Anda di halaman 1dari 15

PROPOSAL

DOSEN PENGAMPU
Rosalina,S.Kp.,M.Kes.

Disusun Oleh :
1. Putri Laila Nur Haliza (011191023)
2. Indah Sulistiyowati (011191028)
3. Indah Puspita Pratiwi Agni (011191029)
4. Dhea Amalia S (011191030)
5. Wahyu Sukasarana (011191031)
6. Imtias Tiara Husna (011191044)
7. Dewi Yuniasari (011191050)
8. Afifah Stya Ningrum (011191070)
9. Yulianus Degey (011191109)

KELAS PSIK 1B
JURUSAN FAKULTAS STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN
TAHUN AJARAN 2019/2020
ABSTRAK
HIV/AIDS (Human Immunodficiency Virus/ Acquired Immune Deficiency Syndrome)
termasuk penyakit kronis paling berbahaya pada saat ini. Dinas Kesehatan Jawa Tengah
menghitung sjak 1993 hingga september 2019 epidemi HIV/AIDS di Jawa Tengah ada
30.465 penderita, dengan rincian 17.559 kasus HIV serta 12.906 kasus AIDS. Sebanyak
1.915 orang di antaranya sudah meninggal dunia. . Salah satu upaya menekan angka kejadian
HIV/ AIDS adalah dengan melakukan kegiatan promosi dan preventif berupa kegiatan
Komunikasi Informasi dan Edukasi tentang HIV/ AIDS. Dengan pemberian Edukasi
kepadamasyarakat terutama remaja diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap
masyarakat terhadap HIV/ AIDS.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah HIV merupakan masalah kesehatan yang mengancam Indonesia


