Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Partisipasi dan Komunikasi Pembangunan


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata partisipasi memiliki makna perihal turut
berperan serta dalam suatu kegiatan; keikutsertaan; peran serta. Sedangkan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia sendiri memiliki arti pengiriman dan penerimaan pesan atau
berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami;
hubungan; kontak. Maka berdasarkan dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
partisipasi komunikasi adalah peran serta seseorang dalam proses interaksi komunikasi
untuk menyampaikan pesan dengan tujuan orang lain yang menjadi sasaran penerima
pesan memahami isi pesan yang disampaikan.
Kata Komunikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti pengiriman
dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang
dimaksud dapat dipahami. menurut Ririn Rinawati (2005 : 177) komunikasi diartikan
sebagai proses penyampaian pernyataan manusia. Sesuatu yang dinyatakan itu berupa
pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai
alat penyaluran.
Sedangkan kata pembangunan sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
memiliki makna proses, cara, perbuatan membangun. Artinya adalah suatu kegiatan yang
diarahkan pada sesuatu yang bersifat membangun. Dalam Rinawati (2005 : 175) konsep
mengenai pembangunan tidak hanya berfokus pada sector ekonomi saja, namun lebih
berfokus pada proses pembangunan yang berkelanjutan. Tjokrowinoto (dalam Rinawati,
2005) menyebutkan bahwa pembangunan yang hanya menitikberatkan pada sector
ekonomi telah membawa berbagai akibat negatif, seperti kerusakan alam, timbulnya
kesenjangan sosial dan dependensi.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi
pembangunan adalah suatu kegiatan penyampaian pikiran dan perasaan manusia yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih, dimana penyampaian pikiran ini mengandung suatu
cara untuk membangun, serta dalam proses pembangunannya masyarakat yang
dikomunikasikan dilibatkan dalam proses pembangunanya.
Komunikasi pembangunan ini merupakan sebuah komunikasi yang dapat
memberdayakan masyarakatnya, baik dari segi ekonomi, pendidikan, keterampilan
(softskill ataupun hardskill) dan lain sebagainya. Dalam komunikasi pembangunan
partisipasi pemerintah serta masyarakatnya sangat diperlukan demi kelancaran jalannya
proses komunikasi pembangunan ini. Sejalan dengan kutipan dalam artikel jurnal karya
Surahmi dan Farid (2018 : 233) yang menyatakan bahwa Keaktifan pemerintah dalam
proses pembangunan hendaknya disertai dengan usaha untuk memperbesar peranan
masyarakat atau usaha pemberdayaan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat
dapat terlibat secara aktif dalam proses pembangunan, karena tanpa keterlibatan
masyarakat akan terjadi kekurang-efektifan pembangunan.
B. Tujuan Komunikasi Pembangunan
Nasution & Rasyid (2019 : 3) tujuan komunikasi pembangunan adalah mencapai
pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan menginginkan bahwa sekelompok
massa orang- orang dengan tingkat literasi (melek huruf) dan penghasilan rendah, dan
atribut-atribut sosio-ekonomi bahwa mereka harus berubah, pertama-tama semua menjadi
terbuka tentang informasi dan dimotivasi untuk menerima dan menggunakan secara
besar-besaran ide-ide dan keterampilan- keterampilan yang tidak familiar dalam waktu
yang singkat dibanding proses yang diambil dalam keadaan normal.
Rogers dan Andhikarya menyarankan perlunya dirumuskan suatu pendekatan baru
dalam proses komunikasi antarmanusia yaitu suatu pendekatan konvergensi yang
didasarkan pada model komunikasi yang sirkuler, menggantikan model linear yang
umumnya dianut selama ini. Selain itu, diketengahkan pula perlunya ditingkatkan
partisipasi semua pihak yang ikut serta dalam proses komunikasi, demi tercapainya suatu
fokus bersama dalam memandang permasalahan yang dihadapi. Dengan kata lain,
pendekatan ini bertolak dari dialog antarsemua pihak, dan bukan seperti selama ini hanya
atau lebih banyak ditentukan oleh salah satu pihak saja (Nasution & Rasyid, 2019 : 30)
Berdasarkan pernyataan di atas, Rogers dan Andhikarya menyarankan perlu adanya
partisipasi semua pihak yang ikut serta dalam proses komunikasi, demi tercapainya suatu
fokus bersama dalam memandang permasalahan yang dihadapi. Artinya, untuk mencapai
tujuan pembangunan, komunikasi yang dilakukan bukan hanya melibatkan pemerintah
saja, melainkan juga harus melibatkan masyarakat agar tujuan yang dapat dicapai mampu
memenuhi kebutuhan semua pihak.
C. Faktor penunjang efektivitas komunikasi

