PDF Nervus I Dan Kelainannya
PDF Nervus I Dan Kelainannya
A. PENDAHULUAN
Saraf otak (nervus cranialis) adalah saraf perifer yang berpangkal pada batang otak dan
otak. Fungsinya sebagai sensorik, motorik dan khusus. Fungsi khusus adalah fungsi yang bersifat
panca indera, seperti penghidu, penglihatan, pengecapan, pendengaran dan keseimbangan.
Saraf otak terdiri atas 12 pasang, saraf otak pertama langsung berhubungan dengan otak tanpa
melalui
batang otak, saraf otak kedua sampai keduabelas semuanya berasal dari batang otak. Saraf
otak kedua dan ketiga berpangkal di mesensefalon, saraf otak keempat, lima, enam dan tujuh
(1)
berinduk di pons, dan saraf otak kedelapan sampai keduabelas berasal dari medulla oblongata.
Dari sudut pandang evolusi, penciuman merupakan indera yang paling primitive dan
paling penting dibandingkan dengan indera lainnya. Alat indera penciuman ini mempunyai
kedudukan utama di kepala, yang sesuai sebagai indera yang dimaksudkan untuk menuntun
perilaku. Penciuman mempunyai jalur yang lebih langsung ke otak daripada indera-indera lain.
Reseptor pada badian atas hidung, dalam olfactory ephitelium setiap rongga hidung
dihubungkan langsung tanpa sinapsis ke umbi-umbi olfactory otak, yang terletak di bawah
lipatan frontal ( frontal lobes). Gangguan penciuman bisa sekunder akibat proses perjalanan
penyakit atau bisa
juga sebagai keluhan primer .Daya menghidu yang hilang atau berkurang terjadi pada kira-kira
1% dari mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan lebih dari 50 % pada mereka yang berusia
lebih dari 60 tahun.(2)
B. ANATOMI
Sistem pembauan manusia dimulai dari reseptor olfaktorius yang terdiri dari muko sa
olfactoriu s, fila olfakt ori, bulbu s olfakt oriu s, trakt u s olfakt oriu s, ko rtek s
(paleoko rtek s ) unku s
lobu s tem poralis, dan area
subka losal3 .
Mukosa olfaktorius terletak pada atap masing-masing kavitas nasal dan meluas sampai
1
konkha nasalais superior serta septum nasi. Pada mukosa ini dijumpai epitel olfaktorius,
jaringan ikat, pembuluh darah, dan kelenjar Bowman.yang memproduksi cairam mucus
yang disebut
2
mucus olfaktorius (berfungsi sebagai pelarut aroma pembauan). Epitel olfaktorius terdiri dari
tiga tipe sel yaitu :
1. Sel olfaktorius
2. Sel penunjang/sel
sistem olfaktorius dihubungkan dengan sistem limbik. Striae intermediate berlokasi di bawah
2
trigonum olfaktorius. Sejumlah serabut diproyeksikan ke area ini dan nampaknya tidak terlalu
penting/ berarti pada manusia3.
Sel-sel reseptor untuk sensasi penghidu adalah sel olfaktorius yang pada dasarnya
merupakan sel saraf bipolar yang berasal dari sistem saraf itu sendiri. Bagian sel olfaktorius
yang member respons terhadap rangsangan kimia olfaktorius adalah silia olfaktorius. Substansi
yang
berbau yang tercium saat kontak dengan permukaan membrane olfaktorius mula-mula
menyebar secara difus ke dalam mucus yang menutupi silia. Selanjutnya, akan berikatan dengan
protein reseptor di membrane setiap silium. Setiap protein resptor sebenarnya merupakan
molekul
panjang yang menyusupkan diri melalui membrane, yang melipat kea rah dalam dan ke arah
luar kira-kira sebanyak tujuh kali. Bau tersebut berikatan dengan bagian protein reseptor
yang melipat ke arah luar. Namun demikian, bagian dalam protein yang melipat akan saling
berpasangan untuk membentuk yang disebut protein G, yang merupakan kombinasi dari tiga
subunit. Pada perangsangan protein reseptor, subunit alfa akan memecahkan diri dari protein-G
dan segera mengaktifasi adenila siklase, yang melekat pada sisi dalam membrane siliar di dekat
badan sel reseptor. Siklase yang teraktifasi kemudian mengubah banyak molekul adenosine
trifosfat intrasel menjadi adenosis monofosfat siklik (cAMP). Akhirnya, cAMP ini mengaktifasi
protein membrane lain di dekatnya, yaitu gerbang kanal ion natrium, yang akan membuka
³gerbangnya´, dan memungkinkan sejumlah besar ion natrium mengalir melewati membrane ke
reseptor di dalam sitoplasma sel. Ion natrium akan meningkatkan potensial listrik dengan arah
positif di sisi dalam membrane sel, sehingga merangsang neuron olfaktorius dan menjalarkan
potensial aksi ke dalam sistem saraf pusat melalui nervus olfaktorius. Untuk merangsang sel-sel
olfaktorius, selain mekanisme kimiawi dasar masih terdapat beberapa factor fisik yang
mepengaruhi derajat perangsangan. Pertama, hanya substansi yang dapat menguap yang dapat
tercium baunya yaitu dapat terhirup ke dalam nostril-nostril. Kedua, substansi yang merangsang
tersebut paling sedikit harus bersifat larut dalam air, sehingga bau tersebut dapat melewati
mucus untuk mencapai silia olfaktorius. Ketiga, silia ini akan sangat membantu bagi bau yang
paling sedikit larut dalam lemak, diduga karena konstituen lipid pada silium itu sendiri
merupakan
penghalang yang lemah terhadap bau yang tidak larut dalam lemak 5.
