Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kehadiaran peradilan agama di Indonesia telah ada jauh sebelum Indonesia
medeka. Meskipun dalam bentuknya yang sangat sederhana dan penamaan/
penyebutannya berbeda-beda, namun eksistensinya tetap dibutuhkan oleh masyarakat
muslim Indonesia. Hal ini mengingat, ia tidak hanya berfungsi sebagai ―medan‖ akhir
dalam proses penyelesaian sengketa yang terjadi pada masyarakt muslim, namun
sekaligus juga sebagai penjaga eksistensi dan keberlangsungan pelaksanaan hukum
Islam di Indonesia. Itulah sebabnya, di tengah-tengah masyarakat muslim
Indonesia, keberadaannya merupakan oditio sine qua non dan melekat serta
berbanding lurus dengan eksistensi masyarakat muslim itu sendiri.
Walaupun faktor budaya masyarakat muslim lebih kuat pengaruhnya terhadap
keberadaan peradilan agama, namun tetap saja faktor politik -hukum- tidak bisa
dilepaskan dari dinamika sejarah panjang perdilan agama. Kenyataan ini tidak bisa
dimungkiri, mengingat keberadaannya di Indonesia sebagai negara hukum, juga
sedikit banyak akan mendapatkan pengaruh proses dan dinamika politik yang
terjadi. Tak terkecuali dinamika politik yang terjadi pada medio 1990- an, tepatnya
ketika pada tahun 1998 terjadi reformasi, yakni beralihnya Orde Baru ke Era
Reformasi. Sebagai bagian dari sistem hukum dan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman, maka peradilan agama sudah barang tentu mendapat pengaruh dari
dinamika politik tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian peradilan dan reformasi
2. Bagaimana sejarah peradilan di era Reformasi
C. Tujuan penulisan
1. Untuk pengertian peradilan dan reformasi
2. Untuk mengetahui sejarah peradilan agama di era Reformasi

1
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan Agama


Peradilan Agama adalah salah satu peradilan resmi diantara empat
lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia
dan juga salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia, karena Peradilan
Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan tertentu.
Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja
dan hanya untuk orang-orang yang beragama Islam di Indonesia.
Peradilan Agama secara nyata sudah ada dan tersebar di berbagai daerah
di Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dengan
beraneka ragam sebutan istilahnya, seperti Rapat Ulama, Raad Agama,
Mahkamah Islam, Mahkamah Syara’, Priesterrad, Pengadilan Paderi, Godsdients
Beamte, Mohammedansche Godsdients Beamte, Kerapatan Qadli, Hof voor
Islamietische Zaken, Kerapatan Qadli Besar, Mahkamah Islam Tinggi, dan
sebagainya.1

B. Pengertian Reformasi Hukum


Reformasi, berasal dari kata re dan foramasi. Re berartkembali
dan formasi berarti susunan. Reformasi berarti pembentukan atau penyusunan

kembali.2 Dalam Blacks Law Dictionary, kata reformasi disebutkan; reformation


artinya An equitible remedy by wich a court will modify a written agreement to
reflect to actual intent of the parties. Begitu pula dalam Dictionary of
Law,disebutkan, reformasi berasal dari bahasa Inggris reformation berarti
membentuk atau menyusun kembali. Sedangkan dalam The Nelson
Contemporary English Dictionary disebutkan bahwa reformasi berasal dari kata
reform berarti to make batter, to improve. Kata reform diartikan sebagai;
membentuk, menyusun, mempersatukan kembali. Reformasi juga berarti;
perubahan secra drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik atau agama) dalam
masyarakat atau negara.3
1
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.17.
2
Anton Moeliono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka dan Depdikbud, 1993), h. 1991.
3
Dr. Jaenal Aripin, MA., Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta; Kencana,
2008), h. 39.