Komunikasi memiliki prinsip-prinsip yang harus diperhatikan agar komunikasi dapat


mencapai keefektifan yang diharapkan. Deddy Mulyana menjelaskan terdapat 12 prinsip
komunikasi yaitu:

1. Komunikasi adalah proses simbolik


2. Setiap perilaku mempunyai potensi komunikasi
3. Komunikasi mempunyai dimensi isi dan dimensi hubungan
4. Komunikasi berlangsung dalam berbagai tingkat kesenjangan
5. Komunikasi terjadi dalam konteks ruang dan waktu
6. Komunikasi melibatkan prediksi dari peserta komunikasi
7. Komunikasi bersifat sistemik
8. Semakin mirip latar belakang sosial budaya, semakin efektif komunikasi
9. Komunikasi bersifat nonsekuensial
10. Komunikasi bersifat prosesual, dinamis dan transaksional
11. Komunikasi bersifat irreversible
12. Komunikasi bukan panasea untuk menyelesaikan berbagai masalah.
Dengan memahami prinsip-prinsip komunikasi tersebut, akan membantu kita perbaiki
kehidupan sehari-hari. Para psikolog berpendapat bahwa kebutuhan utama kita sebagai
manusia, dan untuk menjadi manusia yang sehat secara rohaniah, adalah kebutuhan akan
hubungan sosial yang ramah, yang hanya bisa terpenuhi dengan membina hubungan yang
baik dengan orang lain. Abraham Maslow, menyebutkan kebutuhan sosial untuk memperoleh
rasa aman lewat rasa memiliki dan dimiliki, pergaulan, rasa diterima, memberi dan menerima
persahabatan. (Tubbs dan Moss, 1996:xii).

Menurut Effendy, 1993:42 Ditinjau dari komponen masyarakat sebagai penerima


informasi, maka seseorang akan dan dapat menerima sebuah pesan hanya kalua terdapat
empat kondisi berikut ini secara simultan:

1. Ia terdapat dan benar-benar mengerti pesan komunikasi


2. Pada saat mengambil keputusan, ia sadar bahwa keputusannya itu sesuai dengan
tujuannya
3. Pada saat ia mengambil keputusan, ia sadar bahwa keputusannya itu bersangkutan dengan
kepentingannya pribadi
4. Ia mampu untuk menempatinya baik secara mental secara fisik.

Cutlip dan center menjelaskan bahwa dalam suatu kegiatan komunikasi untuk
menghasilkan efektivitas, perlu diingat hal yang sangat fundamental, yaitu:

1. Bahwa komunikasi terdiri dari orang-orang yang hidup, bekerja, dan bermain satu sama
lainnya dalam jaringan lembaga sosial. Karena itu, setiap orang adalah subjek bagi
berbagai pengaruh diantaranya adalah pengaruh komunikator
2. Bahwa komunikan membaca, mendengarkan, dan menonton komunikasi yang
menyajikan pandangan hubungan pribadi yang mendalam
3. Bahwa tanggapan yang diinginkan komunikator dari komunikasi harus menggantungkan
bagi komunikan, kalua tidak, ia tidak akan memberikan tanggapan (Effendy, 1993:43)

