam jumlah hormon tiroid bebas. Defisiensi yodium dapat terjadi sebagai hasil
dari proses ekskresi yang berlebihan akibat peningkatan GFR dan penurunan
absorpsi tubular. Transport aktif dari yodium menuju fetoplasental unit serta
aktivitas fetal tiroid juga menurunkan yodium maternal.12
Pembesaran yang signifikan pada kelenjar pituitari juga dapat terjadi
selama kehamilan. Pertumbuhan ini terjadi akibat peningkatan jumlah dari
prolactin-secreting cells dengan proporsi lactotroph meningkat dari 1% hingga
40%. Kondisi ini akan meningkatkan prolaktin hingga 10 sampai 20 kali dari
kondisi tidak hamil. Hormon gonadotropin ditekan oleh tingginya konsentrasi
estrogen dan progesterone. Konsentrasi plasma Corticosteroid Binding Globulin
(CBG) juga meningkat selama kehamilan.12
13
2.3 Infeksi Sifilis pada Kehamilan
2.3.1 Patogenesis Sifilis pada Kehamilan
Sifilis pada kehamilan biasanya diperoleh melalui kontak seksual, dimana pada
sifilis kongenital, bayi mendapatkan infeksi sifilis dari transmisi transplasental
dari Treponema pallidum. Penularan melalui hubungan seksual membutuhkan
paparan mukosa yang lembab atau lesi kulit pada sifilis primer atau sekunder.
Pasien dengan penyakit sifilis yang tidak diobati tampaknya dapat pulih, namun
dapat mengalami kekambuhan dalam periode sampai dengan dua tahun. Oleh
karena itu, seseorang dapat lebih berisiko menularkan sifilis pada tahun pertama
dan kedua dari periode terinfeksi sifilis yang tidak diobati.19
Tingkat penularan infeksi sifilis pada pasangannya, dalam satu kali kontak
seksual diperkirakan mencapai 30%. Infeksi sifilis terjadi secara sistemik,
treponema menyebar melalui aliran darah selama masa inkubasi. Pada ibu hamil
yang terinfeksi treponema dapat mentransmisikan infeksi pada fetus dalam uterin
segera setelah onset infeksi. Transmisi pada fetus intra uteri tersebut dapat
didokumentasikan secara dini pada minggu kesembilan kehamilan. Ibu hamil
terinfeksi sifilis yang berada pada stadium laten, tetap berpotensi untuk
menularkan infeksi pada fetus.19
14
masih berada dalam tahap asimptomatis. Adapun gejalanya dapat dibedakan
berdasarkan tingkat sifilis, yaitu:19
2.3.2.1 Primer
Lesi awal sifilis adalah papul yang muncul di area kelamin pada 10-90 hari
(ratarata 3 minggu) setelah terpapar. Papul berkembang sampai berdiameter 0,5-
1,5 cm dan setelah kira-kira satu minggu terjadi ulserasi yang menghasilkan
chancre tipikal dari sifilis primer (ulkus bulat atau sedikit memanjang, dengan tepi
yang mengeras sebanyak 1-2 cm).
15
2.3.2.2 Sekunder
Dalam beberapa minggu atau bulan, penyakit dapat berkembang disertai beberapa
perubahan seperti demam dengan suhu rendah, malaise, radang tenggorokan, nyeri
kepala, adenopati, dan ruam pada kulit ataupun mukosa. Pada tahap ini terjdi
penyebaran T.Pallidum secara luas melalui sistem hematogen dan limpatik, hal ini
dibuktikan melalui temuan pada darah, kelenjar limfa, biopsi hati, dan cairan
serebrospinal. Sekitar 25% pasien sifilis sekunder memiliki kelainan pada cairan
serebrospinal, dengan adanya peningkatan jumlah sel, protein, dan temuan
T.Pallidum.
Temuan awal pada stadium ini berupa ruam berwarna tembaga yang hilang
dengan cepat, dimana keluhan ini seringkali tidak disadari pasien sehingga
terlewatkan saat pemeriksaan. Beberapa hari kemudian muncul erupsi
makulopapular yang simetris pada daerah badan dan ekstrimitas, termasuk telapak
tangan dan kaki. Lesi berwarna merah kecoklatan, menyebar, dan berdiameter 0,5-
2 cm. Biasanya ruam disertai sisik, walau terkadang halus, folikular, ataupun pada
kasus jarang bisa disertai pustula, kecuali pada bagian telapak tangan dan kaki.