bahkan negara lain. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah
HIV/AIDS dan menyebabkan munculnya masalah krisis yang bersamaan. HIV
(Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh manusia lalu menimbulkan AIDS. AIDS (Acquired Immuno Deficiency
Sindrom) adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang
tergolong kepada kelompok retroviriade (Djauzi & Djoerban,2007).
Masalah HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune
Deficiency Syndrome) dapat mengancam seluruh lapisan masyarakat dari berbagai
kelas ekonomi, usia maupun jenis kelamin. Situasi yang dihadapi penderita
HIV/AIDS sangat kompleks, selain harus menghadapi penyakitnya sendiri, mereka
juga menghadapi stigma dan diskriminasi, sehingga mengalami masalah pada fisik,
psikis, dan sosial (Efendi, 2007).
Secara fisik virus HIV yang ditransmisikan ke dalam tubuh manusia
melalui kontak dengan yang terinfeksi cairan tubuh, akan mengikat reseptor
permukaan sel CD4 T dan mereplikasi di dalamnya untuk menghasilkan virus baru
dan menginfeksi sel T CD4 lainnya. Hasilnya adalah penurunan jumlah sel CD4 T
yang akhirnya mencapai titik bahwa ia akan secara signifikan mengurangi sistem
kekebalan tubuh, dan tubuh menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik (Smeltzer
& Bare, 2002).
Salah satu cara untuk mencegah penurunan limfosit CD4 adalah dengan
pemberian terapi Anti Retro Viral (ARV). Terapi ARV sangat bermanfaat dalam
menurunkan jumlah HIV dalam tubuh. Setelah pemberian obat antiretroviral
selama 6 bulan biasanya dapat dicapai jumlah virus yang tak terdeteksi dan jumlah
limfosit CD4 meningkat. Akibatnya resiko terjadinya infeksi oportunistik menurun
dan kualitas hidup penderita meningkat (Djauzi & Djoerban,2007).
Cara terbaik untuk mencegah pengembangan resistensi adalah dengan
kepatuhan terhadap terapi. Kepatuhan adalah istilah yang menggambarkan
penggunaan terapi antiretroviral (ART) yang harus sesuai dengan petunjuk pada
resep yang diberikan petugas kesehatan bagi pasien. Ini mencakup kedisiplinan dan
ketepatan waktu minum obat (Yayasan Spiritia, 2012 ).
Kepatuhan terapi ARV menuntut pasien untuk meminum obat sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan dosis yang diminum cara meminum obat.
Keterlambatan minum obat yang masih bisa ditolerir adalah <1 jam. Hal ini
dikarenakan 1 jam merupakan rentang waktu yang masih aman ( Yayasan spiritia,
2007). Apa bila terlambat meminum obat >1 jam akan akan menyebabkan Virus
bereplikasi dan virus yang sudah resisten akan semakin unggul ( Yayasan spiritia,
2013).
Hasil penelitian Herlambang (2010) di RSUP. Dr. Kariadi Semarang
menunjukkan dari 70 pasien HIV-AIDS, lebih dari separuh pasien HIV-AIDS
(71,4%) memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi dalam mengonsumsi ARV yang
diberikan dalam sebulan terakhir dan sisanya (28,6%) memiliki kepatuhan yang
rendah. Penelitian menyimpulkan kepatuhan dipengaruhi oleh efek samping obat
dan ketersediaan obat Hasil penelitian Merida (2010) mengatakan bahwa di
Lantera Minang Kabau terdapat dari 59 ODHA dijumpai 36 ODHA yang
mengalami efek samping dimana 25% patuh dalam menjalankan pengobatan ARV
dan 75% tidak patuh dalam menjalankan pengobatan ARV. Dari 23 ODHA yang
tidak mengalami efek samping terdapat 65,2% patuh dalam menjalankan ARV dan
34,8% tidak patuh dalam menjalankan ARV.
Kepatuhan adalah komponen penting untuk keberhasilan terapi pada infeksi
HIV, sementara meningkatkan kualitas hidup telah diakui sebagai hasil penting
dari pengobatan HIV, namun kepatuhan terhadap ART telah terbukti menjadi
penentu utama ukuran hasil biologis dalam HIV, termasuk HIV RNA
tingkat, jumlah CD4 limfosit dan resistance genotip. Kepatuhan juga telah
ditemukan untuk memprediksi ukuran hasil klinis pada pasien HIV / AIDS serta
kematian, perkembangan AIDS dan hospitalization. Hubungan antara kualitas
hidup dan kepatuhan belum diteliti dengan baik, tetapi kepatuhan ARV dikenal
untuk berkontribusi pada kualitas hidup orang yang hidup dengan HIV dan AIDS,
dan kualitas hidup yang pada gilirannya diyakini positif mempengaruhi kepatuhan
(Ogontibeju, 2012).
Di Indonesia, kualitas hidup ODHA dan kemajuan terapi ARV yang belum
diketahui, tidak tahu berapa banyak efek terapi ARV untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien di Indonesia. Dalam pengobatan HIV, tidak hanya membutuhkan,
terapi ARV tapi yang penting adalah perlu memperlakukan pasien untuk
meningkatkan kualitas hidup (Handajani , 2012).
Menurut WHO kualitas hidup adalah presepsi individu tentang harkat dan
martabatnya didalam konteks budaya dan sistem nilai yang berhubungan dengan
tujuan dan tergetan hidup. Sementara menurut Nasronudin (2007) kualitas Hidup
ODHA merupakan berfungsinya keadaan fisik, Psikologis, Sosial dan Spiritual
sehingga dapat hidup produktif seperti orang sehat dalam menjalankan
kehidupannya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Agusti (2006) menyatakan bahwa
lebih dari separuh responden ODHA mempunyai nilai kualitas hidup yang rendah.
Penelitian yang dilakukan oleh Anbari dkk (2008) juga memperoleh hasil yang
sama yaitu mayoritas ODHA memiliki kualitas hidup yang rendah. Heni (2011)
menyampaikan bahwa sebagian besar ODHA yang mengalami kualitas hidup yang
buruk yaitu sebanyak 63% dan 37% lainnya mempunyai kualitas hidup yang baik.
Penurunan kualitas hidup akan memberikan dampak yang besar kepada diri
ODHA itu sendiri dan juga kepada masyarakat. Untuk ODHA itu sendiri akan
mengakibatkan ODHA tidak mempunyai kepercayaan diri, sehingga tidak mau
berdaptasi dengan lingkungan, malu dengan penyakit yang ia alami. ODHa yang
mengalami penurunan kualitas hidup cenderung untuk menularan penyakitnya
kepada orang lain. Sehingga laju pertumbuhan HIV dimasyarakat akan semakin
tinggi.
B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui kekuatan hubungan Kepatuhan menjalankan Terapi Anti


Rentro Viral (ARV) terhadap Kualitas hidup ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) di
klinik Voluntary Conseling And Testing (VCT).
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui distribusi kepatuhan terapi Anti Retro Viral
b. Untuk mengetahui distribusi kualitas hidup ODHA (Orang Dengan HIV
AIDS)
Untuk mengetahui kekuatan hubungan kepatuhan menjalankan Terapi Anti Rentro
Viral (ARV) terhadap Kualitas hidup ODHA (Orang Dengan HIV AIDS)