Selain faktor diatas yang mempengaruhi keefektifan komunikasi, yakni dari sisi
komunikan terdapat dua faktor dari komunikator yang akan mempengaruhi komunikasi yang
efektif yakni kepercayaan pada komunikator (source credibility) dan daya Tarik komunikator
(source attractiveness). Kedua hal ini didasarkan posisi komunikan yang akan menerima
pesan, yaitu :

1. Hasrat seseorang untuk memperolah suatu pernyataan yang benar, jadi komunikator
mendapat kualitas komunikasinya sesuai dengan kualitas sampai dimana ia memperoleh
kepercayaan dari komunikan dana pa yang dinyatakan
2. Hasrat seseorang untuk menyamakan dirinya dengan komunikator atau bentuk hubungan
lainnya dengan komunikator yang secara emosional memuaskan. Jadi komunikator akan
sukses dalam komunikasinya, bila berhasil menarik perhatian komunikan (Effendy,
1993:43)
D. Operasional Partisipasi
Ascroft dan Masilela, dalam Melkote (1991) memaparkan bahwa konsep dan
proses dari partisipasi ditetapkan dengan kurang baik dan internalnya tidak konsisten,
abstrak dan ambigu dalam ilmu sosial. Usaha operasionalisasi dalam bagian ini
menggerser paradigma dominan yang berinkarnasi secara halus. Partisipasi diartikan
sebagai pendekatan kepada bagian yang merupakan asli representasi dari perkara untuk
paradigma kebutuhan dasar, partisipasi sebagai sebuah akhir pendekatan.
“Partisipasi sebagai sebuah akhir dari pendekatak” telah mendapat dukungan dari
para ahli dan administrator serupa (Tehranian, Alamgir, Bamberger, Diaz-Bordenave,
dalam Melkote,1991). Mereka berpendapat bahwa partisipasi harus dikenali sebagai hak
dasar manusia yang seharusnya diterima dan didukung. (Kothari, Melkote, 1991)
kebutuhan akan berpikir, mengekspresikan diri sendiri, memiliki kelompok, diakui
sebagai individu, dihargai dan dihormati adalah hal penentu krusial yang berpengaruh
atas kehidupan seseorang, yang merupakan esensi pembangunan individu seperti halnya
pada makan, minum, dan tidur (Diaz-Bordenave, dalam Melkote, 1991). Dan partisipasi
dalam aktivitas bermakna adalah sebuah alat yang mengantarkan kebuthan-kebutuhan
diatas terpnenuhi. Diaz-Bordenave (dalam Melkote, 1991) menyimpangkan secara
menyakinkan bahwa partisipasi bukanlah kepentingan yang harus ditepikan sehingga
tidak ada satu pun wewenang yang bisa menyangkal dan menghalanginya bahkan
konsensi yang diakui oleh hak dasar manusia sekalipun.
Partisipasi sebagai sebuah proses pemberian kuasa kepada masyarakat sehingga
mereka diberikan wewenang agar dapat mengatur dan berpendapat demi
pembangunannya sendiri. Meski secara politiknya sedikit berisiko kepada kuasa yang
lebih tinggai, tetapi juga merupakan konseskuensi yang ideal dari partisipasi. Disini
individual aktif dalam program dan proses pembangunan, mereka berkontribusi,
mengambil inisiatif, mengartikulasikan kebutuhan dan permasalahan mereka, dan
menonjolakan otonomi masing-masing (Ascroft dan Masilela, dalam Melkote, 1991).
Penelitian partisipatif, model ini dibangun dari kserberagaman plura listrik
sebelumnya dalam dunia paradigma (Servaes, dalam Melkote, 1991).
Karakteristik penelitian yang partisipatif dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a. Mendasari sebuah asumsi bahwa manusia memiliki kemampuan lahiriah
untuk menciptakan pengetahuan dan ini bukan merupakan hak prerogative
dari para professional
b. Merupakan proses yang bersifat pendidikan bagi partisipan untuk berada
dalam program penelitian sama baiknya pada para peneliti. Melibatkan pula
identifikasi dari kebutuhan masyarakat, kesadaran mengenai hambatan,
sebuah analisis sebab dan perancangan solusi.
c. Terdapat kesadaran berkomitmen bagi peneliti untuk bekerja demi
masyarakat, sehingga prinsip netralisasi dari ilmuan tradisonal tidak ditemui
dalam penelitian ini.
d. Berbasis kepada proses dialog dialektikal antara peneliti dan masyarakat.
Dialog tersebut menyediakan rangkaian kerja yang akan menghalangi
manipulasi dari luar.
e. Ini merupakan pendekatan pemecahan masalah. Tujuannya adalah untuk
mengetahui sebab dari permasalahan dan mengerahkan potensi kreatif
manusia untuk memecahkan persoalan sosial.
f. Aset besarnya adalah nilai heuristic, kooperatif.kerja sama yang rapat antara
peneliti dan masyarakat yang membantu perkembangan atmosfer kekritisan
segala partisipan yang menganalisi lingkungan sosial dan merumuskan
rencana aksi.