Lesi pada mukosa dapat berupa lesi kecil yang superfisial, ulkus dengan
tepi keabuan yang tidak nyeri (biasanya dianggap sebagai sariawan/apthous ulcer
yang tidak nyeri), ataupun dapat juga berupa sebagai plak keabuan yang lebih
besar. Gastritis erosiva juga dilaporkan terjadi pada beberapa kasus.
Kondiloma lata merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk lesi putih
atau keabuan yang besar, meninggi, dan biasa ditemukan di daerah yang hangat
dan lembab. Lesi ini merupakan manifestasi dari sifilis sekunder yang mengalami
perubahan kulit pada area yang hangat dan lembab, seperti aksila dan daerah lipat
paha. Saat ini kondiloma lata seringkali ditemukan di daerah sekitar chancre
primer, utamanya daerah perineum dekat anus, hal ini kemungkinan diakibatkan
oleh penyebaran secara langsung treponema dari lesi primer. Sifilis sekunder
merupakan penyakit sistemik, sehingga dokter tidak boleh lalai hanya
memperhatikan manifestasi dermatologisnya saja.
Sifilis laten merupakan infeksi sifilis yang tanpa gejala klinis, namun hasil
tes serologisnya positif. Selain pemeriksaan serologis, dapat juga dilakukan
pemeriksaa cairan serebrospinal untuk mengeksklusi neurosifilis asimptomatis,
16
walaupun kebanyakan dokter tidak melakukan pungsi lumbal pada semua pasien
dengan kemungkinan sifilis laten.
2.3.2.3 Tersier
Kejadian morbiditas dan mortalitas dari sifilis utamanya diakibatkan oleh
manifestasi dan keterlibatan penyakit pada kulit, tulang, sistem saraf pusat (SSP),
ataupun organ viscera, utamanya jantung dan pembuluh darah besar. Interval
waktu dari awal infeksi hingga manifestasi stadium tersier dari penyakit ini
bervariasi dari 1 hingga 20 tahun. Penelitian pada era sebelum penggunaan
antibiotik menyatakan sepertiga kasus infeks sifilis yang tidak diobati akan
berkembang menjadi komplikasi tersier, dimana neurosifilis merupakan
komplikasi tersering. Sifilis tersier secara umum dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu: neurosifilis, sifilis kardiovaskular, dan late benign syphilis.
Setelah invasi spirocheta pada SSP saat sifilis stadium awal, infeksi yang
tidak diobati dapat sembuh sendiri, atau berkembang menjadi meningitis sifilis
asimtomatik, ataupun berkembang menjadi meningitis sifilis simptomatik.
Perkembangan selanjutnya dapat menuju sifilis meningovaskular (biasanya 5-12
tahun pasca infeksi primer) atau terus berkembang menjadi paresis (18-25 tahun).
Sifilis meningovaskular dapat melibatkan beberapa bagian pada SSP.
Manifestasinya berupa hemiparesis atau hemiplegia (83% kasus), afasia (31%),
and kejang (14%). Sekitar 50% pasien lainnya mengalami gejala umum seperti
pusing, nyeri kepala, insomnia, gangguan memori dan mood selama beberapa
minggu hingga bulan, yang diakibatkan gangguan perfusi.
17
Late benign syphilis atau gumma merupakan proses inflamasi
granulomatosa proliferatif yang bersifat destruktif pada jaringan. Kebanyakan
terjadi pada kulit dan tulang, dengan frekuensi yang lebih jarang pada mukosa dan
viscere seperti otot, dan struktur okular. Manifestasi pada kulit dapat berupa
nodular atau nodul ulseratif dan lesi soliter.