2
3

Dengan demikian era reformasi diartikan sebagai suatu era perubahan


atau penyusunan kembali terhadap suatu konsep, strategi dan kebijakan yang
berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara. Dan apabila dihubungkan dengan reformasi di bidang hukum dan
peradilan, maka dapat ditarik pengertian melakukan suatu perubahan dengan
penyusunan kembali terhadap suatu konsep, strategi atau kebijakan yang
berkaitan dengan hukum dan peradilan dengan berbagai aspeknya dalam
kehidupan bermasyarkat, berbangsa dan bernegara.4

Berdasarkan pengertian tersebut, reformasi sesungguhnya bias


bermakna perubahan atau pembaharuan menuju pada tatanan kehidupan yang
lebih baik. Dalam arti pembaharuan, reformasi bisa dipadankan denagn beberpa
kata dalam wacana islam, yang secara subtansi memiliki kesamaan dengan
reformasi, yakni; tajdid dan islah. Tajdid mengandung arti membangun
kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali atau memperbaikinya agar
dapat digunakan sebagaimna diharapkan’. Sedangkan kata islah, diartikan
dengan perbaikan atau memperbaiki. Kedua kata tersebut, sering diapakai secara
berdampingan dengan pengertian yang sama yaitu ―pembaruan.
Bustami Muhammad Saad mengemukakan bahwa kata ―tajdid adalah
lebih tepat digunakan untuk membahas tentang pembaruan hukum, sebab kata
tajdid mempunyai arti pembaruan, sedangkan kata ―islah meskipun sering
digunakan secara berdampingan, tetapi lebih berat pengertiannya kepada
pemurnian. Pendapat ini sejalan dengan pendapat apar muhaddisin dan
komentatornya seperti Ibnu a-Ashir, an-Nawawi dan as-Suyuti yang
mempergunakan kata tajdid ketika mereka membicarakan pembaruan hukum
dengan arti pembaruan. Karena penggunaan kata tajdid dan islah tanpa
dibedakan artinyayaitu pembaruan, maka tokoh semacam Ibnu Taimiyah lebih
tepat disebut sebagai muslih (islah), sebab ia tokh yang berusaha keras
memurnikan ajaran islam, sednagkan Muhammad Abduh lebih tepat disebut
sebagai mujadid sebab ia tokoh pembaruan dalam agama islam.5

Perkataan tajdid dalam pembaruan hukum islam mempunyai dua

4
Dr. Jaenal Aripin, MA., Peradilan Agama ........, h. 39
5
Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP, M. Hum., Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007), h. 147
4

makna: pertama, apabila dilihat dari segi sasaran, dasar, landasan dan sumber
yang tidak berubah-ubah, maka pembaruan bermakna menegmbalikan segala
sesuatu kepada aslinya. Kedua, pembaruan bermakna modernisasi, apabila
tajdid itu sasarannya mengenai hal-hal yang tidak mempunyai sandaran, dasar,
landasan dan sumber yang berubah-ubah, seperti metode, sistem, teknik,
strstegi dan lainnya untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi, ruang dan
waktu.

Menurut Masjfuk Zuhdi6 kata Tajdid lebih komprehensif pengertiannya


ssebab dalam kata tajdid terdapat tiga unsur yang saling berhubungan, yaitu:
pertama, al-i‘adah, artinya mengembalikan masalah-masalah gama terutama
yang bersifat khilafah kepada sumber ajaran agama islam yaitu al-Qur’an dan
al-Hadis. Kedua, al-ibanah, artinya purifikasi atau pemurnian ajaran agama
islam dari segala macam bentuk bid’ah dan khufarat serta pembebasan berfikir
(liberalisasi) ajaran Islam dari fanatik madzhab, aliran, ideologi yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran islam. Ketiga, al-ihya’, artinya
menghidupkan kembali, menggerakkan, memajukan dan memperbarui pemikiran
dna melaksanakan ajaran islam.7