Komunikasi kesehatan adalah usaha sistematis untuk mempengaruhi


perilaku positif dimasyarakat, dengan menggunakan prinsip dan metode
komunikasi baik menggunakan komunikasi pribadi maupun komunikasi massa.
Informasi adalah keterangan, gagasan maupun kenyataan yang perlu diketahui
masy (pesan yang disampaikan). Edukasi adalah proses perubahan perilaku ke
arah yang positif. Pendidikan kesehatan merupakan kompetensi yang dituntut dari
tenaga kesehatan karena merupakan salah satu peranan yang harus dilaksanakan
dalam setiap memberikan pelayanan kesehatan.
Hasil penelitian terdahulu menjelaskan bahwa pemberian edukasi tentang
HIV AIDS dapat meningkatkan pengetahuan tentang HIV/ AIDS (Wirahayu &
Satyabakti, 2016). Penelitian lainnya menjelaskan bahwa terdapat pengaruh
metode peer group dan KIE terhadap pengetahuan tentang HIV/ AIDS.
C. Kondisi Dampingan Yang Diharapkan
Kondisi dampingan yang diharapkan
diantaranya:

1. Dapat meningkatkan pengetahuan remaja tentang HIV/ AIDS.

2. Dapat meningkatkan sikap remaja tentang HIV/ AIDS.

3. Sebagai sarana kegiatan promosi kesehatan tentang HIV/ AIDS.


BAB II
PEMBAHASAN

A. HIV/AIDS

1. Pengertian HIV dan AIDS

HIV (human immunedeficiency virus) merupakan virus yang menyerang


sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh rentan terhadap berbagai penyakit .
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat
infeksi oleh virus HIV, khususnya menyerang limfosit T serta menurunnya jumlah
CD4 yang bertugas melawan infeksi. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi
HIV.
Sindrom muncul akibat berkurangnya zat kekebalan tubuh (CD4) yang
terjadi sekitar 5 – 10 tahun setelah terinfeksi virus HIV telah menjadi AIDS dengan
ditandai jumlah CD4 kurang dari 200 sel per µ darah sebagai kriteria ambang batas.
Penderita AIDS digolongkan menjadi 2 yaitu AIDS penderita yang belum
menunjukan gejala klinis tetapi telah terinfeksi virus HIV dan menunjukan gejala
klinis.
2. Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama yaitu HTL II,
LAV, RAV. Yang nama ilmiahnya disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV)
yang berupa angent viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah
dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T.
Virus HIV pertama kali diisolasi oleh montagnier et all di Prancis tahun
1983 dengan nama limphadnopathy associated virus (LAV), sedangkan Gllo di
Amerika Serikat mengisolasi virus HIV – 2, yang kemudian pada tahun 1986 atas
kesepakatan internasional diberi nama virus HIV. Virus HIV digolongkan menjadi
2 tipe yaitu virus yang menyerang dan menghindari mekanisme pertahanan tubuh
dengan melakukan perlawanan dan melumpuhkannya.
Jenis virus HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2, tetapi sebagian besar kasus di
seluruh dunia pada tahun 1992 disebabkan oleh virus HIV-1, meskipun endemik
virus HIV-2 jarang dijumpai di Amerika Serikat. Retrovirus memiliki genom yang
mengkode reverse transcriptase yang memungkinkan DNA diterjemahkan RNA,
maka virus dapat membuat salinan DNA dari genomnya sendiri dalam sel pejamu.
3. Patofisiologi
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.
Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3 – 6 minggu
setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut,
dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya
berlangsung selama 8 – 10 tahun. Tetapi ada sekelompok orang yang perjalanan
penyakitnya sangat cepat, sekitar 2 tahun, dan ada pula yang lambat (non -
progressor).
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakan gejala – gejala akibat infeksi opurtunistik seperti berat badan
menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare,
tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan akhirnya pasien menunjukan gejala klinik
yang makin berat, pasien masuk dalam tahap AIDS. Manifestasi dari awal
kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur folikel
kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoit. Sebagian besar
replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan diperedaran darah tepi.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi,
muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran
limfosit CD4 yang tinggi. Limfosit CD4 merupakan target utama infeksi HIV.
Virus HIV di dalam sel limfosit dapat berkembang atau melakukan replikasi
menggunakan enzim reserve transcriptase seperti retrovirus yang lain dapat tetap
hidup lama dalam sel dalam keadaan inaktif. Virus HIV yang inaktif dalam sel
tubuh pengidap HIV dianggap infeksius karena setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama penderita hidup.
4. Cara Penularan

Cara penularan HIV sampai saat ini diketahui melalui hubungan seksual
(homoseksual maupun heteroseksual) serta secara non seksual seperti melalui
kontak dengan darah/produk darah, parenteral dan transplasenta. Virus HIV sampai
saat ini terbukti hanya menyerang Sel limposit T sebagai sasarannya. Vehikulum
yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain
melalui berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya
semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita. Cara penularan yang
diketahui melalui.
a) Transmisi seksual