18
ditemukan pada 15% bayi yang lahir dari ibu sifilis yang tidak mendapatkan
terapi.27
Gambar 2.7 Kelahiran prematur sebagai salah satu dampk infeksi sifilis pada
kehamilan
19
pneumonitis (20%), serta limpadenopati menyeluruh. Lesi kulit dapat ditandai
dengan adanya vesikel, bula atau ruam kulit berwarna merah tembaga atau lesi
ptekie pada telapak tangan, telapak kaki, sekitar hidung dan mulut, serta area
popok. Dapat terjadi gangguan pertumbuhan, lesi pada selaput lendir hidung dan
faring yang bersekresi disertai darah, meningitis, osteokondritis pada tulang
panjang hinga mengakibatkan pseudoparalisis.25,28,29
20
2.5 Skrining Sifilis pada Kehamilan
Skrining sifilis pada kehamilan merupakan aspek penting yang harus dilakukan
selama masa kehamilan. Deteksi dini yang memadai pada masa kehamilan,
berperen secara efektif dalam mengobati dan mencegah transmisi sifilis. Skrining
sifilis pada kehamilan mencakup:23
a. Semua wanita hamil harus diskrining sifilis pada kunjungan pertama
pelayanan antenatal.
b. Wanita yang berisiko tinggi mengalami sifilis dan wanita yang tinggal di
daerah dengan morbiditas sifilis yang tinggi harus melakukan pemeriksaan
ulang antara minggu ke-28 dan 32 kehamilan serta saat melahirkan.
c. Pada ibu yang tidak mendapatkan pemeriksaan adekuat selama masa
kehamilan, pemeriksaan Rapid Plasma Reagin (RPR) harus dilakukan pada
saat melahirkan.
d. Setiap ibu dan bayi yang tidak memiliki status sifilis maternal
terdokumentasi, tidak dapat meninggalkan rumah sakit tanpa dilakukannya
skrining.
e. Setiap ibu yang mengalami kematian janin setelah usia 20 minggu kehamilan
harus dilakukan pemeriksaan sifilis.
f. Ibu hamil yang seropositif harus mendapatkan terapi, kecuali mereka
memiliki dokumentasi pengobatan yang adekuat dengan respon serologis
yang tepat sesuai dengan pengobatan dan titers dinyatakan rendah serta stabil.
g. Ibu paska terapi sifilis, apabila memiliki respon yang baik terhadap
pengobatan dan memiliki titer serofast rendah (Venereal Disease Research
Laboratory (VDRL) < 1: 2 dan RPR < 1:4), tidak memerlukan terapi ulang.
h. Wanita dengan titer antibodi yang persisten dan lebih tinggi dapat
mengindikasikan terjadinya infeksi ulang.
21
2.6 Diagnosis Sifilis pada Kehamilan
Metode paling spesifik dan sensitif dalam mendiagnosis sifilis primer ialah dengan
menemukan treponema dari sediaan cairan yang diambil dari permukaan chancre
yang kemudian diperiksa dibawah mikroskop lapangan gelap. Ruam sifilis primer
dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis, kemudian tekan bagian dalam/dasar
lesi hingga didapatkan serum. Serum diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap,
dengan menggunakan minyak emersi. Treponema pallidum berbentuk ramping,
bergerak lambat dan berangulasi. Hasil yang baik dapat diperoleh selama tidak
ada riwayat terapi atibiotik ataupun penggunaan obat topikal di daerah
pengambilan spesimen sebelumnya. Bahan apusan juga dapat diperiksa
menggunakan mikroskop fluoresensi, dimana bahan apusan dioleskan pada gelas
objek, difiksasi dengan aseton, diberi fluoresen. Namun hasilnya tidak sebaik
mikroskop lapangan gelap dan tidak spesifik.
Beberapa pemeriksaan antibodi non spesifik yang dapat dilakukan :
1. Tes Non-treponemal (RPR, VDRL)
Kedua tes RPR dan VDRL dapat mendeteksi antibodi terhadap kardiolipin, yang
merupakan komponen membran sel dari T.pallidum. Hasil tes yang positif perlu
dikonfirmasi dengan pemeriksaan treponema. Tes non-treponemal berfungsi untuk
menentukan aktifitas penyakit dan respon terhadap terapi. Contohnya peningkatan
empat kali lipat dari titer dari hasil sebelumnya (1:2 menjadi 1:8) mengindikasikan
re-infeksi; penurunan titer empat kali lipat pasca pengobatan (1:32 menjadi 1:8)
mengindikasikan respon yang baik terhadap pengobatan.
2. Tes Treponemal (TPHA, Elisa, FTA-Abs)
Hasil tes yang reaktif akan tetap reaktif seumur hidup bahkan sesudah diterapi
secara tepat. Hasil ini mengindikasikan adanya paparan infeksi sifilis dan tidak
menjadi indikator aktifitas penyakit.