Serabut saraf yang kembali dari bulbus disebut nervus kranialis I atau traktus olfaktorius.
Namun demikian, pada kenyataannya kedua traktus dan bulbus merupakan pertumbuhan
jaringan otak dari dasar otak ke arah anterior ; pembesaran yang berbentuk bulat pada ujungnya
disebut bulbus olfaktorius, terletak pada lempeng kribiformis yang memisahkan rongga otak
dari
bagian atas rongga hidung. Lamina kribiformis memiliki banyak lubang kecil yang merupakan
tempat masuknya saraf-saraf kecil dalam jumlah yang sesuai berjalan naik dari membrane
olfaktorius di rongga hidung memasuki bulbus olfaktorius di rongga cranial. Terdapat hubungan
yang erat antara sel-sel olfaktorius di membrane olfaktorius dengan bulbus olfaktorius yang
memperlihatkan bahwa akson-akson pendek dari sel olfaktorius akan berakhir di struktur globular
yang multiple di dalam bulbus olfaktorius yang disebut glomeruli. Setiap glomeruli
merupakan ujung untuk dendrite yang berasal dari sekitar 25 sel-sel mitral yang besar dan
sekitar 60 sel-sel berumbai yang lebih kecil, dengan badan sel yang terletak di bulbus olfaktorius
pada
bagian superior glomeruli. Dendrite ini menerima sinaps dari sel saraf olfaktorius, sel mitral,
dan sel berumbai yang mengirimkan akson-akson melalui traktur olfaktorius untuk menjalarkan
sinyal-sinyal olfaktorius untuk menjalarkan sinyal-sinyal olfaktorius ke tingkat lebih tinggi di
sitem saraf pusat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa glomeruli yang berbeda akan
memberikan respon bau yang berbeda pula. Kemungkinan bahwa glomeruli tertentu merupakan
petunjuk sebenarnya untuk menganalisis berbagai sinyal bau yang dijalarkan ke dalam sistem
saraf pusat5.
Traktus olfaktorius memasuki otak pada sambungan anterior antara mesensefalon dan
serebrum ; disini traktus akan terbagi menjadi dua jaras, satu berjalan medial menuju area
olfaktori medial, dan yang lain berjalan lateral menuju area olfaktorius lateral. Area olfaktorius
medial mewakili sistem olfaktorius yang paling tua sedangkan area olfaktorius lateral
merupakan input untuk sistem olfaktorius yang tuda dan sistem olfaktorius yang paling baru.
Sistem olfaktorius paling tua/ medial terdiri dari sekelompok nuclei yang terletak di bagian
tengah basal otak tepat di anterior hipotalamus. Sebagian besar bentuk yang mencolok ini
adlaha nuklei septum yang merupakan nuclei di garis tengah yang masuk ke dalam
hipotalamus dan bagian
primitive lainnya dalam sistem limbic otak. Sistem ini mencetuskan reflex olfaktorius paling
dasar. Sistem olfaktorius kurang tua/lateral terutama dari korteks piriformis dan korteks
prepiriformis ditambah bagian kortikal niklei amygdaloid. Dari daerah ini, jaras sinyal berjalan
hampir ke semua bagian sistem limbic seperti hipokampups yang tampaknya menjadi hal
penting dalam prose belajar untuk menyukasi atau tidak menyukai makanan tertentu yang
bergantung
pada pengalaman seseorang terhadap makanan sehingga sistem ini yang memberikan
pengaturan otomatis tetapi sebagian berasal dari pengendalian mengenai asupan makanan dan
penolakan makanan yang tidak sehat dan beracun. Gambaran penting area olfaktorius lateral
adalah bahwa sebagian besar jaras sinyal dari area ini langsung masuk ke bagian korteks serebri
yang lebih tua yang disebut paleokorteks dalam bagian anteromedial lobus temporalis. Ini adalah
satu-satunya area dari seluruh korteks serebri yang merupakan tempat sinyal sensorik berjalan
langsung ke korteks tanpa terlebih dahulu melewati thalamus. Sistem yang lebih baru berjalan
melalui thalamus melewati dorsomedial nucleus talamik kemudian ke kuadran lateroposterior korteks
orbitofrontalis. Sitem yang lebih baru yang sebanding dengan sebagian besar sistem
sensorik kortikan lainnya dan digunakan untuk persepsi dan analisis olfaksi secara sadar 5.
Sistem olfaktorius memiliki hubungan dengan sistem limbic seperti yang telah dijelaskan di
atas. Hal ini dapat terlihat bahwa penciuman dapat terekam dan memicu suatu respon
emosional6.