Beberapa hali menyadari strategi baru partisipatori sebagai “Organik”


dan“manusiawi”. Dan kontras dengan model mekanistik sebelumnya (Servaes, dalam
Melkote, 1991).
Pertama, terdapat ambiguitas berkaitan dengan konseptualisasi dan
operasionalisasi partisipasi. Hal tersebut memiliki makna yang berbeda bagi orang-orang
yang berbeda pula. Bagi beberapa orang, partisipasi dapat berarti pemberian kekuasaan
kepada orang-orang, sementara bagi yang lain partisipasi dapat berarti manipulasi
khalayak ramai untuk menjalankan tujuan yang berasal dari atas. Atau partisipasi dapat
berarti conscienzation masa ke dunia di sekotar mereka atau hal tersebut bisa saja
partisipasi yang salah dimana orang-orang dimanfaatkan untuk mempertahankan status
quo. Partisipasi dapat digunakan untuk mempromosikan keadilan sosial dalam suatu
masyarakat atau membawa pembangunan ekonomi dan efensiensi yang lebih besar untuk
program-program pembangunan. Partisipasi dapat berada ditingkat local atau nasional
(Diaz-Bodenave, 1989: Jacobson, 1989 dalam Melkote, 1991).
Kedua, terdapat beberapa rintangan yang dapat menghambat partisipasi efektif dan
penting orang-orang yang berada di perkumpulan (Alamgir, dalam Melkote, 1991):
a. Iklim politik yang tidak ramah di masyarakat tuan rumah
b. Organisasi dan kepemimpinan local yang tidak memadai
c. Strtuktur otoritan yang menghambat pengambilan keputusan secara demokratis
d. Isolasi dan alienasi orang-orang yang miskin dan tidak memiliki kekuasaan
e. Akses yang tidak merata terahadap faktor-faktor produksi
f. Kebijakan atau dukunngan finansial pemerintah yang tidak memadai
g. Kurangnya dukungan bagi wanita untuk berpartisipasi
h. Infrastruktur yang tidak memadai untuk membangkitkan partisipasi secara
menyeluruh (misalnya hubungan horizontal dan vertical antara organisasi
swadaya).
Jika komunikasi sangat penting dalam teori-teori modernasisasi, hal tersebut
merupakan bagian integral dari pendekatan pembangunan partispator. Cakupan dan
peranan komunikasi dalam pendekatan partisipatori lebih kompleks dan bervariasi.
Bagian ini dan bagian selanjutnya akan menggambarkan secara garis besar pemikiran
tentang cara-cara partisipasi dan komunikasi dikonseptualisasikan dan diperasionalkan.
Tidak seperti dalam teori-teori modernisasi, pendekatan komunikasi bervariasi
bergantung pada tujuan dan standar normative yang ditentukan oleh komunikasi tuan
rumah.
E. Forum-Forum Dialogis Kalangan Bawah
Jika pembangunan memiliki relevansi dengan orang-orang yang memerlukannya,
pembangunan tersebut harus dimulai dari kebutuhan riil dan masalah muncul, misalnya di