Penularan HIV melalui hubungan seksual baik heteroseksual maupun


homoseksual merupakan penularan yang sering terjadi.
1) Transmisi virus HIV pada homoseksual
Cara hubungan seksual anogenital merupakan perilaku seksual dengan
risiko tinggi bagi penularan HIV. Khususnya bagi mitra seks yang pasif
menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini
disebabkan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah mengalami
perlukaan pada saat berhubungan seksual secara anogenital. Di Amerika
Serikat lebih dari 50 % pria homoseksual di daerah urban tertular HIV
melalui hubungan seks anogenital tanpa pelindung.
2) Transmisi virus HIV pada heteroseksual
Penularan heteroseksual dapat terjadi dari laki – laki ke perempuan atau
sebaliknya. Di Negara Afrika penderita HIV/AIDS mendapat infeksi
melalui hubungan heteroseksual tanpa kondom. Transmisi dari laki – laki
pengidap HIV/AIDS ke perempuan pasangannya lebih sering terjadi
dibandingkan dengan perempuan pengidap HIV ke pria pasangannya.[22],[23]
b) Transmisi non seksual

1) Transmisi Parenteral
Transmisi ini terjadi akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya
(alat tindik) yang tidak steril atau telah terkontaminasi seperti pada
penyalagunaan narkotika suntik yang menggunakan jarum suntik secara
bersama – sama. Risiko tertular transmisi secara parenteral kurang dari 1 %
dapat terjadi pada penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi kontak
dengan kulit yang lecet, sekret atau bahan yang terinfeksi.
2) Transmisi Transplasenta
Penularan dari ibu yang mengidap HIV positif kepada janin yang
dikandungnya. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan
waktu menyusui.
3) Transmisi melalui darah atau produk darah

4) Transplantasi organ dan jaringan tubuh yang terinfeksi HIV


Transplantasi organ potensial meningkatkan HIV/AIDS yang telah
dicangkokan pada orang yang sehat, maka virus HIV akan menyebar
keseluruh tubuh.

5. Masa Inkubasi

Masa inkubasi penyakit ini bervariasi, waktu dari penularan hingga


berkembang atau terdeteksinya antibodi biasanya satu sampai tiga bulan. Penularan
virus HIV hingga terdiagnosa sebagai AIDS sekitar kurang lebih satu tahun hingga
15 tahun atau bahkan lebih. Median masa inkubasi pada anak-anak yang terinfeksi
lebih pendek dari orang dewasa.
Masa inkubasi pada orang dewasa berkisar tiga bulan sampai terbentuknya
antibodi anti HIV. Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat maupun bertahun –
tahun tergantung tingkat kerentanan individu terhadap penyakit, fungsi imun dan
infeksi lain. Khusus pada bayi dibawah umur satu tahun, diketahui bahwa viremia
sudah dapat dideteksi pada bulan – bulan awal kehidupan dan tetap terdeteksi
hingga usia satu tahun. Manifestasi klinis infeksi oppurtunistik sudah dapat dilihat
ketika usia dua bulan.
6. Tanda – Tanda Terserang AIDS

Menurut kriteria WHO klasifikasi gejala klinis HIV/AIDS untuk penderita


dewasa dibagi menjadi 2 yaitu gejala mayor dan minor.
a. Gejala Mayor

Gejala awal yang ditemukan adalah demam, keluhan nyeri sendi, pembesaran
kelenjar getah bening dan gejala hampir sama dengan influensa atau
mononukleus. Stadium tanpa gejala pada orang yang terinfeksi HIV penderita
terlihat sehat namun sebagai sumber penularan.
b. Gejala Minor (Stadium AIDS)

Di saat infeksi HIV menjadi AIDS (bervariasi 1-5 tahun dari pertama
penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi Opurtunistik, yang
paling umum adalah Pneumocytis Carini (PCC), Pneumonia Interstisial yang
disebabkan suatu protozoa, infeksi lain termasuk meningitis, kandidiasis,
cytomegalovirus, mikrobakterial dan atipilkal.
7. Pemeriksaan Diagnostik

Prosedur laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang


berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului
dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat
menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama
(A1) harus digunakan tes dengan sensifitas yang tinggi (99%), sedang untuk
pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifitas tinggi (≥
99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3
bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang
dilakukan dalam masa jendela menunjukan hasil “negatif”maka perlu dilakukan tes
ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang beresiko.
8. Pencegahan HIV/AIDS