22
23
Jika subyek berisiko tinggi
Tes Non-treponemal (RPR) maka tes serologi diulang
Negatif
atau tes treponemal (TPPA, pada 28-32 minggu dan
EIA) saat melahirkan
24
SEROPOSITIF
(skrining dan pengobatan pasangan
seksual)
PENETAPAN STADIUM
(riwayat klinis, pemeriksaan, hasil tes
sebelumnya)
PENGOBATAN MATERNAL
25
Gambar 2.7. Algoritma diagnosis dan pengobatan sifilis pada kehamilan25
2.7 Penatalaksanaan Sifilis pada Kehamilan
Penisilin merupakan terapi baku emas untuk infeksi sifilis pada ibu hamil. Hingga
saat ini belum ditemukan adanya strain T. pallidum yang resisten terhadap
penisilin secara signifikan. Tujuan terapi penisilin pada ibu hamil adalah untuk
menangani penyakit ibu, mencegah transmisi pada janin dan menangani penyakit
sifilis yang telah terjadi pada janin. Penanganan sifilis pada ibu hamil mengikuti
regimen yang sesuai dengan stadium penyakitnya (tabel 3).23,26
26
Terapi yang direkomendasikan pada ibu hamil dengan alergi penisilin adalah
desensitisasi penisilin. Desensitisasi penisilin merupakan prosedur dimana pasien
dipaparkan penisilin dengan dosis bertahap hingga mencapai dosis efektif. Setelah
itu pasien diberikan terapi penisilin yang sesuai. Prosedur desensitisasi harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih dengan ketersediaan alat untuk
menangani reaksi anafilatik. Desensitisasi oral umumnya lebih sederhana dan
aman.26
Terapi siflilis pada ibu hamil dapat memicu reaksi Jarisch-Herxheimer. Reaksi ini
merupakan reaksi febril akut yang disertai dengan nyeri kepala, mialgia, bercak
dan hipotensi. Gejala-gejala ini diperkirakan terjadi akibat pelepasan liposakarida
treponema dari spirosit yang mati. Umumnya reaksi mulai muncul satu hingga dua
jam setelah terapi, mencapai puncak pada delapan jam dan berkurang dalam 24
hingga 48 jam. Reaksi ini dapat memicu kontraksi uterus, kelahiran pre-term, dan
gangguan irama jantung fetus. Namun resiko terjadinya reaksi Jarisch-Herxheimer
bukan merupakan kontraindikasi pemberian penisilin pada ibu hamil. Reaksi
Jarisch-Herxheimer ditangani secara suportif.26
Evaluasi titer serologis antibodi nontreponemal harus dilakukan dalam 1, 3, 6, 12, dan
24 bulan setelah terapi. Jika terapi efektif, maka dapat diharapkan titer berkurang
4-6 kali dalam 6 bulan pasca terapi dan menjadi non reaktif dalam 12 hingga 24
bulan. Titer yang meningkat hingga 4x atau tidak berkurang menunjukan
kegagalan terapi atau reinfeksi.26
27
komitmen politik yang berkelanjutan dan advokasi; b) meningkatkan akses,
kualitas serta pelayanan kesehatan maternal dan bayi baru lahir; c) melakukan
skrining dan pengobatan pada wanita hamil dan pasangannya; seta d) membangun
pengawasan, pemantauan dan system evaluasi. Selain itu, WHO bersama-sama
dengan Program for Appropriate Technology and Health (PAHO) menginisisasi
dual testing project untuk mengeliminasi sifilis kongenital. Metode pada program
tersebut adalah dengan melakukan tes untuk menemukan T.pallidum dan HIV
secara bersamaan, dengan sampel dan peralatan yang sama, sehingga seluruh
wanita hamil akan mendapatkan tes skrining untuk HIV dan sifilis secara
bersamaan. Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa skrining sejak
awal kehamilan merupakan poin yang penting untuk mencegah transmisi sifilis
dari ibu ke bayi.28,29
BAB III
RINGKASAN
28
Sifilis merupakan salah satu penyakit Sexually Transmitted Diseases (STDs) yang
dapat menginfeksi ibu hamil. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Treponema
Pallidum. Diseluruh dunia, setidaknya 1,4 juta ibu hamil telah terinfeksi sifilis
aktif pada tahun 2008. Pada ibu hamil yang menderita sifilis, bakteri Treponema
pallidum dapat ditransmisikan kepada fetus dan mengakibatkan Adverse
Pregnancy Outcomes (APOs) seperti still birth, early fetal death, bayi berat lahir
rendah, prematur, kematian neonatal, infeksi atau infan dengan serologi reaktif.