daerah pedesaan yang miskin, perkampungan kumuh di kota dan lain-lain. Orang-orang
yang hidup dalam lingkungan tersebut harus didorong untuk menemukan kebutuhan riil
dan mengidentifikasi masalah riil mereka. Hal inilah yang dimaksud dengan forum
dialogis kalangan bawah. Lebih lanjut, pada skala yang lebih luas, orang-orang yang
berada dalam lingkungan tersebut belum mampu menemukan kebutuhan yang riil dan
mengidentifikasi masalah riil mereka. Hal ini disebabkan oleh kurangnya partisipasi riil
dalam strategi pembangunan yang dapat mengatasi masalah mereka. Bahkan strategi
komunikasi alternatif seperti pendekatan bottom-up menjadi klise dan kurang substansial.
Pendekatan baru yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan ini adalah
pendekatan yang mefokuskan pada partisipasi aktif rakyar dan masyarakat kalangan
bawah lainnya untuk membantu membangun negara. Dilihat dari luar, ini menandakan
perubahan positif dari pendekatan preskriptif awal yang hierarkis. Namun, struktur
dominasi elit tidak terpengaruh. Diaz-Bordenave (dalam Melkote, 1991) menuliskan
bahwa pendekatan baru ini, partisipas diharapkan diarahkan oleh sumber-sumber dan
agen-agen perubahan.
Dalam pendekatan-pendekatan terhadap pembangunan yang disebut bottom-up ini,
masyarakat didorong untuk berpartisipasi dalam aktifitas swadaya, namun solusi dasar
untuk masalah lokal telah terpilih oleh badan-badan pembangunan eksternal. Seringkali,
partisipasi masyarakat diarahkan karena tujuan proyek pembangunan adalah untuk
mendapatkan kerjasama formal dan nonformal yang lebih baik, dan lain-lain.
Dengan demikian, masyarakat kalangan bawah diikutsertakan dalam aktivitas yang
akan memenuhi kebutuhan konsumen barang-barang industri mereka dalam waktu jangka
Panjang. Oleh karena itu, partisipasi merupakan cara untuk mengakhiri ketergantungan
massa yang lebih besar terhadap pasar yang dikendalikan oleh kaum elit, baik nasional
maupun internasional (Diaz-Bordenave, dalam Melkote 1991). Meski demikian,
partisipasi sesungguhnya harus melebihi tujuan pragmatic seperti tingkat produktivitas
yang lebih tinggi, kebiasaan hidup sehat yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi
dalam Tindakan sosial politik yang dilakukan oleh masa di semua tingkat.
Tujuan upaya-upaya partisipasi harus memfasilitasi conscienzation rakyat pada
struktur sosial, politik dan spasial yang sangan pincang dalam masyarakat. Hanya melalui
conscienzation dan aksi kolektif rakyat dapat menemukan kebutuhan riil mereka,
mengidentifikasi hambatan riil dan merencanakan untuk mengatasi masalah mereka.
F. Komunikasi Partisipatori