Gambar 4. Fisiologi sistem olfaktorius7
C. ETIOLOGI
Disfungsi olfaktorius dapat dikelompokkan dalam tiga kelas yaitu 8 :
y Gangguan konduktif atau transport
y Gangguan sensorineural akibat kerusakan neuroepitel
y
Gangguan pada central olfaktorius dikarenakan kerusakan sistem saraf pusat
Terdapat beberapa penyebab dari gangguan olfaktorius yaitu :
1. Gangguan Nasal atau Sinus
Gangguan pada cavum nasal digolongkan dalam gangguan konduksi dan sensorineural.
Pada gangguan konduksi, bau tidak dapat kontak dengan epitel olfaktorius sedangkan
gangguan sensorineural bau dapat melakukan kontak dengan epitel olfaktorius namun
tidak mampu mampu diproses untuk menghasilkan impuls yang akan diteruskan ke
sistem yang lebih tinggi. Contoh nya : poliposis intranasal, sinusitis kronik, dan rhinitis
alergi8.
2. Trauma kepala/ post trauma
Pada umumnya, trauma pada lobus frontal dan lobus oksipital dapat menyebabkan
gangguan penciuman. Gangguan olfaktorius sebanding dengan luas serta tingkat
keparahan trauma8.Heywood et al (1990) mencocokkan GCS pasien dengan skore tes
olfaktorius dan menemukan adanya korelasi antara tingkat keparahan dari trauma
capitis dengan disfungsi olfaktorius. Pada cedera ringan (GCS 13-15), 13% pasien
mengalami anosmia total dan 27% menunjukkan perbaikan. Pada cedera sedang, (GCS
9-12), 11%
pasien mengalami anosmia dan 67% mengalami perbaikan. Pada cedera berat, 25%
pasien mengalami anosmia dan 67% mengalami perbaikan. Disfungsi olfaktorius pada
post trauma disebabkan oleh beberapa mekanisme yaitu : (1) perubahan dari traktus
sinonasal (2) robekan dari filament nervus olfaktorius (3) kontusio cerebri dan
hemoragik pada region olfaktorius. Pada trauma kepala, pasien biasanya mengalami
hematom, edema, dan avulse pada olfactory cleft oleh karena trauma pada neuroepitel
olfaktorius. Selain itu didapat kan juga scar dengan formasi sinekia, fraktur os nasal.
Hal ini dapat menghalangi partikel bau untuk sampai ke neuroepitel olfaktorius. Axon
dari reseptor olfaktorius sangat lembut dan masuk melalui foramina kecil dari lamina
kribiformis pada basal cranial dan melakukan sinaps di bulbus olfaktorius. Adanya
sobekan ataupun gesekan pada axon selama proses trauma dapat menyebabkan
disfungsi
olfaktorius. Hal ini dapat terjadi disertai dnegan fraktur region naso-orbita-ethmoid
region, meliputi lamina kribiformis. Trauma kepala menyebabkan suatu contusion atau
perdarahan intraparenkim. Contusion dari bulbus olfaktorius atau lesi cortical pada
region olfaktorius (amygdale, lobus temporal, lobus frontal) dapat menyebablan
anosmia
post traumatic. Doty et al (1997) meneliti 66 pasien dengan disfungsi olfaktorius
dikarenakan trauma kepala selama 1 bulan hingga 13 tahun. 36,6% menunjukkan
perbaikan, 18% menjadi semakin buruk, dan 45% tidak mengalami perubahan 9.
3. Infeksi saluran nafas atas
Disfungsi olfaktorius yang disebabkan karena infeksi saluran nafas atas terjadi pada 20-
30 % kasus. Dikatakan bahwa gangguan penciuman pada kasus ini sulit untuk ditangani
karena melibatkan kehilangan sensoris dari olfaktorius. Penelitian yang dilakukan oleh
Jafek and Eller pada epite olfaktorius manusia menunjukkan bahwa hilangnya cilia
olfaktorius pada pasien dengan infeksi saluran nafas atas. Biopsi menunjukkan bahwa
cilia hilangdari dendrite olfaktorius dan hanya sedikit neuron olfaktorius serta axonnya
pada pasien infeksi saluran nafas atas. Hal ini sejalan dengan teori bahwa virus influensi
dapat mempengaruhi aktivitas silia pada epitel respiratori 9.
4. Gangguan pada sistem saraf pusat
Pada umumnya, CNS disorder dapat memberikan pengaruh pada sistem olfaktorius.
Kehilangan sensitivitas penciuman merupakan gejala pertama pada penyakir Alzheime.
Hal ini merupakan tanda dari terjadinya plaq neural, gangguan pada neurofibrial dan
kehilangan sel pada nucleus olfaktorius anterior. Selain itu, penurunan daya penciuman
terjadi pada pasien ini dikarenakan bulbus olfaktorius memiliki hubungan yang luas
dengan area otak yang mengalami kerusakan dikarenakan Alzheimer Disease.