Sifilis pada kehamilan diperoleh melalui kontak seksual. Penularan melalui kontak
seksual membutuhkan paparan mukosa yang lembab atau lesi kulit pada sifilis
primer atau sekunder. Transmisi treponema pada ibu hamil telah
didokumentasikan secara dini pada minggu kesembilan kehamilan, maka dari itu
perlu adanya skrining semua wanita hamil pada kunjungan pertama antenatal.
Secara klinis sifilis pada kehamilan bermanifestasi sesuai dengan stadium klinis.
Pada sifilis primer dicirikan dengan papul yang berulserasi menjadi chancre
klasik. Sifilis sekunder dicirikan dengan makulopapular kemerahan pada kulit
pada telapak tangan, kaki, dan membran mukosa dengan menyisakan wajah.
Pembentukan gumma, gejala kardiovaskular, dan neurosifilis umumnya
merupakan manifestasi sifilis tersier. Diagnosis sifilis dapat ditegakan dengan
mikroskop lapang gelap, tes antibodi treponemal (TPHA, FTA-ABS), dan tes
antibodi non treponemal (VDRL, RPR).
Penisilin merupakan baku emas terapi sifilis ibu hamil hingga saat ini. Regimen
penisilin disesuaikan dengan stadium infeksi ibu. Pada pasien dengan alergi
penisilin sebaiknya dilakukan desensitasi karena pengunaan antibiotik lain belum
menunjukan efikasi yang baik. Terapi siflilis pada ibu hamil dapat memicu reaksi
Jarisch-Herxheimer, namun bukan merupakan kontraindikasi pemberian penisilin
pada ibu hamil. Evaluasi titer serologis antibodi nontreponemal harus dilakukan
dalam 1, 3, 6, 12, dan 24 bulan setelah terapi. Transmisi infeksi sifilis dari ibu ke
bayi dapat dicegah dengan program skrining sifilis sejak dini pada awal
kehamilan.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Santis, M.D., Luca, C.D., Mappa, I., Spagnuolo, T., Licameli, A., Straface,
G., & Scambia1, G. Syphilis infection during pregnancy: Fetal risks and
clinical management. Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology.
2012. doi:10.1155/2012/430585
30
2. Casal, C., Araujo, E. C., & Corvelo, T.C.O. Risk factors and pregnancy
outcomes in women with syphilis diagnosed using a molecular approach.
Sex Transm Infect. 2013;89:257–261.
3. Newman, L., Kamb, M., Hawkes, S., Gomez, G., Say, L., Seuc, A., &
Broutet, N. Global estimates of syphilis in pregnancy and associated
adverse outcomes: Analysis of multinational antenatal surveillance data.
PLoS Med. 2013;10(2):e1001396.
4. Hawkes, S. J., Gomez, G.B., & Broutet, N. Early antenatal care: does it
make a difference to outcomes of pregnancy associated with syphilis? A
systematic review and meta-analysis. PLOS ONE. 2013;8(2): e56713.
5. Hawkes S, Matin N, Broutet N, Low N. Effectiveness of interventions to
improve screening for syphilis in pregnancy: a systematic review and
metaanalysis. Lancet Infect Dis. 2011;11: 684–691.
6. World Health Organization. Over a million pregnant women infected with
syphilis worldwide. 2012. Retrieved from:
http://www.who.int/reproductivehealth/topics/rtis/syphilis/pregnancy/en/
7. Sato, N. S. Syphilis – recognition, description and diagnosis. Croatla:
InTech. 2011.
8. Braccio, S., Sharland, M., & Ladhani, S. N. Prevention and treatment of
mother-to-child transmission of syphilis. Paediatric and Neonatal
Infections. 2016;23:3. p268-274.