Menurut Freire seperti dikutip dalam Nair dan White (2004), semua individu memiliki
kapasitas untuk melakukan refleksi, kapasitas untuk berpikir abstrak, untuk membuat
konseptualisasi, mengambil keputusan, memilih alternative dan merencanakan perubahan
sosial. Aksi dan refleksi bukan merupakan aktifitass yang terpisah akan tetapi sebagai
keseluruhan organ dan dialektikal ini saling mempengaruhi aksi dan refleksi yang merupakan
conscitizacao (Conscientization). Berdasarkan Freire, partisipasi asli (autentik) adalah sebuah
pengalaman emansipatori yang menghasilkan kebebasan actual.
Freire menegaskan bahwa dialog merupakan hal yang esensial pada proses penyadaran.
Freire menggaris bawahi potensi yang lebih luas dari dialog dan dengan bersemangat
mempertahankan kekuatan Bahasa sebagai alat yang mampu menanmkan dominasi mapun
kebebasan. Tentu saja dialog dapat membawa seseorang untuk memaknai dunia dan
mendorong transformasi sosial dan pembebasan sebagaimana terungkap dalam kata-kata
Freire: “ To exist, humanily, is to name the world, to change it”.
Tufle dan Mefalopulos (2009) mengungkapkan bahwa focus dari komunikasi partisipasi
adalah dialog, suara, media didik, aksi-refleksi. Dialog merupakan suatu prinsip komunikasi
partisipasi, dalam dialog dimana peserta akan mengungkapkan usulan dengan prinsip aksi-
refleksi-aksi dan komunikasi horizontal. Dalam dialog proses yang terjadi diawali dengan
definisi program dimana terjadi kesenjangan informasi. Tipe masalah yang terjadi dapat
berupa sosial dan ekonomi masyarakat atau isu kemiskinan dan ketidakadilan. Strategi
komunikasi yang dikembangkan adalah merangkum isu yang general sehingga memperoleh
gambaran yang terjadi dan dapat merangkum solusi yang ada,
Suara atau pendapat yang sifatnya sentral bagi komunikasi dialogis adalah kesadaran
yang terdapat dalam setiap hubungan manusia. Perhatian Freire adalah pergeseran dalam
kekuasaan, menyuarakan kelompok marjinal, waktu dan ruang untuk mengartikulasikan
keprihatinan mereka, mengidentifikasi masalah, merumuskan solusi dan bertindak.
Menurut Canggara (2005), ada tiga bentuk dalam komuikasi diadik, yaitu percakapan,
dialog dan wawancara. Baik percakapan, dialog maupun wawancara memiliki karakteristik
masing-masing. Percakapan berlangsung dalam suasana yang bersahabat dan informal,
dialog berlangsung dalam situasi yang lebih intim, lebih dalam dan lebih personal, sedangkan
wawancara sifatnya lebih serius, yakni ada pihak yang dominan pada posisi bertanya dan
yang lainnya pada posisi menjawab.
Komunikasi partisipatif adalah suatu proses komunikasi dimana terjadi komunikasi dua
arah atau dialogis, sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang sama terhadap pesan yang
dismpaikan. Rahim (2004), mengajukan empat konsep terkait komunikasi partisipatif akan
mendorong terbangunnya pemberdayaan (empowerment) yaitu heroglasia, dialogis, poliponi
dan karnaval.
1. Heteroglasia, konsep ini menunjukkan fakta bahwa system pembangunan selalu dilandasi
oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda-beda dengan berbagai variasi
ekonomi, sosial dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Perbedaan
berikutnya adalah pada level aktivitas pembangunan baik ditingkat nasional-lokal,
makro-mikro, public-privat, teknis-ideologis, dan informasional-emosional.
2. Dialog adalah komunikasi transaksional dengan pengirim (sender) dan penerima
(receiver) pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai
pada makna-makna yang saling berbagi. Dalam dialog diperluas, masing-masing peserta
juga melakukan dialog dengan dirinya sendiri sebelum berbeicara atau merespon peserta
yang lain.