Dari penjelasan di atas tentang uraian definisi, dapat ditarik benang


merah bahwa, sesungguhnya reformasi atau dalam bahasa lain disebut dengan
tajdid, merupakan sebuah keniscayaan tatkala tatanan kehidupan masayarakat
sudah berada pada titik stagnan. Hal ini bisa diakibatkan karena ulah para
penguasa yang berperilaku semena-mena tanpa mengindahkan norma dan
kaidah hukum yang ada, baik hukum agama maupun hukum negara. Oleh
karena itu, reformasi yang bermakna melakukan perubahanmenjadi salah satu
solusi terbaik untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang bisa adaptif
dengan perkembangan zaman.
Mengingat reformasi selalu dikaitkan dengan persoalan hukum, maka
reformasi sesungguhnya bisa diartikan sebagai sebuah proses perubahan tatanan
hukum, dalam hal ini konstitusi untuk menuju pada tatanan dan kehidupan
hukum masyarakat yang lebih baik, sejahtera, adil dan makmur.
Termasuk gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia, yang secara
6
H. Masjfuk Zuhdi, pembaruan Hukum Islam dan Kompilasi Hukum, (Surabaya: PTA Jawa Timur, 1995), h. 2-3
7
Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP, M. Hum., Reformasi ............. h. 147
5

faktual diawali dengan melakukan amandemen trehadap UUD 1945 guna


memberikan arah tujuan pembangunan hukum yang mampu memberikan
perlindungan kepada seluruh elemen masyarakat, sehingga masing-masing
anggota masyarakat terpenuhi hak konstitusinya.
Bila ditilik dari awal kemunculannya, reformasi di Indonesia muncul
akibat terjadinya krisis multidimensi yang menimpa sebagian besar negara-
negara di Asia Tenggara. Tidak segera diselesaikannya krisis tersebut,
muncullah gerakan reformasi tahun 1998. Meskipun awalnya reformasi terfokus
pada tatanan politik, akan tetapi tidak bisa dipisahkan dengan aspek hukum. Oleh
karena itu, mencari konteks reformasi dengan budaya hukum menjadi sangat
relevan.8
Kemerosotan budaya hukum di masa era Orde Lama maupun Orde baru
harus diberi tawaran alternatif yaitu reformasi budaya hukum yang sejalan
dengan beberpa bidang. Reformasi dalam bingkai ilmu poltik dapat berakibat
pada terciptanya sebuah tatanan baru di berbagai bidang dan sektor, baik
reformasi di bidang politik, pertahanan dan kemanannya atau yang berhubungan
erat denagn rekonstruksi terhadap lembaga atau alat negara agar berfungsi
kembali dan menjalankan tugas serta kewenangannya masing-masing, tanpa
adanya unsur yang merugikan kaum proletar dan elit.
Dalam ruang lingkup hukum, sasaran yang tepat dalam menerjemahkan
makna reformasi adalah membentuk dan melakukan pembaruan hukum (legal
form), dimana hukum dapat memberikan perlindungan yang semestinya
terhadap seluruh masyarakat. Dalam kacamata hukum, era reformasi dipandang
sebagai suatu masa dimana perubahan kehidupan berbangsa, bernegara serta
mermasayarakat, telah terjadi melalui berbagai tuntutan penyatuan kemabli visi
kehidupan kenegaraan dangan mengubah peraturan perundangan yang sedang
berlaku agar sejalan dengan tuntutan perubahan.
C. Era Reformasi Dalam Peradilan Satu Atap.9
Diera reformasi bangsa Indonesia berupaya untuk mengadakan peradilan
satu atap, khususnya peradilan Agama, dimana selama ini badannya berada
dibawah departemen kehakiman dan Departemen Agama dan kepalanya berada
8
H. Masjfuk Zuhdi, pembaruan Hukum ... h.3
9
Undang-Undang, Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Pasal 1 Mahkamah Agung
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
6

pada Mahkamah Agung. Upaya penyatu atapan lingkungan peradilan adalah agar
segala kebijakan yang menyangkut kewenangan peradilan untuk menghindarkan
tidak terjadi tumpang tindih kebijakan pada lingkungan peradilan dan untuk
melaksanakan amanat dari Undang Undang Dasar 1945.