9. Cohen, S. E., Klausner, J. D., Engelman, J., & Philip, S. Syphilis in the
modern era: An update for physicians. Infect Dis Clin N Am. 2013:27:705–
722
10. Ballard R, Hook EW. Syphilis In: Unemo M, Ballard R, Ison C, Lewis D,
Ndowa F, Peeling R. Laboratory diagnosis of sexually transmitted
infections, including human immunodeficiency virus. World Health
Organization. Switzerland:Geneva. 2013.p107-130
11. Workowski KA, Bolan GA. Sexually Transmitted Diseases Treatment
Guidelines. Centers for Disease Control and Prevention Recommendation
and Reports. 2015; 64: 3.p34-9
31
12. Yanamandra N Chand, Raharan E. Anatomical and physiological changes
in pregnancy and their implications in clinical practice. Cambridge
University Press. 2012.p1-8
13. Bartling, S. J., & Zito, P. M. Dermatologic changes in pregnancy.
International Journal of Childbirth Education. 2016; 31.p38-40
14. Valera M, Parant O, Vayssiere C, Arnal J, Payrastre B. Physiologic and
pathologic changes of platelets in pregnancy. Platelets.
2010;21:8.p587595.
15. Pillay PS, Catherine NP, Tolppanen H, Mebazaa A.Physiologic Changes
in Pregnancy. Cardiovascular Journal of Africa. 2016 Mar-Apr; 27(2): 89–
94
16. Datta, S. Maternal Physiological Changes during Pregnancy, Labor, and
the Postpartum Period in Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetric
Anesthesia Handbook. 4th Eds. Nottingham University Hospital. 2010.
P114
17. Bartling, S. J., & Zito, P. M. (2016). Dermatologic changes in pregnancy.
International Journal of Childbirth Education. 2016;31:38-40
18. Geraghty, L. N., & Pomeranz, M. K. Physiologic changes and dermatoses
of pregnancy. International Journal of Dermatology. 2011;50:7.p771-782
19. Hitti J, Watts DH. Bacterial Sexually Transmitted Infections in Pregnancy
In: Holmes, K.K, Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N.,
Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H, eds. Sexually Transmitted Diseases.
4th Ed. New York: McGraw-Hill. 2008.p.1542-55
20. Berman, S.M. (2004). Maternal syphilis: Pathophysiology and treatment.
Bulletin of the World Health Organization. 2004;82:6
21. Fraser CM, Norris SJ, Weinstock GM, White O, Sutton GG, Dodson R, et
al. Complete genome sequence of Treponema pallidum, the syphilis
spirochete. Science. 1998;281:375-88.
22. Radolff JD, Steiner B, Shevchenko D. Treponema pallidum: doing a
remarkable job with what it's got. Trends in Microbiology.1999;7:7-9.
32
23. Centers for Disease Control and Prevention. Syphilis in Pregnancy in
Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015. MMWR
Recomm Rep 2015;64(No. RR-3): 43-4
24. Centers for Disease Control and Prevention. Screening Recommendations
Referenced in in Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines,
2015. MMWR Recomm Rep 2015;64(No. RR-3): 45-7
25. Women and Newborn Health Service. Infections in Pregnancy: Syphillis in
Pregnancy and The Newborn, Diagnosis and Treatment. 2015.p1-8
26. Norwitz E., Lockwood C., Bartlett J., Barss V. Syphilis in Pregnancy.
Uptodate Mar 2016. Available from:
http://www.uptodate.com/contents/syphilis-in-pregnancy#H1 Last update:
Nov 23, 2016
27. Gomez GB, Kamb ML, Newman LM, Mark J, Broutet N, Hawkes SJ.
Untreated Maternal Syphilis and Adverse Outcomes of Pregnancy: A
Systematic Review and Meta-Analysis. Bull World Health Organ.
2013;91:217-26
28. Moline HR, Smith JF. The Continuing Threat of Syphilis in Pregnancy.
Current Opinion Obstetric and Gynocology. 2016;28:101-4
29. Braccio S, Sharland M, Landhani SN. Prevention and Treatment of
Mother-to-Child Transmission of Syphilis. Current Opinion Infectious
Disease. 2016;29:268-74
30. Herberts C, Melgert B, Laan JWV, Faas M. New Adjuvanted Vaccines in
Pregnancy: What is Known About Their Safety? Expert Review of
Vaccines. 2010;9(12):1411-22
31. Anonim. Buku Register Kunjungan Sub Bagian Infeksi Menular Seksual,
Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Sanglah Denpasar. 2014.
33