Parkinson Disease juga dapat member manifestasi gangguan penciuman
namun dengan
patomekanisme yang belum jelas9. Tumor yang mencakup lobus temporalis anterior dan
basisnya (tumor intrinsic atau ekstrinsik), yang dapat menghasilkan serangkaian
unsinatus dalam bentuk yang tidak menyenangkan, atau kadang-kadang halusinasi
olfaktorius yang menyenangkan. Serangkaian lobus temporalis dapat dimulai dengan
aura olfaktorius. Giri prepiriformis dan hipokampus (Brodmann 28) mungkin terlibat
dalam persepsi dan pengenalan bau, dan membandingkannya dengan impresi olfaktorius
10
sebelumnya, dan dalam menghubungkan impresi tersebut dengan pengalaman pada
11
situasi yang tidak jelas10. Meningioma di fosa kranii anterior (misalnya olfaktorius
meningioma) akan dapat menimbulkan sindrom dari Foster-Kennedy, yaitu: anosmia di
sisi tumor, buta dan atrofi papil primer di sisi tumor, dan papil edema di sisi
kontralateral11.
5. Kausa lain
Inhalasi dari limbah industry dapat menyebabkan suatu disfungsi olfaktorius. Paparan
yang kronik dari benzene, butyl asetats, formaldehyde dilaporkan memiliki korelasi
dengan gangguan penciuman. Tumor intranasal (papiloma, hemangioma,
esthesioneuroblastoma) serta tumor intracranial (meningima olfactory groove, tumor
pituitary, tumor lobus frontal) dapat menyebabkan disfungsi olfaktorius. Gangguan
endokrin juga memiliki korelasi dengan gangguan penciuman. Mekanisme dari
kehilangan penciuman ini masih belum jelas. Penyakit endokrin yang dapat
menyebabkan disfungsi olfaktorius yaitu Addison¶s disease, Turner syndrome,
D. GEJALA KLINIS
Gangguan penciuman dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu 12 :
1. Gangguan kuantitatif : kehilangan atau penurunan kemampuan penciuman (anosmia,
3. Halusinasi penciuman dan delusi dikarenakan gangguan lobus temporal atau gangguan
psikiatrik
4. Kehilangan kemampuan dalam diskriminasi penciuman
Anosmia
Anosmia adalah hilangnya suatu penciuman yang dapat disebabkan oleh kelainan-
kelainan yaitu agenesis traktus olfaktorius (cacat bawaan), gangguan mukosa olfaktorius
(rhinitis, tumor hidung), robekan fila olfaktori akibat fraktur lamina kribrosa, destruksi bulbus
dan traktur olfaktorius akibat adanya kontusio kontrakoup, trauma region orbita, infeksi
sekitarnya seperti sinusitis ethmoid, dan inflamasi menings, tumor fossa cranial anterior seperto
meningioma fossa ethmoida/olfactory groove (yang menampilkan trias anosmia, sindrom
Foster Kennedy, dan gangguan personal lobus orbital, adenoma pituitary (yang meluas ke
rostral)3. Anosmia unilateral jarang dikeluhkan oleh pasien dan anosmia bilateral biasanya
dikeluhkan oleh pasien sebagai tidak adanya sensasi pengecapan (ageusia). Hal ini
menunjukkan bahwa sensasi pengecapan bergantung pada partikel makanan yang mencapai
reseptor olfaktorius kemudian ke nasofaring dan dipersepsi, ini merupakan kombinasi dari
penciuman, pengecapan, dan sensasi taktil. Gangguan penciuman dapat diidentifikasi dengan tes
penciuman dan menggunakan stimulus bau yang noniritatif. Pertama diletakkan di nostril
kemudian di sebelahnya dan meminta pasien untuk menncium dan mengidentifikasinya. Jika
bau dapat tercium dan dideskripsikan namun tidak dapat diketahui jenisnya maka nervus
olfaktorius nya
intak. Namun jika bau tidak dapat tercium maka terjadi gangguan pada nervus olfaktorius.
Ammonia ataupun substansi sejenis tidak dapat digunakan sebagai stimulus pada tes ini karena
tidak menguji penciuman namun mengiritasi mukosa yang berakhir di nervus trigeminus.
Hilangnya penciuman biasanya terjadi di tiga aspek yaitu hidung (bau tidak mencapai
reseptor olfaktorius), neuroepitheil olfaktorius (destruksi dari reseptor atau filament axon),
dan central (lesi di traktur olfaktorius). Hendriks menemukan bahwa infeksi saluran nafas
bagian atas,
penyakit sinus paranasalis, dan trauma kepala merupakan kasus yang paling
banyak menyebabkan anosmia. Hiposmia bilateral atau anosmia paling sering disebabkan
oleh hipertrofi atau hiperemi mukosa sehingga stimulus olfaktorius tidak mampu mencapai sel
reseptor. Paling sering didapatkan pada perokok berat, rhinitis atrofi, sinusitis atau alergi,
vasomotor, polip nasal,
penggunaan berlebihan dari vasokontriksi topical. Biopsy dari mukosa olfaktorius pada rhinitis
alergi menunjukkan bahwa sel epitel sensori masih ada namun terjadi atrofi dan perbuhan
bentuk. Influenza, herpes simplex, dan virus hepatitis dapat menyebabkan hiposmia atau anosmia
jika terjadi destruksi sel reseptor dan dapat bersifat permanen jika menyerang sel basal.Terdapat
juga kondisi dimana tidak adanya neuron reseptor primer atau hipoplastik dan kurangnya silia,
hal ini terjadi pada sindrom Kallman dan hypogonadotropic hypogonadism. Kelainan ini juga
12
terjadi pada sindrom Turner dan albino karena tidak adanya pigmen olfaktorius atau kelainan
12
struktur congenital .