Sampai saat ini belum ditemukan vaksin atau obat yang efektif untuk
mencegah atau menyembuhkan AIDS/Infeksi HIV, sehingga untuk menghindari
terinfeksi HIV dan menekan penyebarannya cara yang utama adalah perubahan
perilaku.
Cara pencegahan penularan HIV yang paling efektif adalah dengan
memutus rantai penularan. Penularan dikaitkan dengan cara – cara penularan HIV.
a. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual
b. Pencegahan penularan melalui darah
1. Tranfusi darah
2. Alat suntik dan alat lain yang dapat melukai kulit
3. Pencegahan penularan dari ibu ke anak

Saat ini Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar, yang


semuanya menuju pada paradigma Zero new infection, Zero AIDS-related death
dan Zero Discrimination. Empat pilar tersebut adalah.
1. Pencegahan (prevention); yang meliputi pencegahan penularan HIV melalui
transmisi seksual dan alatsuntik, pencegahan di lembaga pemasyarakatan
dan rumah tahanan, pencegahan HIV dari ibu ke bayi (Prevention Mother to
Child
Transmission, PMTCT), pencegahan di kalangan pelanggan penjaja seks,
dan lain-lain.
2. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); yang meliputi penguatan dan
pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan infeksi
oportunistik, pengobatan antiretroviral dan dukungan serta pendidikan dan
pelatihan bagi ODHA. Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan
angka kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang berhubungan dengan
AIDS, dan meningkatkan kualitas hidup orang terinfeksi HIV (berbagai
stadium). Pencapaian tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan
pemberian terapi antiretroviral (ARV).
3. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio-ekonomi.
4. Penciptaan lingkungan yang kondusif (creating enabling environment) yang
meliputi program peningkatan lingkungan yang kondusif adalah dengan
penguatan kelembagaan dan manajemen, manajemen program serta
penyelarasan kebijakan dan lain-lain.

B. Terapi ARV

1. Definisi ARV

Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi Human


Immnodeficiency Virus (HIV). Terapi dengan ARV adalah strategi yang secara
klinis paling berhasil hingga saat ini.
2. Penggolongan ARV

Ada tiga golongan utama ARV, yaitu :


a. Penghambat masuknya virus yaitu bekerja dengan cara berikatan dengan
subunit GP41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel
dihambat. Satu – satunya obat penghambat fusi ini adalah enfuvirtid.

b. Penghambat reverse trancriptase Inhibitor (RTI), terdiri dari 3 bagian , yaitu :


1. Analog nukleosida (NRTI), NRTI diubah secara intraseluler dalam 3
tahap penambahan atau 3 gugus fosfat dan selanjutnya berkompetisi
dengan natural nukleotida menghambat RT sehingga perubahan RNA
menjadi DNA terhambat. Selain itu, NRTI juga menghentikan
pemanjangan DNA.
2. Analog nukleotida (NtRTI), mekanisme kerjanya pada penghambatan
replikasi HIV sama dengan NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan
proses fosforilasi.
3. Non nukleosida (NNRTI), mekanisme kerjanya tidak melalui tahapan
fosforilasi intraseluler tetapi berikatan langsung dengan reseptor pada RT
dan tidak berkompetisi dengan nukleotida natural. Aktivitas antiviral
terhadap HIV – 2 tidak kuat.
c. Protease inhibitor (PI), berikatan secara reversible dengan enzim protease yang
mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir
pematangan virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak
mampu menginfeksi sel lain.

3. Tujuan Terapi ARV


Adapun tujuan dari terapi ARV sebagai berikut :
a. Mengurangi laju penularan HIV dimasyarakat
b. Memulihkan dan/atau memelihara fungsi imunologis (stabilisasi/peningkatan
sel CD4)
c. Menurunkan komplikasi akibat HIV
d. Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus – menerus
e. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV

4. Manfaat Terapi ARV


Manfaat terapi antiretroviral adalah sebagai berikut :
a. Menurunkan morbiditas dan mortalitas
b. Pasien yang ARV tetap produktif
c. Memulihkan sistem kekebalan tubuh sehingga kebutuhan profilaksis infeksi
oportunistik berkurang atau tidak perlu lagi.
d. Mengurangi penularan karena viral load menjadi rendah atau tidak terdeteksi,
namun ODHA dengan viral load tidak terdeteksi, namun harus dipandang
tetap menular.
e. Mengurangi biaya rawat inap dan terjadinya yatim piatu
f. Mendorong ODHA untuk meminta tes HIV atau mengungkapkan status HIV
– nya secara sukarela.
BAB III
RENCANA KEGIATAN
BAB V
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai