Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sapi merupakan salah satu hewan ruminansia. Hewan ruminansia ini termasuk dalam sub
ordo ruminansia dan ordonya adalah artiodaktil atau berkuku belah. Hewan ruminansia memiliki
empat lambung, yaitu: rumen, retikulum, omasum, abomasum. Selain itu hewan ruminansia juga
memakan makanan yang telah dicerna atau biasa disebut memamah biak (Sarwodo, 1993). Sapi
dipelihara terutama untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai bahan pangan. Hasil
sampingannya seperti kulit, jeroan, tulang dan tanduknya juga dimanfaatkan. Di sejumlah tempat,
sapi juga dipakai sebagai alat transportasi, seperti menarik gerobak atau bajak (Dudee, 2009).
Sapi bali merupakan keturunan asli banteng (Bibos banteng) yang telah mengalami proses
domestikasi sekitar 3500 SM di wilayah Pulau Jawa atau Bali dan Lombok. Ciri-ciri sapi bali
diantaranya; bentuknya seperti banteng tetapi lebih kecil; waktu masih muda (pedet) warnanya
merah bata dan warna yang jantan berubah menjadi hitam, sedang yang betina tidak berubah;
keempat kaki bagian bawah dan pantat berwarna putih; birahi pertama yang betina lebih kurang
umur 1 tahun dan jantan 1,75 tahun; dan berat badan rata-rata 250-400kg; tinggi rata-rata 130cm;
persentase karkas bisa mencapai 56,9%. Sapi bali, selain memiliki presentase daging yang
melebihi sapi-sapi lain, juga diketahui merupakan jenis yang sangat bagus untuk digunakan dalam
usaha penggemukan sapi (Setiadi, 2001).
Berdasarkan tingkat kedewasaannya, sapi bali dapat dibedakan atas pedet, sapi dara, sapi
dewasa. Sapi pedet merupakan sapi dari umur 0 sampai 8 bulan. Pada tahap ini, pedet
mengkonsumsi susu induknya. Susu induk yang keluar 1-4 hari ini disebut kolostrum. Hal ini
penting karena kolostrum mengandung zat yang berguna untuk pertumbuhan pedet. Sapi dara
merupakan sapi yang berumur sekitar 9 bulan hingga 2 tahun yang belum pernah bunting.
Sedangkan sapi dewasa merupakan sapi yang telah mengalami tingkat dewasa, dalam hal ini sapi
sudah pernah bunting dan telah beranak (AAK, 1995). Tingkat kedewasaan berpengaruh pada
sistem pencernaan sapi bali. Semakin dewasa sapi, maka sistem pencernaan semakin sempurna.
Pakan merupakan hal yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan sapi bali.
Mutu dan jumlah makanan dan cara-cara pemberiannya sangat mempengaruhi kemampuan

1
produksi sapi. Untuk mempercepat penggemukan, selain diberi rumput, perlu juga diberi
konsentrat yang merupakan campuran berbagai bahan makanan umbi-umbian, sisa hasil pertanian,
sisa hasil pabrik yang memiliki kecukupan gizi dan mudah dicerna sapi. Campuran seperti dedak
halus, bungkil dari macam-macam bungkil, jagung giling, ampas tahu juga baik untuk makanan.
Jenis bahan makanan penguat biasa bervariasi tergantung tersedianya jenis bahan di daerah
tersebut. Rumput-rumputan dan hijauan lain yang dapat diberikan bermacam-macam, seperti
rumput lapangan atau rumput-rumput tertentu jenis unggul seperti rumput gajah, rumput benggala,
dan lain-lain (Murtidjo, 1990).
Cara pemeliharaan sapi bali tergantung luas wilayah hijauan dan ketersediaan lahan
tersebut. Tipe pemeliharaan sapi bali dapat dikandangkan atau digembalakan. Kandang bagi ternak
berfungsi sebagai tempat berlindung dari sengatan matahari, guyuran hujan, tiupan angin kencang
sehingga dapat mempengaruhi kesehatan dan pertumbuhan sapi bali. Sapi bali yang dikandangkan
juga akan memudahkan peternak dalam melakukan pemeliharaan dan perawatan. Sapi bali yang
dikandangkan, pakan harus tersedia banyak dan memenuhi kebutuhannya, sedangkan yang
digembalakan dapat memilih pakan di sekitar lingkungan adaptasinya (Guntoro, 2002).
Dilihat dari luas wilayah kota Denpasar, menunjukkan bahwa kurang tersedianya lahan
untuk pemeliharan sapi bali sehingga memunculkan alternatif pemeliharaan sapi bali yang
digembalakan di Tempat Pembuangan Akhir Suwung (TPA). Umumnya, sampah yang dibuang ke
TPA Suwung didominasi oleh sampah organik seperti sampah daun, sisa makanan, sisa buah-
buahan, dan sisa sayuran. Jenis-jenis sampah organik tersebut merupakan bahan pakan sapi bali
yang potensial. Sapi bali yang digembalakan dengan cara dilepas di sekitar TPA dapat memilih
pakan dengan bebas, dengan cara seperti ini sapi dapat beradaptasi dengan baik. Jika dilihat secara
sepintas tidak terdapat perbedaan fisik antara sapi bali yang digembalakan di TPA Suwung dengan
sapi bali yang dikandangkan di Sobangan.
Pada sapi yang digembalakan di TPA sapi bali mengkonsumsi sampah limbah rumah tangga
dan limbah-limbah dapur lainnya. Berbeda halnya dengan sapi bali yang dikandangkan di sentra
pembibitan sapi bali di Sobangan dengan manajemen pakan yang baik. Pakan yang diberikan di
Sobangan yaitu berupa hijauan dan konsentrat. Pada sistem pencernaan sapi bali terdapat suatu
proses yang disebut memamah biak (ruminansia). Pada proses mencerna pakan dibutuhkan
mikroba dalam memfermentasi pakan. Pakan berserat (hijauan) yang dimakan ditahan untuk
sementara di dalam rumen. Pada saat hewan beristirahat, pakan yang telah berada dalam rumen
dikembalikan ke mulut (proses regurgitasi), untuk dikunyah kembali (proses remastikasi),
kemudian pakan ditelan kembali (proses redeglutasi). Selanjutnya pakan tersebut dicerna lagi oleh
enzim-enzim mikroba rumen. Kontraksi retikulorumen yang terkoordinasi dalam rangkaian proses
tersebut bermanfaat pula untuk pengadukan digesta inokulasi dan penyerapan nutrien. Di dalam
rumen terdapat populasi mikroba yang cukup banyak jumlahnya. Mikroba rumen dapat dibagi
dalam tiga grup utama yaitu bakteri, protozoa dan fungi. Kehadiran mikroba di dalam rumen diakui
sangat bermanfaat bagi pencernaan pakan serat, karena mikroba membentuk koloni pada jaringan
selulosa pakan.
Ditemukan lima jenis bakteri yang terdapat pada permukaan tubuh lalat yang terdapat di
TPA yang terdiri dari empat jenis bakteri Enterobacteriaceae yaitu Enterobacter aerogenes,
Escherichia coli, Proteus sp. dan Serratia marcescens serta satu jenis bakteri basil dari genus
Bacillus sp. (Suraini, 2011). Enterobacteriaceae yaitu Enterobacter aerogenes, Escherichia coli,
dan Serratia marcescens merupakan bakteri golongan coliform. Sapi bali yang digembalakan di
TPA Suwung memungkinkan untuk tercemar oleh jenis bakteri tersebut di dalam saluran
pencernaanya. Perbedaan jumlah bakteri coliform pada berbagai tingkat kedewasaan sapi serta
cara pemeliharaannya belum pernah dilaporkan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah jumlah bakteri coliform feses sapi bali dewasa lebih tinggi dibandingkan sapi dara
dan pedet?
2. Apakah jumlah bakteri coliform feses sapi bali yang digembalakan di TPA Suwung lebih
tinggi daripada sapi bali yang dikandangkan di Sobangan?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan jumlah bakteri coliform
saluran cerna pada sapi Bali menurut tingkat kedewasaan dan tipe pemeliharaannya.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini, adalah dapat memberikan informasi mengenai pengaruh
tingkat kedewasaan dan tipe pemeliharaan sapi bali terhadap jumlah bakteri coliform saluran
pencernaannya.

Anda mungkin juga menyukai