Dialog internal merupakan aspek penting dalam proses dialog. Ini mirip dengan
meditasi. Subjek meditasi menumbuhkan perhatian pada dunia sekitar dan subjek lain
yang ada dalam dunial ini secara diam berbicara dengan mereka, dan dalam proses
tersebut menguji secara kritis ideology mereka sendiri.
3. Poliponi adalah bentuk tertinggi dari suatu dialog dimana suara-suara yang tidak menyatu
atau terpisah dan meningkat menjadi terbuka, memperjelas satu sama lain, dan tidak
menutupi satu sama lain. Itu adalah suatu bentuk ideal dari komunikasi partisipatif
dimana keberadaan suara-suara disadari secara kolektif dengan menghubungkan berbagai
perlakuan konstruksi umum komunitas. Kesatuan poliponi bukan sesuatu yang
diperkenalkan dari luar tetapi terbangun dari suatu proses dialog sehingga otonomi suara
selalu diartikulasikan dengan yang lain, mendirikan ikatan saling ketergantungan yang
saling menguatkan.
4. Karnaval , pada konsep ini bagi komunikasi pembangunan membawa semua varian dari
semua ritual seperti legenda, komik, festival, permainan, parodi, dan hiduran secara
bersama-sama. Proses ini dilakukan dengan tidak formal dan biasa juga diselingi oleh
humor dan canda tawa. Karnaval tidak memiliki sanksi resmi. Ini merupakan lawan dari
sesuatu yang serius dan otoratif dari negara, agama, politik, dan doktrin-doktrin ekonomi.
Karnaval dan pembangunan bermain secara berdampingan.
Model partisipatori membutuhkan komunikator pembangunan menambahkan
dimensi baru pada aturan tradisional, contohnya inisiator, fasilitator, negosiator, dan
mediator. Komunikator pembangunan akan mencari keduanya, sumber dan penerima
pesan, menambahkan kontak langsung, dan interaksi penerima sebagaimana juga sumber.
Proses pasitipatori pada dasarnya akan transaksional. Nar dan White (2004) komunikasi
transaksional bukanlah merupakan proses persuasi satu arah. Itu merupakan dialog
dimana pengirim dan penerima pesan berinteraksi dalam periode waktu tertentu, datang
dan berbagi pemahaman. Sebagai contoh, ide baru atau oraktek lebih disukai diadopsi
jika penerima terlibat dalam dialog dan diskusi tentang kebutuhan mereka, alternative
tindakan, dan penerimaan dalam sumber-sumber untuk menyelesaikan tujuan
pembangunan.
Pesan pembangunan partisipatori secara langsung melibatkan audiens sasaran dan
berbagai proses yang diperlukan untuk membangun dan menyampaikan pesan
memanfaatkan baik sumber pengetahuan asli maupun dari luar. Beberapa prosesnya :
1. Mengidentifikasi dan menyeleksi audiens
2. Melakukan penilaian yang dibutuhkan
3. Membangun profil penerima
4. Membuat garis besar pesan dan pilihan media
5. Memilih saluran dan konteks untuk penyampaian pesan (Nair dan White,
2004)