1. Berlakuknya UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.


Dengan berlakunya UU No. 5 Tahun 2004 adalah semua peradilan yang
berada dibawah kekuasaan Negara Republik Indonesia berada ditangan
Mahkmah Agung Republik Indonesia. Dimana kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan
lingkungan peradilan tata usaha negara, serta oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dengan bersumber pada Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Penataan dan Wewenang Peradilan Agama Pada Masa Reformasi


Memasuki era reformasi, seiring dengan tuntutan adanya reformasi
dibidang hukum, peradilan agama mengalami perubahan yang cukup
signifikan, baik menyangkut status, kedudukan maupun kewenangannya.
Dengan mengikuti paradigma separation of power, status dan kedudukan
Peradilan Agama kemudian dilepaskan dari bayang-bayang eksekutif yakni
Departemen Agama untuk selanjutnya dimasukkan dalam satu atap (one roof
system) dibawah Mahkamah Agung bersama dengan badan peradilan lainnya.
Misalnya menyangkut sengketa keperdataan-antara orang islam, sudah tidak
lagi bersinggungan dengan peradilan umum, melainkan sudah bisa
memutuskan secara langsung.
Dari segi kewenangannya pun, Peradilan Agama di era reformasi
mendapatkan kewenangan baru, yakni mengadili sengketa yang terkait dengan
bidang; zakat, infaq, sedekah, serta ekonomi syariah. Khusus mengenai
7

kewenangan di bidang ekonomi syariah, peradilan agama menghadapi


permasalahan dan yang jauh lebih berat adalah menyangkut hukum materiil
bidang ekonomi syariah.10

3. Berlakuknya UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas


Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.11
Kemudian karena perkembangan jaman, UU No. 5 Tahun 2004 di uabh
dan diganti dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dimana
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi dan terhadap Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan
bersumber pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 25
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

4. Berlakunya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

10
JaenalArifin, Peradilan Agama DalamBingkaiReformasiHukum Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2008),
hlm.14-15
11
Undang-Undang, Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, Pasal 7 Untuk dapat
diangkat menjadi hakim agung, calon hakim agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B harus memenuhi syarat: a. hakim
karier: 1.warga Negara Indonesia,2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,3.3. berijazah magister di bidang hukum
dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum,4. berusiasekurang-
kurangnya45(empatpuluhlima)tahun, 5. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewaj iban,
6.berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit 3 (tiga) tahun menjadi
hakim tinggi; dan 7.tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran kode
etik dan/atau pedoman perilaku hakim. Dan b. nonkarier: 1.memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1,
angka 2, angka 4, dan angka 5, 2berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20 (dua
puluh) tahun, 3berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang
mempunyai keahlian di bidang hukum; dan 4. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih."
8

UU No. 4 Tahun 2004 adalah sebagai undang-undang kekuasaan


kehakiman yang merupakan sebagai kekuasaan kehakiman satu atap, dimana
kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan; Hal ini dipengaruhi karena perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman sehingga Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan
penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dengan bersumber pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A,
Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25 UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

5. Berlakunya UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.12


UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman tidak bertahan lama
didalam melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dan karena di pengaruhi
oleh situasi dan perkembangan hukum, maka undang-undang tersebut
dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009.
Dimana kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka
yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
12
.Undang-Undang, Republik Indonesia. Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun /945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia, 2. Mahkamah Agung
adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, 3. Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 4. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 5. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan
hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
a g a m a , l i n g k u n ga n p e r a d i l a n m i l i t e r , l i n g k u n g a n peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus
yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut, 6. Hakim Agung adalah hakim pada Mahkamah Agung, 7. H a k i m
K o n s t i t u s i a d a l a h h a k i m p a d a M a h k a m a h Konstitusi, 8. Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang dan 9. Hakim ad
hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undangundang.
9

berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan


peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, serta
untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang
bersih serta berwibawa perlu dilakukan penataan sistem peradilan yang
terpadu. Sumber hukum undang-undang kekuasaan kehakiman yang baru
adalah bersumber pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal
24B, Pasal 24C dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

5. Berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.13


Khusus pengaturan Peradilan Agama yang sebelumnya diatur oleh UU
No. 7 Tahun 1989, akan tetapi karena tututan modernisasi peradilan, maka
undang-undang tersebut diganti dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama. Dimana sebagaimana kita ketahui bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negarg Republik Indonesia Tahun 1945,
bertujuan untuk rnewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat
yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan. Khususnya pada Peradilan
Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Ketentuan Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan
13
.Undang-Undang, Republik Indonesia, Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Pasal 2, Peradilan Agama
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan pasal baru yakni
Pasal 3A, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 3A : Di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan
pengadilan yang diatur dengan Undang-Undang. Pasal 4 : (1)Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota
kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota, (2).Pengadilan tinggi agama berkedudukan
di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Pasal 5: (1).Pembinaan teknis peradilan,
organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung dan (2) Pembinaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Pasal 11 :
(1).Hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman, (2).Syarat dan tata cara pengangkatan,
pemberhentian, serta pelaksanaan tugas hakim ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Pasal 12 : (1).Pembinaan dan
pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung, (2).Pembinaan dan pengawasan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.
10

ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945, maka perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan
bersumber pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta terdapat penambahan
pasal 52A yaitu tentang Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat
hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah, yitu kewanangan baru
Peradilan Agama. Dengan bersumber pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkmah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4359) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) serta
Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8,Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4338);

6. Berlakuknya UU No. 50 Tahun 200914 tentang Perubahan Kedua atas


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Perjalanan sejarah perundang-undang Peradilan Agama terus berlanjut
sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia, karena kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan
adanya lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa
keadilan dalam masyarakat, dimana keberadaam Undang-Undang Nomor 7
14
.Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan: 1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam, 2. Pengadilan adalah
pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan agama, 3. Hakim adalah hakim pada pengadilan
agama dan hakim pada pengadilan tinggi agama, 4. Pegawai Pencatat Nikah adalah pegawai pencatat nikah pada
kantor urusan agama, 5. Juru Sita dan/atau Juru Sita Pengganti adalah juru sita dan/atau juru sita pengganti pada pengadilan
agama, 6.Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 7. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 8.Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang
m e m p u n y a i k e w e n a n g a n u n t u k m e m e r i k s a, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat
dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-
undang. 9.Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang
tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.
11

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan


Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan
bersumber kepada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 UUD RI 1945,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 4958), Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3400) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4611) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
Demikianlah uraian tentang Peradilan Agama pada Era Reformasi dalam
upaya-upaya penyatu atapan kekuasaan kehakiman, serta terdapat kewenangan
baru tentang ekonomi syari’ah dan iisbat kesaksian rukyatul hilal.

BAB III
PENUTUP
12

A. Simpulan
Peradilan Agama adalah salah satu peradilan resmi diantara empat
lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia
dan juga salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia, karena Peradilan
Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan tertentu.
Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja
dan hanya untuk orang-orang yang beragama Islam di Indonesia.
Reformasi, berasal dari kata re dan foramasi. Re berarti kembali dan
formasi berarti susunan. Reformasi berarti pembentukan atau penyusunan
kembali.
Era Reformasi Dalam Peradilan Satu Atap yaitu dengan berlakunya UU
No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung adalah semua peradilan yang
berada dibawah kekuasaan Negara Republik Indonesia berada ditangan Mahkmah
Agung Republik Indonesia. Dimana kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
yang merdeka yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan
peradilan tata usaha negara, serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan, masih ada kekurangan dan kesalahan disana-sini, karna

keterbatasan referensi yang kami miliki sehingga penulis mengharapkan kritik

dan saran yang membangun guna memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam

penulisan berikutnya.

13
13

DAFTAR PUSTAKA

Aripin, Dr. Jaenal, MA., Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di
Indonesia, (Jakarta; Kencana, 2008).
Manan, Abdul, Dr. H. S.H., S.IP, M. Hum., Reformasi Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007).
Moeliono, Anton, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka
dan Depdikbud, 1993).
Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995.
Zuhdi, Masjfuk, H., pembaruan Hukum Islam dan Kompilasi Hukum, (Surabaya:
PTA Jawa Timur, 1995)

14
14

SEJARAH PERADILAN ISLAM DI ERA


REFORMASI

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Seminar


Mata Kuliah Sejarah Peradilan Islam Di Melayu Nusantara
Program Magister (S2)Pascasarjana
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Watampone

Oleh:

SUPRIADI
NIM. 140101013

Dosen Pembimbing
Prof. DR. ALI PARMAN, M.A

PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER (S2)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) WATAMPONE
2015

Anda mungkin juga menyukai