13
Anosmia yang terjadi pada pasien trauma kepala biasanya disebakan karena fraktur lamina
kribiformis. Kerusakan dapat terjadi unilateral atau bilateral. Pembedahan cranium,
perdarahan subarachmoid, dan inflamasi kronik dari meanings juga dapat memberikan
efek anosmia. Namun, sebagian besar kasus anosmia traumatic juga menyebabkan ageusia yang
biasanya pulih setelah beberapa minggu. Lesi bilateral dekat dengan frontal dan region
paralimbik, dimana reseptor olfaktorius dan gustatory berdekatan, mungkin dapat menjelaskan
hal ini namun belum dapat dibuktikan. Penyakit nutrisi dan metabolic seperti defisiensi thiamin,
defisiensi vitamin A, insuffisiensi adrenal dan tiroid, sirosis, dan gagal ginjal kronik dapat
bermanifestasi pada transient anosmia sebagai akibat dari disfungsi sensorineural. Beberapa
agen toksik (benzene, metals, cocaine, corticosterois, methotrexate, antibiotic aminoglycosida,
tertrasiklin, L-dopa) dapat merusak epitel olfaktorius12.
Dilaporkan bahwa terdapat beberapa pasien degenerative pada otak menunjukkan gejala
anosmia atau hiposmia dengan patofisiologi yang belum jelas yaitu Alzheimer, Parkinson,
Huntington, dan Pick Disease. Anosmia juga ditemukan pada pasien dengan epilepsy lobus
temporal dan pasien yang pernah menjalani anterior temporal lobectomy 12.
Fungsi penciuman akan menurun dengan bertambahnya usia. Sel reseptor akan menurun
dan jika terjadi di regional, neuroephiteliaum secara lambat akan diganti dengan respiratory
ephitelium. Neuron dari bulbus olfaktorius juga akan menurun sebagai bagian proses penuaan.
Epitel nasal dan nervus olfaktorius dapat terganggu pada Wegener granulomatosis dan
craniopharyngioma. Meningioma di area olfaktorius dapat menginvasi hingga bulbus olfaktorius
dan traktusnya juga dapat meluas hingga posterior sehingga melibatkan nervus optikus, kadang-
kadang dengan atrofi optic, dan jika diikuti dengan papil edema kontralateral, kelainan ini
disebut dengan Foster Kennedy Sindrom. Aneurysma pada anterior cerebral atau
anterior communicate artery dapat memberikan manifestasi yang sama. Anak-anak dengan
meningoenchepaloceles juga dapat menyebabkan anosmia dan CSf rhinorea12.
Kebenaran mengenai suatu hiperosmia hanya merupakan perkiraan saja. Individu
biasanya mengeluh terlalu sensitive terhadap suatu bau tapi tidak ada bukti yang menyatakan
mengenai ambang batas dari persepsi terhadap suatu bau. Selama serangan migraine dari aseptic
meningitis, pasien biasanya tidak hanya sensitive terhadap cahaya tetapi juga terhadao bau.
P arosmia
Parosmia atau disosmia adalah abnormalitas penciuman dimana seseorang salah persepsi
terhadap sesuatu yang ia cium. Parosmia dapat terjadi pada kasus-kasus skizofrenia, lesi-lesi
unsinatus, dan hysteria3.Parosmia juga dapat terjadi pada gangguan nasopharyngeal seperti
emphyiema sinus nasal dan ozena. Jaringan yang abnormal kemungkinan menjadi sumber bau
yang tidak menyenangkan bagi pasien. Parosmia bisa didapatkan pada pasien di usia muda atau
pertengahan yang memiliki depresi.
H
lusinasi olfaktorius
a
Pasien mengaku dapat mencium bau dimana orang lain tidak mampu menciumnya
disebut dengan phantosmia. Jika pasien mengaku sering mengalami halusinasi dan memberikan
gangguan kepribadian, maka gejala yang dialami diasumsikan sebagai suatu delusi. Gabungan
antara halusinasi olfaktorius dan delusi merupakan suatu gangguan psikiatrik. Pada skizofrenia,
stimulus berasal dari ekstrinsik dan disebabkan oleh seseorang yang menjadi stressor pasien.
Pada depresi, stimulus berasal dari intrinsic dan lebih meluas. Ada beberapa pendapat yang
mempercayai bahwa kelompok amygdale nuclei adalah sumber dari halusinasi. Halusinasi
olfaktorius dan delusi dapat terjadi pada demensia Alzheimer, namun jika hal ini sudah terjadi
diperkirakan sudah terdapat late-life depression 12.
Agnosia Olfaktorius
Harus dipertimbangkan kelainan dimana aspek persepsi primer dari penciuman (deteksi
bau, adaptasi bau, dan mengenal kualitas berbeda dari bau yang sama) masih baik namun terjadi
ketidakmampuan untuk membedakan bau dan mengenal kualitas bau. Ketidakmampuan
untuk mengidentifikasi atau mendeskripsikan sensasi disebut agnosia. Untuk mengetahui kelainan ini
dibutuhkan tes yang khusus, seperti mencocokkan sampel, identifikasi, dan memberi nama
berbagai macam bau dan mengelompokkan dimana dua bau identik atau berbeda. Perubahan
fungsi dari olfaktorius merupakan karakteristik pasien dengan Psikosis Korsakoff dengan
alkoholik. Sebagian besar pasien Korsakoff terdapat lesi medial nucleus dorsal dari thalamus.
Beberapa penelitian dilakukan pada hewan yang menggambarkan bahwa nucleus dan
hubungannya dengan korteks orbitofrontal member efek gangguan pada diskriminasi bau.
Eichenbaum dan beberapa peneliti menunjukkan bahwa kelainan penciuman dapat terjadi pada
pasien yang pernah menjalani reseksi ekstensif lobus temporal medial bilateral. Operasi ini
dipercaya telah menghilangkan aferen olfaktorius ke korteks frontal dan thalamus, namun belum
ada bukti anatomi untuk hal ini 12.
E. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Dari anamnesis, didapatkan beberapa keluhan berupa dalah hilangnya daya penghiduan,
kurang tajamnya penciuman, daya penciuman yang terlalu peka, gangguan penciuman
bilamana tercium bau yang tidak sesuai misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bau
bawang goring, penciuman yang tidak menyenangkan atau yang memuakan seperti bacin
, pesing dsb, maka digunakan istilah lain yaitu kakosmia, bila tercium suatu modalitas
olfaktorik tanpa adanya perangsangan. Selain itu, harus diketahui gejala lain yang
mendasari misalnya kejang, gangguan memori, tanda-tanda peningkatan intracranial
(mual, muntah, sakit kepala), adanya demam, rhiore, ketajaman penglihatan 13,.
2. Pemeriksaan Fisis13
Pemeriksaan fisis untuk menilai letak kelaianan pada gangguan penciuman dapat
dilakukan evaluasi nasal berupa rhinoskopi anterior dan endoscopy. Dengan cara ini,
maka dapat dievaluasi neuroepitel olfaktorius dan mengetahui jika terjadi hambatan
udara
pada neuroepitel. Pada pemeriksaan nasal, mukosa nasal dievaluasi warna, struktur,
edema, imflamasi, eksudat, ulserasi, metaplasia epitel, erosi, ataupun atrofi. Jika
didapatkan rhinore purulen pada cavitas nasi, mungkin terjadi suatu rhinitis. Jika rhinore
berasal dari meatus media, maka mungkin terjadi sinusitis maxillaries dan ethmoidalis
anterior. Jika rhinore berasal dari meatus superior atau recessus sphenoethmoidalis maka
kemungkinan terjadi sinusitis ethmoidal posterior atau sphenoid. Adanya massa, polip,
adhesi, ataupun deviasi septum memiliki potensi dalam penurunan aliran udara menuju
epitel olfaktorius. Jika terjadi alergi, maka mukosa akan terlihat pucat dan edem. Paparan
polutan pabrik yang akut ataupun kronik akan memberikan gambaran metaplasia epitel
berupa edem, inflamasi, eksudat, erosi, ataupun ulserasi. Atrori dari lamina propria
menunjukkan suatu rhitnitis atrofi atau rhinitis medikamentosa. Setelah dilakukan
pemeriksaan rhinoskopi anterior, maka dilakukan tes penciuman.
Pemeriksaan sensoris fungsi penciuman dibutuhkan untuk memastikan keluhan
pasien, mengevaluasi kemanjran terapi, dan menentukan derajat gangguan permanen.
1. Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif
Langkah pertama dalam pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh
mana keberadaan sensasi kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia untuk
pemeriksaan penciuman.
a. Tes Odor stix
Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang
menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari
hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar.
Tes alkohol 12 inci ± Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap
bau, tes alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja
dibuka dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien.
b. Scratch and sniff card
Tersedia scratch and sniff card yang mengandung 3 bau untuk menguji
disfungsi kemosensoris.
3. Pemeriksaan Penunjang13
y Pemeriksaan laboratorium
Jika penyebab gangguan penciuman tidak jelas, maka pemeriksaan laboratorium
lengkap dapat diindikasikan untuk menemukan suatu proses infeksi, nutrisi, serta
proses hematopoietic. Untuk mengidentifikasi proses autoimun atau inflamasi dapat
dilakukan pemeriksaan sedimen eritrosit.
y CT Scan
Sensitivitas dari Computed Tomografi (CT) pada jaringan lunak menjadikan
pemeriksaan ideal pada cavitas sinonasal. Semua cavitas nasal, sinur paranasal,
palatum durum, anterior skull base, orbit, dan nasopharyng dapat terlihat. Potongan
coronal dapat menilai anatomi dari paranasal dan region anterior nasoethmoidal.
Untuk menilai lesi vaskuler, tumor, abses, dan prosessus meningeal dan
parameningeal, CT scan dengan kontras dapat dilakukan.
y MRI
MRI lebih baik dari pada CT untuk mengidentifikasi jaringan lunak namun kurang
sensitive untuk kelainan kortikal tulang. MRI dapat mengidentifikasi bulbus
olfaktorius, traktus olfaktorius, dan proses intracranial yang dapat menyebabkan
disfungsi penciuman serta lebih jelas pada potongan coronal.
y Neurophisiology test
Adanya keterkaitan antara kehilangan kemampuan penciuman dan demensia pada
pasien Alzheimer¶s disease dan multi-infarct dementia, maka neurophysiology test
dilakukan untuk mengidentifikasi adanya demensia. The Mini mental State
Examination adalah alat yang digunakan untuk mengidentifikasi demensia.
y Pemeriksaan lain
Pemeriksaan sellular neuroepitel olfaktorius dan biopsy neuroepitel dapat dilakukan.
Pada pemeriksaan ini, jaringan neuroepitel olfakorius diambil di daerah septum
dengan menggunakan forcep atau instrument khusus dan kemudian diperiksa secara
histology. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya metaplasia dari neuroepitel
olfaktorius.
F. TATA LAKSANA
Pasien dengan keluhan disfungsi olfaktorius harus menjalani berbagai pemeriksaan
untuk mengetahui penyebab dasarnya karena akan diterapi beradasarkan penyebab nya.
1. Penyakit nasal dan sinus.
Ada beberapa consensus yang menyatakan bahwa pasien dengan rhinitis alergi dan polip
nasal dapat diterpai dengan kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid intranasak topical.
Kosrtikosteroid sistemik adalah anti inflamasi potensial yang bekerja dengan
mengurangi
produksi mucus sehingga partikel bau dapat mencapai neuroepitel olfaktorius. Efek samping
dari pemakaian kortikosteroid sistemik adalah meningkatkan tekanan darah
sehingga hanya dianjurkan untuk pemakaian jangka pendek. Kortikosteroid topical
intranasal merupakan alternative lain. Efek samping dari pemakaian biasanya ringan
yaitu mukaosa kering dan bersin. Golding-Wood et al melakukan studi pada lima belas
pasien dengan hiposmia disertai rhinistis perinnial. Setiap pasien diberikan tiga tetes
betametason setiap hari selama 6 minggu dan dievaluasi dengan UPSIT sebelum dan
setelah terapi. Hasilnya menunjukkan bahwa semua pasien mengalami perbaikan dalam
score tes setelah terapi. Oleh karena itu steroid topical dianjurkan sebagai terapi yang
efektif untuk polip nasal dan rhinitis perennial. Beberapa factor mempengaruhi dalam
terapi penyakit nasal dan sinus, sebagai contoh angka rekuren pada polip nasal dan
kesulitan dalam terapi local. Sebagai contoh efek steroid topical akan terbatas pada
edema mukosa cavitas nasal dimana akan menghambat penerimaan steroid. Selain itu,
intervensi bedah dapat dilakukan untuk mengurangi obstruksi nasal dan memperbaiki
kemampuan penciuman. Prosedur pembedahan berupa endoscopi ethmoidectomy.
Namun hal ini merupakan pilihan terakhir karena akan memberikan rasa sakit yang hebat
dan tidak menjamin akan sukses9.
2. Trauma kepala/ post trauma
bahwa pemberian steroid pada fase akut memnerikan hasil efektif dalam perbaikan
sistem olfaktorius. Oleh karena itu, waktu pemberian steroid meurpakan factor utama
dalam dan
akan memberikan hasil yang berbeda pada pemberian steroid yang lambat 9.
3. Infeksi saluran nafas atas
Pada kasus ini , tidak ada pengobatan yang spesifik yang dapat dilakukan. Beberapa studi
menjelaskan bahwa terjadi penyembuhan secara spontan dengan mekanisme yang masih
belum jelas. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mengalami perbaikan pada 6
bulan setelah onset. Penggunaan vitamin A dan zinc masih memberikan kontroversi.
Pasien dengan gangguan penciuman dan pengecapan yang diterapi dengan suplemen zinc
tidak memberikan perbaikan. Terapi dengan vitamin A tidak sepenuhnya dianjurkan.
Studi yang dilakukan oleh Duncan dan Briggs (1962) menunjukkan bahwa pasien dengan
anosmia yang diterapi dengan vitamin A memberikan respon yang baik. Vitamin A
berfungsi dalam regenerasi sel olfaktorius pada mucus dan kelenjar serous 9.
4. Gangguan pada sistem saraf pusat
Pada kasus dimana tumor merupakan penyebab primer, maka pengangkatan tumor dengan
tujuan memperbaiki jalur olfaktorius merupakan terapi yang tepat. Terapi pada
20
meningioma adalah eksisi total, termasuk perlekatan pada dura. Pada tumor di fossa
21
mengeluarkan tumor dari fossa anterior dan medial. Anterior CFR mencakup
struktur anterior-mid line dan paramedian dari basis crania. Sinus ethmoidalis superior,
dinding anterior dari sphenoid posterior, sinus frontal bagian anterior, dan nasofaring
bagian inferior juga termasuk dalam CFR. Indikasi dari CFR ini adalah :
a. reseksi tumor malignan pada sinus paranasal yang mencakup sinus
frontal/ethmoid dengan keterlibatan bagian proksimal dari atas ethmoid atau
lamina kribiformi
b. reseksi dari tumor benigna di sinus paranasal, meanings, dan basis crania yang
melibatkan atau meluas ke seluruh basis crania.
Anterior CFR dapat dilakukan secara bicoronal dan insisi dari facial paranasal diikuti
dengan pembukaan tulang facial, dinding medial dari orbita, identifikasi dan kauterisasi
pembuluh darah ethmoidal anterior dan posterior. Secara anterior, dilakukan pemotongan
dari level fossa lacrimal dingga level nasion dan secara posterior, pada level posterior
dari foramina ethmoidal. Pada keadaan ini, craniotomy bifrontal dilakukan. Insisi
bicoronal dilakukan untuk dapat mencapai secara luas bagian tulang frontal dan
dilakukan untuk memperbaiki defek dari fossa anterior. Bagian bawah dura dapat dlihat
dari lamina kribiformis ke planum sphenoidake (jika dura juga terlibat maka mobilisasi
dilakukan lebih lateral dan dura yang terlibat akan diresesksi bersama tumor. Pemotongan
dilakukan di bagian luar tumor, melewati atap ethmoid/lateral orbit, planum sphenoidal
ke posterior sinus sphenoidale, atap sinus frontal ke anterior sinus ethmoidal. Tumor
yang melekat pada lamina perpendicular dari ethmoid dipisahkan dengan gunting. Massa
dikeluarkan melalui transfacial, dan memisahkan perlekatan dengan mukosa
sekitar . Perawatan post operasi ditujukan untuk meminimalkan terjadinya udem cerebri. Terapi
steroid dapat diberikan dengan tapering dosis. Selain itu juga harus dicegah terjadi hidrasi
yang berlebihan dengan edukasi pasien untuk sering melakukan elevasi pada kepala demi
mencegah aliran balik vena. Resiko tumor mengalami rekuren tergantung dari luasnya
eksisi14.
Pada kasus neuroblastoma olfaktori, dilakukan kombinasi antara permbedahan
dan radioterapi dengan angka survival rate nya 60% untuk 3 tahun dan 40% untuk 5
tahun15. Pada beberapa kasus, kronik disosmia dapat memberikan manifestasi depresi,
nausea, dan penurunan berat badan, maka dalam kondisi ini intervensi bedah dapat
dilakukan. Jika disosmia terjadi unilateral, maka intervensi bedah unilateral dapat
memperbaiki masalah yang terjadi. Pendekatan bedah, ablasi intranasal dan jaringan dari
epitel olfaktorius pada sisi yang bermasalah lebih konservatif dan kurang invasive
dibandingkan operasi perbaikin bulbus olfaktorius dan traktusnya melalui suatu proses
craniotomy. Terapi pada pasien dengan anosmia diserta gangguan sensorineural
merupakan suatu tantangan. Walaupun ada beberapa pendapat mengenai terapi zink dan
vitamin, namun belum memiliki bukti empiris. Pada pasieng dengan kehilangan
penciuman dalam waktu yang lama dapat mengindikasikan suatu kerusakan neral dan
neuroepitel olfaktorius dan memberikan suatu prognosis yang buruk serta tidak dapat
diterapi13.
Pada pasien psikiatrik, haloperidol dapat mengontrol halusinasi dan parosmia.
Intervensi bedah dapat dilakukan yaitu eksisi dari mukosa olfaktorius pada pasien
dengan unilateral phantosmia. Setelah operasi, pasien tidak memilki kemampuan
penciuman tapi
kemudian akan membaik. Disimpulkan bahwa ada dua alasan yang mendasari sehingga
operasi jenis ini dapat berhasil yaitu : (1) neuron yang melakuakn regenerasi dan
menghasilkan bau yang tidak menyenangkan telah diangkat (2) epitel olfaktorius di
eksisi dan dihubungkan dengan bulbus olfaktorius yang tidak benar sehingga
menginterpretasikan sinyal9.
G. PROGNOSIS
Disfungsi olfaktorius yang disebabkan oleh proses inflamasi seperti rhinosinusitis kronik dan
rhinitis alergi dilaporkan memiliki prognosis baik dengan angka penyembuhan 68-86%.
Prognosis dari penyembuhan sistem olfaktorius yang disebabkan oleh trauma kepala
lumayan
buruk, hanya 10-38%, dilaporkan hanya 4 dari 17 (24%) pasien anosmia menunjukkan
penyembuahan yang sedikit pada fungsi olfaktorius dengan munggunakan kortikosteroid
sistemik atau topical. Hendrik 91998) menganalisa insidensi dari dsifungsi olfaktorius dari
32 kauss, 8% disebabkan oleh trauma kepala.
22
DAFTAR PUSTAKA
2002 5. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penerbit Buku
Kedokteran
EGC. Jakarta. 2007 :hal. 697-700.
6. Monkhouse, Stanley. Cranial Nerves Functional Anatomy. Cambridge university Press.