Tingkat tertinggi partisipasi akan menemukan perwakilan sasaran penerima akan


terlibat dari kebutuhan penilaian melalui produksi media ke efektivitas evaluasi akhir.
Tingkat menengah memperpanjang partisipasi akan konsentrasi pada partisipasi yang
berarti dan sasaran penerima dalam mendesain dan memproduksi pesan. Level partisipasi
rendah tidak akan melibatkan sasaran penerima tetapi mengantisipasi komunikator
pembangunan, dalam kenyataannya mengadakan penilaian kebutuhan dalam kontak
dengan penerima. Tantangannya adalah menyederhanakan dan medesain model
konstruksi pesan level mikro yang menggabungkan partisipasi kuat dari sasaran
penerima.
G. Pendekatan Komunikasi Partisipatif
Komunikasi partisipatif awalnya diperkenalkan pertama kali dalam sebuah seminar di
Amerika Latin pada tahun 1978. Seorang intelektual Amerika bernama Paulo Freire
mencetuskan konsep komunikasi partisipastif bahwa setiap individu memiliki hak yang sama
untuk menyuarakan kata-katanya, baik secara individual atau bersama-sama. Kemudian
konsep ini berkembang ke beberapa negara, di Harare, Zimbabwe pada tahun 1994
menemukan bahwa konsep komunikasi partisipatif merupakan pendekatan yang mampu
memfasilitasi masyarakat terlibat pada proses yang mampu memberdayakan masyarakat akar
rumput sehingga mampu memenuhi kebutuhannya (Muchtar, 2016 : 21)
Sifat komunikatif yang dimaksud dalam hal ini adalah untuk membangun kepercayaan,
pertukaran pengetahuan dan persepsi tentang masalah serta peluang sehingga tercapai
konsensus dalam pemecahan masalah dengan semua pemangku kepentingan (Mefalopulos
2003). Dalam setiap tahapan pembangunan. Secara teoritis prinsip komunikasi partisipatif
adalah melibatkan masyarakat secara aktif mulai dari mengidentifikasi masalah sendiri,
mencari solusi, dan mengambil keputusan untuk penerapan tindakan dalam pembangunan
(Muchtar, 2016 : 21).
Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat diketahui bahwa pendekatan yang digunakan
dalam komunikasi partisipatif adalah pendekatan yang bersifat bottom-up atau suatu
pendekatan yang bersifat menyelesaikan permasalahan dari unit yang paling bawah.
Pendekatan ini dilakukan melalui adanya program-program yang membantu mesyarakat
petani, pedesaan atau masyarakat kecil lainnya untuk menyelesaikan permasalahan yang
terjadi di daerah tersebut. Sehingga masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan ini
menjadi berdaya dan dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi di daerahnya sendiri.
Akhirnya, daerah yang menjadi sasaran pembangunan menjadi mandiri.
Sasaran komunikasi pembangunan partisipatif adalah membangun desa-desa kecil yang
bagi sebagian orang dianggap remeh, dan memberdayakannya adalah pendekatan yang bisa
membangun dari satu unit terkecil dalam suatu negara. Jika setiap desa melakukan hal
demikian, hingga akhirnya tidak ada lagi desa yang mengalami 3T (tertinggal, terbelakang,
terdalam). Maka, pembangunan di daerah tersebut dapat dikatakan berhasil, di mana tingkat
kemiskinan dan pengangguran berkurang, meningkatnya taraf hidup masyarakat, dan juga
tingkat pendidikan penduduknya meningkat.
Daftar Pustaka

Deddy mulyana,Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007) h.
46
Melkote, S.R. (1991). Communication for Development in The Third Word: Theory and
Practice. New Delhi, California, London: Sage Publications
Muchtar, Karmila. 2016. PENERAPAN KOMUNIKASI PARTISIPATIF PADA
PEMBANGUNAN DI INDONESIA. Jurnal Makna. 1(1) : 20-32.

Nair KS, White SA. 2004. Paticipatory Message Development: Conceptual Framework dalam
White, SA dan Nair, KS, Ascroft, Josepth, 2004. Participatory Communication Working
for Change and development. New Delhi (IN): Sage Publication India Pvt Ltd.
Nasution, Belli., Anuar Rasyid. 2019. Komunikasi Sosial dan Pembangunan. Pekanbaru :
TAMAN KARYA.

Rahim SA. 2004. Participatory Development Com-munication as a Dialogical Process dalam


White, SA. 2004. Participatory Communication Work-ing for Change and Development.
New Delhi (IN): Sage Publication India Pvt Ltd.
Rinawati, Ririn. 2005. Komunikasi dan Pembangunan Parrtisipatif. MEDIATOR. 7 (2) : 175-184.

Surahmi, Andi., Farid, H. Muhammad. 2018. STRATEGI KOMUNIKASI DALAM


MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PEMBANGUNAN
DI KECAMATAN DUAMPANUA KABUPATEN PINRANG. JURNAL KOMUNIKASI
KAREBA. 7 (2) : 232-239.

Tubbs, Stewart L & Sylvia Moss, 1996, Human Communiacation, Prinsip-prinsip Dasar
Tufte T, Mefalopulos P. 2009. A practical Guide par-ticipatory Communication. Washington
(US) : The World Bank.
http://lib.unika.ac.id/index.php?p=fstream-pdf&fid=3698&bid=48553913

Anda mungkin juga menyukai